Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006/PENDAPAT MAHKAMAH
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
PENDAPAT MAHKAMAH
Menimbang bahwa setelah mendengarkan keterangan dan kesimpulan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan KY sebagai Pihak Terkait Langsung, dan keterangan Pihak Terkait Tidak Langsung, serta memeriksa alat bukti tertulis yang diajukan para Pemohon dan mendengarkan keterangan para
�
ahli, baik yang diajukan para Pemohon maupun KY, serta keterangan saksi-saksi,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalam mempertimbangkan permohonan
para Pemohon a quo, terdapat beberapa hal substansial yang harus
dipertimbangkan yang menyangkut pengertian pengertian sebagai berikut:
1. Pengertian Hakim, apakah termasuk Hakim Konstitusi dan Hakim Agung;
2. Hubungan Antar Lembaga Negara dan Konsep Pengawasan; dan
3. Perilaku Hakim;
Menimbang bahwa oleh karena ketiga persoalan pokok di atas terkait dengan
independensi peradilan dan hakim, maka Mahkamah Konstitusi memandang perlu
untuk terlebih dahulu menguraikan pendapatnya tentang kemerdekaan (inde-
pendensi) hakim sebagai kerangka konseptual (conceptual framework) dalam
memahami ketiga persoalan tersebut di atas;
Independensi Peradilan dan Independensi Hakim
Menimbang bahwa dalam suatu negara demokrasi yang berdasarkan atas
hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi,
�Negara Indonesia adalah negara hukum�, independensi peradilan dan
independensi hakim merupakan unsur esensial dari negara hukum atau rechtsstaat
(rule of law) tersebut. Oleh karena pentingnya prinsip ini, maka konsepsi
pemisahan kekuasaan di antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta
konsepsi independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang
fundamental sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari konstitusi, dan
merupakan jiwa dari konstitusi itu sendiri. Bahkan, ketika UUD 1945 belum diubah
pun, di mana ajaran pemisahan kekuasaan tidak dianut, prinsip pemisahan dan
independensi kekuasaan kehakiman sudah ditegaskan, dan hal itu sudah tercermin
dalam Pasal 24 dan Penjelasan Pasal 24 tersebut. Sekarang setelah UUD 1945
diubah dari perubahan pertama hingga keempat, di mana cabang-cabang
kekuasaan negara dipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances, terutama
dalam hubungan antara legislatif dengan eksekutif, maka pemisahan kekuasaan
yudikatif dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya semakin dipertegas
sehingga independensi kekuasaan kehakiman di samping bersifat fungsional juga
bersifat struktural yaitu dengan diadopsinya kebijakan satu atap sebagaimana diatur
dalam Pasal 13 ayat (1) UUKK.
�
Menimbang dengan uraian di atas maka, menurut UUD 1945, independensi
peradilan itu sendiri merupakan benteng (safeguard) dari rule of law. Prinsip
tersebut juga dianut secara universal sebagaimana tercermin dalam Basic Principles
on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh the Seventh United
Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di
Milan dari 26 Agustus sampai dengan 6 September 1985, dan disahkan dengan
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Nomor
40/146 tanggal 13 Desember 1985, yang antara lain dalam butir 1, 4, 7, 14, dan 15
berbunyi sebagai berikut:
1. The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary;
2. �
3. �
4. There shall not be any inappropriate or unwarranted interference with the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or commutation by competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in accordance with the law;
5. �
6. �
7. It is the duty of each Member State to provide adequate resources to enable the judiciary to properly perform its functions;
8. �
9. �
10. �
11. �
12. �
13. �
14. The assignment of cases to judges within the court to which they belong is an internal matter of judicial administration.
15. The judiciary shall be bound by professional secrecy with regard to their deliberations and to confidential information acquired in the course of their duties
�
other than in public proceedings, and shall not be compelled to testify on such
matters.
Oleh karena itu, independensi peradilan harus dijaga dari segala tekanan, pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun. Independensi peradilan merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya;
Menimbang bahwa kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya. Tetapi kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan administrasi. Jika putusannya tidak sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap hakim baik secara pribadi maupun terhadap kewenangan
�
lembaga peradilan [�.�when a decision adverse to the beliefs or desires of those
with political power, can not affect retribution on the judges personally or on the
power of the court� (Theodore L. Becker dalam Herman Schwartz, Struggle for
Constitutional Justice, 2003 hal 261)];
Menimbang bahwa oleh karena kemerdekaan tersebut berkaitan dengan pemeriksaan dan pengambilan putusan dalam perkara yang dihadapi oleh hakim, agar diperoleh satu putusan yang bebas dari tekanan, pengaruh, baik yang bersifat fisik, psikis, dan korupsi karena KKN, maka sesungguhnya kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Dengan demikian, secara timbal balik, adalah kewajiban hakim untuk bersikap independen dan imparsial guna memenuhi tuntutan hak asasi pencari keadilan (justitiabelen, justice seekers). Hal itu dengan sendirinya mengandung pula hak pada hakim untuk diperlakukan bebas dari tekanan, pengaruh, dan ancaman di atas. UUD 1945 memberi jaminan tersebut, yang kemudian dijabarkan dalam UUKK dan undang- undang lainnya. Kemerdekaan harus dimaknai tetap dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil (fair), sebagaimana telah diutarakan di atas. Kemerdekaan juga berjalan seiring dengan akuntabilitas yang diwujudkan dengan pengawasan. Tetapi tingkat sensitivitas kemerdekaan hakim tersebut sangat tinggi karena adanya dua pihak yang secara berlawanan membela hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Sehingga oleh karenanya kemerdekaan hakim di samping merupakan hak yang melekat pada hakim sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap tidak berpihak (impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan. Bentuk akuntabilitas yang dituntut dari hakim memerlukan format yang dapat menyerap kepekaan tersebut. Suatu ketidakhati-hatian dalam menyusun mekanisme akuntabilitas dalam bentuk pengawasan, maupun ketidakhati-hatian dalam pelaksanaannya, dapat berdampak buruk terhadap proses peradilan yang sedang berjalan. Kepercayaan yang diperlukan untuk menuntut kepatuhan dan penerimaan terhadap apa yang diputuskan hakim, dewasa ini boleh dikatakan berada dalam keadaan kritis. Tetapi seberapa tipisnya pun tingkat kepercayaan yang tersisa sekarang, harus dijaga agar tidak sampai hilang sama sekali, sehingga maksud
�
untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, justru
menjadi kontra produktif dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan hukum (legal
chaos);
Menimbang bahwa berdasarkan kerangka konseptual tentang kemerdekaan (independensi) peradilan dan independensi hakim tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah Konstitusi akan menilai dan mempertimbangkan persoalan-persoalan pokok sebagaimana diuraikan di atas, sebagai berikut:
1) Pengertian Hakim
Menimbang bahwa mengenai silang pendapat apakah pengertian hakim dalam frasa ��. mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�, yang tercantum dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, termasuk Hakim Konstitusi dan Hakim Agung atau tidak, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
1.a. Hakim Konstitusi
Menimbang, sebagaimana telah diuraikan pada bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi, bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dalam bentuk formalnya adalah permohonan pengujian undang-undang terhadap undang- undang dasar. Akan tetapi, pada hakikatnya, substansi permohonan dimaksud mengandung nuansa sengketa kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai sesama lembaga negara yang kewenangannya sama-sama ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan hal-hal substantif yang dimohonkan oleh para Pemohon dengan menilai materi norma yang terdapat dalam UUKY dan UUKK yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD 1945 dan sekaligus dengan pendekatan konstitusionalitas kewenangan.
Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan �original intent� perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi
�
yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial
pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula
objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc
tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam
Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup
pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UUKK yang dibentuk sebelum pembentukan UUKY. Dalam UUMK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UUKK sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing- masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali;
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan pula alasan substantif yang lebih serius dan mendasar untuk menolak segala upaya yang menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh lembaga negara lain. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek penga- wasan oleh KY, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan KY yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi
�
pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas
mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945
adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga
negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945;
Terhadap kewenangan MK dimaksud, undang-undang tidak boleh melakukan pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 UUMK yang berbunyi, �Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi�; kedua, pemandulan itu juga tercermin dalam ketentuan pasal-pasal UUKY yang memperluas pengertian perilaku hakim sehingga mencakup Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY. Dengan kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi mandul, khususnya dalam hal salah satu lembaga negara dimaksud adalah KY. Ketentuan undang-undang yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65 UUMK tersebut telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon, hanya dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dapat saja terlibat sebagai pihak dalam perkara sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian tidak berkait dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung. Dengan demikian, sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek perkara di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam penormaan undang-
�
undang dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY
sebagaimana ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim konstitusi
yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat. Dengan
demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan lembaga negara antara MA dan KY
terjadi di masa-masa yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan
konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain, maka kedudukan
Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang dapat
menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka penyelesaian
sengketa semacam itu tidak akan terganggu lagi, sehingga konstitusionalitas pola
hubungan antarlembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945. Atas dasar pertimbangan-
pertimbangan yang demikian itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1
angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai Hakim
Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
1.b. Hakim Agung
Menimbang bahwa mempersoalkan apakah Hakim Agung masuk dalam pengertian hakim, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UUKY, sesungguhnya bukanlah sekadar persoalan semantik. Siapa yang menjadi hakim, kalau dilihat secara berdiri sendiri sebagaimana maksud UUKY adalah persoalan legal policy, yang tidak selalu dipersoalkan dari segi konstitusionalitas. Akan tetapi jika dilihat dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dan tidak melihatnya dalam arti yang umum, menjadi penting untuk melihat perbedaan tersebut. Adanya dua kewenangan yang diberikan kepada KY dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang dipisahkan oleh kata �dan�, yaitu kewenangan untuk merekrut hakim agung dan wewenang lain. Dilihat dari peletakan urutan maupun keterangan saksi mantan anggota PAH I BP MPR, maka kewenangan lain �dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim� tidak dapat dikatakan setara, sebab pemberian wewenang lain tersebut dilakukan karena dipandang tidak cukup alasan membentuk organ konstitusi hanya dengan tugas terbatas merekrut hakim agung. Oleh karenanya, meskipun keberadaan kewenangan lain dihubungkan oleh kata �dan� yang dapat diartikan setara, akan tetapi tidaklah logis untuk memandang tugas lain itu diartikan setara, melainkan hanya tugas tambahan. Dalam perspektif
�
yang demikian maka Hakim Agung tidak termasuk dalam pengertian Hakim seperti
ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 UUKY. Sebagaimana diutarakan ahli dari
Pemohon Prof Dr. Philippus M. Hadjon SH, makna sebuah kata ditentukan oleh
konteksnya. Dilihat secara demikian, makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 digunakan dalam konteks ��. dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim�, sehingga
istilah hakim digunakan untuk wewenang Komisi Yudisial yang lain, selain untuk
mengusulkan hakim agung. Sedang dilihat dari kelas yang sama (of the same class)
dari asas ejusdem generis, maka pertanyaan yang terkait dengan itu adalah apakah
konteks Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Hakim Agung termasuk dalam kelompok
hakim yang terkait dengan wewenang KY yang kedua, maka jawabannya andaikata
dalam wewenang lain itu termasuk hakim agung dalam konteks Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945, hal itu harus secara tegas dinyatakan. Atas dasar alasan demikian,
Pasal 1 angka 5 UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK, menurut Ahli, bertentangan
dengan Pasal 24B ayat (1) UU D 1945;
Di pihak lain, keterangan Ahli Prof. Dr. Mahfud M.D., S.H. dan Ahli Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., telah menyatakan bahwa Hakim Agung, baik dari segi legal policy pembuat UU maupun dari segi constitutional morality, termasuk pengertian hakim yang menjadi objek pengawasan KY. Sementara itu, beberapa orang mantan Anggota PAH I BP MPR yang telah didengar keterangannya dalam persidangan, ternyata memberikan keterangan yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat disimpulkan sebagai cermin yang utuh dari original intent Pasal 24B ayat (1) UUD 1945;
Menimbang bahwa, jika dimaksudkan karena MA sebagai pengawas tertinggi peradilan maupun tingkah laku dan perbuatan hakim, serta ketentuan yang mengaturnya berbeda, demikian pula Hakim Agung tidak selalu berasal dari hakim, maka penafsiran apakah hal itu bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bukanlah hanya dari teks maupun konteksnya secara gramatikal melainkan juga dari konteks sosial yang lebih luas, pengertian umum, dan terutama prinsip konstitusi itu sendiri. Jika kewenangan KY untuk mengusulkan Hakim Agung yang berkualitas dengan integritas yang tinggi dan perilaku tidak tercela, akan menghasilkan Hakim Agung yang juga mempunyai martabat dan perilaku yang tidak tercela sehingga secara moral memiliki legitimasi untuk tidak diawasi lagi dan bahkan menjadi pengawas hakim di bawahnya, tidak dapat dijadikan alasan untuk
�
tidak menjadikan Hakim Agung termasuk ke dalam objek pengawasan. Prinsip
persamaan di depan hukum (equality before the law) dan non-diskriminasi tidak
mendukung pendirian tersebut. Tambahan pula, seseorang yang pada saat diangkat
sebagai Hakim Agung memiliki intergritas yang tinggi, dalam perjalanan karier
selanjutnya bisa saja berubah. Akan menjadi ganjil untuk menafsirkan bahwa Hakim
Agung tidak masuk dalam kategori Hakim dan karena posisinya yang berada di
puncak hierarki peradilan lalu menjadi tidak tunduk pada pengawasan.
Bagaimanapun tafsiran secara tekstual, kontekstual, teleologis, dan kategoris
dilakukan, Hakim Agung adalah Hakim. Di samping itu, faktanya Hakim Agung
sendiri merupakan anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan bahwa hakim
agung adalah hakim, tidak pernah dipersoalkan. Dari segi kewenangan pengawasan
apakah hakim agung itu diawasi, sesuai dengan prinsip akuntabilitas, tidak cukup
beralasan untuk mengecualikan hakim agung. Secara universal hal demikian telah
menjadi norma. Independensi harus berjalan seiring dengan akuntabilitas. Oleh
karena itu, adalah sesuatu yang ideal jika hakim agung memiliki integritas dan
kualitas yang sedemikian rupa sesuai dengan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, tetapi
bukan berarti hakim agung terbebas dari pengawasan dalam rangka mendukung
terciptanya peradilan yang bersih dan berwibawa bagi terwujudnya rule of law. Oleh
karena itu, sepanjang menyangkut hakim agung, menurut Mahkamah Konstitusi,
ketentuan Pasal 1 angka 5 UUKY dilihat dari perspektif spirit of the constitution,
tidak cukup beralasan untuk menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945.
2) Hubungan Antarlembaga Negara dan Konsep Pengawasan
2.a. Hubungan antarlembaga negara
Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state
�
institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip �checks
and balances�. Dengan demikian, prinsip �checks and balances� itu terkait erat
dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak
dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga
negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara
dalam perspektif �checks and balances� di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi
kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa
Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah
dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi
kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-
individu hakim;
Menimbang bahwa prinsip �checks and balances� itu sendiri dalam praktik memang sering dipahami secara tidak tepat. Sebagaimana ternyata dari keterangan dalam persidangan bahwa salah satu perspektif yang digunakan dalam merumuskan ketentuan Pasal 24B dalam hubungannya dengan Pasal 24A UUD 1945 adalah prinsip �checks and balances�, yaitu dalam rangka mengimbangi dan mengendalikan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kenyataan ini menggambarkan bahwa �original intent� perumusan suatu norma dalam undang-undang dasar pun dapat didasarkan atas pengertian yang keliru tentang sesuatu pengertian tertentu. Kekeliruan serupa terulang kembali dalam Penjelasan Umum UUKY yang berbunyi, �Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman�. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir undang-undang dasar (the sole judicial interpreter of the constitution), tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran �originalisme� dengan mendasarkan diri hanya kepada �original intent� perumusan pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi undang-undang dasar itu sendiri secara
�
keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi
harus memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang
terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih
tepat dalam upaya mencapai cita negara (staatside�), yaitu mewujudkan negara
hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang
merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945;
Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut sebagai �auxiliary state organs� atau �auxiliary agencies� yang menurut istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan �supporting element� dalam sistem kekuasaan kehakiman (vide Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006). Namun, oleh karena persoalan pengangkatan hakim agung dan persoalan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu dianggap sangat penting, maka ketentuan mengenai hal tersebut dicantumkan dengan tegas dalam UUD 1945. Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh
�
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti
tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam
konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi
saling berkait (independent but interrelated);
Menimbang, di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa hal diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar juga tidak boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian negara dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD 1945 dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD 1945, tidak dapat diartikan bahwa UUD 1945 memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukan konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung. Demikian pula halnya dengan komisi- komisi negara seperti Komisi Yudisial (KY) yang diatur secara rinci, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diatur secara umum dalam UUD 1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaannya maupun para anggota dan pimpinannya di bidang protokoler dan lain-lain sebagainya, tergantung kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dalam undang-undang. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antarlembaga negara, pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang rinci dan jelas dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud;
Menimbang pula bahwa KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 berbunyi, �Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden�. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY
�
dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state
auxiliary organ seperti yang ditegaskan oleh seorang mantan anggota PAH I BP
MPR yang telah diuraikan di atas yang tidak dibantah oleh para mantan anggota
PAH I BP MPR lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi
dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola
hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances
tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai
auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai
supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut,
KY sendiri pun bersifat mandiri;
Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini;
2.b. Pengawasan
Menimbang Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan frasa �dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�, menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan KY sebagaimana dimaksud oleh ketentuan tersebut, walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain. Sebagaimana halnya dengan kebebasan hakim, kebebasan peradilan adalah pilar
�
dari negara hukum yang juga merupakan salah satu unsur bagi perlindungan hak
asasi manusia yaitu adanya peradilan yang bebas (independence of the judiciary).
UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa KY mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim�;
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dengan digunakan frasa �dalam rangka menjaga dan menegakkan� dan bukan �untuk menjaga dan menegakkan�, maka sifat kewenangan yang dimiliki oleh KY adalah komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan di bawahnya juga mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 ayat (4) UUKK dan Pasal 32 UUMA, yang masing-masing berbunyi:
� Pasal 24 ayat (2) UUD 1945:
�Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�;
� Pasal 11 ayat (4) UUKK:
�Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan
dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan
undang-undang�;
� Pasal 32 UUMA:
�(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.
�
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan
yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara�;
Menimbang bahwa berdasarkan frasa �badan peradilan yang berada di bawahnya� dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 11 ayat (4) UUKK dan Pasal 32 UUMA, telah ternyata bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang membawahkan badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, ling- kungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Oleh karena itu, frasa dimaksud mengandung pengertian bahwa secara melekat (inherent) MA mempunyai fungsi sebagai pengawas tertinggi dari seluruh badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Ruang lingkup fungsi pengawasan dimaksud mencakup ruang lingkup bidang teknis justisial, administrasi, maupun perilaku hakim yang berkaitan dengan kode etik dan perilaku;
Menimbang, berdasarkan uraian di atas, telah ternyata pula bahwa seandainya pun yang dimaksud �kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim� dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 diartikan sepenuhnya sebagai pengawasan, maka hal itu pun hanyalah sebagian saja dari ruang lingkup pengawasan, yakni yang menyangkut perilaku hakim. Hakim dimaksud adalah dalam pengertian sebagai individu di luar maupun di dalam kedinasan, agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. Pelaksanaan pengawasan yang demikian itu selain tidak dalam pengertian mengawasi badan peradilan, juga tidak meniadakan fungsi pengawasan yang sama yang dimiliki oleh MA. Fungsi demikian adalah berkait dengan wewenang utama KY, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang menurut Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Pengertian dalam rangka sebagai bagian wewenang pengawasan menunjukkan adanya kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan yang menurut Mahkamah Konstitusi mempunyai arti sebagai usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan
�
secara efisien dan efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang
menyangkut pelaksanaan kode etik. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dengan
rumusan yang terkandung di dalamnya, seharusnya tidak semata-mata diartikan
sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk
memenuhi amanat Pasal 24A ayat (2) UUD 1945;
Menimbang bahwa dengan uraian dan alasan di atas, maka Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut sepanjang mengenai �kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�, di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung � dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA � yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud �kewenangan lain� dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung;
Menimbang bahwa selanjutnya apabila ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 diuraikan secara terperinci untuk kemudian diperbandingkan dengan pasal- pasal yang terkait dengan pengawasan dalam UUKY maka akan tampak hal-hal sebagai berikut:
� Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang bunyinya sebagaimana telah dikutip di atas,
dapat diuraikan menjadi:
(i) �wewenang lain dalam rangka� menjaga kehormatan, keluhuran martabat,
dan perilaku hakim;
(ii) �wewenang lain dalam rangka� menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, dan perilaku hakim.
Dengan demikian, maksud dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 di atas adalah
seluruhnya merujuk pada pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim.
Bedanya adalah kata �menjaga� bersifat preventif, sedangkan kata
�menegakkan� bersifat korektif dalam bentuk kewenangan untuk mengajukan
rekomendasi kepada MA. Kewenangan korektif demikian dapat bermuara pada
dilakukannya tindakan represif yaitu apabila rekomendasi yang diajukan oleh KY
kepada MA ditindaklanjuti oleh MA dengan penjatuhan sanksi dalam hal MA
menilai rekomendasi tersebut beralasan;
�
� Pasal 20 UUKY sebagai penjabaran Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi,
�Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim� dapat diuraikan menjadi:
(i) Pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat;
(ii) Pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menjaga perilaku hakim.
Sementara itu, Pasal 13 huruf b yang dirujuk oleh Pasal 20 UUKY di atas,
berbunyi, �Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. ..., dan b. menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim�. Dengan
demikian, dari ketentuan Pasal 20 dan Pasal 13 huruf b UUKY di atas, tampak
bahwa:
(i) Rumusan Pasal 20 UUKY sangat jelas berbeda dengan rumusan Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945. Pasal 20 UUKY menentukan, �.... dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim�. Sedangkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan, �.... dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim�. Dengan demikian lingkup wewenang lain dalam rumusan
Pasal 20 UUKY berbeda dari rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang
menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam
penerapannya. Karena, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 telah diartikan oleh
Pasal 20 UUKY hanya semata-mata sebagai pengawasan terhadap perilaku,
padahal Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa �wewenang lain�
KY adalah �dalam rangka menjaga dan menegakkan� yang dapat diartikan
bukan hanya tindakan preventif atau korektif, tetapi juga meningkatkan
pemahaman, kesadaran, kualitas, dan komitmen profesional yang bermuara
pada tingkat kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim yang
diharapkan. Hal tersebut bukan hanya timbul dari pengawasan, tetapi
terutama juga dari pembinaan dan pendidikan etik profesional bagi para
hakim, termasuk pendidikan tentang etika hakim kepada masyarakat. Dalam
konteks yang demikian itulah hubungan kemitraan (partnership) antara KY
dan MA mutlak diperlukan tanpa mempengaruhi kemandirian masing-masing;
�
(ii) Di lain pihak, penjabaran konsep pengawasan itu sendiri dalam UUKY
menimbulkan ketidakpastian karena yang seharusnya menjadi objek dari
�wewenang lain� KY menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah
pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh
karena itu, harus ada kejelasan terlebih dahulu norma yang mengatur tentang
pengertian dan ruang lingkup perilaku hakim, terutama yang menyangkut
kaidah-kaidah materiilnya, termasuk kepastian siapa yang membuat kode etik
dan perilaku dimaksud. Hal-hal tersebut tidak diatur sama sekali dalam
UUKY. Yang diatur secara rinci dalam UUKY justru hanya menyangkut
pengawasan. Ketidakjelasan demikian mengakibatkan ketidakpastian karena
sementara pengawasan diatur sedemikian rinci, sedangkan perilaku hakim
sebagai objek yang hendak diawasi justru tidak jelas. Ketidakjelasan
dimaksud mengakibatkan tafsiran yang tidak tepat bahkan bertentangan
dengan UUD 1945, karena telah menimbulkan penafsiran yang kemudian
menjadi sikap resmi KY sendiri bahwa penilaian perilaku hakim dilakukan
melalui penilaian terhadap putusan. Hal tersebut terbukti baik dari keterangan
M. Thahir Saimima, S.H., Wakil Ketua KY dalam persidangan tanggal 27 Juni
2006, maupun dalam keterangan tertulis KY tanggal 6 Juli 2006. Sikap atau
pendirian resmi KY yang demikian telah pula dilaksanakan dalam praktik
sebagaimana tercermin dalam dua surat KY berikut:
1. Surat KY kepada Ketua MA Nomor 1284/P.KY/2006 bertanggal 8 Mei
2006, antara lain, telah meminta penjelasan atas keputusan MA RI Nomor
KMA/03/SK/2006 tentang penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
untuk memeriksa dan mengadili perkara Terdakwa D.L. Sitorus (Bukti P-
23), karena KY berpendapat pertimbangan-pertimbangan atau
konsiderans keputusan yang diambil oleh Ketua MA tidak sejalan dengan
diktum putusan;
2. Surat KY kepada Ketua MA Nomor 143/P.KY/V/2006 bertanggal 17 Mei
2006 tentang rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap Majelis Hakim
perkara terdakwa Edward C.W. Neloe (Bukti P-24), setelah memeriksa
anggota dan ketua Majelis Hakim perkara tersebut karena adanya
informasi Majelis Hakim memutus perkara terdakwa-terdakwa dengan
putusan bebas. Temuan KY dalam pemeriksaan yang dilakukan dikatakan
�
telah terdapat perbedaan persepsi/pendapat tentang bunyi UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan �dapat�
menimbulkan kerugian negara/pererkonomian negara, yang diartikan
hakim sebagai delik materil, sehingga kerugian negara harus nyata,
berapa jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan tafsiran dan persepsi yang berbeda atas bunyi Pasal 2 ayat
(1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, khususnya
kata �dapat� di mana penjelasan telah menyatakan bahwa delik tersebut
adalah delik formil. Dikatakan lagi bahwa hakim mengikuti pendapat Saksi
Ahli yang mengatakan seyogianya kata �dapat� dihapus, padahal UU
menyebut dengan tegas, sehingga KY berpendapat bahwa majelis hakim
telah mengubah bunyi undang-undang yang menjadi ranah pembuat
undang-undang. Dalam analisis dan pendapat atas pemeriksaan terhadap
hakim yang bersangkutan, KY juga menegaskan bahwa majelis hakim
yang menerapkan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara sebagai dasar pertimbangan hukumnya adalah jelas sebagai
usaha mencari pembenaran bahwa kerugian negara harus nyata, apalagi
menambah pendapat bahwa UU Nomor 1 Tahun 2004 tersebut
mempunyai urgensi hanya terhadap pengelolaan keuangan pada otonomi
daerah dan pula kasus korupsi tersebut sudah terjadi (tempus delictie)
tahun 2002;
Menimbang, berdasarkan uraian di atas, telah ternyata bahwa frasa "dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim�, yang seharusnya hanya memberikan sebagian kewenangan pengawasan
etik kepada KY, secara sadar ataupun tidak, telah ditafsirkan dan dipraktikkan
sebagai pengawasan teknis justisial dengan cara memeriksa putusan. Norma
pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia
terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai
oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai
dengan hukum acara. Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan
sebagai pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah
bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur yang berarti apa
yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van het
vonnis geld als waard). Sehingga, apabila suatu putusan hakim dianggap
�
mengandung sesuatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara
penilaian atau pun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum
(rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara yang berlaku. Prinsip
sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga negara, khususnya para
ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan ilmiah dalam forum atau
media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal hukum (law review), atau
kegiatan ilmiah lainnya;
Menimbang bahwa kebutuhan akan pengawasan eksternal yang terkandung
dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, menurut sejarah perumusannya, dipicu oleh
kondisi Hakim Agung dan Hakim pada umumnya yang pada masa itu dipandang
tidak tersentuh oleh pengawasan. Hal tersebut telah mengemuka selama proses
amandemen UUD 1945 berlangsung, yang disertai tuntutan dari berbagai lapisan
masyarakat dikarenakan tidak efektifnya pengawasan internal oleh MA.
Pengawasan internal selama ini juga dianggap bermasalah dan dipandang tidak
berhasil karena adanya semangat korps, kurangnya transparansi dan akuntabilitas
serta tidak adanya metode pengawasan yang efektif (Naskah Akademis RUUKY,
2004, hlm. 52). Pasal 20 UUKY menegaskan wewenang KY tersebut merupakan
pengawasan terhadap perilaku dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Konsep pengawasan yang
demikian dikatakan oleh Pihak Terkait Langsung dan beberapa Ahli, merupakan
penjabaran konsepsi checks and balances yang menjadi spirit konstitusi, sebagai
kelanjutan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang mendasari
perubahan atau Amandemen UUD 1945;
Menimbang bahwa akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
konsepsi checks and balances sebagai kelanjutan doktrin separation of powers
adalah menyangkut cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Oleh karenanya, konsepsi demikian tidaklah tepat diterapkan di antara kekuasaan
kehakiman, karena alasan berikut:
a. KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan hanya
sebagai supporting organ, yang secara tegas tidak berwenang melakukan
pengawasan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis yustisial dan teknis
administratif, melainkan hanya meliputi penegakan kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilaku hakim.
�
b. Apa yang menjadi ukuran dalam menilai kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim, seharusnya dirumuskan terlebih dahulu dalam UUKY sehingga
terdapat batasan yang jelas yang menjadi ruang lingkup tugasnya yang dapat
dijadikan pegangan yang pasti, baik oleh pihak yang mengawasi maupun yang
diawasi, dan dengan demikian dapat dihindari adanya kerancuan. Ketiadaan
rumusan yang jelas tentang kehormatan, keluhuran martabat, dan terutama
perilaku hakim, bukan hanya menimbulkan kerancuan melainkan lebih jauh lagi
yaitu ketidakpastian hukum yang dapat berimplikasi melumpuhkan jalannya
sistem peradilan. Sebab, ketidakpastian semacam itu mengakibatkan seorang
hakim menjadi ragu perihal mana yang secara etik boleh dilakukan, harus
dilakukan, atau dilarang untuk dilakukan, sehingga pada akhirnya menjadikan
hakim tidak merdeka dalam memutus suatu perkara yang bermuara pada
dirugikannya pencari keadilan (justitiabelen, justice seekers). Kecuali itu,
ketidakpastian demikian juga menjadi sebab dari timbulnya pola hubungan antar
lembaga negara, khususnya antara KY dengan MA, yang tidak sesuai dengan
mekanisme yang ditentukan oleh UUD 1945, yang berpotensi melahirkan
keadaan yang justru bertentangan dengan tujuan pembentukan KY;
c. Bahwa pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, boleh jadi, merupakan
indikator tentang adanya pelanggaran yang lebih besar yang hanya dapat
ditelusuri dengan baik kalau dilakukan dengan meneliti juga pelaksanaan tugas
teknis yustisial Hakim. Namun, meneliti atau mengawasi teknis justisial bukanlah
merupakan kewenangan KY. Pendirian bahwa putusan Hakim merupakan
mahkota kehormatan hakim, tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi tindakan KY
untuk memeriksa pelaksanaan tugas justisial hakim termasuk putusan-
putusannya dengan alasan mengawasi perilaku hakim. Penilaian terhadap
putusan hakim, karena telah menyangkut teknis justisial, hanya dapat dilakukan
oleh MA. Jika hal itu terjadi maka KY telah melampaui batas yang diperkenankan
dan dapat menimbulkan tuduhan intervensi dan ancaman terhadap kebebasan
hakim. Bahkan, MA sendiri, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
pengawasan teknis justisial, dalam melaksanakan kewenangan itupun harus
melalui mekanisme upaya hukum (rechtsmiddelen) yang diatur dalam hukum
acara, bukan melalui penilaian dan campur tangan langsung terhadap putusan
maupun hakim yang memeriksa perkara;
�
d. Oleh karenanya penelusuran dan penyelidikan atas pelanggaran perilaku hakim,
tanpa harus berbenturan dengan independensi Hakim, membutuhkan
pemahaman dan pengalaman yang mendalam, yang tidak dapat dilakukan
sendirian oleh KY tanpa dukungan pengawasan internal di lingkungan MA
sendiri.
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal demikian, maka pelaksanaan
pengawasan secara eksternal dan internal harus dalam kerjasama yang erat,
sehingga konsepsi checks and balances tidak dapat diterapkan dalam lingkup
internal kekuasaan kehakiman. Selain itu, yang menjadi objek pengawasan
eksternal adalah perilaku hakim dan bukan pengawasan terhadap MA dan badan-
badan peradilan di bawahnya sebagai institusi. Justru antara MA dan KY, atas dasar
pemikiran dan fakta-fakta di atas, harus bekerja secara erat dalam konsep
kemitraan atau partnership. Konsepsi demikian hampir di seluruh dunia diwujudkan
dengan cara keikutsertaan mahkamah agung atau hakim pada umumnya dalam
komposisi kepemimpinan dan/atau keanggotaan komisi yudisial atau yang disebut
dengan nama lain, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hasil studi (vide Ahsin
Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, 2004, Wim Voermans, Komisi
Yudisial Di Beberapa Negara Eropa, 2002, Carlo Guarnieri, �Courts as an
Instrument of Horizontal Accountability: The Case of Latin Europe�, dalam Jos.
Mar.a Maravall dan Adam Przeworski, Democracy and the Rule of Law, 2003).
Dengan mekanisme kemitraan demikian akan dapat dihindari adanya konfrontasi,
sebaliknya akan terbangun koordinasi, antara KY dan MA.
Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan mempertim- bangkan pengertian �mandiri� dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�. Pertanyaan yang harus dijawab dalam hubungan ini, adalah bagaimana tafsiran yang harus diberikan terhadap syarat bahwa KY bersifat mandiri yang kemudian oleh UUKY diartikan sebagai keadaan bahwa KY dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain (vide Pasal 2 UUKY). Mahkamah Konstitusi berpendapat, pengertian bahwa �KY dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain� harus dimaknai sebagai
�
kemandirian kelembagaan dalam mengambil keputusan, bukan kemandirian yang
bersifat perorangan anggota KY. Artinya, kemandirian KY harus dimaknai sebagai
kebebasan dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan
keputusan dalam pelaksanaan wewenang pengusulan calon hakim agung maupun
dalam rangka pelaksanaan wewenang lain menurut UUD 1945. Oleh karena itu, KY
tidak dapat dikatakan tidak mandiri, atau dengan kata lain terdapat campur tangan
dari pihak luar atau kekuasaan lain, hanya karena alasan bahwa pengambilan
keputusan didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh melalui kerjasama atau
koordinasi dengan pelaku kekuasaan kehakiman sendiri, in casu MA. Sesuai
dengan kenyataan secara universal, susunan dari komisi yudisial bukan hanya
terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat,
sebagaimana telah dikemukakan di atas, melainkan juga hakim agung duduk
bersama menjadi anggota komisi yudisial. Bahkan pada umumnya komisi yudisial
atau yang disebut dengan nama lain di dunia, secara ex-officio dipimpin oleh ketua
mahkamah agung.
Menimbang bahwa terlepas dari problem besar yang dihadapi MA, termasuk di dalamnya masalah yang disebut oleh KY sebagai judicial corruption, maka mekanisme pengawasan ekternal yang terpisah dari pengawasan internal tidak akan dapat diterapkan di antara MA dengan KY, sepanjang didasarkan pada konsepsi checks and balances, karena checks and balances tidak dapat diterapkan oleh organ penunjang (auxiliary organ) terhadap organ utama (main organ)-nya sendiri. Pendirian yang menyatakan bahwa KY melakukan fungsi checks and balances terhadap MA, tidak sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi. KY sebagai auxiliary organ kekuasaan yudikatif akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewenangannya jika didasarkan pada pemikiran checks and balances demikian, karena akan menimbulkan mekanisme yang mengandung cacat konstitusional (constitutional defect) dan sekaligus tidak efektif, yang pada akhirnya akan melahirkan krisis yang mencederai tingkat kepercayaan terhadap lembaga dan proses peradilan. Tanpa komunikasi antara lembaga negara utama (main organ) dan lembaga negara penunjang (auxiliary organ) yang didasarkan atas prinsip saling menghormati dan saling mendengar, keberadaan lembaga negara penunjang (auxiliary organ) demikian hanya akan dianggap sebagai kendala terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan yang didasarkan atas paham constitutional
�
democracy dan democratische rechtsstaat sebagaimana termuat dalam Pasal 1
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
Menimbang bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan yang lahir dari ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat tidak adanya norma yang jelas tentang ruang lingkup pengertian perilaku hakim dan pengawasan teknis justisial terkait dengan batas-batas akuntabilitas dari perspektif perilaku hakim dengan kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya, secara kasat mata merupakan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman berupa pressure atau tekanan yang bersifat langsung atau tidak langsung, karena KY memposisikan tafsiran KY sendiri sebagai tafsiran hukum yang benar dan tepat sebagaimana ditunjukkan dalam bukti yang diajukan Pemohon (P-23, P-24, dan seterusnya). Seandainyapun benar telah terjadi kekeliruan atau kesalahan pada hakim dalam pelaksanaan tugas justisialnya, bukanlah menjadi fungsi KY melakukan pengawasan terhadap hal itu, sehingga hal yang demikian membuat terang dan jelas bahwa pelaksanaan fungsi menjaga martabat dan kehormatan serta penegakan perilaku hakim, sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, telah bergeser (functie verschuiving) menjadi pengawasan teknis justisial yang justru bukan merupakan maksud UUD 1945. Dengan kata lain, tidak tepat, tidak jelas, dan tidak rincinya ketentuan undang-undang mengenai teknis pengawasan atas perilaku hakim, telah ternyata memberi peluang kepada lembaga pelaksana undang-undang, dalam hal ini KY dan MA, untuk secara sendiri-sendiri mengatur dan mengembangkan penafsiran yang bersifat egosentris yang pada gilirannya menimbulkan saling pertentangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu pembentuk undang-undang haruslah mengatur pengawasan itu secara jelas dan rinci dengan cara mengadakan perubahan dalam rangka elaborasi, harmonisasi, dan sinkronisasi atas UUKK, UUKY, dan UUMA dengan selalu merujuk pada UUD 1945;
Menimbang, berdasarkan fakta tersebut, tampak bahwa tiadanya satu batasan dalam penormaan di dalam UUKY tentang apa yang diartikan sebagai �pengawasan� dan apa yang diartikan sebagai �perilaku hakim� yang menjadi ruang lingkup tugas KY sebagai pelaksanaan �kewenangan lain� telah menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Hal itu telah ternyata dari perumusan dalam Pasal 20, 21, 22, 23, sepanjang mengenai pengawasan, Pasal 24 ayat (1)
�
sepanjang yang menyangkut hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4)
UUKY;
Menimbang bahwa selanjutnya tentang Pasal 34 ayat (3) UUKK yang berbunyi, �Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang�, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal tersebut tidak sesuai dengan rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi, �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�. Dengan perumusan Pasal 34 ayat (3) UUKK di atas, kewenangan lain KY dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim menjadi tidak ada. Padahal, sesuai dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada butir 2.b. di atas, KY juga memiliki kewenangan demikian. Sehingga, peniadaan atau pengurangan kewenangan KY dalam rumusan Pasal 34 ayat (3) UUKK harus dinyatakan inkonstitusional. Inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUKK bukan karena terkait dengan pengertian hakim agung, sebagaimana didalilkan para Pemohon, melainkan karena perumusan pasal tersebut telah mereduksi sebagian �kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim� yang seharusnya dimiliki oleh KY menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dalam pertimbangan di atas, jelas bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan perilaku hakim sebagaimana diuraikan di atas merupakan pasal-pasal �inti� (core provisions) yang mempengaruhi ketentuan-ketentuan lain yang berkait dengan kedua hal itu. Sehingga, ketidakpastian mengenai kedua hal itu mengakibatkan ketidakpastian terhadap pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan ketentuan tentang pengawasan dan perilaku hakim tersebut. Oleh karena itu, Pasal 20, 21, 22, 23, sepanjang mengenai pengawasan, Pasal 24 ayat (1) sepanjang yang menyangkut hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) UUKY serta Pasal 34 ayat (3) UUKK bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B UUD 1945;
�
3) Tentang Perilaku Hakim
Menimbang bahwa, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di
atas, ruang lingkup kewenangan lain KY, yaitu dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sesungguhnya
merujuk kepada code of ethics dan/atau code of conduct. Dengan demikian, dalam
hubungan dengan permohonan a quo, berarti merujuk pada Kode Etik Hakim
Indonesia. Tetapi perlu terlebih dahulu dijawab pertanyaan, apakah ada perbedaan
antara kode etik dan kode perilaku. Secara umum, dikatakan bahwa suatu code of
conduct menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak
dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan
Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of
conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu
standar. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah
standar yang ditetapkan. Etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan
dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai
yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-
pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut.
Dengan suatu code of conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat
untuk dapat mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode
etik yang akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi,
lebih baik, lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of
law. Jadi setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat
yang lebih tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun
benar bahwa code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi menurut
Mahkamah Konstitusi, code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang
akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian
dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam
maupun di luar dinas;
Menimbang bahwa Hakim Indonesia telah mempunyai pengalaman memiliki kode etik, yang pertama dengan nama Panca Dharma Hakim Indonesia Tahun 1966, yang kedua Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI) tahun 2002, dan yang terakhir Pedoman Perilaku Hakim yang disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada
�
tanggal 30 Mei 2006. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi tersendiri yang terutama didasarkan pada The
Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002 dan ditambah dengan nilai-nilai
budaya Bangsa Indonesia. Kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi tersebut telah
dideklarasikan dengan nama Sapta Karsa Hutama pada tanggal 17 Oktober 2005
yang kemudian dituangkan ke dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
07/PMK/2005, yang merupakan penyempurnaan dari Kode Etik Hakim Konstitusi
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003.
Pedoman perilaku hakim tersebut dimaksudkan untuk mengatur perilaku hakim
yang diperkenankan, yang dilarang, yang diharuskan, maupun yang dianjurkan atau
yang tidak dianjurkan, baik di dalam maupun di luar kedinasan, untuk membentuk
hakim sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (ambtsdrager van rechtelijkemacht)
yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela dan adil untuk dapat
menjadi benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Pedoman
perilaku tersebut merupakan penjabaran aturan-aturan kode etik yang secara
universal berlaku umum dan diterima sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral
yang dianut orang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, dengan
tujuan untuk mengenali apa yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku di antara
sesama dalam kelompoknya. Kode etik profesi, sebagaimana dilihat dalam Kode
Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi maupun Pedoman Perilaku Hakim Indonesia
yang berlaku di lingkungan Mahkamah Agung, memuat serangkaian prinsip-prinsip
dasar sebagai nilai-nilai moralitas yang wajib dijunjung tinggi oleh hakim, baik di
dalam maupun di luar kedinasannya. Prinsip dan nilai tersebut kemudian dirinci
dalam bentuk bagaimana perilaku hakim yang dipandang sesuai dengan prinsip
atau nilai tersebut. Misalnya, nilai berperilaku adil yang diterjemahkan sebagai
prinsip berupa uraian apa yang dimaksud adil tersebut, dan kemudian dirinci
bagaimana hal itu digambarkan dalam perilaku Hakim ketika melakukan tugas
yustisial. Demikian juga ketika nilai atau prinsip integritas diadopsi sebagai bagian
dari kode etik profesi, maka prinsip integritas tersebut telah diberi batasan, yang
�merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan
kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam
menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia,
dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin
untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan,
�
popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Keseimbangan kepribadian mencakup
keseimbangan rohaniyah dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta
keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
intelektual dalam pelaksanaan tugasnya�. Prinsip tersebut dalam penerapannya
dapat diketahui misalnya bahwa hakim menjamin agar perilakunya tidak tercela dari
sudut pandang pengamatan yang layak, atau tindak tanduk dan perilaku hakim
harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa peradilan.
Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus tampak dilaksanakan;
Menimbang bahwa Kode Etik Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam pasal 2 memuat maksud dan tujuan Kode etik tersebut yaitu
(i) sebagai alat:
a) pembinaan dan pembentukan karakter hakim,
b) pengawasan tingkah laku hakim, dan juga
(ii) sebagai sarana:
a) kontrol sosial,
b) pencegah campur tangan ekstra judicial dan
c) pencegahan timbulnya kesalahpahaman antar sesama anggota dengan masyarakat,
(iii) memberikan jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional
hakim, dan
(iv) menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan;
Menimbang bahwa, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 menentukan adanya �wewenang lain� dari KY dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
sehingga oleh karenanya KY harus berpedoman pada kode etik dan pedoman
perilaku yang kongkret demikian, sebagaimana yang telah ditetapkan, untuk
dijadikan sebagai tolok ukur dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tersebut telah dijabarkan dalam UUKY sebagai pengawasan (control),
yang oleh para mantan Anggota PAH I BP MPR Tahun 1999-2004 ditafsirkan
sebagai pengawasan eksternal untuk melengkapi pengawasan internal yang
dilakukan oleh MA sendiri. Tetapi pengawasan eksternal yang disebut dalam Pasal
24B ayat (1) tersebut adalah dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kalau kalimat ini ditafsirkan sebagai
�
pengawasan dan dijabarkan dalam Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22, dan Pasal 23 UUKY, sebagai pengawasan dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY seharusnya
konsisten mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim,
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim. Dari Pasal 20 UUKY, tegas dapat diketahui bahwa objek
pengawasan yang dilakukan oleh KY adalah perilaku hakim. Pengawasan dan
penegakan perilaku hakim tersebut sudah tentu dilihat dari ukuran Code of Conduct
dan Code of Ethics yang sudah ada yang dijadikan sebagai ukuran, dengan contoh
prinsip dan penerapan yang telah diuraikan di atas, sehingga akan terhindar dari
tumpang tindih dengan pengawasan lain yang berada di luar wilayah etik atau
perilaku.
Benar bahwa acapkali suatu perbuatan diatur bukan hanya oleh satu macam norma, tetapi oleh beberapa macam norma secara bersamaan, di mana suatu perbuatan tercela dilarang baik oleh norma hukum, norma etik, dan norma agama. Berlakunya norma secara bersamaan demikian, menambah urgensi tentang perlunya pengaturan mengenai etik dan tingkah laku (ethics and conduct) hakim dan tata cara penjagaan dan penegakannya dalam suatu Kode Etik dan Tingkah Laku Hakim sebagai tolok ukur pengawasan. Kode etik itu dalam lingkungan profesi dibuat dan disahkan oleh organisasi profesi itu sendiri, bukan oleh lembaga lain, in casu oleh organisasi profesi hakim baik oleh Mahkamah Agung ataupun oleh IKAHI, bukan oleh KY;
Penindakan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku juga dilakukan oleh organisasi profesi. Sementara itu, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik dan Perilaku selain dapat dilakukan oleh organisasi profesi, juga dapat dilakukan oleh pihak di luar profesi. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu unsur dari profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan dapat dirinci dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan, pemeriksaan, penilaian, yang berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada organisasi profesi, dalam hal ini Mahkamah Agung.
�
KESIMPULAN
Menimbang berdasarkan keseluruhan uraian pertimbangan tersebut di atas, akhirnya, Mahkamah Konstitusi sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon harus dikabulkan. Dengan demikian, untuk selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUMK sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945. Untuk seterusnya, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, termasuk sengketa yang melibatkan KY dan MA, tidak lagi terganggu sebagai akibat diperluasnya pengertian hakim yang meliputi hakim konstitusi dimaksud. Hal demikian secara langsung berkaitan pula dengan kepentingan para Pemohon sendiri untuk adanya penyelesaian konstitusional atas permasalahan yang dihadapi dalam hubungan antara MA dan KY, yang sekiranya permohonan mengenai hakim konstitusi ini tidak dikabulkan, niscaya kredibilitas dan legitimasi Mahkamah Konstitusi sendiri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo dapat terus-menerus dipertanyakan.
Kedua, permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim agung, terbukti tidak cukup beralasan. Persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah dapat ditemukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Pembentuk undang-undang dapat saja menentukan bahwa untuk kepentingan pembinaan bertahap dan untuk kepentingan jangka panjang berdasarkan pertimbangan teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh hakim agung sudah merupakan produk rekruitmen oleh KY maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi perilaku etik para hakim di bawah hakim agung. Sekiranya undang-undang menentukan hal demikian, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Namun sebaliknya, jika undang-undang menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam pengertian hakim yang
�
perilaku etiknya diawasi oleh KY secara eksternal, sebagaimana telah dijelaskan
dalam uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu pun
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, para hakim agung yang ada
sekarang juga tidak direkrut berdasarkan ketentuan baru yang melibatkan peran KY
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Pilihan kebijakan hukum yang demikian,
menurut Mahkamah Konstitusi, juga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan
demikian, terpulang kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama
dengan Presiden, untuk menentukan kebijakan hukum yang akan dipilih dalam
rangka menjalankan perintah Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu,
permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat
cukup alasan untuk mengabulkannya;
Ketiga, hal yang justru lebih substansial atau mendasar untuk diputus adalah permohonan para Pemohon yang berkaitan dengan pengaturan mengenai prosedur pengawasan. Mengenai hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:
(i) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UUKY mengenai wewenang
lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan
rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam
penormaannya dalam UUKY yang menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid);
(ii) UUKY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak
jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang
diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses
pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan
mengenai pengawasan dalam UUKY serta perbedaan dalam rumusan
kalimat seperti dimaksud pada butir (i) menyebabkan semua ketentuan
UUKY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;
(iii) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UUKY didasarkan atas
paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara
MA dan KY berada dalam pola hubungan �checks and balances�
antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan
(separation of powers), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak
tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa
penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY
�
dan MA akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari
keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat
mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya
semakin tidak dipercaya;
Oleh karena itu, segala ketentuan UUKY yang menyangkut pengawasan
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid). Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama
berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai
pengawasan perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses
perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan
perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka
baik oleh MA maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga
merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-
langkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk
melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan
perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK,
dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu. Tugas
legislasi ini adalah tugas DPR bersama dengan pemerintah. MA, KY, dan juga MK
merupakan lembaga pelaksana undang-undang, sehingga oleh karenanya harus
menyerahkan segala urusan legislasi itu kepada pembentuk undang-undang.
Bahwa MA, KY, dan juga MK dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan
sesuatu undang-undang yang akan mengatur dirinya, tentu saja merupakan sesuatu
yang logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional MA, KY, dan juga
MK untuk mengambil prakarsa yang bersifat terbuka untuk mengadakan perubahan
undang-undang seperti dimaksud. Setiap lembaga negara sudah seharusnya
membatasi dirinya masing-masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan
menjadi tugas pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai
pendukung;
Sementara itu, Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh
�
karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi
hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman,
atau rasa takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau
ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok
atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan
jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta tidak menyalahgunakan
prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung dari pengawasan;
Mengingat Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4316);
MENGADILI
� Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
� Menyatakan:
o Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata �hakim Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 20, yang berbunyi, �Dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim�;
o Pasal 21, yang berbunyi, �Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial
bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada
pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�;
o Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, �Dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi,
serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR�;
o Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, �Dalam hal badan peradilan atau hakim
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
�
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk
memberikan keterangan atau data yang diminta�;
o Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi, �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat
mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�;
o Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi
Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�,
dan;
o Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, �Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul
pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas)
hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim�;
o Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
o Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, �Dalam rangka menjaga kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang�,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
�
� Menyatakan:
o Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata �hakim Mahkamah
Konstitusi�,
o Pasal 20,
o Pasal 21,
o Pasal 22 ayat (1) huruf e,
o Pasal 22 ayat (5),
o Pasal 23 ayat (2),
o Pasal 23 ayat (3), dan
o Pasal 23 ayat (5)
o Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
o Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
� Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah untuk memuat amar putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
� Menolak permohonan untuk selebihnya.
- *** ***
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. M.S., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H. A. S. Natabaya, S.H., LL.M., Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Maruarar Siahaan, S.H.,
�
serta Soedarsono, S.H., pada hari Rabu, 16 Agustus 2006, dan diucapkan dalam
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini
Rabu, 23 Agustus 2006, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua
merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H.
M.S., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. H. A. S. Natabaya, S.H., LL.M.,
Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Maruarar Siahaan, S.H., serta Soedarsono, S.H., masing-
masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Cholidin Nasir, S.H., sebagai
Panitera Pengganti serta dihadiri oleh para Pemohon dan Kuasanya,
Pemerintah/Kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat/Kuasanya, Pihak Terkait
Langsung/Kuasanya, serta Pihak Terkait Tidak Langsung;
KETUA,
TTD.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
ANGGOTA-ANGGOTA,
TTD. TTD.
H. Achmad Roestandi, S.H. Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. ,M.S.
TTD. TTD.
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Prof. H. A. S. Natabaya, S.H. , LL.M.
TTD. TTD.
Dr. Harjono, S.H., MCL. Maruarar Siahaan, S.H.
TTD.
Soedarsono, S.H.
PANITERA PENGGANTI
TTD.
Cholidin Nasir, SH.
�