Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan
bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang
dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang
akan datang;
bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki
keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan
sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi,
budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa,
oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan
berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan
partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang
berdasarkan norma hukum nasional;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang–Undang ini yang dimaksud dengan:
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,
dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut.
Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau
sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi)
beserta kesatuan Ekosistemnya.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber
daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya
hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati
meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya
buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa
keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi
bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan
serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah
Pesisir.
Ekosistem
adalah
kesatuan
komunitas
tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain
serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam
satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh
batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan
arus.
Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan
daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan
pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal,
rawa payau, dan laguna.
Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan
berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial,
dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari Wilayah
Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai
sektor kegiatan.
Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan
yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian
lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang
pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan
nasional.
Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati
bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan
telah ditetapkan status hukumnya.
Zonasi
adalah
suatu
bentuk
rekayasa
teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas
fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya
dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung
sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah
kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan
pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan
strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan
indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat
nasional.
Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah
penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan
disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada
Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat
susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung
jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan
keputusan
di
antara
berbagai
lembaga/instansi
pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber
daya atau kegiatan pembangunan di zona yang
ditetapkan.
Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk
satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi
untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan
oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di
setiap Kawasan perencanaan.
Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1
(satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam
Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah
Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan
dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan
sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan
jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut
HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari
perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan,
serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan
tertentu.
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya
untuk
menjamin
keberadaan,
ketersediaan,
dan
kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk
mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat.
Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi
Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun
hasilnya berbeda dari kondisi semula.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang
dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi
dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau
drainase.
Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah kemampuan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain.
Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik secara struktur atau fisik melalui
pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun
nonstruktur
atau
nonfisik
melalui
peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam
atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan
perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan
mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif
fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas
lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pencemaran
Pesisir
adalah
masuknya
atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat
adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya.
Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan
yang secara konsisten telah memenuhi standar baku
sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif
terhadap program-program pengelolaan yang dilakukan
oleh masyarakat secara sukarela.
Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
mempunyai
kepentingan
langsung
dalam
mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan
modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata,
pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir.
Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian
fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat
Pesisir agar mampu menentukan pilihan yang terbaik
dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari
Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir
yang secara turun-temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem
nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,
dan hukum.
Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang
menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan
kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang
berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.
Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan
tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan
lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam
perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional.
Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak
kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili
Masyarakat
dalam
jumlah
besar
dalam
upaya
mengajukan
tuntutan
berdasarkan
kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti
kerugian.
Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan
hukum.
Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR,
adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di
bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia,
lembaga,
pendidikan,
penyuluhan,
pendampingan,
pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan
rekomendasi kebijakan.
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai.
BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan:
keberlanjutan;
konsistensi;
keterpaduan;
kepastian hukum;
kemitraan;
pemerataan;
peran serta masyarakat;
keterbukaan;
desentralisasi;
akuntabilitas; dan
keadilan.
Pasal 4
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan:
melindungi,
mengonservasi,
merehabilitasi,
memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan;
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
agar
tercapai
keadilan,
keseimbangan,
dan
keberkelanjutan; dan
meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
BAB III PROSES PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL
Pasal 5
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan:
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
antar-Pemerintah Daerah;
antarsektor;
antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;
antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan
antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
BAB IV PERENCANAAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 7
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas:
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3-K;
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang selanjutnya disebut RZWP-3-K;
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K.
Norma, standar, dan pedoman penyusunan perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kewenangan masing-masing.
Pemerintah Daerah menyusun rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan melibatkan
masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun Rencana
Zonasi rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya.
Bagian Kedua Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 8
RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah
Daerah.
RSWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mempertimbangkan
kepentingan
Pemerintah
dan
Pemerintah Daerah.
Jangka waktu RSWP-3-K Pemerintah Daerah selama 20
(dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
Bagian Ketiga Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 9
RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah
provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
Perencanaan RZWP-3-K dilakukan dengan mempertimbangkan:
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan
daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan
fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu,
dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi
pertahanan dan keamanan;
keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya,
fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan
pesisir; dan
kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses
Masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan
ekonomi.
Jangka waktu berlakunya RZWP-3-K selama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Paragraf 1 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi
Pasal 10
RZWP-3-K Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, terdiri atas:
pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum,
Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
dan alur laut;
keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut
dalam suatu Bioekoregion;
penetapan pemanfaatan ruang laut; dan
penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi,
sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri
strategis, serta pertahanan dan keamanan.
Paragraf 2 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten/Kota
Pasal 11
RZWP-3-K Kabupaten/Kota berisi arahan tentang:
alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan
Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana
Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan rencana
alur;
keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dalam suatu Bioekoregion.
Penyusunan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan mengikuti dan memadukan rencana Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan
memperhatikan Kawasan, Zona, dan/atau Alur Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 12
RPWP-3-K berisi:
kebijakan
tentang
pengaturan
serta
prosedur
administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan
dan yang dilarang;
skala prioritas pemanfaatan sumber daya
sesuai
dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil;
jaminan
terakomodasikannya
pertimbanganpertimbangan
hasil
konsultasi
publik
dalam
penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi
terhadap penetapan tujuan dan perizinan;
mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis
untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang
akurat dan dapat diakses; serta
ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih
untuk
mengimplementasikan
kebijakan
dan
prosedurnya.
RPWP-3-K berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
ditinjau kembali sekurang- kurangnya 1 (satu) kali.
Bagian Kelima Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 13
RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana
Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya
mewujudkan rencana strategis.
RAPWP-3-K berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga)
tahun.
Bagian Keenam Mekanisme Penyusunan Rencana
Pasal 14
Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K,
dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta
dunia usaha.
Mekanisme penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3K, dan RAPWP-3-K pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota
dilakukan
dengan
melibatkan
Masyarakat.
Pemerintah Daerah berkewajiban menyebarluaskan
konsep RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3K untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran
perbaikan.
Bupati/walikota
menyampaikan
dokumen
final
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kabupaten/kota kepada gubernur dan
Menteri untuk diketahui.
Gubernur menyampaikan dokumen final perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
provinsi kepada Menteri dan bupati/walikota di wilayah
provinsi yang bersangkutan.
Gubernur atau Menteri memberikan tanggapan dan/atau
saran terhadap usulan dokumen final perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen
final perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.
Bagian Ketujuh Data dan Informasi
Pasal 15
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengelola data
dan informasi mengenai Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
Pemutakhiran data dan informasi dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara periodik dan
didokumentasikan serta dipublikasikan secara resmi,
sebagai dokumen publik, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dimanfaatkan oleh setiap Orang dan/atau
pemangku
kepentingan
utama
dengan
tetap
memperhatikan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
Setiap Orang yang memanfaatkan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib menyampaikan data dan informasi kepada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kerja sejak dimulainya
pemanfaatan.
Perubahan data dan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan seizin
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Pedoman pengelolaan data dan informasi tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur
dalam Peraturan Menteri.
BAB V PEMANFAATAN
Bagian Kesatu Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Pasal 16
Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP3.
HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut.
Pasal 17
HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.
Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib
mempertimbangkan
kepentingan
kelestarian
Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat
Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai
bagi kapal asing.
Pasal 18
HP-3 dapat diberikan kepada:
Orang perseorangan warga negara Indonesia;
Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
Masyarakat Adat.
Pasal 19
HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3.
HP-3 berakhir karena:
jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi;
ditelantarkan; atau
dicabut untuk kepentingan umum.
Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis,
administratif, dan operasional.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan
volume pemanfaatannya; serta
pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternatif
usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penyediaan dokumen administratif;
penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai
dengan daya dukung ekosistem;
pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan
hasilnya kepada pemberi HP-3; serta
dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis
pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah.
Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:
memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak
Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;
memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan
akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.
Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan di bawah ini:
terdapat ancaman yang serius terhadap kelestarian
Wilayah Pesisir;
tidak didukung bukti ilmiah; atau
kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat dipulihkan.
Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengumuman secara terbuka.
Pasal 22
HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
Bagian Kedua Pemanfaatan Pulau–Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya
Pasal 23
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan
ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau
besar di dekatnya.
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
konservasi;
pendidikan dan pelatihan;
penelitian dan pengembangan;
budidaya laut;
pariwisata;
usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
pertanian organik; dan/atau
peternakan.
Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan
pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di
sekitarnya wajib:
memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
memenuhi persyaratan pada ayat (3) wajib mempunyai
HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya yang telah digunakan untuk kepentingan
kehidupan Masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah
Daerah
menerbitkan
HP-3
setelah
melakukan
musyawarah dengan Masyarakat yang bersangkutan.
Bupati/walikota memfasilitasi mekanisme musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya oleh Orang asing harus mendapat persetujuan
Menteri.
Pasal 24
Pulau Kecil, gosong, atol, dan gugusan karang yang ditetapkan sebagai titik pangkal pengukuran perairan Indonesia ditetapkan oleh Menteri sebagai kawasan yang dilindungi.
Pasal 25
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya untuk tujuan observasi, penelitian, dan kompilasi data untuk pengembangan ilmu pengetahuan wajib melibatkan lembaga dan/atau instansi terkait dan/atau pakar setempat.
Pasal 26
Pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 27
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil terluar dilakukan oleh
Pemerintah bersama-sama dengan Pemerintah Daerah
dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil terluar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga Konservasi
Pasal 28P
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
diselenggarakan untuk
menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;
melindungi habitat biota laut; dan
melindungi situs budaya tradisional.
Untuk kepentingan konservasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), sebagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi.
Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem diselenggarakan untuk melindungi:
sumber daya ikan;
tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain;
wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi,
mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain
adat tertentu; dan
ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap
perubahan.
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pengelolaan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri menetapkan:
kategori Kawasan Konservasi;
Kawasan Konservasi nasional;
pola dan tata cara pengelolaan Kawasan Konservasi;
dan
hal lain yang dianggap penting dalam pencapaian
tujuan tersebut.
Pengusulan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah berdasarkan ciri khas Kawasan yang ditunjang dengan data dan informasi ilmiah.
Pasal 29
Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dibagi atas tiga Zona, yaitu:
Zona inti;
Zona pemanfaatan terbatas; dan
Zona lain sesuai dengan peruntukan Kawasan.
Pasal 30
Perubahan status Zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 untuk kegiatan eksploitasi yang dapat menimbulkan dampak besar dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Pasal 31
Pemerintah Daerah menetapkan batas Sempadan Pantai
yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik,
hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan
budaya, serta ketentuan lain.
Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan:
perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;
perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;
perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari
badai, banjir, dan bencana alam lainnya;
perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan
basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun,
gumuk pasir, estuaria, dan delta;
pengaturan akses publik; serta
pengaturan untuk saluran air dan limbah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas sempadan pantai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
Bagian Keempat Rehabilitasi
Pasal 32
Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib
dilakukan
dengan
memperhatikan
keseimbangan
Ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat.
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
pengayaan sumber daya hayati;
perbaikan habitat;
perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan
berkembang secara alami; dan
ramah lingkungan.
Pasal 33
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
dan/atau setiap Orang yang secara langsung atau tidak
langsung memperoleh manfaat dari Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rehabilitasi diatur
dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kelima Reklamasi
Pasal 34
Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilakukan
dalam
rangka
meningkatkan
manfaat
dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial
ekonomi.
Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:
keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta
persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan
penimbunan material.
Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keenam Larangan
Pasal 35
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
menambang
terumbu
karang
yang
menimbulkan
kerusakan Ekosistem terumbu karang;
mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;
menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau
bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;
menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang
merusak Ekosistem terumbu karang;
menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem
mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau
Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan
fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk
kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;
menggunakan cara dan metode yang merusak padang
lamun;
melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila
secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya
menimbulkan
kerusakan
lingkungan
dan/atau
pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat
sekitarnya;
melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah
yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau
budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat
sekitarnya;
melakukan penambangan mineral pada wilayah yang
apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial
dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan
dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan
Masyarakat sekitarnya; serta
melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan
kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat
sekitarnya.
BAB VI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 36
Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara terpadu dan
berkelanjutan,
dilakukan
pengawasan
dan/atau
pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh
pejabat tertentu yang berwewenang di bidang pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat
pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian khusus.
Pengawasan
dan/atau
pengendalian
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang menangani bidang pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat
pekerjaan yang dimilikinya.
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:
mengadakan patroli/perondaan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau wilayah hukumnya; serta
menerima laporan yang menyangkut perusakan
Ekositem Pesisir, Kawasan Konservasi, Kawasan
Pemanfaatan Umum, dan Kawasan Strategis Nasional
Tertentu.
Wewenang Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pemantauan, pengamatan lapangan, dan/atau evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaannya.
Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 37
Pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan secara terkoordinasi oleh instansi terkait sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 38
Pengawasan oleh Masyarakat dilakukan melalui penyampaian laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Pengendalian
Paragraf 1 Program Akreditasi
Pasal 40
Dalam
melaksanakan
pengendalian
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Pemerintah wajib
menyelenggarakan
Akreditasi
terhadap
program
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam hal penyelenggaraan akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dapat melimpahkan
wewenang penyelenggaraan akreditasi kepada Pemerintah
Daerah.
Standar dan Pedoman Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
relevansi isu prioritas;
proses konsultasi publik;
dampak positif terhadap pelestarian lingkungan;
dampak terhadap peningkatan kesejahteraan
Masyarakat;
kemampuan implementasi yang memadai; dan
dukungan kebijakan dan program Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan
insentif kepada pengelola Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah mendapat akreditasi berupa:
bantuan
program
sesuai
dengan
kemampuan
Pemerintah
yang
dapat
diarahkan
untuk
mengoptimalkan program akreditasi; dan/atau
bantuan teknis.
Gubernur berwenang menyusun dan/atau mengajukan
usulan akreditasi program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi kewenangannya
kepada Pemerintah sesuai dengan standar dan pedoman
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Bupati/walikota
berwenang
menyusun
dan/atau
mengajukan usulan akreditasi program Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi
kewenangannya kepada gubernur dan/atau Pemerintah
sesuai dengan standar dan pedoman sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Organisasi Masyarakat dan/atau kelompok Masyarakat
dapat menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi
program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan standar dan pedoman sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Ketentuan lebih lanjut mengenai program akreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 2 Mitra Bahari
Pasal 41
Dalam
upaya
peningkatan
kapasitas
pemangku
kepentingan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dibentuk Mitra Bahari sebagai forum kerja sama
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, tokoh
Masyarakat, dan/atau dunia usaha.
Mitra Bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
dunia usaha.
Kegiatan Mitra Bahari difokuskan pada:
pendampingan dan/atau penyuluhan;
pendidikan dan pelatihan;
penelitian terapan; serta
rekomendasi kebijakan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Mitra Bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 42
Untuk
meningkatkan
kualitas
perencanaan
dan
implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil,
Pemerintah
melakukan
penelitian
dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pengembangan
sumber
daya
manusia
di
bidang
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara
berkelanjutan.
Pemerintah
mengatur,
mendorong,
dan/atau
menyelenggarakan
penelitian
dan
pengembangan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk
menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan
dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi
dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi
atau budaya lokal.
Pasal 43
Penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan pengembangan swasta, dan/atau perseorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 44
Hasil penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali hasil penelitian tertentu yang oleh Pemerintah dinyatakan tidak untuk dipublikasikan.
Pasal 45
Setiap orang asing yang melakukan penelitian di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib terlebih
dahulu memperoleh izin dari Pemerintah.
Penelitian yang dilakukan oleh orang asing dan/atau
badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mengikutsertakan peneliti Indonesia.
Setiap orang asing yang melakukan penelitian di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil harus
menyerahkan hasil penelitiannya kepada Pemerintah.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penelitian dan pengembangan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VIII PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN
Pasal 47
Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 48
Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat internasional.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IX KEWENANGAN
Pasal 50
Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah
Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu.
Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah
Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau
ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir
lintas kabupaten/kota.
Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di
wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi.
Pasal 51
Menteri berwenang menetapkan:
HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
Ijin
pemanfaatan
Pulau-Pulau
Kecil
yang
menimbulkan dampak besar terhadap perubahan
lingkungan, dan
Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional.
Penetapan HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah memperhatikan pertimbangan DPR.
Tata cara penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
Untuk meningkatkan efektivitas Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah dapat
melakukan pendampingan terhadap Pemerintah
Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam upaya mendorong percepatan pelaksanaan
otonomi daerah di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Pemerintah dapat membentuk unit pelaksana
teknis pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 53
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu di
bawah koordinasi Menteri.
Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap
sektor sesuai dengan perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang
bersifat lintas provinsi dan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu;
program akreditasi nasional;
rekomendasi
izin
kegiatan
sesuai
dengan
kewenangan tiap-tiap instansi Pemerintah; serta
penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang bersifat
lintas provinsi dan Kawasan tertentu yang
bertujuan strategis.
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 54
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
pada tingkat provinsi dilaksanakan secara terpadu
yang dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi
Kelautan dan Perikanan.
Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap
dinas otonom atau badan sesuai dengan
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil terpadu Provinsi;
perencanaan tiap-tiap instansi daerah,
antarkabupaten/kota, dan dunia usaha;
program akreditasi skala provinsi;
rekomendasi
izin
kegiatan
sesuai
dengan
kewenangan instansi vertikal di daerah, dinas
otonom, atau badan daerah;
penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di provinsi.
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur oleh gubernur.
Pasal 55
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
pada tingkat kabupaten/kota dilaksanakan secara
terpadu
yang
dikoordinasi
oleh
dinas
yang
membidangi kelautan dan perikanan.
Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap
pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
terpadu;
perencanaan antarinstansi, dunia usaha, dan
masyarakat;
program akreditasi skala kabupaten/kota;
rekomendasi
izin
kegiatan
sesuai
dengan
kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan
daerah; serta
penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala
kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur oleh bupati/walikota.
BAB X MITIGASI BENCANA
Pasal 56
Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya.
Pasal 57
Mitigasi bencana Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dengan melibatkan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.
Pasal 58
Penyelenggaraan mitigasi bencana Wilayah Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilaksanakan dengan memperhatikan aspek:
sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat;
kelestarian lingkungan hidup;
kemanfaatan dan efektivitas; serta
lingkup luas wilayah.
Pasal 59
Setiap Orang yang berada di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil wajib melaksanakan mitigasi
bencana
terhadap
kegiatan
yang
berpotensi
mengakibatkan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan struktur/fisik dan/atau
nonstruktur/nonfisik.
Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan oleh instansi yang berwenang.
Ketentuan mengenai mitigasi bencana dan kerusakan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 60
Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses
terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk
memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
memperoleh
informasi
berkenaan
dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak
yang berwenang atas kerugian yang menimpa
dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
menyatakan
keberatan
terhadap
rencana
pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka
waktu tertentu;
melaporkan
kepada
penegak
hukum
atas
pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir
dan
Pulau-Pulau
Kecil
yang
merugikan
kehidupannya;
mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap
berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang merugikan kehidupannya; serta
memperoleh ganti kerugian.
Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
memberikan
informasi
berkenaan
dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
menyampaikan
laporan
terjadinya
bahaya,
pencemaran, dan/atau perusakan lingkungan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat
desa.
Pasal 61
Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi
hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional,
dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.
Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat
Tradisional,
dan Kearifan Lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang berkelanjutan.
Pasal 62
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri.
BAB XII PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 63
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
memberdayakan Masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannya.
Pemerintah
wajib
mendorong
kegiatan
usaha
Masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna.
Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan,
dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab
dalam:
pengambilan keputusan;
pelaksanaan pengelolaan;
kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan
Pemerintah/Pemerintah Daerah;
pengembangan dan penerapan kebijakan nasional
di bidang lingkungan hidup;
pengembangan dan penerapan upaya preventif dan
proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung
dan daya tampung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil;
pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang
ramah lingkungan;
penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa
di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ketentuan
mengenai
pedoman
Pemberdayaan
Masyarakat diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.
BAB XIII PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 64
Penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditempuh melalui
pengadilan dan/atau di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak
pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 65
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan
para pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan
diselenggarakan
untuk
mencapai
kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian
dan/atau mengenai tindakan tertentu guna mencegah
terjadinya atau terulangnya dampak besar sebagai
akibat tidak dilaksanakannya Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan
jasa pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan maupun yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan untuk membantu
penyelesaian sengketa.
Hasil kesepakatan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan harus dinyatakan secara tertulis dan
bersifat mengikat para pihak.
Pasal 66
Setiap Orang dan/atau penanggung jawab kegiatan
yang melawan hukum dan mengakibatkan kerusakan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini wajib membayar
ganti kerugian kepada negara dan/atau melakukan
tindakan tertentu berdasarkan putusan pengadilan.
Tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa kewajiban untuk melakukan rehabilitasi
dan/atau pemulihan kondisi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Pelaku perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib membayar biaya rehabilitasi lingkungan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kepada negara.
Selain pembebanan untuk melakukan tindakan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hakim
dapat menetapkan sita jaminan dan jumlah uang
paksa (dwangsom) atas setiap hari keterlambatan
pembayaran.
Pasal 67
Setiap Orang dan/atau penanggung jawab kegiatan
yang mengelola Wilayah Pesisir Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertanggung jawab secara langsung dan
seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau
perusakan dengan kewajiban mengganti kerugian
sebagai akibat tindakannya.
Pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebabkan oleh salah satu alasan berikut:
bencana alam;
peperangan;
keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia
(force majeure); atau
tindakan pihak ketiga.
Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan
kesengajaan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
BAB XIV GUGATAN PERWAKILAN
Pasal 68
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, organisasi
kemasyarakatan berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan.
Organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan berikut:
merupakan organisasi resmi di wilayah tersebut atau organisasi nasional;
berbentuk badan hukum;
memiliki anggaran dasar yang dengan tegas
menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk
kepentingan pelestarian lingkungan; dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti kerugian kecuali penggantian biaya atau pengeluaran yang nyata-nyata dibayarkan.
BAB XV PENYIDIKAN
Pasal 70
Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik pegawai negeri
sipil.
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana bidang kelautan dan
perikanan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan tentang adanya tindak pidana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak
pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
melakukan pemeriksaan prasarana Wilayah Pesisir
dan menghentikan peralatan yang diduga digunakan
untuk melakukan tindak pidana Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
menyegel dan/atau menyita bahan dan alat-alat
kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagai alat bukti;
mendatangkan Orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
melakukan penghentian penyidikan; dan
mengadakan tindakan lain menurut hukum.
Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penyidik pejabat pegawai negeri sipil menyampaikan
hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui
penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XVI SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 71
Pelanggaran terhadap persyaratan sebagaimana tercantum di dalam HP-3 dikenakan sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara,
denda administratif, dan/atau pencabutan HP-3.
Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil tidak dilaksanakan sesuai dengan
dokumen
perencanaan,
Pemerintah
dapat
menghentikan dan/atau menarik kembali insentif yang
telah diberikan kepada Pemerintah Daerah, pengusaha,
dan Masyarakat yang telah memperoleh Akreditasi.
Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat wajib
memperbaiki
ketidaksesuaian
antara
program
pengelolaan dan dokumen perencanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal Pemerintah Daerah, pengusaha, dan
Masyarakat tidak melakukan perbaikan terhadap
ketidaksesuaian pada ayat (2), Pemerintah dapat
melakukan tindakan:
pembekuan sementara bantuan melalui Akreditasi;
dan/atau
pencabutan tetap Akreditasi program.
BAB XVII KETENTUAN PIDANA
Pasal 73
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja:
melakukan kegiatan menambang terumbu karang,
mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi,
menggunakan bahan peledak dan bahan beracun,
dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya
ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d;
menggunakan cara dan metode yang merusak
Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem
mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan
industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e,
huruf f, dan huruf g;
menggunakan cara dan metode yang merusak
padang lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf h;
melakukan
penambangan
pasir
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf i.
melakukan
penambangan
minyak
dan
gas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j.
melakukan penambangan mineral sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf k.
melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan
kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
huruf l.
tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diakibatkan oleh
alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan
timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya
kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1).
Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 74
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:
tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau
tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
Pasal 75
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya:
melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4).
BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 76
Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta lembaga/instansi yang telah ditunjuk untuk melaksanakannya masih tetap berlaku dan menjalankan kewenangannya sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 77
Setiap instansi yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjalankan tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya secara terpadu sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pasal 78
Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XIX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lambat :
Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang
ini diselesaikan paling lambat 12 (dua belas) bulan
terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Peraturan Presiden yang diamanatkan Undang-Undang
ini diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung
sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini
diselesaikan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
Undang-Undang ini diberlakukan.
Pasal 80
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 17 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 84