Kisah Tuanta Salamaka/Bab 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Perjalanan ke Tanah Suci Mekah

Setelah cukup empat puluh hari pernikahannya, Tuanta meminta istrinya kembali ke istana karena ia bersiap ke tanah suci. Ia pun mengantar istrinya ke istana kemudian kembali ke rumahnya untuk berkemas-kemas berangkat menuju tanah suci Mekah.

Seusai berkemas, ia pun menentukan hari yang baik. Setibanya waktu yang diinginkannya ia pun pergi bersama I Lokmok ri Antang. Mereka berlayar tujuh hari tujuh malam di samudera yang luas. Tiba-tiba juru mudi meminjam pisau pada juru batu untuk dipakai memotong kuku. Dengan tidak disadari pisau itu jatuh ke laut.

Juru batu sangat marah kepada juru mudi begitu tahu pisaunya hilang, bahkan hampir saja terjadi perkelahian di antara keduanya. Akibatnya, perahu berlayar tak tentu arah.

Berkatalah Tuanta, “Hai Juru mudi mengapa perahu tak menentu jalannya?”

Juru mudi menjawab, “Pisauku hilang, Tuan.”

“Jatuhnya di mana, apakah di depan sangkilang atau di belakangnya?” tanya Tuanta.

“Di belakang sangkilang,” jawab Juru mudi.

“Siapa yang punya ikan kering? Kalau ada, bawalah seekor ke sini,” kata Tuanta.

Juru mudi pun pergi mengambil ikan kering yang bernama ande-ande lalu menyerahkannya kepada Tuanta. Tuanta kemudian meniup mulut ikan tersebut sambil berkata, “Carilah pisau Juru mudi.” Selanjutnya ikan diserahkan kepada Juru mudi sambil berkata, “Jatuhkanlah ikan itu di tempat jatuhnya pisaumu.”

Dengan kebesaran Allah, tidak begitu lama pisau itu telah ada dibawa oleh ikan.

Berkatalah Tuanta, “Peganglah baik-baik jangan sampai ia lepas.” Juru mudi pun mengambil ikan dan pisau itu. Alangkah gembiranya semua yang ada dalam perahu.

“Apalagi yang Karaeng cari di sana, di Mekah. Semua sudah Karaeng miliki. Lebih baik Karaeng pulang saja,” kata semua orang yang di perahu.”

Kata Tuanta, “Ini belumlah menunjukkan kesempurnaan ilmu, nanti di sana baru kita lihat ilmu Allah yang sebenarnya.”

Selama beberapa hari mereka berlayar di laut luas, akhirnya tibalah mereka di negeri Batavia. Dari sana mereka menumpang kapal menuju Seilon. Beberapa hari dalam pelayaran bermufakatlah ILA dengan kapten kapal, “Saya melihat Yusuf itu memiliki sifat yang agak lain, ia seperti mempunyai ilmu hitam.” ILA pun membenarkannya sehingga semua penumpang kapal benci kepada Tuanta.

Tuanta pun membaca keadaan ini.