Kisah Tuanta Salamaka/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Peristiwa Mistis dalam Pelayaran

Pada suatu sore, berkatalah Tuanta, “Kapten, tampaknya engkau tidak senang padaku, mengapa? Janganlah berbuat seperti itu. Sebagai hamba Allah, kita harus saling mengasihi satu dengan yang lain.” Sang Kapten pun diam seribu bahasa.

Setelah Tuanta melihat raut muka kapten itu, ia pun berkata, “Kalau memang demikian pikiranmu terhadapku, baiklah.”

Ketika waktu Zuhur tiba, ia pun pergi mengambil wudu lalu salat dua rakaat. Setelah itu ia duduk tafakur sambil berzikir dengan menggerakkan kepala ke kanan. Dengan kebesaran Allah, kapal itu miring ke kanan. Air pun telah masuk ke dalam kapal. Pinggir kapal telah rapat ke air. Ketika kapten melihat kelakuan Tuanta, ia pun sangat takut. Semua penumpang berteriak ketakutan. Melihat hal itu sang kapten pun merasa takut lalu ia pergi memegang kaki Tuanta sambil memeluknya dan berkata, “Ampunilah saya Tuan.”

Tuanta pun menarik kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu kapal pun kembali tenang. Berkatalah Tuanta, “Hai, Kapten, janganlah minta ampun padaku, hanya Allah tempat kita minta ampun.” Kapten itu terdiam, sedangkan I Lokmok ri Antang merasa sangat malu pada Tuanta.

Suatu hari mereka melihat sebuah pulau. Pulau itu biasa disinggahi orang-orang yang akan pergi haji. Untuk sampai di pulau itu, kira-kira membutuhkan waktu pelayaran tiga hari lagi. Tuanta berfirasat bahwa para penumpang tidak senang kepadaku, lebih baik saya tinggalkan kapal ini.

Ketika masuk waktu Zuhur Tuanta pun mengambil wudu lalu berkata, “Kapten, janganlah bersedih karena saya akan meninggalkan kapalmu hari ini juga dengan kehendak Allah. Setelah itu ia berniat salat. Pada saat takbiratul ihram dengan ucapan “Allahu Akbar” putus pulalah jiwanya.

Disiapkanlah untuk dimandikan, dikafani, kemudian disalati. Setelah disalati diambilkanlah besi yang bersegi empat, satu diikatkan pada lehernya, satu pada pinggangnya, dan satu pada kakinya, lalu dibuanglah ke laut, maka tenggelamlah jenazahnya.

Sesudah dibuang maka angin pun tenang sehingga kapal tak dapat bergerak selama tiga hari tiga malam. Nanti pada hari keempat barulah angin bertiup dengan baik setelah I Lokmok ri Antang berdoa. Berlayarlah kapal itu selama tiga hari tiga malam sehingga sampailah ke pulau itu.

Berkatalah kapten kepada I Lokmok ri Antang, “Kita singgah dahulu di pulau ini mengambil air.” Maka, singgahlah mereka membuang jangkar dan menurunkan sekocinya. Turunlah 8 (delapan) anak buah kapal sambil membawa tempat airnya.

Berkata lagi kapten kepada I Lokmok ri Antang, “Lebih baik kita naik bersama untuk mengambil air.” Turunlah ILA ke sekoci bersama orang Jawa yang akan naik haji, kemudian turun pula kapten kapal itu. Mereka bersama- sama menuju pulau itu.

Tiba-tiba sekoci itu kandas. Kapten menengok ke bawah sambil berkata, “Saya melihat besi ini seperti besi yang dipakai mengikat Yusuf.”

Menjawablah Juru mudi itu, “Betul, inilah besinya Tuan.”

Semua penumpang sekoci bingung melihat kejadian itu. Lalu turunlah I Lokmok ri Antang bersama orang Jawa yang akan pergi haji kemudian menyusul juga sang kapten. Mereka pun berjalan naik ke pulau itu.

Setiba di atas mereka bertemu dengan Tuanta menutup kepalanya dengan sajadah sambil mengucap, “Assalamualaikum, telah tujuh malam aku menunggumu di sini, namun baru saja kalian tiba.”

Mereka menutup mulutnya tanda heran sambil berkata dalam hati mereka, “Benar-benar Yusuf itu seorang wali.”

Setelah itu sang kapten bertanya, “Hai Tuan, di manakah ada air?” Berkatalah Tuanta, “Mari, ikuti saya.” Mereka pun berjalan mengikutinya. Setelah sampai pada tempat yang dimaksud, mereka mandi hingga sampai waktu Asar.

Berkatalah Kapten, “Hai I Lokmok ri Antang, silakan mandi dahulu, saya akan turun ke kapal. Ingat, jangan kamu lewat jam lima karena perahu segera berlayar.

Setelah kapten turun, maka tinggallah mereka berempat, yakni dua orang Jawa, I Lokmok ri Antang, dan Tuanta. Tidak berapa lama, datanglah seorang orang tua memberi salam, “Assalamualaikum. Yusuf, akan ke mana engkau?”

Yusuf pun menjawab, “Waalaikumsalam, Nek. Saya akan naik haji mencari amalan dan mencari kebenaran sesungguhnya orang yang bernama Muhammad.”

Berkatalah orang tua itu, “Nak, kalau hanya amal yang akan kau cari biar saya saja yang membimbingmu berempat.”

Mereka berkata dalam hati, “Ini wali rupanya.” Mereka pun menyahut, “Baiklah, Nek.”

Mereka berkata lagi, “Amal apa itu, Nek?”

Orang tua itu menjawab, “Telah tujuh hari saya tidak tidur dan saya ingin sekali memejamkan mata walaupun hanya sejam. Saya ingin kamu semua merentangkan kaki kemudian saya tidur di atasnya. Engkau Yusuf di kepalaku. Kita berjanji, janganlah kalian pergi sebelum saya bangun.”

“Baiklah,” kata Tuanta. Mereka pun merentangkan kakinya masing-masing kemudian orang tua itu naik tidur. Yusuf yang memangku kepalanya. Setelah sampai jam lima, berkatalah I Lokmok ri Antang kepada kedua orang Jawa itu, “Bagaimana pendapatmu, lebih baik kita kembali ke kapal, nanti kita ditinggalkan.

Mereka bertiga pergi ke kapal. Setiba di sana kapal pun berlayar. Tinggallah Tuanta sendirian memangku kepala orang tua itu.

Malam pun tiba, kemudian pagi, dan akhirnya orang tua itu meninggal. Tuanta tetap tinggal memangku kepalanya. Dalam kebingungannya, selama tiga malam Tuanta berdoa kepada Allah Swt. Perut mayat orang tua tersebut sudah mulai membengkak dan berulat.

Baunya sangat busuk. Ulatnya sebesar jari kelingking menjalar ke muka Tuanta. Tuanta tetap berzikir membaca, “La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah.” Keadaan seperti itu berlangsung selama beberapa malam. Tuanta sebenarnya sedang diuji.

Setelah pagi hari di hari yang ketujuh, Tuanta mendengar suara orang yang bersin. Barulah juga ia membuka matanya. Ia melihat ternyata orang Tua itu masih ada. Badannya tidak kurang sedikit pun. Berkatalah orang tua itu, “Engkau benar-benar manusia, Yusuf. Begitulah yang disebut manusia.”

Orang tua itu bangun sambil berkata, “Engkau tak mengenal saya, Yusuf? Sayalah adalah Nabi Khaidir dan saya inilah orang tuamu. Saya beritahukan engkau Nak, Tidak perlu engkau ke kuburnya Muhammad karena tubuh Muhammad, sayalah ini.”

Berkatalah Tuanta, “Walaupun demikian Nek, saya telah berhajat untuk bertemu dengan ruh Muhammad dan saya telah berniat untuk menginjak tanah suci.”

Orang Tua itu berkata lagi, “Apa yang kaubuat di Mekah dan Madinah, kalau hanya ilmu, ilmu itu telah ada semuanya pada engkau, tak ada lagi kekuranganmu. Engkaulah yang disebut orang selamat (Tusalamaka) dunia akhirat.”

Berkatalah Tuanta, “Walaupun demikian, Nek, berilah saya berkah.”

Sang orang tua pun berkata, “Berkah apa lagi yang kau minta padaku. Berkah itu telah ada semua dalam perutmu, namun demikian mengangalah.” Tuanta pun menganga. Sang orang tua lalu meludahi mulut Tuanta kemudian berkata, “Telah ada semua padamu, segala yang engkau niatkan akan diberikan oleh Allah.”

Berkatalah Tuanta, “Bagaimana caranya saya dapat sampai ke Mekah karena kapal sudah tiada.” Berkatalah Nabi Khaidir, “Niatkanlah kemudian engkau berjalan, engkau akan sampai ke kapal itu.” Mereka pun lalu berjabat tangan kemudian pergi.

Ketika menoleh ke belakang Nabi Khaidir pun telah hilang. Tuanta pun pergi sambil meniatkan dalam hati kapal itu, lalu dipegangnya pinggir kapal kemudian ia naik. Semua penumpang yang ada di kapal heran melihat kelakuan Tuanta.

Mereka pun berlayar, kira-kira pelayaran tujuh hari lagi sudah sampai di Jeddah, ILA meninggal. Setelah dimandikan, dikafani, disembahyangi lalu dibacakan doa oleh Tuanta, kemudian ia dibuang ke laut.

Selama tiga hari tiga malam kapal tidak bergerak karena tidak ada angin. Kapten kapal pun merasa susah karena kapal tak dapat bergerak. Dengan kebesaran Allah, tiba-tiba muncul ikan besar yang bernama Nung yang menyangkutkan jangkar kapal pada mulutnya lalu ia melarikan kapal itu ke Jeddah. Air pun masuklah pada bagian haluan dan buritan kapal. Karena itu, hanya dalam sehari mereka telah sampai di Jeddah.

Mereka membuang jangkar di pelabuhan Jeddah dan ikan Nung itu pun hilang. Sekoci pun diturunkan. Turunlah kapten dan Tuanta ke dalam sekoci bersama 15 orang penumpang lainnya. Bersamaan dengan itu sekoci itu kebetulan menyentuh besi yang digunakan mengikat I Lokmok ri Antang.

Kapten kapal melihat ke bawah sekoci ternyata besi itu sama yang dipakai sebagai pemberat bagi I Lokmok ri Antang. “Benar inilah dia,” kata Juru mudi.

Semua penumpang di atas sekoci merasa heran, sedangkan Tuanta telah berangkat ke darat bersama kapten. Dengan kekuasaan Allah tiba-tiba I Lokmok ri Antang muncul dari darat dengan memakai jubah sambil menyelempang sajadahnya dan langsung pergi memegang tangan Tuanta sambil mengucapkan salam, “Assalamualaikum, salam itu dibalas dengan “Waalaikumsalam.”

Berkatalah I Lokmok ri Antang, “Telah beberapa hari saya di sini menunggumu,” Tuanta pun tersenyum sambil berkata, “Alangkah bingungnya saya I Lokmok ri Antang karena engkau telah meninggalkanku.”

I Lokmok ri Antang menjawab, “Engkaulah yang menyuruhku pergi duluan. Itulah sebabnya saya pergi.” Selanjutnya, I Lokmok ri Antang pergi menemui teman-temannya yang pernah sekapal. Sang kapten bersama seluruh penumpang kapal heran melihat I Lokmok ri Antang.

Berkatalah Tuanta, “I Lokmok ri Antang, engkau sebenarnya telah berada pada kedudukan yang diridai Allah. Janganlah terlalu lama di sini nanti malaikat marah. Engkau telah mendapatkan tempat yang sebut “Hayyon fi Al-daraen” artinya hidup pada dua kampung (dunia dan akhirat)” Setelah itu Tuanta pun berjabat tangan dengan I Lokmok ri Antang. Kapten bersama penumpang menoleh kepada I Lokmok ri Antang, namum tiba-tiba mereka sudah tidak melihatnya lagi.