Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020/Bab III/Bagian Keempat/Paragraf 9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020
Bab III – Bagian Keempat – Paragraf 9

Klik untuk menuju bagian lainnya dari Bab III: Kesatu - Kedua - Ketiga - Keempat (Paragraf 12345678910111213141516) - Kelima


Paragraf 9
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Pasal 49
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158);
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252);
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018); dan
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405).

Pasal 50
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 26
    1. Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi standar.
    2. Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29
  1. Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi standar.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Templat:PUU pasal
  2. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 35
    Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
  3. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36
  1. Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam 1 (satu) hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota.
  2. Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam:
    1. bentuk rumah susun umum yang dibangun dalam satu hamparan yang sama; atau
    2. bentuk dana untuk pembangunan rumah umum.
  3. Pengelolaan dana dari konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
  4. Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam bentuk rumah susun umum.
  5. Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.
  6. Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan perumahan dengan hunian berimbang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 40
    1. Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab:
    1. menyediakan tanah bagi perumahan; dan
    2. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian.
  1. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 42
    1. Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
      1. status pemilikan tanah;
      2. hal yang diperjanjikan;
      3. Persetujuan Bangunan Gedung;
      4. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
      5. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53
  1. Pengendalian perumahan dilakukan mulai dari tahap:
    1. perencanaan;
    2. pembangunan; dan
    3. pemanfaatan.
  2. Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk:
    1. Perizinan Berusaha atau persetujuan;
    2. penertiban; dan/atau
    3. penataan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 55
    1. Orang perseorangan yang memiliki rumah umum dengan kemudahan yang diberikan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah hanya dapat menyewakan dan/atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah kepada pihak lain dalam hal:
      1. pewarisan; atau
      2. penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun.
  1. Dalam hal dilakukan pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengalihannya wajib dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk atau dibentuk oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam bidang perumahan dan permukiman.
  2. Jika pemilik meninggalkan rumah secara terus-menerus dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun tanpa memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berwenang mengambil alih kepemilikan rumah tersebut.
  3. Rumah yang telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didistribusikan kembali kepada MBR.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukkan dan pembentukan lembaga, kemudahan, dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah MBR diatur dalam Peraturan Presiden.
  1. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 107
    1. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan, dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman.
    2. Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penetapan lokasi atau persetujuan kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
  1. Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan perumahan dan permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.
  2. Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 109
    1. Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilaksanakan bagi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.
    2. Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh bupati/wali kota.
    3. Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur.
    4. Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak memerlukan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
  2. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 114
  1. Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah badan hukum memperoleh persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
  2. Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah tercapai kesepakatan bersama.
  3. Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
  4. Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:


    BAB IXA
    BADAN PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN


    Pasal 117A
    1. Untuk mewujudkan penyediaan rumah umum yang layak dan terjangkau bagi MBR, Pemerintah Pusat membentuk badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
    2. Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat bertujuan untuk:
      1. mempercepat penyediaan rumah umum;
      2. menjamin bahwa rumah umum hanya dimiliki dan dihuni oleh MBR;
      3. menjamin tercapainya asas manfaat rumah umum; dan
  1. melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah umum dan rumah khusus.
  1. Badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi mempercepat penyelenggaraan perurmahan dan kawasan permukiman.
  2. Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), badan percepatan penyelenggaraan perumahan bertugas:
    1. melakukan upaya percepatan pembangunan perumahan;
    2. melaksanakan pengelolaan dana konversi dan pembangunan rumah sederhana serta rumah susun umum;
    3. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian;
    4. melaksanakan penyediaan tanah bagi perumahan;
    5. melaksanakan pengelolaan rumah susun umum dan rumah susun khusus serta memfasilitasi penghunian, pengalihan, dan pemanfaatan;
    6. melaksanakan pengalihan kepemilikan rumah umum dengan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah;
    7. menyelenggarakan koordinasi operasional lintas sektor, termasuk dalam penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
    8. melakukan pengembangan hubungan kerja sama di bidang rumah susun dengan berbagai instansi di dalam dan di luar negeri.

Pasal 117B
  1. Badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 A terdiri atas:
    1. unsur pembina;
    2. unsur pelaksana; dan
  1. unsur pengawas.
  1. Unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berjumlah 5 (lima) orang yang proses seleksi dan pemilihannya dilakukan oleh DPR.
  2. Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
  3. Unsur pembina, unsur pelaksana, dan unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
  1. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 134
    Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar.
  2. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 150
    1. Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 36 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 742, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 746 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
  1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. pembatasan kegiatan pembangunan;
    3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan ;
    4. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan;
    5. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
    6. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
    7. membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar;
    8. pembatasan kegiatan usaha;
    9. pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung;
    10. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
    11. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah;
    12. perintah pembongkaran bangunan rumah;
    13. pembekuan Perizinan Berusaha;
    14. pencabutan Perizinan Berusaha;
    15. pengawasan;
    16. pembatalan Perizinan Berusaha;
    17. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;
    18. pencabutan insentif;
    19. pengenaan denda administratif; dan/atau
    20. penutupan lokasi.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 151
    Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang membangun perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 153
    1. Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dikenai sanksi administratif.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 16
    1. Pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
    2. Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
    3. Dalam hal pembangunan rumah susun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam 1 (satu) lokasi kawasan rumah susun komersial pembangunan rumah susun umum dapat dilaksanakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota yang sama.
    4. Kewajiban menyediakan rumah susun umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikonversi dalam bentuk dana untuk pembangunan rumah susun umum.
    5. Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
    6. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menyediakan rumah susun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24
    1. Standar pembangunan rumah susun meliputi:
      1. persyaratan administratif;
      2. persyaratan teknis; dan
      3. persyaratan ekologis.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 26
    1. Pemisahan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian.
    2. Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan rumah susun.
    3. Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    4. Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disahkan oleh Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  3. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28
Dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi:
  1. status hak atas tanah; dan
  2. Persetujuan Bangunan Gedung.
  1. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 29
    1. Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya.
    2. Rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
    3. Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan pemanfaatan pembangunan Rumah Susun diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Pasal 30 dihapus
  3. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31
  1. Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  3. Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi fungsi bagian bersama, benda bersama, dan fungsi hunian.
  1. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 32
    Ketentuan lebih lanjut mengenat Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Pasal 33 dihapus.
  3. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 39
    1. Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada bupati/wali kota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan Persetujuan Bangunan Gedung sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  1. Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, permohonan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 40
    1. Pelaku pembangunan wajib melengkapi lingkungan rumah susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
    2. Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
      1. kemudahan dan keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-hari;
      2. pengamanan jika terjadi hal yang membahayakan; dan
      3. struktur, ukuran, dan kekuatan sesuai dengan fungsi dan penggunaannya.
    3. Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan minimal.
    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83
  1. Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.
  2. PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
    1. status kepemilikan tanah;
    2. Persetujuan Bangunan Gedung;
    3. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
    4. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
    5. hal yang diperjanjikan.
  1. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 54
    1. Sarusun umum yang memperoleh kemudahan dari pemerintah hanya dapat dimiliki atau disewa oleh MBR.
    2. Setiap orang yang memiliki sarusun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal:
      1. pewarisan; atau
      2. perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
    3. Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf

      b hanya dapat dilakukan oleh badan percepatan

      penyelenggaraan perumahan.
    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dan kriteria dan tata cara pemberian kemudahan kepemilikan sarusun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
  1. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 56
    1. Pengelolaan rumah susun meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
    2. Pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan oleh pengelola yang berbadan hukum, kecuali rumah susun umum sewa, rumah susun khusus, dan rumah susun negara.
    3. Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendaftar dan mendapatkan perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    4. Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendaftar dan mendapatkan perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    5. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 67
    1. Dalam pelaksanaan peningkatan kualitas rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, PPPSRS dapat bekerja sama dengan pelaku pembangunan rumah susun.
  1. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang berdasarkan prinsip kesetaraan.
  2. Pelaksanaan peningkatan kualitas rumah susun umum dan rumah susun khusus dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
  1. Pasal 72 dihapus.
  2. Pasal 73 dihapus.
  3. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 107
    Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1), Pasal 98, Pasal 100, atau Pasal 101 dikenai sanksi administratif.
  4. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 108
    1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat berupa:
      1. peringatan tertulis;
      2. pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
      3. penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
  1. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan rumah susun;
  2. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
  3. pencabutan sertifikat laik fungsi;
  4. pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun;
  5. perintah pembongkaran bangunan rumah susun;
  6. denda administratif; dan/atau
  7. pencabutan Perizinan Berusaha.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pemulihan.
  1. Pasal 110 dihapus.
  2. Pasal 112 dihapus
  3. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 113
    Setiap orang yang:
    1. mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang sudah ditetapkan; atau
    2. mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 menimbulkan korban terhadap manusia atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

  1. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 114
    Setiap pejabat yang:
    1. menetapkan lokasi yang berpotensi menimbulkan bahaya untuk pembangunan rumah susun; atau
    2. mengeluarkan Persetujuan Bangunan Gedung rumah susun yang tidak sesuai dengan lokasi peruntukan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 117
    1. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 111, Pasal 115 atau Pasal 116 dilakukan oleh badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
    2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
      1. pencabutan Perizinan Berusaha; atau
      2. pencabutan status badan hukum.

Pasal 52
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 5
    1. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
      1. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;
      2. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi;
      3. menyelenggarakan Perizinan Berusaha dalam rangka registrasi badan usaha Jasa Konstruksi;
      4. menyelenggarakan Perizinan Berusaha terkait Jasa Konstruksi;
      5. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga yang melaksanakan sertifikasi badan usaha;
      6. mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi;
      7. mengembangkan sistem permodalan dan sistem penjaminan usaha Jasa Konstruksi;
      8. memberikan dukungan dan pelindungan bagi pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional;
      9. mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi;
      10. menyelenggarakan penerbitan Perizinan Berusaha dalam rangka penanaman modal asing;
      11. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi besar;
      12. menyelenggarakan pengembangan layanan usaha Jasa Konstruksi;
  1. mengumpulkan dan mengembangkan sistem informasi yang terkait dengan pasar Jasa Konstruksi di negara yang potensial untuk pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional;
  2. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa Konstruksi nasional dan internasional;
  3. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam pasar Jasa Konstruksi;
  4. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi nasional;
  5. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional; dan
  6. menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha.
  1. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
    1. mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
    2. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa;
    3. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan; dan
    4. mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
  2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (l) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
    1. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
  1. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi;
  2. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan
  3. menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan.
  1. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
    1. mengembangkan standar kompetensi kerja dan pelatihan Jasa Konstruksi;
    2. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja konstruksi nasional;
    3. menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan;
    4. mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi;
    5. menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
    6. menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi, pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
    7. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi;
    8. menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi;
    9. menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional tenaga kerja konstruksi serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi;
    10. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja konstruksi asing; dan
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/336 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/337 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/338 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/339 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/340 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/341
  1. Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan batasan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 26
    1. Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 27
    Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28
Perizinan Berusaha sebagaimana dimasud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 29
    1. Perizinan Berusaha berlaku untuk melaksanakan kegiatan usaha Jasa Konstruksi di seluruh wilayah Republik Indonesia.
    2. Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 membentuk peraturan di daerah mengenai Perizinan Berusaha.
  2. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 30
    1. Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha.
    2. Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh Pemerintah Pusat.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan registrasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
    4. Pasal 31 dihapus.
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/344 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/345 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/346 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/347 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/348 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/349 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/350 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/351

Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 53
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 8
    1. Hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari.
    2. Selain hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) negara memprioritaskan hak rakyat atas Air sebagai berikut:
      1. kebutuhan pokok sehari hari;
      2. pertanian rakyat; dan
      3. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum.
    3. Dalam hal ketersediaan Air tidak mencukupi untuk prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemenuhan Air untuk kebutuhan pokok sehari-hari lebih diprioritaskan dari yang lainnya.
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/353 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/354 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/355 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/356 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/357 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/358 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/359 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/360 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/361 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/362 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/363 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/364

Pasal 73
Setiap Orang yang karena kelalaiannya:
  1. melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4); atau
  2. menggunakan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).