Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020/Bab III/Bagian Keempat/Paragraf 16

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020
Bab III – Bagian Keempat – Paragraf 16

Klik untuk menuju bagian lainnya dari Bab III: Kesatu - Kedua - Ketiga - Keempat (Paragraf 12345678910111213141516) - Kelima


Paragraf 16
Pertahanan dan Keamanan

Pasal 73
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Pertahanan dan Keamanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343); dan
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).

Pasal 74
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343), diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 11
    Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a merupakan:
    1. badan usaha milik negara; dan/atau
    2. badan usaha milik swasta,

    yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama.

  2. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 21
    1. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, KKIP mempunyai tugas dan wewenang:
      1. merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang Industri Pertahanan;
      2. menyusun dan membentuk rencana induk Industri Pertahanan yang berjangka menengah dan panjang;
      3. mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional Industri Pertahanan;
      4. mengoordinasikan kerja sama luar negeri dalam rangka memajukan dan mengembangkan Industri Pertahanan;
      5. melakukan sinkronisasi penetapan kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan antara Pengguna dan Industri Pertahanan;
  1. menetapkan standar Industri Pertahanan;
  2. merumuskan kebijakan pendanaan dan/atau pembiayaan Industri Pertahanan;
  3. merumuskan mekanisme penjualan dan pembelian Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan hasil Industri Pertahanan ke dan dari luar negeri; dan
  4. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Industri Pertahanan secara berkala.
  1. Rancangan rencana induk jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan.
  1. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 38
    1. Kegiatan produksi merupakan pembuatan produk oleh Industri Pertahanan sesuai perencanaan produksi sebagaimana dengan dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
    2. Kegiatan produksi Industri Pertahanan wajib mengutamakan penggunaan bahan mentah, bahan baku, dan komponen dalam negeri.
    3. Dalam kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan 2 (dua) fungsi produksi Industri Pertahanan.
    4. Industri Pertahanan dalam kegiatan produksi harus terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
    5. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 52
    1. Kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
    2. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan sistem pengawasan yang diterapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
    3. Sistem pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi proses produksi sampai dengan penjualan produk, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
    4. Kepemilikan modal atas industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan baku dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
  2. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 55
    Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan negara lain wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  3. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56
  1. Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dilakukan dengan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  2. Dalam rangka pertimbangan kepentingan strategis nasional, DPR dapat melarang atau memberikan pengecualian penjualan produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tertentu sesuai dengan politik luar negeri yang dijalankan Pemerintah Pusat.
  3. Ketentuan mengenai tata cara pemberian Perizinan Berusaha terkait pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 66
    Setiap Orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan bagi pertahanan dan keamanan.
  2. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 67
    Setiap Orang dilarang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  3. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68
Setiap Orang dilarang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  1. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 69
    Setiap Orang dilarang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  2. Di antara Pasal 69 dan 70 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 69A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 69A
    1. Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dilakukan oleh instansi pemerintah, kegiatan tersebut wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
    2. Perizinan Berusaha dan persetujuan dari Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 56 serta persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dan Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 72
    1. Setiap Orang yang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun paling banyak dan/atau denda Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
    2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
  2. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 73
    1. Setiap Orang yang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
    2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
  1. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 74
    1. Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara lain tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
    2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
  2. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 75
    Setiap orang yang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada Pasal 69A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 75
Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
  1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
    1. menerima laporan dan/atau pengaduan;
    2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
    3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
    4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
    5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
    6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
    7. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
    8. mencari keterangan dan barang bukti;
    9. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
    10. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
    11. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan
    12. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
  2. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
    1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
  1. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
  2. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
  3. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
  4. memberikan Perizinan Berusaha dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha;
  5. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
  6. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
  7. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
  8. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
  9. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; dan
  10. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
  1. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.