Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006/PERTIMBANGAN HUKUM
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas;
Menimbang bahwa ada 3 (tiga) hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni:
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan yang diajukan oleh para Pemohon;
2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
3. Pokok permohonan mengenai konstitusionalitas undang-undang yang
dimohonkan pengujian oleh para Pemohon;
Menimbang bahwa terhadap ketiga hal tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Mahkamah Konstitusi berwenang �mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum�. Ketentuan tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UUMK) dan Pasal 12 ayat (1) Undang- undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358, selanjutnya disebut UUKK);
�
Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415, selanjutnya disebut UUKY) dan
UUKK terhadap UUD 1945, sehingga permohonan a quo berada dalam lingkup
kewenangan Mahkamah Konstitusi;
Menimbang bahwa, meskipun Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, akan tetapi untuk menghilangkan adanya keragu-raguan akan objektivitas, netralitas, dan imparsialitas Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945, perlu lebih dahulu mempertimbangkan permohonan kuasa hukum Komisi Yudisial (KY), selaku Pihak Terkait Langsung, yang secara khusus disampaikan pada persidangan tanggal 11 April 2006 agar Mahkamah Konstitusi membuat pernyataan (deklarasi). Deklarasi dimaksud, oleh Pihak Terkait KY, agar Mahkamah Konstitusi mengesampingkan atau menganggap dan menyatakan tidak akan melakukan pengujian terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUKY yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo sepanjang menyangkut Hakim Konstitusi, baik secara eksplisit maupun implisit. Atas permohonan pernyataan deklarasi tersebut Mahkamah Konstitusi memandang perlu dan penting untuk menyatakan pendiriannya sebagai berikut:
a. Bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang oleh
UUD 1945 diberi kewenangan untuk mengadili dan memutus pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap persoalan-
persoalan ketatanegaraan, adalah konsekuensi logis dari sistem ketatanegaraan
baru yang hendak dibangun oleh UUD 1945 setelah melalui serangkaian
perubahan. Sistem ketatanegaraan baru dimaksud adalah sistem yang gagasan
dasarnya bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis (democratische rechtsstaat) yaitu negara demokrasi yang berdasar
atas hukum (constitutional democracy), sebagaimana tercermin dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang merupakan penjabaran dari
Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat. Sehingga, seluruh
ketentuan dalam UUD 1945, sebagai satu kesatuan sistem, merupakan
penjabaran lebih lanjut dari gagasan dasar dimaksud dan karenanya juga dapat
dijelaskan berdasarkan gagasan dasar tersebut;
�
b. Bahwa syarat pertama setiap negara yang menganut paham rule of law dan
constitutional democracy adalah prinsip konstitusionalisme (constitutionalism),
yaitu prinsip yang menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai
hukum tertinggi, yang substansinya terkandung dalam Alinea Keempat
Pembukaan UUD 1945, sebagai perwujudan dari pernyataan kemerdekaan
bangsa, sebagaimana tercermin antara lain dalam kalimat, ��. maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia�. Sehingga undang-undang dasar adalah pernyataan
mendasar tentang hal-hal yang oleh sekelompok orang yang mengikatkan diri
sebagai suatu bangsa dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai
dasar di mana terhadap ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar itulah yang
mereka anut bersama dan kepadanya pula mereka sepakat untuk terikat (the
fundamental statement of what a group of people gathered together as citizens
of a particular nation view as the basic rules and values which they share and to
which they agree to bind themselves, vide Barry M. Hager, Rule of Law, A
Lexicon for Policy Makers, 2000). Oleh sebab itulah di negara-negara yang
menganut paham rule of law dan constitutional democracy �konstitusi haruslah
bekerja sebagai perwujudan hukum tertinggi yang kepadanya segala hukum dan
tindakan pemerintahan harus menundukkan diri ... konstitusi harus mewujudkan
aturan-aturan mendasar dari suatu masyarakat yang demokratis daripada
sekadar memasukkan ketentuan-ketentuan hukum yang senantiasa berubah-
ubah yang lebih tepat diatur oleh undang-undang. Demikian pula, struktur dan
tindakan pemerintahan harus sungguh-sungguh tunduk pada norma-norma
konstitusi, serta konstitusi tidak boleh semata-mata sebagai sekadar dokumen
seremonial atau aspirasional belaka� (�constitutions should serve as the highest
form of law to which all other laws and governmental actions must conform. As
such, constitutions should embody the fundamental precepts of a democratic
society rather than serving to incorporate ever-changing laws more appropriately
dealt with by statute. Similarly, govermental structures and actions should
seriously conform with constitutional norms, and constitutions should not mere
ceremonial or aspirational documents�, vide John Norton More, 1990). Oleh
karena itu harus terdapat mekanisme yang menjamin bahwa ketentuan-
ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar dilaksanakan dalam praktik
kehidupan bernegara. Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi
�
itulah keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu sebagai
lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi atau undang-undang dasar (the
guardian of the constitution) yang karena fungsinya itu dengan sendirinya
Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tunggal undang-undang dasar (the
sole judicial interpreter of the constitution). Pada kerangka pemikiran itulah
seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
bersumber dan mendapatkan landasan konstitusionalnya;
c. Bahwa dalam melaksanakan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal
konstitusi, Hakim Konstitusi telah bersumpah �akan memenuhi kewajiban
sebagai Hakim Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa�, sesuai dengan ketentuan Pasal
21 ayat (1) UUMK. Sumpah tersebut membawa konsekuensi bahwa adalah
bertentangan dengan undang-undang dasar apabila Hakim Konstitusi
membiarkan tanpa ada penyelesaian suatu persoalan konstitusional yang
dimohonkan kepadanya untuk diputus, padahal persoalan tersebut, menurut
konstitusi, nyata-nyata merupakan kewenangannya. Lebih-lebih persoalan
tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan pribadi Hakim
Konstitusi, melainkan merupakan persoalan konstitusi;
d. Bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi sangat menyadari bahwa, dalam
melaksanakan kewenangannya menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi harus senantiasa mempertimbangkan secara cermat dua
hal. Pertama, bahwa undang-undang adalah hasil kerja dari dua lembaga
negara yang dipilih secara demokratis, sehingga setiap undang-undang dilihat
dari sudut pandang procedural democracy adalah cerminan dari kehendak
mayoritas rakyat. Kedua, namun demikian, kehendak mayoritas rakyat itu tidak
boleh mengabaikan substantial democracy sebagaimana tertuang dalam
ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dalam setiap negara yang menganut
paham rule of law dan constitutional democracy merupakan hukum tertinggi (the
supreme law). Acapkali muncul pandangan yang keliru bahwa, dalam
�
melaksanakan kewenangannya untuk menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar, seakan-akan tugas Mahkamah Konstitusi adalah untuk
membatalkan undang-undang. Oleh karena itu sangat penting bagi Mahkamah
Konstitusi untuk menegaskan, sebagaimana dikemukakan oleh Justice Robert
dalam perkara U.S. v. Butler, bahwa, �Kekuasaan yang dimiliki oleh Mahkamah
... adalah kekuasaan untuk mengadili. Mahkamah ini tidak memiliki kekuasaan
untuk menyetujui atau mengecam kebijakan legislatif apa pun. Tugas berat dan
sulit Mahkamah adalah memastikan dan menyatakan apakah undang-undang ini
sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi; dan, setelah itu, maka berakhirlah
tugasnya� (�All the power it has ... is the power of judgment. This court neither
approves nor condemns any legislative policy. Its delicate and difficult office is to
ascertain and declare whether the legislation is in accordance with, or in
contravention of, the provisions of the Constitution; and, having done that, its
duty ends�, vide Craig R. Ducat, Constitutional Interpretation, 2000);
e. Bahwa selain berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dalam
permohonan KY tersebut, meskipun yang dimohonkan adalah deklarasi tetapi
esensinya adalah memohon putusan sela, sedangkan dalam hukum acara
pengujian undang-undang, Pasal 58 UUMK menyatakan, �Undang-undang yang
diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�. Sehingga, pada
dasarnya dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tidak dikenal
adanya putusan sela. Satu-satunya kemungkinan Mahkamah Konstitusi
menjatuhkan semacam putusan sela dalam pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945, baik atas permohonan Pemohon maupun atas pertimbangan
Mahkamah Konstitusi sendiri, adalah apabila pengujian tersebut berkenaan
dengan proses pembentukan suatu undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal
16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Permohonan
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang, yaitu:
(1) Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam
pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannnya, Mahkamah
Konstitusi dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau
menunda putusan;
�
(2) Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana yang dimaksud pada
butir (1) disertai dengan bukti-bukti, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan
menunda pemeriksaan dan memberitahukan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindaklanjuti adanya persangkaan tindak pidana yang
diajukan oleh Pemohon;
(3) Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud butir (1) telah diproses secara hukum oleh pejabat yang berwenang, untuk kepentingan pemeriksaan dan pengambilan keputusan, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan penyidikan dan/atau penuntutan;
(4) Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan sebagaimana dimaksud butir (1) ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Sementara itu, permohonan deklarasi yang diajukan oleh KY tidak berada dalam lingkup pengaturan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 di atas;
f. Bahwa meskipun permohonan deklarasi oleh KY tersebut dimaksudkan untuk
mencegah Mahkamah Konstitusi menjadi hakim dalam perkaranya sendiri dan
agar Mahkamah Konstitusi terhindar dari sikap memihak karena dipandang
memiliki kepentingan yang menjadikan dirinya tidak imparsial, yang memang
merupakan prinsip-prinsip hukum acara dalam peradilan yang baik, tetapi
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal tersebut tidak boleh menegasikan
ketentuan hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi (UUD 1945) yang telah
memberikan kewenangan konstitusional kepada Mahkamah untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi secara independen,
termasuk salah satunya adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945;
g. Imparsialitas sebagai prinsip etik yang bersifat universal untuk menghindari
konflik kepentingan (conflict of interest) sesungguhnya titik beratnya adalah
dalam proses pemeriksaan perkara biasa, seperti yang menyangkut perkara
perdata atau pidana, dalam hal mana faktor konflik kepentingan individual
merupakan obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan diadili hakim.
Proses peradilan kasus a quo di Mahkamah Konstitusi objectum litis-nya adalah
masalah konstitusionalitas undang-undang yang lebih menyangkut kepentingan
�
publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supreme law),
bukan semata-mata kepentingan individual. Oleh karena itu, dalam kasus a quo,
penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesam-
pingkan kewajiban konstitusional yang lebih utama untuk memeriksa dan
memutus permohonan a quo, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan
pada fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan
tetap menjaga prinsip imparsialitas dalam keseluruhan proses. Oleh karena itu
asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter in
zijn eigen zaak op te treden), yaitu bahwa tidak seorang pun dapat menjadi
hakim dalam perkaranya sendiri, tidak dapat diterapkan dalam kasus ini;
Menimbang berdasarkan seluruh alasan tersebut di atas, sebagai penjaga
konstitusi (the guardian of the constitution), Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak
terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan deklarasi sebagaimana
dimohonkan Pihak Terkait Langsung (KY). Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan
a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga
independensi, imparsialitas, dan integritasnya, guna menegakkan konstitusi;
2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menentukan pemohon dalam
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu a) perorangan Warga Negara Indonesia, termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama; b) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c) badan
hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara.
Menimbang bahwa sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 (lima) syarat adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK, sebagai berikut:
a. harus ada hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-
undang;
�
c. kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-
tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional
dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Menimbang bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo adalah 31
orang Hakim Agung yang mendalilkan dirinya sebagai perorangan Warga Negara
Indonesia yang menjabat sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia (selanjutnya disebut MA). Para Pemohon mendalilkan bahwa hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh Pasal 24 ayat (1) UUD
1945, yaitu hak akan kebebasannya sebagai Hakim Agung telah terganggu
dan/atau dirugikan oleh berlakunya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e
dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal
25 ayat (3) dan ayat (4) terkait semuanya (jis) dengan Pasal 1 angka 5 UUKY
sepanjang mengenai perkataan �Hakim Agung� dan �Hakim Konstitusi�, serta Pasal
34 ayat (3) UUKK sepanjang mengenai perkataan �hakim agung�;
Menimbang bahwa Pihak Terkait KY dalam persidangan berpendapat para Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo, karena tidak jelas hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh UUKY dan UUKK, yaitu bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah mengenai kemerdekaan pelaku kekuasaan kehakiman, yakni MA dan badan-badan peradilan di bawah MA serta Mahkamah Konstitusi, bukan para hakimnya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman yang tidak dapat mewakili kepentingan pelaku kekuasaan kehakiman. Selain itu, KY juga berpendapat bahwa para Pemohon keliru menyimpulkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan hanya karena menjadi obyek pengawasan, yang berarti mengabsolutkan independensi hakim agung;
Menimbang bahwa terhadap persoalan legal standing tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
a. Bahwa para Pemohon memenuhi kualifikasi pemohon perorangan Warga
Negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;
�
b. Bahwa sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang berprofesi dan
menduduki jabatan (ambt) sebagai hakim agung, para Pemohon memiliki hak
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yakni hak kebebasannya sebagai
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
ditanganinya. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, �Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan�, sedangkan ayat (2)-nya
berbunyi, �Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�. Hal tersebut
kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UUKK. Pasal 31
UUKK berbunyi, �Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang diatur dalam undang-undang�, sedangkan Pasal 33 UUKK berbunyi,
�Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan�.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UUKK di atas, kebebasan atau
kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman � yaitu
MA, beserta badan-badan peradilan di bawah MA, dan Mahkamah Konstitusi �
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Namun, kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan
sendirinya tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman dimaksud. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi bahwa hakim
adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman (rechters als uitvoerder
van rechterlijke macht) (Pasal 31 UUKK), hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan (Pasal 33 UUKK) yang secara inheren hakim juga secara individual
menyandang kemandiriannya sebagai hakim, sehingga seorang ketua
pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani
perkara. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa MA adalah pengadilan
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, dan MA
memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim.
�
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa MA sebagai institusi hanya dapat
melaksanakan kewenangannya melalui para hakimnya. Dengan demikian, MA
sebagai suatu lingkungan kerja (ambt) untuk bertindak dipersonifikasikan oleh
Hakim Agung sebagai pemangku jabatan (ambtsdrager) [De werkkring, die het
ambt is, moet door een mens worden vervuld; de persoon, die het ambt is, door
een mens worden vertegenwoordigd. Dit is de ambtsdrager]. Oleh karenanya,
independensi peradilan sebagai institusi yang diartikan sebagai terlepas dari
pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya, memiliki aspek individual
perorangan para hakim, sebagai hak dan kewajiban yang dijamin oleh UUD
1945, sehingga aspek institusional independensi peradilan paralel dengan aspek
individual independensi hakim. Kebebasan hakim agung melakukan
kewenangan justisialnya, sebagaimana kewenangan justisial institusi MA, harus
dijamin dan dijaga dari paksaan, direktiva atau intervensi, maupun intimidasi dari
pihak ekstra-yudisial;
c. Bahwa para Pemohon menganggap kebebasan dalam menjalankan
kewenangan justisial yang merupakan hak konstitusional hakim agung yang
dijamin UUD 1945 telah dirugikan oleh berlakunya UUKY dan UUKK, khususnya
pasal-pasal mengenai pengawasan � yang akan dibahas dalam pertimbangan
mengenai pokok perkara. Padahal, kemandirian peradilan tidak boleh
dipertaruhkan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan dengan berkedok
sebagai mendisiplinkan hakim yang nakal (Sandra Day O�Connor, Mantan
Hakim Agung AS, 2005, �Pentingnya Kemandirian Yudisial�, dalam Jurnal USA:
�Isu-isu Demokrasi�);
d. Bahwa ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak
konstitusional para Pemohon dengan ketentuan mengenai pengaturan
pengawasan yang tercantum dalam UUKY dan UUKK beserta cara-cara
pelaksanaannya oleh KY yang dianggap oleh para Pemohon telah memasuki
ranah kewenangan justisial para Pemohon sebagai hakim agung karena
kekaburan pengkaidahannya dalam UUKY dan UUKK, dan apabila permohonan
para Pemohon dikabulkan, diyakini bahwa hak konstitusional Para Pemohon,
yakni kemandiriannya sebagai hakim agung, tidak akan atau tidak dirugikan lagi;
e. Bahwa para Pemohon mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan
pengawasan KY terhadap para Hakim Agung, tetapi terhadap Hakim Konstitusi
kepentingan para Pemohon terdapat titik singgung bersifat tidak langsung, sebab
�
sama-sama sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang
merdeka yang kedudukannya sederajat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24
ayat (2) UUD 1945. Bahkan pada hakikatnya, kebebasan peradilan dan
kebebasan para hakim adalah kepentingan seluruh warga negara pencari
keadilan (justitiabelen);
Menimbang bahwa dengan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah
Konstitusi berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing,
legitima persona standi in judicio) untuk mengajukan permohonan a quo, dengan
seorang Hakim Konstitusi berpendapat lain bahwa, sepanjang menyangkut
ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon tidak
mempunyai legal standing karena tidak ada kerugian hak atau kewenangan
konstitusional yang bersifat spesifik yang dialami oleh para Pemohon, selaku Hakim
Agung, sebagai akibat dari berlakunya ketentuan yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi dalam UUKY;
Menimbang selanjutnya, oleh karena Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo dan para Pemohon memiliki legal standing, maka lebih lanjut Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon;
3. Pokok Permohonan
Menimbang bahwa, dalam pokok permohonannya, para Pemohon telah
mendalilkan inkonstitusionalitas beberapa pasal UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK
yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
1) Pasal 1 Angka 5 UUKY: �Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�.
2) Pasal 20 UUKY: �Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim�.
3) Pasal 21 UUKY: �Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, komisi Yudisial bertugas mengajukan usul
�
penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/
atau Mahkamah Konstitusi�.
4) Pasal 22 ayat (1) UUKY: �Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a. �;
b. �;
c. �;
d. �;
e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi,
serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR�.
5) Pasal 22 ayat (5) UUKY: �Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan
kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data
yang diminta�.
6) Pasal 23 ayat (2) UUKY: �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan
oleh Komisi Yudisial kepada Pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi�.
7) Pasal 23 ayat (3) UUKY: �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�.
8) Pasal 23 ayat (5) UUKY: �Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian
hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada
Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh
Majelis Kehormatan Hakim�.
9) Pasal 24 ayat (1) UUKY: �Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan
penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim�.
10) Pasal 25 ayat (3) UUKY: �Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon Hakim
�
Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim
Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh Anggota Komisi Yudisial�.
11) Pasal 25 ayat (4) UUKY: �Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-
turut atas keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan
pengusulan pemberhentian hakim agung dan/atau hakim Mahkamah Konstitusi
maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota�.
12) Pasal 34 ayat (3) UUKK: �Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh
Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang�.
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan alasan inkonstitusionalitas
Pasal-pasal UUKY dan UUKK tersebut di atas sebagai berikut:
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
�Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�, yang
apabila dibaca dalam satu nafas dan konteksnya satu sama lain, maka menurut
para Pemohon, bermakna bahwa KY mempunyai kewenangan lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan KY untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung;
b. bahwa, menurut para Pemohon, kewenangan lain KY tidak menjangkau hakim
agung dan hakim Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya para hakim dari
lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA, karena untuk menjadi hakim
agung dan hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya berasal dari Hakim
Tingkat I dan Hakim Banding, bahkan juga tidak menjangkau hakim ad hoc. Hal
mana diperkuat oleh ketentuan Pasal 25 UUD 1945 yang berbunyi, �Syarat-
syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang�;
c. bahwa, menurut para Pemohon, perluasan makna �hakim� dalam Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 oleh Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal UUKY lainnya yang terkait,
serta Pasal 34 ayat (3) UUKK bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku
secara universal, yaitu lex certa, lex stricta, dan lex superiori derogat legi
inferiori;
�
d. bahwa, menurut para Pemohon, pengawasan oleh KY terhadap para hakim
agung, dengan memanggil mereka atas beberapa kasus yang telah diadilinya,
bertentangan dengan prinsip independensi peradilan dan para hakim agung
yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;
e. bahwa secara universal kewenangan pengawasan oleh KY tidak menjangkau
hakim agung, karena KY adalah mitra MA dalam pengawasan terhadap para
hakim pada lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA, sehingga menurut
para Pemohon, Pasal 20 UUKY bertentangan dengan UUD 1945;
f. bahwa usul pemberhentian para hakim agung telah diatur dalam UUMA dan usul
pemberhentian para hakim Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam UUMK yang
tidak memerlukan campur tangan KY, sehingga menurut para Pemohon, Pasal
21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) UUKY bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal
25 UUD 1945;
g. bahwa oleh karena itu para Pemohon dalam petitumnya mohon Mahkamah
Konstitusi menyatakan pasal-pasal UUKY dan UUKK di atas bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, para Pemohon telah
mengajukan alat bukti tertulis P-1 sampai dengan P-28, dan 2 (dua) orang ahli, yaitu
Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. (Guru Besar Universitas Airlangga di Surabaya)
dan Hobbes Sinaga, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen
Indonesia di Jakarta yang juga mantan Anggota PAH I BP MPR) yang memberikan
keterangan secara lisan dan tertulis yang selengkapnya dimuat dalam uraian
mengenai Duduk Perkara, yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:
1) Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., dengan menggunakan pendekatan
kontekstual dalam menganalisis Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berpendapat bahwa
pengertian hakim dalam pasal tersebut tidak termasuk pengertian hakim agung dan
hakim Mahkamah Konstitusi. Dengan mendasarkan diri pada pendapat Jan McLeod
dalam bukunya �Legal Method�, dalam pendekatan contextual tersebut, menurut
Ahli, terdapat 3 (tiga) asas yang penting, yaitu (1) asas noscitur a sociis, yang
berarti suatu kata ditentukan dari konteks pengertian yang berhubungan dengannya
(a thing is known by its associates); (2) asas ejusdem generis, yang mengandung
makna of the same class; dan (3) asas expressio unius exclusio alterius yang berarti
the expression (or the inclusion) of one thing implies the exclusion of another.
�
Berdasarkan pendekatan kontekstual tersebut, menurut Ahli, Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi memiliki konsep yang berbeda dengan hakim;
Berdasarkan asas pertama noscitur a sociis, dalam konteksnya bahwa di
bagian depannya itu adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, dan
kemudian tugas lain itu �menjaga dan menegakkan kehormatan serta � dan
seterusnya perilaku hakim�. Oleh karenanya, mengingat bahwa Indonesia tidak
memiliki istilah yang spesifik untuk Hakim Agung, tidak seperti Amerika Serikat
memiliki judge dan justice serta Belanda memiliki rechter dan de leden van den
Hoge Raad der Nederlanden ataupun Philipina yang mengenal konsep Member of
the Supreme Court sehingga Indonesia hanya mengenal istilah Hakim Agung. Oleh
karenanya makna kata hakim tersebut tidak termasuk Hakim Agung, juga hakim
pada Mahkamah Konstitusi. Asas yang kedua yaitu asas ejusdem generis, artinya
mengandung makna of the same class, pada genus yang sama, pada kelompok
yang sama. Bahwa yang dimaksud dengan kelompok yang sama, pada genus yang
sama, yaitu Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Menurut Ahli, terdapat
perbedaan konsep antara Hakim Agung dan hakim. Asas yang ketiga yaitu asas
expressio unius exclusio alterius, mengandung makna hakim dalam konteks Pasal
24B ayat (1) tidaklah termasuk hakim agung, oleh karena itu, haruslah ditolak
ketentuan dalam undang-undang menyangkut kewenangan Komisi Yudisial
mengawasi perilaku hakim dengan mengartikan hakim agung dan hakim
Mahkamah Konstitusi termasuk pengertian hakim dalam konteks Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945.
2) Hobbes Sinaga, S.H., M.H.
Ahli Hobbes Sinaga, Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia,
dan mantan Anggota PAH I BP MPR-RI yang terlibat dalam perubahan UUD 1945,
memberikan keterangan berdasarkan keahliannya menyatakan bahwa pada saat ini,
Indonesia memiliki dua badan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pengisian hakim pada kedua lembaga
ini berbeda. Hakim Konstitusi diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden,
sedangkan Hakim Agung dipilih melalui proses fit and proper test di DPR. Untuk
menjaga kemandirian dari Mahkamah Agung tersebut, dibentuklah Komisi Yudisial
yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Artinya, Komisi
Yudisial hanya merekrut calon sedangkan kewenangan penuh untuk memilih calon
�
tetap berada di tangan DPR. Dengan demikian, kedudukan Komisi Yudisial tidak
sama dengan DPR yang menyetujui, juga tidak sama dengan Presiden yang
menetapkan. Tugas utama dari Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan,
sedangkan kewenangan lain itu merupakan kewenangan tambahan yang
seharusnya tidak boleh lebih besar dari kewenangan pokok. Yang menegakkan
keluhuran martabat dan kehormatan hakim bukanlah Komisi Yudisial, melainkan
hakim itu sendiri.
Komisi Yudisial tidak memiliki hubungan dengan Mahkamah Konstitusi sehingga tidak relevan apabila Komisi Yudisial juga mengawasi hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Menimbang bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan di persidangan, yang selengkapnya termuat dalam uraian mengenai duduk perkara, pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1. Pemerintah
KY adalah lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. KY memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Bahwa hal ini sebagai kehendak kuat dari pembuat undang-undang agar dapat terwujud mekanisme checks and balances terhadap pelaksanaan independensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan lainnya.
KY tidak melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang dilakukan pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
2. DPR Bahwa Pasal 1 angka 5 UUKY berkaitan dengan perluasan pengertian hakim termasuk hakim agung, awalnya diusulkan oleh Pemerintah dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM)-nya, sedang dalam RUU yang menjadi inisiatif dewan sebenarnya tidak seperti itu, sehingga kemudian perubahannya berbunyi, �hakim adalah hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim pada semua badan peradilan di bawahnya�;
�
Dalam rapat dengar pendapat umum antara lain dari LSM, memberikan
masukkan yang intinya adalah bahwa KY itu adalah lembaga independen yang
sifatnya pengawasan eksternal, sedangkan pengawasan internal dilakukan oleh
Mahkamah Agung sendiri, hal mana berkaitan dengan semangat dan kehendak kita
bersama untuk menghadirkan dan menciptakan kehormatan, keluhuran martabat
para hakim;
Kata menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 diwujudkan dalam pengawasan, sedangkan kata �menegakkan� diwujudkan dalam tugas pendisiplinan atau menjatuhkan sanksi disiplin. Hal itu didasarkan pada semangat terjadinya checks and balances, saling mengimbangi dan saling kontrol di antara lembaga negara yang ada, termasuk terhadap MA.
Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi telah pula memanggil sejumlah mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP MPR), yang terlibat dalam pembahasan perubahan UUD 1945, untuk didengar keterangannya selaku saksi, yang pada pokoknya masing-masing telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Harun Kamil, SH.
Bahwa munculnya Komisi Yudisial pada awalnya bertugas untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung, sedangkan yang bertugas untuk
menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim diserahkan
kepada Dewan Kehormatan Hakim. Namun gagasan pembentukan Dewan
Kehormatan Hakim tidak disepakati sehingga kewenangan dimaksud
ditambahkan menjadi kewenangan KY;
2. Drs. Baharuddin Aritonang, M.Hum.
Pada pokoknya saksi menerangkan bahwa pada saat pembahasan
perubahan UUD 1945, saksi tidak sependapat jika Komisi Yudisial yang hanya
memiliki dua kewenangan dimasukan dalam UUD 1945. Namun oleh karena
Komisi Yudisial sudah menjadi bagian dari UUD 1945, maka permasalahan yang
harus dipecahkan adalah bagaimana merumuskan pengawasan hakim. Dalam
pikiran dan benak saksi waktu itu, bukan dengan membentuk lembaga-lembaga
lain yang kelak pada saatnya akan tumpang tindih, bahkan pada sisi lain
khususnya dari perhitungan anggaran negara akan menjadi beban yang besar
dan ditanggung oleh negara. Kini jumlah lembaga-lembaga kuasi ini jumlahnya
�
lebih dari 40-an, di undang-undang dasar ada dua, salah satu di antaranya
adalah komisi pemilihan umum yang kemudian berdasar undang-undang
menjadi bentuk KPU, dan yang kedua adalah Komisi Yudisial. Menurut saksi, KY
tidak perlu masuk dalam UUD, mengingat KY hanya memiliki 2
tugas/kewenangan yaitu, mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan
wewenang lain dalam menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran,
martabat serta perilaku hakim membentuk lembaga baru;
3. Patrialis Akbar, SH.
Bahwa maksud dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah Komisi Yudisial
selain berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, juga mempunyai
wewenang lain yaitu dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, dan wewenang lain tersebut, tidak
berkait dengan wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, karena hal
tersebut merupakan dua wewenang yang dibahas secara terpisah;
4. Mayjen. Pol. (Purn.) Drs. Sutjipno
Komisi Yudisial diadakan atau dibangun untuk menjamin adanya checks
and balances dalam keseluruhan proses penyelenggaraan ketatanegaraan
Republik Indonesia. Namun bukan berarti bahwa KY adalah merupakan cabang
kekuasaan tersendiri melainkan bahwa KY adalah sebagai suatu supporting
element belaka;
Komisi Yudisial dalam rangka checks and balances adalah untuk mengontrol perilaku para hakim demi menjaga martabat dan kehormatan hakim keseluruhannya. Maka yang menjadi sasaran utama KY adalah aspek administratif personil hakim yaitu para hakim dalam seluruh jajaran kekuasaan yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif;
Komisi Yudisial tidak lain adalah semata-mata sebagai aparat pengawas atau aparat kontrol dan penjaga perilaku para hakim, yang berarti aspek-aspek administratif personil yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif dengan maksud dan tujuan untuk terpeliharanya martabat dan kehormatan hakim;
Komisi Yudisial hanyalah sebagai aparat administratif dalam rangka pembinaan personil hakim dalam pelaksaan code of conduct para hakim dalam seluruh jajaran yudikatif;
� 5. Sutjipto, S.H. Bahwa pada intinya keterangan Saksi sama dengan Saksi-saksi lain yang sudah memberi keterangan sebelumnya, yaitu berdasarkan risalah-risalah sidang, yakni bahwa dalam pembahasan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
Menimbang bahwa dalam persidangan Mahkamah Konstitusi telah pula mendengar keterangan Pihak Terkait KY, sebagai pihak terkait langsung, dengan didampingi kuasa hukumnya, yang juga mengajukan beberapa orang Ahli yaitu Prof. Dr. Mahfud M.D., Prof. Dr. Amran Halim, Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., serta saksi Drs. Agun Gunanjar. Keterangan Pihak Terkait KY beserta ahli dan saksi yang diajukan selengkapnya telah dimuat dalam uraian mengenai duduk perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Keterangan KY
Bahwa pemohon kurang memahami substansi judicial review. Bahwa dalam
judicial review yang menjadi inti (core) adalah konsistensi undang-undang dalam hal
ini UUKY dan UUKK terhadap UUD 1945, khususnya pasal 24B ayat (1), bukan
mempersoalkan atau menguji isi dan cara atau prosedur amandemen UUD 1945;
Bahwa para Pemohon maupun sidang majelis ini tidak memiliki kewenangan untuk menilai atau mengoreksi cara perubahan dan isi/materi pasal-pasal UUD 1945, sebab semuanya adalah kewenangan MPR dan para Pemohon telah melangkah jauh melampaui batas kewenangan sidang Majelis Mahkamah Konstitusi;
Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap hakim sudah barang tentu haruslah berlandaskan kekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang dijabarkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUKY. Jika dalam melakukan pengawasan tersebut KY tidak berlandaskan kepada kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) di atas, tentulah pengawasan itu tidak sah dan sewenang-wenang. Apa yang dilakukan KY menggunakan pendekatan kekuasaan atau berlandaskan kekuasaan yang diberikan kepadanya adalah sesuai dengan konsep negara hukum (rechtsstaat) yang dianut oleh UUD 1945;
�
Bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan KY didasarkan pada UU KY dan
Peraturan yang dibuat dan dibentuk KY berdasarkan delegasi atau atribusi
kekuasaan. Jika dikatakan KY memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan dengan
membaca dan mengkaji putusan hakim yang bersangkutan, itu hanyalah sebagai
pintu masuk (entry point). Sebab secara universal telah diterima oleh masyarakat
beradab bahwa kehormatan dan keluhuran martabat seorang hakim dapat dilihat
dari putusan yang dibuatnya. KY bukan saja mengawasi perilaku hakim di luar
pengadilan tapi juga mengawasi perilaku hakim dalam melaksanakan tugas
peradilan agar tidak terjadi korupsi (judicial corruption) yang saat ini menjadi
masalah nasional yang perlu diberantas;
Bahwa KY berpendapat objek pengawasan meliputi seluruh hakim.Tidak terkecuali Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5 UUKY;
2. Prof. Dr. H. Mahfud., M.D. (Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta)
Bahwa ahli berpendapat, pada prinsipnya politik hukum itu adalah arah yang dikehendaki oleh hukum atau arah tentang hukum yang akan diberlakukan. Politik hukum itu bisa dipahami dari kalimat yang ada sejauh kalimat itu jelas dan tidak diperdebatkan, kalau ternyata menimbulkan perdebatan, maka politik hukum itu bisa dicari dari latar belakang historis munculnya gagasan tentang pembentukan Komisi Yudisial ini. Ahli juga berpendapat bahwa tidak relevan membandingkan dengan teori-terori atau hukum yang berlaku di negara lain karena politik hukum dari setiap negara itu berbeda. Politik Hukum di Indonesia adalah yang tertulis di konstitusi. Berdasarkan pernyataan-pernyataan dalam risalah serta Cetak Biru Mahkamah Agung, jelas terdapat keinginan agar Komisi Yudisial tidak saja bertugas untuk mengangkat Hakim Agung, tetapi juga mengawasi dan mengontrol.
3. Prof. DR. Amran Halim (Ahli Bahasa Indonesia)
Ahli pada prinsipnya menyatakan bahwa dari sudut ilmu bahasa Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 merupakan sebuah kalimat yang mempunyai dua anak kalimat yang setara, karena ada kata �dan�. Itu berarti bahwa yang terdapat di sebelah kiri kata �dan� dengan yang terdapat di sebelah kanan kata �dan� yang pertama mempunyai kedudukan yang sama dan setara artinya. Artinya, kedua bagian ini mempunyai kedudukan yang sama dan mempunyai fungsi yang sama. Yang pertama tidak mengatasi yang kedua, yang kedua tidak mengatasi yang pertama,
�
karena keduanya betul-betul setara. Kesetaraannya itu berbentuk anak kalimat.
Anak kalimat yang pertama �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung�. Anak kalimat yang kedua dibaca
�Komisi Yudisial bersifat mandiri yang mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga ...�. Dari sudut bahasa, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bagian pertama
hanya mengenai Hakim Agung, sedangkan bagian keduanya mencakup semua
hakim;
4. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. (Dosen HTN UGM di Yogyakarta)
Ahli Denny Indrayana pada prinsipnya menyatakan salah satu pesan moral
utama yang ada dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan masalah
kehormatan dan martabat perilaku seluruh hakim untuk mendukung upaya
menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara
hukum. Ditegaskan pula, adanya ketentuan konstitusi tentang Komisi Yudisial
didasarkan pada pesan moral konstitusional bahwa Hakim Agung yang duduk di
Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan
dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Suatu interpretasi bahwa
Komisi Yudisial hanya berhak mengawasi hakim tingkat pertama dan banding
adalah interpretasi yang tidak tepat, karena bersifat diskriminatif dan kolutif.
Diskriminatif karena hanya memberlakukan pengawasan kepada Hakim Pengadilan
Negeri dan pengadilan tinggi tetapi tidak kepada hakim yang lain;
Ahli berpendapat bahwa alasan public distrust dan bermasalahnya
pengawasan internal Mahkamah Agung yang sebenarnya menjadi salah satu dasar
utama lahirnya Komisi Yudisial, terutama pada bagian wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan dan martabat seluruh hakim;
Ahli berpendapat bahwa pengawasan atas Hakim Agung tidak melanggar
prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Prinsip kemandirian kekuasaan
kehakiman bukanlah prinsip hukum yang berdiri sendiri. Prinsip tersebut harus
berjalan seiring dengan prinsip hukum transparansi dan akuntabilitas. Kedua prinsip
itulah yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan para hakim oleh Komisi Yudisial.
Mengenai pentingnya prinsip kemandirian bersama-sama dengan transparansi dan
akuntabilitas itu, independensi bersanding dengan imparsialitas dan integritas yang
dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan terhadap perilaku para hakim,
agar tidak menyimpang dari asas good behavior;
�
Ahli juga memberikan pemaparan tentang bagaimana praktik dari komisi
yudisial di negara lain yang lebih menitikberatkan pada pengawasan hakim dan
bukan pada pemilihan dari Hakim Agung itu sendiri.
5. Saksi Drs. Agun Gunanjar (Anggota DPR, mantan Anggota PAH I MPR)
Bahwa pada awalnya Komisi Yudisial hanya memiliki wewenang untuk mengusulkan pengangkatan, sedangkan pengasawan dilakukan oleh Dewan Kehormatan, yang pada akhirnya dua wewenang tersebut dipegang oleh Komisi Yudisial, oleh karena Dewan Kehormatan tidak dirumuskan dalam UUD 1945 dan kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan hakim, termasuk hakim agung;
Bahwa alasan adanya perbedaan Hakim Agung dan hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, adalah karena memang yang dimaksudkan adalah Hakim Agung dalam hal pengusulan pengangkatan untuk menghindari intervensi politik dan dalam rangka checks and balances, hal ini disebabkan proses atau cara pengangkatan hakim agung dengan hakim tingkat pertama dan banding berbeda. Untuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sistem tertutup, sedangkan untuk Mahkamah Agung sistem terbuka. Selanjutnya mengenai kata hakim, adalah terhadap seluruh hakim termasuk hakim agung;
Bahwa fokus pembahasan dalam perubahan ketiga UUD 1945, khususnya yang berkait dengan pembicaraan tentang keberadaan Komisi Yudisial adalah mengenai Mahkamah Agung;
Menimbang bahwa Komisi Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dan Kontras, yang masing-masing mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait Tidak Langsung, telah pula didengar keterangannya dalam persidangan. Keterangan lisan maupun tertulis Pihak Terkait Tidak Langsung tersebut selengkapnya telah dimuat dalam uraian mengenai duduk perkara, yang pada pokoknya mendukung dalil-dalil KY;