Lompat ke isi

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Cipta Kerja/Batang Tubuh

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang digunakan di laman ini adalah versi draf final 812 halaman, yang pertama kali beredar pada 12 Oktober 2020.
Untuk menampilkan seluruh batang tubuh dalam satu laman, lihat /Batang Tubuh.

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
CIPTA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]], Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
  2. bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi;
  3. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
  4. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;
  5. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai mana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Cipta Kerja;
Mengingat:
  1. Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
  2. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
  3. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  4. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  4. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  5. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  6. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
  7. Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
  8. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.


BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP


Pasal 2
  1. Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
    1. pemerataan hak;
    2. kepastian hukum;
    3. kemudahan berusaha;
    4. kebersamaan; dan
    5. kemandirian.
  2. Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.

Pasal 3
Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
  1. menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional;
  2. menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
  3. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri nasional; dan
  4. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.

Pasal 4
Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi:
  1. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
  2. ketenagakerjaan;
  3. kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M;
  4. kemudahan berusaha;
  5. dukungan riset dan inovasi;
  6. pengadaan tanah;
  7. kawasan ekonomi;
  8. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
  9. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
  10. pengenaan sanksi.

Pasal 5
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.


BAB III
PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
  1. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
  2. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
  3. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
  4. penyederhanaan persyaratan investasi.


Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko


Paragraf 1
Umum

Pasal 7
  1. Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha.
  2. Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.
  3. Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek:
    1. kesehatan;
    2. keselamatan;
    3. lingkungan; dan/atau
    4. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
  4. Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
  5. Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
    1. jenis kegiatan usaha;
    2. kriteria kegiatan usaha;
    3. lokasi kegiatan usaha;
    4. keterbatasan sumber daya; dan/atau
    5. risiko volatilitas.
  6. Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
    1. hampir tidak mungkin terjadi;
    2. kemungkinan kecil terjadi;
    3. kemungkinan terjadi; atau
    4. hampir pasti terjadi.
  7. Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat

(6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:

  1. kegiatan usaha berisiko rendah;
  2. kegiatan usaha berisiko menengah; atau
  3. kegiatan usaha berisiko tinggi.

Paragraf 2
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah

Pasal 8
  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha.
  2. Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.

Paragraf 3
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah

Pasal 9
  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:
    1. kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dan
    2. kegiatan usaha berisiko menengah tinggi.
  2. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:
    1. nomor induk berusaha; dan
    2. sertifikat standar.
  3. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:
    1. nomor induk berusaha; dan
    2. sertifikat standar.
  4. Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha.
  5. Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha.
  6. Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat menerbitkan
sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk.

Paragraf 4
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi

Pasal 10
  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
    1. nomor induk berusaha; dan
    2. izin.
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
  3. Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar.

Paragraf 5
Pengawasan

Pasal 11
Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.

Paragraf 6
Peraturan Pelaksanaan

Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha


Paragraf 1
Umum

Pasal 13
Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:
  1. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
  2. persetujuan lingkungan; dan
  3. Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi.

Paragraf 2
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Pasal 14
  1. Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
  2. Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar.
  3. Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
  4. Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
  5. Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
  6. Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha.

Pasal 15
  1. Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pemerintah Pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang.
  3. Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
    1. rencana tata ruang wilayah nasional;
  1. rencana tata ruang pulau/kepulauan;
  2. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
  3. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan/atau
  4. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Pasal 16
Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
  2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603); dan
  4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214).

Pasal 17
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
    2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/10 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/11 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/12 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/13 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/14 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/15 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/16 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/17 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/18 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/19 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/20 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/21 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/22 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/23 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/24 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/25 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/26 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/27 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/28 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/29 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/30 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/31 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/32 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/33 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/34 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/35 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/36 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/37 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/38 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/39 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/40 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/41 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/42 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/43 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/44 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/45 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/46 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/47
  1. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 28
    1. Pengumpulan Data Geospasial harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:
      1. dilakukan di daerah terlarang;
      2. berpotensi menimbulkan bahaya; atau
      3. menggunakan tenaga asing dan wahana milik asing selain satelit.
    2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 55
    1. Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang dilakukan oleh:
      1. orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi sebagai tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG;
      2. kelompok orang wajib memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG serta memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG; atau
      3. badan usaha wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan IG yang dilaksanakan oleh orang perseorangan, kelompok orang, dan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  3. Pasal 56 dihapus.

Paragraf 3
Persetujuan Lingkungan

Pasal 21
Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/49 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/50 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/51 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/52 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/53 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/54 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/55 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/56 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/57 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/58 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/59 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/60 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/61 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/62 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/63 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/64 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/65 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/66 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/67 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/68 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/69 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/70 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/71 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/72 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/73 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/74 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/75 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/76 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/77 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/78 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/79 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/80


Bagian Keempat
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi


Paragraf 1
Umum

Pasal 26
Perizinan Berusaha terdiri atas sektor:
  1. kelautan dan perikanan;
  2. pertanian;
  3. kehutanan;
  4. energi dan sumber daya mineral;
  5. ketenaganukliran;
  6. perindustrian;
  7. perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi penilaian kesesuian;
  8. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
  9. transportasi;
  10. kesehatan, obat dan makanan;
  11. pendidikan dan kebudayaan;
  12. pariwisata;
  13. keagamaan;
  14. pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan
  15. pertahanan dan keamanan.

Paragraf 2
Kelautan dan Perikanan

Pasal 27
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, angka 25, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/82 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/83 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/84 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/85 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/86 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/87 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/88 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/89 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/90 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/91 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/92 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/93 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/94 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/95 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/96 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/97 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/98 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/99 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/100 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/101 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/102 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/103 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/104 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/105 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/106 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/107 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/108 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/109 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/110 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/111 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/112 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/113 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/114 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/115 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/116 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/117 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/118 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/119 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/120 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/121 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/122 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/123 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/124 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/125 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/126 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/127 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/128 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/129 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/130 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/131 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/132 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/133 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/134 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/135 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/136 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/137 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/138 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/139 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/140 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/141 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/142 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/143 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/144 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/145 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/146 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/147 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/148 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/149 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/150 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/151 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/152 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/153 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/154 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/155 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/156 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/157 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/158 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/159 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/160 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/161 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/162 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/163 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/164 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/165 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/166 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/167 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/168 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/169 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/170 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/171 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/172 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/173 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/174 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/175 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/176 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/177 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/178 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/179 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/180 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/181 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/182 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/183 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/184 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/185 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/186 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/187 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/188 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/189 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/190 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/191 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/192 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/193 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/194 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/195 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/196 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/197 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/198 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/199 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/200 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/201 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/202 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/203 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/204 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/205 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/206 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/207 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/208 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/209 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/210 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/211 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/212 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/213 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/214 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/215 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/216 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/217 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/218 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/219 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/220 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/221 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/222 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/223 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/224 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/225 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/226 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/227 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/228 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/229 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/230 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/231 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/232 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/233 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/234 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/235 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/236 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/237 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/238 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/239 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/240 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/241 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/242 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/243 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/244 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/245 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/246 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/247 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/248 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/249 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/250 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/251 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/252 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/253 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/254 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/255 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/256 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/257 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/258 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/259 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/260 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/261 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/262 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/263 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/264 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/265 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/266 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/267 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/268 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/269 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/270 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/271 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/272 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/273 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/274 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/275 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/276 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/277 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/278 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/279 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/280 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/281 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/282 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/283 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/284 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/285 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/286 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/287 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/288 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/289 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/290 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/291 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/292 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/293 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/294 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/295 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/296 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/297 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/298 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/299 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/300 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/301 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/302 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/303 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/304 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/305 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/306 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/307 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/308 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/309 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/310 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/311 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/312 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/313 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/314 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/315 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/316 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/317 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/318 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/319 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/320 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/321 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/322 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/323 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/324 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/325 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/326 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/327 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/328 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/329 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/330 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/331 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/332 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/333 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/334 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/335 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/336
yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
  1. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan
  2. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
  1. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
    1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
    2. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
    3. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
    4. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
    5. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
    6. memberikan Perizinan Berusaha dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha;
    7. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
    8. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
    9. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
    10. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; dan
    11. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
  2. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima
Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu


Paragraf 1
Umum

Pasal 76
Untuk mempermudah masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam melakukan investasi pada sektor tertentu yaitu penanaman modal, perbankan, dan perbankan syariah, Undang-Undang Cipta Kerja ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/338 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/339 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/340

Pasal 22
  1. Bank Umum dapat didirikan oleh:
    1. warga negara Indonesia;
    2. badan hukum Indonesia; atau
    3. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Paragraf 4
Perbankan Syariah

Pasal 79
Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9
  1. Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
    1. warga negara Indonesia;
    2. badan hukum Indonesia;
    3. pemerintah daerah; atau
    4. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
  2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
    1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;
    2. pemerintah daerah; atau
    3. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
  3. Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.


BAB IV
KETENAGAKERJAAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 80
Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam mendukung ekosistem investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4279);
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4456);
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5256); dan
  4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6141).


Bagian Kedua
Ketenagakerjaan


Pasal 81
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4279) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13
  1. Pelatihan kerja diselenggarakan oleh:
    1. lembaga pelatihan kerja pemerintah;
    2. lembaga pelatihan kerja swasta; atau
    3. lembaga pelatihan kerja perusahaan.
  2. Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
  3. Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
  4. Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
  1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14
  1. Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
  2. Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat penyertaan modal asing, Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
  3. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  1. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 37
    1. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas:
      1. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
      2. lembaga penempatan tenaga kerja swasta.
    2. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
    3. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 42
    1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
    2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
    3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
      1. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      2. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
      3. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
    4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
  1. Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.
  2. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Pasal 43 dihapus.
  2. Pasal 44 dihapus.
  3. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 45
    1. Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
      1. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing;
      2. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing; dan
      3. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
    2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu.
  4. Pasal 46 dihapus.
  5. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 47
    1. Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
    2. Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
    3. Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Pasal 48 dihapus.
  7. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai

    berikut:


    Pasal 49
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  8. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 56
    1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
    1. jangka waktu; atau
    2. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
  2. Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 57
    1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
    2. Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
  2. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 58
    1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
    2. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
  3. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 59
    1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
      1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
      2. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
      3. pekerjaan yang bersifat musiman;
      4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
      5. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
    2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/346 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/347 dimaksud pada

Pemerintah.

ayat

(3)

diatur

dalam

Peraturan

22. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1)

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a.

ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b.

waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

(2)

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

(3)

Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.

23. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79 (1)

(2)

Pengusaha wajib memberi: a.

waktu istirahat; dan

b.

cuti.

Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a.

istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b.

istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3)

Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4)

Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5)

Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 348

(6) Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/349 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/350 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/351 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/352 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/353 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/354
  1. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  2. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
  3. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
  4. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
  5. pekerja/buruh meninggal dunia.


  1. Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  1. Pasal 155 dihapus.
  2. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156
  1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
  2. Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
    2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
    3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
    4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
    5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
    6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
    7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/356 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/357 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/358
Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
  1. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 188
  1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
  1. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 190
  1. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (2) undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 191A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 191A
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
  1. untuk pertama kali upah minimum yang berlaku, yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan.
  2. bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.


Bagian Ketiga
Jenis Program Jaminan Sosial

Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/360 (1) (2) (3) (4)

Pasal 46D Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah. Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 46E

(1) Sumber pendanaan berasal dari:

jaminan

kehilangan

pekerjaan

a. modal awal pemerintah; b. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau c.

dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


Pasal 83 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5256) diubah sebagai berikut: 1.

Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan. (2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program:

2.

a.

jaminan kecelakaan kerja;

b.

jaminan hari tua;

c.

jaminan pensiun;

d.

jaminan kematian; dan

e.

jaminan kehilangan pekerjaan.

Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

361
  1. BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, program jaminan hari tua, dan program jaminan kehilangan pekerjaan.
  1. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 42
    1. Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
    2. Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk program jaminan kehilangan pekerjaan ditetapkan paling sedikit Rp6.000.000.000.000,00 (enam triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.


Bagian Kelima
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia


Pasal 84
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6141) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Calon Pekerja Migran Indonesia adalah setiap tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
    2. Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
    3. Keluarga Pekerja Migran Indonesia adalah suami, istri, anak, atau orang tua termasuk hubungan karena putusan dan/atau penetapan pengadilan, baik yang berada di Indonesia maupun yang tinggal bersama Pekerja Migran Indonesia di luar negeri.
    4. Pekerja Migran Indonesia Perseorangan adalah Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan.
    5. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan Calon Pekerja
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/363 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/364
  1. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 53
    1. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat membentuk kantor cabang di luar wilayah domisili kantor pusatnya.
    2. Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia menjadi tanggung jawab kantor pusat Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
    3. Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
    4. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 57
    1. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus menyerahkan pembaruan data paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja.
    2. Dalam hal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak menyerahkan pembaruan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia diizinkan untuk memperbarui izin paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja dengan membayar denda keterlambatan.
    3. Ketentuan mengenai denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 89A
    Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha.


BAB V
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 85
Untuk memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502).
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); dan
  3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).


Bagian Kedua
Koperasi


Pasal 86
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 6
    1. Koperasi Primer dibentuk paling sedikit oleh 9 (sembilan) orang.
    2. Koperasi Sekunder dibentuk oleh paling sedikit 3 (tiga) Koperasi.
  2. Penjelasan Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
  3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 21
    1. Perangkat organisasi Koperasi terdiri atas:
      1. Rapat Anggota;
      2. Pengurus; dan
      3. Pengawas.
    2. Selain memiliki perangkat organisasi Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah.
  4. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/367


Bagian Ketiga
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah


Pasal 87
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 6
    1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 12
    1. Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk:
      1. menyederhanakan tata cara dan jenis Perizinan Berusaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan
      2. membebaskan biaya Perizinan Berusaha bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya Perizinan Berusaha bagi Usaha Kecil.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 21
    1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil;
    2. Badan Usaha Milik Negara menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.
    3. Usaha Besar nasional dan asing menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.
    4. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/369


Bagian Keempat
Basis Data Tunggal


Pasal 88
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem informasi dan pendataan UMK-M yang terintegrasi.
  2. Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai basis data tunggal UMK-M.
  3. Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan mengenai UMK-M.
  4. Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara tepat waktu, akurat, dan tepat guna serta dapat diakses oleh masyarakat.
  5. Pemerintah Pusat melakukan pembaharuan sistem informasi dan basis data tunggal paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  6. Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai basis data tunggal UMK-M diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil


Pasal 89
  1. Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster melalui sinergi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait.
  2. Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam:
    1. suatu rantai produk umum;
    2. ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa; atau
    3. penggunaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi secara terintegrasi.
  3. Saling melengkapi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan di lokasi klaster dengan tahap pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku, proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil melalui perdagangan elektronik/non elektronik.
  4. Penentuan lokasi Klaster Usaha Mikro dan Kecil disusun dalam program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pemetaan potensi, keunggulan daerah, dan strategi penentuan lokasi usaha.
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendampingan sebagai upaya pengembangan Usaha Mikro dan Kecil untuk memberi dukungan manejemen, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana.
  2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan dukungan sumber daya manusia, anggaran, dan prasarana sebagaimana dimaksud pada serta sarana ayat (5) wajib memberikan fasilitas yang meliputi:
    1. lahan lokasi klaster;
    2. aspek produksi;
    3. infrastruktur;
    4. rantai nilai;
    5. pendirian badan hukum;
    6. sertifikasi dan standardisasi;
    7. promosi;
    8. pemasaran;
    9. digitalisasi; dan
    10. penelitian dan pengembangan.
  3. Pemerintah Pusat mengoordinasikan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster.
  4. Pemerintah Pusat melakukan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam
Kemitraan


Pasal 90
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha.
  2. Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.
  3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan antara Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil.
  5. Pemerintah Pusat mengatur pemberian insentif kepada Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat
guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketujuh
Kemudahan Perizinan Berusaha



Pasal 91
  1. Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Kecil berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring atau luring dengan melampirkan:
    1. Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan
    2. Surat keterangan berusaha dari pemerintah setingkat rukun tetangga.
  3. Pendaftaran secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberi nomor induk berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
  4. Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha.
  5. Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Perizinan Berusaha, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
  6. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan terhadap Perizinan Berusaha, pemenuhan standar, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
  7. Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki risiko menengah atau tinggi terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan serta lingkungan selain melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil wajib memiliki sertifikat sertifikasi standar dan/atau izin.
  8. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
  9. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan fasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedelapan
Kemudahan Fasilitasi Pembiayaan dan Insentif Fiskal


Pasal 92
  1. Usaha Mikro dan Kecil diberi kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  2. Usaha Mikro dan Kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberi insentif berupa tidak dikenai biaya atau diberi keringanan biaya.
  3. Usaha Mikro dan Kecil yang berorientasi ekspor dapat diberi insentif kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
  4. Usaha Mikro dan Kecil tertentu dapat diberi insentif Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.

Pasal 93
Kegiatan Usaha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program.

Pasal 94
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempermudah dan menyederhanakan proses untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam hal pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kesembilan
Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan keuangan dan Inkubasi


Pasal 95
  1. Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
  2. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 96
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil.

Pasal 97
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaataan sistem/aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

Pasal 99
Penyelenggaraan inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, Dunia Usaha, dan/atau masyarakat.

Pasal 100
Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 bertujuan untuk:
  1. menciptakan usaha baru;
  2. menguatkan dan mengembangkan kualitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
  3. mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 101
Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 meliputi:
  1. penciptaan dan penumbuhan usaha baru serta penguatan kapasitas pelaku usaha pemula yang berdaya saing tinggi;
  2. penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
  3. peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 102
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha melakukan pedampingan untuk meningkatkan kapasitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mampu mengakses:
  1. pembiayaan alternatif untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemula;
  1. pembiayaan dari dana kemitraan;
  2. bantuan hibah pemerintah;
  3. dana bergulir; dan
  4. tanggung jawab sosial perusahaan.


Bagian Kesepuluh
Partisipasi UMK dan Koperasi pada Infrastruktur Publik


Pasal 103
Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 53A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53A
  1. Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan Tempat Istirahat, Pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol, serta menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
  2. Pengusahaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan lahan pada Jalan Tol paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroprasi maupun untuk Jalan Tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi.
  3. Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan.
  4. Penanaman dan pemeliharaan tanaman di Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.

Pasal 104
  1. Dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha swasta wajib mengalokasikan penyediaan tempat promosi, tempat usaha, dan/atau pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik yang mencakup:
    1. terminal;
    2. bandar udara;
    3. pelabuhan;
    4. stasiun kereta api;
    5. tempat istirahat dan pelayanan jalan tol; dan
  1. infrastruktur publik lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
  1. Alokasi penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas tempat perbelanjaan dan/atau promosi yang strategis pada infrastruktur publik yang bersangkutan.
  2. Ketentuan mengenai penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik pada ayat (1) dimaksud pada ayat (2) dan besaran alokasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB VI
KEMUDAHAN BERUSAHA


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 105
Untuk mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922);
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953);
  4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
  5. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie);
  6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4893);
  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870);
  5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);
  6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); dan
  7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).


Bagian Kedua
Keimigrasian


Pasal 106
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/378 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/379 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/380 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/381 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/382 menanamkan modal sebagai investasinya di

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal; dan c.

Warga dari suatu negara yang secara resiprokal memberikan pembebasan penjaminan.

(5)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6)

Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai pengganti penjamin selama berada di Wilayah Indonesia.

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jaminan keimigrasian bagi Orang Asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.

8. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1)

(2)

Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib: a.

memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau

b.

menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Paten


Pasal 107

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1)

Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.

(2)

Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, 383 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/384 dibayar, Permohonan Paten sederhana dianggap ditarik kembali. 5. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 123
  1. Pengumuman Permohonan Paten sederhana dilakukan paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten sederhana.
  2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan Paten sederhana.
  3. Pemeriksaan substantif atas Permohonan Paten sederhana dilakukan setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
  4. Dikecualikan terhadap ketentuan dalam Pasal 49 ayat (3) dan (4), bahwa keberatan terhadap Permohonan Paten sederhana langsung digunakan sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.

6. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 124
  1. Menteri wajib memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan Paten sederhana paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan Paten sederhana.
  2. Paten sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-elektronik.
  3. Menteri memberikan sertifikat Paten sederhana kepada Pemegang Paten sederhana sebagai bukti hak.


Bagian Keempat
Merek


Pasal 108
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 20
    Merek tidak dapat didaftar jika:
    1. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan agama, kesusilaan, perundangan-undang, moralitas atau ketertiban umum;
    2. sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/386
  1. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan melalui Kuasa;
  2. Tanggal Penerimaan;
  3. nama negara dan Tanggal Penerimaan pemohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas;
  4. label Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam warna jika Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan jika Merek menggunakan bahasa asing, huruf selain huruf Latin, dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin;
  5. nomor dan tanggal pendaftaran;
  6. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan
  7. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.


Bagian Kelima
Perseroan Terbatas


Pasal 109
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.
    2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.
    3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
    4. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/388 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/389 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/390 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/391

Pasal 153I
  1. Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil diberikan keringanan biaya terkait pendirian badan hukum.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan biaya Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 153J
  1. Pemegang saham Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
    1. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
    2. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
    3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
    4. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.


Bagian Keenam
Undang-Undang Gangguan


Pasal 110
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Bagian Ketujuh
Perpajakan


Pasal 111
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/393 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/394 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/395 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/396 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/397 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/398 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/399 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/400 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/401 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/402 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/403 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/404 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/405 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/406 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/407 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/408 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/409 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/410 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/411 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/412 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/413 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/414 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/415 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/416 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/417 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/418 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/419 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/420 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/421 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/422 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/423 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/424 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/425 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/426 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/427

Pasal 159A
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara:
  1. evaluasi Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157;
  2. pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan aturan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158; dan
  3. pemberian sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedelapan
Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman


Pasal 115
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Pelindungan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk membantu Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
    2. Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam untuk melaksanakan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik.
    3. Nelayan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan.
    4. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan.
    5. Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
    6. Nelayan Buruh adalah Nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha Penangkapan Ikan.
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/429 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/430 Perikanan dan Komoditas Pergaraman.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian impor Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1)Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan. (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A (1)Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa: a. penghentian sementara kegiatan; b. pembekuan Perizinan Berusaha; c. denda administratif; d. paksaan pemerintah; dan/atau e. pencabutan Perizinan Berusaha. (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).


Bagian Kesembilan
Wajib Daftar Perusahaan


431

Pasal 116
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Bagian Kesepuluh
Badan Usaha Milik Desa


Pasal 117
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
    4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
    5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
    6. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah Badan Hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
    7. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/433


Bagian Kesebelas
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Pasal 118 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. (2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. (3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi. (4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 2. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut. (2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1)

Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan 434

administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
  1. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;
    2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
    3. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27;
    4. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
    5. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;
    6. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
    7. pengenaan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 48
    Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda.
  2. Pasal 49 dihapus.


BAB VII
DUKUNGAN RISET DAN INOVASI


Pasal 119
Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang berusaha, Undang-Undang ini mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); dan
  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6374).

Pasal 120
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah menjadi sebagai berikut:
  1. Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    BAB V
    KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM, RISET, DAN INOVASI

  2. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 66
    1. Pemerintah Pusat dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum serta riset dan inovasi nasional.
    2. Penugasan khusus kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan, kegiatan usaha BUMN, serta mempertimbangkan kemampuan BUMN.
    3. Rencana penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji bersama antara BUMN yang bersangkutan dengan Pemerintah Pusat.
    4. Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak fisibel, Pemerintah Pusat harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan.
    5. Penugasan kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS atau Menteri.
    6. BUMN dalam melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan:
      1. badan usaha milik swasta;
      2. badan usaha milik daerah;
      3. koperasi;
      4. BUMN;
      5. lembaga penelitian dan pengembangan;
      6. lembaga pengkajian dan penerapan; dan/atau
  1. perguruan tinggi.

Pasal 121
Ketentuan Pasal 48 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6374) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48
  1. Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional.
  2. Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi di daerah, Pemerintah Daerah membentuk badan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.


BAB VIII
PENGADAAN TANAH


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 122
Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan
  2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068).


Bagian Kedua
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum


Pasal 123
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor

Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/438 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/439 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/440 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/441 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/442 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/443 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/444 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/445 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/446 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/447 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/448 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/449


Paragraf 4
Pemberian Hak atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah

Pasal 146
  1. Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan.
  2. Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang di bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 147
Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik.


BAB IX
KAWASAN EKONOMI


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 148
Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah Pelaku Usaha dalam melakukan investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/451 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/452 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/453 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/454 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/455 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/456 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/457 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/458 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/459 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/460 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/461 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/462 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/463 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/464

Paragraf 3
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang

Pasal 153
Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9
  1. Barang-barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Sabang.
  2. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.
  3. Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukan barang ke Kawasan Sabang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
  4. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang melalui pelabuhan dan bandar Udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah.
  5. Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.
  6. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai.
  7. Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah.
  8. Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.


BAB X
INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL


Bagian Kesatu
Investasi Pemerintah Pusat


Paragraf 1
Umum

Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/466 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/467 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/468 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/469 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/470 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/471 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/472 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/473 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/474

kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.
  1. Dalam hal pengadaan tanah belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh badan usaha.
  2. Pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal.
  3. Dalam hal pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan usaha, mekanisme pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan tanah dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB XI
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK MENDUKUNG CIPTA KERJA


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 174
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden.


Bagian Kedua
Administrasi Pemerintahan


Pasal 175
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah menjadi sebagai berikut:
  1. Di antara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 1 angka 20 disisipkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 19a sehingga berbunyi:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/476 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/477 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/478 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/479 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/480 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/481 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/482 Halaman:RUU Cipta Kerja - Signed.pdf/483

  1. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor setelah berkoordinasi dengan Menteri.
  2. Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah:
    1. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau
    2. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan bupati/wali kota.
  3. Pengambilalihan pemberian Perizinan Berusaha oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (9a) dilakukan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
  1. Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 402A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 402A
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja.


BAB XII
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN


Pasal 177
  1. Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha.
  2. Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya.
  3. Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan.
  4. Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan

Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha. (5)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa: a. peringatan; b. penghentian sementara kegiatan berusaha; c. pengenaan denda administratif; d. pengenaan daya paksa polisional; e. pencabutan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan/atau f.

pencabutan Perizinan Berusaha.

(6)

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 178

Setiap pemegang Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (5), pemegang Perizinan Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya. Pasal 179 (1)

Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pembinaan.

(2)

Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 180
  1. Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan dicabut dan dikembalikan kepada negara.
  2. Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai aset Bank Tanah.
  3. Ketentuan lebih lanjut pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset Bank Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 181
  1. Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, setiap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
  2. Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 182
Dalam rangka pembentukan Peraturan Pemerintah, Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan:
  1. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi; dan/atau
  2. Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah dan alat kelengkapan DPD yang menangani bidang legislasi.

Pasal 183
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada:
  1. Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan yang menangani bidang legislasi; dan/atau
  2. Dewan Perwakilan Daerah melalui alat kelengkapan yang menangani bidang legislasi

paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.


BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 184
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. Perizinan Berusaha atau izin sektor yang sudah terbit masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha;
  2. Perizinan Berusaha dan/atau izin sektor yang sudah terbit sebelum berlakunya Undang-Undang ini dapat berlaku sesuai dengan Undang-Undang ini; dan
  3. Perizinan Berusaha yang sedang dalam proses permohonan disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


BAB XV
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 185
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan; dan
  2. Semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan wajib disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 186
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal  

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal  

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia
,


Yasonna H. Laoly


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Cipta Kerja di atas beserta penjelasannya telah mendapat persetujuan dalam Rapat Paripurna ke-7 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Jakarta, 5 Oktober 2020
WAKIL KETUA,


AZIS SYAMSUDDIN