Penghidoepan Radja Belgie/Buku 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Satoe tjerita jang betoel
telah kadjadian di
Europa.

PENGHIDOEPAN RADJA BELGIE I.



Ditjeritaken
oleh :
TJOE BOU SAN.
BATAVIA
DRUKKERIJ SIN PO
1913

Galat skrip: tidak ada modul tersebut "Anchor".

Bab (tidak ada di berkas asli)
  1. Bab I
  2. Bab II
  3. Bab III
  4. Bab IIII
  5. Bab V
  6. Bab VI

Buku I[sunting]

I.


„Sri padoeka, kaoe barangkali loepah jang badanmoe boekan berasal dari besi atawa wadja!”

„O, toewan doktor, kaloe kaoe bisa menimbang, bagimana haibat adanja ini kasoesahan jang menimpah akoe, nistjaja kaoe tida nanti kata demikian. O, Alah, Alah! kasiani akoe, ampoenilah padanja!”

„Biar bagimana djoega, Sri padoeka, kaoe misti sedikit senangken diri, soepaja kaoe tida toeroet-toeroetan mendjadi sakit.”

„Bener, Sri padoeka, kaoe misti sedikit mengasoh! Kita-orang nanti lantas panggil padamoe, bilah ada sedikit sadja hal jang tida enak,” berkata Barones de Meaublanc, kamoedian laloe pegang tangan sobatnja, dan saparo menjongkoh, ia pimpin kaloear dari kamar.

Lagi sakali ia melolosken diri, dan mengamperi poelah randjang, dimana djantoeng hatinja jang baroe beroesia sapoeloe tahon, Graaf van Henegouwen, ada rebah dengen moeka poetjat sabagi mait. Ia pegang tangannja jang telah mendjadi koeroes sekali, kamoedian sembari mengoesoet-ngoesoet, ia menjioem dengen hati hantjoer. Satelah itoe ia tjenderongken badannja, dan berkata dengen soeara berbisik:

„Slamat tinggal, biarlah kaoe diberkati Alah !”

Koetika itoe Barones de Meaublanc mengamperi poelah padanja, mengadjak kaloear pintoe, meliwati gang, teroes ka kamarnja sendiri.

„Sekarang, tinggali akoe sendirian, dan pergilah ka kamarnja si sakit, sobat!” kata poelah orang bertjilaka itoe dengen soeara memoehoen. „Aken tetapi, berdjandjilah, jang, asal sadja ada sedikit hal jang tida baek, kaoe lantas kasi taoe itoe padakoe.”

„Itoe kaoe boleh pertjajaken sadja padakoe, Sri padoeka, dan senangi kaoe poenja badan!”

„Baek, akoe nanti tjoba rebaken diri. Aken tetapi . . . . . o, sobat, akoe ini sabagi merasaken tida poenja kapala lagi. Samoewa barang di sakitarkoe ada kaliatan seperti terpoeter, dan akoe ada merasa begitoe tjape, hingga akoe sendiri tida mengarti, tjara bagimana sampe sekarang akoe masi bisa tinggal hidoep.” Barones bongkoki badannja, kamoedian lantas berlaloe dari itoe kamar.

Sekarang tinggallah si tjilaka itoe sendirian, dalem kamarnja di astana kota Laeken. Kamar itoe dihiasi sederhana sekali, tapi ada menoeroet satjara bangsawan. Dan di sitoelah permeisoeri dari karadjahan Belgie rebaken dirinja diatas satoe divan, sembari menoetoepi moeka dengen kadoewa bahoe tangannja.

Ia bersedoe-sedoe, seraja berkata dengen soeara poetoes-poetoes:

O, Alah, A . . . lah! ka . . . soe . . . sa . . . han ini, a . . . da . . . lah ter . . . la . . . loe berat aken a . . . koe pi . . . koel le . . . bi la . . . ma la . . . gi! Ka . . . sia . . . ni a . . . koe, am . . . poe . . . ni . . . lab pa . . . da . . . nja!”

Ia tjoba lagi boeat loepaken samoewa perkara, soepaja bisa dapet sedikit mengasoh dari itoe pikoelan berat, jang berada atas toeboe dan anggotanja, tapi . . . siasia!

Pikiran mengeri sanantiasa dateng poelah padanja, maski poen ia maoe trima atawa tida. Rasa kaget sabentar-bentar balik menggoda, seperti adanja kabar kawat mengetok-ngetok hatinja, mengoetaraken tjilakahan haibat sekali, jang ia tida nanti sanggoep pikoel dengen tida bergoemeter sa’antero toeboe!

Doeloe, bagimana broentoeng ia pernah dapet pengrasahan, tatkalah ia moendar-mandir di djalanan Brussel, dengen terpimpin oleh satoe anak moeda jang bersingkap gaga. Itoe waktoe bagimana ia rasaken santausa bagi dirinja, apabilah ia djalan berėndeng dengen itoe orang jang tjakap, pada siapa sembarangan waktoe ia boleh harep perlindoengannja. Dan bagimana ia rasaken tjinta pada itoe anak moeda, itoe hertog van Brabant, jang sanantiasa ia boleh memanggil dengen goenaken perkatahan soeami.

Soeami itoe sekarang telah mendjadi radja. Dan alangkah girangnja, koetika ia melahirken satoe anak, satoe poetra, jang kamoedian nanti menggantiken ajahnja, memake makota karadjahan Belgie.

Kaloe maoe ditilik dengen benar, memang boleh ditentoeken, ia ada menjinta djoega pada tiga anak prampoeannja, aken tetapi jang paling mendjadi boewa hatinja, jalah poetra makota sendiri.

Roepanja ada banjak sekali mirip sama ajahnja, dan boleh djadi lantaran ini, jang membikin iboenja djadi terlebi tjinta padanja.

 Djoega dalem katjerdikan, poetra ketjil itoe boleh sekali dibandingken dengen orang toewanja. Goeroe-goeroe jang membri peladjaran, sanantiasa ada oeroeki ia dengen berbagi-bagi poedjian, hingga ba­rangkali djoega nanti terdjadi dengen sasoenggoenja, poetra makota itoe ada mendjadi besar goena bahagianja ia poenja rahajat, dan mendjadi satoe antara radja­-radja jang paling bidjaksana dalem temponja hidoep.

 Permeisoeri dari karadjahan Belgie, sa­nantiasa ada mengimpi dalem perkara jang sedep sekali boeat anaknja, hingga ampir boleh dibilang, poetra makota itoe nanti mendjadi broentoeng sekali, begitoe broentoeng seperti satoe antara radja-radja jang paling broentoeng dalem hidoepnja di doenia.

 Aken tetapi, baroe sadja mendjadi poetra makota, baroe ia sendiri ada itoe harga aken dipanggil orang, permeisoeri dari ka­radjahan Belgie, dengen tida ternjana se­kali, itoe goenoeng pengharepan lantas tertoetoep dengen mega itam, dan tanahnja sabentar-bentar goegoer ka moeka boemi. Dengen tjara begini, siapatah bisa pastiken, jang ia tida nanti silam dengen sa'antero toeboenja dari ini doenia?

 Itoe anak, jang tadinja sanantiasa ada bergirang, dan jang bisa bikin iboenja djadi bersenjoem serta tertawa lantaran ia poenja tingka jang moengil, sekarang ada mendjadi lesoe sabagi adanja orang jang tida tahan bernapas lebi lama lagi, hingga dengen troesa sangsi orang boleh bilang, itoe poetra makota jang rebah di pembaringan seperti orang sakit, tida lebi ka'adahannja dari bajangan Graaf van Henegouwen, jang bisa sekali membri harepan besar pada iboenja.

 Doktor-doktor tida bisa mendapet taoe apa jang mengganggoe penghidoepannja, atawa, maski poen ia taoe itoe, boleh ditentoeken sekali, marika tida nanti mem­bri njata, hanja saban-saban mengasi sadja harepan baroe, jang boleh diboeat seperti penghiboer bagi sang iboe jang berdoeka.

 Aken tetapi, kasian sekali permeisoeri kita, jang saban saban misti merasa koe­rang pertjaja atas benarnja itoe hiboeran, apabilah ia pergi sabentaran, dan salaloe baliknja, dapet meliat moeka djantoeng hatinja samingkin djadi poetjat. Samoewa, apa sadja soeda ditjoba, tida satoe hal ada diloepa boeat toeloeng membikin semboe pada poetra makota. Tapi tida jang membri hasil baek, dan sekarang . . . . . sekarang . . . . . Betoel sabagi adjalnja soeda berada dekat sekali!

Itoe boengah jang telah dirawati dengen begitoe banjak rasa sajang, sekarang ada bersedia boeat lajoe dan mendjadi kering. Roepanja, adalah sabagi aer mata djoega tida bisa toeloeng, membikin seger kombali. Maski poen benar toewan-toewan doktor belon maoe tarik perkatahannja jang minta orang taro harepan, tapi tidalah membikin permeisoeri kita mendengeri dengen pertjaja, kerna ia liat dan rasaken sendiri, impiannja jang begitoe bagoes, aken berlaloe sadja seperti asep dalem gelap goelita.

„O, Alah, Alah!” berseroe ia dengen tersedoe-sedoe, „kasoesahan ini adalah terlaloe berat! Kasiani akoe, ampoeni padanja!”

Kapalanja dirasaken seperti terbanting-banting, tempilingannja kiri kanan sabagi terdjepit. Tida, ia tida bisa senangken diri, djoega ia merasa tida enak sekali, berdiam di itoe kamar, salagi di sana, di laen tempat . . . . . Pintoe kamar koenjoeng-koenjoeng terboeka dengen sanget plahan. Satoe tangan laloe memboeka klamboe, hingga permeisoeri kita mendjadi kaget, dan angkat kapalanja.

„O, Leopold! Leo!”

Kamoedian sigra ia berbangkit dari itoe divan, dan lepasken diri dalem tangannja ia poenja soeami.

„Tegoeken kaoe poenja hati!” kata ba­ginda, „tahanlah sabrapa jang kaoe bisa! Djoega akoe ada merasa tida enak sekali, dan . . . . .”

Soearanja seperti ada tertahan di tenggorokan, hingga sigra permeisoeri bisa merasaken, soeaminja jang gaga, jang sanantiasa ada poenja kahendak sabagi goenoeng jang tida bisa dikisar, ada memaksaken diri aken tinggal djadi laki-laki, sedeng sabenarnja ia ada menanggoeng berat sekali, kasoesahan jang dateng menimpah dalem itoe samantara waktoe. Ini membikin itoe iboe jang bertjilaka djadi kwatir sekali, dan dengen tida tahan sabar, ia laloe menanja:

„Bagimana? Apatah jang telah terdjadi padanja?”

„Ka'adahannja tida sekali ada berobah, kata toewan-toewan doktor.”  „Tapi, apatah masi boleh diharep, ia nanti mendjadi semboe? Atawa, barang­ kali soeda dekat adjalnja?”

 „Sabar, sabar . . . . .”

 „Djangan bitjara pandjang, Leo! Djawab sadja: Apa kita masi boleh harep, ia nanti mendjadi semboe kombali? Hajo, hajo! bilang padakoe ! O, Leo, katahoeilah bagimana adanja dengen akoe sekarang, bagimana ingetankoe ampir mendjadi hilang sama sekali, dan . . . . . .”

 „Sabar, sabar, dan tegoekenlah hatimoe! Salama manoesia masi ada poenja napas, sanantiasa kita masi boleh berharep . . .”

 „Memang, aken tetapi itoe tjoema satoe omongan sadja, satoe bitjara jang boleh membikin orang djadi gila! Kaloe orang jang sakit poenja toeboe samingkin djadi lemah, matanja poenja sinar jang menandaken hidoep djadi samingkin lesoe dan boetak, nistjaja harepan itoe poen silam bersama-sama . . . . .”

 Samantara itoe kadoewanja lantas ber­diam.

 Permeisoeri awasi soeaminja dengen me­ngembang aer di mata, kamoedian laloe berkata lagi:

 „Mengapa kaoe berdiam, Leo?”  Tapi baginda tida menjaoet, dan ber­paling aken permeisoeri tida dapet liat ia poenia aer moeka.

 „Hajo, Leo, teroesilah kaoe poenja bitjara, jang soeda ditinggal satengah djalan. Hiboeri padakoe, kaloe kaoe masi ada poenja perkatahan.”

 „Akoe sendiri ada merasa soesa hati se­kali,” kata baginda dengen bersedoe-sedoe.

 „Djadi . . . .”

 „Soeda tida goena! Samoewa telah sampe pada achirnja . . . Djantoeng hati kita ...”

 „Soeda tida bernjawa lagi!”

 Satelah itoe soeami dan istri lantas ber­diam seperti patoeng. Masing-masing melepasken dirinja dengen berpegangan tangan satoe sama laen. Dari roepanja ada membri njata sekali, kadoewa orang itoe kenah kalanggar kilat kasedihan, jang malaenkan bisa dibikin semboe dengen menoeroeni aer jang deres sekali sabagi oedjan.

 „Denger,” kata permeisoeri sakoenjoeng-koenjoeng, sabagi tingkanja orang jang berpikiran senang, dan tarik soeaminja lebi dekat pada diri sendiri.

 Baginda menoeroet sadja seperti anak ketjil, ia, saorang gaga, jang telah tetapken niatnja, tida nanti menjerah diseret ombak, hanja berdiri sabagi satoe karang ditengah-tengah laoetan politiek, sembari sanantiasa goenaken mata boeat kaslamatan rahajat.

 „Denger, akoe ini hendak tjeritaken satoe impian, jang sanget ngeri dan haibat. Me­mang, akoe poen pernah mendenger orang berkata, impian tida boleh dipertjaja, dan akoe ada satoedjoe sekali dengen itoe perkatahan. Aken tetapi di doenia ini jang sanget loewas, adalah satoe matjem impian jang haibat, hingga akoe sendiri misti rasa mengeri . . . . .”

 Salagi bitjara, soearanja permeisoeri ada terdenger seram sekali, sedeng roepanja poen djadi berobah tatkalah mengatoer omongan. Baginda mengawasi sadja pada istrinja. Matanja permeisoeri ada terliat satoe sinar jang begitoe loear biasa, hingga membikin baginda djadi kaget, dan minggir ka samping.

 „Aken tetapi, Maria, kaoe mengapa? Kaoe bertingka begitoe aneh, hingga mem­bikin akoe . . . . .”

 „Diam, Leo!” berkata permeisoeri sem­bari menoetoep moeloet soeaminja dengen tangan. „Dengerlah! Akoe nanti tjerita­ken padamoe . . . . . „Meaublanc batja boekoe. Akoe mendengeri . . . . . Koetika ia soeda berlaloe, dan akoe tinggal sendirian dalem kamarkoe, akoe dapet meliat dengen njata, dari tempat remĕng-remĕng, kaloear satoe manoesia dari laen doenia, sebab roepa dan gerak-gerakannja ada loewar biasa sekali. Akoe djadi sanget katakoetan, dan maoe bertreak, tapi tida bisa . . . Dalem samantara itoe adalah sabagi tenggorokankoe ditjekek oleh tangan jang keras sabagi besi . . . Achir-achir djelemah itoe dateng samingkin dekat, dan berdiri di hadepan akoe poenja pembaringan. Apa ia adasatoe laki-laki atawa prampoean, itoe akoe tida bisa bilang dengen terang. Akoe tjoema meliat sadja doewa matanja jang berkilat-kilat seperti api, tapi roepanja adalah sabagi mata manoesia . . . . .

„Kamoedian djelemah itoe mengangkat tangannja, jang moengil dan poeti sekali, njata kaliatan dalem gelap goelita. Moekanja ia tjenderongken padakoe . . . Itoe waktoe akoe rasaken sa’antero badan mendjadi kakoeh seperti mait . . . akoe sabagi mati, tapi masi bisa mendenger, mendenger, dan djoega meliat.

„Djelemah itoe bongkoki badannja, hingga achir-achir mendjadi dekat sekali dengen akoepoenja koeping . . . Akoe rasa­ken ia poenja tarikan napas, dan sa'antero toeboe djadi goemeter, tapi lebi dari itoe poen akoe tida bisa berboeat apa-apa lagi . . .

 „Satelah itoe terdenger di koepingkoe, satoe soeara jang seram sekali, berbisik katanja; „Kaoe djadi permeisoeri, tapi kaoe tinggal djadi manoesia. Sabagi per­meisoeri kaoe nanti ditjinta oleh sakalian rahajat negri, kerna kaoe nanti berboeat kabaekan, kaoe aken djadi satoe permei­soeri jang berboedi, sabagimana tida banjak laen-laen permeisoeri bisa lakoeken . . . Tapi seperti manoesia, kaoe aken tanggoeng banjak kamalaratan. Tida satoe kasoesahan nanti bisa terloepoet dari kaoe poenja diri! Diatas kaoe poenja astana adalah satoe matjem mega jang mengambang. Mega itoe achir-achir nanti membikin mendoeng, dan toeroeni oedjan katjilakahan jang haibat sekali atas kaoe poenja diri. Kaoe poenja roemah tangga ada terkoetoek, dan anak anakmoe tida nanti samboengi doedoek di tachta karadjahan . . . . .”

 Bitjara sampe di sini, permeisoeri itoe berdiam sabagi boneka jang soeda tida tjoekoep kaki tangannja.  Sri baginda ada mendengeri dengen rasa takoet, tapi kamoedian laloe berkata:

 „Itoe ada satoe perkara, jang kaloe dipikiri, boleh membikin orang djadi gila. Maka poen akoe tida maoe pertjaja, itoe hal jang boekan-boekan.”

 Tapi tida terkira toeboenja ada djadi goemeter, dan tida dengen maoenja hati sendiri, ia telah meliat koeliling dalem kamar, sabagi hendak mentjari itoe barang resia, jang aken membikin ia djadi tjilaka.

 Samantara itoe permeisoeri laloe berbangkit. Dari gerak-gerakannja ada menjataken, sabagi kakoewatan badannja dengen koenjoeng-koenjoeng soeda balik kombali. Seperti terbantoe iblis, ia itoe djadi gaga sekali, sedeng soeaminja sanget lemah, sabagimana bisa terliat, ia doedoek diatas divan dengen tida sekali bergerak.

 „Hajo,” berkata permeisoeri, „kita-orang misti berlaloe dari sini!”

 Dengen mata terboeka besar, tapi ada njata mengandoeng takoet, baginda me­ngawasi pada istrinja.

 Apatah ia ada itoe prampoean, jang tad berhati hantjoer sekali, jang bebrapa sa'at laloe ada rebaken diri dalem tangannja baginda, aken bersedoe-sedoe lantaran tida tahan tanggoeng kasoesahan?

 „Maria!”

 Permeisoeri tida mendjawab, hanja ber­kata poelah:

 „Hajo, Leo! kita-orang misti lekas berlaloe dari sini, dari ini roemah, jang soeda tida ada berkahnja Alah!”

 „Pergi ka mana?”

 „Eh,  boekankah ia soeda mati? Apatah Sri padoeka barangkali tida taoe, jang poetra makota soeda tida ada lagi di doenia?”

 Sekarang baroe baginda mengarti. Iboenja poetra makota ada terlaloe lemah, aken memikoel itoe kasoesahan jang terdjadi di hadepan matanja.

 „Tentoe, kita-orang nanti berlaloe dari sini!” berkata baginda kamoedian, aken menghiboeri pada istrinja.

 Satelah itoe laloe ia adjak permeisoeri meliat anaknja, dengen harepan, bilah soeda banjak mengoetjoerken aer mata, iboe jang bertjilaka itoe nanti mendjadi sedikit senangan.

 Sigra kadoewa orang itoe berdjalan kaloear: baginda pimpin tangan istrinja, per­meisoeri menoeroet sadja ditoentoen sabagi satoe domba.  Barones de Meaublanc laloe dateng mengamperi padanja, sembari tersedoe-sedoe.

 „Sri padoeka . . . .”

 „Diam,” kata baginda. „Permeisoeri ingin meliat poetra makota boeat pengha­bisan kali.”

 „Boeat penghabisan kali? Tapi . . . .”

 Baek permeisoeri, baek poen baginda, tida maoe mendenger bitjaranja barones, hanja lantas masoek kadalem kamar.

 „Mana poetra makota?” tanja permei­soeri kamoedian pada doktor, jang berdiri di dekat randjang mait.

 Toewan itoe meliat sabentaran pada baginda, kamoedian laloe berkata dengen bongkoki diri:

 „Di sini, Sri padoeka!”

 Samantara itoe si tjilaka moendoer bebrapa tindak, sembari kempit tangan soeaminja.

 „Di sitoe?”

 Perkatahan itoe ada dioetjapken sabagi lakoenja orang poetoes harepan, jang ampir loepa diri sendiri.

 „O, Alah, Alah!”

 Demikianlah permeisoeri berseroe dengen tersedoe-sedoe. Aer matanja toeroen sabagi oedjan jang deres.

Baginda Leopold II, Sri Maha Radja Belgie.
(katja 18).

 „Djantoeng hati! Djantoeng hati! Hajo, liatlah padakoe! Akoe ini ada kaoe poenja iboe, orang jang paling tjinta padamoe!”

 Aken tetapi, tida satoe soeara ada terdenger menjaoet atas itoe seroehan. Samoewa tinggal soenji sabagi ka'adahan didalem koeboer. Sedeng djoega poetra makota, tida sekali ada kaliatan bergerak : sa'antero toeboe dan anggotanja telah mendjadi kakoeh ... ia soeda mendjadi mait!

 „Sri padoeka!”

 Begitoe dengen sakoenjoeng-koenjoeng ada terdenger soearanja Barones de Meaublanc.

 Tapi permeisoeri tida menjaoet, hanja tinggal awasi pada barones dengen mata jang menandaken hantjoernja hati.

 „Sri padoeka, baginda menoenggoe kaoe poenja dateng dalem kamar di sablah ini.”

 „Akoe kenal itoe kawadjiban!” berkata permeisoeri kamoedian dengen soeara didalem leher. „Apabilah radja panggil ... Djantoeng hati, slamat tinggal! Satoe per­kara laen memaksa akoe berpisa pada­moe . . . . .”

 Satelah itoe laloe ia berbangkit, terban­toe oleh Barones de Meaublanc dan toewan doktor.  „Slamat tinggal, slamat tinggal!” kata ia poelah dengen soeara berbisik, samantara ia toeroet orang pimpin padanja kaloear kamar.

_______________
II
_____

 „Bagimana kaoe poenja pengrasahan, Louise, sa'ande kaoe misti memilih penghidoepan satjara orang ketjil?”

 „Satjara orang ketjil? . . . . . . O, kaoe barangkali maoe kata sabagi manoesia biasa, mama!”

 „Hajo, Louise, djangan bertingka begitoe sabagi orang jang tida mengarti! Kerna akoe brani bilang, kaoe taoe betoel apa adanja akoe poenja maksoed.”

 „Kaloe begitoe, mama, biarlah kita-orang bitjara dengen plahan, dan sembari me­nimbang.”

 „Memang, itoe ada jang paling baek, anak! Tapi, djanganlah kaoe lantas mendjadi hilang sabar, bilah akoe menanjaken itoe perkara. Patoetnja ini hal kita-orang soeda misti bitjaraken lebi siang.”

 „Djika mama kata demikian, mendjadi akoe maoe menanja djoega mama poenja pengrasahan hati. Djawablah: Apa jang dinamaken tjinta?”  „Ah, anak!”

 „Tida, mama, akoe tida maoe denger itoe „ah, anak”! Kaoe misti menjaoet menoeroet kaoe poenja pengrasahan hati, dan djangan menimbang-nimbang satjara orang maen politiek.”

 Permeisoeri tertawa sabentaran, kamoedian laloe berkata :

 „Anak, kaoe ini membikin pertanjahan aneh sekali padakoe. Terlebi doeloe kaoe misti taoe, kaoe sekarang ada satoe nona jang soeda beroesia anam belas tahon, hingga boekan anak-anak lagi!”

 „Betoel, tapi tjara begitoe boekan sekali mama ada djawab akoe poenja pertanjahan.”

 „Kaloe akoe misti bitjara teroes terang, anak, nistjaja akoe misti bilang, akoe ini ada taoe betoel sekali apa adanja tjinta. Tjoema sadja boeat artiken itoe, tida nanti tjoekoep dengen sedikit perkatahan, kerna tjinta, adalah manoesia poenja pengrasahan paling soetji, jang teramat dalem dasarnja. Bilah maoe diartiken dengen betoel sekali, nistjaja bahasa dalem doenia ini jang sanget loewas, tida nanti ada jang sampe tjoekoep boeat mengoetaraken, tapi orang jang bertjinta, nanti bisa merasaken itoe sampe di bagian jang paling haloes . . .”  „Benar sekali! Djadi. mama, orang jang bertjinta nanti bisa merasaken?”

 „Memang!”

 „Nah, kaloe demikian, nistjaja mama nanti satoedjoe djoega, bilah akoe bilang, nikahan, dimana tida ada tjinta bersama-sama, orang tida nanti bisa merasaken broentoeng . . . . .”

 Permeisoeri berdiam samantara waktoe. Ia mengarti ka mana anaknja hendak menoedjoe dengen itoe perkatahan, dan laloe samboengi bitjaranja :

 „Tapi, Louise!”

 „Tida, mama, tida „tapi Louise”! Akoe menanja, kaoe bri djawaban menoeroet pengrasahan hatimoe!”

 „Kaloe misti bitjara teroes terang, akoe djoega tida pertjaja, satoe nikahan, dimana tida berserta tjinta, bisa membikin broen­toeng!”

 „Betoel sekali! Habis sekarang orang ingin akoe bernikah pada satoe lelaki, jang boekan sadja akoe tida nanti bisa tjinta, tapi djoega tida aken bisa menaro hormat!”

 Kadoewa orang itoe berdiam. Masing-masing roepanja ada bermasgoel sekali.

 Apatah ia misti bilang? Paling taroetama boeat ianja, adalah peroentoengan anaknja, demikian . . . kaloe ia misti mengakoeh dengen satoeloesnja hati, nistjaja pilihannja poen nanti djato pada laen orang. Aken tetapi ia poenja soeami, telah pastiken dengen perkatahannja seperti laki-laki, hingga boeat ia . . . ada apa lagi salaen menoeroet?

 Achir-achir ia berkata:

 „Tapi, anak, tjinta boekan ada jang pa­ling taroetama . . . Akoe telah dapeti ba­njak nikahan jang terdjadi dengen tida berikoet tjinta, tapi toeh bisa djadi broentoeng sekali . . . Dalem golongan orang jang berderadjat tinggi, sering-sering kadjadian itoe perkara, soenggoe, kabanjakan . . . . .”

 „Memang, mama, akoe poen taoe itoe perkara. Tapi, sa'ande kata mama soeda taoe terang, mama poenja bakal soeami bisa berlakoe begitoe kedji, begitoe tida hargaken kawadjiban dan kabedjikan . . .”

 „Tapi, Louise, itoe samoewa masi satoe omongan jang belon berboekti . . . Kita, jang ada mempoenja deradja lebi tinggi dari manoesia biasa, toch tida boleh begitoe gampang pertjaja segala perkara jang tida beralesan tjoekoep . . . . .”

 „Tida, mama, apa jang akoe dapet taoe, boekan sekali ada satoe perkara kosong. Boekti-boektinja, samoewa ada di tangankoe, dan kaloe kaoe maoe batja, mama ... '

 Sembari berkata, Louise laloe ambil satoe tempat soerat, dari mana ia kaloeari bebrapa lembar kertas, dan kasi itoe pada iboenja.

 „Ini, batjalah! Samoewa klakoean kedji jang diperboeat olehnja ada terang sekali! Aken dapeti ini barang, akoe misti hilang bebrapa banjak oewang, tapi akoe ingin taoe ... O, mama, orang sering berkata:

 „Broentoeng sekali ka'adahannja orang jang tida mengarti,” dan itoe, baroe akoe taoe ada mengandoeng kabenaran! Kerna, bilah orang taoe dan mengarti, ia kena diperdajaken oleh satoe lelaki jang bersoempa aken tinggal menjinta, habis loepaken soempanja, pergi pada jang laen, dan barang­ kali bersoempa lagi . . . itoelah ada terlaloe, mama, terlaloe dari misti!”

 Poetri itoe laloe bersedoe-sedoe, kamoedian laloe berkata poelah dengen soeara poetoes-poetoes:

 „ Ma ... ma! ... apa ... kaoe ... per ... tja ... ja, jang akoe lebi ... soe ... ka ma­ti ... da ... ri... mis ... ti menikah de­ngen itoe orang?”  Iboenja mengela napas.

 „Akoe mengarti!”

 „Apa, mama? Kaoe mengarti? Apatah jang . . . . .”

 „Djangan begitoe kaboeroe napsoe, anak! Akoe taoe kaoe poenja pengrasahan, akoe mengarti jang . . . . .”

 Louise gojang kapalanja.

 Ia baroe beroesia anam belas tahon, tapi ia soeda saksiken ka'adahan doenia, jang saban-saban ia pikiri dan tjatet di hati.

 Satoe anak radja, satoe poetri seperti ia, jang manoesia di doenia ada anggap broentoeng sekali, sabenarnja, ada apatah jang bisa sedikit mengimbangi itoe sangkahan? Satoe nona kampoengan, boleh bernikah pada soeatoe lelaki jang ia tjinta, tapi ia, misti menoeroet sadja apa jang orang pilih boeat dirinja.

 Apatah memang begitoe nasibnja orang jang berderadjat tinggi? Apatah barang­ kali iboenja djoega, soeda menikah dengen poetra makota karadjahan Belgie dengen tida sekali ada merasa tjinta?

 „Mama!”

 „Ada apa, anak?”

 „Akoe ada poenja satoe pertanjahan. Tjobalah mama bri djawaban: Apatah dalem nikahan mama dengen papa, ada mengandoeng soeatoe pertjintahan jang soetji?”

 Tatkalah itoe, matanja permeisoeri ada kaloeari tjahaja, jang tjoema djarang sadja ada terliat oleh anaknja. Moekanja berseri sabagi orang jang sanget bergirang, kamoedian dengen soeara seperti orang jang merasa kaliwat broentoeng, ia menjaoet:

 „Ja, Louise, akoe ada tjinta sekali pada kaoe poenja ajah!”

 „Kaloe begitoe soenggoe broentoeng mama poenja penghidoepan seperti permeisoeri!”

 „Broentoeng, ja, dalem ini perkara!”

 „Habis, dalem hal apatah lagi jang mama tida broentoeng? Rahajat negri djoengdjoeng padamoe begitoe tinggi, dan kaoe ada bernikah pada satoe lelaki jang kaoe tjinta! Dalem hal harta djoega kaoe tida kakoerangan, hingga dengen pendek boleh dibilang, kaoe soeda dapet samoewa apa jang begitoe banjak manoesia ada inginken . . . . .”

 „Aken tetapi diatas akoe poenja kapala adalah satoe matjem mega jang berlajang-lajang, dan aken djato menimpah! O, Louise, kataoehilah . . . . .”  „Mama, itoe samoewa tjoema . . . . .”

 „Soenggoe, Louise, satoe mega jang nanti menerbitken mendoeng, dan achir-achir toeroeni berbagi-bagi bahaja jang haibat ... Dan mega itoe sekarang soeda moelahi kasi liat roepanja. Liatlah, Louise, soedaramoe, poetra makota, telah mendjadi korban . . . . .”

 „Mama, bagimanatah kaoe boleh pertjaja segala perkara begitoe? Akoe taoe, kaoe pernah tjeritaken padakoe soeatoe impi­an ... Tapi impian adalah satoe perkara kosong ... Orang jang seperti mama, tida sekali boleh mendoekaken hati, boeat per­kara jang samatjem itoe . . . . .”

 „Memang, Louise, akoe poen tida pertjaja! Tapi, biar bagimana djoega, akoe tida bisa singkiri itoe rasa kwatir . . . . .”

 „Rasa kwatir? Apatah kaoe maoe bilang, mama?”

 „Louise, akoe sabagi merasaken, jang mega mendoeng itoe aken menimpah boeat kadoewa kalinja.”

 „Akoe tida mengarti, mama!”

 „Louise, Louise, akoe harep sanget, nikahan kaoe dengen Prins van SaksenCoburg, tida membawa laen kasedihan bagi akoe!” „Tapi, boekankah itoe perkara tida nanti bisa kadjadian?”

„Kaoe kliroe, Louise, peroentoenganmoe soeda ditetapken . . . kaoe misti menikah . . .”

„Siapatah adanja itoe orang begitoe kedji, jang menetapkan akoe poenja tjilaka?”

„Kaoe poenja ajah, Louise! . . . Tapi djanganlah kaoe berlakoe begitoe keras padanja, kerna orang toewa, tida nanti ingin anaknja djadi tjilaka.”

„Kaloe mama kata demikian, nistjaja akoe poen masi ada harepan. Akoe nanti pergi katemoeken pada ajah, dan minta dengen sanget, soepaja hal ini tida dibitjaraken lagi. Djika akoe menentoeken, dengen nikakoe ini bisa membawa tjilaka, bilah akoe bilang padanja dengen teroes terang, jang, boekan sadja akoe tida tjinta, tapi djoega tida bisa taro hormat pada bakal soeamikoe, nistjaja mama poen taoe, jang Sri baginda . . . . .”

„Itoe kaoe salah mengarti!”

„Salah mengarti, mama? Habis, bagimana akoe misti berboeat jang lebi sampoerna?”

„Tadi, kaoe sendiri soeda seboet: Sri baginda! Dari itoe kaoe misti taoe djoega, jang satoe Sri baginda, tida boleh berpikir dan bitjara seperti manoesia biasa. Satoe radja sanantiasa misti bersedia boeat lakoeken perkara besar, misti korbanken peroentoengannja sendiri boeat rahajatnja dan goena kapentingan ia poenja karadjahan . . . Sedeng kita djoega, Louise, kaloe perloe, misti lantas lemparken peroentoengan diri sendiri . . . . .”

 „Itoe terlaloe, mama, terlaloe dari misti!”

 Kamoedian poetri itoe mengelah napas sedi sekali, dan laloe berpaling.

 „Boekankah itoe prins ada kajah sekali, mama?”

 „Betoel, ia ada amat hartawan, tapi kanapa kaoe tanja demikian?”

 „Sebab akoe dapet denger, jang dalem bebrapa hari ini Sri baginda ada kakoerangan oewang.”

 „Kakoerangan oewang? Apatah jang kaoe hendak maksoedken dengen itoe perkatahan?”

 Koetika itoe Louise laloe peloek leher iboenja dengen bersedoe-sedoe, sembari berkata:

 „O, mama, kaloe sampe kadjadian akoe menikah boeat oewangnja itoe prins, bilah akoe sampe misti didjoewal aken djadi istrinja!”  „Kaoe berkata-kata terlaloe tadjem, anak! Hajo, singkiri sadja ingetan begitoe dari pikiranmoe! Itoe ada terlaloe dari misti ... satoe radja mendjoewal anaknja!”

 Mendenger iboenja poenja bitjara, Louise samingkin mendjadi sedi, hingga badannja jang begitoe bagoes dan langsing djadi bergerak-gerak, lantaran menangis dengen menoeroeti hantjoernja hati.

 „Mama, mama, toeloeng padakoe! Tjoema kaoe sadja jang bisa loepoeti akoe dari katjilakahan!”

 „Malaenken Sri baginda jang bisa membri toeloengan padamoe, anak, dan kaloe itoe tida terlaloe melanggar kapentingannja karadjahan Belgie, tentoe djoega ia maoe lakoeken! Senangi sadja kaoe poenja hati, kerna samoewa perkara belon men­djadi kasep!”

 Satelah itoe permeisoeri laloe mengoesoet-ngoesoet ramboet anaknja jang begitoe bagoes sabagi kapas, kamoedian berkata dengen soeara memboedjoek:

 „Sekarang ini oedara ada djernih sekali, apatah kaoe soeka djalan-djalan sabentaran?”

 „Akoe lebi soeka tinggal di roemah, mama! Akoe tida poenja napsoe boeat senangi hati... badankoe rasanja soeda tida seperti hidoep..."

 „Djangan terlaloe menoeroeti hati, Louise! Hajo, hawa oedara jang seger nanti mem­bikin kaoe djadi senang kembali!"

 Saprapat djam kamoedian, permeisoeri dan poetrinja laloe berdjalan-djalan dengen kandaran. Roepanja sang iboe ada kaliatan lebi berdoeka dari anaknja, jang lantaran masi beroesia moeda, dalem samantara waktoe sadja, soeda bisa loepaken segala kasoesahan jang begitoe menindih hatinja.

——————
III.
————

 Radja Belgie ada sendirian dalem kamarnja. Tangannja jang kanan ia senderken di pegangan korsi, dan tjara begitoe ia berdiri dengen melajangken pikiran, sembari matanja mengawasi pada satoe bola doenia jang berada diatas ia poenja medja toelis.

 Itoelah ada petah boemi di doenia ini jang loewas sekali. Laoetan besar, berbagi-bagi karadjahan jang berkwasa, samoewa djadjahan jang kaloearken banjak hasil, dan djoega negri Belgie jang teramat ketjil, ada terloekis di sitoe dengen terang.  Samantara itoe timboellah napsoenja, ingin berkwasa, satoe kainginan jang soeda berada dalem pikirannja, sadari ia masi djadi anak-anak.

 Ia ada mendjadi radja dari satoe negri ketjil, tapi hatinja tida menjingkir aken beringin, djadi satoe djoengdjoengan dari soeatoe tanah jang loewas dan berharta.

 Napoleon telah membikin lebar watas negrinja dengen goenaken kakoewatannja tenaga, tapi ia merasaken pasti sekali, tida boleh berboeat dengen menoeroet itoe toeladan, dan pikirannja jang tjerdik poen sanantiasa ada membri inget, jang klakoean samatjem itoe, bilah dibandingken dengen ka'adahan negrinja adalah teritoeng dalem golongan hal jang moestahil.

 Tapi, ia poen tida sekali ada berharep aken bisa berlakoe satjara demikian. Apa jang ia hendak berboeat, adalah hal jang ia misti lakoeken dalem negri bilangannja, maka baroelah boleh dibilang, ada soeatoe perkara jang boleh mèndjadi. Kerna ne­grinja poen ada banjak mempoenja soember pengharepan.

 Antwerpen ada satoe plaboean jang besar dan bagoes letaknja, dimana paroesahan dan perlajaran bisa saling bertemoe dengen gampang. Orang jang pandei, dalem negrinja tida kakoerangan, sedeng ia sendiri poen ada poenja pengartihan tjoekoep dalem hal berniaga besar, dan idoengnja boleh sekali dibandingken dengen idoengnja satoe antara soedagar-soedagar jang paling tjerdik, dalem melakoeken perkerdjahan di doenia. Dan djoega ia ada poenja pengrasahan hati keras sekali, hingga pasti ia nanti bisa menoedjoe sabagimana adanja ia poenja niat, dengen tida sedikit menjingkir, maski poen misti hadepken halangan jang bagimana berat dan haibat.

Ia ada berpikir djoega sedikit boeat kaoentoengan rahajat negrinja, kerna memang poen sanantiasa ada dalem ingetannja, aken mendapet oentoeng dan kakwasahan.

Dengen oendang-oendang dari negrinja, dengen itoe wet jang menetapken djoega kamistihannja radja, ia tida sekali bisa merasa satoedjoe. Ia lebi soeka berada dalem koetika sabagi Lodewijk XIV, jang boleh berkata: „Karadjahan Prasman jalah akoe sendiri”.

Aken tetapi waktoe soeda djadi berobah. Malaenken katinggalan bebrapa radja, jang boleh berkata demikian, sedeng di Belgie tida sekali satoe radja boleh berlakoe gitoe, kerna rahajat negri ada terlaloe menjinta ia poenja kamerdikahan, dan tida nanti maoe soeda, bilah ada jang maoe tjoba, melanggar oendang-oendang dalem negrinja.

 Dari sebab itoe maka ia goenaken matanja ka laen bilangan. Doenia ada sampe loewas, hingga tentoe misti terdapet djoega soeatoe tempat, dimana ia boleh diriken soeatoe karadjahan baroe, dengen adaken pamarentahan, jang memaksa rahajat toeroet kahendaknja. Tapi itoe, barangkali berada di tempat jang djaoe sekali!

 Ia poeter itoe bola doenia.

 Amerika! Amerika-Salatan!

 Samoewa soeda masoek dalem miliknja laen orang, atawa maski poen ada, tentoe djoega tjoema bebrapa poelo ketjil, jang dalem saban waktoe, boleh tenggelam dalem laoetan. Salaennja itoe, adalah lagi Amerika-Sarikat, jang telah mementjarken tangannja jang berkwasa atas samoewa tanah tanah di Amerika, dari Oetara teroes sampe di Salatan. Itoe djoega ada satoe hal moestahil, aken Belgie boleh mengharep kaoentoengan!

 Azië! Djoega tida boleh mendjadi, sedeng Australië, sama sekali soeda masoek dalem miliknja karadjahan Inggris.  Habis, ada apatah lagi laen katinggalan boeat Belgie? Malaenken Afrika! Di sitoe tjoema masi terboeka, aken baginda sarapeken niatnja, di sitoe masi ada kating­galan tanah, jang belon mendjadi kapoenjahannja laen orang, dan malaenkan tanah di sitoe djoega, jang masi banjak menjimpen harta . . , mas, gading, intan . . . . .

 Ia poeter itoe bola doenia ka kiri.

 Nah, betoel sadja! Masi ada!

 Aken tetapi boeat bikin permoelahan disitoe, ia perloe sekali misti banjak mempoenja oewang, dan djoestroe itoe moestika jang paling bergoena, tida ada pada dirinja.

 Samantara itoe pintoe kamar ada terketok dengen plahan sekali.

 Bebrapa sa'at ia tinggal berdiri dengen pikiran melajang, kamoedian laloe berseroe:

 „Masoek!”

 „Padoeka toewan Prins van SaksenCoburg ingin bitjara, Sri baginda.”

 „Kaloe akoe ada begitoe hartawan seperti ia, nistjaja samoewa nanti terdjadi dengen gampang sekali,” berpikir baginda. Tapi boeat harep pertoeloengannja, itoelah ada hal jang sama sekali tida boleh mendjadi, kerna itoe prins ada saorang jang malaenkan berpikir boeat kasenangannja diri sendiri.

 „Minta padoeka toewan masoek!”

 Sasa'at kamoedian laloe dateng dalem itoe kamar, saorang lelaki jang beroesia tiga poeloe tahon. Singkapnja ada gaga perkasa, tapi kaloe diliat dengen terliti, nyatalah tjoema djenggotnja, jang paling menjataken ia poenja laki-laki, dari sakoedjoer badannja, jang sanantiasa ada dihiasi satjara begitoe perlente. Ia ada memake katja mata jang mendjepit idoengnja, dan dari sitoe ada kaliatan njata sekali, matanja jang sanantiasa bergirang, tapi salaloe ada kaloearken sorot, aken menimboelken orang poenja rasa tjoeriga.

 Dengen gerak-gerakan jang menandaken senang, laloe prins itoe mengamperken pada baginda. Iaorang berdoewa ada bersobat baek satoe sama laen, hingga masing-masing boleh troesa goenaken peradatan, sabagimana jang biasa digoenaken oleh orang besar, bilah bertemoe moeka.

 „Bagimana dengen minggoe jang laloe?” tanja Leopold. „Masi sakit kapala?”

 „Masa sakit kapala sampe begitoe lama?” saoet Padoeka toewan Prins. „Tapi sasoenggoenja akoe merasa poewas sekali dengen ka'adahan di itoe malem.”  „Pada Maxim akoe sanantiasa ada dapet rasa mabok, dan djoega tetamoenja ada tertjampoer dengen sembarang orang. Di fihak njonja-njonja, sabegitoe djaoe akoe taoe, ada tinggal manis sabagimana biasa, tapi di golongan toewan-toewan . . . ba­rangkali tida moestahil, kaloe maoe dibi­lang, orang nanti djalan mendesak-desak dengen koesirnja sendiri . . . . .”

 „Bagoes! Dan akoe hari kamaren telah memperoleh oentoeng, bitjara pada La Rose.”

 „Ha, lebi bagoes lagi.”

 „Ia ada bersama-sama dengen Graaf De Villeneuve. Soenggoe bertjaja sekali, dandanannja jang begitoe perlente!”

 „Tapi akoe tida soeka dengen tingkanja satjara koepoe-koepoe.”

 „Hei, kaoe toch tida ingin . . . . .”

 „St! Djangan begitoe keras. — Tembok djoega boleh djadi ada mempoenja koeping. Kaoe taoe sendiri, permeisoeri sanantiasa ada tjemboeroean. Pada de Meaublanc djoega akoe tida bisa pertjaja, kerna saban saban gerakannja, adalah sabagi memboetoeti akoe poenja perdjalanan. Minggoe jang laloe, tatkalah akoe baroe bebrapa hari balik dari kota Paris, poen telah ter djadi satoe hal jang sanget tida enak bagi kitaorang berdoewa.”

 „Apatah perkara begitoe nanti tinggal salamanja pada permeisoeri?”

 „Boleh djadi sekali. Kerna tjemboeroean memang ada satoe penjakit, dan djoega boleh dibilang, jang haibat sekali. Tjoba dari tadinja akoe tida ambil perdoeli padanja . . . tapi ia soeka padakoe, ja, barang­kali djoega ia tjinta dengen sagenap hati . . . dan itoelah jang membikin akoe . . .”

 „Mistinja djoega begitoe!” berkata prins dengen tertawa. „Saorang prampoean, memang patoet sekali menjinta pada soeaminja!”

 „Memang mistinja, atawa boekan, troesa kitaorang ambil perdoeli, hanja tinggali sadja itoe perkara . . . dan akoe maoe tanja kaoe dalem laen oeroesan: Akoe denger orang berkata, kaoe ada ingetan bernikah, apatah itoe ada hal jang benar?”

 „Niat bernikah . . . Ha, barangkali djoega ada lantaran . . . . .”

 „O, kaloe begitoe orang tida bitjara djoesta.”

 „Ja, akoe ada pesan, aken meliat ka sana-sini boeat akoe, tapi akoe tjoema bilang sadja demikian, sedeng sabenarnja. . . . . datengkoe kamari, adalah boeat bitjaraken itoe perkara.”

 Aer moeka baginda djadi berseri. Apa? Ia ingin . . . Tapi, barangkali itoe prins sendiri nanti memboeka djalan, boeat ia menoedjoe ka goenoeng pengharepannja dari itoe baeklah sedikit bersabar.

 „Hajo, kitaorang malaenkan ada berdoewa sadja, bitjaralah!” berkata baginda dengen menahan-nahan perkatahan, jang ada bersedia di oedjoeng bibirnja, kamoedian laloe ia silaken itoe prins doedoek.

 „Apatah tida ada soeatoe halangan, aken akoe berlakoe begitoe laloewasa, di sini, di astana radja?”

 „Halangan sanantiasa misti dilaloeken di samping boeat kitaorang berdoewa. Dan itoe, bitjaralah!”

 „Nah, apatah tida ada kaberatan, kaloe akoe sama Louise . . . .”

 „Louise?”

 Sembari kata demikian, roepanja baginda ada sabagi orang jang bangga. Ia poenja poetri baroe beroesia anam belas tahon, hingga masi masoek dalem golongan anak-anak, sedeng itoe prins soeda beroemoer tiga poeloe satoe, satoe orang dewasa jang telah kenal perdjalanan doenia. Tapi, apatah hal itoe boleh teritoeng seperti kaberatan? Tida, tida sama sekali! Dalem golongan orang-orang berpangkat besar, perkara bedanja oemoer antara laki dan istri, tida begitoe diperdoeliken, malahan ada djoega permeisoeri atawa prinses, jang mempoenja soeami sabagi tingkatan oesia ajahnja. Salaennja itoe, adalah lagi satoe hal jang paling bagoes . . . Itoe prins ada amat hartawan, dan satoe mantoe jang kajah . . .
 Baginda laloe menginget poelah niatnja jang begitoe besar, dan tida aken bisa sampe, bilah ia tida dapet pertoeloengan banjak oewang, hingga achir-achir hatinja djadi tetap, aken loeloesken kainginan itoe prins goena dapeti maksoednja sendiri.
 „Ja, Louise,” kata lagi Prins van SaksenCoburg. „Apa kaoe ada merasa begitoe heran? Ia soeda sampe dalem oemoer boeat menikah, dan dengen membilang teroes terang akoe misti mengakoe, ia ada tjantik dan elok sekali dalem akoe poenja pemandangan, hingga tentoe ia nanti mendjadi satoe istri jang manis, boeat hiasi akoe poenja astana, jang soeda sakean lama berada dalem kasoenjian.”
 „Dari fihak akoe tida sedikit ada kaberatan, tapi akoe kwatir iboenja, permeisoeri . . . .”

„Dan dari fihak orang prampoean, salamanja ada gampang diboedjoek. Kaloe sadja kaoe soeka sedikit memaksa . . . ”

Dari hal Louise sendiri tida dibitjaraken sama sekali. Orang tida sekali maoe menginget, jang ia djoega boleh djadi tida satoedjoe dengen itoe nikahan, dan merasa tida soeka, bersoeami dengen itoe prins.[1]

„Aken tetapi, prins, kaloe akoe soeda berdaja boeat dapeti istrikoe poenja idjin, aken seraken Louise dalem tanganmoe, seperti kaoe poenja istri, patoetlah djoega, bilah kaoe pertoendjoekken satoe tanda persobatan padakoe.”[2]  „Djika kainginanmoe ada hal jang akoe bisa berboeat, dengen segala senang hati akoe nanti lakoeken . . . kaoe tjoema perloe sadja mengoetaraken.”
 „Akoe ada poenja satoe niat, satoe kahendak jang besar sekali, tapi boeat sampeken itoe, akoe perloe dapet toeloengan oewang djoemblanja boekan sedikit!”
 „Dompetkoe ada tersedia boeat kaoe, sobat! Memang djoega satoe pertoeloengan misti dibales dengen menoeloeng Tapi apatah adanja kaoe poenja niat jang begitoe besar?”
 Baginda laloe berbangkit dari tempat doedoek, dan sembari hadepken itoe bola doenia pada sobatnja, ia berkata:
 „Liatlah, doenia ada loewas sekali. Di sini, di sana, ada teramat banjak tempat jang masi menjimpan harta. Jang mem­bikin moestahil aken dapeti itoe kaoentoengan, malaenken oewang, kakerasan hati dan katjerdikan . . . tapi kaloe kaoe menoeloeng akoe jang pertama, akoe nanti lakoeken sendiri boeat jang laen-laen.”

 „Kaloe baroe begitoe sadja, traoesa kaoe kwatir. Prins van Saksen-Coburg poenja soember oewang, sanantiasa nanti terboeka

Prins van Saksen Coburg.
(katja 42).

pintoenja, boeat kaoe goenaken sabagi pe­nawar.”

Kamoedian kadoewa orang itoe laloe berdjabat tangan satoe sama laen, dan dengen begitoe, poetoeslah perkara, aken seraken Prinses Louise mendjadi istrinja Prins van Saksen-Coburg.[3]

Bebrapa hari kamoedian, satelah permeisoeri mendapet taoe, apa jang telah kadjadian antara soeaminja dan Pris van Saksen-Coburg, laloe ia bitjaraken pada baginda, tentang kaberatan anaknja dalem itoe nikahan. Aken tetapi baginda lantas menjaoet dengen pendek, satjara tida boleh dibantah:  „Akoe soeda poetoesken itoe perkara, Maria, dan biar poen bagimana, nanti tinggal tetap begitoe!”

Mendenger itoe, permeisoeri sabagi merasaken moeloetnja disoempal, hingga maski poen dalem hatinja ada bersoesoen tindi dengen berbagi-bagi pikiran, tapi tida satoe perkatahan bisa dikaloeari olehnja.

Di itoe malem, dalem satoe kamar jang soenji sekali di itoe astana, adalah berdoedoek diatas satoe divan, satoe prampoean toewa bersama satoe nona moeda. Masing-masing berpeloekan satoe sama laen, dan menangis teramat sedinja.

Aken tetapi samoea soeda kasep, soeda kadjadian . . . nasibnja iaorang berdoewa soeda ditetapken. O, asal sadja boekan itoe mega mendoeng, jang hendak kasi liat poelah roepanja jang bengis!


IV.


   „Iboe jang tertjinta!

Akoe sendiri tida bisa merasaken, apa dengen menoelis ini soerat, akoe tida berboeat satoe kasalahan. Benar, sariboe kali ada lebi baek, sasoeatoe kasoesahan orang tanggoeng sendiri, dari pada misti membagi pada laen orang. Tapi, iboe, aer mata tida salamanja bisa membikin anjoet orang poenja kasangsarahan hati, kerna bilah orang menangis sendirian sadja, ada­lah seperti tangisan salagi maoe poetoes djiwa, dan itoelah jang mendjadi sebab, hingga akoe menoelis ini sapoetjoek soerat, aken toempaken sakalian akoe poenja rasa hati.
 O, iboe, bagimana besar akoe poenja kainginan, aken berlari-lari, dateng di hadepanmoe, tapi orang sanantiasa menghalangken akoe poenja perdjalanan. Dari itoe, ada apatah lagi, salaen pertjajaken ini sahelai kertas, aken mendjadi akoe poenja wakil?
 Begitoe moeda seperti adanja akoe sekarang, iboe jang tertjinta, tida loepoet akoe soeda bisa hargaken, bagimana besar kaoe poenja kasedihan, kerna di ini waktoe, akoe poen ada teritoeng dalem golongan, orang jang seperti kaoe. Akoe sekarang bisa artiken, kaoe poenja aer moeka jang begitoe sedi, itoe awan kasangsarahan, jang sanantiasa berada di kaoe poenja djidat.  Kitaorang, iboe, ada takoet sekali melanggar kasoetjian roemah tangga. Tapi kaloe kaoe dateng padakoe di sini, nistjaja kaoe nanti merasaken sendiri, ka'adahan kitaorang ada se­dikit koeno, djika maoe dibandingken dengen waktoe sekarang.
 Di negri asing tempat kadiamankoe, iboe, akoe dapet denger banjak sekali dari hal ajah poenja klakoean, lebi dari apa jang akoe telah taoe, koetika masi ada di dampingmoe.
 Ia ada terkenal sabagi orang jang soeka berpoewas-poewasan, dan banjak sekali perkara kedji telah sampe di koepingkoe, jang menjeritaken prihal ajah bersama satoe prampoean. Dalem melakoeken ini hal, akoe poenja soeami dan kaponakan poen, ada sama seperti soedaranja.
 Kamaren malem kitaorang doedoek di kita poenja loge dalem roemah komedi. Samantara itoe akoe dapet liat di laen loge, jang berhadapan pada kita-orang, satoe prampoean moeda jang tjantik sekali, sembari matanja sanantiasa mengintjer padakoe.
 Waktoe pauze, salagi akoe memesan barang-barang boeat menjegerken ba­dan, dengen tida kataoehan lagi, Philip[4] soeda mengilang. Bebrapa sa'at kamoedian akoe mendapet liat ia ada di itoe loge terkoetoek, sembari bitjara dengen bersenjoem-senjoem pa­da itoe njonja moeda. O, iboe amat tertjinta, kataoehilah bagimana pengrasahan hatikoe di itoe masa!... Tapi akoe pertjaja, jang kaoe ada ke­nal itoe kasedihan, kaoe taoe itoe... hingga akoe merasa tida perloe, tjeritaken lebi djaoe.
 Di itoe malem kitaorang djadi satori. Tapi ia tida sedikit maoe ambil perdoeli, dan lantas memoekoel padakoe,sembari katanja: „Trimalah kaoe poenja bagian!" O, iboe jang tertjinta, apatah soenggoe ada dengen patoet, poekoelan itoe ditrimaken padakoe? Tidakah memang akoe ada poenja hak, aken ambil taoe ia poenja penghidoepan?
 Koetika itoe akoe lantas bitjara, aken poelang ka astana sendiri, boeat tida meliat lagi penhidoepan di itoe negri asing, tapi ia sama sekali tida bri djawaban, dan . . . tertawaken akoe dengen moeka begitoe dingin.
 Kadang-kadang sampe bebrapa minggoe lamanja, ia tinggali akoe sendirian. Akoe taoe betoel, iboe, dengen apa berhoeboengnja itoe samoewa klakoean. Tapi . . . ada apatah harganja dirikoe di ini masa?
 Permoelah ia poera-poera, sabagi itoe mengilang ada boeat oeroes pamarsntahan, tapi sakarang ia tida maoe tjapeken hati lagi, aken mengakal, boeat toetoep akoe poenja mata. Ia pergi sadja kamana ia soeka, dengen tida kaloearken satoe perkatahan!
 Iboe, liatlah bagimana akoe poenja ka'adahan di ini waktoe! Habis, ada apa nasehat jang baek, aken mengentengken sedikit penghidoepankoe jang penoe kamalaratan? Hajo, bilang sadja, bilang sadja teroes terang, bagimana adanja kaoe poenja pikiran! Pertjaja, iboe, malaenkan kaoe sendiri jang taoe habis akoe poenja pengrasahan hati, tjoema pada kaoe sadja, akoe bisa toempaken samoewa, apa adanja akoe poenja kadoekahan, dari itoe djanganlah loepoeti . . . kirimlah sedikit perkataban aken akoe djadiken sabagi penawar!

Dari anakmoe jang terboewang,

      Louise."

Satelah habis membatja boenjinja itoe soerat, permeisoeri poenja aer moeka ada kaliatan sedi sekali, dan sembari pegangi itoe sahelai kertas, ia tinggal berdoedoek dengen tida bergerak seperti patoeng.

Barones de Meaublanc waktoe itoe djoestroe masoek di itoe kamar. Ia liat itoe aer mata jang berlinang-linang di mata djoengdjoengannja, disertaken dengen aer moeka menjesel jang teramat sedi.

Ini hal ada membikin sanget terkedjoet pada barones, hingga dengen sedikit goegoep, ia berkata:

„Sri padoeka, apatah lagi jang mengganggoe kaoe poenja pikiran? Apa barang­ kali kasehatanmoe dengen mendadak kenah diserang penjakit? Tidakah lebi baek akoe lantas memanggil doktor . ."

Tapi permeisoeri laloe gojangken tangan, seraja berkata:

„Tida, tida satoe doktor nanti bisa membri obat padakoe. Tida saorang nanti bisa bri toeloengan, dan kaoe djoega, sobatkoe jang tertjinta, tida nanti bisa mengenteng ken akoe, biar poen bagimana sedikit. Kasoesahan jang dateng menimpah di ini hari, adalah sabagi goenoeng poen,ja besar, hingga misti dibilang teramat moestahil, jaag doenia kita ini niasi bisa adaken penawar.."
 Barones mengelah napas sedi sekali, kamoedian laloe berkata lagi :
 „Apatah sanget sekali, itoe hal jang bikin menjesel pada Sri padoeka?"
 „Tida, sobat, ini sakali boekan baginda."
 „Boekan dari ia? Habis dari siapatah lagi jang begitoe pandei datengken kasedihan?"
 „Ini," kata permeisoeri, sembari kasi soerat anaknja, „batjalah apa jang Louise telah toelis padakoe! O, sobat, sasoenggoenja mega mendoeng itoe soeda kasi liat lagi roepanja jang bengis!"
 Barones de Meaublanc ambil itoe soerat, pergi ka djendela, dan membatja.
 „Betoel terlaloe sekali !" kata ia kamoedian, seraja mengasi kombali itoe soerat pada permeisoeri. „Habis, bagimana Sri padoeka hendak bri djawaban padanja?"
 „Hajo, kasi sadja padakoe kertas dan pena! Kaoe nanti liat sendiri bagimana akoe djawab toelisannja."
 Tatkalah samoewa soeda sediah di medja, dengen tida terasa lagi, bebrapa ketel aer mata telah meleleh djato di kertas. Kamoedian permeisoeri laloe menoelis:

     Louise,

 Kaloe sasoenggoenja kaoe kenal kaadahan iboemoe, nistjaja kaoe bisa merasaken djoega, bagimana soeratmoe telah hantjoerken akoe poenjahati. Tapi bilah akoe balik memikiri laen-laen hal, adalah pengrasahankoe, seperti dengen sakoenjoeng-koenjoeng dirikoe soeda silam dari pergaoelan manoesia, dan berada diatas satoe goenoeng jang tinggi serta soenji.
 Manoesia di doenia, anak, soenggoe tida beda sebagi goenoeng dan laoetan ....... masing-masing poenja ka'adahan dan pikiran ada berbeda djaoe sekali satoe sama laen. Tapi kasoedahannja, ada apatah laen jang katinggalan boeat kita, djika boekan sakedar aken melangkapi hikajatnja djaman ?
 Kasenangan, kasoesahan,kagirangan,kakeselan, samoewa ada satoe roepa ...pintoe koeboer mendjadi watasnja! Manoesia jang tida kenal senang, tentoe tida taoe apa namanja kasoesahan, jang tida kenal soesa, tida taoe apa namanja kasenangan, itoe memang ada koentjinja penghidoepan jang tida bisa dirobah.
 Jang bersenang, adalah manoesia jang pernah ngalami kasoesahan, dari itoe, anak, mengapatah kita misti rasaken koerang broentoeng, kaloe kita bertreak soesa, lantaran doeloe soeda tjobaken manisnja kasenangan Boekankah ada benar sekali, djika dioepamaken, orang jang senang, sedeng mandjat aken mendapet taoe brapa tingginja goenoeng Tertawa, sebaliknja jang soesa, sasoeda taoe ka'adahannja, laloe kombali toeroen ka bawa?
 Louise amat tertjinta, siapa jang maoe tinggal tetap di poentjak goe­ noeng Tertawa, ia misti diriken satoe astana jang santausa. Dan boeat mem­ bikin itoe, tida nanti bisa, djika tida naek toeroen sampe bebrapa riboe kali, aken mengangkoet bata dan sebaginja. Habis, anak, tjara bagimana kaoe aken bisa diriken satoe goeboek jang paling ketjil, bilah boeat pertama kali toeroen ka bawa, kaoe soeda merasakeh begitoe lemas dan sedih ? Dari itoe, anakkoe jang tertjinia, kaoe misti djangan me­ rasa lemah ! Naek dengen gaga serta girang, kamoedian toeroen lagi dengen sabar dan berharep, naek dan toeroen poelah... sampe astana itoe djadi dalem ka'adabannja jang indah dan santausa !
 Kasedihan dan kasoesahan memang atjap kali menj erang penghidoepan manoesia. Siapa jang terlaloe lemah boeat trima kadatengannja, nistjaja ia nanti terdjebloes, dan djato dalem tjoeram tjilaka, dimana tida satoe penghiboer bisa sampe, aken membri toeloengan.
 Laoetan melimpasken aernja ka da­rat, goenoeng goegoeri tanahnja ka moeka boemi, itoe boekan sekali ada hal jang terlaloe djarang kadjadian. Siapa jang salaloe berkwatir dengen datengnja itoe bahaja, ia tida nanti bisa sampe di kakinja goenoeng Ter­tawa, atawa saksiken, bagimana roepanja tepi laoet Kagirangan.
 Perhatikenlah toelisan ini, anakkoe jang tertjinta, kamoedian kaoe nanti mendapet taoe, bagimana benar adanja akoe poenja pikiran.  Lebi banjak akoe tida bisa menoelis, kerna ka'adahankoe sekarang, adalah sabagi kaoe, sedeng misti melawan serangan dari berbagi-bagi fihak. Dan akoe tida bisa mendoega, siapa achirnja dapet dialaken . . . akoe atawa itoe mega mendoeng, jang sampe se­karang masi tinggal mengambang diatas akoe poenja kapala. Dari itoe biarlah kaoe berharep, anakkoe jang tertjinta !

     Dari iboemoe,

     Maria."

„Dengen sabegini, akoe kira adalah sampe tjoekoep, akoe melakoeken kawadjiban boeat hiboeri padanja," kata permeisoeri sembari mengelah napas.

Barones de Meaublanc, jang saman tara itoe ada meliati sadja djoengdjoengannja menoelis, laloe memanggoet, dan berkata :

„Sasoenggoenja djoega tida ada laen djalan lagi, aken Sri padoeka hiboeri padanja,laen perkara kaloe Sri baginda . . ."

„Baginda ?"

Permeisoeri laloe bersenjoem sedih sekali.

„Baginda ada terlaloe ripoe dengen laenlaen hal, aken bisa pikiri kasoesahan ia poenja anak-anak. Ingetannja soeda djadi penoe dengen niat diriken karadjahan baroe, jang djaoe letaknja dari sini. Salaennja kaoentoengan, kakwasahan dan kasenangan, tida ada lagi jang begitoe diper­hatikan olehnja."
  Omongan itoe dioetjapken dengen soeara sanget berdoeka, tapi kamoedian, sabagi menjesel dengen bitjaranja sendiri, permeisoeri laloe berkata poelah :
 „Ja, jang paling perloe memang misti paling diperhatiken. Kapentingan negri, sasoenggoenja ada melebiken laen-laen per­kara, dari itoe kita tida boleh terlaloe kasi salah pada baginda."
 „Memang, Sri padoeka, akoe poen harep sanget, kaoe laloeken sadja itoe pikiran jang doeka . . . . ."
 „Dan sekarang biarlah kaoe lekas oeroes itoe soerat; toelisken adres dan lantas kirim. Akoe ada merasa tjape sekali, dan ingin senangken diri."
 Barones sigra berlaloe dari itoe kamar, hingga tinggal permeisoeri sendirian.
 Samantara itoe, salagi permeisoeri melajangken pikirannja, pintoe kamar diboeka dengen sanget hati-hati, dan satoe anak prampoean laloe masoek ka dalem, sembari matanja meliat koeliling, aken me­nengok, apatah sasoenggoenja dalem kamar itoe tida ada orang, jang nanti menjegah kadatengannja.
 Tapi tida satoe orang ada kaliatan di sitoe, salaen iboenja, jang sedeng bengong hadepken djendelah, sembari memandang ka loear, dimana saldjoe ada toeroen sabagi kapas berlempeng-lempeng.
 Dengen entengken tindakan, nonaketjil itoe laloe dateng mengamperi.
 „Mama!" kata ia dengen koenjoeng-koenjoeng, kamoedian lantas memeloek lehernja permeisoeri dengen kadoewa tangan. „Mama, mengapa kaoe begitoe sedih ? Apa­ tah jang kaoe tangisi?"
 Permeisoeri sigra menjoesoet aer matanja, kamoedian laloe tjenderongken badannja, dan tjioem djidat anaknja, sembari berkata :
 „Menangis? Tida, anak lemmés! Tapi mengapa kaoe boleh kata begitoe?"

 „Ja, iboe, akoe denger kaoe sasenggoekan. . . . ." Dan ia tarik moeka per­meisoeri lebi dekat pada moekanja sendiri. . . . ." Kaoe poenja mata begitoe mera. . . . . o, mama, apatah jang mem­bikin kaoe begitoe sedih?"

Prinses Louise, poetri dari karadjahan
Belgie. (katja 54).

„Kaloe kaoe maoe taoe djoega, anak tjerewet, nanti mama tjeritaken . . . Akoe

meliat itoe saldjoe jang berlempeng-lempeng seperti kapas di moeka boemi, dan hawa oedara ada begitoe dingin, hingga akoe djadi menginget, bagimana mistinja malarat sekali, ka’adahan orang-orang miskin jang tinggal di kampoengan, bilah iaorang tida mempoenja roti, boeat samboet datengnja lapar, dan tida ada api di roemahnja, aken membikin anget badan.”

„Soenggoe, mama, penghidoepan orang-orang jang tinggal di kampoengan memang ada melarat sekali,” kata poetri Stephanie, tapi dengen merasa koerang pertjaja, ia tambaken poelah berkata: „Habis, kaoe menangis lantaran itoe, mama?”

„Ja, anak, kerna akoe merasa kasian sekali pada iaorang.”

„Dan papa, apatah ia djoega nanti bisa menangis boeat itoe kamalaratan ?”

„Orang lelaki ada lebi bisa menahan hatinja jang sedih.”

„Apa kaoe belon pernah liat papa menangis, mama?”

Permeisoeri berpikir sabentaran, kamoedian berkata dengen sanget berdoeka:

„Soeda, anak, satoe kali, koetika kaoe poenja adeh, Hertog van Brabant, meninggal doenia. Tapi sekarang, biarlah kaoce tinggali mama sendirian. Mama ada dapet sakit kapala. 'Tjoba tanja pada barones, apa ia tida loepa membagi derma pada orang-orang miskin, dan kaloe ia belon lakoeken itoe, soeroe ini sakali ia kasi sedikit lebi banjak, kerna dalem waktoe begini, mistinja derma kita ada banjak lebi perloe bagi itoe orang-orang dari jang soeda-soeda.”[5]

„Baek, mama!

Poetri itoe mengasi lagi satoe tjioem pada iboenja, kamoedian laloe berdjalan kaloear dengen berlompat-lompat.

Permeisoeri meliati anaknja sampe pintoe kamar tertoetoep kombali, satelah itoe laloe berkata dengen soeara sember:

„Apatah itoe mega mendoeng nanti menimpah djoega itoe anak, jang tida sekali berdosa?”



V.


Penghidoepan permeisoeri Maria ada berdjalan dengeii soenji dan getir sekali. Apabilah dalem waktoe itoe tida ada kadoewa anaknja, Stephanie dan Clementine, bersama Barones de Meaublanc, jang sala-loe bri hiboeran padanja, nistjaja boleh ditentoeken, ia tida nanti sanggoep pikoel itoe kasedihan, jang sanantiasa ada menin-dih hatinja.

Sri baginda salamanja ada dalem perdjalanan, atawa, maski poen ia ada di as-tana, toch temponja salaloe misti digoenaken boeat berhimpoen, boeat kerdjaken oeroesan penting, jang berhoeboeng dengen niatnja, mempoenjaken satoe djadjahan, atawa laen dari itoe, aken diriken astana baroe.

Tinggal djinak didalem roemah, aken hidoep manis bersama anak dan istii, itoe belon pernah kadjadian satoe kali, sabegitoe lama baginda soeda bernikah pada permeisoeri. Ia paling senang kaloe bisa ada di kota Paiis, dimana samoea kaadahan ada kaliatan lebi indah dan lebi mengheranken hati dari di Brussel. Di sitoe poen baginda ada rasaken dirinja lebi merdika dari tinggal dalem astananja di kota Laeken. Dan kaloe penghidoepan di kota kota rameh soeda membikin bosan pada baginda, atjap kali djoega ia pergi ngoembara dengen kapalnja jang bernama „Alberta".

Saban-saban baginda poe'ang dari perîajaran, atawa perdjalanan, sanantiasa ada sadja satoe kaheranan baroe, jang menggeraki hati rahajatnja. Dalem iboe kota, begitoe poen dengen laen-laea kota dalem negrinja, salaloe tida terloepoet dari dajanja baginda, aken mendjadi lebi indah ka'adahannja.

Permeisoeri Maria, jang memangnja ada soeka sekali dengen koeda-koeda, ada kaliatan lebi oppèn pada itoe binatang-binatang, dan apabilah oedara djernih, boleh dibilang pasti, tida ada satoe hari jang pendoedoek kota Brussel, tida dapet meliat djoengdjoengannja berdjalan-djalan dengen kandaran ka sana-sini.

Koetika itoe poetri Stephanie soeda beroesia lima belas tahon. Boeat satoe anak radja, dalem oemoer sabegitoe, saban wak­toe bisa kadjadian, nanti ada poetra dari laen-laen negri dateng meminang. Lanta­ran itoe poen permeisoeri sanantiasa berharep-harep, poetrinja jang kadoewa, bisa dapet peroentoengan, melebiken soédaranja, dari siapa malaeakan terdapet kabar, tentang berbagi-bagi kasedihan.

Pada soeatoe pagi dari tahon 1879, oedara ada djernih sekali, hingga dari berbagi-bagi fihak, langit ada kaliatannja biroe. Angin jang menioep ada teramat sedjoek. Emboen masi kaliatan berkilat-kilat di daon-daon poehoen, seperti aer mata dari orang jang sanget bergirang. Tatkalah memboeka djendelah kamar, permeisoeri laloe dapet menjioem baoenja kembang-kembang jang haroem, hingga terbitlah satoe kainginan, aken berdjalan-djalan tjari sedikit hiboeran boeat hatinja jang sedeng berdoeka.

Samantara itoe permeisoeri lantas mengasi taoe niatnja pada peetri Stephanie dan Baron de Goffinet, dan tida sabrapa lama kamoedian, tiga orang itoe laloe ambil djalanan Louise, menoedjoe ka rimba. Poetri Stephanie roepanja sanget bergi­ rang; sabentar-bentar ia boenjiken tjamboeknja, dan tertawa njaring, koetikakoedanja berdjingkrak-djingkrak. Baron de Goffmet poen toeroet tertawa, tatkalah meliat ia poenja poetri bersama koedanja, ada begitoe goembira. „lni koeda girang, akoe poen toeroet-toeroetan girang, lantaran oedara di ini pagi begitoe djernili!" kata poetri Stephanie dengen boengah hati.

„Soekoer, anak, kaloe sasoenggoenja tjoema lantaran ini oedara, soeda bisa mem­bikin kaoe djadi begitoe girang," kata permeisoeri dengen bersenjoem.

Poetri poenja moeka mendjadi mera. Apatah dengen kaloearken itoe perkatahan, boleh dianggap jang permeisoeri kenah djadjaki resia hati anaknja?

Masi anak-anak seperti adanja ia di itoe masa, adalah soesa sekali aken ia menjimpan pengrasahan hatinja, dan boekan sadja ia poenja iboe, hanja djoega samoea njonjanjonja di astana, telah dapet kanjatahan dari gerak-gerakannja, bahoewa Aartshertog Rudolf van Oostenrijk, jang beroesia tjoema anam tahon lebi toewa dari ia, soeda dapet mentjoeri hatinja.

Habis dengen mendadak iboenja berkata begitoe roepa, ini soenggoe membikin poetri kita djadi boengkam aken membri penjaoetan lagi. Aken tetapi, apatah memang ada halangan, aken ia bilang teroes terang pada iboenja? Apatah misti merasa maloe, kaloe ia kasi taoe sadja, jang Aartshertog Rudolf ada ditjinta olehnja? Tida, hal menjinta dengen sadjamaknja ada pada lelaki atavva pada prampoean !

Kaloe poetri Stephanie merasaken ada halangan, atawa maloe mengoetaraken itoe, adalah lantaran ia masi beroesia terlaloe moeda, hingga belon kenal baek perdjalanan doenia. Dan boeat manoesia, me­ mang poen soeda loemra, apa jang lebi disoeka, lebi lagi djarang dibitjaraken olehnya.

Permeisoeri mengarti ini hal, maka ia tida sekali maoe paksa anaknja, aken tjeritaken itoe resia jang ada dalem hatinja. Lagi poen pertjintahannja Stephanie pada Rudolf, haroes dipandang seperti satoe harepan, jang ada sapoeloe kali lebi broentoeng dari nikahannja Louise. Kerna, begitoe lekas tampangnja Prins van Saksen-Coburg bisa menerbitken hati tjoeriga, begitoe lekas djoega aer moekanja itoe Aartshertog moeda, bisa membikin orang satoedjoe dan pertjaja.

Maski poen Aartshertog masi beroesia moeda, tida loepoet ia soeda mem poenjaken kasiat jang tjerdik. Boedi perketinja salaloe ada manis sekali, dan dalem pengataoehan poen, ia ada sampe terpladjar tjoekoep. Matanja ada poenja sorot, jang bisa geraki orang, aken mengandel padaiija. Singkapnja ada gaga perkasa, serta lagi kamoedian ia ada poenja hak aken memakeh makota dari negri Oostenrijk. Lantaran itoe, tidalah heran, kaloe baroe poetri Stephanie dapet ditjoeri hatinja, kerna dalem ka'adahan begitoe, sering sekali nona-nona memasang pikat boeat dapeti itoe katjintahan.

Permeisoeri tida mendapet taoe, jang di hari kamaren, poetrinja ada bitjara pada itoe Aartshertog, dan telah bikin perdjandjian, aken bertemoe poelah satoe sama laen dimana rimba.

Inilah jang membikin Stephanie djadi begitoe girang, hingga dimana sadja ia berdjalan, salaloe matanja meliat koeliling, sabagi orang maoe tjari apa-apa.

Samoea orang jang kenal pada marika bertiga, salaloe berdiri diam, sembari me­ngangkat topinja aken membri hormat, tapi dalem bebrapa banjak kali pendoedoek Brussel berboeat demikian, belon pernah iaorang ada dapet balesan begitoe manis, seperti di ini kali poetri Stephanie berlakoe pada marika.

Dengen plahan katiga orang itoe berdjalan, tapi Stephanie sabagi merasaken jang koedanja ada bertindak terlaloe tjepat, dan sabentar-bentar ada merasa kwatir, aken perdjalanan di itoe rimba nanti lekas sekali sampe pada achirnja, sabelon ia bisa bertemoe pada itoe aartshertog moeda.

Dengan sakoenjoeng-koenjoeng dari tempat jang djaoe, ada terdenger soeara daon berkrisik. Apatah itoe tanda djoega masi bisa mendjadi salah ?

Poetri sigra menahan kendali koedanja, dan mendengeri dengen terliti. Tida, ia poenja pengrasahan tida mendjoestaken padanja . . . Itoe soeara boekan terdjadi lantaran laen!

Achir-achir ada terdenger djoega tindakan koeda, dan sasa'at kamoedian laloe kaloear dari alingan poehoen, satoe djedjakamoeda dengen berpakean satjara sport.

Tatkalah soeda dateng dekat, laloe ia membri hormat pada permeisoeri, kamoedian bertabean pada poetri Stephanie dan Baron de Goffinet.

„Soenggoe kabetoelan sekali !" berkata permeisoeri sembari tertawa. „Apatah kaoe atjap kali soeka berdjalan-djalan di ini rimba ?"

„Ja, njonja, kaloe akoe bisa dapet katentoean, aken sanantiasa bertemoe pada kaoe bertiga," kata aartshertog, „nistjaja boleh dipastiken, akoe nanti berdjalan-djalan di sini pada saban pagi."

„Djika kaoe maoe tjeritaken pada toewan baron, hal pertoendjoekan komedi saraalem," kata poelah permeisoeri dengen maenmaen, „dengen segala senang hati akoe soeka mengalah, dan berdjalan di moeka bersama poetri."

„Kaindahan di üii tempat ada terlaloe toelen, njonja, aken akoe misti perhatiken lagi, kabagoesan itoe komedi dari bikinan manoosia," kata lagi aartshertog sembari bersenjoem. „Bilah njonja soeka membri idjin, akoe ada merasa lebi senang, kaloe njonja berdjalan teroes bersama toewan baron, sedeng akoe memboentoeti dari blakang. Katjoewali . . . djika njonja ingin laen."

Tapi dalem samantara itoe Stephanie soeda berdjalan di samping aartshertog, dan sembari meliati iboenja, poetri itoe berkata :

„Mama poen ini hari ada sanget bergirang, dan tida maoe liat laen dari moeka jang berseri."

Kamoedian, sembari beromong-omong, ampat orang itoe teroesken perdjalanannja. Rudolf dan Stephanie, kaliatannja ada jang paling tida bisa bosan, dalem membitjaraken berbagi-bagi hal. Sabentar iaorang menjindir, kamoedian laloe tertawa sampe masing-masing poenja moeka mendjadi mera, dan begitoe teroes, sabagi apa jang diomongi tida ada achirnja.

Satelah berdjalan saprapat djam lamanja, masing-masing ada dapet ingetan aken balik poelang. laorang berlaloe dari itoe rimbah, dan ambil djalanan besar jang teroes ka kota.

Kira-kira baroe sampe satengah perdjalanan, tiba-tiba iaorang berpapasan dengen satoe kandaran, dimana ada berdoedoek satoe njonja toewa bersama satoe prampoean moeda. Koetika itoe, jang moeda ada toetoepi, moekanja dengen pajoeng.

Kandarannja ada biasa sadja, dan barangkali poen tjoema boleh dapet disewa di tengah djalan.

Tapi sabaliknja itoe doewa prampoean, ada berpakean perlente sekali. Si njonja toewa, jang salaloe ada meliat koeliling, maski poen ramboetnja soeda beroeban, toch roepanja masi lebi mirip diseboet tjantik, dari pada dikenaken dengen moeka orang jang soeda kolot. Permeisoeri bersama tiga penganterrijai barangkali djoega nanti tida perhatikeiii pada itoe doewa orang, kaloe tida si njonja toewa deugen sakoenjoeng-koenjoeng lantas berseroe:

„Tjoba liat, Marie, apatah ka'adahan di sini tida sama sekali dengen taman di kota Weenen?"

Satoe-satoe perkatahan ada dioetjapken begitoe njaring, hingga aartshertog mendapet denger, dan dengen tida sangadja, laloe meliat pada itoe doewa prampoean, betoel dalem waktoe si tjonja moedakasi minggir ka samping ia poenja pajoeng, aken saksiken, apa jang begitoe terlatèn. soeda dioendjoeki padanja.

Samantara itoe dengen mendadak moekanja aartshertog mend jadi poetjat sabagi mait.

„Kaoe kanapa, toewan?" tanja Stephanie, dengen merasa amat heran.

„Akoe? Tida!"

Aken tetapi poetri masi merasa koerang: pertjaja, hingga dengen tida soedanja, ia meliati moeka djantoeng hatinja, sembari berdjalan lebi djaoe.

Permeisoeri, jang berdjalan di moeka. bersama baron de Goftinet, lantaran tida. mendenger lagi tertawan ja marika berdoewa, laloe berpaling ka blakang. Tapi ia tida raaoe lantas menanja, apa jang mendjadi sebab, hanja malaenkan berkata-kata sedikit goembira, aken membikin girang kombali, hatinja ia poenja penganter.

Samantara itoe sampelah di tempat, dimana iaorang misti berpisa satoe sama laen.

Di itoe malem poetri Stephanie tida bisa dapet tidoer dengen senang, begitoe poen Aartshertog Rudolf, misti rebah di pem­baringan lama sekali, dengen terganggoe oleh berbagi-bagi pikiran.

„Kanapa ia dateng kamari?" menanja ia pada diri sendiri dengen rasa amat kwatir. „Dan apatah jang mendjadi kahendaknja?"

____________________

VI

______

Pada esok hari, koetika aartshertog bangoen dari tidoernja, lantas ia mengoesoet-ngoesoet djidatnja dengen kadoewa tangan, sabagi boeat meloepaken soeatoe impian jang sanget negri.

„Hei, dengen maksoed apa Marie dateng kamari?" kata ia sendirian dengen soeara berbisik. Kamoedian ici lompat dari pembaringan, berpakean, dan doedoek di medja boeat bersantap, samantara boedjangnja mengasi soerat-soerat sama bebrapa soerat kabar.

Aartshertog preksa itoe sembari makan, sampe matanja dapet meliat satoe enveloppe, jang berwarna boenga mawar, disertaken dengen makota baron diatas lak jang ditjap.

„Dari ia!" berkata ia dengen plahan, kamoedian satjara orang jang poetoes kasabaran, ia laloe memboeka. Permoelah aartshertog mendoega, jang soerat itoe tentoe nanti membawa boenji pandjang lebar, tapi satelah diboeka, njatalah sangkahan itoe ada kliroe, kerna isinja itoe kertas, tida lebi dari bebrapa perkatahan :

„Toenggoe ini malem di Grand Hotel.
Tanja pada Barones von Tiepf.

Marie."

„Akoe tida nanti pergi !" kata ia dengen soeara sedikit keras, dan sembari mara-mara, ia lempar itoe soerat diatas medja.

Waktoe itoe samoea barang santapan tida ada jang dirasaken enak, begitoe poen soerat kabar, tida satoe jang ia ingin batja. Ia ambil poelah itoe soerat, dan masoeki. di kantongnja, aken diso wek di tempat jang djaoe. Samantara itoe ia lantas prenta selaken koeda, dan berdjalan pergi. De­ngan ambil djalan jang paling dekat, ia laloe meninggali kota, dan koetika soeda berada di tempat sepi, sigra koedanja dikasi lari sakentjeng-kentjengnja, dengen tida berniatan tentoe, kamana ia nanti menoedjoe.

Malaenkan pikirannja maoe meloepaken samoea perkara, baek poetri Stephanie, baek poen pada Marie, itoe nona tjantik, pada siapa soeda riboean kali ia menaro soempa aken tinggal setia.

Lantaran soeda berlaloe djaoe dari negri sendiri, aartshertog mengira, ia nanti boleh berlakoe sasoekanja, dengen tida satoe orang bisa mendapet taoe, tapi tida ternjana sekali, itoe nona soeda memboentoeti tin­ dakan nja.

Itoe pertjintahan dalem bebrapa boelan lamanja, ia tida bisa loepaken dari pikiran maski poen ia ada ingin sekali. Tapi biar bagimana djoega, ia misti tida raenginget lagi itoe perkara.

Ia tjinta pada poeti i Stephanie, dan tjinta itoe ia hargaken tinggi, lebi tinggi dari jang laen-laen. Poetri itoe misti djadi ia poenja istri, dan ia nanti mendjadi satoe soeami jang teramat broentoeng! Kerna di mana-mana poen soeda terkenal, poetri dari astana Belgie, bisa sekali mem­bikin broentoeng pada soeaminja jang ia tjinta.

 Kaloe perloe, ia poen tida nanti merasa sangsi, aken toelis sapoetjoek soerat pada itoe nona, itoe nona jang ia katemoe di perdjalanannja dengen poetri Stephanie, aken membri taoe, jang ia tida bisa loeloesken itoe permintahan, oleh kerna boleh mendjadi sebab, masing-masing poenja loekah hati, dan ada lebi baek dalem berpisa djaoe, satoe sama laen menginget persobatan, dari mengikat diri dengen tali kawin, jang' nanti berachir dengen sänget tida broentoeng bagi kadoewa fihak.

 Dengen berniatan begitoe, laloe ia baliki poelah koedanja, poelang ka kota. Di ini kali djoega ia tida ambil djalanan jang rameh, dimana boleh djadi ia nanti dikenali orang, hanja toeroeti sabagimana ia djalan tadi, salagi maoe pergi.

 Di sapandjang itoe djalanan ada sepi sekali, dan tjabang poehocn jang ada melintang kalang kaboet, sabentar-bentar melanggar topinja, tapi adalah sabagi ia poenja kahendak . . . balik poelang dengen tida satoe orang ada papasi perdjalanannja.

Tatkalah soeda mendjadi tengah hari, laloe ia mendapet ingetan, akenkoendjoengi peetri katjintahannja. la lantas berpakean, tiba-tiba satoe pengawal kamar masoek bri lapoeran, jang Graaf Hoyos ingin bertemoe. Aartshertog poenja hati mendjadi sanget tida senang, tapi oleh kerna itoe graaf, saorang bangsawan dari Hongarije, ada mendjadi ia poenja sobat baek, jang ia pernah berkenalan di kota Weenen, mendjadi apa boleh boeat, ia berkata pada pengawal kamarnja:

„Minta Padoeka toewan graaf masoek!" Satelah bertemoe moeka, laloe ia silaken Graaf Hoyos berdoedoek di satoe korsi, sedeng ia sendiri, doedoek menghadepi sobatnja.

„Kaloe akoe tida kliroe, kaoe sekarang djoestroe maoe pergi," kata graaf itoe. „Demikian baeklah akoe lantas berlaloe..."

„Tida halangan, sobat, doedoeklah, dan tjeritaken padakoe tentang kaoe poenja perdjalanan. Kaoe dateng di sini seperti dipanggil. Akoe tadinja maoe pergi djalan-djalan sedikit, tapi sekarang akoe kira lebi baek, oeroengi niat itoe. Akoe maoe berpergian poen tjoema sakedar boeat hi­langi pikiran kesal, kerna ingetankoe ada koesoet sekali."

Hoyos bermesem, laloe berkata: „Akoe taoe apa jang kaoe maoe bilang. . . Habis, apatah peetri djoega soeda taoe itoe perkara?"

Sakean lama aartshertog tinggal meliati moeka sobatnja dengen merasa sänget heran, kamoedian laloe berseroe:

„Apa? Kaoe taoe jang Barones Vecsera dateng di Brussel?"

„Betoel. Dan datengkoe sekarang ini poen ada sakalian membawa ia poenja tabe boeat kaoe. Kitaorang ada tinggal bersama-sama di satoe hotel."

„Kapan kaoe soeda bitjara padanja?" „Kamaren tengari, tapi boekan pada ia sendiri, hanja pada itoe barones toewa, iboenja."

Aartshertog berdiam samantara waktoe sabagi berpikir, kamoedian ia kaloeari itoe soerat, jang ia loepah sowek, dan sembari mengasi itoe pada tiraaf Hoyos, ia berkata:

„Ini, batjalah!"

Itoe graaf laloe membatja, kamoedian lantas kasi kembali pada sobatnja. „Bagimana kaoe poenja pikiran tentang itoe soerat?" tanja aartshertog.

„Soenggoe akoe tida bisa pertjaja, sobat, jang itoe nona menoelis soerat samatjem ini. Tentoe djoega ada iboenja ..."

„Hei, akoe tida mengarti apa kaoe maoe bilang. Apatah barangkali kaoe hendak kata, jang ia sendiri tida ingin bertemoe padakoe, tapi iboenja {. . . . ."

„Boekan begitoe, sobat!" „Habis? Lekas tjeritaken dengen teroes terang padakoe, kerna dengen bitjara begitoe, hatikoe mendjadi tida enak sekali! Hajo, kata sadja, bagimana kaoe poenja pertimbangan dalem ini perkara. Hoyos berdiam sakean lama sabagi orang koempoeli pikiran, kamoedian ia laloe berkata:

„Akoe boekan sekali maoe bilang, aartshertog, jang itoe nona tida soedi bertemoe moeka padamoe. Tapi, kaloe akoe tida kliroe, ia menoelis ini soerat, adalah atas paksahan iboenja. Akoe tjoema bebrapa kali telah memperoleh oentoeng, bertemoe pada freule Marie, tapi dalera samantara itoe, akoe soeda bisa njataken, jang itoe nona tida mempoenja tabiat, aken minta bitjara pada satoe orang, jang soeda tida soeka bergaoelan padanja. Ia boekan se­kali ada saorang prampoean, jang masi ingin memikat hati lelaki, sasoeda mendapet taoe, ia tida dihargaken lagi. Kaloe iboenja, betoel, ia tida nanti maoe moendoer begitoe gampang, apabilah soeda madjoe bebrapa tindak. Kerna si toewa itoe tida laen jang dipikiri, dari kakwasahan dan harta."

Djika demikian, adalah baek sekali niatkoe didjalani teroes, dan toelis sapotong soerat padanja, mengasi taoe jang akoe lebi soeka tida bertemoe."

„Bilah kaoe merasa diri sendiri tida sampe koewat, memang itoe ada djalanan jang paling baek."

„Hei, kaoe kata tida sampe koewat? Soenggoe terlaloe sekali, sobat ! Tapi kaoe toch tentoe mengarti, jang dalem ini sedikit waktoe akoe tida bisa berboeat laen. Barangkali tida sabrapa lama lagi pertoendangankoe pada Prinses Stephanie dimaloemken, hingga boeat akoe poenja peroentoengan, misti tida boleh terganggoe."

„Pikiranmoe tentang ini, soenggoe akoe misti poedji sekali, aartshertog! Kaoe poenja pertimbangan ada teramat djaoe bedanja, dengen Prins Philip van Saksen-Coburg." „Itoe akoe taoe, graaf, dan akoe kenal banjak, itoe orang-orang jang berpikiran laen. Barangkali djoega pertimbangankoe ada lebi mirip dikenaken dengen pikirannja orang-orang ketjil."

„Itoe boleh dj adi, tapi akoe hendak membri nasehat padamoe, aartshertog, kaloe kaoe soeka trima."

„Nasehat? Nasehat?" tanja aartshertog dengen goegoep.

„Ja, menoeroet akoe poenja pikiran, lebi baek kaoe toelis sapoetjoek soerat, bilang jang kaoe tida bisa bertemoe padanja."

„Apatah kaoe soedi menoeloengi akoe ?" „Dengen segala senaiig hati, asal sadja ada hal jang akoe bisa berboeat."

„Akoe nanti toelis sapotong soerat, dan kaoe kasi pada pengawal pintoe dari itoe hotel, minta soepaja ia lekas sarapeken pada adresnja. Tjara begitoe nistjaja ini perkara tida satoe orang di sini, bisa mendapet taoe."

„Bagoes sekali !" berseroe Graaf Hoyos, dan menjoeloet lagi satoe cigaret, samantara Rudolf menoelis bebrapa perkatahan di sapotong kertas. Kamoedian soerat itoe dipertjajaken pada Hoyos, jang lantas masoeki di kantongnja. „Soenggoe kasian sekali itoe nona!" kata ia, sembari bangoen berdiri.

„Siapa? Marie?" tanja aartshertog.

„Ja," kata Hoyos, „akoe nanti merasa senang sekali, bilah bisa bergaoelan padanja. Akoe tida pertjaja, ia ada satoe prampoean djahat, tapi dalem pimpinan iboenja...."

„Hei' akoe poen belon pernah dapet pikiran, jang ia bisa berboeat djahat. Tapi boeat sekarang ini, akoe kapaksa misti berlakoe demikian."

Satelah itoe, kadoewa sobat laloe mendjabat tangan satoe sama laen, dan Graaf Hoyos lantas brangkat pergi, hingga tjoema tinggal aartshertog sendirian dalem kamarnja.

Ia moendar-mandir dengen menggendong tangan, sembari pikiri apa jang soeda diperboeat olehnja. Achir-achir ia djadi menjesel sekali, dan berkata pada diri sen­diri:

„Sekarang soerat itoe ada dalem perd. jalanan, aken sampe padanja, soenggoe terlaloe akoe poenja perboeatan pada ia, jang begitoe tjinta padakoe!"

Dan pikirannja itoe waktoe lantas berbalik poelah dalem tempo, dimana ia telah rasaken broentoengnja doenia. Di hadepan matanja, laloe berbajang-bajang roepanja si nona, jang berdiri di darapingnja dengen mata bersedi, sembari memeloek lehernja. Ia merasa dapet denger poelah soeara katjintahannja, jang dengen berbisik ada berkata :

„Soenggoe kaoe tida nanti tinggali padakoe? Apatah akoe boleh harep aken salamanja dapet ini rasa broentoeng sabagi sekarang V Hajo, Rudolf, bilanglah padakoe, katalah, jang kaoe tida nanti bisa menjinta lagi pada laen prampoean!"

Dan ia lantas peloek pada si nona, serta tjioem beroelang-oelang sembari berdjandji, katanja :

„Pertjajalah, hatikoe tida nanti trima laen toewan dari kaoe, Marie! Kaoe sadja jang akoe tjinta dengen sagenap hati sampe didalem koeboer."

Di itoe sa'at boekan sekali ia maen ko­medi, tida, ia boekan saorang palsoe, jang soeka bitjara djoesta pada nona jang menjinta padanja. Samoea perkatahan jang dioetjapken, ada dengen sadjoedjoernja hati. Tjoema ia ada terlaloe lemah, terlaloe mata krandjang, sabagi ka'adahannja laen-laen lelaki di itoe koetika, hingga tatkalah ia bertemoe pada poetri Stephanie, dapet liat roepanja jang t jantik, denger tertawanja jang begitoe manis, lantas djoega dengen sakoenjoeng-koenjoeng hatinja seperti digeraki setan, dan djato tjinta, samantara jang lama, jang lebi doeloe ditjinta olehnja, diloepaken, sabagi hilangnja aer emboen di tjahaja matahari.

Stephanie ! Betoel, poetri itoe poen ada Ijinta padanja, tapi apa ia ada hak, aken trima itoe, kaloe ia maoe dj adi sabagi laki-laki jang pegang perdjandjian? Apatah tida kedji, terlaloe kedji sekali, sabagimana tadi ia menoelis soerat pada katjintahannja jang doeloe, sedeng sabenarnja ia maoe ada dalem penghidoepan broentoeng sama poetri dari karadjahan Berlgie?

Aken tetapi, tida perdoeli ! Dalem penghidoepan manoesia, broentoeng ada jang paling taroetama, dan broentoeng djoega ada jang paling soesa didapeti. Dari itoe poen, apa sadja jang menghalangi, samoea misti disingkiri dengen lekas dan tida pikir-pikir lagi!

Ini samoea hal ada bermaen di kapalanja aartshertog, samantara ia rebah di satoe divan, sembari isep cigaret tida poetoes-poetoesnja.

  1. Dengen meliat ini ka'adahan, bagi pembatja poen tentoe mendjadi njata, penghidoepan satoe poetri, misti sanantiasa ada dibawa pengaroenja politiek, hingga maski orang kampoengan boleh membilang, bernikah ada hal jang paling penting dalem penghidoepan manoesia, boeat satoe poetri, misti anggap itoe seperti satoe djembatan, aken karadjahannja bisa menjebrang ka medan kamoeliahan.
  2. Maski radia Belgie ada satoe radja, tapi klakoeannja dalem ini hal, adalah sabagi soedagar jang mendjoewal belih. O, manoesia, pembatja, biarpoen dalem bagian mana, ada sama sadja perboeatannja, melakoeken penghidoepan!
  3. Benarlah kaloe Louise bilang, ia didjoewal boeat sampeken ajahnja poenja kainginan. Tapi djika orang maoe menginget, jang kamadjoean dengen kasenangan tida bisa berdjalan bersamasama, nistjaja orang tida nanti merasa terlaloe heran atas perboeatannja radja Belgie. Soenggoe sajang beriboe sajang, jang, aken menjampeken satoe niat, baginda misti bikin tjilaka nasib ia poe­nja poetri dalem saoemoer hidoepnja. Aken tetapi, bilah orang maoe hargaken, brapa mahal adanja satoe niat besar jang kadjadian, nistjaja orang nanti merasaken djoega, perboeatannja baginda dalem ini hal, boekan ada satoe perkara jang loewar biasa.
  4. Prins van Saksen-Coburg.
  5. Kaloe ditilik bagimana permeisoeri berlakoe pada poetrinja jang masi ketjil, soenggoe haroes sekali ia dikasi nama, satoe iboe jang pandei dan berpikiran loewas. Tidalah seperti iboe-iboe kita-orang dalem kabiasahannja, jang atjap kali ada sanget gegabah kalceari perkatahan.