Kisah Tuanta Salamaka

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga Buku cerita rakyat hasil terjemahan dari bahasa daerah Bugis, Makassar, dan Toraja selesai tepat pada waktunya. Buku terjemahan cerita rakyat ini dibuat untuk menambah bahan bacaan bagi pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dan sederajat khususnya di Sulawesi Selatan sekaligus menjadi bahan bacaan bagi masyarakat umum.
Kegiatan penerjemahan cerita rakyat yang diambil dari naskah berbahasa Bugis, Makassar, dan Toraja ke dalam bahasa Indonesia merupakan salah bagian dari program kerja Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan. Program kerja ini adalah rangkaian kegiatan literasi yang menunjang pencapai tujuan pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kemampuan membaca dan menulis bagi anak sekolah dasar dan menengah. Di samping itu, mengangkat cerita rakyat yang berbahasa daerah ke bahasa Indonesia sebagai upaya melestarikan dan mempublikasi budaya daerah di tengah perkembangan dan modernisasi kehidupan yang semakin kompleks.
Masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya yang selalu mengalami berbagai perubahan sebagai akibat dari arus globalisasi termasuk perkembangan teknologi informasi yang amat pesat. Kondisi ini memengaruhi perilaku masyarakat Indonesia dalam bertindak dan berbahasa. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan sebuah usaha dalam pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra dengan menyumbangkan ide dan kreativitas melalui dimensi penerjemahan cerita rakyat. Adapun cerita rakyat yang diterjemahkan tersebut adalah cerita berasal dari bahasa Makassar yaitu Cerita Si Tinuluk dan Si Kukang, Kisah Tuanta Salamaka dari penulis Labbiri; cerita dari bahasa Bugis La Bongngo Pangeran Nepo, Siti Naharirah oleh Muhlis Hadrawi; dan cerita rakyat dari Tana Toraja yaitu Polo Padang yang diterjemahkan oleh Dina Gasong. Kami mengucapkan terima kasih kepada para penerjemah masing- masing naskah Bugis, Makassar, dan Toraja yang telah menyusun dan menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, para staf teknis serta administrasi Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan yang telah banyak membantu dalam proses teknis penerbitan buku terjemahan cerita rakyat ini dalam bentuk buku. Akhirnya, Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku terjemahan bahasa daerah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Kepala Balai Bahasa
Provinsi Sulawesi Selatan
Dra. Zainab, M.Hum.
Masa Remaja Tuanta[sunting]
S
etelah berusia 14 tahun, Tuanta Salamaka, yang bernama Yusuf pun sudah tergolong balig. Demikian pula halnya putri Raja Gowa (sudah memasuki usia remaja). Ketika suasana mulai sepi karena para abdi sudah meninggalkan istana, sang Putri berdiri di tempat yang gelap menunggu Yusuf akan lewat.
Tak lama kemudian, Yusuf pun berlalu dan ternyata dialah yang paling akhir keluar. Dipeganglah tangannya oleh sang Putri sambil berkata, "Kanda, aku sengaja menunggumu di sini, kuminta kerelaan hatimu, aku cinta padamu,"
"Dinda, hal itu tak mungkin terjadi karena beberapa sebab," kata Yusuf. Pertama, Dinda adalah bangsawan, putri Raja sedangkan saya hanyalah abdi. Kedua, kita telah dipersaudarakan oleh Raja. Ketiga, saya adalah pembawa cerana Raja. Oleh karena itu, saya sirik (malu) kepada sesamaku dan kepada Allah jika hal ini terjadi."
Berkatalah sang Putri, "Itulah gunanya engkau dianggap cendekiawan yang sempurna."
Berkatalah Tuanta, "Walaupun demikian pendapatmu Dinda, tetap juga saya takut."
"Kalau Kanda tidak bersedia memperistrikanku, aku akan menagihmu pada hari kemudian dan akan menjadikan Kanda kuda tunggangan pada hari kiamat kelak," balas sang Putri.
Sejenak Tuanta terdiam lalu pergi menuju kamarnya. Di sanalah ia tidur menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, sambil merenungkan ucapan Sang Puteri.
Menuntut Ilmu di Sulawesi Selatan[sunting]
Pada suatu hari datanglah I Datok ri Panggentungan memerintahkan untuk memanggil I Lokmok ri Antang. Berkatalah 1 Datok ri Panggentungan kepada I Lokmok ri Antang, "Tujuan saya memanggil kamu ini, terkait santernya berita tentang kecendekiaan Yusuf yang tumbuh dewasa dan menjadi harapan dan tumpuan keluarga.
"Temui kemudian ajaklah ia ke sini untuk bertukar pikiran."
I Lokmok ri Antang pun pergi menemuinya. Setibanya di sana ia pun bertemu dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada Tuanta, "Cucuku engkau dipanggil nenekmu."
"Baiklah Nek", kata Tuanta. Memang saya akan ke sana menemui nenekku di Panggentungan."
Setiba di sana, Tuanta memberi salam kemudian salamnya dibalas.
I Datok ri Panggentungan kemudian mempersilakan cucunya duduk, "Duduklah cucuku."
Tuanta pun segera duduk.
"Saya memanggil engkau Yusuf karena saya mendengar ilmumu telah sempurna. Namun demikian akan lebih baik jika kita bertiga berangkat ke Makassar menuntut ilmu di sana," kata I Datok ri Panggentungan.
Berkatalah Tuanta, “Baiklah, Nek."
Mereka kemudian berkemas. Setelah menentukan waktu yang baik, mereka pun pergi. Ketika meninggalkan Gowa, mula-mula mereka ke Bulusaraung kemudian ke Latimojong terus ke Bawakaraeng.
Di Bawakaraenglah mereka bertemu dengan para wali.
Berkatalah wali, "Yusuf, engkau telah pulang dari Bulusaraung dan Latimojong kemudian engkau datang padaku."
"Benar demikian, berilah kami ilmu," kata Tuanta.
Mereka pun bertiga diajarlah. Setelah mereka selesai berguru, Berkatalah wali, "Pengetahuan makrifatmu telah cukup. Namun, alangkah baiknya Jika kamu ke Mekah untuk menyempurnakan ilmumu dan (memurnikan akidahmu)."
Setelah minta izin dan berjabat tangan dengan gurunya, mereka pun pamit dan langsung ke Gowa. Setiba di Gowa mereka pun langsung kerumah masing-masing, tetapi Yusuf langsung menghadap Raja. Ketika Raja melihatnya, ia sangat gembira karena tahu bahwa Yusuf baru kembali dari perantauan menuntut ilmu.

Memancing di Danau Mawang[sunting]
Beberapa lama kemudian, berkatalah I Datok ri Panggentungan kepada I Lokmok ri Antang, "Oo, Lokmok, jemputlah ananda Yusuf lalu kita bertiga pergi Memancing. Orang-orang bercerita bahwa ikan di danau Mawang sangat jinak dan gampang ditangkap." Mendengar ucapan I Datok ri Panggentungan, I Lokmok ri Antang pun berangkat menemui Yusuf dan mengajaknya pergi memancing.
Yusuf pun berkata, "Baiklah Nek, besok pagi saya ke sana dan tolong carikan saya umpan."
Setelah hari perjanjian itu tiba pergilah Tuanta ke sana. Setiba di sana, I Datok ri Panggentungan dan I Lokmok ri Antang pun telah berkemas, mereka berjalan bertiga menuju Mawang. Sesampai di sana mereka bertiga langsung memancing. Ikan-ikan sangat rakus menyambar umpan sehingga tak diketahui berapa banyak ikan yang diperolehnya.
Setelah waktu Asar tiba, guruh pun menggema bersahutan, dan hujan rintik-rintik pun mulai turun. Tiba-tiba I Datok ri Panggentungan ingin merokok sedangkan api tidak ada di dekatnya. Ia pun menyuruh ILA mencari api di pinggiran danau Mawang. Setiba di sana para tukang kebun telah tiada. Baru saja mereka pulang. Masih panas bekas api yang telah disiram air. ILA menyampaikan kepada I Datok ri Panggentungan tidak adanya api. I Datok ri Panggentungan memperlihatkan keunggulan ilmunya. Sebelah tangan memegang joran dan sebelahnya memegang rokok lalu dibakarnya melalui titik air. Dengan kebesaran Allah rokoknya pun menyalah. I Datok ri Panggentungan pun merokok tanpa mengajak I Lokmok ri Antang.
Kemudian I Lokmok ri Antang pun memperlihatkan ilmunya. Sebelah tangannya memegang joran dan sebelahnya lagi memegang rokok lalu dibakarnya melalui sambaran kilat. Dengan kebesaran Allah rokok itu pun menyala. I Lokmok ri Antang pun merokok tanpa mengajak Tuanta.
Ketika Tuanta melihat tingkah laku kedua orang tua itu, ia pun memperlihatkan kehebatan ilmunya. Ia meletakkan jorannya di tengah pematang, lalu berjalan ke dalam danau hingga air membasahi kaki celananya. Di sanalah ia memasukkan rokoknya ke dalam air hingga pergelangan tangan kemudian menariknya kembali. Dengan kebesaran Allah rokok itu pun menyala. Sambil merokok ia kembali mengambil jorannya dan melanjutkan pemancingannya.
Setelah itu I Datok ri Panggentungan mengajak Tuanta berbincang-bincang kemudian mengatakan, "Yusuf, untuk mencapai tingkat ilmu yang tinggi dan mendapatkan kebenaran hakiki, lebih baik Ananda ke tanah suci Mekah. Kita bertiga sudah memperoleh ilmu dari guru yang sama, namun dalam penerapannya dalam kenyataan berbeda-beda.
Benarlah kata orang bahwa biji ilmu itu ada di Makassar, tetapi intinya ada di Mekah. Maksudnya, bagaimana dapat tumbuh kalau hanya biji yang ditanam dan bagaimana pula dapat tumbuh kalau hanya kulitnya yang ditanam. Yang benar adalah kulit dan intinya bersama-sama di tanah barulah dapat tumbuh.
Adapun bekal yang akan Ananda bawa ke sana, yang akan ditanyakan kepada syekh Imam Syafii adalah apakah barang yang ada diadakan atau barang yang tak ada diadakan. Kalau dia menjawab barang yang ada saja yang dapat diadakan, katakanlah bahwa kita pun mampu melakukannya. Kalau dia menjawab barang yang tidak ada diadakan, katakanlah bagaimana mengadakan barang yang sudah tak ada. Setelah mereka bertukar pikiran mereka pun kembali ke rumahnya masing- masing.
===Meminang Puteri Raja===
Entah berapa lama, tiba-tiba Tuanta mengingat ucapan Puteri Raja. Ia pun pergi menemui Gallarrang Manngasa dan Gallarrang Tombolok. Setibanya di sana berkatalah Tuanta, “Tolong Daeng, menghadap Raja dan sampaikan kepadanya bahwa saya ada benih-benih cinta dalam hati kepada Sang Putri.”
Setelah menyampaikan permintaannya, Tuanta pun kembali.
Dua hari kemudian Gallarrang Manngasa dan Gallarrang Tombolok datang mengabdi pada Raja kemudian menyampaikan niat Tuanta.
Berkatalah Gallarrang Manngasa, “Saya datang menghadap untuk menyampaikan kepada Yang Mulia bahwa Yusuf mempunyai cita-cita untuk mempersunting sang Putri.”
Mendengar penyampaian itu, Raja berpikir sejenak, kemudian mengangkat muka lalu berkata, “Oo, Gallarrang Manngasa, sebenarnya Yusuf itu tidak salah, namun yang disebut hamba adalah hamba sedangkan raja tetap raja.” Setelah itu semuanya terdiam. Gallarrang Manngasa pun minta izin pamit kepada Raja Gowa dan langsung menemui Tuanta untuk menyampaikan keputusan Yang Mulia Raja Gowa. Setelah mendengar keputusan itu, Tuanta berkata, “Baiklah kalau demikian keputusan Raja, dengan demikian lepaslah dosaku.”
Ketika sudah berumur 15 tahun, kembali Tuanta datang mengabdi kepada Raja. Bertemulah Tuanta dengan Gallarrang Manngasa dan Gallarrang Tombolok di istana sekitar dua jam lamanya. Para abdi sudah pada pulang tinggal mereka bertiga. Ketika mereka turun dan sampai di anak tangga terakhir, Tuanta menoleh ke kanan, ke Gallarrang Manngasa, kemudian ke kiri, ke Gallarrang Tombolok. Ia mengentakkan kaki tiga kali lalu bersumpah, “Aku berjanji tidak akan menginjakkan kakiku di tanah Makassar sebelum saya berada dalam kesufian.” Sesudah itu ia pun melangkah keluar halaman istana menuju Kampungberu.
Setiba di sana, I Lokmok ri Antang pun menyusul. Selang beberapa lama, Gallarrang Manngasa bersama Gallarrang Tombolok pergi ke istana untuk mengabdi. Raja bertanya kepada keduanya, “Mengapa Yusuf tidak pernah datang lagi mengabdi?”
Gallarrang Manngasa dan Gallarrang Tombolok menjawab, “Mungkin ketidakhadirannya karena lamarannya ditolak oleh Tuanku.” Berkatalah Raja, “Tolonglah bukakan lontarak, lihat dan bacalah.” Lontarak pun dibuka kemudian dibaca oleh Gallarrang Manngasa.
Ia menemukan dalam lontarak bahwa ada tiga sebab atau dasar seorang pria dapat mengawini wanita yang lebih tinggi derajatnya. Pertama, cendekiawan, kedua berani, ketiga kaya serta memberikan belanja pada penduduk negeri Gowa.
Setelah Raja mendengar berita dari lontarak, berkatalah Raja, “Di mana Yusuf sekarang?”
Berkatalah Gallarrang Manngasa, “Dia ada di Kampungberu.” Berkatalah Sang Raja, “Panggillah dia, saya akan menikahkannya dengan putriku.”
Ia pun menyuruh suro pergi mencarinya. Ketika bertemu dengan Tuanta, suro itu pun menyampaikan pesan Raja. Berkatalah Tuanta, “Hai suro, saya telah bersumpah bahwa barulah saya kembali ke Gowa kalau kepergianku telah menghasilkan ilmu yang sempurna.” Selanjutnya, suro minta izin untuk kembali. Setibanya di istana ia pun menyampaikan ucapan Tuanta. Berulang kali suro menemui dan membujuk Tuanta namun gagal karena Tuanta tetap tidak mau ke Gowa. Oleh karena itu, Raja mengambil keputusan, “Kalau Yusuf tidak mau ke mari, bawalah Sang Putri ke Kampungberu lalu nikahkan!”
Setelah beberapa lama menikah, muncullah keinginan dalam hati Yusuf untuk berangkat ke Mekah.
Perjalanan ke Tanah Suci Mekah[sunting]
Setelah cukup empat puluh hari pernikahannya, Tuanta meminta istrinya kembali ke istana karena ia bersiap ke tanah suci. Ia pun mengantar istrinya ke istana kemudian kembali ke rumahnya untuk berkemas-kemas berangkat menuju tanah suci Mekah.
Seusai berkemas, ia pun menentukan hari yang baik. Setibanya waktu yang diinginkannya ia pun pergi bersama I Lokmok ri Antang. Mereka berlayar tujuh hari tujuh malam di samudera yang luas. Tiba-tiba juru mudi meminjam pisau pada juru batu untuk dipakai memotong kuku. Dengan tidak disadari pisau itu jatuh ke laut.
Juru batu sangat marah kepada juru mudi begitu tahu pisaunya hilang, bahkan hampir saja terjadi perkelahian di antara keduanya. Akibatnya, perahu berlayar tak tentu arah.
Berkatalah Tuanta, “Hai Juru mudi mengapa perahu tak menentu jalannya?”
Juru mudi menjawab, “Pisauku hilang, Tuan.”
“Jatuhnya di mana, apakah di depan sangkilang atau di belakangnya?” tanya Tuanta.
“Di belakang sangkilang,” jawab Juru mudi.
“Siapa yang punya ikan kering? Kalau ada, bawalah seekor ke sini,” kata Tuanta.
Juru mudi pun pergi mengambil ikan kering yang bernama ande-ande lalu menyerahkannya kepada Tuanta. Tuanta kemudian meniup mulut ikan tersebut sambil berkata, “Carilah pisau Juru mudi.” Selanjutnya ikan diserahkan kepada Juru mudi sambil berkata, “Jatuhkanlah ikan itu di tempat jatuhnya pisaumu.”
Dengan kebesaran Allah, tidak begitu lama pisau itu telah ada dibawa oleh ikan.
Berkatalah Tuanta, “Peganglah baik-baik jangan sampai ia lepas.” Juru mudi pun mengambil ikan dan pisau itu. Alangkah gembiranya semua yang ada dalam perahu.
“Apalagi yang Karaeng cari di sana, di Mekah. Semua sudah Karaeng miliki. Lebih baik Karaeng pulang saja,” kata semua orang yang di perahu.”
Kata Tuanta, “Ini belumlah menunjukkan kesempurnaan ilmu, nanti di sana baru kita lihat ilmu Allah yang sebenarnya.”
Selama beberapa hari mereka berlayar di laut luas, akhirnya tibalah mereka di negeri Batavia. Dari sana mereka menumpang kapal menuju Seilon. Beberapa hari dalam pelayaran bermufakatlah ILA dengan kapten kapal, “Saya melihat Yusuf itu memiliki sifat yang agak lain, ia seperti mempunyai ilmu hitam.” ILA pun membenarkannya sehingga semua penumpang kapal benci kepada Tuanta.
Tuanta pun membaca keadaan ini. 
===Peristiwa Mistis dalam Pelayaran===
Pada suatu sore, berkatalah Tuanta, “Kapten, tampaknya engkau tidak senang padaku, mengapa? Janganlah berbuat seperti itu. Sebagai hamba Allah, kita harus saling mengasihi satu dengan yang lain.” Sang Kapten pun diam seribu bahasa.
Setelah Tuanta melihat raut muka kapten itu, ia pun berkata, “Kalau memang demikian pikiranmu terhadapku, baiklah.”
Ketika waktu Zuhur tiba, ia pun pergi mengambil wudu lalu salat dua rakaat. Setelah itu ia duduk tafakur sambil berzikir dengan menggerakkan kepala ke kanan. Dengan kebesaran Allah, kapal itu miring ke kanan. Air pun telah masuk ke dalam kapal. Pinggir kapal telah rapat ke air. Ketika kapten melihat kelakuan Tuanta, ia pun sangat takut. Semua penumpang berteriak ketakutan. Melihat hal itu sang kapten pun merasa takut lalu ia pergi memegang kaki Tuanta sambil memeluknya dan berkata, “Ampunilah saya Tuan.”
Tuanta pun menarik kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu kapal pun kembali tenang. Berkatalah Tuanta, “Hai, Kapten, janganlah minta ampun padaku, hanya Allah tempat kita minta ampun.” Kapten itu terdiam, sedangkan I Lokmok ri Antang merasa sangat malu pada Tuanta.
Suatu hari mereka melihat sebuah pulau. Pulau itu biasa disinggahi orang-orang yang akan pergi haji. Untuk sampai di pulau itu, kira-kira membutuhkan waktu pelayaran tiga hari lagi. Tuanta berfirasat bahwa para penumpang tidak senang kepadaku, lebih baik saya tinggalkan kapal ini.
Ketika masuk waktu Zuhur Tuanta pun mengambil wudu lalu berkata, “Kapten, janganlah bersedih karena saya akan meninggalkan kapalmu hari ini juga dengan kehendak Allah. Setelah itu ia berniat salat. Pada saat takbiratul ihram dengan ucapan “Allahu Akbar” putus pulalah jiwanya.
Disiapkanlah untuk dimandikan, dikafani, kemudian disalati. Setelah disalati diambilkanlah besi yang bersegi empat, satu diikatkan pada lehernya, satu pada pinggangnya, dan satu pada kakinya, lalu dibuanglah ke laut, maka tenggelamlah jenazahnya.
Sesudah dibuang maka angin pun tenang sehingga kapal tak dapat bergerak selama tiga hari tiga malam. Nanti pada hari keempat barulah angin bertiup dengan baik setelah I Lokmok ri Antang berdoa. Berlayarlah kapal itu selama tiga hari tiga malam sehingga sampailah ke pulau itu.
Berkatalah kapten kepada I Lokmok ri Antang, “Kita singgah dahulu di pulau ini mengambil air.” Maka, singgahlah mereka membuang jangkar dan menurunkan sekocinya. Turunlah 8 (delapan) anak buah kapal sambil membawa tempat airnya.
Berkata lagi kapten kepada I Lokmok ri Antang, “Lebih baik kita naik bersama untuk mengambil air.” Turunlah ILA ke sekoci bersama orang Jawa yang akan naik haji, kemudian turun pula kapten kapal itu. Mereka bersama- sama menuju pulau itu.
Tiba-tiba sekoci itu kandas. Kapten menengok ke bawah sambil berkata, “Saya melihat besi ini seperti besi yang dipakai mengikat Yusuf.”
Menjawablah Juru mudi itu, “Betul, inilah besinya Tuan.”
Semua penumpang sekoci bingung melihat kejadian itu. Lalu turunlah I Lokmok ri Antang bersama orang Jawa yang akan pergi haji kemudian menyusul juga sang kapten. Mereka pun berjalan naik ke pulau itu.
Setiba di atas mereka bertemu dengan Tuanta menutup kepalanya dengan sajadah sambil mengucap, “Assalamualaikum, telah tujuh malam aku menunggumu di sini, namun baru saja kalian tiba.”
Mereka menutup mulutnya tanda heran sambil berkata dalam hati mereka, “Benar-benar Yusuf itu seorang wali.”
Setelah itu sang kapten bertanya, “Hai Tuan, di manakah ada air?” Berkatalah Tuanta, “Mari, ikuti saya.” Mereka pun berjalan mengikutinya. Setelah sampai pada tempat yang dimaksud, mereka mandi hingga sampai waktu Asar.
Berkatalah Kapten, “Hai I Lokmok ri Antang, silakan mandi dahulu, saya akan turun ke kapal. Ingat, jangan kamu lewat jam lima karena perahu segera berlayar.
Setelah kapten turun, maka tinggallah mereka berempat, yakni dua orang Jawa, I Lokmok ri Antang, dan Tuanta. Tidak berapa lama, datanglah seorang orang tua memberi salam, “Assalamualaikum. Yusuf, akan ke mana engkau?”
Yusuf pun menjawab, “Waalaikumsalam, Nek. Saya akan naik haji mencari amalan dan mencari kebenaran sesungguhnya orang yang bernama Muhammad.”
Berkatalah orang tua itu, “Nak, kalau hanya amal yang akan kau cari biar saya saja yang membimbingmu berempat.”
Mereka berkata dalam hati, “Ini wali rupanya.” Mereka pun menyahut, “Baiklah, Nek.”
Mereka berkata lagi, “Amal apa itu, Nek?”
Orang tua itu menjawab, “Telah tujuh hari saya tidak tidur dan saya ingin sekali memejamkan mata walaupun hanya sejam. Saya ingin kamu semua merentangkan kaki kemudian saya tidur di atasnya. Engkau Yusuf di kepalaku. Kita berjanji, janganlah kalian pergi sebelum saya bangun.”
“Baiklah,” kata Tuanta. Mereka pun merentangkan kakinya masing-masing kemudian orang tua itu naik tidur. Yusuf yang memangku kepalanya. Setelah sampai jam lima, berkatalah I Lokmok ri Antang kepada kedua orang Jawa itu, “Bagaimana pendapatmu, lebih baik kita kembali ke kapal, nanti kita ditinggalkan.
Mereka bertiga pergi ke kapal. Setiba di sana kapal pun berlayar. Tinggallah Tuanta sendirian memangku kepala orang tua itu.
Malam pun tiba, kemudian pagi, dan akhirnya orang tua itu meninggal. Tuanta tetap tinggal memangku kepalanya. Dalam kebingungannya, selama tiga malam Tuanta berdoa kepada Allah Swt. Perut mayat orang tua tersebut sudah mulai membengkak dan berulat.
Baunya sangat busuk. Ulatnya sebesar jari kelingking menjalar ke muka Tuanta. Tuanta tetap berzikir membaca, “La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah.” Keadaan seperti itu berlangsung selama beberapa malam. Tuanta sebenarnya sedang diuji.
Setelah pagi hari di hari yang ketujuh, Tuanta mendengar suara orang yang bersin. Barulah juga ia membuka matanya. Ia melihat ternyata orang Tua itu masih ada. Badannya tidak kurang sedikit pun. Berkatalah orang tua itu, “Engkau benar-benar manusia, Yusuf. Begitulah yang disebut manusia.”
Orang tua itu bangun sambil berkata, “Engkau tak mengenal saya, Yusuf? Sayalah adalah Nabi Khaidir dan saya inilah orang tuamu. Saya beritahukan engkau Nak, Tidak perlu engkau ke kuburnya Muhammad karena tubuh Muhammad, sayalah ini.”
Berkatalah Tuanta, “Walaupun demikian Nek, saya telah berhajat untuk bertemu dengan ruh Muhammad dan saya telah berniat untuk menginjak tanah suci.”
Orang Tua itu berkata lagi, “Apa yang kaubuat di Mekah dan Madinah, kalau hanya ilmu, ilmu itu telah ada semuanya pada engkau, tak ada lagi kekuranganmu. Engkaulah yang disebut orang selamat (Tusalamaka) dunia akhirat.”
Berkatalah Tuanta, “Walaupun demikian, Nek, berilah saya berkah.”
Sang orang tua pun berkata, “Berkah apa lagi yang kau minta padaku. Berkah itu telah ada semua dalam perutmu, namun demikian mengangalah.” Tuanta pun menganga. Sang orang tua lalu meludahi mulut Tuanta kemudian berkata, “Telah ada semua padamu, segala yang engkau niatkan akan diberikan oleh Allah.”
Berkatalah Tuanta, “Bagaimana caranya saya dapat sampai ke Mekah karena kapal sudah tiada.” Berkatalah Nabi Khaidir, “Niatkanlah kemudian engkau berjalan, engkau akan sampai ke kapal itu.” Mereka pun lalu berjabat tangan kemudian pergi.
Ketika menoleh ke belakang Nabi Khaidir pun telah hilang. Tuanta pun pergi sambil meniatkan dalam hati kapal itu, lalu dipegangnya pinggir kapal kemudian ia naik. Semua penumpang yang ada di kapal heran melihat kelakuan Tuanta.
Mereka pun berlayar, kira-kira pelayaran tujuh hari lagi sudah sampai di Jeddah, ILA meninggal. Setelah dimandikan, dikafani, disembahyangi lalu dibacakan doa oleh Tuanta, kemudian ia dibuang ke laut.
Selama tiga hari tiga malam kapal tidak bergerak karena tidak ada angin. Kapten kapal pun merasa susah karena kapal tak dapat bergerak. Dengan kebesaran Allah, tiba-tiba muncul ikan besar yang bernama Nung yang menyangkutkan jangkar kapal pada mulutnya lalu ia melarikan kapal itu ke Jeddah. Air pun masuklah pada bagian haluan dan buritan kapal. Karena itu, hanya dalam sehari mereka telah sampai di Jeddah.
Mereka membuang jangkar di pelabuhan Jeddah dan ikan Nung itu pun hilang. Sekoci pun diturunkan. Turunlah kapten dan Tuanta ke dalam sekoci bersama 15 orang penumpang lainnya. Bersamaan dengan itu sekoci itu kebetulan menyentuh besi yang digunakan mengikat I Lokmok ri Antang.
Kapten kapal melihat ke bawah sekoci ternyata besi itu sama yang dipakai sebagai pemberat bagi I Lokmok ri Antang. “Benar inilah dia,” kata Juru mudi.
Semua penumpang di atas sekoci merasa heran, sedangkan Tuanta telah berangkat ke darat bersama kapten. Dengan kekuasaan Allah tiba-tiba I Lokmok ri Antang muncul dari darat dengan memakai jubah sambil menyelempang sajadahnya dan langsung pergi memegang tangan Tuanta sambil mengucapkan salam, “Assalamualaikum, salam itu dibalas dengan “Waalaikumsalam.”
Berkatalah I Lokmok ri Antang, “Telah beberapa hari saya di sini menunggumu,” Tuanta pun tersenyum sambil berkata, “Alangkah bingungnya saya I Lokmok ri Antang karena engkau telah meninggalkanku.”
I Lokmok ri Antang menjawab, “Engkaulah yang menyuruhku pergi duluan. Itulah sebabnya saya pergi.” Selanjutnya, I Lokmok ri Antang pergi menemui teman-temannya yang pernah sekapal. Sang kapten bersama seluruh penumpang kapal heran melihat I Lokmok ri Antang.
Berkatalah Tuanta, “I Lokmok ri Antang, engkau sebenarnya telah berada pada kedudukan yang diridai Allah. Janganlah terlalu lama di sini nanti malaikat marah. Engkau telah mendapatkan tempat yang sebut “Hayyon fi Al-daraen” artinya hidup pada dua kampung (dunia dan akhirat)” Setelah itu Tuanta pun berjabat tangan dengan I Lokmok ri Antang. Kapten bersama penumpang menoleh kepada I Lokmok ri Antang, namum tiba-tiba mereka sudah tidak melihatnya lagi.
Belajar pada Imam Empat[sunting]
Dikisahkan ketika Tuanta telah berpisah dengan para penumpang lainnya di kapal, ia terus berjalan ke Mekah sendirian. Dalam perjalanan itu Tuanta membawa tiga keris dengan nama yang berbeda pula. Keris pertama dinamai I Pagerek, yang kedua dinamai I Dakkuik, dan yang ketiga I Cakkuik.
Keris yang bernama I Cakkuik adalah buatan Campagaya. Orang Gowa memuji keris itu karena pamor bisanya dengan sebuah ungkapan: Pandanglah pada si Cakkuik Dakkuiklah ambil contoh Sedang si Pagerek tak pernah menetap di dunia
Jika berjalan dalam hutan, Tuanta mencabut I Cakkuik dari sarungnya. Semua jenis binatang buas, seperti macan, ular raksasa, semua lari ketika melihat Tuanta. Oleh karena itu, Tuanta pun berjalan siang dan malam dengan aman.
Setelah sekian lama berjalan, akhirnya Tuanta sampai ke Mekah tepat pada hari Jumat. Matahari telah bergeser sedikit dan semua orang telah berada dalam masjid. Lalu, Tuanta pergi mengetuk pintu masjid.
Penjaga pintu pun bertanya, “Siapakah yang ada di luar pintu, orang Arab atau orang Jawi?”
Tuanta menjawab, “Saya orang Jawi.” Berkatalah penjaga pintu, “Walaupun engkau seorang Arab apalagi engkau orang Jawi, pintu tak dapat lagi dibuka karena sudah tertutup. Nanti di belakang hari engkau masuk ke masjid.”
Ia membalik badannya menghadap keluar, seperti orang yang sangat marah. Lalu, dimiringkannya songkoknya ke kanan. Dengan kebesaran Allah, masjid pun miring.
Semua orang yang ada dalam masjid merasa heran atas kejadian tersebut. Berkatalah para khalifah, para ahli hikmah, para cendekiawan (tupanrita), dan para wali, “Hidayah apakah yang diperlihatkan Allah di balik peristiwa ini. Barangkali perlu dilihat di kitab yang disimpan Rasulullah tentang tahun hijrahnya.”
Kitab itu pun dibuka, lalu dilihat tahun hijrah Nabi Saw. Khatib pun berdiri mengambil kitab itu di atas mimbar kemudian dibuka. Sampailah pada pembicaraan tentang pesan Sayidina Ali R.a. yang mengatakan, bahwa kalau sampai pada tahun 1095 H, akan datang seorang Jawi kemari, Yusuf namanya. Orang itu dikasihani Allah dan dialah yang paling tinggi kewaliannya dan kemakrifatannya. Andai kata ada Nabi sesudah nabi Muhammad, maka dia orangnya, tetapi sudah tak ada lagi. Oleh karena itu, ia disebut orang yang selamat di dunia dan di akhirat (Tuanta Salamaka).
Berkatalah semua ahli hikmah dan tupanrita, “Panggil dan tanyalah penjaga pintu itu.”
“Apakah engkau melihat orang yang berdiri di depan pintu?” Tanya Khalifah.
Penjaga itu menjawab, “Ada yang mulia.”
Lalu ditanya lagi, “Apakah dia menyebut dirinya?”
Penjaga itu menjawab, “Dia menyebut dirinya Jawi. Ia ingin masuk, tetapi pintu telah tertutup. Ia lalu berbalik sambil memiringkan songkoknya ke kanan sehingga masjid pun miring.”
Berkatalah para ahli hikmah dan tupanrita, “Tahun ini telah sampai hari dan bulannya hal yang disampaikan Rasulullah Muhammad Saw serta pesan pemimpin kita Sayidina Ali R.A.”
Berkatalah Khalifah, “Hai, Imam Syafi’i, lebih baik jika bidal disuruh menjemputnya.”
Bidal pun pergi menjemput Tuanta. Ketika itu Tuanta sedang memasak. Sebelah tangannya dijadikan periuk sedangkan sebelah tangannya lagi dijadikan kayu api. Ibu jarinya telah menyala, sedangkan kedua kakinya dijadikan dapur. Bidal memberi salam kemudian dibalas oleh Tuanta. Kemudian Tuanta berkata, “Hai, Bidal silakan duduk.”
Bidal berkata. “Anda disuruh jemput oleh Khalifah dan Imam Syafi’i. Tuan diminta bersama kami sekarang juga masuk ke dalam masjid.”
Berkatalah Tuanta, “Tunggulah saya sebentar, saya makan dahulu karena saya lapar sekali.”
Setelah selesai makan dia pun diantar masuk ke dalam masjid. Sesampai di dalam, Khalifah berkata, “Kami mengharap Tuan yang membaca khotbah. Kami ingin sekali mendengar Tuan membaca khotbah.”
Petugas pun meletakkan kudung khatib di depan Tuanta, lalu Tuanta memakainya. Setelah itu ia diantar oleh Bidal naik ke mimbar.
Setelah memberi salam, Tuanta menggunakan tiga macam lagu dalam khotbahnya. Pertama lagunya di sebut I Cakdi pokok, lagu keduanya disebut Timorok mata allona, dan lagu yang ketiga disebut lagu Maklonre-lonre, orang Melayu menyebutnya ikok-ikok.
Orang-orang yang ikut berjamaah dalam masjid merasa terharu mendengar suara Tuanta membaca khotbah. Air yang mengalir terhenti, daun kayu yang jatuh tersangkut karena enaknya kedengaran suara Tuanta.
Setelah selesai salat, Tuanta dijamu dengan makanan dan buah- buahan yang dianggap mulia. Setelah makan, Khalifah menoleh kepada Yusuf dan berkata, “Saudaraku Yusuf, saya ingin bertanya kepadamu, Buah apakah yang biasa dimakan dan dianggap mulia di daerahmu?”
Yusuf menjawab, “Cukup banyak, tetapi menurut saya ada dua macam buah-buahan yang aku anggap mulia, yaitu langsat dan durian.” Langsat itu hanya dapat dimakan oleh raja dan orang kaya, sedangkan orang miskin tidak. Durian hanya tiga macam orang yang dapat memakannya, yaitu raja, orang mulia, dan orang kaya.”
Para ahli hikmah dan Tupanrita pun lalu berkata, “Mungkin Tuan dapat mengadakannya supaya kami melihat dan merasakan bagaimana enaknya yang Tuan sebutkan itu.”
Berkatalah Tuanta, “Itu kehendak Allah, apakah bisa diadakan atau tidak.” Tuanta mulai tafakur kemudian mengayunkan tangannya ke kanan. Dengan kehendak Allah serta berkah Nabi Saw. tiba-tiba muncul dari lengan jubah Tuanta dua tangkai langsat. Lalu dikeluarkannya kemudian diberikan kepada Khalifah. Selanjutnya, buah itu dibagikan kepada para ahli hikmah dan tupanrita. Mereka lalu memakannya dan sisanya mereka tanam dekat rumahnya. Itu sebabnya sehingga ada juga buah langsat di sana.
Setelah itu mereka berkata, “Mungkin Tuan dapat juga mengadakan durian supaya kita dapat mengetahui bagaimana rupanya.” Tuanta mengayunkan tangannya ke kiri, tiba-tiba durian yang di sebut I Bukkuk muncul tiga buah keluar dari lengan jubahnya. Tupanrita mengambil buah itu kemudian mereka makan sebiji seorang. Masih ada sisanya itulah yang mereka tanam sehingga tanaman durian ada di sana.
Semua orang yang memakannya merasa senang karena enaknya buah tersebut. Oleh karena itu, semua syekh, para ahli hikmah, para tupanrita menghormat kepada Tuanta karena telah melihat kekeramatannya.
Setelah itu mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Setelah itu, Tuanta mengunjungi Imam Syafii untuk berguru.
Setiba di sana Imam Syafi’i berkata, ”Apa maksudmu datang kemari?”
”Saya ingin meminta berkah,” Jawab Tuanta.
”Tak dapat lagi kau minta berkah dariku karena semua berkah junjungan kita Muhammad Saw. telah ada semua pada dirimu. Baiklah engkau pergi ke Imam Malik,“ Kata Imam Syafii.
Ia pun minta izin untuk pergi ke Imam Malik. Setiba di sana, berkatalah Imam Malik, ”Syekh, apa maksud kunjunganmu kemari?” Berkatalah Tuanta, “Saya berkunjung kemari, untuk minta berkah.”
Imam Malik menjawab, ”Pergilah engkau ke Imam Hambali.” Lalu, ia pamit pada Imam Malik dan terus pergi ke Imam Hambali. Setiba di sana bertanyalah Imam Hambali, “Yusuf, apa maksud kedatanganmu ke sini?” Berkatalah Tuanta, “Saya datang untuk memohon berkah.”
“Saya tak dapat lagi memberimu berkah, pergilah ke Imam Hanafi,” jawab Imam Hambali.
Setelah permisi, Tuanta pun menemui Imam Hanafi. Setiba di sana bertanyalah Imam Hanafi, “Syekh, apa maksud kunjunganmu datang kemari?”
Tuanta lalu menjawab, “Saya ingin diberi berkah. Saya telah mendatangi semua Imam, tetapi mereka menyuruh saya kemari.”
Berkatalah Imam Hanafi, “Yusuf, saya juga tak mampu memberimu berkah karena engkau sudah digelari Tusalama di dunia dan akhirat.
Baiklah engkau pergi mencari wali empat puluh. Mereka telah meninggal selama 225 tahun. Hanya mereka yang dapat memberimu berkah.”
Ia pun pamit pada Imam Hanafi kemudian kembali ke rumahnya. Keesokan harinya setelah salat subuh, ia pun berkemas untuk pergi mencari wali empat puluh itu. Ia berjalan siang dan malam menelusuri bukit. Di mana saja singgah istirahat, di sana dia salat jika waktu salat telah tiba. Setelah berjalan siang malam kira-kira 47 malam, maka ia pun ditakdirkanlah oleh Allah bertemu dengan wali empat puluh itu di atas bukit Aspa.
Ketika wali empat puluh melihatnya, berkatalah wali itu, “Syekh, apa maksud kunjunganmu kemari?”
Berkatalah Tuanta, “Saya ingin diberi berkah.” “Yusuf, apalagi yang akan saya berikan kepadamu, bukankah telah ada semua padamu? Kalau engkau ingin guru, pergi dan carilah gurunya para wali yang bernama Abu Yazid Bustami yang telah meninggal 500 tahun yang lalu.”
Setelah itu pergilah Tuanta mencari gurunya para wali yang bernama Abu Yazid Bustami. Setelah beberapa lama mencari, ia pun menemukannya di tengah-tengah bukit.
Ketika Abu Yazid Bustami melihat Tuanta, ia bertanya, “Yusuf, apa maksud kunjunganmu?”
Tuanta menjawab, “Tuanlah yang saya cari dan Allah menakdirkanku menemukanmu di tempat ini, berilah saya berkah.” Berkatalah Abu Yazid Bustami, “Hai anakku, apalagi yang engkau minta padaku. Ilmu yang ada padamu telah cukup.” “Walaupun demikian berkatilah saya.” Kata Tuanta.
“Jika demikian permintaanmu, mengangalah. Saya akan meniup mulutmu,” Kata Abu Yazid Bustami. Setelah itu, Tuanta pun membuka mulutnya.
Selanjutnya Abu Yazid Bustami berkata, “Yusuf, engkau telah dikasihani Allah bersama Nabi Muhammad Saw. Apa yang engkau niatkan dalam hati pasti akan dikabulkan.
Berguru pada Syekh Abdul Kadir Jailani[sunting]
Abu Yazid Bustami berkata pada Tuanta, “Saya ingin engkau pergi mencari rajanya para wali yang bernama Abdul Kadir Jailani. Beliau telah meninggal dunia 750 tahun yang lalu. Pasti Allah akan mempertemukanmu. Apabila engkau menemukan hal-hal yang membingungkan sandarkanlah dirimu pada Allah.”
Tuanta berjabat tangan kemudian pergi. Tidak berapa lama meninggalkan bukit itu ia pun telah banyak menyaksikan kekayaan dan kekuasaan Allah. Kalau ia menemukan binatang yang menakutkan, ia mencabut keris sambil mengayunkannya. Binatang buas itu pun lari. Pada suatu hari ia telah menghampiri bukit Jailani. Dalam hatinya ia berkata, “Mungkin di sinilah tempatnya raja wali itu.”
Setiba di atas dia melihat sebuah dangau bertiang sebatang pohon yang dikelilingi tanaman beraneka jenis. Ia lalu berjalan ke sana dan menemukan raja wali itu sementara salat. Tuanta lalu berdiri menunggu di belakangnya.
Selesai salat, Tuanta pun memberi salam, “Assalamualaikum” dan dibalas dengan “Waalaikumsalam.”
“Yusuf, apa maksud kedatanganmu kemari?” Tanya Abdul Kadir Jailani.
“Kedatangannya saya ke sini ingin menjadi murid Karaengku dunia akhirat. Berilah saya berkah,” Jawab Tuanta.
Berkatalah Abdul Kadir Jailani, “Saya kira engkau telah datang pada Imam empat, pada wali empat puluh, dan pada gurunya wali, Abu Yazid Bustami.” “Betul, Saya telah mendatangi semuanya, namun saya tidak merasa senang jika tidak mengunjungi Karaengku,” jawab Tuanta.
Abdul Kadir Jailani memahaminya kemudian berkata, “Baiklah Yusuf, tinggallah engkau padaku, saya angkat engkau anak dunia akhirat.”
Tinggallah Tuanta bersamanya. Setelah Magrib tiba, berkatalah Syekh Abdul Kadir Jailani, “Yusuf, berwudulah engkau di kolam.” Tuanta pun berpikir, “Kolamnya di mana?” Ia pun menoleh ke kiri dan ke kanan namun, tatapi melihat apa-apa. Ia tidak berani bertanya pada gurunya. Dalam keadaan demikian ia berserah diri pada Allah sambil tafakur dan memejamkan matanya. Sekitar setengah jam barulah ia membuka matanya. Dengan kekuasaan Allah kolam itu telah tampak di hadapannya, bentuknya sangat bagus dan airnya sangat jernih. Tuanta pun berwudu kemudian salat dua rakaat.
Setelah salat, makanan telah terhidang di belakangnya. Berkatalah Tuanta Abdul Kadir Jailani, “Hai anakku Yusuf, makanlah.” Setelah selesai, makanan itu pun lenyap. Ia pun berhenti dan saat itu pula lenyaplah makanan itu.
Keesokan harinya berkatalah Syekh Abdul Kadir Jailani, “Yusuf, berkemaslah kita pergi menjala ikan di kaki Bukit Jailani.”
Kaki bukit Jailani sekelilingnya dipagari kayu dalam bentuk segi empat kira-kira enam depa dari bukit. Yang paling dalam adalah sebatas leher dan yang paling dangkal sebatas paha. Adapun sebabnya dipagari sekelilingnya adalah karena kekuasaan Allah ingin diperlihatkan pada Tuanta.
Tuanta pun berjalanlah mengikuti gurunya. Setelah tiba pada tempat yang dipagari sekelilingnya, berkatalah Syekh Abdul Kadir Jailani, rajanya para wali, “Ambillah keranjang tempat ikan”
“Baik guru.” Kata Tuanta, padahal tak ada apa-apa yang dilihatnya. Sambil menutup mata ia pun memusatkan perhatian dan membayangkan bentuk keranjang yang dimaksud gurunya. Tiba-tiba ia telah memegang keranjang itu. Setelah itu ia membuka mata kemudian mengikuti gurunya. Raja wali itu pun membuang jalanya sedangkan Tuanta baru sampai di tempat itu.
Berkatalah gurunya, “Yusuf, turunlah engkau ke dalam air kemudian doronglah jala itu naik lalu saya menariknya.”
Mendengar kata gurunya, Tuanta pun turun. Ia menyangka air itu dangkal. Ternyata air itu sangat dalam sehingga Tuanta harus berenang. Ia merasakan air itu sangat dingin.
Berkatalah gurunya, “Yusuf, lepaskanlah kaki jala itu karena tersangkut di batu sehingga sangat berat kutarik.”
Tuanta berkata dalam hati, “Bagaimana saya bisa menariknya padahal air sangat dalam.” Tuanta kembali memejamkan mata kemudian dan berserah diri pada Allah sambil memusatkan pikiran, bermunajat kepada Allah supaya jala itu lepas. Bersamaan dengan dibukanya matanya ia pun berteriak, “tariklah jala itu guru.”
Sambil ditarik oleh gurunya, ia pun mendorong jala itu naik ke pinggir pantai. Alangkah banyaknya ikan yang mereka peroleh. “Yusuf, masukkanlah ikan-ikan itu ke dalam keranjang.” Perintah gurunya.
Tuanta pun memasukkan ikan-ikan ke dalam keranjangnya, namun baru tiga ekor ikan, keranjang itu sudah penuh. Tuanta kemudian naik ke kaki bukit Jailani untuk mencari rumput menjalar sebagai alat penusuk ikan. Apa yang dilakukan Tuanta diperhatikan oleh gurunya sembari bertanya, “Mau ke mana engkau Yusuf?”
Ia pun menjawab, “Saya akan mengambil rumput menjalar.” “Untuk apa rumput itu, Yusuf? Kalau ikan sudah tak termuat dalam keranjang, lepaskan saja. Walaupun dilepas, ikan itu tetap kita yang punya karena Allah telah mengadakannya untuk kita saja,” kata gurunya. “Sayang sekali kita telah mendapatkannya baru dilepaskan lagi,” bisik Tuanta dalam hati.
Namun, karena takut pada guru, ikan-ikan itu pun dilepaskannya. Setelah itu ia pun berhenti menjala kemudian kembali ke rumahnya. Setiba di rumah, berkatalah gurunya, “Bakar ikanmu itu lalu kamu makan.” Berkatalah Tuanta dalam hatinya, “Bagaimana saya membakarnya sedangkan api tidak ada dan malam pun sudah gelap.”
Selanjutnya, gurunya berkata, “Yusuf, pergilah mengambil api.” “Di mana saya dapat api?” bisik Tuanta lagi dalam hati.
Tuanta berjalan dalam suasana gelap gulita. Setelah berjalan agak jauh, ia melihat seorang orang tua sedang duduk mencangkung meniup api. Orang tua itu menoleh lalu melihat Tuanta.
Orang tua itu menyapanya, “Cucuku Yusuf, mau ke mana engkau dan apa yang engkau cari?”
Berkatalah Tuanta, “Saya ingin minta api, Nek.”
“Saya tidak dapat memberimu api kalau kamu tidak beli,” jawab sang nenek.
“Dengan apakah saya pakai membeli karena saya tak memiliki apa-apa, kecuali keris. Hanya inilah yang saya punya, Nek,” kata Tuanta lagi.
Orang tua itu berkata, “Saya tidak biasa menerima harga dengan keris.” Berkatalah Tuanta, “Apa sebenarnya yang Nenek inginkan?” “Biji matamulah yang ingin kuambil,” kata nenek itu.
Setelah mendengar ucapan orang tua itu, Tuanta pun mencungkil biji matanya yang sebelah kiri lalu memberikannya kepada orang tua itu.
Orang tua itu lalu berkata, “Saya tidak ingin kalau hanya sebelah, saya menginginkan kedua biji matamu itu, baru saya beri api.”
Tuanta kembali mencungkil mata kanannya kemudian menyerahkannya kepada orang tua itu. Maka butalah kedua mata Tuanta dan ia pun diberi api. Setelah itu ia kembali ke gurunya dan orang tua itu pun pergi. Sebenarnya, orang tua itu adalah penjelmaan gurunya sendiri.
Jadi, setelah tiba di tempat gurunya membawa api, Syekh Abdul Kadir Jailani mendapati Tuanta sudah buta. Pada bekas matanya masih mengalir darah sampai ke dadanya.
Bertanyalah gurunya, “Yusuf, mengapa mukamu berdarah dan matamu buta?” “Guru, saya menemukan seorang orang tua di tengah hutan sementara meniup api lalu saya minta apinya. Orang tua itu tidak mau memberikan apinya kecuali kedua biji mataku kuserahkan padanya sebagai harga apinya.
Itulah sebabnya saya buta karena kedua biji mataku, kiri dan kanan, sudah kucungkil. Ia lalu dipegang oleh gurunya sambil diusap-usapnya dan memujinya, “Kau benar-benar orang hebat, Yusuf, di dunia dan akhirat. Engkau telah masuk ke dalam bilangan sufi dan wali. Engkaulah muridku yang paling kucintai dunia akhirat. Engkaulah muridku yang paling kuanggap duduk di selangkaku sambil memeluk kepalaku karena ketinggian kesufianmu. Engkau jagalah yang telah mempersatukan Kutubu Tajulkhalwatiyah Qaddasallahu Sirruhu. Tak ada lagi yang akan mencapai rahmat Allah sepertimu.”
Setelah itu berkata lagi gurunya, “Ambillah ikan itu dan bakarlah kemudian pergilah makan.” Setelah itu ia membakar ikan itu lalu pergi makan.
Setelah makan, ia dipanggil lagi oleh gurunya lalu berpesan, “Yusuf, kalau engkau bangun tidur untuk salat subuh dan telah berwudu kemudian azan lalu berniat, pejamkanlah matamu bersamaan ketika engkau mengucapkan Allahu Akbar.”
Dalam hatinya Tuanta bertanya-tanya, “Apa yang akan saya pejamkan, biji mataku tak ada lagi.”
Berkata lagi gurunya, “Kalau engkau telah bertakbir ihram, bukalah matamu.”
Tuanta kembali berbisik dalam hati, “Apa yang akan kubuka saya sudah tidak melihat lagi.”
Ketika waktu subuh telah masuk, Tuanta pun terbangun. Lalu ia berwudu kemudian azan. Setelah itu ia iqamat lalu berniat dengan ucapan usalli. Pada saat ia mengucapkan usalli pardassubhi rakaataini adaan Lillahi Taala sambil mengucapkan Allahu Akbar, ia memejamkan matanya. Setelah takbiratul ihram, ia pun membuka matanya. Dengan kekuasaan Allah kedua matanya telah pulih kembali, lalu ia mengatakan, “Inilah sifat kemuliaan Allah.”
Setelah menyempurnakan salatnya, ia membaca tahmid sambil tafakur dan berdoa kepada Allah, mendoakan seluruh umat Muhammad Saw. Sesudah rampung salat dan zikirnya, ia pergi berjabat tangan dengan gurunya sambil minta maaf dan berkata, “Guru, tolonglah saya dan berilah saya berkah.”
Berkatalah gurunya, “Yusuf, ilmu dan pengenalanmu pada dirimu sudah sangat dekat dengan Allah sampai hari kiamat. Namun demikian, saya ingin menambahkannya dengan ilmu tasawuf.
Setelah diajari Syekh Abdul Kadir Jailani berkata, “Yusuf, ketahuilah bahwa semua wali, tupanrita, dan ulama tak ada lagi yang lebih tinggi daripada engkau. Tak ada lagi yang lebih mulia daripada engkau. Engkau jugalah yang paling dekat dengan Rasulullah. Saya beritahukan juga bahwa semua muridku, semua wali hanya menginjak permukaan kakiku, tak mencapai lututku. Akan tetapi, engkau berdiri pada kedua selangkaku sambil memeluk kepalaku. Namun demikian, barulah cukup dan sempurna ilmu tasawufmu dan kesufianmu kalau engkau pergi mencari kuburan Rasulullah Saw.”
===Mencari Kuburan Rasulullah Saw===
Setelah sekian lama dibimbing, Tuanta minta pamit pada gurunya, Syekh Abdul Kadir Jailani, kemudian kembali ke Mekah. Tak berapa lama ia meninggalkan bukit Jailani, Tuanta pun sampailah ke Mekah. Setelah cukup tujuh hari setibanya di Mekah, berkemaslah Tuanta. Semua jamaah haji mengetahui bahwa Tuanta akan mengunjungi kuburan Rasulullah Saw. di Madinah.
Setelah selesai salat berjamaah berangkatlah Tuanta pergi menziarahi kuburan Rasulullah Saw. Ikut pulalah orang-orang Arab, orang Jawi, dan bangsa-bangsa yang lain. Ratusan orang yang mengikutinya. Namun, ada di antara mereka yang hanya sepuluh hari mereka sudah kembali ke Mekah.
Beberapa hari setelah ia meninggalkan Mekah ia pun menoleh ke belakang. Tak ada lagi orang yang mengikutinya kecuali dua orang, yaitu seorang wanita dan seorang laki-laki. Wanita itu adalah seorang yang salihah sedangkan laki-laki itu adalah seorang wali.
Setelah berjalan sekian lama, mereka menemukan sebatang pohon yang sangat besar yang daunnya sangat rimbun. Tuanta pun singgah beristirahat sambil memperhatikan kedua orang temannya. Kedua orang itu pun ikut beristirahat dan duduk di dekat Tuanta. Duduk-duduklah mereka bertiga.
Berkatalah Tuanta, “Hai saudaraku berdua, baik yang laki-laki maupun wanita, kalau kita berangkat sebentar lebih baik kita berpisah-pisah mencari kuburan Rasulullah Saw. Kalau saya yang ditakdirkan Allah menemukannya dahulu maka saya akan mengikutkanmu.
Sebaliknya kalau engkau berdua lebih dahulu menemukannya ikutkanlah saya.”
Kedua orang itu telah pergi sementara Tuanta tinggal tafakur di tempat itu. Tiba-tiba ia membuka matanya sambil menoleh ke belakang ternyata ia tersandar pada bangunan makam Rasulullah Saw. Maka, berdirilah Tuanta pergi mencari pintu bangunan makam itu.
Ia pun menemukan pintu yang di luar sekali sedangkan bangunan makam itu ada tujuh pintunya. Adapun Tuanta, ia berdiri di depan pintu itu sedangkan setiap pintu dijaga oleh tujuh orang yang telah dikebiri semuanya.
Tuanta tetap berdiri di luar pintu yang paling luar. Ia tak sadarkan dirinya kira-kira tiga jam lamanya. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya atau dilakukannya.
Kalau ia membuka matanya ia lupa lagi, demikian seterusnya. Kalau ia payah berdiri ia duduk lagi tafakur melupakan dirinya. Ada kalanya ia merasakan dirinya seperti kakinya di atas, kepalanya di bawah. Ia tidak tidur dan tidak makan. Pada hari yang ke-47 barulah ia diberi kesadaran untuk berbicara oleh Allah.
Katanya, “Penjaga, saya bertanya padamu, di manakah engkau melihat gajah yang tujuh kepalanya dan tujuh juga lubang pantatnya?”
Penjaga pintu itu membalas, “Saya juga ingin bertanya padamu.
Siapakah engkau, Arabkah atau Jawikah?” Tuanta menjawab, “Saya adalah Jawi.”
Berkatalah penjaga pintu itu, “Saya tidak pernah mendengar atau melihat apa yang engkau sebutkan, barangkali di dalam ada yang pernah melihat.” Keenam penjaga pintu itu ia tanyai, namun jawaban mereka sama. Akhirnya sampailah ia pada pintu yang ketujuh.
Tiba-tiba ia melupakan semua pertanyaannya yang diucapkan di depan penjaga pintu. Ia pun berdiri di depan pintu selama tiga hari tiga malam melupakan dirinya.
Pada hari yang keempat barulah ia ingat pada pertanyaan yang pernah diucapkannya, lalu ia bertanya, “Penjaga pintu, saya ingin bertanya padamu, di manakah engkau melihat gajah yang tujuh kepalanya dan tujuh juga lubang pantatnya?”
Berkatalah penjaga pintu itu, “Siapakah engkau, Arabkah atau Jawikah.” Berkatalah Tuanta, “Saya Jawi.” Berkatalah penjaga pintu itu, “Saya bingung mendengar pertanyaan itu, saya tidak pernah mendengar atau melihat, barangkali di dalam ada yang tahu”
Kemudian dibukalah pintunya lalu Tuanta masuk. Setiba di dalam makam Rasulullah, ia pun duduk tafakur menghadap Nabi Saw.
Alangkah banyaknya hal membingungkan yang ia lihat. Ia melihat seekor ular yang sangat besar dan 
Setelah ular berlalu, ia melihat lagi seekor naga yang telah menelan kepalanya. Ia tetap diam tak berkata-kata hanya tafakur terus. Setelah naga berlalu muncul lagi seekor lipan yang sangat besar dan hitam menelan kepalanya sampai selangkanya. Tuanta terus diam sambil memperbaiki ingatannya pada Nabi.
Setelah lipan berlalu muncul lagi seekor kalajengking yang sangat besar menjepit pinggangnya, namun Tuanta tetap diam. Setelah itu masih banyak hal yang menakutkan sebagai ujian, namun hatinya tidak pernah goyah. Oleh karena itu ia dikasihani oleh Allah Swt.
Akhirnya, ia melihat Rasulullah sedang duduk di hadapannya sambil berkata. “Wahai Yusuf, engkau benar-benar telah menghadap Allah, Tuhan seru sekalian alam. Ketulusan hati dan pengharapanmu pada Allah untuk bertemu dengan saya di dunia sampai akhirat sudah terbukti.” Berkatalah Tuanta, “Demikianlah niatku ya Rasulullah.”
Nabi lalu berkata, “Wahai Yusuf, engkau telah mendatangi imam empat, wali empat puluh, guru para wali Abu Yazid Bustami, dan rajanya para wali Syekh Abdul Kadir Jailani, akhirnya sampai pada saya.”
“Apalagi yang akan saya berikan dan ajarkan karena kesufian dan kewalianmu telah sempurna, engkau jugalah yang bernama tusalamaka. Hanya yang dapat kuajarkan dan kusampaikan padamu adalah yang disebut pengenalan atau makrifat, penyelesaian, dan keheranan.”
Saya sampaikan kepadamu Yusuf, andai kata masih ada Nabi yang diutus Allah selain Nabi Muhammad, engkaulah orangnya. Akan tetapi, sudah tak mungkin lagi ada nabi sesudahku.”
Oleh karena itu, engkau saya beri nama Qutuburrammaniah wal- Arifissamadaniah, orang yang selamat dunia akhirat.” Namun, saya berharap padamu agar engkau pergi mengunjungi Qasad Masriq yang telah 1880 tahun meninggalnya. Ia berada di hulu sungai Bukit Qaf. “Engkau akan menemukannya.”
Setelah itu, ia berjabat tangan dengan Nabi kemudian berjalan keluar. Setiba di pintu ia menoleh ke belakang, tetapi tidak melihat lagi Nabi Saw.
Ia terus berjalan keluar sampai di pintu pertama. Tak ada satu pun penjaga pintu melihatnya. Orang Habsyi penjaga pintu itu heran sambil mereka berkata, “Orang Jawi ini dikasihi Allah.” Tuanta terus berjalan ke arah Bukit Qaf.
Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya ia menemukan tempat Qasad Masriq yang telah dililit akar kayu. Hanya tangannya yang bergerak-gerak yang diabdi oleh 40 orang murid-muridnya.
Setelah Tuanta sampai ke sana, ia hanya berdiri terheran-heran selama sejam dan tidak berbicara. Bertanyalah Qasad Masriq, “Yusuf, marilah, apa maksud kunjunganmu ke sini?”
Tuanta menjawab, “Tuan yang saya kunjungi, berilah saya berkah.” Berkatalah Qasad Masriq, “Yusuf, apalah yang akan saya berikan padamu padahal engkau telah mendatangi Nabi. Tak seorang pun yang dapat melebihinya, baik raja maupun ulama di dunia sampai di akhirat.” Berkatalah Tuanta, “Saya datang kemari atas petunjuk Rasulullah.”
Berkatalah Qasad Misriq , “Yusuf, maukah engkau mendengarkan ucapanku?” Tuanta pun mengiakan, “Aku merelakan tubuhku karena keinginan Tuan” Kata Tuanta.
Berkatalah Qasad Misriq, ”Yusuf, saya minta kepadamu untuk menyusuri sungai itu. Janganlah berhenti sebelum menemukan hulunya.” Setelah mendengar ucapan gurunya, ia pun turun ke sungai. Kedalaman air di sungai itu sampai di leher, sedangkan kedangkalannya setinggi lutut. Tuanta berenang di sungai itu selama 40 hari dan 40 malam barulah sampai di hulu. Warna airnya merah seperti kesumba, sedangkan rasanya ada tiga macam. Ada yang manis dingin, lezat, dan lembut.
Menghadapi tantangan itu, Tuanta tak pernah kelihatan resah sedikit pun. Ia selalu mengharap ampunan dan kasih sayang Allah padanya. Kalau sampai waktu salat ia naik ke darat menggelar sajadahnya kemudian salat. Kalau selesai ia kembali lagi ke dalam sungai. Begitulah kelakuannya terus-menerus.
Pada hari Jumat sore, ia naik ke pantai untuk salat Asar. Setelah selesai azan, ia lalu membuang takbir ihramnya. Tiba-tiba muncul Iblis ingin mengganggunya.
Saat itu muncullah Nabi Yusuf menjelmakan dirinya lalu memukulkan sejadahnya pada Iblis sambil berkata, “Iblis, jangan coba-coba mengganggu temanku. Tahukah engkau bahwa dialah yang disebut tusalamaka, orang yang selamat? Kalau engkau ingin mengganggunya, setiap hari saya akan menghancurkanmu,” maka hancurlah Iblis.
Tuanta dapat mencapai hulu sungai itu. Airnya mengalir dengan deras dari atas ke bawah. Tuanta berusaha memanjat naik berpegang pada batu, sementara air menghempasnya dengan derasnya. Ia terus berusaha naik dengan berpegangan pada duri-duri batu untuk mencapai puncak. Sudah 40 hari memanjat, namun ia belum mencapai puncaknya. Kuku kaki dan tangannya sudah habis terkikis oleh duri-duri batu. Ia hanya tafakur berserah diri kepada Allah sepenuhnya sambil memusatkan hatinya pada puncak di hulu sungai.
Suara air yang menggemuruh datang dari bawah sehingga Tuanta tak sadarkan diri. Ia selalu bertawakal kepada Allah. Sambil memejamkan mata ia mengucapkan La haula wa la kuata illa billahil aliyul adzim, tiada daya dan kekuatan tanpa pertolongan-Mu, ya Allah.
Setelah membuang diri ke dalam air, Tuanta pun tenggelam melupakan dirinya. Yang diingatnya hanya Allah semata. Kira-kira sejam lamanya barulah ia muncul ke permukaan air. Setiba di atas yang dilihat adalah surga di sebelah kanannya dan neraka di sebelah kirinya.
Jubahnya telah diselimuti oleh cahaya intan dan zamrud, sedangkan wajahnya sudah sangat bercahaya karena cahaya intan dan zamrud. Maka berjalanlah Tuanta ke surga.
Sesampai di pintu surga, Nabi telah berdiri di pintu menggapai tangannya sambil berkata, “Yusuf saya telah lama menunggumu.” Maka sujudlah Tuanta sambil memegang tangan Nabi Saw. Sambil berpegangan tangan keduanya masuk ke dalam surga. Setiba di dalam surga mereka pun berkeliling. Ia mencatat semua rumah, tingkah laku di surga, dan semua perbuatan yang baik.
Jumlahnya 7 juta 777 tingkah laku dan perbuatan yang baik yang dicatatnya, itu pun belum sepertiganya. Apabila Tuanta berjalan di dekat pohon yang berbuah, pohon itu membengkokkan pohonnya hingga ke tanah sambil berteriak, “Yusuf, tusalamaka, orang selamat di dunia dan akhirat, makanlah buahku ini semoga saya dapat selamat juga seperti engkau.” Dia berada di surga kira-kira empat bulan.
Pada suatu hari, hari Jumat berkatalah Nabi Muhammad Saw., “Yusuf, kembalilah ke dunia karena pada sulbimu terdapat keturunan.” Tuanta menjawab, “Ya, Rasulullah, hal inilah yang aku hadapkan kepadamu. Aku ini belajar hanyalah karena mengharapkan tempat ini.” Nabi Saw. lalu berkata, “Benar ucapanmu itu, tetapi kembalilah dahulu ke dunia, karena kita harus lebih dahulu melalui kematian. Saya saja yang disebut Nabi Muhammad harus melalui kematian apalagi engkau. Adapun tempat ini saya akan berdoa kepada Allah untukmu dan pasti engkau akan menjadi penduduk surga.”
Berkatalah Tuanta, “Ya Rasulullah, kasihanilah saya telah masuk ke dalam surga tetapi saya disuruh lagi kembali ke dunia.”
Nabi Saw. menenangkan Tuanta, “Yusuf, Allah telah menjanjikanmu bahwa engkau memiliki keturunan dua orang laki-laki. Anakmu itu akan menjadi tupanrita. Dialah yang akan mengislamkan negeri yang jauh dari Mekah. Kalau engkau tak mau mendengarkanku, engkau akan mendapat bahaya.”
Setelah itu, Rasulullah berkata, “Wahai penjaga neraka, bukalah neraka itu walau pun hanya sebesar lubang jarum.” Setelah Malaikat mendengar ucapan Nabi Saw., penjaga neraka itu membuka pintu neraka sebesar lubang jarum. Asap neraka itu berhembus keluar menempias Tuanta. Asap itu sangat gelap. Tuanta segera bertafakur karena tak dapat menahan bau busuk. Bau busuk itu beraneka ragam. Hanya Allah yang mengetahuinya. Tuanta pun berteriak memanggil, “Ya Rasulullah, saya sudah ingin keluar, kembali ke dunia.” Berkatalah Nabi, “Baiklah.”
Nabi berkata lagi, “Tutuplah pintu neraka itu.” Setelah pintu neraka tertutup, barulah Tuanta berani membuka matanya. Ia pun minta ampun pada Rasulullah Saw.
Berkatalah Tuanta, “Wahai seluruh umat Muhammad Saw. mintalah perlindungan dari Allah supaya terhindar dari anginnya neraka yang busuknya tiada bandingannya. Alangkah sakitnya orang yang mendapat siksaan di neraka. Saya hanya merasakannya tidak cukup sekejap saya tetap minta perlindungan dari Allah. Semoga Allah mengampuni semua orang mukmin dan dijauhkan dari siksaan itu. Anginnya saja sudah tak bisa ditahan apalagi siksaannya.”
Setelah itu berkatalah Nabi, “Yusuf, peganglah jubahku, saya kembalikan engkau ke dunia. Tuanta pun lalu berpegang pada jubah Nabi. Selanjutnya, Nabi berkata, “Yusuf, pejamkanlah matamu apabila kita berjalan, tetapi kalau membuka matamu, engkau akan jatuh.” Nabi Saw. lalu berjalan diikuti oleh Tuanta. Baru saja dua atau tiga kali melangkah Tuanta mulai lupa pada pesan Nabi. Tiba-tiba ia membuka matanya dan jatuhlah Tuanta ke Padang Mahsyar. Ia pun tenggelam ke dalam debu sebatas paha dan ia tidak melihat Nabi.
Tuanta lalu berteriak dengan keras, “Ya Rasulullah, tolonglah saya.”
Kira-kira sejam kemudian barulah Nabi datang menariknya. Nabi Saw. tersenyum sambil berkata, “Saya telah memperingatimu supaya tidak membuka mata, tetapi engkau melanggarnya. Itulah yang terjadi.”
Ia pun minta ampun pada Rasulullah Saw.
Selanjutnya, Nabi berkata, “Yusuf, berpeganglah di jubahku. Bukalah matamu apabila saya menyuruh membukanya.”
Baru saja dua atau tiga langkah Nabi berjalan, Tuanta telah mendengar suara, “Yusuf, bukalah matamu.”
Tuanta pun membuka mata, tetapi dia tidak melihat lagi Nabi Saw. Dengan kekuasaan Allah, Tuanta telah berada di depan pintu Masjid Haram di Mekah. Kemudian ia terus pergi mengetuk pintu masjid. Ia memanggil penjaga pintu supaya dibukakan pintu. Penjaga pintu bertanya, “Siapakah engkau, Arab atau Jawi?” Tuanta pun menjawab, “Saya Jawi.”
“Saya tak dapat membuka pintu ini karena sudah di tutup.” Kata penjaga pintu.
Tuanta lalu memiringkan serbannya dan masjidil Haram pun jadi miring. Jamaah yang sementara salat pun berjatuhan. Berkatalah Imam yang empat, “Alamat apa lagi ini sehingga timbul peristiwa ini. Hanya peristiwa Syekh Yusuf seperti ini dalam pesan Sayidina Ali. Sekarang Yusuf sudah tidak ada.”
Khalifah berkata, “Cobalah buka pintu, barangkali Yusuf mendapat rahmat Allah sehingga ia datang kembali.”
Sementara itu, Tuanta sudah memperbaiki kembali letak sorbannya sebelum dibukakan pintu. Para Khalifah dan Imam Empat pun keluar melihatnya, mereka menyambutnya dan mencium tangan Tuanta. Kemudian mereka berkata, “Memang kami perkirakan bahwa terjadinya peristiwa ini mungkin karena Yusuf telah kembali atas rahmat Allah.” Tuanta lalu dipersilakan menjadi imam dan semua orang yang hadir dalam masjid ikut menjadi makmum. Selesai salat, Tuanta menceritakan segala yang dilihat dan didengarnya karena semua tupanrita, ulama, dan para ahli hikmah bertanya. Tuanta menceritakan segala benda yang ada di surga, seperti mahligai, istana, buah-buahan, sungai, semuanya indah sekali. Mereka yang mendapatkan surga dengan segala kenikmatannya ialah yang selamat dunia akhirat.
Semua orang yang ada di masjid yang mendengar cerita Tuanta ini menjadi terheran-heran termasuk para wali, tupanrita, dan para ahli hikmah. Mereka kagum melihat kewalian dan kesufian Tuanta yang bergelar Tuanta Salamaka, orang yang selamat dunia akhirat.
Gembiralah semua orang yang mendengarnya. Selain itu, Tuanta juga menceritakan keadaan di neraka serta orang-orang yang mendapat siksaan di dalamnya.
Berkatalah Tuanta, “Wahai semua yang hadir, jaga iman, laksanakan segala perintah Allah, dan jauhi segala larangan Allah dan nabinya. Tidak ada yang paling sakit daripada terkena angin neraka, apalagi kalau terkena siksaan di dalamnya.” Setelah itu kembalilah Tuanta ke rumahnya. Berita tentang kewalian dan kesufiannya telah tersebar ke seluruh penduduk Mekah, Madinah, Rum, Mesir, dan seluruh daerah bawahan Mekah. Demikian pula oleh Syekh Mas’um sehingga pada suatu hari, ia mengumpulkan semua muridnya lalu berkata. “Marilah kita kunjungi Syekh Yusuf. Kewalian dan kepintarannya sangat terkenal. Bagaimana ia dapat mengalahkan kita, sedangkan ia hanyalah Jawi dan kita adalah Sayyid.”
Syekh Mas’um bersama 40 orang muridnya mengunjungi Syekh Yusuf. Setiba di sana ia memberi salam, “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, wahai Syekh Yusuf.”
Tuanta lalu membalas salamnya dengan, “Waalaikumsalam,” kemudian mereka dipersilakan duduk dalam bahasa Makassar. Syekh Mas’un sangat heran mendengar ucapan Syekh Yusuf karena ia tidak tahu bahasa Makassar.
Berkatalah Syekh Mas’un, “Syekh Yusuf, saya mengunjungimu karena saya ingin bertanya sebenar-benarnya kepadamu.” Berkatalah Tuanta, “Syekh Mas’un bertanyalah dan saya akan menjawabnya karena Allah dan berkah Nabi. Semoga Allah mengasihi saya.”
“Syekh Yusuf, bagaimana penyatuanmu dengan Allah sehingga engkau disebut bersatu dengan sungguh-sungguh?” tanya Syekh Mas’un.
Berkatalah Tuanta, “Syekh Mas’un, kalau penyatuanku dengan Allah engkau ingin tahu dengarlah. Saya merasa bersatu dengan Allah sekarang ini dengan sebenarnya karena saya mempersatukan yang dua, yaitu Allah dan Hamba. Kemudian saya pisahkan keduanya, lalu saya berdiri di antaranya. Demikian penyatuanku dengan Allah.”
Setelah Syekh Mas’un mendengar jawaban Tuanta, maka sujudlah sambil memegang tangan Tuanta kemudian ia berkata lagi, “Syekh Yusuf, wahai Tuan bagaimana dengan makrifatmu kepada Allah yang sebenar-benarnya.”
Berkatalah Tuanta, “Dengarkanlah saya akan jelaskan. Makrifatku kepada Allah adalah saya tidak tahu apakah Allah sama dengan saya atau saya sama dengan Allah selamanya, seumur dunia ini. Pikirkanlah makhluk Allah dan jangan pikirkan tentang zat-Nya."
Setelah Syekh Mas'un mendengar jawaban Tuanta, ia pun sujud sambil memegang lutut Tuanta. Dari percakapan dan pencerahan itu, semua murid Syekh Mas'un beserta seluruh yang hadir tunduk pada Tuanta.
- ) Referensi digali dari sumber tradisi lisan, maupun naskah klasik lontarak dan sumber lainnya yang relevan dan dikreasi ulang).
TENTANG PENULIS

LABBIRI, S.PD., M.PD., Lahir di Bakabori, Kab. Gowa, 5 Juni 1981. Tenaga pendidik di Disdik Kab. Gowa sejak 2006. Pengurus PGRI Cabang Parigi Kabupaten Gowa (2006–2018). Pegiat Rumah Literasi Gamacca (Gerakan Masyarakat Membaca) Bawakaraeng (2017–kini)
Menyelesaikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah UNM 2005, S-2 Bahasa dan Sastra Indonesia Unismuh 2010. Banyak buku telah diterbitkan a.l. Sastra Klasik Rapang dan Pappasang (2010), Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal (2016), Membangun Karakter dan Budaya Literasi: Menguak Literasi Pembelajaran Berkarakter (2017), Sastra Kelong (Menyibak Literasi Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal) (2018), Novel Sejarah TUSALAMA’ (Menguak Kisah Syekh Yusuf Al Makkassar yang Menginspirasi Generasi Zaman Now) (2019), dan Sastra Anak I Kukang (Penerbit Kanaka Press, Terbit 2021),