22509Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 — Bab III – Bagian Keempat – Paragraf 9
Paragraf 9 Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Pasal 49
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158);
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252);
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018); dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405).
Pasal 50
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi standar.
Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi standar.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Templat:PUU pasal
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam 1 (satu) hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota.
Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam:
bentuk rumah susun umum yang dibangun dalam satu hamparan yang sama; atau
bentuk dana untuk pembangunan rumah umum.
Pengelolaan dana dari konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam bentuk rumah susun umum.
Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.
Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan perumahan dengan hunian berimbang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab:
menyediakan tanah bagi perumahan; dan
melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan
pemastian kelayakan hunian.
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun
yang masih dalam tahap pembangunan dapat
dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
status pemilikan tanah;
hal yang diperjanjikan;
Persetujuan Bangunan Gedung;
ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
Pengendalian perumahan dilakukan mulai dari tahap:
perencanaan;
pembangunan; dan
pemanfaatan.
Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk:
Perizinan Berusaha atau persetujuan;
penertiban; dan/atau
penataan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55
Orang perseorangan yang memiliki rumah umum
dengan kemudahan yang diberikan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah hanya dapat menyewakan
dan/atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah
kepada pihak lain dalam hal:
pewarisan; atau
penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5
(lima) tahun.
Dalam hal dilakukan pengalihan kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengalihannya wajib dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk atau dibentuk oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam bidang perumahan dan
permukiman.
Jika pemilik meninggalkan rumah secara terus-menerus dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun tanpa memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berwenang mengambil alih kepemilikan rumah tersebut.
Rumah yang telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didistribusikan kembali kepada MBR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukkan dan
pembentukan lembaga, kemudahan, dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah MBR diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107
Tanah yang langsung dikuasai oleh negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan,
dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui
pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang
melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman.
Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didasarkan pada penetapan lokasi atau persetujuan kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan perumahan dan permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.
Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 109
Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilaksanakan bagi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.
Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh bupati/wali kota.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah
ditetapkan oleh gubernur.
Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak memerlukan persetujuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang.
Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 114
Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah badan hukum memperoleh persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah tercapai kesepakatan bersama.
Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA BADAN PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
Pasal 117A
Untuk mewujudkan penyediaan rumah umum yang
layak dan terjangkau bagi MBR, Pemerintah Pusat membentuk badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat bertujuan untuk:
mempercepat penyediaan rumah umum;
menjamin bahwa rumah umum hanya dimiliki dan dihuni oleh MBR;
menjamin tercapainya asas manfaat rumah umum;
dan
melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah
umum dan rumah khusus.
Badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi mempercepat penyelenggaraan perurmahan dan kawasan permukiman.
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), badan percepatan penyelenggaraan
perumahan bertugas:
melakukan upaya percepatan pembangunan perumahan;
melaksanakan pengelolaan dana konversi dan pembangunan rumah sederhana serta rumah susun umum;
melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian;
melaksanakan penyediaan tanah bagi perumahan;
melaksanakan pengelolaan rumah susun umum dan rumah susun khusus serta memfasilitasi penghunian, pengalihan, dan pemanfaatan;
melaksanakan pengalihan kepemilikan rumah umum dengan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah;
menyelenggarakan koordinasi operasional lintas sektor, termasuk dalam penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
melakukan pengembangan hubungan kerja sama di bidang rumah susun dengan berbagai instansi di dalam dan di luar negeri.
Pasal 117B
Badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 A terdiri atas:
unsur pembina;
unsur pelaksana; dan
unsur pengawas.
Unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berjumlah 5 (lima) orang yang proses seleksi dan pemilihannya dilakukan oleh DPR.
Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Unsur pembina, unsur pelaksana, dan unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 134
Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar.
Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 150
Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan
kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 36 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137,
Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 742, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 746 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan;
penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan
pelaksanaan pembangunan ;
penghentian sementara atau penghentian tetap
pada pengelolaan perumahan;
penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
membangun kembali perumahan sesuai dengan
kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana,
sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan
standar;
pembatasan kegiatan usaha;
pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung;
pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan
rumah;
perintah pembongkaran bangunan rumah;
pembekuan Perizinan Berusaha;
pencabutan Perizinan Berusaha;
pengawasan;
pembatalan Perizinan Berusaha;
kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;
pencabutan insentif;
pengenaan denda administratif; dan/atau
penutupan lokasi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 151
Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang membangun perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153
Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan
hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan
lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
Pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Dalam hal pembangunan rumah susun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam 1 (satu) lokasi kawasan rumah susun komersial pembangunan rumah susun umum dapat dilaksanakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota yang sama.
Kewajiban menyediakan rumah susun umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikonversi dalam bentuk dana untuk pembangunan rumah susun umum.
Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menyediakan rumah susun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
Standar pembangunan rumah susun meliputi:
persyaratan administratif;
persyaratan teknis; dan
persyaratan ekologis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
Pemisahan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian.
Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan rumah
susun.
Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang
disahkan oleh bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disahkan oleh Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi:
status hak atas tanah; dan
Persetujuan Bangunan Gedung.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun
dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya.
Rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan
Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan
pemanfaatan pembangunan Rumah Susun diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 30 dihapus
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi fungsi bagian bersama, benda bersama, dan fungsi hunian.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenat Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 33 dihapus.
Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada bupati/wali kota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan Persetujuan Bangunan Gedung sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, permohonan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
Pelaku pembangunan wajib melengkapi lingkungan rumah susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
kemudahan dan keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-hari;
pengamanan jika terjadi hal yang membahayakan; dan
struktur, ukuran, dan kekuatan sesuai dengan fungsi dan penggunaannya.
Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan minimal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 83
Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang
dibuat di hadapan notaris.
PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
status kepemilikan tanah;
Persetujuan Bangunan Gedung;
ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas
umum;
keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh
persen); dan
hal yang diperjanjikan.
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
Sarusun umum yang memperoleh kemudahan dari
pemerintah hanya dapat dimiliki atau disewa oleh
MBR.
Setiap orang yang memiliki sarusun umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal:
pewarisan; atau
perikatan kepemilikan rumah susun setelah
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b hanya dapat dilakukan oleh badan percepatan
penyelenggaraan perumahan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dan kriteria dan tata cara pemberian kemudahan
kepemilikan sarusun umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 56
Pengelolaan rumah susun meliputi kegiatan
operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilaksanakan oleh pengelola yang
berbadan hukum, kecuali rumah susun umum sewa,
rumah susun khusus, dan rumah susun negara.
Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendaftar dan mendapatkan perizinan
Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, badan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus mendaftar dan mendapatkan perizinan
Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67
Dalam pelaksanaan peningkatan kualitas rumah
susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1)
huruf a, PPPSRS dapat bekerja sama dengan pelaku
pembangunan rumah susun.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis yang dibuat
di hadapan pejabat yang berwenang berdasarkan
prinsip kesetaraan.
Pelaksanaan peningkatan kualitas rumah susun
umum dan rumah susun khusus dilaksanakan oleh
badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
Pasal 72 dihapus.
Pasal 73 dihapus.
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107
Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1), Pasal 98, Pasal 100, atau Pasal 101 dikenai sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 108
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 107 dapat berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan rumah susun;
pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
pencabutan sertifikat laik fungsi;
pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun;
perintah pembongkaran bangunan rumah susun;
denda administratif; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pemulihan.
Pasal 110 dihapus.
Pasal 112 dihapus
Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 113
Setiap orang yang:
mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang
sudah ditetapkan; atau
mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 menimbulkan
korban terhadap manusia atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 114
Setiap pejabat yang:
menetapkan lokasi yang berpotensi menimbulkan bahaya untuk pembangunan rumah susun; atau
mengeluarkan Persetujuan Bangunan Gedung rumah susun yang tidak sesuai dengan lokasi peruntukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 117
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 111, Pasal 115 atau Pasal 116 dilakukan oleh badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
pencabutan Perizinan Berusaha; atau
pencabutan status badan hukum.
Pasal 52
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan struktur usaha Jasa
Konstruksi;
mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan Perizinan Berusaha dalam
rangka registrasi badan usaha Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan Perizinan Berusaha terkait
Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan pemberian lisensi bagi
lembaga yang melaksanakan sertifikasi badan
usaha;
mengembangkan sistem rantai pasok Jasa
Konstruksi;
mengembangkan sistem permodalan dan sistem
penjaminan usaha Jasa Konstruksi;
memberikan dukungan dan pelindungan bagi
pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional dalam
mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional;
mengembangkan sistem pengawasan tertib
usaha Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan penerbitan Perizinan
Berusaha dalam rangka penanaman modal
asing;
menyelenggarakan pengawasan tertib usaha
Jasa Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi
kualifikasi besar;
menyelenggarakan pengembangan layanan
usaha Jasa Konstruksi;
mengumpulkan dan mengembangkan sistem informasi yang terkait dengan pasar Jasa Konstruksi di negara yang potensial untuk pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional;
mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa Konstruksi nasional dan internasional;
menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam pasar Jasa Konstruksi;
mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi nasional;
memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional; dan
menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang
menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara
Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa;
mendorong digunakannya alternatif penyelesaian
sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di
luar pengadilan; dan
mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (l) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan
menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan standar kompetensi kerja dan pelatihan Jasa Konstruksi;
memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja konstruksi nasional;
menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan;
mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi;
menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi, pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi;
menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi;
menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional tenaga kerja konstruksi serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi;
menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja konstruksi asing; dan
Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan batasan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Perizinan Berusaha sebagaimana dimasud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Perizinan Berusaha berlaku untuk melaksanakan kegiatan usaha Jasa Konstruksi di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 membentuk peraturan di daerah mengenai Perizinan Berusaha.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha.
Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan registrasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 53
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
Hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari.
Selain hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) negara memprioritaskan hak rakyat atas Air sebagai berikut:
kebutuhan pokok sehari hari;
pertanian rakyat; dan
penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum.
Dalam hal ketersediaan Air tidak mencukupi untuk prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemenuhan Air untuk kebutuhan pokok sehari-hari lebih diprioritaskan dari yang lainnya.
melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4); atau
menggunakan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).