Lompat ke isi

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006/ANALISIS

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006  (2006) 
ANALISIS

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 









Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 11 April 2006 dan tanggal 2 Mei 2006, Pemerintah telah memberi keterangan secara lisan dan tertulis, yang menguraikan sebagai berikut:

I. UMUM Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Bahwa perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman (judicative power). Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Bahwa Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang lebih dipertegas



� dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mempunyai wewenang untuk mengadili pada tingkat kasasi, peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sengketa tentang kewenangan mengadili, menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-undang, dan kewenangan-kewenangan lainnya sebagai ditentukan dan diatur didalam undang-undang. Selain kewenangan tersebut, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan, tentang pelaksanaan tugas pengadilan dan tingkah laku para hakim disemua lingkungan peradilan.

Mahkamah Konstitusi sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang dirinci dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mempunyai wewenang menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, UUD 1945 telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan erat dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicative power) yaitu Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bahwa: �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�. Kewenangan Komisi Yudisial dipertegas dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa Komisi Yudisial tersebut kemudian mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Bahwa UUD 1945 telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi dibidang peradilan yaitu dengan lebih mengefektifkan fungsi pengawasan baik pengawasan internal maupun eksternal kepada Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, dan para Hakim pada semua lingkungan badan peradilan di Indonesia.



� Pengawasan internal dilaksanakan oleh organ/badan yang dibentuk oleh lembaga itu sendiri yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan kepada Hakim. Misalnya pada Mahkamah Agung terdapat Ketua Muda Bidang Pengawasan, sedangkan pengawasan eksternal sesuai ketentuan UUD 1945 dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Bahkan Mahkamah Agung pada persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Nopember 2005 yang diwakili oleh Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung R.I. sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006 berpendapat bahwa : �apapun yang dikemukakan oleh para Pemohon dalam kenyataannya sekarang, kewenangan yang ada pada Mahkamah Agung didasarkan kepada Pasal 32 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang tidak dihapuskan atau tidak dirubah oleh Undang- undang Nomor 5 Tahun 2004 dengan demikian tetap masih berlaku dimana ditegaskan dan jelas disebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.

Kemudian Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal- hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan. Mahkamah Agung juga berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan. Undang-undang menentukan pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud, ayat (1) dan (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Sedangkan kewenangan yang ada pada Komisi Yudisial sudah jelas dan kami melihat bahwa kewenangan yang ada pada Mahkamah Agung adalah pengawasan internal dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial berdasarkan, baik Undang-Undang Dasar maupun ketentuan dari Undang- undang Nomor 22 Tahun 2004 adalah kewenangan eksternal yang diberikan sepenuhnya kepada Komisi Yudisial dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim� (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006, halaman 37 s/d 38).



� Kenyataan juga pada akhir-akhir ini, kita bisa melihat kewenangan-kewenangan Komisi Yudisial dijalankan tanpa ada satu halangan apapun dan para Hakim yang dipanggil oleh Komisi Yudisial tidak pernah dilarang oleh Mahkamah Agung dan para Hakim yang dinilai oleh Komisi Yudisial mungkin tidak menjalankan profesinya dengan baik dan dinilai melakukan unprofesional conduct telah diusulkan oleh Komisi Yudisial sesuai dengan kewenangan yang ada kepadanya.

Dari uraian tersebut di atas, nampak jelas adanya kehendak yang kuat untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka tanpa campur tangan pihak manapun, yang pada gilirannya diharapkan harkat, martabat dan keluhuran perilaku Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dapat terjaga, sehingga kedepan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa hukum dapat terwujud dan rasa keadilan pada masyarakat akan menjadi kenyataan.



II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.


Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan �hak konstitusional� adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.

Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu :

a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;


� c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.


Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 butir 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.

Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Juga apakah kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

Bahwa hak konstitusional yang didasarkan pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak menyangkut para Pemohon tetapi menyangkut Mahkamah Agung, sehingga para Pemohon tidak dapat mendasarkan diri pada Pasal 24B ayat (1) sebagai landasan untuk mengkonstruksikan adanya hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan baik secara faktual maupun potensial yang timbul dalam hubungan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Undang- undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kemudian jika para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

� Kehakiman, maka hal ini perlu dipertanyakan hak konstitusional para Pemohon mana yang dirugikan?, apakah lembaga Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman itu sendiri atau hakim secara keseluruhan baik dalam lingkungan peradilan umum, tata usaha negara, agama maupun peradilan militer.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, ditegaskan bahwa: �Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�.

Dengan demikian, kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh lembaga Mahkamah Agung dan lembaga badan peradilan dibawah Mahkamah Agung dan oleh lembaga Mahkamah Konstitusi, dan bukan oleh Hakim Agung, bukan oleh hakim pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung, dan bukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Selain itu hak dan/atau kewenangan konstitusional Hakim Agung yang mana yang dianggap dirugikan karena dalam UUD 1945 tidak satupun pasal yang mengatur baik secara langsung maupun tidak langsung hak dan/atau kewenangan konstitusional Hakim Agung.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa nyata-nyata tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan atas keberlakuan kedua Undang-undang a quo, karena pada kenyataannya para Pemohon dengan jabatan sebagai Hakim Agung tetap dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk menyelenggarakan peradilan.

Karena itu Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar memerintahkan para Pemohon untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan

� sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan argumentasi Pemerintah tentang materi pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Sehubungan dengan pendapat para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan bahwa :


A. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, yaitu : 1. Pasal 1 butir 5: "Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". 2. Pasal 20: "Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim". 3. Pasal 21: �Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�. 4. Pasal 22 ayat (1) huruf e: "Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial : membuat




� laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presden dan DPR". Ayat (5): "Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta".


5. Pasal 23 ayat (2): "Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi". Ayat (3): �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�.

Ayat (5): �Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim�.


6. Pasal 24 ayat (1): �Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim�. 7. Pasal 25 ayat (3): �Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh anggota Komisi Yudisial�. Ayat (4): � Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah





� Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota�



B. Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman : "Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang" bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945, sebagai berikut :

Pasal 24B ayat (1): �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�.

Pasal 25 : �Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang".

Sehubungan dengan anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut :

1. Para Pemohon dalam permohonannya beralasan bahwa kalimat yang terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, apabila dibaca dalam satu napas dan konteknya satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial �mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung�,

Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa berdasarkan teknik penyusunan perundang-undangan maka untuk memperjelas substansi suatu norma digunakan sistem tabulasi, sehingga ketentuan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung dua kewenangan Komisi Yudisial yang berbeda yaitu :


- kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan - mempunyai kewewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.




� b. Bahwa frase "berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung" dan frase "mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim" dihubungkan oleh kata hubung "dan". Kata hubung "dan" dalam konteks ini berfungsi sebagai penghubung satuan ujaran (kata, frase, klausula, dan kalimat yang setara), yang termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi yang tidak berbeda (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). c. Bahwa secara gramatikal frase "berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung", dan frase "mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim" merupakan dua frase yang mempunyai kedudukan yang setara. Sehingga tidak mungkin frase "mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim" sebagai sub-ordinasi dari frase "berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung". d. Bahwa dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006, juga telah ditegaskan bahwa kewenangan pengawasan oleh Mahkamah Agung bersifat internal, sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial baik berdasarkan UUD 1945, maupun Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah kewenangan eksternal dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.


Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah berpendapat alasan para Pemohon yang menyatakan bahwa pengertian �mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim" adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial yaitu "mengusulkan pengangkatan Hakim Agung� tidak berkaitan dengan konstitusionalitas keberlakuan suatu undang-undang. 2. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 25 UUD 1945 mengatur syarat- syarat untuk menjadi hakim dan untuk diberhentikan sebagai hakim




� ditetapkan dengan undang-undang, yaitu antara lain: Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 (untuk Hakim Tingkat I dan Banding); Undang- undang Nomor 9 Tahun 2004 (untuk Hakim Peradilan Tata Usaha Negara); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (untuk Hakim Peradilan Agama); Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 (untuk Hakim Peradilan Militer); Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (untuk Hakim Agung); dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (untuk Hakim Mahkamah Konstitusi).

Para Pemohon menyimpulkan bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi karena untuk menjadi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding. Juga Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi hakim Ad Hoc.

Sehingga menurut para Pemohon bahwa yang dimaksud �hakim� dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bukan terhadap seluruh Hakim, melainkan Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung.

Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut :


a. Bahwa kesimpulan para Pemohon yang didasarkan pada ketentuan- ketentuan dalam : Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 (untuk Hakim Tingkat I dan Banding), Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 (untuk Hakim Peradilan Tata Usaha Negara), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (untuk Hakim Peradilan Agama), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 (untuk Hakim Peradilan Militer), Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (untuk Hakim Agung), dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (untuk Hakim Mahkamah Konstitusi), merupakan kesimpulan sepihak para Pemohon yang dijadikan dasar untuk menafsirkan kata �hakim� seperti yang tercantum dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. b. Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji konsistensi antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain, yaitu antara Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, Undang- undang Nomor 9 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 5




� Tahun 2004, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. c. Bahwa jika terjadi inkonsistensi antara undang-undang yang satu dengan yang lain yang sifatnya sederajat, maka sesuai dengan asas perundang-undangan yang menyatakan �undang-undang yang kemudian/belakangan mengenyampingkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori)�, sehingga sepanjang mengatur tentang ketentuan yang sama dan dibuat oleh lembaga yang sama pula, maka semua undang-undang yang dijadikan acuan oleh para Pemohon tersebut di atas dikesampingkan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 karena undang-undang ini diundangkan paling belakangan. Konsekuensinya semua pengertian �hakim� di dalam undang-undang tersebut diatas, harus tunduk pada pengertian hakim yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. d. Bahwa perbedaan perekrutan (rekruitmen) antara Hakim Agung dengan Hakim, tidak dapat dijadikan alasan oleh para Pemohon untuk membedakan antara Hakim Agung dengan Hakim, karena setelah menjadi Hakim (Hakim Agung, Hakim Peradilan Umum, Hakim Peradilan Agama dan Hakim Peradilan Militer) kewenangannya sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, karenanya tunduk pada lembaga pengawasan eksternal sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.


Berdasarkan uraian tersebut diatas , Pemerintah berpendapat keberatan dan alasan para Pemohon tidak relevan. 3. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang- undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut : a. Bahwa Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial merupakan salah satu rancangan undang-undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dalam rancangan awal rumusan Pasal 1 angka 5 berbunyi: �hakim adalah hakim pada semua badan peradilan di lingkungan peradilan�.





� b. Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dibuat Pemerintah, rumusan Pasal 1 angka 5 diusulkan perubahan yang berbunyi : �hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara, serta pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut�.


c. Bahwa untuk merumuskan ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut, antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah terjadi diskusi dan perdebatan yang cukup alot, intensif, tajam dan dinamis (dibahas selama tiga hari kerja dan tiga kali skorsing). Hal ini bertujuan agar dalam merumuskan ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut jangan sampai memperluas substansi dari ketetntuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 25 UUD 1945.


Berikut disampaikan kutipan beberapa pendapat anggota Panitia Kerja (PANJA) pada rapat-rapat kerja antara lain : a. Andi Mattalata, SH. M.Hum., (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan bahwa: �Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengandung 2 (dua) pesan, yaitu pertama mengenai pengangkatan Hakim Agung dan bukan Hakim Konstitusi dan juga bukan pengangkatan hakim yang lain-lain. Kemudian yang kedua adalah mempunyai kewenangan dalam rangka manjaga dan menegakkan kehormatan Hakim, maksudnya seluruh hakim selaku pelaksana kekuasaan kehakiman�. (Rapat ke-4 tanggal 21 Juni 2004). b. M. Akil Mochtar, SH., MH., (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan bahwa: kita ingin memposisikan anggota Komisi Yudisial itu di berbagai perspektif yang berhubungan dengan tugas Komisi, yang pertama, tugas komisi adalah melakukan rekruitment terhadap calon Hakim Agung, kemudian mengusulkannya kepada DPR, yang kedua tugas- tugas lain yang berkaitan dengan pengawasan dan juga mengawasi perilaku para hakim secara keseluruhan, bukan saja hanya Hakim Agung�. (Rapat ke 3 tanggal 7 Juni 2004).





� c. Drs. H. Lukman Hakim S, (Fraksi Persatuan Pembangunan) menjelaskan bahwa: kalau kita cermati betul tugas Komisi sebenarnya melakukan pengawasan dalam konteks perilaku, bukan dalam istilah pengawasan internal yang sebenarnya sudah dilakukan Mahkamah Agung�. (Rapat ke 2 tanggal 2 Juni 2004).


Setelah melakukan diskusi dan perdebatan panjang dan melelahkan, pada akhirnya rumusan Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial disetujui dalam rapat Panitia Kerja pada tanggal 21 Juni 2004, dengan rumusan: �Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�. Dari uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.


4. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, utamanya yang berkaitan dengan �pengawasan hakim�, bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan termasuk di dalamnya Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945, karena yang dimaksud "Hakim" dalam Pasal 24B tersebut tidak meliputi Hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya para Pemohon beranggapan bahwa secara universal kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada mahkamah Agung karena Komisi Yudisial merupakan mitra Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung.





� Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut :


a. Bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap hakim di lingkungan pelaku kekuasaan kehakiman pada semua tingkat termasuk Hakim Agung, adalah dalam rangka pengawasan yang berkaitan dengan teknis yustisial, yaitu dalam rangka pelaksanaan/menjalankan tugas untuk memeriksa, memutus dan mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan (pengawasan yang bersifat internal). b. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yaitu untuk melakukan pengawasan dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim (pengawasan yang bersifat ekstern), bukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim disemua lingkungan peradilan dalam memeriksa, memutus dan mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan.


Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) Undang- undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. 5. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) yang dihubungkan Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, utamanya yang berkaitan dengan "usul penjatuhan sanksi". Menurut para Pemohon, usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo. Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dilakukan oleh Komisi Yudisial dengan memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan kepada hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.




� Sedangkan pelaksanaan pemberhentian Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, sedangkan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sehingga menurut para Pemohon Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945.

Terhadap alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal ini sebagai kehendak yang kuat dari undang-undang agar dapat terwujud mekanisme checks and balances terhadap pelaksanaan indepedensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.


6. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.




� Terhadap alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat lebih dipahami apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: "Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang". Pengertian hakim mencakup keseluruhan pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan.

Dari uraian tersebut di atas maka Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.



Kesimpulan;



Bahwa perluasan pengertian seperti yang telah dirumuskan
oleh pembuat undang-undang dalam UU Komisi Yudisial dan UU
Kekuasaan Kehakiman tentang kewenangan Komisi Yudisial untuk
mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi, sudah merupakan
Mak, tugas dan kewajiban konstitusionalnya untuk merumuskan
undang-undang secara Iebih jelas, rinci, tegas sebagaimana
dimaksud UUD. Apalagi jika ditinjau dari segi historis, sistematika,
perbandingan serta fakta-fakta Iainnya, sangatlah jelas bahwa apa
yang dirumuskan dalam kedua undang-undang tersebut sudah sesuai
dengan maksud UUD.

Bahwa dengan demikian sangat jelas bahwa rumusan Pasal 1
angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22..dst, UU Komisi Yudisial dan
UU Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dipersoalkan para Pemohon,
tidak cukup beralasan jika dinyatakan harus bertentangan dengan





UUD 1945. ,bahwa Pasal-pasal tersebut sudah sesuai dengan
konstitusi baik dari segi normatif, historis, sosiologis maupun politis.

Bahwa penafsiran yang disampaikan para Pemohon dalam
permohonannya adalah penafsiran yang tidak berdasar, mengada-ada
.dan sangat manipulatif. Dan tidak lepas dari kepentingan bahwa para
hakim agung di MA resistensi terhadap pengawasan yang memang
sudah seharusnya dilakukan bagi pemegang kekuasaan. Setidaknya
hal ini terkait dengan beberapa peristiwa terakhir yang muncul dan
terungkap di MA.

Bahwa tugas, fungsi dan wewenang dalam rangka
pengawasan semua hakim oleh Komisi Yudisial dapat diartikan agar
tidak terjadi adanya pengawasan yang berbeda-beda atau berstandar
ganda terhadap para hakim. Pengawasan yang berbeda-beda atau
berstandar ganda, tidak hanya akan membingungkan dan membuat
pengawasan menjadi tidak efektif, akan tetapi juga bisa berdampak
terjadinya diskriminasi dan rasa keadilan masyarakat makin
terabaikan.

IV. KESIMPULAN AKHIR

1. bahwa kondisi peradilan di Indonesia saat ini, khususnya bagi Mahkamah
Agung dan peradilan di bawahnya masih jauh dari dambaan dan harapan
masyarakat. Dari penelitian, opini dan polling yang dilakukan berbagai
kalangan setidaknya menunjukkan bahwa kondisi peradilan dalam keadaan
buruk karena mafia peradilan (korupsi).


2. bahwa kenyatan tersebut telah lama disadari. Berbagai upaya perbaikan
memang telah dilakukan secara bertahap, sejak reformasi 1998 hingga
puncaknya pada perubahan ketiga UUD 1945 yang menegaskan prinsip
independensi dalam konstitusi. Selain penegasan prinsip independensi
tersebut, ditentukan pula mekanisme pengawasan terhadap para hakim
oleh Komisis Yudisial. Pengawasan ini sebagai bagian dari akuntabilitas
yang mesti dilakukan badan pelaksana kekuasaan kehakiman, agar
independensi bisa dibatasi tidak tidak menimbulkan tirani kekuasaan.
Keberadaan Komisi Yudisial menjadi prasyarat mutlak bahwa setiap
kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman, harus diawasi sebagaimana
adagium yang menyatakan the power tend to corrupt.





3. bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan kebutuhan dan konsekuensi
logis dari tuntutan kearah pemerintahan yang lebih menjamin prinsip cheks
and balances, transparans dan akuntabel serta partisipatif. Tidak saja
antara cabang-cabang kekuasaan (legeslatif, eksekutif dan yudisial), akan
tetapi, di dalam masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Terbentuknya
Komisi Yudisial ditujukan untuk menjamin prinsip-prinsip tersebut dapat
terlaksana di Iingkungan kekuasaan judicial (peradilan).
4. bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan satu-satunya lembaga
komisi yang dibentuk melalui UUD secara jelas, tegas dan tanpa ragu-ragu
(menggunakan huruf kapital). Hal ini berarti Komisi Yudisial adalah lembaga
negara dan kedudukannya setara dengan lembaga-lembaga negara lain
yang diatur dalam UUD, dalam hal ini MA, MK, Presiden, DPR, BPK, MPR,
DPD. Selain itu, meskipun terbatas jika dibandingkan dengan negara-
negara lain, kewenangan Komisi Yudisial juga diatur dalam konstitusi
sehingga memiliki legitimasi yang sangat kuat.
5. bahwa permohonan yang diajukan para Pemohon, memiliki konsekuensi
tidak hanya mengeliminasi kewenangan Komisi Yudisial akan tetapi juga
berdampak terhadap eksistensi terhadap kelembagaan Komisi Yudisial. Di
samping itu, dari permohonan tersebut dapat dibaca sebagai upaya
perlawanan dan penolakan (resistensi) terhadap peran pengawasan yang
dilakukan Komisi Yudisial. Resistensi yang tentunya berlawanan dengan
spirit perubahan dan konsitusi. Dari permohonan itu pula patut
dipertanyakan konsistensi dan motif para Pemohon.
6. bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebelum Komisi Yudisial
terbentuk dan melaksanakan kewenangannya, MA secara kelembagaan
turut mendorong dan mendesain keberadaan dan peran Komisi Yudisial
(bukti dari blue print MA dan Naskah Akademis RUU KY versi MA), dan
menyadari betapa perlunya keberadaan dan peran pengawasan (termasuk
untuk hakim agung) Komisi Yudisial bagi pembaruan di MA. MA mengakui
bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam pengawasan terhadap hakim.
Antara lain, pertama adanya dugaan semangat membela korps dalam
pendisiplinan hakim. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Majelis
Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang
komposisinya hanya terdiri dari kalangan hakim. Kondisi ini mengakibatkan





proses pendisiplinan kurang dapat berjalan optimal. Tidak banyak hakim
yang dijatuhi sanksi, walau jumlah hakim yang diduga melakukan
pelanggaran tidak sedikit. Kedua, hukum acara dalam proses pemeriksaan
di majelis kehormatan hakim dan hakim agung terlalu sederhana. Ketiga,
kurangnya transparansi dan akuntabilitas dari proses majelis kehormatan
dan hakim agung. Hal ini terlihat dari ketentuan yang menegaskan bahwa
pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
MA berkesimpulan mengenai pentingnya keberadan lembaga pengawas
eksternal (di luar MA). Karena sejumlah alat kelengkapan MA yang dibentuk
untuk mengawasi hakim seperti Ketua Muda MA bidang pengawasan dan
pembinaan (Tuada Wasbin), hanya mengurusi teknis peradilan,
administrasi peradilan, perbuatan dan tingkah laku (conduct) hakim dan
pejabat kepaniteraan pengadilan. MA pun menyadari. tentang adanya
overlapping antara Tuada Wasbin dengan KY. MA menganggap perlu
adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai lingkup tugas antara kedua
organ pengawasan itu. (naskah akademis hal 46-55)

Dengan diajukannya permohonan ini, MA tidak konsisten dan menjilat
Iudahnya sendiri. Meskipun 31 orang hakim agung menjadi para Pemohon
atas dasar perseorangan, namun melihat jumlah tersebut menunjukkan
suara mayoritas hakim agung, dan sulit diterima akal sehat jika hal ini tidak
diketahui atau 'dikontrol' pimpinan MA dan dianggap sebagai cerminan dari
sikap kelembagaan.


7. bahwa disadari permohonan ini akan terjadi conflict of interest para hakim
konsitusi dalam memeriksa, menyidangkan dan memutus permohonan
karena apa yang diminta para Pemohon menyangkut pengawasan Komisi
Yudisial terhadap hakim konstitusi. Disadari pula bahwa hakim konstitusi
tidak mungkin menarik diri dari permohonan ini. Oleh karena itu, Pihak
Terkait Tidak Langsung berharap agar hakim konstitusi bisa menunjukkan
sikap independensi dan kenegarawanannya dalam memutus perkara ini.
Sikap yang sangat diperlukan untuk memutus perkara ini secara tepat, adil
dan objektif. Putusan yang dapat meletakkan dan menegaskan kembali
pentingnya akuntabilitas bagi kekuasaan kehakiman. Akuntabilitas yang
dapat memperteguh prinsip independensi semua hakim, menjaga
ke'agung'an para hakim agung dan ke'negarawan'an para hakim konstitusi.





8. bahwa dari berkas permohonan yang telah diajukan para Pemohon, Pihak
Terkait Tidak Langsung berpandangan bahwa status para Pemohon tidak
jelas. Hal ini kami dasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut;
1. bahwa sebagaimana pernyataan para Pemohon (di media massa
maupun dalam persidangan pendahuluan), permohonan diajukan atas
dasar perseorangan. Namun dalam berkas permohonan, seluruh
Pemohon (hakim agung) mencantumkan jabatannya sebagai hakim
agung.


2. bahwa dalam berkas permohonan, para Pemohon tidak menggunakan
alamat pribadi/rumah/tempat tinggal masing-masing, akan tetapi
para Pemohon menggunakan alamat kantor lembaga Mahkamah
Agung yakni di JIn. Medan Merdeka Utara Kav. 9-3 Jakarta Pusat.


9. bahwa selain fakta-fakta tersebut di atas, permohonan yang diajukan atas
dasar perseorangan, namun para Pemohon mempersoalkan berlakunya
sejumlah Pasal dalam UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman
yang terkait dengan posisi/jabatan para Pemohon sebagai hakim agung.
Pasal-pasal tersebut dipandang para Pemohon potensial merugikan hak
dan kewenangan konstitusional para Pemohon. Permohonan yang diajukan
atas dasar perseorangan namun mempersoalkan pemberlakuan undang-
undang yang memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk
melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan ini menyangkut jabatan
para Pemohon, menurut pendapat Pihak Terkait Tidak Langsung sangatlah
aneh dan janggal serta terlalu mengada-ada.
10. bahwa kewenangan konstitusional yang telah diberikan kepada Komisi
Yudisial untuk melakukan pengawasan adalah kewenangan yang
menyangkut pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang suatu jabatan,
dalam hal ini jabatan tersebut adalah Hakim. Oleh karena itu, sangatlah
tidak tepat jika permohonan atas dasar perseorangan mempersoalkan hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai hakim agung yang
khawatir akan dirugikan dengan pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial
yang telah diberikan undang-undang. Pihak Terkait Tidak Langsung
berpandangan, tidak terdapat korelasi yang sangat kuat antara posisi
subjek Pemohon dengan objek/materi yang dimohonkan;





Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 27 Juni 2006, telah didengar
keterangan dari para pihak prinsipal baik para Pemohon maupun Komisi Yudisial,
yang masing-masing menerangkan sebagai berikut:

Keterangan Para Pemohon Prinsipal


1. Tentang perubahan UUD 1945.
2. Tentang kewenangan Komisi Yudisial versus kewenangan Mahkamah Agung.
3. Tentang kondisi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah beradanya Komisi
Yudisial.
Ad. 1. Tentang perubahan UUD 1945, khususnya Bab IX, tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang di dalam perubahan ketiga telah disisipkan Pasal-pasal
24A, 24B dan 24C, tetapi kemudian karena munculnya Pasal 24B, tentang
Komisi Yudisial, belum ada cantolannya (dasar pembentukannya), baru
kemudian dicarikan cantolan/dasar di dalam perubahan yang ke empat,
dengan menyisipkan ayat (3) (Pasal 24) yang dirumuskan sebagai berikut :

"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan
Kehakiman di diatur dalam Undang-Undang ".

Cara perubahan yang demikian tidak sesuai dengan "cara berfikir yang
tertib dan tidak taat azas" dengan terlebih dahulu menempatkan
"lembaganya" baru kemudian mencarikan dasar hukumnya, yang menurut
hemat para Pemohon penempatan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B,
adalah cacat hukum di dalam pembuatannya, karena dasarnya baru dibuat
kemudian.

Oleh karena itu tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip Kemerdekaan
Kekuasaan Kehakiman yang bersifat universal.

Untuk menghindarkan salah tafsir seolah-olah Komisi Yudisial menjadi
bagian dari institusi Kekuasaan kehakiman, maka akan lebih tepat jika
ketentuan tentang Komisi Yudisial sebagaimana disebut di dalam Pasal
24B, dikeluarkan dari Bab ke IX UUD 1945.




Ad. 2. Tentang Kewenangan Komisi Yudisial versus kewenangan Mahkamah
Agung :
a. Bahwa sesuai dengan Pasal 24B (1) UUD 1945 mengatur bahwa
"Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan :
Pengangkatan Hakim Agung dan "mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,





serta perilaku Hakim" ayat tersebut kemudian dimuat kembali dalam
Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi
Yudisial, dan tidak satupun kata dari ayat itu menyebut tentang
"pengawasan", tetapi kemudian muncul di dalam Pasal 20, yang
berbunyi " dalam melaksanakan wewenang "sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas pengawasan
tugas pengawasan terhadap" perilaku Hakim "dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku Hakim". Menurut pendapat para Pemohon "pengawasan
terhadap perilaku Hakim " hanyalah merupakan media dengan tujuan
pokoknya adalah "dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim". Namun
kenyataannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim,
dengan rnempergunakan pendekatan kekuasaan, yang tidak
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat para Hakim, tetapi
sebaliknya justru merusak kehormatan dan keluhuran martabat Hakim,
bahkan beberapa kasus diantaranya Komisi Yudisial telah memasuki
wilayah "terlarang" lingkup tehnis penyelesaian perkara yang menjadi
wewenang Mahkamah Agung (beberapa Hakim telah
direkomendasikan untuk diberhentikan sementara).

Para Pemohon tetap berpendapat bahwa "objek pengawasan perilaku
hakim", tidak termasuk Hakim Agung, selain karena antara Hakim
Tingkat Pertama dan Tingkat Banding berbeda aturan dan
persyaratannya dengan Hakim Agung, lagi pula di Mahkamah Agung
terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang pembentukannya
didasarkan pada Pasal 12 (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004,
tentang Mahkamah Agung. Alasan lain karena secara tehnis,
persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung dan Hakim
Mahkamah Konstitusi, jauh lebih berat dibandingkan dengan
persyaratan untuk menjadi Anggota Komisi Yudisial (S.O.R), jadi
secara tehnis akan mengalami hambatan psikologis.

b. Menurut Pasal 32 (1 s/d 4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
menggariskan "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi





terhadap penyelenggaraan Peradilan disemua Iingkungan peradilan
dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman?.

Demikian pula menurut Pasal 11 ayat (4) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004, mengatur bahwa Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-
undang. Oleh karena Mahkamah Agung, berperan sebagai pengawas
tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan disemua Iingkungan
peradilan, artinya tidak ada institusi yang Iebih tinggi di dalam
melakukan pengawasan selain Mahkamah Agung, maka tidaklah
mungkin Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung, dan Hakim
Agung tidak mungkin berada di bawah pengawasan Komisi Yudisial
fungsi pengawasan yang tertinggi yang dimiliki oleh Mahkamah Agung,
semakin menjadi strategi dan sangat relevan setelah Mahkamah Agung
melaksanakan sistim satu atap (one roof sistem).

Ad. 3. Kondisi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah adanya Komisi
Yudisial, telah disinggung bahwa selama ini pengawasan yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial, dengan mempergunakan pendekataan "kekuasaan"
dengan semata-mata mempergunakan kekuasaannya yang diatur di dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tanpa mau melihat Peraturan
Perundang-undangan yang lain, itupun tidak dilakukan secara benar.
Karena pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak
mengindahkan undang-undang lain yang seharusnya juga menjadi acuan
dan pedoman kerja bagi jajaran Komisi Yudisial, maka akibatnya tidak
jarang sepak terjangnya telah melampaui batas wewenangnya, sehingga
sangat meresahkan serta mengganggu, kinerja para Hakim. Di dalam
melaksanakan pengawasan semestinya "media pengawasan" haruslah
dilakukan dan didasarkan atas semangat itikad baik (good faith), dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku Hakim tetapi sebaliknya justru "media pengawasan"
dijadikan media untuk memasuki substansi/wilayah tehnis penyelesaian
perkara, yang bukan menjadi tugasnya, dan kemudian merekomendasikan
pemberhentian Hakim, adalah merupakan bentuk perbuatan bukan saja
intervensi dan intimidasi bahkan cenderung telah merusak sistem (lembaga





peradilan yang memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi dan
bersifat universal).

Melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, para Hakim dalam wadah
IKAHI telah berupaya untuk membangun " lembaga peradilan yang benar-
benar bebas dari intervensi Pemerintah" kemudian diwujudkan dalam
sistim satu atap, yang ketika itu ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan
jika satu atap nanti Mahkamah Agung, akan melakukan tirani judisiel, dan
ketika itu pembentuk undang-undang yang tergabung di dalam Panitia
Ad Hoc, dalam suasana pemikiran yang penuh kekhawatiran itu, dengan
alasan checks and balances berupaya meletakkan batu pertama untuk
semakin mengintervensi melalui konstitusi. Kini Mahkamah Agung yang
telah menginjak tahun kedua dalam sistim satu atap, tidak ada tanda dua
melakukan tirani, akan tetapi diubah issunya dengan "mafia peradilan"
seperti yang digembar-gemborkan oleh Komisi Yudisial dan Sdr. Denny
Indrayana (seorang doktor) ahli Tata Negara, walaupun secara tidak
langsung mengakui bahwa Lembaga Yudikatif mengalami perbaikan
khususnya terkait dengan korupsi, yang benar Mahkamah Agung juga
berupaya untuk memperbaiki diri tetapi tentu perlu waktu. Sekarang Komisi
Yudisial apabila kita perhatikan sepak terjangnya cenderung menjurus
keperbuatan tirani ala Komisi Yudisial, terhadap para Hakim yang
memutus bebas, atau sebab lain yang menurut Komisi Yudisial perlu
diusulkan untuk diberhentikan sementara. Sikap demikian bukanlah dalam
kerangka "menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku Hakim. Apabila hal ini dibiarkan maka cepat atau lambat
Kekuasaan Kehakiman akan menjadi bagian dari Komisi Yudisial dan pada
akhirnya akan mengakibatkarr hancurnya sebuah sistim ketatanegaraan
khususnya Lembaga Yudikatif sebagai penyelenggara Negara dibidang
Kekuasaan Kehakiman.

Dalam pada itu Komisi Yudisial telah masuk ke wilayah terlarang (bukan
wewenangnya) sebelum dikatakan Komisi Yudisial intervensi, justru oknum
Komisi Yudisial mengatakan Mahkamah Agung telah melakukan intervensi
tatkala Mahkamah Agung melakukan fungsi dan tugas pengawasan dalam
kasus perkara Tipikor di mana tiga orang Hakim Ad Hoc telah ke luar dari
ruang sidang, sehingga persidangan sampai mengalami pengunduran





sidang hingga enam kali. Kini Mahkamah Agung dan para Hakim merasa
khawatir dan resah terhadap Komisi Yudisial yang cenderung melakukan
"intervensi" dan menjurus ke "penghancuran sebuah sistim peradilan" yang
selama Iebih dari setengah abad kita bangun guna mencapai cita-cita
Negara Hukum, dalam mewujudkan tatanan kehidupan demokrasi".
Eksitensi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan adalah merupakan
sebuah keniscayaan di dalam negara Hukum.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, Komisi Yudisial
telah melakukan hal-hal sebagai berikut:

Bidang Teknis Yustisial


1. Komisi Yudisial telah menempatkan dirinya pada posisi yang tidak boleh
dilakukan dalam hal ini bertindak dibidang teknis dan administrasi peradilan;
2. Hakim PN Denpasar memutus terdakwa hukuman 3 (tiga) bulan, kemudian oleh
Komisi Yudisial Hakim yang memutus tersebut dipanggil, mengapa memutus
demikian;
3. Ketua Pengadilan Negeri Selatan dipanggil oleh Komisi Yudisial mengenai
pelaksanaan eksekusi;
4. Harifin A. Tumpa, (Pemohon) juga pernah dipanggil mengenai memberi petunjuk
masalah eksekusi;


Bidang Administrasi
1. Komisi Yudisial merekomendasikan Hakim Tipikor untuk diberhentikan
sementara karena walkout;
2. Ketua Pengadilan Negeri dipanggil oleh Komisi Yudisial berkait dengan
pergantian Majelis Hakim Tipikor yang merupakan kewenangan Ketua
Pengadilan;
3. Ketua Mahkamah Agung dipanggil oleh Komisi Yudisial berkait dengan
memindahkan persidangan dari Medan ke Jakarta;


Keterangan Prinsipal Komisi Yudisial
Beberapa ekses yang dilakukan oleh beberapa Hakim Agung yang mendorong
diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 serta beberapa ekses yang
mengakibatkan kurang efektifnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut
sebagai berikut :





1. Ekses-ekses yang mendorong diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004:

Kegagalan sistem yang ada.

Salah satu alasan yang mendorong keberadaan Komisi Yudisial adalah ekses
praktek peradilan yang berakibat kegagalan sistim yang ada dalam menciptakan
pengadilan yang lebih baik. Kegagalan tersebut disebabkan ketidakmampuan
aparat interen mengawasi perilaku hakim. Oleh sebab itu timbullah pemikiran
untuk menciptakan pengawasan ekstern dengan tugas pokok disamping
mengusulkan Hakim Agung juga mengawasi perilaku, sehingga diharapkan
ekses dari perilaku hakim itu dapat diminimalisir.

Kekhawatiran akan monopoli kekuasaan pada Mahkamah Agung (MA).

Terbitnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (kemudian diganti dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) yang mengganti Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, memperluas kekuasaan Mahkamah Agung dibidang organisasi,
administrasi dan finansial, menimbulkan kekhawatiran bahwa Mahkamah Agung
akan memonopoli kekuasaan kehakiman. Di samping itu penyerahan kekuasaan
tersebut ke Mahkamah Agung juga dipandang tidak akan mampu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi, bahkan dinilai dapat menimbulkan akibat atau ekses
yang lebih buruk lagi. Oleh sebab itulah timbul pemikiran ke arah pembentukan
lembaga baru yang diberi wewenang mengawasi dan saling menyeimbangkan
(checks and balances) pelaksanaan kekuasaan kehakiman sehingga ekses-
ekses yang timbul atau yang potensial menimbulkan ekses dapat diantisipasi
dan diminimalisir.

2. Ekses-ekses yang mengakibatkan kurang efektifnya pelaksanaan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 :

Perilaku yang tidak tunduk pada undang-undang.

Sebagaimana diketahui menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf c bahwa
Komisi Yudisial dalam rangka melaksanakan pengawasan, dapat memanggil
dan meminta keterangan hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku
hakim. Pemanggilan terhadap beberapa Hakim Agung yang diduga terkait dalam
kasus suap adalah murni menjalankan perintah undang-undang. Namun
demikian apa yang terjadi? Dua kali surat panggilan Komisi Yudisial tidak di
indahkan oleh Hakim Agung Bagir Manan yang kebetulan menjabat sebagai
Ketua Mahkamah Agung, padahal sebagai petinggi hukum di negeri ini,





keteladanan yang bersangkutan sangat dibutuhkan dalam rangka melaksanakan
prinsip Equality Before The Law serta memberi suri teladan pada hakim
lainnya.

Rekomendasi Komisi Yudisial tidak dilaksanakan.

Pemeriksaan terhadap beberapa hakim yang diduga melanggar kode etik dan
oleh Komisi Yudisial telah direkomendasikan beberapa hakim kepada
Mahkamah Agung untuk dilaksanakan atau paling tidak untuk dipertimbangkan.
Menanggapi hal itu Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyatakan di
Jakarta yang dikutip oleh beberapa koran, "bukankah rekomendasi Komisi
Yudisial itu terserah kami, apa kami mau masukan ke kotak sampah, terserah
kami". Dapatlah dibayangkan betapa ucapan seorang Hakim Agung yang
melecehkan undang-undang, padahal ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa usul penjatuhan
sanksi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 23 ayat (1) beserta alasannya
bersifat mengikat disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.

Konspirasi Hakim Agung dan Advokat untuk bubarkan Komisi Yudisial

Beberapa orang hakim agung bersama advokat para hakim agung tersebut
membuat rencana untuk membubarkan Komisi Yudisial di Hotel Danau Sunter
Jakarta Utara tanggal 02 Febuari 2006 yang lalu. Jalan yang akan ditempuh dari
rencana itu, melaporkan anggota Komisi Yudisial ke Polisi kemudian mereka
akan mengatur penyidik POLRI yang memeriksa anggota Komisi Yudisial
tersebut. Terlepas benar atau salah isi dokumen tersebut, namum satu hal telah
terlihat bahwa pertemuan tersebut memberikan salah satu bukti bahwa mafia
peradilan di lingkungan peradilan tertinggi tersebut memang ada.

Majelis Hakim yang terhormat, beberapa ekses yang ditunjukkan diatas
memperlihatkan bahwa Hakim Agung telah melanggar sumpah jabatan dan
melanggar konstitusi, dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan
secara terencana dan sistematis. Bahwa Hakim Agung adalah figur-figur atau
pejabat negara yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menegakkan hukum
tapi justru berbuat sebaliknya.

Upaya untuk menyelesaikan "kecurigaan" terhadap Komisi Yudisial ini adalah
dengan cara duduk bersama antara Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan juga





Mahkamah Konstitusi untuk membicarakan tugas-tugas pengawasan hakim
tersebut termasuk kode etik/code of conduct para hakim.

Atas dasar tersebut, mohon agar Majelis Hakim untuk mempertimbangkan
ekses-ekses yang terjadi yang dilakukan secara sistematis dan terencana yang
dilakukan oleh Hakim-hakim Agung, yang mengakibatkan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 menjadi tidak efektif;

Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia
Corruption Watch (ICW), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(Kontras), telah menyerahkan dokumen-dokumen berupa:


1. Guidelines for Action on Children the Criminal Justice System;
2. Basic Principles on the Independence of the Judiciary;
3. Basic Principles on the Rule of Lawyers;
4. Code of Conduct fo Law Enforcement Officials;
5. United Nations Rules for the Protection on Juveniles Deprived of their Liberty;
6. Pedoman tentang Peranan Jaksa;
7. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The
Riyadh Guidelines);
8. Basic Principles for the Treatment of Prisoners;
9. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (?The Beijing Rules?);


10. Guidelines on the Rule of Prosecutors;
11. Prinsip-prinsip Banglore Tentang Perilaku Pengadilan;
12. Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death
penalty;
13. United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The
Tokyo Rules);
14. Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement
Officials;
Menimbang bahwa para Pemohon baik prinsipal maupun Kuasa Hukum-nya
telah menyerahkan Kesimpulan, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 4 Juli 2006, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam Berkas Perkara;







Menimbang bahwa Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, telah
menyerahkan Keterangan Tambahan dan Kesimpulan, yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Juli 2006, yang isi selengkapnya ditunjuk
dalam Berkas Perkara;

Menimbang bahwa Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, telah
menyerahkan bukti di luar persidangan, yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal
14 Juli 2006, dan diberi tanda T-1 sampai dengan T-11, sebagai berikut:




Bukti T-1 : Fotokopi Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Konsitusi R.I.,
(halaman 91 - 107);
Bukti T-2 : Fotokopi Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang
Komisi Yudisial, (halaman 45);

Bukti T-3 : Fotokopi Tulisan A. Ahsin Thohari berjudul ?Komisi Yudisial: Reformasi
Peradilan?, (halaman 105 dan 107);

Bukti T-4 : Fotokopi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman;

Bukti T-5 : Fotokopi Makalah Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MC.L., berjudul
?Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan Mahkamah
Konstitusi) Dengan Komisi Yudisial (Suatu Pertanyaan);

Bukti T-6 : Fotokopi Rasalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR,
tanggal 11 April 2001;

Bukti T-7 : Fotokopi www.detik.com tanggal 17 Maret 2006;

Bukti T-8 : Fotokopi Tempo Interaktif tanggal 17 Maret 2006;

Bukti T-9 : Fotokopi Tempo Interaktif tanggal 21 Maret 2006;

Bukti T-10 : Fotokopi Koran Tempo tanggal 21 Januari 2006;

Bukti T-11 : Fotokopi Republika Online tanggal 21 Januari 2006;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini;