Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006/KESIMPULAN

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006  (2006) 
KESIMPULAN

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :


1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard); 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan: - Pasal 1 angka 5 - Pasal 20 - Pasal 21 - Pasal 22 ayat (1) huruf e, dan ayat (5) - Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) - Pasal 24 ayat (1) - Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4)




� Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono); Menimbang bahwa DPR RI, pada persidangan bertanggal 2 Mei 2006 telah memberi keterangan secara lisan, dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Mei 2006, yang menguraikan sebagai berikut:

MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN

Di dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan:


1. Mengajukan permohonan putusan: a. ketentuan Pasal 1 angka 5 b. ketentuan Pasal 20 c. ketentuan Pasal 21 d. ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) e. Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5) f. Pasal 24 ayat (1) g. Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) serta Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)




� bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya ketentuan Pasal 24B dan Pasal 25.



2. Materi muatan dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Terhadap permohonan tersebut dapat disampaikan keterangan sebagai berikut:


1. Kronologis lahirnya Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial bermula dari usul inisiatif sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada November 2000 dan menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada bulan Januari 2003. Pembahasan RUU tersebut dimulai pada bulan Mei tahun 2004. 2. Sebelum dan selama pembahasan RUU, Pansus mendapat masukan dari berbagai kalangan, antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat yang mempunyai perhatian terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, dan Mahkamah Agung. 3. Bahwa pada intinya, semua masukan tentang Komisi Yudisial termasuk didalamnya kewenangan yang dimilikinya, bertitik tolak dari kesadaran berdasarkan pengalaman selama ini. Dalam praktek pengawasan hakim dan hakim agung yang dijalankan oleh Mahkamah Agung memiliki kelemahan antara lain: kurangnya transparansi dan akuntabilitas, semangat membela korps, kurang lengkapnya metode pengawasan, kelemahan sumber daya manusia, rumitnya birokrasi yang harus dilakukan dan berbagai kelemahan lainnya. Oleh karena itu perlu ada institusi tersendiri yang independen dan mempunyai kewenangan pengawasan terhadap seluruh hakim. Institusi itu adalah Komisi Yudisial. 4. Bahwa berdasarkan pencermatan terhadap risalah Rapat PAH III dan PAH I Badan Pekerja MPR RI sejak Sidang Umum I tahun 1999 hingga Sidang Tahunan 2002 ada semangat saling mengimbangi dan saling kontrol diantara lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung. Dalam hal ini hakim agung, meskipun memiliki kemerdekaan dalam menjatuhkan putusan, tetapi terhadap perilaku di luar teknis yudisial perlu dilakukan pengawasan oleh institusi yang independen. Sebelumnya ada usulan tentang pembentukan Dewan Kehormatan



� Hakim, namun atas saran tim ahli PAH I Badan Pekerja MPR RI, istilah Dewan Kehormatan tersebut tidak perlu masuk dalam UUD 1945 dan kemudian muncul istilah Komisi Yudisial. Isitilah Komisi ini awal mulanya dikemukakan oleh Bapak Iskandar Kamil, SH (hakim agung dari Mahkamah Agung) yang pada intinya ingin agar keluhuran martabat para hakim benar-benar bisa terjaga. Jadi dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial termasuk pengawasan terhadap hakim agung, Hanya saja Komisi Yudisial tidak berwenang untuk memberikan usulan pemberhentian karena pengawasan tersebut. 5. Bahwa di dalam pembahasan oleh Badan Pekerja MPR RI, mengenai asal usul materi Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidaklah dalam satu nafas antara kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Akan tetapi pembahasannya terpisah antara dua kewenangan tersebut. Dalam Risalah rapat ke-5 Badan Pekerja masa sidang tahunan MPR RI Tahun 2001 pada hari selasa tanggal 23 Oktober 2001 dalam acara laporan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI dan pengesahan Rancangan Putusan MPR RI hasil Badan Pekerja MPR RI serta Penutupan Rapat Badan Pekerja MPR RI masa Sidang Tahunan MPR 2001 dalam Buku Kesatu Jilid I yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI Tahun 2001, pada halaman 251 dan 252 tercantum bahwa: semula tentang Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ditempatkan dalam Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: �Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwaklan Rakyat�. Kemudian dirumuskan lagi dalam rancangan tersebut pada halaman 252 alinea pertama dalam Pasal 24C ayat (1) dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain (dengan memperhatikan masukan dari masyarakat berdasarkan masukan dari masyarakat).

Dalam halaman 252 pada alinea keempat dari baris keempat dari bawah berbunyi antara lain: �Pasal 25 dalam bracket untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh Komisi




� Yudisial�. Konsep dari rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial dalam bahan rancangan perubahan UUD 1945 tersebut, masih terjadi perbedaan pendapat diantara anggota PAH I, maka Badan Pekerja MPR RI bersepakat membawa rumusan perubahan UUD dalam perubahan ketiga sebagaimana yang terdapat pada buku kesatu jilid 2 Hasil Rapat Badan Pekerja MPR RI tanggal 5 September 2000 s/d 23 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, mencantumkan bahwa Pasal 24B perubahan ketiga UUD 1945 berasal dari dua Pasal yang berbeda yaitu Pasal 24C yang berbunyi :


(1) Komisi Judisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain (dengan memperhatikan masukan dari masyarakat) berdasarkan masukan dari masyarakat. Alternatif 1 :

(2) Anggota Komisi Judisial dipilih dari mantan Hakim Agung, unsur praktisi hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan akademisi.



Alternatif 2 : (2) Anggota Komisi Judisial berasal dari pengacara, jaksa, guru besar ilmu hukum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan wakil daerah.

Alternatif 3 :

(2) Anggota Komisi Judisial harus berpengalaman dalam profesi hukum, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

(3) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Judisial diatur dengan undang-undang.

Adapun Pasal 25A berbunyi: � Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim, dilakukan oleh Komisi Judisial�. Dari bunyi kedua Pasal tersebut disimpulkan bahwa Pasal tersebut tidak dapat dibaca satu nafas, karena awalnya Pasal tersebut berdiri sendiri dan berasal dari 2 (dua) Pasal yang berbeda. Dirumuskan Pasal 24B ayat (1), Pasal 24C, dan Pasal 24C ayat (1) serta Pasal 25A.


6. Bahwa pada buku Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dibuat oleh anggota PAH I Badan Pekerja MPR RI Tahun 2003 yang terlibat langsung dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI Tahun



� 2003 pada halaman 195-196 intinya menyatakan bahwa hakim pada Pasal 24B ayat (1) adalah temasuk hakim agung, adapun bunyi dari buku panduan tersebut adalah: �Ketentuan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengenai pembentukan Komisi Yudisial, didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur- figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Negara Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu perubahan Undang-Undang Dasar 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Melalui lembaga Komisi Yudisial diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya�. 7. Bahwa dalam rangka terwujudnya checks and balances, transparansi, kontrol terhadap perilaku hakim, masukan dari Mahkamah Agung yang terdapat dalam Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial Halaman 45 berbunyi: �����.bahwa Komisi Yudisial berfungsi untuk �menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.� ����kami memandang ada 5 (lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari fungsi di atas yaitu : � pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung);70 (keterangan foot note: Kata �menjaga� dalam Pasal 24B UUD 1945 diwujudkan dalam tugas �pengawasan� sedang kata �menegakkan� diwujudkan dalam tugas pendisiplinan atau menjatuhkan sanksi disiplin�).


8. Bahwa berdasarkan Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial pada halaman 58 yang disusun oleh salah satu Tim Penangggung jawabnya yaitu Bapak Prof. Dr.



� Paulus Effendi Lotulung, S.H. yang dalam hal ini juga sebagai Pemohon, mencantumkan bahwa penerapan pembagian lingkup pengawasan berdasarkan objek yang diawasi, tidak tepat jika kita menafsirkan UUD 1945 secara gramatikal. Redaksional yang digunakan Pasal 24B Amandemen Ketiga UUD 1945 adalah : �����perilaku hakim�. Kalimat hakim disini harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi (hakim agung). Jika maksud pembuat UUD hanyalah hakim agung, maka redaksi yang digunakan adalah �hakim agung� sebagaimana digunakan dalam menjelaskan dalam pasal yang sama yang membicarakan mengenai tugas pengawasan yaitu�����.mengusulkan pengangkatan hakim agung��. 9. Bahwa pembagian lingkup pengawasan Komisi Yudisial dan pengawasan hakim di lingkungan Mahkamah Agung, yaitu Ketua Muda Bidang Pengawasan dan Pembinaan (TUADA WASBIN), yang paling tepat adalah berdasarkan aspek yang diawasi. Pembagian lingkup berdasarkan aspek yang diawasi dapat dilakukan dengan tegas berdasarkan amanat Perubahan Ketiga UUD 1945. Aspek pengawasan selama ini di Mahkamah Agung yaitu aspek teknis yudisial, administrasi peradilan serta tingkah laku dan perbuatan hakim, maka yang menjadi ruang lingkup Komisi Yudisial adalah aspek tingkah laku dan perbuatan hakim. Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan eksternal tersebut diharapkan bukan hanya mengefektifkan pengawasan, namun juga akan mengurangi tugas non yustisial bagi hakim dan hakim agung, sehingga lebih dapat mencurahkan perhatian dan waktunya pada tugas pokok memeriksa dan memutus perkara.


10. Bahwa dalam proses pembahasannya, pemerintah selalu didampingi oleh Mahkamah Agung yang dalam hal ini diwakili oleh Abdul Rahman Saleh,SH.,MH (hakim Agung) dan Prof.Dr. Paulus Effendi Lotulung,SH. Salah satu pendapat mereka menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga independen yang melakukan pengawasan eksternal, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengawasan secara internal. Mengenai pengertian hakim dalam rangka semangat saling kontrol diantara lembaga pemegang kekuasaan yang ada maka hakim itu termasuk hakim agung. 11. Bahwa Pengertian hakim yang terdapat pada Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial berbunyi : �Hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah


� Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945� sesuai dengan UUD 1945, karena berdasarkan kaedah bahasa Indonesia penggunaan huruf �h� kecil atau huruf �H� besar mempunyai makna yang berbeda, dalam penulisan kata hakim jika kata hakim ditulis dengan huruf �H� besar mengandung arti tertentu yang lebih sempit dan jika kata hakim ditulis dengan huruf �h� kecil maka mengandung arti luas, UUD 1945 Pasal 24B ayat 1 menuliskan kata hakim dengan huruf �H� besar karena diawal kalimat, tetapi kata agung dengan menggunakan huruf �a� kecil menunjukkan bahwa ketika berada ditengah kalimat kata hakim agung akan ditulis huruf kecil oleh UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut maka hakim agung dan hakim konstitusi termasuk di dalam pengertian hakim yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 24B ayat (1). 12. Bahwa dalam buku Cetak Biru Mahkamah Konstitusi pada halaman 121 tercantum bahwa Komisi Yudisial secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim baik di lingkungan peradilan umum maupun Mahkamah Konstitusi. Buku cetak biru Mahkamah Konstitusi tidak dijadikan dasar dalam memutuskan pengertian hakim yang diawasi dalam Undang-undang Komisi Yudisial karena buku tersebut baru diterbitkan pada bulan Desember 2004, sedangkan Undang-undang Komisi Yudisial disahkan pada awal Agustus 2004. Buku tersebut hanya digunakan untuk menambah keyakinan DPR bahwa ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tidak menyimpang dari konstitusi. 13. Berdasarkan hal tersebut di muka, maka ketentuan Pasal 1 angka 5, ketentuan Pasal 20, ketentuan Pasal 21, ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) tidak bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945 yang berbunyi: Pasal 24B ayat (1) : �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai



� wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.�

Pasal 25 : �Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang�.

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 2 Mei 2006 dan 10 Mei 2006 telah didengar keterangan tertulis yang dibacakan dipersidangan dari kesaksian Mantan Anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, yang telah memberi keterangannya di bawah sumpah, masing-masing menerangkan sebagai berikut:

Saksi Harun Kamil, SH

A. SIDANG UMUM TAHUN 1999


1. Dalam rapat-rapat PAH III BP MPR Tahun 1999, tidak ada pembicaraan khusus menyangkut Komisi Yudisial. Dalam membicarakan atau mengajukan usulan perubahan mengenai Bab IX, Kekuasaan Kehakiman, sebagian besar fraksi hanya tertarik pada issu kemadirian Mahkamah Agung dan judicial review yang harus dimiliki oleh Mahkamah Agung. 2. Hanya fraksi PBB yang disampaikan oleh Hamdan Zoelva, yang menyinggung tentang pengawasan terhadap para hakim termasuk hakim agung yaitu dengan membentuk dewan kehormatan hakim dalam UUD ini, yaitu pada Rapat Pleno PAH III, hari Kamis, tanggal 7 Oktober 1999, pada saat menyampaikan pengantar musyawarah fraksi.


Hamdan Zoelva, menyatakan : "... Kami juga setuju Mahkamah Agung itu sebagai lembaga yang mandiri, kemudian yang mengawasi Mahkamah Agung itukan sebenarnya adalah kinerja mahkamah agung terletak pada hakimnya, jadi sebenarnya bukan kepada Mahkamah Agung sendiri tetapi kepada hakimnya. Oleh karena itu perlu dibentuk dan dimuat dalam UUD ini, kita bentuk suatu dewan kehormatan hakim, yang kita bentuk dari unsur-unsur baik kalangan hakim, dari kalangan ahli hukum, maupun dari kalangan orang-orang yang benar-benar memiliki integritas yang tinggi. Merekalah yang akan menilai kinerja hakim itu sendiri. Dan mereka pulalah yang akan merekomendir apakah hakim itu termasuk hakim Agung diberhentikan atau tidak. Jadi inilah satu-satunya lembaga yang kami anggap mempunyai kompotensi untuk menilai kinerja hakim, tidak bisa DPR misalnya untuk menilai hakim, karena hakim dan Mahkamah Agung itu



� benar-benar suatu lembaga yang mandiri, jadi tidak bisa dinilai oleh lembaga lain, yang bisa menilai suatu dewan tersendiri atau dewan kehormatan hakim..." (Buku Kedua Jilid 6, Risalah Rapat BP PAH III SU MPRI, hlm. 41)

3. Dalam kesimpulan yang disampaikan oleh Pak Harun Kamil selaku Ketua Rapat, disampaikan bahwa pemberdayaan dan pertanggungjawaban lembaga kehakiman atau Mahkamah Agung, adalah merupakan satu topik yang menjadi prioritas yang disampaikan oleh fraksi-fraksi. (Ibid., hlm. 52-53), Demikian juga disimpulkan oleh H. Amin Aryoso., selaku ketua Rapat pada tanggal 10 Oktober 1999, menegaskan adanya usulan dari FPBB tentang Dewan Kehormatan Hakim yang memiliki tugas dan wewenang mengawasi dan memberikan sanksi apabila Mahkamah Agung dinyatakan melakukan tindakan melanggar hukum (Ibid., hlm. 178)

4. Sedangkan Prof. Sahetapy, yang mewakili FPDIP, meminta secara eksplisit tercantum dalam UUD, DPR juga berhak untuk meminta keterangan dari Mahkamah Agung mengawasi Mahkamah Agung. (Ibid., hlm. 71).

B. SIDANG TAHUNAN 2000

1. Dalam pengantar Musyawarah fraksi yang disampaikan pada sidang Pleno PAH I, hari Senin, 6 Desember 1999, beberapa fraksi menyampaikan perhatiannya terhadap penataan kekuasaan kehakiman, yang pada umumnya menyoroti pentingnya penataan kembali kekuasaan kehakiman yang mandiri yang tidak boleh ada campur tangan dari lembaga negara yang lain-serta diberikan kewenangan judicial review. 'Akan tetapi secara khusus mengenai pengawasan terhadap Mahkamah Agung (kekuasaan kehakiman) antara lain disampaikan oleh fraksi-fraksi sebagai berikut :


a. FPG (Agun Gunanjar Sudarsa), mengemukakan, sbb: "...Selain itu perlu dipertimbangkan bagaimana pengawasan dan pertanggungjawaban kekuasaan Mahkamah Agung tersebut..." (Buku Kedua Jilid 3 A, Risalah Rapat PAH I Sidang Tahunan 2000, him., 104).


b. FPBB (Hamdan Zoelva), mengemukakan sbb: "...Kekuasaan Mahkamah Agung, termasuk hakim agung dan hakim-hakim di bawahnya, tidak boleh dibiarkan tidak terkontrol dan terawasi sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim sebagaimana terasa pada saat ini. Pengawasan/kontrol itu tidak boleh diserahkan kepada lembaga tinggi maupun lembaga tertinggi negara yang sarat dengan muatan




� politik. Kami berpendapat bahwa untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap Mahkamah Agung termasuk kepada para hakim-hakim khususnya terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas yudisial perlu dibentuk sebuah komisi independen yang anggotanya dipilih oleh DPR dan disahkan oleh Presiden selaku Kepala Negara dari mantan hakim, mantan jaksa, pengacara-pengacara senior maupun professor hukum dari perguruan tinggi ditambah dengan tokoh-tokoh masyarakat yang kesemuanya dikenal memiliki integritas yang sangat tinggi serta tidak pernah memiliki cacat moral sedikitpun.. Komisi ini diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim-hakim yang diduga melakukan penyimpangan termasuk keanehan dalam produk putusan yang dihasilkannya. Hasil pemeriksaan komisi ini harus dijadikan pertimbangan dalam penentuan karir-seorang hakim dan termasuk hukuman penurunan pangkat atau pemberhentian jika seandainya komisi merekomendasi-kannya. Hal-hal yang menyangkut komisi ini perlu diatur dalam UUD..." (Ibid., hlm. 121).



2. Tanggapan fraksi-fraksi atas pengantar musyawarah fraksi yang dilaksanakan pada Rapat Pleno PAH 1 tanggal 9 Desmber 1999, hanya FPG (Hatta Mustafa) yang secara khusus menyoroti masalah pengawasan terhadap hakim, yang mengemukakan sbb: "...Berkaitan dengan hak uji materil, pengawasan terhadap hakim, begitu juga pengawasan dan pertanggungjawaban publik institusi lembaga kekuasaan kehakiman dimaksud maka perlu perumusan yang lebih jelas tentang kekuasaan kehakiman dalam rangka kepastian tegaknya supremasi hukum..." (Ibid., hlm. 194)

3. Usulan dibentuknya Dewan Kehormatan Hakim untuk dimuat dalam UUD, dikemukakan juga oleh Tim dari Mahkamah Agung yang diundang dalam dengar pendapat dengan PAH 1 pada tanggal 17 Februari 2000. Pada saat itu pihak Mahkamah Agung (Iskandar Kamil) mengusulkan ayat (4) pada Pasal 24 yang berbunyi "Pada Mahkamah Agung dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang mendiri yang bertugas melaksanakan pengawasan eksternal atas perilaku hakim dalam penyelenggaraan peradilan.

Lebih lanjut Pak Iskandar Kamil mengemukakan :

�...Dalam ayat (4) ini juga menyerap aspirasi masyarakat bahwa perlu adanya perwujudan check and balances yang lebih konkrit, begitu pak, sebab kadang-



� kadang dikatakan bahwa jajaran kekuasaan kehakiman seperti tirani judisial katanya, dengan doa restu bapak-bapak dan ibu sekalian mudah-mudahan kami tidak menjadi tirani dan memang kami tidak ingin menjadi tirani pak. Oleh sebab itu, tetapi keinginan kami itu memang perlu diwujudkan dalam suatu ketentuan perundangan. Jadi Dewan Kehormatan Hakim yang mandiri itu yang dimaksudkan adalah independen. Oleh beberapa kalangan disebut judicial committe. Jadi semacam itulah kira-kira pak yang melakukan pengawasan eksternal yang dimaksudkan adalah idenya nanti personil dari dewan kehormatan ini adalah bukan personil dari jajaran peradilan sendiri, bisa terdiri dari para pakar, para tokoh-tokoh yang lain, hanya memang menjadi suatu masalah yang barangkali bisa kita pertimbangkan juga apakah lembaga semacam ini partisan atau tidak, ini satu-satunya masalah barangkali pak, tugasnya adalah melakukan pengawasan atas perilaku hakim dalam menyelenggarakan peradilan sehingga dengan adanya lembaga ini maka para hakim itu tidak bisa berperilaku semaunya, begitu kira-kira pak, dapat berperilaku sebagaimana diharapkan oleh masyarakat ...( Ibid., him. 761-762)

Inilah pertama kalinya istilah judicial committe, dikemukakan dalam rapat-rapat PAH 1 MPR.

Dalam menjawab pertanyaan anggota PAH 1 mengenai Dewan Kehormatan Hakim ini, Iskandar Kamil, selanjutnya menerangkan :

"... Dewan Kehormatan Hakim itu anggotanya justeru bukan intern jajaran peradilan. Itu diambilkan dari luar semua yang terdiri dari kalau mantan boleh, mantan hakim misalnya itu bisa barangkali mantan jaksa, ... pengacara ..." (Ibid., hlm. 791).

4. Ketika pembahasan rumusan Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada tanggal 8 Juni 2000 (Buku Kedua Jilid 3 C, Risalah Rapat PAH 1, Sidang Tahunan 2000), beberapa fraksi lebih tegas lagi mengusulkan mengenai pengawasan terhadap hakim ini, yaitu antara lain diusulkan oleh :


a. FPG (Agun Gunanjar), mengusulkan penambahan ayat (3) pada Pasal 25, sbb: (3) Pada Mahkamah Agung dibentuk Komisi Yudisial yang berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada MPR mengenai pengangkatan dan pemberhentian termasuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung yang keanggotaannya terdiri dari mantan hakim agung, unsur praktisi hukum,




� tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi (Buku Kedua Jilid 3 C, Risalah Rapat PAH 1 Sidang Tahunan 2000., hlm.433)


b. F Reformasi (Patrialis Akbar), mengemukakan : "... selama ini kita mengetahui ada dualisme pengawasan didalam pengawasan peradilan ini dimana kalau ada kesalahan-kesalahan dilakukan oleh hakim, maka baik itu departemen kehakiman yang sekarang Menkumdang yang juga masih punya perpanjangan tangan ke hakim maupun juga mahkamah agung sendiri, dua badan ini masih punya perbedaan-perbedaan didalam melakukan pengawasan terhadap seorang hakim, oleh karena itu kedepan kami berharap agar pengawasan yang betul- betul; yang khusus perhatian perilaku hakim di semua tingkatan, baik itu di tingkat pengadilan negeri maupun mahkamah agung kita berharap ada satu badan khusus yang kerjanya itu khusus untuk melakukan pengawasan, ... kami namakan di sini adalah kita bentuk semacam satu dewan kehormatan, tetapi posisinya tetap ada di bawah mahkamah agung dan dia independen, hakim agung dan ketua mahkamah pun bisa dilakukan pengawasan dewan kehormatan ini ...", (Ibid., hlm. 439-440). Selajutnya Patrialis mengusulkan satu ayat mengenai dewan kehormatan, yaitu ayat (4): Pada mahkamah agung dibentuk dewan kehormatan hakim yang betugas melaksanakan pengawasan atas perilaku hakim dalam penyelenggaraan peradilan... (Ibid., hlm. 441).


c. FPBB (Hamdan Zoelva), mengusulkan penambahan satu ayat juga, yaitu : "ayat (4) untuk mengawasi tugas-tugas yudisial daripada hakim dibentuk sebuah dewan pengawas yudisial yang independen dan diangkat dari para ahli hukum yang memiliki moral integritas yang tidak diragukan. Disini perlu kami perjelas bahwa bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dan independen, bebas dari pengaruh lembaga-lembaga yang lain tidak sepenuhnya bebas akan tetapi dia hanya dibatasi oleh dua hal yaitu oleh aturan hukum itu sendiri dan juga dapat diawasi oleh dewan pengawas yudisial yang mengawasi tingkah laku dalam bidang yudisial yang dilakukan di seluruh tingkatan pengadilan..." (Ibid., hlm. 442). a. FUG (Sutjipto), mengusulkan satu ayat mengenai kekuasaaan kehakiman, yaitu :




� "ayat (3) Lembaga mahkamah agung dibentuk dewan kehormatan yang mandiri dan bertugas melakukan pengawasan atas perilaku hakim dalam penyelenggaraan peradilan. Jadi saya kira di sini perlu bahwa kemandirian hakim itu ada kontrol sehingga dalam perilakunya ada dewan kehormatan hakim". (Ibid., him. 451)



f. FPDIP (IDG Palguna), mengusulkan : "...untuk menghindari intervensi kekuasaan eksekutif terhadap hakim, kami mengusulkan pembentukan suatu badan yang mandiri yang kami sebut komisi judisial pada tingkat nasional maupun daerah, sehingga kalau dulu hakim agung diangkat oleh Presiden dan hakim-hakim diangkat oleh menteri kehakiman, sekarang kami mengusulkan untuk hakim agung diangkat oleh Presiden berdasarkan usul komisi judisial nasional dan untuk hakim biasa maksudnya di luar mahkamah agung itu, diangkat oleh presiden berdasarkan usul komisi judisial daerah". (Ibid., him. 453)


6. Dalam pandangan akhir fraksi-fraksi atas hasil-hasil rumusan PAH 1, pada rapat Pleno PAH 1, tanggal 29 Juli 2000, beberapa fraksi menegaskan kembali mengenai komisi yudisial ini, yaitu antara lain : a. FPDIP (Soetjipno), mengemukakan sbb: "... untuk tetap mempertahankan integritas dan kemandirian para hakim dan hakim agung, dibentuk komisi yudisial yang melakukan proses seleksi dan rekrutmen yang benar-benar didasarkan pada prinsip profesionalisme ..."( Ibid., him. 737).


b. FPG (T.M.Nurlif), mengemukakan sbb : untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan lembaga negara lainnya dan pihak manapun maka proses rekrutmen dan dan pengangkatan hakim agung haruslah sungguh memperhatikan integritas moral keahlian dan kecakapannya yang dilakukan oleh komisi yudisial yang terdiri dari mantan hakim, akademisi, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Dan untuk menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat dan perilaku hakim dibentuk dewan kehormatan hakim sehingga checks and balances dalam lingkungan kekuasaan kehakiman itu sendiri..." (Ibid., him. 746).






� d. FPBB (Hamdan Zoelva), mengemukakan sbb: "... Disamping wewenang untuk mengusulkan hakim agung sebagaimana diatur dalam UUD ini komisi ini nantinya diharapkan menjadi komisi yang independen yang berwenang melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi baik atas promosi maupun pemindahan terhadap hakim-hakim . Tugas wewenang serta kedudukan komisi ini akan diatur lebih lanjut dalam UU. Disamping itu untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dibentuk dewan kehormatan ini". (Ibid., him. 778)



6. Pembahasan Komisi A Majelis pada Sidang Tahun 2000, pada tanggal 13 Agustus 2000, beberapa anggota memberikan pandangannya mengenai Komisi Yudisial, antara lain : a. Agun Gunanjar "...Hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh komisi yudisial. Jadi, menyangkut masalah komisi yudisial ini kami tetap berpegang seperti yang tentunya peresmiannya, pengangkatan keanggotaan itu tentunya tetap melalui keputusan Presiden. Kami ingin menegaskan bahwa pasal ini adalah bentuk checks and balances dalam lingkungan mahkamah agung. Dimana pihak yang mengusulkan dalam hal ini adalah komisi yudisial, tetapi melakukan kontrol dalam rangka menegakkan kehormatan dan menjaga keutuhan martabat, tidak dilakukan oleh komisi yang sama, tetapi dibentuk sebuah dewan kehormatan, sehingga ada checks and balances dalam rangka penanganan masalah ini. Sehingga pengawasan atau pertanggungjawaban hakim yang dilakukan, dikhawatirkan selama ini selalu kepada Tuhan, begitu itu diharapkan melalui mekanisme ini selalu bisa dikontrrol.." ( Buku Ketiga, Jilid 10, Risalah Rapat Komisi A, Sidang Tahunan 2000), him. 326).


b. Nusa Toendan (FPDIP) "... mengenai dewan kehormatan hakim saya mengusulkan agar supaya ini perlu ditinjau kembali, dipikirkan betul-betul karena apa bahwa kecenderungan yang kita lihat di masyarakat dalam praktek kehidupan kita sehari-hari, dewan kehormatan ini mendukung untuk membela korpsnya. Sudah banyak praktek-praktek yang kita dengar bahwa justeru bahwa dewan




� kehormatan ini membela atau membela kesalahan dari korpsnya, Jadi ada satu, apa namanya suatu tanggung jawab moral mereka menjaga nama baiknya..." (Ibid., him. 335)



7. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000, tentang Penugasan BP untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945, tercantum draft perubahan mengenai kekuasaan kehakiman, khususnya terkait Komisi Yudisial yaitu : Pasal 24B


(1) Hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Komisi Yudisial. (2) Komisi Yudisial bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan dan keanggotaanya diatur dengan undang-undang (3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih oleh Hakim Agung.


Pasal 25A Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim, dibentuk Dewan Kehormatan Hakim.

C. SIDANG TAHUNAN 2001


1. Usulan Tim Ahli, yang disampaikan pada Rapat Pleno PAH 1 tanggal 15 Mei 2001 dalam menjawab pertanyaan �para anggota PAH 1, tim ahli dalam hal ini dikemukakan oleh DR. Maria S.W. Sumarjono, menyampaikan sbb: "... mengenai siapa yang melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan hakim konstitusi, karena dua-duanya itu wewenangnya berbeda walaupun berada di dalam satu istilahnya dalam satu habitat itu, memang didalam perubahan kedua disitu ada disebut dewan kehormatan, tapi mungkin bapak-bapak melihat wah ini malah justeru dihilangkan oleh Tim Ahli apakah tidak perlu, kami berpikir memang perlu, tetapi kalau didalam UUD kasihan hakim saja yang ada dewan kehormatan, la, yang lembaga- lembaga lainnya bagaimana? Padahal kami tahu untuk DPR itu ada kode etiknya didalam Tatib dan sebagainya, jadi Dewan Kehormatan tapi kan tidak perlu dicantumkan dalam UUD kayanya betul yang hakim, betul-betul yang lainnya diam-diam saja, padahal yang lainnya juga ada. Jadi alasannya karena mungkin dari Tim Hukum yang adil, jadi bukan masalah yang prinsipil sekali tapi harus ada, tapi tidak perlu dicantumkan..." (Buku Kedua, Jilid 3A, Risalah Panitia Ad Hoc 1 Badan Perkeja MPR RI, Tahun 2001, him., 340).





� 2. Atas saran Tim Ahli tersebut anggota PAH 1 Mayjend TNI Afandy (TNI/POLRI), memberikan apresiasinya, dalam Rapat Pleno PAH 1 tanggal 5 Juli 2001, dengan mengatakan : "... saran tim ahli bahwa tidak perlu dicantumkan dewan kehormatan hakim dalam UUD dan cukup dalam UU, FTNI/POLRI berpendapat saran-saran ini perlu menjadi masukan untuk dipertimbangkan lebih lanjut,.." (Buku Kedua Jilid 4A, Risalah Panitia Ad Hoc 1 Badan Perkeja MPR RI, Tahun 2001, hlm., 280).


3. Dalam Pembahasan Bab mengenai Kekuasaan Kehakiman pada Sidang Pleno PAH 1 tanggal 25 September 2001, beberap anggota PAH 1 menyinggung mengenai komisi yudisial yang pada. umumnya setuju dengan keberadaan komisi yudisial yang akan mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung serta keberadaan dan kedudukannya. Khususnya mengenai kewenangan ini beberapa anggota memberikan pandangan secara khusus antara lain: a. H. Zein Badjeber, yang mengemukakan :

"... komisi yudisial ini nantinya bisa diberi wewenang oleh UU misalnya untuk persetujuan Jaksa Agung. Kalau itu harus diangkat oleh DPR Jaksa Agungnya itu dicalonkan dari Komisi Yudisial, begitu juga kalau mengangkat komisi pemberantasan tindak pidana korupsi tidak perlu proper test oleh DPR, dilakukan oleh komisi yang ahli. Jadi komisi ini berinti di pengangkatan Mahkamah Agung tapi akan melebar diberi kewenangan oleh UU lainnya dalam rangka membantu DPR di dalam membrikan persetujuan maupun pengawasan.." (Buku Kedua Jilid 7A, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR, 2001, hlm., 254).


b. Patrialis Akbar, mengemukakan.: "... didalam fungsi khusus misalnya mengenai pengawasan itu juga mahkamah agung selain daripada berfungsi melakukan peradilan- peradilan tadi sekaligus melaksanakan semua kegiatan-kegiatan peradilan itu juga berfungsi sekaligus untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran peradilan, jadi pelanggaran- pelanggaran peradilan pun juga mahkamah agung mempunyai fungsi. Kemudian tentang pengawasan terhadap tingkah laku para hakim,





� kemudian pengawasan terhadap peradilan ini tanpa mengurangi kebebasan hakim didalam melaksanakan tugas-tugasnya..." (Ibid., hlm., 259).

Selanjutnya mengenai komisi yudisial Patrialis Akbar, menyatakan bahwa "...untuk sementara ini belum sependapat tetapi mari kita coba. evaluasi tentang masalah komisi yudisial ini..." Ibid., hlm. 261).

Alasan Patrialis Akbar atas Komisi Yudisial, karena " ... pertama, kalau kita lihat fungsinya itu satu-satunya sebagai lembaga negara hanya mengusulkan seorang untuk bisa diproses menjadi mahkamah hakim konstitusi, di mahkamah konstitusi, hanya itu satu lembaga yang kita bentuk untuk itu, berarti kerjanya hanya satu ini tentu mubazir. Yang kedua, ini sangat birokrasi kenapa? Kita mengangkat hakim-hakim konstitusi terlebih dahulu mengangkat anggota-anggota komisi yudisial, kalau persoalan komisi yudisial tidak selesai maka pengangkatan hakim konstitusi juga terbengkalai .." (Ibid., him., 292).


c. Agun Gunanjar, mengemukakan : "... kami tetap menganggap dewan kehormatan hakim ini tetap kami mengusulkan tetap ada, karena berbeda dengan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Kalau komisi yudisial itu pada aspek pertanggungjawaban, lebih pada aspek bagaimana dia melakukan tugas-tugas yang bisa mewakili representatif katakanlah masyarakat yang sangat kompeten yang bisa sangat amat bisa kita pertanggungjawabkan, yang memang mereka harus memproses dan menseleksi para hakim agung.

��. adapun masalah dewan kehormatan itu adalah memang orang- orang yang memang terdiri dari katakanlah para hakim-hakim yang ada dilingkungan hakimnya itu sendiri, itulah yang dimaksud dengan dewan kehormatan hakim yang berkewajiban menegakkan peraturan disiplin dan kode etik daripada para hakim itu sendiri..." (Ibid., hlm., 278).


d. Zein Badjeber, mengemukakan : "... Kemudian yang ingin saya komentari juga masalah tadi saya katakan dewan kehormatan tidak perlu dicantumkan dalam konstitusi bukan tidak perlu adanya dewan kehormatan setiap propinsi (profesi, cat. Pen.) memerlukan dewan kehormatan kecuali yang diperdebatkan anggota





� DPR itu propinsi atau tidak pada waktu kita mau membuat kode etik, namun ada negara yang punya kode etik ada yang tidak punya kode etik tetapi dewan kehormatan ini dalam rangka intern daripada institusi tersebut, jadi perlu ..." (Ibid., hlm., 282).

Pandangan pak Zein agar dewan kehormatan ini juga didukung oleh Ketut Astawa (TNI/POLRI), yang menyatakan bahwa "... mengenai dewan kehormatan, kami berpendapat bahwa ini memang ini penting,sekali tetapi meletakkannya cukup di UU tidak dalam UUD ..." (Ibid., hlm., 284). Demikian juga Sutipto SH (FUG), yang mengemukakan bahwa "... lalu saya juga sepakat bahwa dewan kehormatan itu perlu tetapi tidak usah dimasukkan dalam UUD ..." (Ibid., hlm., 290). Demikian juga pandangan dari Patrialis Akbar (Ibid.; him., 292).


e. Hamdan Zoelva, mengemukakan : "... komisi yudisial ini kembali kita, diskusikan pada tahun lalu karena kebutuhan praktis yang terjadi pada kenyataan-kenyataan konkrit bahwa tidak ada satu lembaga atau institusi yang bisa mengawasi tingkah laku hakim, baik hakim pengadilan negeri maupun hakim mahkamah agung, dulu yang ada kode etik. Kemudian yang mengawasi selain kode etik itu adalah hanya Irjen Kehakiman kalaupun sekarang dipindahkan semua kepada Mahkamah Agung, mahkamah agung akan mengadakan satu irjen, irjen mahkamah agung. Jadi kalau demikian maka pengawasan yang dilakukan hanya semata-mata pengawasan internal yang kita khawatirkan bahwa dia tidak bisa memberikan putusan yang tidak memihak kepada yang dihukumnya itu yaitu hakim-hakim. Oleh karena itu kita membutuhkan satu lembaga, satu komisi yang independen yang keberadaannya tidak diinternal itu dan keanggotaannya benar-benar independen dan dia dibentuk oleh UU, sehingga apa, sehingga kita harapkan kewenangan dan kekuatan putusan yang dikeluarkan oleh komisi ini akan lebih independen dan dia tidak pernah mempunyai masalah internal dengan hakim-hakim yang ada itu. Jadi kewenangannya jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari irjen dan juga jauh lebih kuat dari dewan kehormatan hakim yang ada sekarang ini..." (Buku Kedua, Jilid 8A, Risalah Rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR RI Tahun 2001, him., 38-39).





� 4. Rapat Lobi PAH I, tanggal 11 Oktober 2001, (Lihat Buku III Risalah Rapat Tertutup PAH I Tahun 2001) secara khusus membicarakan masalah yang terkait komisi yudisial. Pada umumnya perdebatan adalah berkaitan dengan kewenangan komisi yudisial untuk usul pengangkatan hakim agung dan pemberhentian hakim agung. Masalah pengangkatan hakim agung semua setuju melalui komisi yudisial, sedangkan. mengenai pemberhentian terdapat perbedaan dan penolakan. Beberapa hal yang mengemukan terkait dengan kewenangan komisi yudisial dikemukakan oleh sbb: a. Hatta Mustafa, menyatakan, "... pengangkatannya (hakim agung, pen.) jelas melalui komisi yudisial, tapi kalau masalah pemberhentian itu kan kasus berbeda pak ..." b. Soewarno, menyatakan: "... kita harus berani menyatakan bahwa hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul komisi yudisial ..". c. Hamdan Zoelva, mengkatakan: ``... mungkin lebih tepat namanya komisi yudisial ini lebih dekat kepada untuk membantu lembaga yudikatif. Fungsinya samalah dengan BPK itu untuk membantu lembaga legislatif dalam hal pengawasan d. All Masykur, mengatakan "... jadi.hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul komisi yudisial.." Selanjutnya Ali Masykur mengatakan "... komisi yudisial sebagai bagian fungsional yang melekat bagian dari mahkarnah agung dia menyeleksi untuk disulkan presiden sebagai kepala negara yang menetapkan setelah prosesnya itu dengan persetujuan DPR�. e. A.M Lutfi, mengatakan "... Komisi yudisial dan mahkamah konstitusi ini buat kita sesuatu yang baru yang ingin kita dalami, komisi yudisial yang menyeleksi orang ...� f. Pataniari, mengatakan "... kalau wewenangnya pak, saya itu, 24B sudah jelas pak. Mengangkat, memberhentikan, kewenangan utamanya komisi yudisial. Mengusulkan pengangkatan, pemberhentiannya.". g. Soediarto, Komisi yudisial adalah komisi independen yang menampung dan menghimpun masukan secara, terus mengikuti itu saja, mengenai hakim dan calon hakim serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian, sudah itu saja..."



� h. A.M. Lutfi, mengatakan "...Begini pak, kalau Wanjakti hanya pengusulan kenaikan pangkat, tidak pernah mengusulkan ini .... tidak ada. Ini bagaimana kita harus jelas, dari tadi itu kan soal pengangkatan dan pemberhentiannya. Saya kira memberhentikan bukan dia. Oke, jadi.." i. Agun Gunanjar, mengatakan "...sehingga, komisi yudisial ini kewenangan lainnya, kalau menurut saya begitu, termasuk melakukan pengawasan terhadap para hakim, sehingga didalam undang-undangnya nanti dia secara periodik kepada DPR yang menangani masalah itu semua, tiap- tiap kinerjanya disampaikan. Hakim agung ini yang jumlahnya sudah sekian kinerjanya begini, ininya begini, sehingga saran kami, usulan kami ya begini. Jadi ada kontrol terhadap kinerja. j. Sudiarto, mengatakan "... inikan menjadi lembaga yang sangat, sangat kuat begitu. Karena mengangkat, mengawasi semuanya itu ya Pak Sutjipno tahu ada, dia fungsinya inspektur. Jadi ini too much sebenarnya, sedangkan mula-mulanya supaya calon hakim agung atau hakim itu betul- betul dipilih dengan baik..." k. Soetjipno, mengatakan " ... tapi kalau tidak (kisruh di sini, makanya lebih baik dibatasi saja itu yang tadi itu, pengawasan sudah tidak perlu lagi itu pak, tidak perlu lagi, karena lewat technical authority mengawasi dia, bagaiman tingkah laku behaver tadi dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan sebagainya. Berarti pengawasan di situ hilang. Memang tekannya komisi ada menyiapkan calon-calon tadi itu kalau tidak salah yang utama, kalau yang lainnya saya tidak bisa memberikan ..". l. A.M. Lutfi, mengatakan: "...Ini tadi, masih keberatan kalau dia juga punya wewenang untuk menurunkan, memberhentikan. Begini, jadi untuk pengangkatan sajapun, dia mengumpulkan pendapat masyarakat, dia usulkan ke DPR. DPR mesti itu kurang, bukan 9 orang menyampaikan itu tadi.... kalau untuk memberhentikan ini saya khawatir kalau 9 orang itu diberi wewenang untuk bisa memberhentikan, ini terlalu berbahaya, 9 orang itu bisa didatangkan untuk diajak ngomong-ngomong, iming-iming macam-macam. ... salah kalau kita berikan dia wewenang terlalu besar, sebab dia bukan supermen...". Lebih lanjut Pak Lutfi mengatakan " ... karena waktu itu. kalau terlalu besar kekuasaan diberikan sehingga dia tidak bisa memikul, berbahaya dia, .."



� m. Pataniari, mengatakan: ".:. menurut� kita pak, hakim agung itu inikan menyangkut hakim agung boleh tidak diberhentikan? Itu dulu, ok berarti itu sependapat hakim harus diberhentikan, sekarang baru kita tanya apa sebab menurut dia karena ini prosedurnya pak, itukan biasa di undang- undang pak, jadi misalnya Pak Harun katakan pendekatan komisi yudisial di sini tapi bukan berarti langsung dia memberhentikan ada tata cara prosedurnya, persyaratan di UU menjelaskan bagaimana pemberhentian begitu maksudnya, maksudnya kira-kira begini kalau kita sepakat ..". n. Harun Kamil, mempertanyakan: "... jadi begini kita sepakat tidak bahwa hakim agung sejajar dulu dengan DPR dengan Presiden, untuk pemberhentian di UUD, tidak di UU, jadi kalau kita mau konsekwen dan konsisten terhadap sikap ini berarti untuk cara pemberhentian komisi yudisial musti di UUD bukan di UU begitu juga sebaliknya DPR pemberhentiannya harus di UUD ..."


KESIMPULAN 1. Pada awalnya ide dasar pembentukan komisi yudisial dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan yang timbul di dunia peradilan yang menjadi sorotan masyarakat, apalagi dengan sistem satu atap di Mahkamah Agung dan pemberian kemandirian dan kemerdekaan kepada institusi kekuasaan kehakiman ini. Demikian juga dirasakan perlunya membangun sistem checks and balances dimana masing-masing lembaga negara saling mengontrol. Sampai pada pertanyaan siapa yang mengimbangi kekuasaan Mahkamah Agung itu? 2. Semula ada usulan dia harus menyampaikan laporan kinerjanya kepada MPR, tetapi MPR ini diposisikan tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, karena itu menjadi tidak relevan. Kemudian muncul ide dibentuknya Dewan Kehormatan Hakim, yang telah masuk pada rancangan TAP MPR tahun 2000 mengenai draft perubahan Pasal 25 UUD 1945. 3. Pada saat menerima masukan dari masyarakat; pihak Mahkamah Agung mengusulkan adanya Dewan Kehormatan Hakim ini dalam UUD, yang posisinya independen dan anggotanya orang-orang independen di luar para hakim yang aktif. Lembaga inilah yang mengawasi hakim semacam Judicial Committe. Inilah untuk pertama kalinya diperkenalkan istilah komisi yudisial (judicial committe);



� Saksi Patrialis Akbar, SH.


1. Bahwa hasil perubahan ketiga terhadap UUD 1945 pada Tahun 2001 antara lain adalah Pasal 24B ayat (1). Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Kehakiman"; 2. Sebagai mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR berkewajiban meluruskan pembacaan dan menulis UUD 1945 oleh masyarakat, diantaranya dari Pemohon yang dalam permohonannya halaman 5 angka II butir 1 antara lain menyatakan "bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas dan konteksnya satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung; 3. Pendapat para Pemohon tersebut tidaklah tepat sebab dengan menulis dan membaca seperti yang dilakukan oleh para Pemohon dalam permohonannya memberi makna dan arti yang lain dari isi UUD 45 yang telah menjadi putusan MPR RI tentang Perubahan UUD 1945. Keberadaan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidaklah seperti yang dimaksudkan oleh para Pemohon sebab pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bukanlah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, akan tetapi merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yakni wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat , serta perilaku hakim; 4. Bahwa asal usul materi Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sewaktu pembahasan oleh Badan Pekerja MPR RI tidaklah dalam satu nafas antara kewenangan Komisi Yudisal dalam hal mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, akan tetapi pembahasannya terpisah antara dua kewenangan tersebut sebagaimana terlihat dibawah ini:



� 4.1. Bahwa dalam Risalah rapat ke-5 Badan Pekerja masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 pada hari selasa tanggal 23 Oktober 2001 dalam acara laporan Panitia Ad Hoc BP MPR dan pengesahan Rancangan Putusan MPR hasil BP MPR serta Penutupan Rapat Badan Pekerja MPR masa Sidang Tahunan MPR 2001 yang dicatat dalam BUKU KESATU JILID 1 yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2001, halaman 251 dan 252 terlihat bahwa: semula tentang Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ditempatkan dalam Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: "Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisl Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat";

Kemudian dirumuskan lagi dalam rancangan tersebut pada halaman 252 alinea pertama dalam Pasal 24C ayat (1) dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain dengan memperhatikan masukan dari masyarakat berdasarkan masukan dari masyarakat)

Dalam halaman 252 alinea ke empat, baris keempat dari bawah berbunyi antara lain "Pasal 25 dalam bracket untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial".

4.2. Konsep dari rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial dalam bahan rancangan perubahan UUD 1945 tersebut dimana masih terjadi perbedaan pendapat diantara anggota PAH I, maka Badan Pekerja MPR bersepakat membawa rumusan Perubahan UUD 1945 dalam perubahan ketiga yang telah disusun dalam bentuk altematif- altematif termasuk didalamnya tentang Komisi Yudisial sebagaimana terdapat dalam BUKU KESATU JILID 2 yang diterbitkan oleh SEKRETARIAT JENDERAL MPR RI tahun 2001 sebagai berikut:



Pasal 24C (1). "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain



� (dengan mernperhatikan masukan dari masyarakat berdasarkan masukan dari masyarakat).

Alternatif 1 :

Dan seterusnya���..

Pasal (25A)

"Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluruhan martabat dan perilaku para hakim, dilakukan oleh Komisi Yudisial".

5 Bahwa dengan rumusan tersebut maka keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial sejak semula tidaklah dirumuskan dalam satu nafas sebab semula tidaklah dirumuskan Pasal 24B ayat (1), Pasal 24C, dan Pasal 24C ayat (1) serta Pasal 25A sebagaimana yang diuraikan dalam angka 4.1 dan 4.2 diatas;

6 Bahwa setelah Perubahan UUD 1945 maka keberadaan Komisi Yudisial terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Pasal 24A ayat (3) merupakan mekanisme pencalonan hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden, sedangkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah tentang kemandirian serta kewenangan Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;

7 Khusus berkenaan dengan kalimat "perilaku hakim" dalam kalimat terakhir Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut dimaksudkan kepada perilaku hakim secara menyeluruh dengan tidak terbatas pada hakim tertentu saja akan tetapi kepada seluruh Hakim sebagaimana ditegaskan dalam buku PANDUAN DALAM MEMASYARAKATKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK TAHUN 1945 yang memuat antara lain tentang latar belakang, proses dan hasil UUD 1945 yang dibuat bersama oleh Pimpinan MPR bersama Anggota PAH I yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2004. Dalam halaman 195 dan 196 buku tersebut menuntun para anggota MPR dalam memasyarakatkan Pasal 24B yang saksi kutip antara lain sebagai berikut:



� "Adanya ketentuan ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan�

Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi faham Indonesia adalah negara hukum;

Untuk itu Perubahan UUD 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga dibidang kekuasaan kehakiman bernama Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;

Melalui lembaga KY tersebut diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya;

Saksi Baharuddin Aritonang.

Terbentuknya Komisi Yudisial ini sebenarnya merupakan sebuah pengorbanan perasaan. Dalam rapat PAH I BP. MPR saksi pernah bertanya, apakah Komisi Yudisial perlu kita masukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan waktu itu seingat saksi, juga ada anggota PAH I sebagai salah satu Tim Ahli, dan yang menjawab pertanyaan saksi bernama Prof. Ramlan Surbakti, mungkin karena memang kami bukan orang-orang hukum atau orang terhukum, jadi agak jernih melihatnya. Ketika Komisi Yudisial diusulkan ke dalam meteri Undang-Undang Dasar 1945, saksi terpikir betapa lembaga negara yang masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman perlu sampai 3, karena sebelumnya sudah ada Mahkamah Agung kemudian dilengkapi dengan Mahkamah Konstitusi. Dalam usulan awal kami, Mahkamah Konstitusi sesungguhnya cukup salah satu kamar di Mahkamah Agung.



� Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dalam bukunya yang terbaru, �Lembaga Negara Pasca Reformasi;

Bahwa organ pendukung yang secara struktural memang lembaga negara tetapi dalam protokolernya bukan lembaga negara, dalam prakteknya bagaimana mungkin hal tersebut dapat diterapkan waktu itu juga. Yang lebih tidak proporsional lagi antara kedudukan dan kewenangannya berdasar pada Pasal 24B mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim bagaimana mungkin hanya untuk kedua tugas tersebut perlu membentuk sebuah lembaga atau lembaga tinggi negara tersendiri, mungkin pada saat itu, memang menuntut kita untuk melakukan hal seperti itu;

Sesungguhnya masuknya berbagai auxiliary bodies (yang kemudian kita kenal sebagai lembaga kuasi negara, seperti komisi-komisi) bermula pada masuknya masa reformasi dimulai dari tudingan tidak berfungsinya lembaga- lembaga negara yang formal sehingga di perlukan adanya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sebagai pelengkap. Hemat saksi di sinilah letak kesalah- kaprahan kita, cara berpikir yang seolah-olah stereotip Indonesia mari kita bentuk panitia, tidak berpikir sebaliknya, kembali ke pangkal jalan jika memang lembaga- lembaga negara formal tidak berfungsi optimal justru yang harus diperbaiki dan disempurnakan agar dapat berfungsi optimal, hal inilah yang merupakan prinsip dasar dalam maksud saksi untuk menyusun kelembagaan negara. Dalam pikiran dan benak saksi waktu itu, bukan dengan membentuk lembaga-lembaga lain yang kelak pada saatnya akan tumpang tindih, bahkan pada sisi lain khususnya dari perhitungan anggaran negara akan menjadi beban yang besar dan ditanggung oleh negara. Kini jumlah lembaga-lembaga kuasi ini jumlahnya lebih dari 40-an di Undang-undang ada dua, salah satu diantaranya adalah KPU yang kemudian berdasar undang-undang menjadi bentuk KPU, kemudian adalah Komisi Yudisial;

Dengan segala pengorbanan khususnya yang saksi lihat, lahirnya Komisi Yudisial apapun yang saksi pikirkan faktanya sudah menjadi bagian dari Undang- Undang Dasar 1945, permasalahannya adalah bagaimana merumuskan pengawasan hakim;





� Saksi Mayor Jenderal Polisi (Purn). Drs. Sutjipno

Komisi Yudisial selanjutnya disingkat KY perlu diadakan atau dibangun untuk menjamin adanya checks and balances dalam keseluruhan proses penyelenggaraan ketatanegaraan Republik Indonesia seperti halnya cabang-cabang kekuasaan negara yang sudah ada yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif;

Namun bukan berarti bahwa KY adalah merupakan cabang kekuasaan tersendiri seperti ketika jenis kekuasaan yang ada, melainkan bahwa KY adalah sebagai suatu suporting element belaka dari keseluruhan jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan maksud dan tujuan untuk menjamin adanya objektifitas dari suatu fungsi pengawasan atau fungsi kontrol;

Komisi Yudisial dalam rangka checks and balances adalah untuk mengontrol perilaku para hakim dalam seluruh jajajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Demi menjaga martabat dan kehormatan hakim keseluruhannya, maka yang menjadi sasaran utama KY adalah aspek administratif personil hakim yaitu para hakim dalam seluruh jajaran kekuasaan yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif;

Apabila pada suatu ketika misalnya terjadi suatu perbuatan kriminal yang dilakukan oleh salah satu, seorang hakim baik dari jajaran Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi maka KY tidak berwenang melakukan langkah- langkah seperti yang harus dilakukan oleh aparat criminal justice system. Mengapa karena KY dibangun dalam ketatanegaraan RI bukan sebagai aparat penegak hukum atau law enforcement agency, dan KY pun juga bukan aparat yudikatif, KY tidak lain adalah semata-mata sebagai aparat pengawas atau aparat kontrol dan penjaga perilaku para hakim, yang berarti aspek-aspek administratif personil yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif dengan maksud dan tujuan untuk terpeliharanya martabat dan kehormatan hakim;

KY sengaja dibangun secara ekstra struktural dengan maksud dan tujuan pula untuk menjamin adanya objektifitas pengawasan atau kontrol terhadap para hakim;

Untuk mencegah timbulnya unsur subjektifitas yaitu penilaian terhadap diri sendiri oleh diri sendiri, dan yang diputuskan oleh diri sendiri yang berada dalam satu tangan pasti sangat subjektif sehingga perlu dibangun secara ekstra struktural agar terwujud adanya check and balances yang baik dalam pelaksanaannya;



� Posisi KY dalam rumpun jajaran yudikatif adalah sekali lagi bukan sebagai aparat operasional yudikatif dan tidak menjalankan Recht Sprekende Functie melainkan hanyalah sebagai aparat administratif dalam rangka pembinaan personil hakim dalam pelaksaan code of conduct para hakim dalam seluruh jajaran yudikatif;

Posisi KY sengaja dikelompokkan kepada rumpun yudikatif dengan maksud dan tujuan untuk memudahkan dan melancarkan kerja sama dalam rangka proses administratif pembinaan personil hakim dalam seluruh jajaran yudikatif;

Dalam sistem ketatanegaraan RI maka KY bukanlah merupakan salah satu cabang kekuasaan negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang posisinya duduk dan berdiri side by side, leiben ein under. Namun juga bukan unter get orned, nacht ein under, melainkan benar-benar berposisi sebagai suporting element dari salah satu cabang kekuasaan negara dalam hal ini cabang kekuasaan yudikatif;

Dalam tugas-tugas dan fungsinya serta peranan yang seperti itulah maka sangat diperlukan adanya satu peraturan pelaksana berupa undang-undang ataupun peraturan perundangan lainnya yang mengatur prosedur dan tatanan kerja tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan tugas-tugas, fungsi dan peranan KY sebagai transformasi dari yang telah dipesankan dan diperintahkan oleh Undang- undang Dasar 1945. Dengan maksud dan tujuan agar pelaksanaannya menjadi lancar, benar, tertib dan objektif yang tidak dicampuri oleh siapapun dan tidak memihak pada siapa pun;

Saksi Sutjipto, SH.

Keterangan yang dapat diberikan adalah berdasarkan risalah-risalah rapat Badan Pekerja baik rapat Pleno, rapat-rapat tim lobi atau rapat rumusan dan juga dengar pendapat dengan Tim Ahli, serta rapat-rapat Pleno Badan Pekerja MPR serta rapat-rapat komisi pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Periode 1999 sampai, khususnya sampai 2001 sampai diputuskannya amandemen ketiga tentang Pasal 24 dan 25 yaitu tentang kekuasaan kehakiman;

Oleh karena itu, Saksi akan memberikan dalam bentuk beragam risalah rapat kerja tersebut yang berupa kutipan-kutipan secara singkat;

Adapun kutipan-kutipan, baik dari pendapat dari beberapa anggota PAH I maupun Tim Ahli, sebagai berikut:

Petama adalah pendapat dari Saudara Hamdan Zoelva yang mengatakan bahwa �Kekuasaan Mahkamah Agung termasuk Hakim Agung dan hakim-hakim di bawahnya tidak boleh dibiarkan tidak terkontrol dan terawasi sehingga dapat



� menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim sebagaimana terasa sampai pada saat ini.� Pengawasan atau kontrol itu tidak boleh diserahkan pada lembaga tinggi maupun lembaga tertinggi negara yang sarat dengan muatan politik;

Kami berpendapat bahwa untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap Mahkamah Agung termasuk kepada para hakim-hakim khususnya terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas yudisial perlu dibentuk sebuah komisi independen yang anggotanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan oleh Presiden selaku kepala negara dari mantan-mantan Hakim, mantan Jaksa, pengacara- pengacara senior, maupun profesor di bidang hukum dari perguruan tinggi ditambah dengan tokoh-tokoh masyarakat yang kesemuanya di kenal memiliki intergritas yang sangat tinggi serta tidak pernah memiliki cacat moral sedikitpun;

Komisi ini diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim-hakim yang diduga melakukan penyimpangan termasuk keanehan dalam produk yang dihasilkannya. Hasil pemeriksaan komisi harus dijadikan pertimbangan dalam penentuan karir seorang hakim dan termasuk hukuman penurunan pangkat atau pemberhentian jika seandainya komisi merekomendasikannya. Hal inilah yang menyangkut komisi perlu diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pendapat dari Bapak Hakim Agung Iskandar Kamil yang menyatakan, bahwa dalam ayat (4) ini juga menyerap aspirasi masyarakat bahwa perlu adanya perwujudan check and balances yang lebih konkrit. Begitu sebab kadang-kadang dikatakan jajaran kekuasaan kehakiman seperti tirani yudisial katanya. Dengan doa restu Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, mudah-mudahan kami tidak menjadi tirani dan memang kami tidak ingin menjadi tirani. Oleh sebab itu, keinginan kami itu memang perlu di wujudkan dalam satu ketentuan perundang-undangan;

Dewan Kehormatan Hakim yang mandiri itu yang dimaksud adalah independen. Oleh beberapa kalangan di sebut judicial committe. Jadi semacam itulah kira-kira, Pak, yang melakukan pengawasan eksternal yang dimaksudkan adalah idenya, yang dipersonil dari dewan kehormatan itu bukan dari personil dari jajaran peradilan sendiri, bisa terdiri dari para pakar, para tokoh-tokoh yang lain. Hanya memang yang menjadi suatu masalah yang barangkali bisa kita pertimbangkan, apakah lembaga semacam itu partisan atau tidak, ini satu-satunya masalah barangkali. Tugasnya melakukan pengawasan atau perilaku hakim dalam



� menyelenggarakan peradilan sehingga dengan adanya lembaga ini maka para hakim tidak bisa berprilaku semuanya, begitu kira-kira;

Pendapat dari Prof. Dr. Maria S.W Sumarjono, mengenai siapa yang melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Karena dua-duanya wewenangnya berbeda walaupun dalam satu habitat. Memang di dalam perubahan kedua, di situ ada disebut dewan kehormatan. Tetapi mungkin Bapak-bapak melihat malah justru di hilangkan oleh tim ahli, apakah ini tidak perlu. Kami berpikir memang perlu tetapi kalau di dalam Undang Undang Dasar, kasihan hakim saja yang ada dewan kehormatan, yang lembaga-lembaga lain bagaimana? Padahal yang kami tahu, kalau DPR itu ada kode etiknya, di dalam Tatib dan sebagainya. Jadi dewan kehormatan tidak perlu dicantumkan dalam Undang Undang Dasar sepertinya betul- betul yang lainnya diam saja. Padahal yang lainnya juga ada, jadi alasan karena mungkin tim hukum yang adil. Jadi bukan masalah yang prinsipil sekali lagi harus ada, tapi tidak perlu dicantumkan;

Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu perubahan ketiga Undang Undang Dasar Tahun 1945 pada persidangan Tahun 2001 adalah Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.� Adapun hasil keputusan tersebut setelah melalui berbagai proses antara lain bahwa pembahasan Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman dilakukan secara mendalam. Jadi sejak masa persidangan tahun 1999 dan baru diputuskan pada Sidang Tahunan tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga;

Bahwa materi pada Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar Indonesia Tahun 1945, pada waktu dilakukan pembahasan oleh Badan Pekerja MPR terdiri dari kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Akan tetapi pembahasannya terpisah antara dua kewenangan tersebut sebagaimana yang terlihat di bawah ini;

Bahwa dalam risalah rapat kelima Badan Pekerja MPR-RI masa sidang tahunan MPR-RI tahun 2001 pada Tanggal 23 Oktober 2001. Dalam acara laporan Panitia Ad hoc Badan Pekerja MPR dan pengesahan Rancangan Putusan MPR hasil Badan Pekerja MPR serta penutupan rapat Badan Pekerja MPR masa sidang tahunan MPR 2001 yang dicatat dalam Buku I, Jilid I yang diterbitkan oleh



� Sekretariat Jenderal MPR-RI, semula Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan DPR ditempatkan pada Pasal 24D ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut:

�Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.� Konsep dari rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial dalam bahan rancangan perubahan Undang Undang Dasar 1945 tersebut dimana masih terjadi perbedaan pendapat diantara anggota Panitia Ad hoc I, maka Badan Pekerja MPR bersepakat membawa rumusan perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perubahan ketiga yang telah susun dalam alternatif yang termasuk di dalamnya tentang Komisi Yudisial;

Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka keberadaan Komisi Yudisial terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pasal 24A ayat (3) merupakan mekanisme pencalonan Hakim Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden;

Sedangkan Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 adalah tentang kemandirian serta kewenangan Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim;

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 22 Mei 2006, Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, telah menyampaikan tanggapan tertulis yang dibacakan di persidangan, sebagai berikut:


I. Ketidakjelasan Dasar dan Alasan Konstruksi Hukum Permohonan Pada bagian ini hendak dikaji dasar dan alasan-alasan yang menjadi kontruksi hukum permohonan seperti yang dikemukakan para Pemohon di dalam permohonannya. Hal ini perlu dilakukan untuk menganalisis sejauhmana keutuhan dan kaitan antara alasan dan pernyataan lain yang dikemukakan para Pemohon untuk sampai pada kesimpulannya sendiri. Setidaknya ada sekitar 4 (empat) alasan yang digunakan oleh para Pemohon untuk sampai pada interpretasinya sendiri yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak




� mempunyai kewenangan pengawasan terhadap hakim agung, yaitu sebagai berikut:


1. Kewenangan lain KY adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung; 2. Kata hakim dimaksud dalam Pasal 24B UUD 1945 bukan terhadap seluruh hakim sehingga kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung dan hakim konstitusi karena hanya ditujukan bagi hakim yang akan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung serta hakim...; 3. Secara universal kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung pada Mahkamah Agung karena Komisi Yudisial adalah mitra MA dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawah MA; 4. Pemberhentian hakim agung memiliki mekanisme tersendiri yang didahului dengan pemberian kesempatan pada yang bersangkutan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.


Bila alasan dan interpretasi di atas dikaji secara seksama maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: kesatu, alasan yang diajukan sangat interpretatif; kedua, alasan didasarkan atas konstruksi logika berpikir yang tidak sistematis; ketiga, alasan yang diajukan sangat prematur dan berlebihan. 1. Alasan sangat interpretatif. Para Pemohon mengintroduksi suatu interpretasi baru di dalam memaknai suatu pasal dengan metode pembacaan pasal dengan menyatakan �...kalimat dibaca dalam satu nafas dan diberi konteks satu sama lain maka akan bermakna �Komisi Yudisial mempunyai kewenangan lain dalam rangka melaksanakan kewenangan lain KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung� (lihat butir II.1., di halaman 5 Permohonan). Interpretasi ini ingin menekankan bahwa kewenangan lain dari Komisi Yudisial haruslah kewenangan yang berkenaan dan berkaitan dengan pengangkatan hakim agung saja.

Tindakan interpretasi para Pemohon tidak dapat dikualifikasi sebagai interpretasi gramatikal dan atau interpretasi sistimatik yang lazim digunakan di dalam menafsirkan dan mengkonstruksi suatu makna substantif dari hukum atau pasal perundangan. Kendati ketidaklaziman ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan tetapi metode ini dapatlah dikualifikasi





� sebagai �interpretable� karena dapat mengaburkan makna substantif yang original. Lebih dari itu, interpretasi tersebut juga potensial menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpastian itu sendiri dapat mengakibatkan munculnya kekeliruan dalam memaknai suatu pasal sesuai dengan original intend dan maksud teleologis pembuatan suatu pasal tertentu di dalam suatu undang-undang.

Tindakan interpretasi yang dikemukakan dalam permohonan diatas juga bertentangan secara diametral dengan pendapat Mahkamah Agung sendiri. Mahkamah Agung di dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI menyatakan:

�...berdasarkan Pasal 24B. Amandemen Ketiga UUD 1945 akan dibentuk lembaga baru yang akan berfungsi-salah satunya-melakukan pengawasan dan (mungkin) pendisiplinan bagi hakim dan hakim agung, yaitu: Komisi Yudisial�.

Demikianpun halnya pendapat Mahkamah Agung di dalam Naskah Akademis dan Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial juga menyatakan:

�...kami memandang ada 5 (lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari fungsi diatas, yaitu...pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung)�. (lihat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Cetak Biru Pembaruan mahkamah Agung RI, MA-RI 2003, hlm. 91 dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang- Undang tentang Komisi Yudisial, MA-RI 2003, hlm. 45)

Dengan demikian, bagaimana mungkin pendapat resmi dari lembaga Mahkamah Agung dapat diingkari secara sepihak oleh alasan yang dirumuskan secara interpretatif dengan metode penafsiran yang interpretable di dalam suatu permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.


2. Alasan didasarkan atas konstruksi logika berpikir yang tidak utuh dan tidak sistematis. Pada butir II.2., di halaman 5 permohonan, para Pemohon mengutip Pasal 25 UUD 1945 yang mengemukakan �syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang- undang�. Lalu, para Pemohon mengaitkannya dengan menyebutkan





� beberapa undang-undang yang berbeda-beda yang mengatur tentang hakim tingkat pertama dan banding seperti tersebut di dalam UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer), hakim agung dan hakim konstitusi (UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2003) . Setelah itu, para Pemohon membuat beberapa kesimpulan:


a) Kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung dan hakim konstitusi karena untuk menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi tidak seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding; b) Yang dimaksud kata hakim di dalam Pasal 24B bukan terhadap seluruh hakim; c) Yang dimaksud Pasal 24B tentang kewenangan lain dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran dan martabat hakim adalah hakim yang akan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung.


Uraian di atas jelas memperlihatkan suatu konstruksi berpikir yang tidak utuh dan tidak sistematis karena dengan hanya menyebut Pasal 24B UUD 1945 dan mengaitkannya dengan beberapa UU yang mengatur hakim, hakim agung dan hakim konstitusi, tetapi kemudian, permohonan telah berani membuat pernyataan berupa interpretasi sepihak dan menyimpulkannya sendiri tanpa menjelaskan dasar argumentasi, konstruksi logika berpikir dan keterkaitan satu alasan dengan pernyataan lainnya serta menguraikan dan menganalisisnya secara menyeluruh. Tindakan sedemikian patutlah dikualifikasi sebagai kekacauan dalam merumuskan konstruksi berpikir. Berdasarkan uraian tersebut maka sudilah kiranya bila rumusan alasan yang tersebut di dalam permohonan dimaksud, disimpulkan sebagai telah memuat suatu konstruksi logika berpikir yang tidak utuh dan tidak sistematis. 3. Alasan yang diajukan sangat prematur dan berlebihan. Pada butir II.5., di halaman 6 permohonan, para Pemohon langsung menyimpulkan �secara universal kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung pada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah mitra MA dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawah MA�.





� Kesimpulan tersebut dilakukan dengan menunjuk pada Pasal 32 dari UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA. Bagaimana mungkin suatu kesimpulan dimaknai sebagai universalitas berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial yang tidak menjangkau hakim agung jika hanya didasarkan pada satu pasal di atas saja. Dimana letak universalitas dari kesimpulan permohonan dimaksud?, para Pemohon tidak mengemukakan dan menguraikannya secara elaboratif. Lihat dan bandingkan dengan suatu hasil studi yang menyimpulkan:

�...dibentuknya Komisi Yudisial ...mempunyai alasan yang strategis dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman...Keempat, ...untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan...diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat oleh Komisi Yudisial...�.

Sebagian kesimpulan mengenai tujuan pembentukan Komisi Yudisial seperti telah dikemukakan di atas itu ditelaah dari 197 (seratus sembilan puluh tujuh) konstitusi negara anggota PBB (lihat A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial: Reformasi Peradilan, hlm. 105, 147-150). Berpijak pada uraian seperti tersebut diatas maka cukuplah alasan dan sudilah kiranya untuk menyatakan bahwa permohonan sebagai sangat prematur.

Pada butir II.5 dan 6., di halaman 6 dan 7 permohonan, para Pemohon merujuk pada Pasal 32 juncto Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang mengatur mengenai kewenangan pengawasan dan pemberian kesempatan membela diri pada hakim agung yang diusulkan untuk diberhentikan dihadapan Majelis Kehormatan Hakim Agung. Berpijak pada pasal-pasal tersebut, para Pemohon di dalam permohonannya kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa Pasal 21 juncto Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5) juncto Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan (4) dari Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945.

Berdasarkan uraian di atas tentu patut dipertanyakan metode konklusi yang digunakan untuk menghubungkan antara suatu pernyataan atau fakta





� dengan perumusan suatu kesimpulan. Bagaimana mungkin ketidaksesuaian atau ketidakharmonisan pasal-pasal yang terjadi pada suatu perundangan dengan pasal-pasal perundangan lainnya, kemudian disimpulkan sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Tindakan sedemikian tidak hanya memperlihatkan kerapuhan dasar metodologi konklusif yang digunakan tetapi kesimpulan yang sedemikian juga dapat dikualifikasi sebagai kesimpulan yang didasarkan atas interpretasi yang prematur dan berlebihan.



II. Kelemahan Dasar dan Alasan dari Permohonan. Ada beberapa hal penting yang harus dikemukakan secara limitatif di dalam mengajukan suatu permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu antara lain: kesatu, Pemohon memiliki Hak Konstutsional untuk mengajukan permohonan; kedua, adanya kerugian karena hak konstitusional Pemohon dilanggar; ketiga, kerugian konstitusional itu bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan terjadi; keempat, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dengan UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; kelima, adanya kemungkinan kerugian konstitusional tidak akan terjadi jika permohonan dikabulkan. Uraian dibawah ini akan mengemukakan beberapa alasan penting tersebut.

1. Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.

Pada bagian ini hendak dijelaskan mengenai, siapakah yang memiliki hak atau kewenangan konstitusional dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Penjelasan ini menjadi penting untuk menentukan dan menegaskan pihak yang mempunyai legal standing di dalam mengajukan suatu permohonan hak menguji perundangan, khususnya berkaitan dengan hal kekuasaan kehakiman.

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya, pada Pasal 24 dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman telah dikemukakan secara limitatif sebagai berikut:


1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan




� umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.


Untuk melaksanakan Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar dimaksud telah dikeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, merupakan perubahan dari Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 haruslah dimaknai sebagai undang-undang payung terhadap undang-undang lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu antara lain: 1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer; 3) Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung; 4) Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum; 5) Undang-undang No .9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 6) Undang-undang No. 24 Tahun 2005 tentang Mahkamah Konstitusi;


Di dalam Pasal 1, Bab I dari Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah dikemukakan secara tegas: �Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia�;

dan pada Pasal 2 Undang-undang dimaksud juga telah dikemukakan hal sebagai berikut:

�Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�.

Bila ketentuan yang tersebut di dalam Pasal-pasal Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (2)




� UUD 1945 maka dapatlah disimpulkan bahwa pasal-pasal dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman di atas merupakan penjabaran dari Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa hak dan kewenangan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Uraian di atas juga menegaskan bahwa hakim bukanlah sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tetapi hanya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman, sedangkan yang melakukan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung, badan-badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sesuai yang ditentukan di dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Hal ini dikemukakan secara tegas di dalam Pasal 31, Bab V Kedudukan Hakim dan Pejabat Peradilan dari Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan �Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang- undang�.

Berpijak pada ketentuan dan uraian tersebut, kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan adalah merupakan hak konstitusional dari lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan hak dari Hakim yang hanya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu undang-undang memberikan kewajiban kepada Hakim untuk menjaga kemandirian peradilan dan untuk itu hakim diharuskan untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Bagir Manan, SH, dalam makalahnya �Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan Mahkamah Konstitusi) dengan Komisi Yudisial; Suatu Pertanyaan�, disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di MPR tanggal 9 Maret 2006 dalam halaman 4, nomor 4 (empat) mengenai Kekuasaan Kehakiman menyatakan:

�Baik dalam doktrin maupun menurut hukum, kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan badan peradilan. Di Indonesia badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung,




� Mahkamah Konstitusi, dan pengadilan-pengadilan tingkat lebih rendah yang dibawah Mahkamah Agung�.

Bertolak dari uraian yang dikemukakan oleh Ketua MA tersebut di atas maka dapatlah dikemukakan bahwa �hak dan kewenangan melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka itu ada pada lembaga peradilan�.

Berdasarkan atas dan dengan segenap hal seperti telah dikemukakan di dalam uraian seperti tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa pihak yang mempunyai hak konstitusional dalam mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah lembaga yang melakukan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004, yaitu dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.


2. Perseorangan Tidak Dapat Mewakili Kepentingan Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 31 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman a quo menyatakan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman. Pasal ini menegaskan, kekuasaan kehakiman hanya dapat dilakukan oleh hakim bila yang bersangkutan dalam kapasitas sebagai pejabat negara. Jika yang bersangkutan melepaskan kapasitasnya sebagai pejabat negara maka yang bersangkutan tidak dapat melakukan tindakan untuk dan atas nama kekuasaan kehakiman sehingga tidaklah tepat jika pihak dimaksud menempatkan dirinya sama dan sebanding dengan pihak yang mempunyai kewajiban jabatan, yakni wajib menjaga kemandirian peradilan.

Oleh karena itu, status perseorangan para Pemohon dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap undang undang dasar dengan alasan untuk menjaga kemandirian peradilan adalah alasan yang tidak benar dan tidak tepat. Kekuasaan kehakiman adalah merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dimana sebagai pelaku dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dimaksud bukanlah orang perorangan tetapi mereka adalah orang yang diangkat oleh negara sebagai





� hakim yang merupakan pejabat negara yang menjalankan kewenangan- kewenangan atau kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, hakim itu adalah jabatan yang mempunyai kewenangan mengadili suatu perkara dalam proses peradilan dan atau menjalankan kewenangan lainnya yang secara tegas dikemukakan di dalam perundangan dan bukan tindakan orang perorangan atau kelompok yang di luar kewenangan yang telah ditentukan secara limitatif dan eksplisit di dalam perundangan.

Jika terjadi perselisihan dimana pejabat yang bersangkutan dalam menjalankan kewenangan negara �diintervensi kemandiriannya� oleh kewenangan lembaga negara lainnya, baik oleh lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman atau dengan lembaga lain diluar pelaksana kekuasaan kehakiman maka sengketa yang terjadi tersebut adalah perselisihan antar lembaga, bukan perselisihan pribadi atau orang- perorangan yang mengatasnamakan kepentingan kemandirian kehakiman.

Bilamana terjadi perselisihan yang menyangkut kepentingan kelembagaan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman seperti diuraikan di atas maka yang mempunyai legal standing sebagai Pemohon adalah penyelenggara kekuasaan kehakiman atau pejabat penyelenggara kekuasaan kehakiman yang memiliki kapasitas hukum di dalam mewakili lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, dalam hal ini, Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan dibawahnya.

Uraian tersebut di atas menegaskan bahwa karena kewenangan kekuasaan kehakiman hanya dapat dijalankan oleh pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, dalam hal ini, Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan dibawahnya maka perseorangan yang tidak dalam kapasitas mewakili pengadilan dalam menjalankan kepentingan kekuasaan kehakiman tidak memiliki kapasitas hukum untuk mengatasnamakan kepentingan kekuasaan kehakiman.

Uraian di atas juga telah memperlihatkan dan menegaskan bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon tidak dapat menjelaskan, apa yang menjadi dasar konstitusionalitas diajukannya permohonan. Para Pemohon bersikap ambigu. Di satu sisi menempatkan dirinya sebagai orang perorangan dan atau kelompok orang yang berjumlah sebanyak 31





� (tiga puluh satu) orang yang secara bersama-sama mengajukan permohonan hak uji materil; disisi lainnya, para Pemohon menyebutkan jabatan dari pekerjaannya sebagai hakim agung yang kesemuanya menggunakan alamat kantor Mahkamah Agung, yaitu di Jl. Merdeka Utara Kav. 9-13, Jakarta Pusat sebagai alamat dari para Pemohon. Penyebutan identitas jabatan yang ditopang oleh alamat kantor di Mahkamah Agung hendak mengindikasikan bahwa seolah-olah para Pemohon adalah representasi hukum dari suatu lembaga yang mempunyai kewenangan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang mempunyai hak konstitusional mengajukan pengujian undang-undang terhadap undang undang dasar.

Secara faktual uraian diatas telah menegaskan, para Pemohon adalah orang perorangan; dan pada prinsipnya, kepentingan orang perorangan atau sekelompok orang atau kepentingan para Pemohon seperti tersebut di dalam permohonannya, tidak serta merta dapat dikualifikasi sebagai kepentingan dari lembaga dimana mereka bekerja atau demi kepentingan dari Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Hakim itu adalah jabatan yang mempunyai kewenangan mengadili suatu perkara dalam proses peradilan dan atau menjalankan kewenangan lainnya yang secara tegas dikemukakan di dalam perundangan dan bukan tindakan orang perorangan atau kelompok yang di luar kewenangan yang telah ditentukan secara limitatif dan eksplisit di dalam perundangan. Lebih-lebih tidak ada pelimpahan kewenangan yang secara tegas, patut dan sah diberikan dari lembaga dimaksud kepada para Pemohon. Ketua MA di dalam pernyataannya justru mengemukakan bahwa para Pemohon bertindak dalam kapasitas individualnya sendiri di dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang- undang dasar (Lihat Detik Com tanggal 17 Maret 2006 dan Tempo Interaktif tanggal 17 Maret 2006 dan 21 Maret 2006).

Keadaan dan tindakan sedemikian ini mengakibatkan para Pemohon kehilangan dasar legalitasnya sehingga tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dengan demikian, dimohonkan pada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sudilah kiranya untuk menyatakan





� Para Pemohon tidak mempunyai kapasitas hukum dan tidak memiliki dasar konstitusional sebagai Pemohon serta tidak dapat mengidentifikasi dirinya sama dan sebangun dengan jabatan hakim yang sedang menjalankan kekuasaan kehakiman yang harus menjaga kemandirian peradilan, di dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dengan menyatakan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat 1(1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1) serta Pasal 25 ayat (3) dan (4) dari UU No. 22 Tahun 2004 dan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 24B dan 25 Undang Undang Dasar 1945.


3. Permohonan Para Pemohon Telah Keliru Menyimpulkan Bahwa Hak Konstitusionalnya telah Dilanggar. Para Pemohon di dalam permohonannya menyatakan �Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusional para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, khususnya atas pasal-pasal yang berkaitan dengan pengawasan hakim serta yang berkaitan dengan usul penjatuhan sanksi�.

Lebih jauh, para Pemohon juga mengemukakan beberapa Pasal tertentu, yaitu: Pasal 20, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5) serta Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan (4) yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 5 dari UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menimbulkan kerugian pada para Pemohon karena menjadi atau sebagai objek pengawasan serta dapat diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi. Pasal-pasal tersebut juga berkaitan dengan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Di dalam bagian lain permohonan juga dikemukakan bahwa pengawasan Komisi Yudisial telah memanggil beberapa hakim agung, yaitu: Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus Effendi Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A Tumpa dalam hubungan dengan perkara yang diadilinya telah mengakibatkan terganggunya hak konstitusional hakim agung yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945.





� Pemanggilan tersebut juga berpotensi dan akan membawa makna, semua hakim agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus perkara sehingga akan menghancurkan independensi hakim agung yang dijamin UUD 1945.

Uraian di atas telah memperlihatkan konstruksi berpikir permohonan, dimana pasal-pasal tertentu di dalam UU Komisi Yudisial dikualifikasi menimbulkan kerugian bagi para Pemohon karena mereka menjadi objek pengawasan dan penjatuhan sanksi serta kemudian disimpulkan secara sepihak bahwa tindakan pengawasan dan penjatuhan sanksi tersebut akan menghancurkan independensi hakim agung. Di dalam bahasa lain dapat dikemukakan bahwa independensi mengalami proses absolutisme dan dijadikan �tameng� untuk menghindari penerapan prinsip akuntabilitas yang sebagiannya dimanifestasikan dalam bentuk pengawasan dan pemberian sanksi bila memang terbukti ada tindak pelanggaran.

Di dalam Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung telah dikemukakan dengan sangat jelas beberapa hal penting yang berkaitan dengan pengawasan dan pendisiplinan hakim, yaitu antara lain:


a. MA tidak mampu menjalankan pengawasan atas dirinya sendiri. Hal ini dikemukakan secara jujur oleh MA dengan menyatakan: �...pengawasan yang dilakukan MA bisa dikatakan tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Hal ini dapat diindikasikan dari masih banyaknya dugaan penyimpangan prilaku yang dilakukan oleh hakim dan pegawai pengadilan...�

�Dalam prakteknya, pengawasan oleh lembaga pengawas MA...tidak berjalan efektif. Hal tersebut disebabkan karena kelemahan yang sama sebagaimana...pengawasan prilaku hakim...� (lihat Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, 2003, hlm. 93 dan hlm. 99).


b. MA juga tidak mampu menegakkan kedisiplinan secara konsisten. Hal ini dikemukan oleh MA dengan menyatakan: �Penjatuhan sanksi disiplin berupa pemberhentian hakim agung dan pemberhentian hakim selama ini tidak berjalan optimal. Jarang sekali ada hakim yang diberhentikan walau banyak hakim yang diduga melakukan pelanggaran�






� �Kelemahan pendisiplinan oleh MA...disebabkan...karena adanya keengganan/kesulitan bertindak tegas kepada sesama hakim (kolega) karena majelis kehormatan hakim/hakim agung hanya terdiri dari kalangan hakim�

�Tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pemeriksaan oleh majelis kehormatan hakim. Hal diantaranya tergambarkan dari ketentuan dalam SKB yang menegaskan bahwa pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim bersifat tertutup; dan tidak adanya pedoman dalam penjatuhan sanksi�. (lihat Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, 2003, hlm. 105-106)

Uraian di atas memperlihatkan bahwa MA tidak memiliki kemampuan menjalankan pengawasan secara efektif dan tidak mampu menegakkan kedisiplinan. Disisi lainnya juga ada pernyataan yang diajukan oleh hakim agung Gunanto Suryono, Ketua Muda Pengawasan MA yang mengemukakan �30% hakim termasuk hakim agung di MA bermasalah� (Koran Tempo dan Republika tanggal 21 Januari 2006).

Selain itu, Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Tahun 2003 juga mengajukan dan merumuskan rekomendasi untuk mengatasi problem pengawasan dan pendisiplinan yang dihadapi oleh MA. Lebih lanjut buku dimaksud menyatakan beberapa hal sebagai berikut:


a. MA perlu mendorong terbentuknya Komisi Yudisial sebagaimana yang diamanatkan dalam amandemen ketiga UUD 1945. Berkenaan dengan pengawasan Komisi Yudisial telah dirumuskan: �Pada prinsipnya yurisdiksi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah pengawasan terhadap prilaku hakim di dalam dan di luar pengadilan, sedangkan Tuada Wasbin adalah pengawasan terhadap teknis yudisial dan administrasi pengadilan�.

�...mendorong...Komisi Yudisial mengatur kewenangannya untuk mengadili hakim yang diduga melakukan penyimpangan serta kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu pada hakim yang melakukan penyimpangan perilaku� (Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung,2003, hlm. 96 dan hlm. 106).


b. MA perlu memperbaiki kelemahan lembaga pengawas dan sekaligus memperbarui aturan mengenai eksaminasi terhadap putusan hakim






� tingkat pertama dan banding (Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, hlm. 100).


Uraian di atas menegaskan bahwa MA sangat mendukung keberadaan Komisi Yudisial dan bahkan menyetujui yurisdiksi pengawasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kewenangan Komisi Yudisial. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin para Pemohon dapat mendalilkan bahwa independensinya menjadi hancur dengan adanya kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial padahal lembaga Mahkamah Agung secara tegas mengakui dan memerlukan keberadaan Komisi Yudisial yang salah satu kewenangannya justru berkaitan dengan pengawasan. Selain itu, para Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar, yaitu hak yang diatur di dalam Undang- Undang Dasar 1945. Dengan demikian para Pemohon tidak dapat menjelaskan pasal-pasal yang berupa hak konstitusionalnya seperti diatur di dalam UUD 1945 yang telah dilanggar oleh suatu undang-undang tertentu. Permohonan yang tidak dapat menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar dapat dikualifikasi sebagai permohonan yang kurang cermat dan bertentangan dengan ketentuan hukum acara tentang pengajuan permohonan pengujian undang undang terhadap UUD yang telah diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 51 ayat (2) menyatakan antara lain: �Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)�.

Tindakan para Pemohon dengan mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD dengan mengedepankan prinsip independensi justru mengindikasikan bahwa para Pemohon tidak saja melakukan tindakan diskriminatif tetapi juga telah melanggar prinsip penting yang harus dikedepankan oleh kekuasaan kehakiman, yaitu: prinsip equality before the law. Oleh karena permohonan para Pemohon dalam melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak mampu menguraikan secara tegas dan jelas tentang hak dan






� kewenangan konstitusional yang dilanggar dan/atau telah keliru menyimpulkan hak konstitusionalnya telah dilanggar serta tindakannya potensial melanggar prinsip equality before the law dan bersifat diskriminatif.

Berdasarkan segenap hal yang telah diuraikan diatas maka dapatlah diperlihatkan berbagai kelemahan dasar dari permohonan para Pemohon tidak memiliki dan tidak dapat menjelaskan Hak Konstitusional untuk dapat mengajukan permohonan serta para Pemohon juga tidak mampu menjelaskan adanya pelanggaran terhadap hak konstitusional dan karenanya menimbulkan kerugian. Dengan demikian kewajiban selebihnya dari para Pemohon, seperti: menjelaskan kerugian konstitusional itu bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan terjadi, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dengan UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian dan adanya kemungkinan kerugian konstitusional tidak akan terjadi jika permohonan dikabulkan, niscaya tidak dapat dikemukakan oleh para Pemohon. Berkenaan alasan-alasan tersebut maka sudilah kiranya agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak atau setidak-tidaknya tidak menerima permohonan para Pemohon.




III. Tanggapan atas Alasan�alasan yang Dikemukakan dalam Permohonan. Ada beberapa hal penting yang diajukan oleh para Pemohon di dalam permohonannya, yaitu meliputi: kesatu, hakim yang dimaksud pada Pasal 24B Undang Undang Dasar 1945 bukanlah termasuk hakim agung; kedua, Komisi Yudisial tidak mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung; ketiga, sesuai prinsip universalitas, kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung. Hal-hal penting dimaksudlah yang akan dikaji di dalam uraian yang akan dirumuskan dibawah ini oleh Pihak Terkait.


1. Inkonsistensi Alasan Permohonan dari Para Pemohon Para Pemohon menggunakan prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa untuk memberikan tafsiran atas makna �Hakim� yang tersebut pada Pasal 24B UUD 1945. Pada prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang- undangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan atau





� perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.

Berpijak dari rumusan Pasal 24B UUD 1945 maka kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dimiliki oleh Komisi Yudisial menurut para Pemohon adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Pasal 1 angka 5 UU No. 22 Tahun 2004 telah memperluas makna �hakim� pada Pasal 24B UUD 1945.

Disisi lainnya, tindakan para Pemohon dapat dikualifikasi sebagai tidak konsisten karena de facto para Pemohon sendiri telah melanggar prinsip Lex Certa yaitu telah menafsirkan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 tidak seperti yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan tetapi secara a contrario seolah-olah Komisi Yudisial hanya mempunyai kewenangan pengawasan terhadap hakim, bukan pengawasan atas hakim agung atau hakim mahkamah konstitusi. Bukankah Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 hanya menyatakan tentang:

�...wewenang Komisi Yudisial yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim�.

Kata �hakim� di dalam Pasal dimaksud tidak menunjuk secara tegas dan karenanya dapat dikatakan sebagai hakim agung dan hakim konstitusi.



2. �hakim� dalam Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 Untuk memberi makna kata �hakim� seperti yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 akan digunakan 4 (empat) metode penafsiran suatu perundangan, yaitu: penafsiran sistematik, penafsiran gramatikal, penafsiran otentik untuk melihat original intend-nya dan penafsiran sosiologis atau teleologis.

Jika mengkaji Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman di dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka akan ditemukan kata-kata �hakim�, �hakim agung� dan �hakim konstitusi�. Jika dielaborasi lebih jauh, kata-kata tersebut dapat ditemukan sebagai berikut:




� a. Kata �hakim agung� disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta tersebut di dalam Pasal 24A ayat (1) (2) dan (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945; b. Kata �hakim� disebutkan sebanyak 2 (dua) buah serta tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945; c. Kata �hakim konstitusi� disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta tersebut di dalam Pasal 24C ayat (3) (4) (5) dan (6) Undang-Undang Dasar 1945.


Pada uraian di atas sudah dikemukakan bahwa kata �hakim agung� ada di dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Pasal 24A ayat (5) dikemukakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan �susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang�. Berpijak pada Pasal ini maka secara a contrario dapatlah dikemukakan bahwa hal-hal selain susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung yang berkaitan dengan hakim agung didasarkan oleh Pasal lainnya di dalam Undang-Undang Dasar. Bila dikaitkan dengan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat kata �hakim� tetapi secara limitatif hanya mengatur mengenai �syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim� maka dapatlah di interpretasikan bahwa ketentuan mengenai syarat untuk menjadi hakim dan untuk diperhentikan sebagai hakim agung akan bersumber dari Pasal 25 Undang-Undang dasar 1945. Berdasarkan uraian di atas maka juga dapat disimpulkan bahwa hal-hal lain selain mengenai �susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim agung�, seperti antara lain: pengawasan dan pengaturan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim agung akan didasarkan oleh ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan uraian di atas dengan menggunakan penafsiran sistematik maka dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan kewenangan lain termasuk di dalamnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim agung dan atau hal lainnya yang bukan




� mengenai hal-hal �susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim agung� didasarkan dan bersumber dari Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Bila dilakukan pengkajian berdasarkan penafsiran gramatikal terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

�Komisi Yudisial...berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim�.

maka dapatlah dikemukakan makna penafsiran dimaksud, yaitu hal-hal sebagai berikut:


1. Kalimat �mengusulkan pengangkatan hakim agung� dan kalimat �mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan...� dihubungkan oleh kata �dan�. Kata �dan� dimaksud adalah kata penghubung satuan ajaran (kata, frase, klausa dan kalimat) yang setara, memiliki tipe yang sama dan mempunyai fungsi yang sama (Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Dengan demikian kalimat �mengusulkan pengangkatan hakim agung� mempunyai posisi yang setara dengan kalimat �mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan...�. Berpijak pada penafsiran ini maka ada beberapa wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial, yaitu: kesatu, kewenangan untuk mengusulkan hakim agung; kedua, kewenangan lainnya yang berkaitan dengan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; 2. Kata-kata �wewenang lain� di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 justru merupakan suatu penekanan atas beberapa hal, yaitu: kesatu, ada beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial; kedua, ada kewenangan yang bersifat khusus yaitu hanya ditujukan kepada hakim agung saja dalam proses rekruitmen dan ada kewenangan lain yang bersifat tertentu yang ditujukan pada �hakim� termasuk hakim agung, yaitu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim�. 3. Kata �hakim� harus dimaknai bersifat �genus� dan kata �hakim agung� bersifat sebagai �species�. Di dalam bahasa yang lain juga dapat




� ditafsirkan bahwa kata �hakim� ini dimaknai sebagai suatu kategori, sedangkan kata �hakim agung� adalah sesuatu yang bersifat pangkat atau jabatan.


Di dalam konteks penafsiran otentik untuk memberikan penafsiran original intend suatu pasal maka hal tersebut dapat dilacak pada perdebatan ketika Pasal dimaksud dirumuskan. Pada Rapat Pleno ke-41 Panitia Ad Hoc I, Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 8 Juni 2000, diajukan suatu usulan bahwa: �Komisi Yudisial berfungsi untuk...melakukan pengawasan terhadap hakim agung�

�...pengawas yudisial yang mengawasi segala tingkah laku hakim dalam bidang yudisial yang dilakukan oleh para hakim disemua tingkatan...�

(Buku Kedua, Jilid 3C, Risalah Rapat PAH I MPR, Sekertariat Jenderal MPR-RI, hlm. 433 dan hlm. 442).

Di dalam Rapat Pleno ke-36 Panitia Ad Hoc dari Badan Pekerja MPR tanggal 26 September 2001, juga diajukan suatu gagasan yang berkaitan dengan cakupan pihak yang perlu diawasi oleh Komisi Yudisial, yaitu:

�...Komisi Yudisial sebenarnya adalah bukan hanya menyangkut hakim agung tetapi menyangkut seluruhnya hakim tinggi dan hakim pengadilan negeri...mengusulkan supaya para hakim ini di filter oleh suatu komisi yang sifatnya permanen...�.

(Buku ke-2, Jilid 8A, Risalah Rapat PAH I, Sekertariat Jenderal MPR-RI, 2001, hlm. 26).

Di dalam Naskah Akademis mengenai Rancangan UU Komisi Yudisial menurut versi Mahkamah Agung juga dapat ditemukan hal-hal yang berkaitan penafsiran kata �hakim�, seperti antara lain:

�...kata hakim disini harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi�

(Naskah Akademis Rancangan UU Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung, hlm. 26 dan 58).

�...kami memandang...tugas yang ditafsirkan dari fungsi diatas... pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung)�.

(Naskah Akademis dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung RI, 2003, hlm. 45).




� Bilamana dikaji berdasarkan penafsiran sosiologis atau teleologis maka ada cukup banyak pihak yang mendukung kehadiran Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan keluhuran dan martabat hakim dan mereka secara eksplisit menyatakan bahwa cakupan pihak yang diawasinya bukan hanya hakim di pengadilan pertama dan banding saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pendapat, seperti antara lain:

�...Komisi Yudisial ini tidak hanya ,,, untuk mengawasi para hakim agung saja, tetapi juga ... dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap tugas pengadilan di semua tingkatan� (Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, Makalah, Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan, Seminar yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, 13 Juli 2000)

�...kata hakim yang terdapat di dalam Pasal 24B ayat (1)...diartikan sesuai pembahasan...adalah hanya hakim agung bukan hakim yang lain� (Ahsin. A Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004, hlm. 175).

Berdasarkan seluruh uraian di atas yang mengkaji makna kata �hakim� seperti yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang dasar 1945 dengan menggunakan metode penafsiran suatu perundangan yang bersifat penafsiran sistematik, penafsiran otentik untuk melihat original intend-nya dan penafsiran sosiologis atau teleologis maka dapatlah disimpulkan bahwa hakim seperti tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya hakim pertama dan banding tetapi juga termasuk hakim agung.


3. Komisi Yudisial Mengawasi Hakim Termasuk Hakim Agung. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan �Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan�. Ketentuan lebih lanjut dan pelaksanaan atas pasal konstitusi a quo lahirlah beberapa Undang-undang, yaitu: Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Undang- undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-undang No. 9 Tahun





� 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang No. 24 Tahun 2005 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian pelaksanaan Pasal 25 UUD 1945 mengenai syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang- undang bukan merupakan undang-undang yang mengatur khusus tentang hal tersebut, tetapi merupakan bagian dari undang-undang yang mengatur tentang struktur organisasi, tugas dan fungsi lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman. Jadi tidak tepat alasan para Pemohon, karena syarat-syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditentukan oleh undang-undang yang berlainan tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak mampu menjangkau hakim agung, karena memang undang-undang pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut tidak mengatur tentang kedudukan hakim dengan pejabat peradilan tetapi karena menyangkut hubungan antara lembaga kekuasaan kehakiman maka hal tersebut diatur di dalam undang-undang payung, yaitu: UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan undang-undang payung bagi seluruh peraturan perundangan yang mengatur tentang pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Bab V, Kedudukan Hakim Dan Pejabat Peradilan di dalam Pasal 34 ayat (3) menyebutkan secara tegas kedudukan hakim dan hubungannya dengan Komisi Yudisial, yaitu Komisi Yudisial mempunyai kewenangan pengawasan terhadap hakim agung. Penafsiran para Pemohon yang menyatakan kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim Mahkamah Agung karena untuk menjadi hakim agung tidak seluruhnya berasal dari hakim tingkat I dan hakim banding, adalah merupakan penafsiran yang mengada-ada karena yang diawasi oleh Komisi Yudisial adalah para hakim agung termasuk hakim agung dengan tidak perlu dibeda-bedakan antara hakim karier atau hakim non karier.

Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Bagir Manan, SH, menyatakan �Menurut undang-undang, Komisi Yudisial mengawasi hakim�. Dengan demikian, secara a contrario, pejabat atau pegawai dilingkungan badan peradilan yang tidak bertugas sebagai hakim tidak berada dalam lingkup pengawasan Komisi Yudisial. Siapakah yang dimaksud hakim? Hakim dalam konteks





� pengawasan Komisi Yudisial adalah hakim yang menjalankan tugas yudisial (bertugas sebagai hakim). Hakim yang tidak sedang menjalankan tugas sebagai hakim melainkan dalam jabatan lain, misalnya sebagai pejabat administrasi di badan peradilan tidak termasuk yang diawasi Komisi Yudisial�. Berdasarkan pendapat Ketua Mahkamah Agung tersebut, maka amatlah jelas bahwa pendapat para Pemohon yang menyatakan hakim agung tidak terjangkau pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah merupakan pendapat yang keliru.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial ditujukan dan meliputi keseluruhan hakim, mulai dari hakim tingkat pertama, banding dan hakim agung di seluruh lingkungan peradilan;

Menimbang bahwa terhadap tanggapan Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, para Pemohon pada pokoknya menyatakan keberatan terhadap tanggapan tersebut;

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Juni 2006, telah di dengar keterangan di bawah sumpah, Ahli dari para Pemohon dan Saksi serta Ahli dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, masing-masing menerangkan, yang pada pokoknya sebagai berikut:




Ahli dari para Pemohon Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH. I. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Ketentuan Pasal 24B ayat (1) menyangkut mengusulkan pengangkatan hakim agung berkaitan dengan ketentuan Pasal 24A ayat (3):

�Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden�.

II. Isu Hukum

Apakah makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 termasuk juga hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi?



� Ill. Analisis

Analisis dilakukan dengan pendekatan contextualism terhadap ketentuan Pasal 24B ayat(1) UUD 1945.

Pendekatan Contextualism

Pendekatan yang dilakukan dalam interpretasi adalah contextualism or purposivism or Englihtened Literalism sebagaimana yang dipaparkan oleh Jan McLeod dalam bukunya Legal Method chapter 21: Modern Interpretation in practice. Pendekatan contextualism mendasarkan pada tiga asas, yaitu: asas noscitur a sociis, asas ejusdem generis dan asas expressio unius exclusio alterius.


a. Asas Noscitur a Sociis Asas ini mengandung makna: a thing is known by its associates (h.279). Hal itu mengandung makna bahwa arti sebuah kata ditentukan oleh konteksnya. Berdasarkan asas ini, makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 digunakan dalam konteks: ........dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Dengan demikian istilah hakim digunakan untuk wewenang Komisi Yudisial yang lain, yaitu selain mengusulkan pengangkatan hakim agung.


b. Asas Ejusdem Generis Asas ini mengandung makna of the same class. Dengan asas ini pertanyaan terkait adalah apakah dalam konteks Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, hakim agung termasuk dalam kelompok hakim yang terkait wewenang Komisi Yudisial yang kedua?

Dalam konteks ini hakim agung tidak termasuk kelompok hakim (of the same class) terkait wewenang lain (wewenang kedua) Komisi Yudisial. Andaikata wewenang lain itu termasuk hakim agung dalam konteks Pasal 24B ayat (1) haruslah secara tegas dinyatakan.

Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 yang menambah rumusan: menjaga kehormatan hakim agung dan hakim adalah inkonstitusional karena Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya merumuskan perilaku hakim. Selanjutnya Pasal 1 butir 5 UU No. 22




� Tahun. 2004 tentang Komisi Yudisial memperluas lagi sehingga menjangkau juga hakim Mahkamah Konstitusi.


c. Asas Expressio Unius Exclusio Alterius. Asas ini mengandung makna bahwa: the expression (or the inclusion) of one thing implies the exclusion of another.

Dengan asas ini berarti dengan berpegang pada makna hakim dalam konteks Pasal 24B ayat (1) tidaklah termasuk hakim agung maka haruslah ditolak ketentuan dalam undang-undang menyangkut kewenangan Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim dengan mengartikan hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi termasuk pengertian hakim dalam konteks Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. UU dimaksud saat ini adalah UU No. 4 Tahun 2004 (Pasal 34 ayat (3)) dan UU No. 22 Tahun 2004 (Pasal 1 butir 5).



IV. Kesimpulan Dengan pendekatan contextualism konsep hakim dalam konteks Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tidaklah termasuk Hakim Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Ahli dari para Pemohon Hobbes Sinaga, SH., MH.

TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945 (UUD 1945)

Kedudukan, fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Sebelum UUD 1945 mengalami perubahan, satu-satunya Lembaga Negara yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia yang membawahi lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang.

Setelah UUD 1945 mengalami perubahan maka dikenal adanya dua Lembaga Negara yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 :

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dari rumusan Pasal 24 ayat (1) di atas jelaslah bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan untuk menyelengarakan peradilan. Selanjutnya penyelenggaraan



� peradilan itu dilakukan adalah dalam rangka penegakan hukum dan keadilan oleh karena itu lembaga yang menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman sering disebut Lembaga Penegak Hukum dan Lembaga Keadilan. Namun demikian tidak semua Lembaga Penegak Hukum dan Lembaga Penegak Keadilan yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman. Hanya lembaga yang menyelenggarakan peradilan yang dengan tepat disebut Lembaga Negara yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman.

Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 :

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dan lingkungan peradiIan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) di atas, ada dua Lembaga Negara yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman dan berkedudukan sederajat satu dengan yang lain, tidak mengatasi dan tidak membawahi satu dengan yang lain yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,

Mahkamah Agung, sesuai dengan kedudukan, fungsi dan kewenangannya membawahi badan peradilan lainnya yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. UUD 1945 membatasi secara limitatif jenis dan lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Pada masing- masing lingkungan peradilan ini secara bertingkat dikenal pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding.

Menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 :

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang undang terhadap undang undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang undang.

Sesuai dengan bunyi Pasal 24A ayat (1) di atas, jelaslah bahwa Mahkamah Agung menyelenggarakan peradilan tingkat kasasi dan menjadi puncak dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.

Mahkamah Konstitusi sesuai dengan kedudukan, fungsi dan kewenangannya tidak membawahi badan peradilan lainnya karena tidak ada tingkatan peradilan seperti peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding dalam lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi.




� Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 :

Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dilihat dari sudut fungsi dan kewenangannya ada perbedaan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memutus pada tingkat kasasi segala perkara dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara serta menguji peraturan perundang-undang dibawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan 5 (lima) hal yaitu menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kesederajatan kedua lembaga negara ini ditandai dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda dan tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lain.

Cara Pengisian Keanggotaan Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi.

Menurut UUD 1945 ada perbedaan tentang cara pengisian keanggotaan Hakim Agung dengan Hakim Konstitusi.

Mengenai cara pengisian anggota Hakim Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (3) yang berbunyi:

Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tiga orang oleh Presiden.

Dari ketentuan di atas sudah jelas bahwa cara pengisian keanggotaan hakim konstitusi sudah ditentukan secara limitatif dan tidak ada penafsiran lain selain yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (3). Sebagai catatan tidak ada peranan Komisi Yudisial dalam rangka. pencalonan Hakim Konstitusi.

Dengan demikian tidak ada hubungan kelembagaan atau hubungan kerja antara Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Yudisial.



� Tentang cara pengisian keanggotaan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi :

Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (3) di atas, pencalonan seorang calon Hakim Agung dilakukan oleh suatu badan yang disebut Komisi Yudisial. Badan ini mempunyai tugas pokok yaitu mengusulkan calon-calon Hakim Agung. Tentang bagaimana tata cara rekruitmen calon-calon Hakim Agung diatur dengan undang undang.

Mengenai pencalonan Hakim Agung timbul pertanyaan; mengapa harus ada suatu badan yaitu Komisi Yudisial yang melakukan tugas rekruitmen calon-calon Hakim Agung?

Sebelum perubahan UUD 1945 dan sebelum Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan UUD 1945 yang melakukan fit and propertest untuk calon-calon Hakim Agung adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam menentukan siapa calon Hakim Agung yang lulus pada fit and propertest dan yang akan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat sering didasarkan pada pertimbangan politik dan kepentingan politik dari masing-masing fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya beberapa Hakim Agung yang terpilih dan kemudian keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden, kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat karena keanggotaannya sebagai Hakim Agung lebih ditentukan oleh pertimbangan politik dan kepentingan politik.

Berdasarkan pengalaman Ahli sebagai anggota PAH I BP MPR yang mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945 ide dan keinginan untuk membentuk suatu badan yang secara khusus bertugas untuk merekrut calon-calon Hakim Agung itu di dasarkan pada sistem recruitment yang lama yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Justru ide ini muncul pada saat PAH I sedang membahas Kekuasaan Kehakiman. Jelaslah bahwa munculnya suatu badan yang bernama Komisi Yudisial tidak lahir dari atau menjadi bagian dari Kekuasaan Kehakiman tetapi sesuatu badan yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman.

Sehubungan dengan hal di atas Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menegaskan :

Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.



� Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan Komisi Yudisial tidak menjalankan Kekuasaan Kehakiman tetapi suatu badan yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman khususnya dengan Mahkamah Agung.

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL

Ketentuan UUD 1945 mengenai Komisi Yudisial tercantum dalam Pasal 24B ayat (1):

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim

Ayat (2) ������.

Ayat(3) ...................

Ayat (4) :

Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-undang.

Jika ketentuan Pasal 24A ayat (3) dihubungkan dengan ketentuan Pasal 24B ayat (1) maka. kewenangan Komisi Yudisial adalah merekrut calon-calon Hakim Agung dan setelah mengalami penyelidikan dan penelitian serta memenuhi syarat kemudian calon-calon tersebut diusulkan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan dan kemudian calon-calon yang mendapat persertujuan diusulkan pengangkatannya kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung.

Sesuai dengan ketentuan di atas jelaslah bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak nyata-nyata ditentukan dalam UUD 1945. Kewenangannya hanya terbatas untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Kewenangan yang demikian tidak "penuh" karena pengangkatan dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 24A Ayat 3).

Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial tidak ditentukan didalam UUD 1945 melainkan didalam UU sebagaimana ditentukan dalam Ayat 4 diatas.

Dilihat dari sudut teori kewenangan maka setiap kewenangan yang diberikan harus mempunyai "kekuatan mengikat" oleh karena itu kewenangan juga mempunyai "akibat hukum".

Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial tidak mempunyai kekuatan mengikat karena sifatnya hanya "mengusulkan pengangkatan calon Hakim Agung" dan tidak mempunyai akibat hukum karena jika calon yang diusulkan tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak mendapat penetapan dari Presiden



� alias usulan ditolak, tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Dalam hubungan ini kewenangan yang bersifat penuh justru ada pada DPR yaitu memberikan persetujuan dan pada Presiden yaitu memberi penetapan kedua bentuk kewenangan ini mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai akibat hukum.

Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial bersifat tidak penuh, tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum.

Pengertian Wewenang Lain

Dalam ketentuan Pasal 24B Ayat (1) pada anak kalimat yang mengatakan :

mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hukum.

Pada waktu pembahasan Pasal-pasal yang mengenai Komisi Yudisial timbul pertanyaan :

1. Bagaimana cara Komisi Yudisial untuk merekrut calon-calon Hakim Agung?

2. Calon yang bagaimana yang layak diusulkan menjadi Hakim Agung?

3. Dari mana calon-calon Hakim Agung ini diperoleh?

Untuk menjawab pertanyaan No.1, para anggota PAH I BP MPR sepakat untuk memberikan wewenang lain kepada Komisi Yudisial. Dengan kewenangan ini Komisi Yudisial dapat mengadakan hubungan-hubungan. dengan cara tertentu untuk memperoleh calon-calon yang diharapkan.

Dengan demikian pengertian wewenang lain bukanlah pemberian wewenang yang bersifat penuh kepada Komisi Yudisial tetapi hanya sekedar menunjukan cara bagaimana memperoleh calon-calon yang layak diusulkan menjadi Hakim Agung. Jadi wewenang ini bersifat teknis/mekanistis.

Untuk menjawab pertanyaan No. 2, yaitu calon yang layak diusulkan menjadi Hakim Agung terkait dengan ketentuan Pasal 24A ayat (2) yang berbunyi :

Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum.

Mencari calon hakim Agung seperti dimaksud dalam Pasal 24A ayat (2) di atas sangat tidak mudah dan sangat sulit. Dalam hubungan inilah diberikan kewenangan lain kepada Komisi Yudisial yang tujuannya adalah dalam .rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.



� Menurut pendapat ahli, pengertian wewenang lain tidak berarti memberikan kekuasaan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, akan tetapi wewenang ini diberikan dalam rangka memperoleh calon Hakim Agung yang memiliki kualifikasi tersebut dalam Pasal 24A ayat (2) dan jika calon yang demikian diperoleh maka calon Hakim Agung yang diusulkan kepada DPR untuk disetujui dan kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi Hakim Agung adalah orang-orang yang mampu menjaga kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku yang baik.

Dengan demikian kata-kata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim justru ditujukan kepada calon-caion Hakim Agung yang akan diusulkan pengangkatannya.

Untuk menjawab pertanyaan No. 3, yaitu dari mana calon-calon Hakim Agung ini diperoleh, juga menjadi bahan pembahasan di dalam rapat-rapat PAH I BP MPR.

Seperti diketahui yang dicalonkan menjadi calon Hakim Agung tidak termasuk anggota Hakim Agung yang sudah ditetapkan oleh Presiden. Seorang Hakim Agung hanya mengalami sekali pencalonan dan jika sudah terpilih dan ditetapkan menjadi Hakim Agung mereka terikat dengan masa jabatan yang dikaitkan dengan batas umur pensiun.

Bertitik tolak dari aturan ini maka Komisi Yudisial harus mencari calon-calon Hakim Agung dari hakim-hakim yang berada dibawah Mahkamah Agung yaitu hakim-hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan .berpengalaman dibidang hukum dan hakim-hakim yang mampu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Dengan demikian menurut pendapat ahli, calon-calon Hakim Agung tersebut direkrut oleh Komisi Yudisial dari hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung. Hal ini juga berarti yang dimaksud dengan "Hakim" adalah hakim dibawah Mahkamah Agung dan tidak termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

PENDAPAT AHLI TERHADAP BEBERAPA PASAL DALAM UNDANG- UNDANG NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Pada BAB I KETENTUAN UMUM yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (5) berbunyi :

Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan disemua lingkungan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagai mana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



� Di dalam lampiran Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat penjelasan mengenai apa materi muatan atau isi dari suatu KETENTUAN UMUM. Menurut Undang-Undang ini ketentuan umum berisi :


a. Batasan pengertian atau defenisi b. Singkatan atau akronim yang .digunakan dalam peraturan c. Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.


Menurut pendapat ahli, ketentuan dalam Pasal 1 ayat (5) UU No. 22 Tahun 2004 di atas mestinya tidak mendefinisikan Hakim seperti dimaksud dalam UUD 1945, karena pengertiaannya menjadi sangat luas hingga mencakup Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Apabila pencantuman Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sengaja dimasukkan untuk mencerminkan asas, maksud, dan tujuan dibentuknya Undang-undang yang akan mengatur kedudukan, tugas/fungsi, dan 'wewenang Komisi Yudisial maka sejak awal sudah ada maksud dan tujuan yang menempatkan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sejajar atau sederajat dan atau berada di bawah Komisi Yudisial.

Pencantuman kata-kata: seperti dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah kurang tepat karena meng-generalisir maksud UUD 1945 untuk tujuan tertentu adalah tidak baik.

Berdasarkan uraian yang Ahli sampaikan di atas sudah jelas bahwa maksud dan tujuan di bentuknya Komisi Yudisial demikian juga pembahasan tentang tugas dan wewenang Komisi Yudisial yang dibatasi maka pencantuman kata-kata "seperti dimaksud dalam UUD 1945" Ahli menganggap berlebihan dan punya maksud serta tujuan tertentu.

Menurut pendapat ahli, yang di maksud dengan Hakim adalah hakim-hakim pada badan peradilan disemua peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Tegasnya tidak mencakup Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

Tentang Ketentuan BAB III WEWENANG DAN TUGAS-TUGAS, Pasal 13 yang berbunyi :

Komisi Yudisial mempunyai wewenang :


a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim



� Seperti sudah dijelaskan di atas tentang wewenang lain Komisi Yudisial, ahli berpendapat bahwa kata-kata Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim tidak memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk bertindak sebagai Penegak kehormatan dan keluhuran martabat dan tidak- memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk bertindak sebagai Penjaga perilaku hakim. Ketentuan Pasal 13 huruf b, menjadi dasar pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 20 yang berbunyi :

Dalam melaksanakan wewenang sebagai di maksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap prilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Menurut pendapat ahli, ketentuan Pasal 20 di atas telah melampaui batas wewenang Komisi Yudisial. Tugas pengawasan adalah suatu kekuasaan yang penuh dan mempunyai akibat hukum. Misalnya jika dibandingkan dengan fungsi DPR seperti diatur dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, ketentuan ini menunjukkan adanya tiga fungsi pokok DPR. Pengawasan adalah suatu fungsi pokok yang melahirkan kewenangan untuk bertindak dan hasil dari pengawasan tersebut mempunyai akibat hukum terhadap orang atau badan atau lembaga yang diawasi. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 20 yang memberi tugas pengawasan kepada Komisi Yudisial melampaui batas kewenangan seperti dimaksud dalam UUD 1945.

Selanjutnya, tidak lazim dan tidak layak tugas tambahan lebih besar dari tugas pokok. Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Komisi Yudisial. hanya berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, sebagai kelanjutan dari tugas Komisi Yudisial dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yaitu calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial. Sifat dari wewenang Komisi Yudisial ini tidak penuh dan tidak mempunyai akibat hukum. Karena yang menyetujui pengangkatan Hakim Agung adalah DPR dan yang menetapkan keanggotaan Hakim Agung adalah Presiden. Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur akibat hukum jika usulan Komisi Yudisial tidak disetujui DPR dan tidak ditetapkan Presiden. Dengan demikian tugas tambahan Komisi Yudisial yaitu mempunyai wewenang lain yang kemudian di artikan sebagai tugas melakukan



� pengawasan dalam Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004 lebih besar dari tugas pokok dan oleh karena itu tidak sesuai dengan maksud yang terkandung dalam UUD 1945.

Pendapat ahli terhadap ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004

Pasal 21 berbunyi :

Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagai mama dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sangsi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.

Sebelum memberikan pendapat terhadap ketentuan Pasal 21 di atas, perlu disampaikan kembali pendapat ahli tentang ketentuan Pasal 1 ayat (5) dan ketentuan Pasal 13 huruf b.

Mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (5) seperti telah dikemukakan di atas, Ahli berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah hakim-hakim pada badan peradilan di semua peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian ketentuan Pasal 1 ayat (5) tidak mencakup Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Selain itu kata-kata seperti di maksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah keliru dan justru bertentangan karena pada dasarnya tidak ada hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi.

Mengenai ketentuan Pasal 13 huruf b, Ahli telah mengemukakan pendapat bahwa pengertian wewenang lain yang dihubungkan dengan kata-kata menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim tidak memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk bertindak sebagai Penegak kehormatan dan keluhuran martabat dan tidak memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk bertindak sebagai Penjaga perilaku hakim. Selain itu Ahli juga berpendapat bahwa fungsi tambahan tidak boleh lebih besar dari fungsi pokok.

Sehubungan dengan pendapat-pendapat Ahli di atas jika dihubungkan ketentuan Pasal 21 maka Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan atau bertugas untuk mengusulkan usul penjatuhan sangsi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 21 telah melebihi batas wewenang dan lebih jauh lagi dapat melahirkan kekuasaan baru bagi Komisi Yudisial dan jika dijalankan akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang.



� Sekerdar mengingatkan sidang yang terhormat tentang ketentuan dalam Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang ditetapkan lebih dahulu, dalam Pasal 32 berbunyi :


(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasan kehakiman; (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya; (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkuatan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan; (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan; (5) Pengawasan dan kewenagan sebagai mana dimaksud ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara


Dengan tidak bermaksud mempertentangkan kewenangan antar Lembaga Negara dan hanya sekedar mengingatkan bahwa tugas pengawasan terhadap hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung sudah diatur terlebih dahulu di dalam UU No. 4 Tahun 2004. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 21 UU No. 22 Tahun 2004, Ahli berpendapat bahwa ketentuan ini tidak sesuai dengan maksud dan bertentangan dengan UUD 1945.

Sehubungan dengan pendapat-pendapat yang sudah ahli kemukakan di atas, maka ketentuan-ketentuan dalam Pasal 22 seluruhnya dan ketentuan Pasal 23 seluruhnya serta ketentuan Pasal 25 ayat (3), khususnya kata-kata yang berbunyi dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi dengan di hadiri seluruh anggota Komisi Yudisial, tidak diperlukan dan mohon dicabut.

Saksi dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Drs. Agun Gunandjar

Bahwa Komisi Yudisial muncul dalam pembicaraan-pembicaraan di Panitia Ad Hoc I, namun secara khusus dibicarakan menjelang menghadapi masa sidang pada tahun dua ribuan;



� Bahwa pembahasan tentang pengawasan para hakim sudah muncul pada tahun 1999 dengan menyoroti secara khusus keberadaan Mahkamah Agung yang sepertinya menjadi sebuah lembaga yang tidak tersentuh, terlebih-lebih pada saat DPR telah menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman berpucuk dan berpuncak di Mahkamah Agung yaitu dengan direvisinya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Pada pembahasan tahun 1999 tersebut Hamdan Zoelva menyatakan pentingnya sebuah pengawasan bahkan secara eksplisit menyebut sebuah dewan kehormatan;

Bahwa Fraksi Partai Golkar pada tanggal 8 Juni 2000 mengusulkan pada Pasal 25 ayat (3), bahwa pada Mahkamah Agung dibentuk Komisi Yudisial yang berfungsi melakukan recruitment, memberikan rekomendasi kepada MPR untuk mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung. Pemikiran yang ada pada saat itu, adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka lepas dari cabang eksekutif, yudikatif, dan legislatif;

Bahwa pada tanggal 29 Juli 2000 dalam rapat pleno Panitia Ad Hoc I pada akhirnya membedakan, Komisi Yudisial khusus menangani masalah pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung, sedangkan Dewan Kehormatan bertugas untuk mengontrol, dengan demikian usulan, gagasan, pemikiran tentang Komisi Yudisial bersamaan dengan dewan kehormatan. Namun dalam perjalanannya draft rancangan perubahan tersebut, tidak disetujui oleh Tim Ahli dalam hal ini Prof. Dr. Maria S.W Sumarjono posisi menempatkan dewan kehormatan pada Undang- Undang Dasar, tetapi lebih baik ditempatkan pada Undang-undang. Namun pada akhirnya mengenai Komisi Yudisial dengan Dewan Kehormatan tidak dapat diputuskan pada perubahan kedua tersebut, sehingga kemudian keluarlah Tap MPR Nomor 9 Tahun 2000 yang menugaskan kepada Badan Pekerja MPR untuk mempersiapkan rancangan perubahan berikutnya dengan melampirkan beberapa pasal yang tidak terselesaikan untuk dikerjakan kembali, yang hasilnya adalah Pasal 24B ayat (1) �Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh MPR atas usul Komisi Yudisial� ayat (2) � Komisi Yudisial bersifat mandiri yang susunan, kedudukan dan keanggotaannya yang diatur dengan Undang-undang� ayat (3) �ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih oleh Hakim Agung�. Kemudian Pasal 25A �untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dibentuk Dewan Kehormatan Hakim�;




� Bahwa ide pemikiran yang berkembang pada saat itu, mengenai pengawasan, adalah berangkat dari ide pemikiran yang sama yaitu sebuah dewan kehormatan;

Bahwa proses pengambilan keputusan untuk pasal Kekuasaan Kehakiman diputuskan dalam proses lobi, dan sidang paripurna diputuskan secara aklamasi, namun mengenai proses pengambilan keputusan tidak dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen seperti risalah rapat, mengingat pengambilan keputusan dilakukan dalam proses lobi yang dihadiri oleh pimpinan-pimpinan fraksi dan pimpinan majelis;

Bahwa Saksi menerangkan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai pasal-pasal tersebut, tetapi Saksi mengikuti detik demi detik perubahan tersebut, karena Saksi adalah Sekretaris Koordinator Panitia Ad Hoc I untuk Fraksi Partai Golkar;

Bahwa kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan, termasuk pengawasan para hakim, bukan hanya kepada para Hakim Agung semata; Sehingga yang dimaksud dengan hakim adalah seluruh hakim sebagaimana dimaksud Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena itu Dewan Kehormatan ditempatkan dalam Pasal 25A draft rancangan perubahan Undang- Undang Dasar 1945, hal tersebut juga didasarkan pada alasan, bahwa Pasal 25 menentukan syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan sebagai hakim diatur dalam undang-undang;

Bahwa hakim agung harus tertera secara eksplisit dalam Pasal 24B, oleh karena sistem pengangkatannya adalah sistem terbuka, sebab jika dirumuskan menjadi hakim, maka akan berbenturan dengan proses pengangkatan hakim di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang sistemnya adalah sistem tertutup. Sehingga rumusan hakim yang dimaksud dalam Pasal 24B Undang- Undang Dasar 1945, adalah hakim menjadi sebuah genus, dan dalam sejarahnya pun dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah seluruh hakim;

Bahwa Komisi Yudisial ditempatkan pada Pasal 24B, oleh karena Komisi Yudisial telah disebutkan dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945;

Bahwa perdebatan masalah Komisi Yudisial sangat erat kuat dengan keberadaan Mahkamah Agung pada saat itu, sedangkan pembicaraan mengenai keberadaan para hakim di Mahkamah Konstitusi, belum muncul dalam



� pembicaraan-pembicaraan, bahkan Fraksi Partai Golkar masih tetap konsisten dalam usulannya menempatkan Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Agung;

Bahwa penempatan kata hakim pada posisi Pasal 24B, adalah tetap konsisten dan berangkat dari ide pemikiran tentang pentingnya pengawasan terhadap para hakim termasuk Hakim Agung yang sudah amat membutuhkan perhatian, yang seluruhnya diserahkan dalam bentuk undang-undang;

Bahwa wewenang lain yang dimaksud dalam rumusan Pasal 24B adalah bukan pada posisi wewenang lain yang terkait dengan pengangkatan, tetapi wewenang lain yang dimaksud tersebut adalah sebagai bentuk dari draft yang memang sudah sejak dari awal yaitu melakukan menegakkan kehormatan perilaku hakim yang ada di Pasal 25A, yang akhirnya dimasukan ke dalam Pasal 24B di ayat (2);

Bahwa seluruh putusan-putusan di sidang majelis, diambil melalui aklamasi, termasuk Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Bahwa kata �dan� dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar adalah menyatakan sesuatu yang memang berbeda, antara wewenang yang satu dengan wewenang yang lain.

Bahwa pentingnya Komisi Yudisial dihadirkan adalah dalam rangka berlangsungnya mekanisme check and balances, bagaimana menciptakan sebuah Mahkamah Agung sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang benar-benar merdeka lepas dari intervensi pengaruh pihak manapun;

Bahwa berdasarkan fakta yang ada, perdebatan masalah Komisi Yudisial bukan hanya soal pengusulan, tetapi juga soal pemberhentian, bahkan berbicara juga soal pengawasan, hal tersebut secara faktual dapat dilihat dalam draft-draft rancangan perubahan, yaitu dalam rumusan yang dimaksud dengan pengangkatan dan pemberhentian dilakukan oleh Komisi Yudisial, tetapi kontrol untuk mengawasi dilakukan oleh sebuah dewan kehormatan hakim. Namun pada putusan akhir melalui proses lobi kedua masalah dimaksud digabungkan dalam satu pasal yakni Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Bahwa berdasarkan fakta, wewenang lain dimaksud terlepas dan tidak concordant dengan recruitment hakim agung sebagai satu kesatuan, tetapi muncul sebagai akibat dari Pasal 25A mengenai dewan kehormatan yang pada saat itu ada, yang akhirnya menjadi kewenangan Komisi Yudisial;




� Ahli dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Dr. Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D.

Pendapat hukum ini terutama akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar berikut:


1. Bagaimanakah sebaiknya metode interpretasi konstitusi dari sisi hukum tata negara? Apakah tepat interpretasi Pemohon atas Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bahwa yang dapat diawasi Komisi Yudisial hanyalah hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding semata; sedangkan hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc tidak dapat diawasi oleh Komisi Yudisial? 2. Mengapa tidak hanya hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding yang penting diawasi tetapi juga hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc? 3. Apakah tepat pendapat yang mengatakan bahwa pengawasan atas hakim akan melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman? 4. Bagaimanakah perbandingan fungsi Komisi Yudisial di negara-negara lain, terutama dalam hal pengawasan hakim?


Berikut adalah penjelasan satu persatu dari keempat persoalan di atas. I. TENTANG METODE PENAFSIRAN KONSTITUSI (CONSTITUTIONAL INTERPRETATION)

1. Ada banyak cara untuk menafsirkan konstitusi (constitutional interpretation). Diantaranya adalah metode literal dan legalistik; kaku dan dangkal; progressif; mengacu pada pengertian sebelumnya (stare decisis); mengacu pada niat pembuat konstitusi (purposive); dan umum atau liberal.

2. Berdasarkan keenam metode tersebut, tidak ada satupun metode yang dapat dikatakan mendukung dalil pemohon bahwa kata "hakim" pada ujung Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mencakup pengertian: hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc.


� Jikalaupun dipaksakan, mungkin hanya metode yang kaku dan dangkal (strict and narrow) yang seakan-akan membenarkan argumen bahwa kata "hakim" di ujung Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mencakup "hakim agung", "hakim konstitusi" maupun "hakim ad hoc". Namun, itu berarti sama sekali tidak terjadi perluasan (ekstensifikasi) pengertian



� atas kata "hakim" dalam Undang-undang Komisi Yudisial, sebagaimana selalu didalilkan oleh para Pemohon. Alih-alih terjadi perluasan, dengan mengartikan kata "hakim" sangat terbatas demikian, yang terjadi justru sebaliknya adalah penyempitan makna dari kata "hakim". � Berdasarkan metode literal dan legalistik - terkadang disebut textualism, "hakim" harus dilihat sebagai kata pengertian "umum". Sedangkan "hakim agung", "hakim konstitusi", "hakim ad hoc", "hakim kepailitan", "hakim tindak pidana korupsi" dan jenis hakim lainnya adalah pengertian "khusus". Artinya, kata "hakim" akan mencakup semua jenis hakim sebagai profesi, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi, hakim ad hoc danlatau hakim apapun yang di masa datang akan muncul berdasarkan peraturan perundangan. � Berdasarkan metode purposive (kadang disebut metode original intent atau original meaning), sudah tegas-jelas dikatakan oleh para the second founding parents dalam sidang sebelumnya bahwa: arti kata "hakim" dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah mencakup seluruh hakim, tidak terkecuali hakim agung. Harun Kamil dalam persidangan sebelumnya tegas menyimpulkan original intent Pasal 24B ayat (1) adalah: Pada akhirnya kami sampaikan bahwa ... kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan daripada hakim, apa yang disimpulkan dari seluruh rangkaian pembicaraan yang ada pada kewenangan Komisi Yudisial adalah telah sampai pada tingkat Mahkamah Agung. (cetak tebal oleh Ahli).

Sedangkan "hakim konstitusi" kata mereka memang tidak secara jelas dibahas. Namun bukan berarti bahwa hakim konstitusi tidak termasuk kata "hakim" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Menurut Ahli, tidak dibahasnya hakim konstitusi itu lebih pada persoalan sistematika pembahasan amandemen UUD 1945 yang tidak runtut serta tidak pula terencana secara rapi.



3. Meskipun ada banyak metode mengartikan konstitusi, pengartian demikian harus tidak boleh bertentangan dengan konsep moralitas konstitusional (constitutional morality). Karena, "Constitution is a


� reflection of larger moral truths". Yang artinya "Constitution cannot be properly understood without reference to those moral truths." � Padahal, salah satu pesan moral utama yang ada di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berkait erat dengan "masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim...untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum". � Ditegaskan pula bahwa adanya ketentuan konstitusi tentang Komisi Yudisial didasarkan pada pesan moral konstitusional bahwa, "hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan".


4. Selain bertentangan dengan moralitas konstitusional, interpretasi bahwa Komisi Yudisial hanya berhak mengawasi hakim tingkat pertama dan banding adalah interpretasi yang tidak tepat karena bersifat diskriminatif dan kolutif. Diskriminatif karena hanya memberlakukan pengawasan eksternal kepada hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi tidak kepada hakim yang lain, termasuk tidak pada Pemohon (hakim agung). Serta kolutif, karena pengawasan hakim agung oleh Mahkamah Agung sendiri akan lebih mengundang potensi penyimpangan, ketimbang pengawasan dari Komisi Yudisial yang lebih konsisten dengan pnnsip dasar konstitusionalisme: sistem saling kontrol saling imbang (checks and balances system). 5. Apalagi, dengan mengartikan bahwa pengawasan Komisi Yudisial tidak berhak mengawasi hakim agung, Pemohon nyata-nyata tidak konsisten. Cetak Biru Mahkamah Agung dan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial - yang dibuat sendiri oleh Mahkamah Agung - nyata-nyata menyatakan Komisi Yudisial berhak mengawasi hakim agung. Berikut adalah beberapa argumen utama yang menunjukkan hal tersebut. � Ketika mengartikan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, cetak biru Mahkamah Agung menegaskan bahwa, "memperhatikan pilihan kalimat dan penjelasan dari PAH I MPR, maksud dan fungsi tersebut adalah pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim Agung).




� � Berbicara urgensi pengawasan dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Agung berpendapat:


Melihat fungsi dan tugas Komisi Yudisial dan menyadari permasalahan di pengadilan, Komisi Yudisial harus memprioritaskan pada tugas pengawasan dan pendisiplinan hakim. Lebih jauh, skala priotitas lanjutan dalam pelaksanaan tugas tersebut adalah pengawasan dan pendisiplinan terhadap hakim-hakim yang menduduki posisi penting dan yang berada di tingkat pengadilan yang paling menentukan. Mereka adalah pimpinan pengadilan di semua tingkat, hakim yang memegang jabatan struktural tertentu dan hakim agung. Berkait dengan hakim konstitusi, blue print Mahkamah Konstitusi juga secara tegas menyatakan bahwa, "menjadi penting bagi MK, untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak ekstemal yang memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum maupun MK."



II. TENTANG URGENSI KONSTITUSIONALITAS (CONSTITUTIONAL IMPORTANCE) KOMISI YUDISIAL MENGAWASI SEMUA HAKIM Urgensi konstitusionalitas (constitutional importance) dari pengawasan hakim tidak dapat dinyatakan hanya berlaku pada hakim pengadilan pertama dan hakim banding, tetapi tidak berlaku pada hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc. Sewajibnya semua hakim haruslah diawasi. Hal itu karena beberapa alasan berikut:

1. Bahwa alasan pengawasan adalah untuk mengurangi potensi terjadinya korupsi peradilan. Padahal sudah menjadi pendapat umum bahwa seluruh proses peradilan relatif terjangkiti potensi judicial corruption - tidak terkecuali di Mahkamah Agung. Beberapa contoh pendapat yang dapat dikutip pada kesempatan ini, yang berkait dengan perlunya hakim agung di awasi, adalah:


a. Corruption has been institutionalised in the judiciary, especially in the Supreme Court, an institution notorious in this regard.





� b. Menurut polling di Kompas:


"Penilaian negatif publik dalam memandang sosok lembaga MA kini cenderung membesar. Sebanyak 62 persen responden memandang citra MA buruk, dan hanya 29 persen menilai baik". "Publik pun kini sangat percaya bahwa keputusan hukum bisa dibeli dengan uang, termasuk di tingkat MA, sebagaimana disuarakan hampir seluruh responden (90 persen)".

"Bercermin dari penanganan berbagai kasus kasasi, hampir 90 persen responden percaya para hakim agung tidak bebas suap atau KKN. Selain tidak percaya MA bersih dari korupsi, kepercayaan pada kemampuan MA memperbaiki dan membersihkan diri dari mafia peradilan pun kian diragukan publik".

2. Bahwa alasan untuk mengecualikan hakim agung dan Komisi Yudisial dan menyerahkan pengawasan mereka kepada Mahkamah Agung sendin tidak tepat karena: Mahkamah Agung sendiri dalam Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial mengakui bahwa pengawas eksternal dibutuhkan karena pengawasan internal mempunyai permasalahan-permasalahan berikut:


a. kurangnya transparansi dan akuntabilitas; b. adanya dugaan semangat membela korps; c. kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode pengawasan yang ada secara efektif; d. kelemahan sumber daya manusia; e. pelaksanaan pengawasan selama ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat. f. rumitnya birokasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku hakim yang menyimpang.


3. Bahwa alasan public distrust dan bermasalahnya pengawasan internal Mahkamah Agung itulah yang sebenarnya menjadi salah satu dasar utama lahirnya Komisi Yudisial, terutama pada bagian, "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim". Alasan mana tidak akan terlaksana jika kemudian pengawasan tidak pula dilakukan kepada Pemohon (hakim agung).


� III. TENTANG PENGAWASAN TIDAK MELANGGAR PRINSIP KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

Ada pendapat bahwa pengawasan atas hakim akan melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Pendapat demikian keliru karena argumentasi-argumentasi berikut:


1. Pemohon (hakim agung) tidak tepat berargumen bahwa pengawasan Komisi Yudisial melanggar kemandirian kekuasaan kehakiman, karena akan terkesan kuat tidak konsisten. Sebab, kemandinan kekuasaan kehakiman tidak hanya dimiliki para Pemohon (hakim agung), tetapi oleh semua hakim. Artinya kalau memang pengawasan Komisi Yudisial dianggap melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman, maka pengawasan itupun - quod non - tidak dapat dilakukan pada hakim tingkat pertama maupun hakim tingkat banding. 2. Terlebih, prinsip kemandinan kekuasaan kehakiman bukanlah prinsip hukum yang berdiri sendiri. Prinsip tersebut harus berjalan seiring dengan prinsip hukum transparansi dan akuntabilitas. Kedua prinsip transparansi dan akuntabilitas itulah yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan para hakim oleh Komisi Yudisial. Mengenai pentingnya prinsip kemandirian bersama-sama dengan transparansi dan akuntabilitas tersebut, Warwick Soden seorang Kepala Panitera Pengadilan Federal Australia berpendapat: "If the issues of transparency, accountability and judicial independence operate effectively in the administration of justice, the risk of corruption is greatly reduced."

Lebih jauh Warwick Soden berargumentasi:

"Transparency, accountability and independence are the ingredients of a successful judicial system and one that is capable of fighting corruption. Maintaining these elements are essential for supplying the judicial system with the public confidence it needs to remain legitimate. Each of the ingredients are like gears in a machine. By themselves they are important but, together, they make the machine work."


3. Khusus tentang pentingnya transparansi sebagai bentuk pengawasan proses peradilan, Rifki Assegaf dan Josi Katarina secara tepat mengutip



� pendapat Jeremy Bentham yang menegaskan: "dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya. Hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala bentuk ketidakadilan di lembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim 'diadili' saat ia mengadili (perkara)."


4. Sebagai perbandingan Pasal 3 ayat 1 Konstitusi Amerika Serikat amat jelas mengawinkan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman dengan prinsip akuntabilitas: The judicial Power of the United States, shall be vested in one Supreme Court, and in such inferior Courts as the Congress may from time to time ordain and establish. The Judges, both of the supreme and inferior Courts, shall hold their Offices during good Behaviour, and shall, at stated Times, receive for their Services a Compensation, which shall not be diminished during their Continuance in Office.

Tergambar bahwa kemandirian hakim yang tercermin dari proses pemberhentiannya yang tidak bisa sembarangan, serta gaji hakim yang tidak dapat diturunkan selama masa jabatannya, disandingkan dengan prinsip akuntabilitas (good behaviour). Jelas bahwa independence of judiciary harus dilaksanakan dengan moralitas dan integritas perilaku hakim yang terjaga, dan karenanya seluruh hakim penting untuk diawasi.


5. Secara hukum internasional pun banyak konvensi yang menegaskan kemandirian kekuasaan kehakiman harus berjalan seiring dengan prinsip akuntabilitas atau integritas. Misalnya, dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002, prinsip independensi bersanding dengan imparsialitas dan integritas - di samping masih banyak lagi prinsip-prinsip hukum lainnya.


6. Berdasarkan argumen-argumen di atas maka, nyatalah bahwa prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman tidaklah berjalan sendirian, tetapi harus dikawal dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas (integritas)


� yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan terhadap perilaku para hakim agar tidak menyimpang dari asas good behaviour. Berkait dengan keberadaan Komisi Yudisial yang melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim, penelitian Wim Vormans menyimpulkan bahwa: keberadaan Komisi Yudisial di beberapa Negara Eropa justru berdampak positif atas independensi peradilan.

IV. PERBANDINGAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DI BEBERAPA NEGARA

Sebagai perbandingan ketatanegaraan dapat disampaikan bahwa keberadaan Komisi Yudisial mulai menjadi trend di negara yang bercirikan demokrasi modern. Ahsin Thohari mencatat hingga tahun 2004, ada 43 negara yang telah membentuk Komisi Yudisial, meski dengan penamaan yang beraneka ragam.

1. Di banyak negara, fungsi pengawasan atau pendisiplinan Komisi Yudisial sudah jamak dan tidak pernah terbatas berlaku hanya untuk level hakim tertentu - sebaliknya berlaku untuk semua hakim. Di antara fungsi-fungsi tersebut beberapa di antaranya justru lebih kuat dibandingkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial yang ada di Indonesia, misalnya:


� Pasal 174 (3) dan 6, serta Pasal 177 (3) Konstitusi Afrika Selatan menegaskan bahwa Judicial Service Commission berhak memberikan rekomendasi dalam pemberhentian hakim; mengajukan calon Ketua Mahkamah Agung; memberikan masukan dalam hal pengangkatan Ketua serta Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. � Pasal 99 (4), 114 (1) dan 114 (3) Konstitusi Argentina mengatur bahwa Council of Magistracy berhak: 1. Mengajukan calon hakim agung; 2. Bertanggungjawab atas seleksi hakim dan administrasi kekuasaan kehakiman; 3. Mengembangkan pemilihan hakim tingkat bawah melalui kompetisi publik; 4. Mengeluarkan usulan tiga nama hakim tingkat bawah; 5. Mengurus sumber daya untuk administrasi pengadilan;




� 6. Melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim; 7. Memutuskan pemberhentian hakim; dan 8. Mengeluarkan peraturan tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan.


� Pasal 123 Konstitusi Kroasia menegaskan bahwa National Judicial Council berfungsi, "mengangkat dan memberhentikan hakim dan memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kedisiplinannya." � Pasal 64 (1) (2) dan 65 (5) dan (6) Konstitusi Perancis mengatur bahwa Counseil/Superieur de la Magistrature (High Council of the Judiciary) berwenang, membantu Presiden dalam menegakkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman; mengusulkan pengangkatan hakim agung, merekrut hakim banding dan hakim pada pengadilan tingkat pertama; serta bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim. � Pasal 273 Konstitusi Thailand mengatur bahwa Judicial Commission of the Court of Justice berhak, memberikan persetujuan dan pengangkatan hakim agung; memberikan persetujuan tentang promosi, kenaikan gaji dan menghukum hakim agung.


2. Dari perbandingan ketatanegaraan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan: � Komisi Yudisial jamak mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengawasi dan mendisiplinkan hakim. Bahkan Komisi Yudisial berhak menghukum dan memberhentikan hakim, yang di Indonesia kewenangan langsung menghukum dan memberhentikan tersebut justru tidak diadopsi. � Komisi Yudisial justru lebih fokus untuk menghukum hakim agung, bukan berkonsentrasi pada pengawasan hakim banding dan hakim tingkat pertama sebagaimana didalilkan Pemohon (hakim agung). � Tidak ada satu negarapun yang membatasi fungsi pengawasannya untuk tidak mengawasi hakim agung.



� V. KESIMPULAN


1. Berdasarkan constitutional interpretation hakim menurut Pasal 24B adalah seluruh hakim, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc. 2. Berdasarkan constitutional importance untuk mengurangi potensi korupsi peradilan pengawasan Komisi Yudisial perlu dilaksanakan kepada seluruh hakim, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc. 3. Berdasarkan constitutional morality interpretasi yang membatasi pengawasan Komisi Yudisial tidak konsisten dengan moralitas konstitusional karena cenderung diskriminatif dan kolutif. 4. Pengawasan oleh Komisi Yudisial tidak melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman (independence of the judiciary), karena prinsip itu wajib berjalan seiring dengan transparansi, akuntabilitas dan/atau integritas. 5. Berdasarkan comparative constitutional law pengawasan dan pendisiplinan kepada seluruh hakim oleh Komisi Yudisial adalah hal yang jamak, bahkan - berbeda dengan dalil Pemohon (hakim agung) - titik beratnya justru ada pada pengawasan hakim-hakim agung.


Ahli dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Prof. Dr. Mahfud MD. Bahwa pertama, dari sudut pengertian politik hukum adalah arah yang dikehendaki oleh hukum atau arah tentang hukum yang akan diberlakukan, dalam konteks Komisi Yudisial maka keinginan pembentuk undang-undang atau pembentuk Undang-Undang Dasar tentang Komisi Yudisial dan segala kewenangannya adalah politik hukum.

Politik hukum dapat dipahami dari kalimat yang ada, sejauh kalimat tersebut jelas dan tidak diperdebatkan, kalau ternyata menimbulkan perdebatan, maka politik hukum dapat dicari dari latar belakang historis munculnya gagasan tentang pembentukan Komisi Yudisial, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang Dasar mengenai Komisi Yudisial;

Kedua, bahwa hukum yang berlaku di suatu negara atau hukum tata negara Indonesia, tidak harus mengikuti teori-teori atau hukum yang berlaku di negara lain. Oleh sebab itu, maka yang dipakai adalah apa yang sebenarnya tertulis di dalam



� Konstitusi oleh negara atau bangsa yang bersangkutan, hal itulah yang dinamakan politik hukum.

Bahwa berkait dengan itu semua, maka lahirnya Komisi Yudisial, sejauh yang Ahli baca dari risalah MPR, adalah dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pengawasan terhadap Mahkamah Agung, hakim-hakim agung, dan semua hakim secara internal lemah, serta tidak ada lagi lembaga pengawasan internal yang bisa dipercaya;

Bahwa di dalam risalah tanggal 8 Juni 2000, dalam buku kedua jilid tiga halaman 434, dikatakan �Komisi Yudisial mengawasi Hakim Agung dan hakim pada semua tingkatan�, dan Ahli juga ingin mengatakan bahwa sampai berakhirnya perumusan Pasal 24B tersebut tidak ada satu pun yang membantah di dalam sidang Panitia Ad hoc tersebut. Kemudian tanggal 26 September 2000, Zein Badjeber mengatakan bahwa �Komisi Yudisial bukan hanya menyangkut Hakim Agung, tapi seluruh hakim�. Selanjutnya Hamdan Zoelva mengatakan, �tidak ada lembaga yang bisa mengawasi tingkah laku Hakim Agung, sehingga diperlukan lembaga seperti lembaga yudisial. Kemudian Agun Gunanjar mengatakan, �Komisi Yudisial bukan hanya mengurus pengangkatan Hakim Agung, tetapi juga mengawasi dan mengontrolnya�. Pernyataan-pernyataan tersebut muncul dan tertulis di dalam risalah, dan sampai akhir persidangan tidak ada yang membantah. Hal tersebut berarti pikiran-pikiran seperti dimaksud kemudian disetujui, oleh karena itu rumusan-rumusan tersebut dikristalisasikan yang pada akhirnya memang meng- cover hal dimaksud. Melihat latar belakangnya, maka dapat ditafsirkan politik hukum dari Komisi Yudisial adalah mengawasi Mahkamah Agung;

Bahwa mengenai Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung, disebutkan dalam buku Cetak Biru Mahkamah Agung halaman 93, 99, 105, dan 238, bahkan di halaman 238 tersebut merupakan program kerja Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Agung akan mendorong lahirnya Komisi Yudisial yang mengawasi hakim termasuk Hakim Agung. Kemudian naskah akademik Rancangan Undang- undang Komisi Yudisial yang dibuat oleh Mahkamah Agung, halaman 26, 45, dan 58 menyebut Hakim Agung, dan yang tertulis di dalam naskah akademik dan cetak biru bukanlah merupakan politik hukum, tetapi memberikan konfirmasi, terhadap Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial;

Bahwa ada politik hukum lain yang belum disebut, yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang membedakan antara



� hakim karier dan hakim non karier untuk Hakim Agung, sedangkan hakim tinggi dan hakim tingkat pertama adalah hakim karir. Oleh sebab itu harus disebutkan secara terpisah, karena cara rekruitmennya berbeda, politik hukum tersebut kemudian diabstraksi masuk di dalam perumusan Pasal 24 dimaksud. Hal tersebut juga pernah dilakukan terhadap Pemerintahan Daerah;

Bahwa Hakim Agung rekruitmennya melewati seleksi oleh Komisi Yudisial, sedangkan hakim termasuk Hakim Agung pengawasannya dilakukan oleh Komisi Yudisial;

Ahli dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Prof. Dr. Amran Halim

Bahwa dari sudut ilmu bahasa Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 merupakan sebuah kalimat yang mempunyai dua anak kalimat yang setara, karena ada kata �dan�. Itu berarti bahwa yang terdapat di sebelah kiri kata �dan� dengan yang terdapat di sebelah kanan kata �dan� yang pertama mempunyai kedudukan yang sama dan setara artinya. Artinya, kedua bagian ini mempunyai kedudukan yang sama dan mempunyai fungsi yang sama.

Bahwa kalimat yang pertama tidak mengatasi yang kedua, yang kedua tidak mengatasi yang pertama, karena keduanya betul-betul setara. Kesetaraannya itu berbentuk anak kalimat. Anak kalimat yang pertama �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung�. Anak kalimat yang kedua dibaca �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga ...�. Dari sudut bahasa, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bagian pertama hanya mengenai Hakim Agung, sedangkan bagian keduanya mencakup semua hakim;

Bahwa dalam anak kalimat yang kedua, terdapat dua kata �dan�, namun agar jangan membosankan �dan� yang kedua diganti dengan �serta�, yaitu wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;

Bahwa dalam kalimat pertama yang menjadi tujuan atau sasarannya adalah pengangkatan Hakim Agung, sedangkan kalimat kedua yang menjadi tujuan atau sasarannya pengawasan hakim. Dari sudut bahasa kata hakim dimaksud adalah seluruh hakim. Sehingga Komisi Yudisial mempunyai wewenang pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, dalam hal ini seluruh hakim;



� Kata �lain� berfungsi memperkeras makna kalimat tersebut, yang menunjukkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai dua wewenang. Wewenang yang pertama mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Di samping itu ada wewenang lain yaitu dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dengan demikian dalam kalimat tersebut tidak terdapat benturan antara Hakim Agung dan hakim;

Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, tanggal 8 Juni 2006, yang menguraikan sebagai berikut:

I. Tentang Kedudukan Pihak Terkait Tidak Langsung.

Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (5) dan ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1) huruf g Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung dapat mengajukan permohonan untuk didengar pendapatnya. Bahwa untuk dapat diterimanya permohonan ini, maka akan dijelaskan kepentingan tidak langsung kami.

Bahwa kami adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan kami sendiri di tengah masyarakat, baik secara sendiri ataupun bersama-sama, bergerak dan berminat atas dasar kepedulian untuk dapat mendorong terwujudnya peradilan yang bersih di Indonesia.

Bahwa tugas dan peranan pihak terkait tidak Iangsung dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan advokasi dan pemantauan sebagai sarana untuk memperjuangkan peradilan yang bersih, profesional, berwibawa dan mandiri (independen), tercermin dan atau ditentukan di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga lembaga kami.

Bahwa dalam menjalankan tugas dan peranannya tersebut, baik secara tersendiri atau bersama-sama, Pihak Terkait Tidak Langsung secara nyata dan terus menerus membuktikan dirinya peduli dan berperan aktif dalam mendorong terwujudnya dunia peradilan yang bersih dan berwibawa. Dalam



� rangka itu kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing Pihak Terkait Tidak Langsung adalah sebagai berikut;


� KRHN telah aktif mendorong dan melakukan pemantauan perubahan konstitusi, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan bersama-sama Mahkamah Konstitusi dalam menyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi; dan saat ini juga sedang aktif melakukan pemantauan terhadap pengadilan tindak pidana korupsi. � ICW telah aktif dalam melakukan pemantauan putusan-putusan pengadilan khususnya dalam putusan korupsi dengan melakukan Eksaminasi- Eksaminasi Publik atas putusan-putusan pengadilan dan telah dibukukan dalam beberapa buku. Selain itu ICW saat ini juga sedang aktif menyusun track record hakim-hakim khususnya di Jakarta (judicial tracking), serta aktifitas-aktifitas lainnya. � LBH Jakarta telah aktif dalam melakukan bantuan hukum terhadap kaum marjinal sejak tahun 1970 an, advokasi berbagai kasus dan saat ini tengah aktif melakukan advokasi terhadap pemberantasan mafia peradilan dengan melibatkan komponen masyarakat. � Kontras, telah aktif melakukan Advokasi dan Pemantauan Persidangan kasus-kasus Pelanggaran berat HAM (adhoc) kasus Timor-Timur (2002- 2006), Tanjung Priok. (2003-2006) dan Abepura (2004-2005), Advokasi dan Pemantauan Penyusunan Undang-undang, selain itu Kontras juga terlibat secara aktif dalam upaya advokasi pemenuhan hak-hak korban diwilayah konflik.


Bahwa selain aktifitas-aktifitas di atas, secara bersama-sama dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), selama ini juga aktif dalam upaya-upaya Iainnya dalam rangka mendorong terwujudnya peradilan Indonesia yang bersih dan berwibawa, baik dalam bentuk konfrensi pers, pernyataan-pernyataan sikap, maupun tindakan-tindakan Iainnya: Khusus mengenai Komisi Yudisial, KPP pun berperan aktif dalam menyikapi kondisi terakhir berkaitan dengan hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Bahwa aktivitas-aktivitas tersebut baik secara kelembagaan maupun koalisi menunjukkan bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung merupakan pihak yang memiliki kepedulian serta komitmen yang tinggi terhadap terwujudnya dunia



� peradilan Indonesia yang bersih dan berwibawa seperti yang disyaratkan dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK No. 06/PMK/2005.

Bahwa keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga/institusi negara yang memiliki kewenangan yang sah secara konstitusional sangatlah sejalan dengan tujuan kami sebagai Pihak Terkait Tidak Langsung. Selain sejalan Keberadaan Komisi Yudisial dengan kewenangannya tersebut juga sangat membantu kami dalam melakukan aktivitas-aktivitas kami dalam melakukan advokasi dan pemantauan terhadap dunia peradilan di Indonesia:

Bahwa berdasarkan aktivitas-aktivitas yang telah Pihak Terkait Tidak Langsung lakukan serta berdasarkan hasil evaluasi atas aktivitas-aktivitas tersebut kami telah mencapai suatu kesimpulan bahwa pembenahan dunia peradilan khususnya kekuasaan kehakiman hanya akan efektif jika pada puncak-puncak institusi Kekuasaan Kehakiman tersebut yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berisi Hakim-Hakim Agung serta Hakim-Hakim Konstitusi yang bersih dan berwibawa. Bahwa untuk menjamin hal tersebut maka terhadap para hakim yang berada pada puncak Kekuasaan Kehakiman tersebut perlu untuk dilakukan pengawasan.

Komisi Yudisial setidaknya hingga detik ini secara yuridis konstitusional memiki kewenangan pengawasan terhadap para hakim yang berada dalam puncak Kekuasaan Kehakiman tersebut. Permohonan para Pemohon yang intinya adalah menghendaki agar Mahkamah Konstitusi yang terhormat menyatakan bahwa beberapa Pasal dalam 2 (dua) undang-undang in casu bertentangan dengan konstitusi memiliki konsekuensi hilangnya kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi (serta hakim ad hoc). Hilangnya kewenangan tersebut tentunya sangat berdampak baik secara langsung terhadap kepentingan kami sebagai Pihak Terkait Tidak Langsung yang selama ini mendambakan hadirnya dunia peradilan yang bersih dan berwibawa di Indonesia.

Bahwa dengan kemungkinan hilangnya kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim agung dan hakim konstitusi juga berdampak terhadap hilangnya hak dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi aktif melakukan pengawasan. Sekaligus akan menghambat proses pembaruan dan perubahan peradilan yang senantiasa harus diawasi dari kemungkinan keterpurukan yang lebih buruk.



� Il. TANGGAPAN ATAS POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON

Bahwa pada pokoknya para Pemohon memohonkan agar


� Pasal 1 angka 5, Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2) dan (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24, 24B, 24C dan 25 UUD 1945 sepanjang yang menyangkut Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. � Menyatakan Pasal-pasal tersebut di atas tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Rl dan Hakim Mahkamah Konstitusi.


Bahwa pada intinya para Pemohon beralasan bahwa makna kata �hakim� dalam Pasal 24B (1) UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Ketentuan dalam UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa Komisi Yudisial berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi dipandang para Pemohon bertentangan dengan Pasal 24B (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Komisi Yudisial tidak berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Dan sebagai konsekwensi lebih lanjut Komisi Yudisial juga tidak berwenang memberikan usul pemberian sanksi kepada Hakim Agung karena hal itu akan menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin UUD 1945. Sehubungan dengan hal itu, Pihak Terkait Tidak Langsung tidak sependapat dengan para Pemohon dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Penafsiran Sistematik Pengertian Hakim dalam Bab IX UUD 1945

Apakah benar bahwa kata Hakim dalam kalimat terakhir Pasal 24B ayat (1) hanya merujuk pada Hakim pada Hakim Karir pada Pengadilan Tingkat I/Negeri dan Pengadilan Banding.

Jika ditinjau secara sistematik Bab IX UUD 1945 yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman istilah hakim semata � seperti hakim agung atau hakim konstitusi hanya terdapat dalam 2 Pasal, yaitu dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945.



� Jika para Pemohon berpendapat bahwa makna kata Hakim berarti hanyalah Hakim (karir) yang berada pada Pengadilan Tingkat I dan Banding hal ini menjadi sangat janggal. Oleh karena seakan yang diperintahkan oleh UUD untuk diatur mengenai syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim seperti yang diperintahan dalam Pasal 25 UUD 1945 hanyalah hakim tingkat I dan Banding semata, dan Hakim Konsitusi (Pasal 24C ayat (5)), mengingat dalam Bab IX UUD 1945 tak ada satu Pasal atau ayat pun yang memerintahkan secara tegas bentuk peraturan yang harus dibuat untuk mengatur syarat pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung. Padahal kita semua mengetahui bahwa Hakim Agung merupakan hakim yang secara kedudukan berada di atas hakim tingkat I dan banding.

Atas dasar hal di atas maka tidaklah berlebihan jika yang dimaksud dengan kata Hakim yang terdapat dalam Pasal 25 yang selengkapnya berbunyi: �Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-undang�, adalah meliputi semua hakim yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman. Berarti kata �hakim� yang terdapat dalam Pasal 24 B ayat (1) khususnya pada akhir ayat tersebut juga berarti meliputi seluruh hakim yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Hakim Tingkat I, Banding, serta semua Hakim Ad Hoc.

2. Penafsiran Historis Istilah Hakim

Bahwa telah menjadi pengetahuan umum bahwa yang dimaksud adalah hakim adalah keseluruhan hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan kehakiman; pembedaan jenisjenis hakim hanyalah berfungsi untuk membedakan fungsi dari dari masing-masing jenis hakim tersebut. Untuk Hakim Agung fungsinya adalah untuk menjalankan Kekuasaan Kehakiman ditingkat Mahkamah Agung, Hakim Konstitusi menjalankan Kekuasasan Kehakiman yang merupakan ruang lingkup Mahkamah Konstitusi, Hakim Tinggi menjalankan Kekuasaan Kehakiman di tingkat Pengadilan Tinggi, Hakim Negeri di tingkat Pengadilan Tingkat I, dan Hakim Ad Hoc menjalankan Kekuasaan Kehakiman pada bidang-bidang tertentu.



� Yang Pihak Terkait Tidak Langsung maksudkan sebagai pengetahuan umum tersebut bukanlah sesuatu yang tak berdasar.

Pertama jika kita tinjau secara historis bahkan dalam naskah asli UUD 1945 atau UUD 1945 yang belum diamandemen dalam Bab IX yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman memang tidak dibedakan secara spesifik antara Hakim Agung dengan Hakim Iainnya yang kedudukannya Iebih rendah dari Hakim Agung. Pasal 25 naskah asli UUD 1945 tidaklah diubah sama sekali dalam amandemen UUD 1945 baik amandemen pertama, kedua, ketiga maupun keempat. Dengan demikian seperti pendapat Pihak Terkait Tidak Langsung sebelumnya, UUD 1945 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah kesemua Hakim yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman tanpa terkecuali.

Kedua, Bahwa dalam pembahasan amademen UUD 1945 yang dilakukan PAH I MPR dan kemudian disetujui dalam Sidang Tahunan MPR, telah berkembang usul dan pandangan serta rumusan mengenai Komisi Yudisial. Dalam pembahasan yang Iebih banyak menyangkut soal independensi kekuasaan kehakiman serta Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, para anggota PAH I MPR tetap mengingatkan akan perlunya keberadaan sebuah komisi yang independen yang bertugas mengawasi semua hakim. Setidaknya hal itu terungkap dalam persidangan yang dilakukan PAH I MPR;

Bahwa dalam Rapat Pleno ke-41 PAH I MPR tanggal 8 Juni 2000, sebagai persiapan materi perubahan kedua UUD 1945, Drs. Agun Gunanjar (F-PG) menyampaikan usulannya bahwa;

"Komisi Yudisial berfungsi untuk memberikan rekomendasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian, termasuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung" (Buku Kedua Jilid 3C Risalah Rapat PAH I MPR, Sekretariat Jendral MPR-RI, 2000. hlm. 433)

Sedangkan Hamdan Zoelva, SH anggota PAH I MPR dari F-PBB menyampaikan pandangannya sebagai berikut;

�...Untuk mengawasi tugas-tugas yudisial dari hakim, dibentuk sebuah dewan pengawas yudisial yang independen dan diangkat dari ahli hukum yang memiliki moral dan integritas yang tidak diragukan. Di sini perlu kami perjelas, bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dan independen,



� bebas dari pengaruh lembaga-lembaga yang lain, tidak sepenuhnya bebas. Akan tetapi, dia hanya dibatasi oleh dua hal yaitu aturan hukum dan juga diawasi oleh dewan pengawas yudisial yang mengawasi segala tingkah laku hakim dalam bidang judisial yang dilakukan oleh para hakim disemua tingkatan...� Buku Kedua Jilid 3C Risalah Rapat PAH I MPR, Sekretariat Jendral MPR-RI, 2000. hlm. 442).

Bahwa dari pandangan-pandangan tersebut di atas, telah terlihat spirit yang mendasari perlunya keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas badan pelaksana kekuasan kehakiman yang akan mengawasi hakim disemua tingkatan.

Bahwa meskipun dalam Sidang Tahunan 2000, materi perubahan kekuasaan kehakiman, termasuk tentang Komisi Yudisial tidak berhasil diputuskan, namun pembahasan mengenai Komisi Yudisial tetap diteruskan pada masa sidang berikutnya. Dan. spirit yang muncul tentang wewenang Komisi Yudisial tetap terpelihara sebagaimana pembahasan sebelumnya. Ini dapat terlihat dari usul dan pandangan yang dikemukakan oleh para anggota PAH I MPR.

Bahwa dalam Rapat Pleno ke � 36 PAH I BP MPR tanggal 26 September 2001, anggota PAH I MPR, Drs. Jacob Tobing (F-PDIP) menyampaikan pandangannya;

"...oleh karena itu kami sarankan tentang Komisi Judicial sebenarnya adatah bukan hanya menyangkut Hakim Agung, tetapi menyangkut seluruhnya Hakim Tinggi dan Hakim Pengadilan Negeri. Mereka semua adalah Hakim yang tidak bisa setiap tahun dimintai pertanggungjawaban kepada MPR, kepada siapa mereka harus bertanggungjawab? Maka kami mengusulkan supaya para hakim ini difilter oleh suatu komisi yang sifatnya permanen..." (Buku Kedua Jilid 8A Risalah Rapat PAH 1, Sekretariat Jenderal MPR-R1, 2001. hlm. 26).

Sedangkan anggota PAH I MPR dari F-PBB, Hamdan Zoelva, S.H, dalam pandangan yang disampaikannya menyatakan.bahwa;

�...Komisi Judicial karena kebutuhan praktis yang terjadi pada kenyataan- kenyataan konkret bahwa tidak ada satu lembaga atau institusi yang' bisa mengawasi tingkah taku hakim, baik hakim pengadilan negeri maupun hakim Mahkamah Agung. Pengawasan yang dilakukan hanya semata-



� mata pengawasan internal yang kita khawatirkan bahwa dia tidak bisa memberikan putusan yang tidak memihak kepada yang dihukum yaitu hakim-hakim. Oleh karena itu, kita membutuhkan satu lembaga, satu komisi yang independen yang keberadaannya tidak di internal dan keanggotaannya benar-benar independen dan dia dibentuk oleh Undang- Undang. Dia tidak mempunyai masalah-masalah internal dengan hakim- hakim yang ada. Jadi, kewenangannya lebih kuat dari Irjen atau Dewan Kehormatan Hakim yang ada sekarang..� (Buku Kedua Jilid 8A Risalah Rapat PAH I, Sekretariat Jenderal MPR-Rl, 2001. hlm. 39).

Bahwa sebagai kristalisasi dari usul dan pandangan yang berkembang dalam sidang-sidang PAH I MPR dirumuskan Pasal-Pasal tentang Komisi Yudisial sebagai bagian dari Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945 yang akan diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR 2001. Dalam rancangan itu, Komisi Judicial dirumuskan sebagai berikut;

(Rancangan Putusan Sidang Tahunan MPR-Rl Tahun 2001, Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2001, hlm. 46).

Pasal 24C

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain (dengan memperhatikan masukan dari masyarakat) berdasarkan masukan dari masyarakat.

Alternatif 1;

(1) Anggota Komisi Judicial dipilih dari mantan Hakim Agung, unsur praktisi hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi.

Altematif 2;

(2) Anggota Komisi Judicial berasal dari. pengacara, jaksa, guru besar ilmu hukum anggota DPR dan wakil daerah.

Alternatif 3;

(2) Anggota Komisi Judicial harus berpengalaman dalam profesi hukum, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

(3) Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Judicial diatur dengan undang-undang.

Pada akhirnya hasil Sidang Tahunan MPR 2001 memutuskan, khususnya menyangkut kewenangan Komisi Judicial adalah sebagai berikut ;



� �Komisi Judicial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam, rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim�

Meskipun rumusan yang dihasilkan berbeda dari rancangan putusan yang telah disiapkan sebelumnya, pada intinya maksud dari rumusan tersebut, khususnya menyangkut wewenang Komisi Yudisial sama dengan usul dan pandangan yang berkembang dalam pembahasan-pembahasan amandemen UUD 1945. Setidaknya hal ini dapat diketahui dari keterangan Drs. Zein Badjeber (mantan Anggota PAH 1 MPR) yang menerangkan bahwa;

�...Konsensus yang berkembang di wacana, maksud dari fungsi tersebut lebih mengarah pada tugas pengawasan dan pendisplinan hakim (termasuk hakim agung) serta tugas lain yang Iangsung dimaksudkan untuk mendukung kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Tidak tepat kalau kita menafsirkan secara gramatikal. Redaksional yang digunakan Pasal 24B Amandemen Ketiga UUD 1945 adalah�...perilaku hakim. Kata 'hakim' di sini harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi (hakim agung)..� (Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial versi MA, hal 26 dan 58)

Ketiga, sebagaimana telah disampaikan dalam persidangan sebelumnya dalam perkara ini, keterangan dari Pemerintah/Kepala BPHN (11 April 2006), DPR dan mantan anggota PAH I MPR (2 Mei 2006), yang pada intinya menyatakan hal yang sama bahwa makna kata �hakim� dalam Pasal 24B (1) UUD 1945 mencakup untuk semua hakim. Dengan demikian fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah juga diperuntukkan bagi kalangan hakim agung.

3. Perbandingan Istilah Hakim dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

Bahwa ditinjau dari undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, baik dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan, UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU



� No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan yang terakhir UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terlihat jelas bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah seluruh hakim mulai dari hakim pada tingkat pertama hingga Hakim Agung.

a. Istilah Hakim dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan

Dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1948 yang disahkan tanggal 8 Juni 1948 (tanpa Nomor Lembaran Negara) disebutkan:

�Para Hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada Undang-Undang�.

Dalam pasal-pasal selanjutnya tidak dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim tersebut adalah hanyalah Hakim yang bukan Hakim Agung, Seandainya pun yang dimaksud jika UU ini pun membedakan makna Hakim dengan Hakim Agung hal tersebut pun menjadi tidak masuk akal karena seakan hakim yang merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman hanyalah Hakim di tingkat Pertama dan Banding, sementara Hakim Agung tidak, mengingat prinsip kemerdekaan tersebut tidak dinyatakan khusus untuk Hakim (dalam Mahkamah) Agung.

b. Istilah Hakim dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Dalam UU No. 19 Tahun 1964 (LN. No. 107 Tahun 1964) memang tidak disebutkan adanya prinsip . indpendensi hakim seperti dalam UU sebelumnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya juga tidak menyebutkan secara khusus mengenai Hakim Agung. Istilah Hakim pun baru muncul dalam Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi:

�Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga prang hakim�

Sementara itu dalam Pasal 7 ayat (2) nya disebutkan bahwa

�Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.�

Yang dengan demikian jika dibaca secara sistematis maka kata Hakim dalam Pasal 8 ayat (2) termasuk juga Hakim Agung, mengingat



� Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi yang juga tunduk dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) tersebut.

c. Istilah Hakim dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999)

Pertama perlu Pihak Terkait Tidak Langsung sampaikan terlebih dahulu bahwa dalam UU ini pun tidak dibedakan antara hakim dengan Hakim Agung, bahkan dalam UU ini sama sekali tidak menggunakan istilah Hakim Agung.

Dalam Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 disebutkan:


1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.


Dengan tidak disebutkannya istilah Hakim Agung secara spesifik dalam UU ini maka pengertian Hakim dalam kedua ayat dalam Pasal di atas tentunya juga mencakup Hakim dalam Pengertian Hakim Agung serta Hakim-Hakim Iainnya yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena sangatlah tidak masuk akal jika kedua ayat tersebut hanya mengikat bagi Hakim Tingkat Pertama dan Banding saja. Janggal rasanya jika Hakim Agung tidak. memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat, atau memperhatikan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh (terdakwa) dalam perkara pidana. Selain itu, Pasal 27 tersebut terdapat dalam Bab IV yang berjudul �Hakim dan Kewajibannya� yang terdiri dari 3 (tiga) Pasal. Dilihat dari judul bab itu sendiri, tanpa ada bab yang khusus yang mengatur mengenai Hakim Agung dan Kewajibannya, dapat disimpulkan bahwa istilah Hakim yang dimaksud meliputi kesemua Hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman mulai dari Hakim Tingkat Pertama hingga Hakim Agung.



� d. Istilah Hakim dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Seperti juga dalam UU No. 14 Tahun 1970, dalam UU ini terdapat bab khusus yang mengatur mengenai Hakim dan Kewajibannya, yaitu dalam Bab IV Hakim dan Kewajibannya. Bab ini pun terdiri juga dari 3 (tiga) Pasal yang intinya sama dengan Bab IV UU No. 14 Tahun 1970 namun dengan beberapa tambahan prinsip khususnya mengenai konflik kepentingan dan konsekuensi hukumnya.

Pada Undang-undang Kekuasaan Kehakiman kali ini telah dikenal satu institusi peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Dalam Mahkamah Konstitusi terdapat Hakim Konstitusi. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengertian Hakim seperti yang terdapat dalam Bab IV tersebut mencakup juga Hakim Konstitusi atau tidak?

Jika dilihat dari judul Undang-undang ini jelas bahwa undang- undang ini mengatur mengenai kekuasaan kehakiman serta mencoba meletakkan prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman pada dasamya merupakan suatu cabang kekuasaan negara yang dibedakan dengan cabang kekuasaan negara lainnya, yaitu eksekutif dan legislatif. Dalam kekuasaan kehakiman, Hakim merupakan komponen utama yang diperlukan untuk dapat menjalankan kekuasaan ini. Istilah Hakim merupakan istilah yang khas dalam kekuasaan ini yang membedakannya dengan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa lainnya, seperti mediasi, arbitrase maupun yang lainnya. Meskipun hakim terbagi dalam beberapa lingkungan peradilan maupun mahkamah, namun ditinjau dari sudut fungsi, hingga simbol-simbol, seperti penggunaan toga, palu, posisi ruang sidang dan lain sebagainya pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara hakim pada Mahkamah Agung serta peradilan dibawahnya dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam Undang-undang ini terdapat bab khusus yang mengatur mengenai hakim dan



� kewajibannya. Berdasarkan penjelasan kami di atas serta mengingat bahwa dalam undang-undang ini tidak terdapat bab khusus yang mengatur mengenai Hakim Konstitusi dan Kewajibannya maka tentulah harus dibaca bahwa Bab IV tersebut mengikat juga terdapat Hakim Konstitusi, yang dengan demikian maka berarti bahwa istilah hakim baik yang terdapat dalam judul bab tersebut maupun dalam Pasal-Pasalnya mencakup juga Hakim Konstitusi.

Bahwa berdasarkan hal-hal di atas maka terlihat dengan jelas bahwa secara historis pengertian hakim menurut keempat undang-undang yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman adalah kesemua hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman yang mencakup Hakim Tingkat Pertama hingga Mahkamah Agung serta Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi.

e. Istilah Hakim dalam Undang-Undang Mahkamah Agung

Bahwa hingga sejak Indonesia merdeka hingga saat ini sepanjang sejarah telah ada beberapa undang-undang yang pernah mengatur atau mengatur mengenai Mahkamah Agung, yaitu UU No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

i. Istilah Hakim dalam UU No. 1 Tahun 1950

Dalam. Pasal 3 ayat (1) disebutkan:

�Mahkamah Agung memutus dengan tiga orang Hakim�

Dari Pasal ini terlihat jelas bahwa makna dari kata Hakim semata tanpa diikuti kata Agung tidaklah bermakna seperti yang dimaksud oleh para Pemohon bahwa kata Hakim semata hanya merujuk pada hakim yang berada pada tingkat Pertama atau Banding, oleh karena jika seandainya demikian maka



� undang-undang ini akan sangat janggal, bagaimana mungkin perkara di Mahkamah Agung diperiksa dan diputus bukan oleh Hakim Agung melainkan oleh Hakim tingkat Pertama atau Banding. Dari Pasal di atas terlihat jelas bahwa kata Hakim mengacu kepada suatu pranata yang memiliki fungsi kehakiman, bukan tingkatan jabatan kehakimannya.

ii. Istilah Hakim dalam UU No. 13 Tahun 1965

Ditinjau secara sistematik Undang-undang ini terdiri dari 7 (tujuh) bab. Bab I tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Pengadilan Negeri, Bab III Pengadilan Tinggi, Bab IV tentang Mahkamah Agung, Bab V tentang Panitera, Bab VI tentang Juru Sita dan Bab VII tentang Ketentuan Penutup.

Dalam Pasal 7 UU ini disebutkan mengenai larangan rangkap jabatan bagi hakim atas jabatan-jabatan tertentu seperti menjadi penasihat hukum, pelaksana putusan pengadilan dll. Pasal ini sendiri terdapat dalam Bab I tentang Ketentuan Umum. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ketentuan umum dalam suatu peraturan perundang-undangan umumnya mengatur mengenai prinsip-prinsip. Dan kita ketahui bersama bahwa prinsip larangan rangkap jabatan merupakan prinsip yang melekat bagi hakim dalam semua tingkatan. Dari Pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa kata Hakim dalam Pasal ini memang ditujukan untuk semua hakim dalam semua tingkatan termasuk Hakim Mahkamah Agung, oieh karena aturan serupa tidak terdapat dalam Bab IV yang mengatur mengenai Mahkamah Agung, dan sangatlah tidak masuk akal jika khusus untuk Hakim Mahkamah Agung tidak terikat oieh prinsip larangan rangkap jabatan dimaksud.

Atas dasar tersebut maka terlihat jelas bahwa kata hakim semata dalam UU ini tidak dibatasi hanya untuk hakim pada tingkat pertama atau banding saja, tapi untuk semua tingkatan pengadilan.




� iii. Istilah Hakim dalam UU No. 14 Tahun 1985 Dalam Pasal 40 Undang-undang ini disebutkan:

�Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang- kurangnya 3 (tiga) orang Hakim�

Seperti halnya argumentasi Pihak Terkait Tidak Langsung pada bagian sebelumnya mengenai istilah hakim dalam UU No. 1 Tahun 1950, mengingat secara essensial isi Pasal tersebut sama dengan Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1950 tersebut.


iv. Istilah Hakim dalam UU No. 5 Tahun 2004 Penggunaan kata Hakim semata tanpa kata Agung dalam UU ini memang tidak banyak. Istilah Hakim semata hanya terdapat dalam Pasal 1 huruf 6 yang mengubah Pasal 9 UU No. 14 Tahun 1985. Pasal ini mengatur mengenai sumpah jabatan Hakim Agung. Selengkapnya berbunyi:

�Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-Iurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.'

Janji:

�Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil- adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.�

Dari sumpah dan janji jabatan tersebut terlihat jelas bahwa Hakim Agung pun termasuk dalam kategori Hakim, atau dengan kata lain kata hakim tidaklah benar seperti argumentasi




� Pemohon bahwa istilah hakim hanya mencakup hakim (karir) pengadilan tingkat pertama dan banding.



Kesimpulan Bahwa berdasarkan hal-hal di atas Pihak Terkait Tidak Langsung berkesimpulan bahwa ditinjau dari sudut sejarah perundang-undangan baik undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman maupun Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa istilah hakim mencakup kesemua hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman, tanpa terkecuali khususnya Hakim Agung.

Kuatnya pemaknaan mengenai hakim seperti di atas tentulah sangat dipahami oleh para penyusun Amandemen UUD 1945 kita, dan dengan demikian jika sekalipun maksud dari penyusun amandemen UUD 1945 tersebut seperti yang dimaksud oleh para Pemohon maka sudah barang tentu penyusun amandemen UUD 1945 tersebut akan menyatakan secara tegas.

4. Hakim Agung Termasuk Objek Pengawasan Komisi Yudisial

Bahwa pendapat para Pemohon dalam halaman 6 paragraf 5 yang menyatakan �Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud oleh Pasal 24B ayat (1) UUD RI judul Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, dimana Ketua MK sendiri merupakan pembimbing tesis tersebut. Dalam hal. 175 A. Ahsin Thohari menyatakan Tahun 1945 tentang kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat, serta perilaku Hakim adalah Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung.� adalah tidak berdasar sama sekali. Hal ini jika dilihat dari �suasana kebatinan� dalam pembahasan amandemen UUD 1945 tentang Komisi Yudisial di sidang-sidang PAH I MPR (2000-2001) dan pendapat, usul dan pandangan serta penelitian.dari berbagai kalangan tentang Komisi Yudisial.

Bahwa dari penelusuran pembahasan di sidang-sidang PAH I MPR telah dapat diketahui dengan jelas, terang dan gamblang kewenangan yang diberikan untuk Komisi Yudisial tidak hanya dimaksudkan untuk hakim tingkat banding atau tingkat pertama. Akan tetapi kewenangan



� tersebut dimaksudkan pula untuk seluruh hakim di semua badan peradilan sebagai pengemban fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman.

Bahwa sangatlah tepat dan bijaksana apa yang telah dilakukan para anggota PAH I MPR dalam merumuskan perubahan UUD 1945, khususnya tentang kewenangan Komisi Yudisial. Rumusan tersebut pada akhirnya dapat memberikan kesempatan bagi pembuat undang- undang (DPR-Pemerintah) untuk menentukan lebih lanjut sesuai dinamika dan perkembangan yang ada dan maksud dari undang- undang yang akan dibuat: Hal ini merupakan hak, kewenangan dan kewajiban konstitusional dari pembuat undangundang untuk memperjelas, merinci dan menegaskan rumusan dari UUD.

Bahwa pandangan yang berkembang dalam pembahasan amandemen UUD 1945, tidak jauh berbeda dari pandangan serta usul yang berkembang dari berbagai kalangan. Sebagaimana terlihat pula dalam tesis A. Ahsin Thohari yang telah dibukukan.

Apabila kata "hakim" yang terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) tersebut diartikan sesuai dengan konteks pembahasannya, maka yang dimaksud adalah hanya Hakim Agung, dan bukan hakim yang lain. (Ahsin, A Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Jakarta: Elsam 2004. hal. 175 ).

Pendapat tersebut bukanlah tidak berdasar, oleh karena berdasarkan Rumusan Hasil Seminar Hukum Dalam Konteks Perubahan Undang- Undang Dasar 1945, Bandar Lampung 24-26 Maret 2000, Kerja Sama Badan Pekerja MPR RI dengan Universitas Indonesia salah satu pointer mengenai 'Kekuasaan Kehakiman dalam halaman 7 poin 8.7 huruf h berbunyi : "Kedudukan Komisi Yudicial untuk mengawasi para Hakim Agung".

Tak hanya itu saja, penekanan bahwa kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi (justru) Hakim Agung pada saat-saat penyusunan Amandemen Ketiga UUD 1945 pun terlihat dari masukan-masukan masyarakat. Dalam Naskah Akademis Amandemen UUD 1945 yang diajukan oleh The Habibie Center dalam halaman 45 disebutkan "Akan tetapi, khusus berkenaan dengan usul pengangkatan dan



� pemberhentian hakim agung ini, dibentuk Komisi Yudisial yang bersifat independen. Komisi inilah yang bertugas mencalonkan hakim, mengusulkan pengangkatan . dan pemberhentian hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi dan hakim agung pada Mahkamah Agung. (�Naskah Akademis .dan Draft Rancangan Naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Rangkuman dan Kompilasi Pemikiran dari Warga Masyarakat melalui Semiloka �Rancangan perubahan UUD 1945� Jakarta, 1-4 Oktober 2001. The Habibie Center)

Berdasarkan fakta-fakta di atas maka terlihat jelas bahwa secara historis, justru semangat dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung.

Sangat gamblangnya semangat dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 24B tersebut terlihat juga dengan fakta-fakta yang terjadi pasca disahkannya hasil amandemen UUD 1945. Tak ayal, salah satu puncak Kekuasaan Kehakiman telah menyatakannya secara eksplisit bahwa makna kata �hakim� dalam Pasal 24B ayat (1) adalah termasuk Hakim Agung.

Dalam Cetak Biru-nya Mahkamah Agung menyatakan Selain itu berdasarkan Pasal 24 B Amandemen Ketiga UUD 1945 akan dibentuk lembaga baru yang akan berfungsi �salah satunya- untuk melakukan pengawasan dan (mungkin) pendisiplinan bagi hakim dan .Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial. Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, MA-RI 2003, hal. 91).

Tak hanya itu saja, bahkan dalam Naskah Akademis dan Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial-nya sendiri Mahkamah Agung sekali lagi secara eksplisit telah mengakui bahwa pengertian 'hakim' dalam Pasal 24 B ayat (1) adalah termasuk Hakim Agung.

"...Kami memandang ada 5 (lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari fungsi di atas, yaitu: Pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung)" (Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah



� Akademis Dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, MA-RI 2003. hal. 45.)

Perlu ditambahkan, bahwa dalam susunan organisasi penelitinya Pemohon Hak Uji Materil atas UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman ini yaitu Hakim Agung Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH merupakan salah satu penanggung jawab Naskah Akademis di atas. Selain itu Pemohon Iainnya, yaitu Hakim Agung Drs. H. Andi Syamsu Alam, SH, Hakim Agung Iskandar Kami, SH merupakan anggota unit kerjanya berdasarkan SK Ketua MA RI No. KMA/052/ SK/IX/2001.

5. Hakim Konstitusi Termasuk Objek Pengawasan Komisi Yudisial

Walaupun secara sekilas telah dikemukakan pendapat Pihak Terkait Tidak Langsung yang menyatakan bahwa Hakim Konstitusi termasuk objek pengawasan Komisi Yudisial berdasarkan penafsiran istilah �Hakim�, tidaklah berlebihan jika kami pada bagian ini akan menambahkan beberapa argumentasi Iainnya khusus mengenai kewenangan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi.

Bahwa pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahwa sebagai lembaga pengawal konstitusi tersebut maka Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga yang memiliki kedaulatan mutlak untuk menafsirkan Konstitusi (the interpreter of constitution). Yang dengan demikian berarti dalam hal terjadinya ketidakjelasan atau terjadinya multi-tafsir atas suatu pasal, ayat atau kata dalam konstitusi maka Mahkamah Konsitusi merupakan lembaga yang berwenang untuk menetapkan tafsir apa yang harus berlaku. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi untuk periode 2005 - 2009 dengan judul Cetak Biro Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada akhir tahun 2004 yang lalu pada halaman 5 dan 6 nya.

Berkaitan dengan cetak biru Mahkamah Konstitusi tersebut secara



� eksplisit Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah mengakui bahwa Hakim Konstitusi pun juga merupakan hakim yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial. Dalam Bab IV Mewujudkan Akuntabilitas dan Transparansi Mahkamah Konstitusi bagian B Tujuan Strategis pada halaman 121 Mahkamah Konstitusi menyatakan:

�MK memiliki peran strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang tercermin pada kewenangan-kewenangan yang dimilikinya. Untuk mengimbangi dan menjaga agar MK tetap menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada mekanisme pengawasan terpadu terhadap MK. Menjadi penting bagi MK, untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, balk di Iingkungan peradilan umum maupun MK.�(Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Jakarta, 2005. hat. 121).

Dari cetak biru yang disusun oleh Mahkamah Konstitusi yang merupakan the interpreter of constitution sendiri terlihat secara tegas bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengakui bahwa Komisi Yudisial pun memiliki kewenangan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi.

Selain itu dalam makalahnya yang berjudul Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah. Perubahan Keempat UUD 1945 yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh BPHN 14-18 Juli 2003 dalam halaman 20, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH menyatakan:

�Dari ketetentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan lembaga baru ini dapat dikatakan merupakan pengembangan Iebih lanjut ide pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang sudah berkembang selama ini. Akan tetapi, jika



� majelis semacam ini dibentuk di Iingkungan internal Mahkamah Agung, maka sulit diharapkan akan efektif menjalankan fungsi pengawasan atas kehormatan hakim agung itu sendiri, karena kedudukannya yang tidak independen terhadap subjek yang akan diawasi. Di samping itu, jika lembaga ini dibentuk di dalam struktur Mahkamah Agung, maka subjek yang diawasinya hanya terbatas pada hakim agung saja. Oleh karena itu, keberadaan lembaga Komisi Yudisial ini dibentuk tersendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga subjek yang diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim di seluruh Indonesia. (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH,. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003).

Bahwa berdasarkan hal-hal di atas Pihak Terkait Tidak Langsung berkesimpulan bahwa telah terlihat jelas Hakim Konstitusi termasuk dalam objek pengawasan Komisi Yudisial.

Kesimpulan:

Bahwa dari penelusuran sejarah (original intent) maksud pembuat UUD, dari perbandingan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman/peradilan serta pendapat/pandangan yang muncul dari berbagai kalangan, telah jelas, terang benderang dan merupakan fakta-fakta yang sulit untuk dibantah lagi bahwasanya tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Yudisial tidak hanya dimaksudkan untuk hakim di Iingkungan Mahkamah Agung. Tetapi tugas, fungsi dan wewenang pengawasan dalam rangka menjaga harkat, martabat dan perilaku para hakim, mencakup seluruh Hakim, dalam hal ini termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

6. Tanggapan Atas Penjatuhan Sanksi Oleh Komisi Yudisial

Bahwa pada intinya para Pemohon menyatakan bahwa usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial yang hasilnya diserahkan kepada MA dan kepada Hakim yang dijatuhi



� sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Sedangkan usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh. Ketua MA dan kepada Hakim Agung diberi kesempatan untuk membela diri dulu dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung. Demikian halnya usul pemberhentian bagi Hakim Konstitusi dilakukan oleh Ketua MK dan kepada Hakim Konstitusi diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan MK.

Bahwa dengan adanya perbedaan tersebut, para Pemohon berpendapat bahwa Pasal 21, Pasal 23 (2 & 3 serta 5) Pasal 24 (1) dan Pasal 25 (3 & 4) yang mengatur usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan/atau Hakim Konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24 B dan Pasal 25 UUD 1945 yang memberi kewenangan kepada MA dan MK untuk membentuk Majelis Kehormatan MA dan/atau Majelis Kehormatan MK.

Bahwa atas pendapat tersebut, Pihak Terkait Tidak Langsung berpandangan bahwa ;


o Usul pemberian sanksi oleh Komisi Yudisial merupakan konsekuensi logis dari peran pengawasan yang sudah jelas dan terang menjadi kewenangannya. o secara sekilas dari penelusuran yang telah dikemukakan di atas dari pandangan dan pendapat yang muncul dari berbagai kalangan, tugas dan peran Komisi Yudisial dapat memberikan usul sanksi pemberhentian terhadap semua hakim. o Usul pemberhentian tersebut, merupakan penegasan terhadap prinsip independensi yang sudah ditegaskan dalam konstitusi. o Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial bisa memberikan usul sanksi pemberhentian kepada Hakim, sama sekali tidak bertentangan dengan Konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh para Pemohon.



� 7. Tanggapan Atas Universalitas Kewenangan Komisi Yudisial tidak Menjangkau Hakim Agung.

Demikian halnya dengan pendapat para Pemohon (point 5) bahwa secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung adalah pendapat yang tidak berdasar sama sekali.

Bahwa jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kewenangan yang diberikan konstitusi terhadap Komisi Yudisial Indonesia masih sangat terbatas. Di banyak negara fungsi dan peranan dari Komisi Yudisial sangat Iuas, tidak hanya sebatas merekomendasikan dan pengawasan hakim, akan tetapi sampai memberhentikan dan mengangkat para hakim termasuk dalam hal ini adalah Hakim Agung. Misalnya ; di � Bulgaria, Etiopia, Fiji, Ghana, Kroasia, Lesotho, Papua New Guini, Prancis, Samoa Thailand, Trinidad & Tobago, Zambia.

Bahwa jika dilihat dari perbandingan negara-negara tersebut, wewenang Komisi Yudisial (judisial commission) bisa menjangkau Hakim Agung adalah karena konteks sosial politik yang menghendaki adanya reformasi peradilan yang significant hingga Mahkamah Agung. Konteks tersebut setidaknya hampir sama dengan Indonesia, yang membutuhkan peradilan yang bersih diseluruh tingkatan mulai dari MA dan peradilan di bawahnya. Oleh karena itu, menjadi sangat logis bahwa Komisi Yudisial memang sudah seharusnya bisa menjangkau Hakim Agung.

8. Tanggapan Atas Upaya Pemanggilan KY Menghancurkan Independensi Hakim Agung Yang dijamin UUD 1945

Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon juga menyatakan bahwa pengawasan Komisi Yudisial yang telah memanggil beberapa Hakim Agung Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus Effendy Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A. Tumpa telah mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung, yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945. Pemanggilan tersebut, berpotensi dan akan membawa makna bahwa semua Hakim Agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus perkara. Hal



� ini akan menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin UUD 1945.

Bahwa alasan yang dikemukakan oleh para Pemohon tidak berdasar dan terlalu berlebihan. Kami berpendapat bahwa pemanggilan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagai bagian dari pelaksanaan kewenangan pengawasaan yang telah dijamin oleh Konstitusi dan peraturan perundang-undangan Iainnya. Komisi Yudisial hanyalah melaksanakan mandat yang sudah diberikan oleh UUD 1945 dan UU KY serta UU KK.

Bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Komisi Yudisial justru sebaliknya, pengawasan dengan pemanggilan tersebut dalam rangka menjaga dan menegaskan prinsip independensi para hakim.

Bahwa justru Pihak Terkait Tidak Langsung berpandangan jika pemanggilan tidak dipenuhi oleh para hakim agung sebagaimana disebutkan di atas, merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan pelanggaran konstitusi yang ancamannya bisa sampai pada pemberhentian. Karena apa yang dilakukan oleh Komisi Yudisial hingga detik ini merupakan mandat yang sudah sangat jelas diatur dalam konstitusi.

Kesimpulan;

Bahwa perluasan pengertian seperti yang telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang dalam UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman tentang kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi, sudah merupakan Mak, tugas dan kewajiban konstitusionalnya untuk merumuskan undang-undang secara Iebih jelas, rinci, tegas sebagaimana dimaksud UUD. Apalagi jika ditinjau dari segi historis, sistematika, perbandingan serta fakta-fakta Iainnya, sangatlah jelas bahwa apa yang dirumuskan dalam kedua undang-undang tersebut sudah sesuai dengan maksud UUD.

Bahwa dengan demikian sangat jelas bahwa rumusan Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22..dst, UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dipersoalkan para Pemohon, tidak cukup beralasan jika dinyatakan harus bertentangan dengan



� UUD 1945. ,bahwa Pasal-pasal tersebut sudah sesuai dengan konstitusi baik dari segi normatif, historis, sosiologis maupun politis.

Bahwa penafsiran yang disampaikan para Pemohon dalam permohonannya adalah penafsiran yang tidak berdasar, mengada-ada .dan sangat manipulatif. Dan tidak lepas dari kepentingan bahwa para hakim agung di MA resistensi terhadap pengawasan yang memang sudah seharusnya dilakukan bagi pemegang kekuasaan. Setidaknya hal ini terkait dengan beberapa peristiwa terakhir yang muncul dan terungkap di MA.

Bahwa tugas, fungsi dan wewenang dalam rangka pengawasan semua hakim oleh Komisi Yudisial dapat diartikan agar tidak terjadi adanya pengawasan yang berbeda-beda atau berstandar ganda terhadap para hakim. Pengawasan yang berbeda-beda atau berstandar ganda, tidak hanya akan membingungkan dan membuat pengawasan menjadi tidak efektif, akan tetapi juga bisa berdampak terjadinya diskriminasi dan rasa keadilan masyarakat makin terabaikan.

IV. KESIMPULAN AKHIR

1. bahwa kondisi peradilan di Indonesia saat ini, khususnya bagi Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya masih jauh dari dambaan dan harapan masyarakat. Dari penelitian, opini dan polling yang dilakukan berbagai kalangan setidaknya menunjukkan bahwa kondisi peradilan dalam keadaan buruk karena mafia peradilan (korupsi).


2. bahwa kenyatan tersebut telah lama disadari. Berbagai upaya perbaikan memang telah dilakukan secara bertahap, sejak reformasi 1998 hingga puncaknya pada perubahan ketiga UUD 1945 yang menegaskan prinsip independensi dalam konstitusi. Selain penegasan prinsip independensi tersebut, ditentukan pula mekanisme pengawasan terhadap para hakim oleh Komisis Yudisial. Pengawasan ini sebagai bagian dari akuntabilitas yang mesti dilakukan badan pelaksana kekuasaan kehakiman, agar independensi bisa dibatasi tidak tidak menimbulkan tirani kekuasaan. Keberadaan Komisi Yudisial menjadi prasyarat mutlak bahwa setiap kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman, harus diawasi sebagaimana adagium yang menyatakan the power tend to corrupt.



� 3. bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan kebutuhan dan konsekuensi logis dari tuntutan kearah pemerintahan yang lebih menjamin prinsip cheks and balances, transparans dan akuntabel serta partisipatif. Tidak saja antara cabang-cabang kekuasaan (legeslatif, eksekutif dan yudisial), akan tetapi, di dalam masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Terbentuknya Komisi Yudisial ditujukan untuk menjamin prinsip-prinsip tersebut dapat terlaksana di Iingkungan kekuasaan judicial (peradilan). 4. bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan satu-satunya lembaga komisi yang dibentuk melalui UUD secara jelas, tegas dan tanpa ragu-ragu (menggunakan huruf kapital). Hal ini berarti Komisi Yudisial adalah lembaga negara dan kedudukannya setara dengan lembaga-lembaga negara lain yang diatur dalam UUD, dalam hal ini MA, MK, Presiden, DPR, BPK, MPR, DPD. Selain itu, meskipun terbatas jika dibandingkan dengan negara- negara lain, kewenangan Komisi Yudisial juga diatur dalam konstitusi sehingga memiliki legitimasi yang sangat kuat. 5. bahwa permohonan yang diajukan para Pemohon, memiliki konsekuensi tidak hanya mengeliminasi kewenangan Komisi Yudisial akan tetapi juga berdampak terhadap eksistensi terhadap kelembagaan Komisi Yudisial. Di samping itu, dari permohonan tersebut dapat dibaca sebagai upaya perlawanan dan penolakan (resistensi) terhadap peran pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial. Resistensi yang tentunya berlawanan dengan spirit perubahan dan konsitusi. Dari permohonan itu pula patut dipertanyakan konsistensi dan motif para Pemohon. 6. bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebelum Komisi Yudisial terbentuk dan melaksanakan kewenangannya, MA secara kelembagaan turut mendorong dan mendesain keberadaan dan peran Komisi Yudisial (bukti dari blue print MA dan Naskah Akademis RUU KY versi MA), dan menyadari betapa perlunya keberadaan dan peran pengawasan (termasuk untuk hakim agung) Komisi Yudisial bagi pembaruan di MA. MA mengakui bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam pengawasan terhadap hakim. Antara lain, pertama adanya dugaan semangat membela korps dalam pendisiplinan hakim. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Majelis Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang komposisinya hanya terdiri dari kalangan hakim. Kondisi ini mengakibatkan



� proses pendisiplinan kurang dapat berjalan optimal. Tidak banyak hakim yang dijatuhi sanksi, walau jumlah hakim yang diduga melakukan pelanggaran tidak sedikit. Kedua, hukum acara dalam proses pemeriksaan di majelis kehormatan hakim dan hakim agung terlalu sederhana. Ketiga, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dari proses majelis kehormatan dan hakim agung. Hal ini terlihat dari ketentuan yang menegaskan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup. MA berkesimpulan mengenai pentingnya keberadan lembaga pengawas eksternal (di luar MA). Karena sejumlah alat kelengkapan MA yang dibentuk untuk mengawasi hakim seperti Ketua Muda MA bidang pengawasan dan pembinaan (Tuada Wasbin), hanya mengurusi teknis peradilan, administrasi peradilan, perbuatan dan tingkah laku (conduct) hakim dan pejabat kepaniteraan pengadilan. MA pun menyadari. tentang adanya overlapping antara Tuada Wasbin dengan KY. MA menganggap perlu adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai lingkup tugas antara kedua organ pengawasan itu. (naskah akademis hal 46-55)

Dengan diajukannya permohonan ini, MA tidak konsisten dan menjilat Iudahnya sendiri. Meskipun 31 orang hakim agung menjadi para Pemohon atas dasar perseorangan, namun melihat jumlah tersebut menunjukkan suara mayoritas hakim agung, dan sulit diterima akal sehat jika hal ini tidak diketahui atau 'dikontrol' pimpinan MA dan dianggap sebagai cerminan dari sikap kelembagaan.


7. bahwa disadari permohonan ini akan terjadi conflict of interest para hakim konsitusi dalam memeriksa, menyidangkan dan memutus permohonan karena apa yang diminta para Pemohon menyangkut pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi. Disadari pula bahwa hakim konstitusi tidak mungkin menarik diri dari permohonan ini. Oleh karena itu, Pihak Terkait Tidak Langsung berharap agar hakim konstitusi bisa menunjukkan sikap independensi dan kenegarawanannya dalam memutus perkara ini. Sikap yang sangat diperlukan untuk memutus perkara ini secara tepat, adil dan objektif. Putusan yang dapat meletakkan dan menegaskan kembali pentingnya akuntabilitas bagi kekuasaan kehakiman. Akuntabilitas yang dapat memperteguh prinsip independensi semua hakim, menjaga ke'agung'an para hakim agung dan ke'negarawan'an para hakim konstitusi.



� 8. bahwa dari berkas permohonan yang telah diajukan para Pemohon, Pihak Terkait Tidak Langsung berpandangan bahwa status para Pemohon tidak jelas. Hal ini kami dasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut; 1. bahwa sebagaimana pernyataan para Pemohon (di media massa maupun dalam persidangan pendahuluan), permohonan diajukan atas dasar perseorangan. Namun dalam berkas permohonan, seluruh Pemohon (hakim agung) mencantumkan jabatannya sebagai hakim agung.


2. bahwa dalam berkas permohonan, para Pemohon tidak menggunakan alamat pribadi/rumah/tempat tinggal masing-masing, akan tetapi para Pemohon menggunakan alamat kantor lembaga Mahkamah Agung yakni di JIn. Medan Merdeka Utara Kav. 9-3 Jakarta Pusat.


9. bahwa selain fakta-fakta tersebut di atas, permohonan yang diajukan atas dasar perseorangan, namun para Pemohon mempersoalkan berlakunya sejumlah Pasal dalam UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman yang terkait dengan posisi/jabatan para Pemohon sebagai hakim agung. Pasal-pasal tersebut dipandang para Pemohon potensial merugikan hak dan kewenangan konstitusional para Pemohon. Permohonan yang diajukan atas dasar perseorangan namun mempersoalkan pemberlakuan undang- undang yang memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan ini menyangkut jabatan para Pemohon, menurut pendapat Pihak Terkait Tidak Langsung sangatlah aneh dan janggal serta terlalu mengada-ada. 10. bahwa kewenangan konstitusional yang telah diberikan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan adalah kewenangan yang menyangkut pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang suatu jabatan, dalam hal ini jabatan tersebut adalah Hakim. Oleh karena itu, sangatlah tidak tepat jika permohonan atas dasar perseorangan mempersoalkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai hakim agung yang khawatir akan dirugikan dengan pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial yang telah diberikan undang-undang. Pihak Terkait Tidak Langsung berpandangan, tidak terdapat korelasi yang sangat kuat antara posisi subjek Pemohon dengan objek/materi yang dimohonkan;



� Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 27 Juni 2006, telah didengar keterangan dari para pihak prinsipal baik para Pemohon maupun Komisi Yudisial, yang masing-masing menerangkan sebagai berikut:

Keterangan Para Pemohon Prinsipal


1. Tentang perubahan UUD 1945. 2. Tentang kewenangan Komisi Yudisial versus kewenangan Mahkamah Agung. 3. Tentang kondisi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah beradanya Komisi Yudisial. Ad. 1. Tentang perubahan UUD 1945, khususnya Bab IX, tentang Kekuasaan Kehakiman, yang di dalam perubahan ketiga telah disisipkan Pasal-pasal 24A, 24B dan 24C, tetapi kemudian karena munculnya Pasal 24B, tentang Komisi Yudisial, belum ada cantolannya (dasar pembentukannya), baru kemudian dicarikan cantolan/dasar di dalam perubahan yang ke empat, dengan menyisipkan ayat (3) (Pasal 24) yang dirumuskan sebagai berikut :

"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman di diatur dalam Undang-Undang ".

Cara perubahan yang demikian tidak sesuai dengan "cara berfikir yang tertib dan tidak taat azas" dengan terlebih dahulu menempatkan "lembaganya" baru kemudian mencarikan dasar hukumnya, yang menurut hemat para Pemohon penempatan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B, adalah cacat hukum di dalam pembuatannya, karena dasarnya baru dibuat kemudian.

Oleh karena itu tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman yang bersifat universal.

Untuk menghindarkan salah tafsir seolah-olah Komisi Yudisial menjadi bagian dari institusi Kekuasaan kehakiman, maka akan lebih tepat jika ketentuan tentang Komisi Yudisial sebagaimana disebut di dalam Pasal 24B, dikeluarkan dari Bab ke IX UUD 1945.



Ad. 2. Tentang Kewenangan Komisi Yudisial versus kewenangan Mahkamah Agung : a. Bahwa sesuai dengan Pasal 24B (1) UUD 1945 mengatur bahwa "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan : Pengangkatan Hakim Agung dan "mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,



� serta perilaku Hakim" ayat tersebut kemudian dimuat kembali dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi Yudisial, dan tidak satupun kata dari ayat itu menyebut tentang "pengawasan", tetapi kemudian muncul di dalam Pasal 20, yang berbunyi " dalam melaksanakan wewenang "sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas pengawasan tugas pengawasan terhadap" perilaku Hakim "dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim". Menurut pendapat para Pemohon "pengawasan terhadap perilaku Hakim " hanyalah merupakan media dengan tujuan pokoknya adalah "dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim". Namun kenyataannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim, dengan rnempergunakan pendekatan kekuasaan, yang tidak menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat para Hakim, tetapi sebaliknya justru merusak kehormatan dan keluhuran martabat Hakim, bahkan beberapa kasus diantaranya Komisi Yudisial telah memasuki wilayah "terlarang" lingkup tehnis penyelesaian perkara yang menjadi wewenang Mahkamah Agung (beberapa Hakim telah direkomendasikan untuk diberhentikan sementara).

Para Pemohon tetap berpendapat bahwa "objek pengawasan perilaku hakim", tidak termasuk Hakim Agung, selain karena antara Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Banding berbeda aturan dan persyaratannya dengan Hakim Agung, lagi pula di Mahkamah Agung terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang pembentukannya didasarkan pada Pasal 12 (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Mahkamah Agung. Alasan lain karena secara tehnis, persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, jauh lebih berat dibandingkan dengan persyaratan untuk menjadi Anggota Komisi Yudisial (S.O.R), jadi secara tehnis akan mengalami hambatan psikologis.

b. Menurut Pasal 32 (1 s/d 4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, menggariskan "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi



� terhadap penyelenggaraan Peradilan disemua Iingkungan peradilan dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman�.

Demikian pula menurut Pasal 11 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, mengatur bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang- undang. Oleh karena Mahkamah Agung, berperan sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan disemua Iingkungan peradilan, artinya tidak ada institusi yang Iebih tinggi di dalam melakukan pengawasan selain Mahkamah Agung, maka tidaklah mungkin Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung, dan Hakim Agung tidak mungkin berada di bawah pengawasan Komisi Yudisial fungsi pengawasan yang tertinggi yang dimiliki oleh Mahkamah Agung, semakin menjadi strategi dan sangat relevan setelah Mahkamah Agung melaksanakan sistim satu atap (one roof sistem).

Ad. 3. Kondisi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah adanya Komisi Yudisial, telah disinggung bahwa selama ini pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, dengan mempergunakan pendekataan "kekuasaan" dengan semata-mata mempergunakan kekuasaannya yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tanpa mau melihat Peraturan Perundang-undangan yang lain, itupun tidak dilakukan secara benar. Karena pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak mengindahkan undang-undang lain yang seharusnya juga menjadi acuan dan pedoman kerja bagi jajaran Komisi Yudisial, maka akibatnya tidak jarang sepak terjangnya telah melampaui batas wewenangnya, sehingga sangat meresahkan serta mengganggu, kinerja para Hakim. Di dalam melaksanakan pengawasan semestinya "media pengawasan" haruslah dilakukan dan didasarkan atas semangat itikad baik (good faith), dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim tetapi sebaliknya justru "media pengawasan" dijadikan media untuk memasuki substansi/wilayah tehnis penyelesaian perkara, yang bukan menjadi tugasnya, dan kemudian merekomendasikan pemberhentian Hakim, adalah merupakan bentuk perbuatan bukan saja intervensi dan intimidasi bahkan cenderung telah merusak sistem (lembaga



� peradilan yang memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi dan bersifat universal).

Melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, para Hakim dalam wadah IKAHI telah berupaya untuk membangun " lembaga peradilan yang benar- benar bebas dari intervensi Pemerintah" kemudian diwujudkan dalam sistim satu atap, yang ketika itu ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan jika satu atap nanti Mahkamah Agung, akan melakukan tirani judisiel, dan ketika itu pembentuk undang-undang yang tergabung di dalam Panitia Ad Hoc, dalam suasana pemikiran yang penuh kekhawatiran itu, dengan alasan checks and balances berupaya meletakkan batu pertama untuk semakin mengintervensi melalui konstitusi. Kini Mahkamah Agung yang telah menginjak tahun kedua dalam sistim satu atap, tidak ada tanda dua melakukan tirani, akan tetapi diubah issunya dengan "mafia peradilan" seperti yang digembar-gemborkan oleh Komisi Yudisial dan Sdr. Denny Indrayana (seorang doktor) ahli Tata Negara, walaupun secara tidak langsung mengakui bahwa Lembaga Yudikatif mengalami perbaikan khususnya terkait dengan korupsi, yang benar Mahkamah Agung juga berupaya untuk memperbaiki diri tetapi tentu perlu waktu. Sekarang Komisi Yudisial apabila kita perhatikan sepak terjangnya cenderung menjurus keperbuatan tirani ala Komisi Yudisial, terhadap para Hakim yang memutus bebas, atau sebab lain yang menurut Komisi Yudisial perlu diusulkan untuk diberhentikan sementara. Sikap demikian bukanlah dalam kerangka "menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Apabila hal ini dibiarkan maka cepat atau lambat Kekuasaan Kehakiman akan menjadi bagian dari Komisi Yudisial dan pada akhirnya akan mengakibatkarr hancurnya sebuah sistim ketatanegaraan khususnya Lembaga Yudikatif sebagai penyelenggara Negara dibidang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam pada itu Komisi Yudisial telah masuk ke wilayah terlarang (bukan wewenangnya) sebelum dikatakan Komisi Yudisial intervensi, justru oknum Komisi Yudisial mengatakan Mahkamah Agung telah melakukan intervensi tatkala Mahkamah Agung melakukan fungsi dan tugas pengawasan dalam kasus perkara Tipikor di mana tiga orang Hakim Ad Hoc telah ke luar dari ruang sidang, sehingga persidangan sampai mengalami pengunduran



� sidang hingga enam kali. Kini Mahkamah Agung dan para Hakim merasa khawatir dan resah terhadap Komisi Yudisial yang cenderung melakukan "intervensi" dan menjurus ke "penghancuran sebuah sistim peradilan" yang selama Iebih dari setengah abad kita bangun guna mencapai cita-cita Negara Hukum, dalam mewujudkan tatanan kehidupan demokrasi". Eksitensi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan adalah merupakan sebuah keniscayaan di dalam negara Hukum.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, Komisi Yudisial telah melakukan hal-hal sebagai berikut:

Bidang Teknis Yustisial


1. Komisi Yudisial telah menempatkan dirinya pada posisi yang tidak boleh dilakukan dalam hal ini bertindak dibidang teknis dan administrasi peradilan; 2. Hakim PN Denpasar memutus terdakwa hukuman 3 (tiga) bulan, kemudian oleh Komisi Yudisial Hakim yang memutus tersebut dipanggil, mengapa memutus demikian; 3. Ketua Pengadilan Negeri Selatan dipanggil oleh Komisi Yudisial mengenai pelaksanaan eksekusi; 4. Harifin A. Tumpa, (Pemohon) juga pernah dipanggil mengenai memberi petunjuk masalah eksekusi;


Bidang Administrasi 1. Komisi Yudisial merekomendasikan Hakim Tipikor untuk diberhentikan sementara karena walkout; 2. Ketua Pengadilan Negeri dipanggil oleh Komisi Yudisial berkait dengan pergantian Majelis Hakim Tipikor yang merupakan kewenangan Ketua Pengadilan; 3. Ketua Mahkamah Agung dipanggil oleh Komisi Yudisial berkait dengan memindahkan persidangan dari Medan ke Jakarta;


Keterangan Prinsipal Komisi Yudisial Beberapa ekses yang dilakukan oleh beberapa Hakim Agung yang mendorong diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 serta beberapa ekses yang mengakibatkan kurang efektifnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut sebagai berikut :



� 1. Ekses-ekses yang mendorong diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004:

Kegagalan sistem yang ada.

Salah satu alasan yang mendorong keberadaan Komisi Yudisial adalah ekses praktek peradilan yang berakibat kegagalan sistim yang ada dalam menciptakan pengadilan yang lebih baik. Kegagalan tersebut disebabkan ketidakmampuan aparat interen mengawasi perilaku hakim. Oleh sebab itu timbullah pemikiran untuk menciptakan pengawasan ekstern dengan tugas pokok disamping mengusulkan Hakim Agung juga mengawasi perilaku, sehingga diharapkan ekses dari perilaku hakim itu dapat diminimalisir.

Kekhawatiran akan monopoli kekuasaan pada Mahkamah Agung (MA).

Terbitnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) yang mengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, memperluas kekuasaan Mahkamah Agung dibidang organisasi, administrasi dan finansial, menimbulkan kekhawatiran bahwa Mahkamah Agung akan memonopoli kekuasaan kehakiman. Di samping itu penyerahan kekuasaan tersebut ke Mahkamah Agung juga dipandang tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi, bahkan dinilai dapat menimbulkan akibat atau ekses yang lebih buruk lagi. Oleh sebab itulah timbul pemikiran ke arah pembentukan lembaga baru yang diberi wewenang mengawasi dan saling menyeimbangkan (checks and balances) pelaksanaan kekuasaan kehakiman sehingga ekses- ekses yang timbul atau yang potensial menimbulkan ekses dapat diantisipasi dan diminimalisir.

2. Ekses-ekses yang mengakibatkan kurang efektifnya pelaksanaan Undang- undang Nomor 22 Tahun 2004 :

Perilaku yang tidak tunduk pada undang-undang.

Sebagaimana diketahui menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf c bahwa Komisi Yudisial dalam rangka melaksanakan pengawasan, dapat memanggil dan meminta keterangan hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim. Pemanggilan terhadap beberapa Hakim Agung yang diduga terkait dalam kasus suap adalah murni menjalankan perintah undang-undang. Namun demikian apa yang terjadi? Dua kali surat panggilan Komisi Yudisial tidak di indahkan oleh Hakim Agung Bagir Manan yang kebetulan menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, padahal sebagai petinggi hukum di negeri ini,



� keteladanan yang bersangkutan sangat dibutuhkan dalam rangka melaksanakan prinsip Equality Before The Law serta memberi suri teladan pada hakim lainnya.

Rekomendasi Komisi Yudisial tidak dilaksanakan.

Pemeriksaan terhadap beberapa hakim yang diduga melanggar kode etik dan oleh Komisi Yudisial telah direkomendasikan beberapa hakim kepada Mahkamah Agung untuk dilaksanakan atau paling tidak untuk dipertimbangkan. Menanggapi hal itu Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyatakan di Jakarta yang dikutip oleh beberapa koran, "bukankah rekomendasi Komisi Yudisial itu terserah kami, apa kami mau masukan ke kotak sampah, terserah kami". Dapatlah dibayangkan betapa ucapan seorang Hakim Agung yang melecehkan undang-undang, padahal ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang- undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 23 ayat (1) beserta alasannya bersifat mengikat disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.

Konspirasi Hakim Agung dan Advokat untuk bubarkan Komisi Yudisial

Beberapa orang hakim agung bersama advokat para hakim agung tersebut membuat rencana untuk membubarkan Komisi Yudisial di Hotel Danau Sunter Jakarta Utara tanggal 02 Febuari 2006 yang lalu. Jalan yang akan ditempuh dari rencana itu, melaporkan anggota Komisi Yudisial ke Polisi kemudian mereka akan mengatur penyidik POLRI yang memeriksa anggota Komisi Yudisial tersebut. Terlepas benar atau salah isi dokumen tersebut, namum satu hal telah terlihat bahwa pertemuan tersebut memberikan salah satu bukti bahwa mafia peradilan di lingkungan peradilan tertinggi tersebut memang ada.

Majelis Hakim yang terhormat, beberapa ekses yang ditunjukkan diatas memperlihatkan bahwa Hakim Agung telah melanggar sumpah jabatan dan melanggar konstitusi, dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan secara terencana dan sistematis. Bahwa Hakim Agung adalah figur-figur atau pejabat negara yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menegakkan hukum tapi justru berbuat sebaliknya.

Upaya untuk menyelesaikan "kecurigaan" terhadap Komisi Yudisial ini adalah dengan cara duduk bersama antara Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan juga



� Mahkamah Konstitusi untuk membicarakan tugas-tugas pengawasan hakim tersebut termasuk kode etik/code of conduct para hakim.

Atas dasar tersebut, mohon agar Majelis Hakim untuk mempertimbangkan ekses-ekses yang terjadi yang dilakukan secara sistematis dan terencana yang dilakukan oleh Hakim-hakim Agung, yang mengakibatkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 menjadi tidak efektif;

Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), telah menyerahkan dokumen-dokumen berupa:


1. Guidelines for Action on Children the Criminal Justice System; 2. Basic Principles on the Independence of the Judiciary; 3. Basic Principles on the Rule of Lawyers; 4. Code of Conduct fo Law Enforcement Officials; 5. United Nations Rules for the Protection on Juveniles Deprived of their Liberty; 6. Pedoman tentang Peranan Jaksa; 7. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines); 8. Basic Principles for the Treatment of Prisoners; 9. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (�The Beijing Rules�);


10. Guidelines on the Rule of Prosecutors; 11. Prinsip-prinsip Banglore Tentang Perilaku Pengadilan; 12. Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty; 13. United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules); 14. Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials; Menimbang bahwa para Pemohon baik prinsipal maupun Kuasa Hukum-nya telah menyerahkan Kesimpulan, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Juli 2006, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam Berkas Perkara;




� Menimbang bahwa Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, telah menyerahkan Keterangan Tambahan dan Kesimpulan, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Juli 2006, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam Berkas Perkara;

Menimbang bahwa Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, telah menyerahkan bukti di luar persidangan, yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 14 Juli 2006, dan diberi tanda T-1 sampai dengan T-11, sebagai berikut:



Bukti T-1 : Fotokopi Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Konsitusi R.I., (halaman 91 - 107); Bukti T-2 : Fotokopi Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial, (halaman 45);

Bukti T-3 : Fotokopi Tulisan A. Ahsin Thohari berjudul �Komisi Yudisial: Reformasi Peradilan�, (halaman 105 dan 107);

Bukti T-4 : Fotokopi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;

Bukti T-5 : Fotokopi Makalah Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MC.L., berjudul �Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan Mahkamah Konstitusi) Dengan Komisi Yudisial (Suatu Pertanyaan);

Bukti T-6 : Fotokopi Rasalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 11 April 2001;

Bukti T-7 : Fotokopi www.detik.com tanggal 17 Maret 2006;

Bukti T-8 : Fotokopi Tempo Interaktif tanggal 17 Maret 2006;

Bukti T-9 : Fotokopi Tempo Interaktif tanggal 21 Maret 2006;

Bukti T-10 : Fotokopi Koran Tempo tanggal 21 Januari 2006;

Bukti T-11 : Fotokopi Republika Online tanggal 21 Januari 2006;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini;