Penghidoepan Radja Belgie/Buku 4
Satoe tjerita jang betoel
telah kadjadian di
Europa.
PENGHIDOEPAN RADJA BELGIE IIII.
Ditjeritaken
oleh:
TJOE BOU SAN.
BATAVIA
DRUKKERIJ SIN PO
1913.
Buku IIII
[sunting]Dr. Pierson. (katja 241).
Sebuah gambar seharusnya muncul pada posisi ini dalam naskah. Jika Anda bisa menyediakannya, lihat Wikisource:Pedoman gambar dan Bantuan:Menambah gambar sebagai panduan. |
PENGHIDOEPAN RADJA BELGIE.
Djilid ka 4.
Dan sabagi anak ketjil, dengen moeka berseri-seri lantaran girang, ia laloe lompat dalem kandaran, jang membawa ia bersama graaf, menoedjoe ka hotel Westminster.
XIX.
Astana radja di Spa, ada mendjadi lebi soenji dari jang doeloe-doeloe. Aken tetapi boekan kasoenjian jang bisa membikin hati mendjadi tedoeh dan diam, sabagimana ada di'ingini oleh permeisoeri, hanja ada kasoenjian, jang terdjadi lantaran samoea orang tinggal gagoe, dan menoenggoeken sadja ketak-ketiknja lontjeng dengen pengrasahan teramat kwatir. Saban minuut, saban sa'at, kasoenjian itoe bisa berobah djadi kasepian jang sedih sekali!
Permeisoeri Marie Henriette ada sakit, penghidoepannja ada bergantoeng dengen djaroem lontjeng, jang menoendjoek djalannja djam. Ia poenja toeboe, jang doeloe banjak simpan tenaga, anggotanja jang tegoeh, sekarang samingkin lama ada kaliatan mingkin djadi lajoeh dan lemah. Kakoeatan ampir tida ada lagi padanja: kadoekahan ada menimpah ia terlaloe haibat, aken ia bisa melawan dengen tida djadi roesak kasehatan dirinja.
Salaennja toewan-toewan doktor, malaenkan ada Barones de Meaublanc dan Baron de Goffinet, jang menoenggoeken ia siang hari malem.
Toewan dan njonja baron ada kenal permeisoeri di masa ia oering-oeringan, koetika ia kadang-kadang soeka berlakoe bengis dan tida patoet, tapi iaorang ada kenal djoega permeisoeri poenja lemah-lemboet, tatkalah ia djadi malaikat penoeloeng, bagi samoea orang jang berada dalem kasoesahan.
Baron de Goffinet telah mengirim kabar kawat pada Sri baginda, membri warta jang si sakit poenja ka'adahan, ada teramat berbahaja, hingga saban djam boleh dianggap, bisa djadi jang penghabisan bagi ia poenja djiwa.
Djoega pada permeisoeri poenja poetri-poetri dikirimken ini kabaran.
Di itoe masa Baginda Leopold II ada di Bagnères de Bigorre, satoe tempat, jang boleh dibilang tida terpisah kliwat djaoe dari Spa, dimana permeisoeri ada rebah di pembaringan dengen menoenggoeken adjal.
Kendati begitoe, tida lalis baginda pergi boeroe-boeroe meliat ka'adahan istrinja, jang sedeng maoe brangkat meninggalken doenia. Apa jang mendjadi lantaran, tida saorang bisa membilang dengen tentoe. Ada jang kata, baginda poenja tida dateng, ada lantaran tida maoe membikin permeisoeri djadi terlebi koerang senang hati, tapi ada djoega jang bisik-bisik: baginda ada inget ia poenja berbagi-bagi perboeatan kedji, hingga ia kwatir, nanti mendenger perkatahan mengoetoek dari moeloet istrinja, jang maoe brangkat mati.
Pada soeatoe hari, malaenkan terdjaga oleh Baron de Goffinet, Permeisoeri Marie Henriette tarik napasnja jang penghabisan.
Dalem tahon 1853 permeisoeri menikah pada Sri Maha Radja Leopold II, dan meninggalnja adalah djato di tahon 1902, djadi 49 tahon lamanja, ia terikat dengen tali kawin, jang sanantiasa membawah berbagi-bagi kadoekahan. Sataoe apa lagi mega mendoeng itoe nanti menerkam, aken djadiken korbannja! Tida berselang brapa djam sasoeda permeisoeri wafat, Prinses Stephanie, jang koetika itoe soeda mendjadi Gravin Lonyay, laloe dateng di astana Spa dengen terbirit-birit, bersama ia poenja nonni ketjil.
Baron de Goffinet trima kadatengan poetri dengen goenaken bahasa manis.
Stephanie meliat koeliling, tapi menampak djendelah samoea ada tertoetoep, dan liat saban-saban orang jang ia katemoe, ada tarik moeka sedih sekali... iboenja soeda tida lagi di doenia, ia ada dateng terlaloe laat.
Dan dengen hati hantjoer poetri menangis, tatkalah orang anteri ia dalem kamar, dimana mait permeisoeri ada rebah diatas pembaringan.
„O, iboe, iboe jang tertjinta!" kata ia sasenggoekan, sembari berloetoet didekat mait permeisoeri.. „Sekarang terlepaslah kaoe dari berbagi-bagi kadoekahan di doenia! Kaoe barangkali ada mara padakoe, lantaran akoe soeda paksa melemparken, itoe kawadjiban tjilaka, jang politiek dan peradatan kraton, telah tempatken atas akoe poenja kadoewa poendak. Aken tetapi, tjoba kaoe, di masa masi moeda, ada berboeat seperti akoe, boleh djadi kaoe troesa rasaken getirnja doenia sampe begini haibat!"
Kamoedian poetri bersama ia poenja nonni ketjil laloe bertempat boeat samantara waktoe dalem astana Avenue du Marteau. Ia ingin mempertoendjoeki boedi jang paling penghabisan pada iboenja jang ia sanget tjinta, aken kamoedian balik kombali pada graaf, jang soeda djadi ia poenja soeami, dari siapa jang paling pertama kali ia dapet rasaken broentoengnja doenia.
Di dalem astana, Stephanie berharep, nanti bisa berdiam dalem kasoenjian, aken lebi senang melajangken pikiran, boeat beringet-inget pada permeisoeri jang soeda mangkat. Aken tetapi, kasian! Dengen mendadak poetri poenja kainginan berbalik meroepaken satoe kadjadian jang laen sekali.
Sri Maha Radja Leopold II, berselang satoe hari, sakoenjoeng-koenjoeng dateng di Spa, dan lantas pergi ka astana, dimana mait permeisoeri ada menoenggoeken waktoe boeat dikoeboer.
Koetika itoe Toewan Baron de Goffinet ada menjamboet dengen hormat sekali, kamoedian laloe menanja: „Apatah Sri baginda tida ingin meliat lagi satoe kali pada permeisoeri?"
Atas ini pertanjahan Radja Leopold tida bri djawaban, hanja malaenkan berdoedoek bengong seperti orang mengimpi. Apajang sasoenggoenja ada di pikirannja, tida saorang brani menebak dengen memastiken.
Dalem satoe kamar ketjil, sabelah menjebelah dengen kamar mati, baginda ada mengambil tempat di satoe krosi, dan menghadepken medja, sembari membatja soerat-soerat, jang atas kainginan ia sendiri, Toewan Baron de Goffinet telah kasi padanja.
Samantara ia sedeng asik membatja, pintoe kamar terboekah dengen sanget plahan. Saorang prampoean moeda laloe masoek ka dalem, sembari tangannja memegang bebrapa boengah mawar koening, jang di masa masi hidoep, teramat disoeka oleh Permeisoeri Marie Henriette.
Tatkalah matanja dapet meliat pada baginda, dengen mendadak ia lantas berdiri diam, sabagi kadoewa kakinja ada terpantek di boemi. Boengah jang dipegang, laloe djato di atas permadani, dan agaknja seperti ia tida mempoenjaken tenaga lagi, boeat poengoet kombali.
Sekali-kali ia tida mendoega, nanti bertemoe pada baginda dalem itoe kamar.
Djoega baginda mengangkat moeka. Pipinja kiri kanan, dengen mendadak mendjadi mera, samantara ia poenja aer moeka lantas berobah. Kamoedian ia berbangkit, dan sembari mengisarken krosi ka blakang, ia berseroe:
„Akoe merasa heran sekali, dapet meliat kaoe di sini!"
„Papa!" kata poetri dengen soeara sember. Lebi dari itoe ia tida bisa kaloeari laen perkatahan.
Sri Maha Radja tinggal berdiri seperti orang gagoe; matanja ada menjataken ia poenja koerang senang hati. Prinses Stephanie maoe bermoehoen sanget-sanget pada ajahnja, tapi ia poenja sasenggoekan, bersama lagi aer matanja jang toeroen sabagi oedjan, membikin ia tida bisa memboekah soeara.
Baginda menggojang lontjeng.
Baron de Goffinet terbirit-birit dateng mengamperi.
„Anteri poetri ka loear."
Toewan Goffinet laloe adjak pada Stephanie sembari memboedjoek.
„Toewan jang amat berboedi," kata poetri kamoedian dengen soeara didalem leher: „Lagi sakali akoe membilang banjak trima kasi, atas apa jang kaoe telah berboeat pada permeisoeri. Kaoe soeda menoeloeng dan menghiboerken pada iboekoe dengen sagenap hati! Itoe akoe tida nanti loepa sampe di achirnja djaman!"
Dengen sedih sekali poetri berpisah pada toewan baron, jang sakeau lama telah tinggal satia mendjadi ia poenja sobat. Kerna ia tida di'idjinken tinggal lebi lama, aken liat lagi sakali iboenja poenja roepa.
Selang bebrapa hari permeisoeri dikoeboer. Aken tetapi, samantara orang lagi bikin sembajang dengen oepatjara dalem gredja St. Gudule, Sri Maha Radja Leopold II brangkat ka kota Paris.
XX.
Maski poen benar adanja permeisoeri poenja kata, Sri Maha Radja Leopold II poenja koeping tida begitoe bisa hargaken soeara jang merdoeh, toch tida boleh dibilang, ia tida poenja pengrasahan sama sekali bagi kaindahan. Kerna matanja soeka sekali meliat barang-barang jang bagoes. Satoe patoeng jang indah, atawa satoe pigoera jang bagoes, bisa sekali bikin baginda memandang dengen tida bosan.
Permeisoeri Marie Henriette (1836-1902),
Prinses dan Aartshertogin dari Oostenrijk.
Gambar ini dibikin tatkalah ia ampir meninggal doenia.(katja 248).
Samantara kota Paris ada mempoenja Buttes Chaumont, Brussel djoega ada poenja Koekelberg, jang bisa adaken tempat bagoes sekali boeat diriken roemah, jang nanti dapet dipandang dari sa'antero kota. Diriken satoe gredja di sitoe, adalah baginda poenja kainginan, sekali poen onkost bikinnja, tida aken djadi lebi koerang dari tiga poeloe millioen frank.
Dan itoe, boekanlah ada baginda poenja niat jang paling taroetama. Di Ostende, di Villefranche, di Côte d'Azur, dan djoega di laen-laen tempat, ia diriken berbagi-bagi astana jang indah sekali. Dan apabilah ada ini atawa itoe jang menghalangken ia poenja niat, samoea lantas misti mengalah, itoe ia tida maoe ambil perdoeli. Begitoelah ia telah paksa pada orang jang poenja Palace Hôtel di Ostende, aken rombak ia poenja satoe tingkatan roemah, malaenken dengen mengasi sebab, soepaja dari sitoe orang bisa dapet liat astana radja.
Koetika pergi di wereldtentoonstelling kota Paris dalem tahon 1900, baginda dapet meliat satoe menarah Japan, tiroean dari Tokio jang sanget indah. Di itoe masa djoega Sri Maha Radja lantas dapet kainginan, membikin menarah samatjem itoe, tapi sekali poen ia maoe meniroeh itoe boeatan, toch jang hendak didiriken olehnja, ada banjak lebi bagoes dari jang toelen.
Demikian poen terdjadi. Menarah Japan jang terbikin di kota Laeken, boekan sadja ada menang dengen kota Paris, tapi djoega ada lebi bagoes dari boeatan di Tokio; terlebi poelah di dalemnja, ada banjak bri pengliatan lebi indah dari apa jang soeda diambil boeat tjonto.
Apabilah orang langkah meliwati ambang pintoe, orang nanti dapeti satoe tangga dari delapan poeloe tingkat. Tangga itoe ada tertoetoep dengen permadani tebel berwarna mera; sampe di tengah-tengah dibikin beloek ka samping, dan dari sitoe ada dikasi menandjak dengen plahan sekali, hingga orang jang naek di itoe menarah, nanti merasaken, sabagi ia ada meliwati banjak kamar-kamar. Tjahaja matahari ada menemboes dari katja-katja biroe, atawa jang berwarna seperti mas. Katja-katja itoe ada tersoengging dengen gambar-gambar, jang meroepaken: Perang Japan. Berbagi-bagi tetaneman ketjil dari negri Japan, ada ditaro di sitoe seperti satoe perhiasan jang indah sekali. Diatas itoe katja-katja tersoengging, ada dipadjangken dengen barang-barang tenoenan, jang meroepaken: Perdamian di Japan. Antero kamar di itoe menarah, terhias sanget bagoes, dan ada penoeh dengen barang-barang jang berharga mahal dan aneh-aneh dari negri Japan.
Dari ini samoea adalah njata, jang Sri Maha Radja Leopold II ada begitoe soeka dengen kaindahan, hingga perkara memboewang oewang, tida dipikirken olehnja. Dan djoestroe lantaran teramat soeka dengen kabagoesan, maka sabentar-bentar baginda pergi koendjoengi wereldtentoonstelling kota Paris, dengen tida sedikit ada merasa bosan. Ia merasa senang sekali, bergaoelan di sitoe dengen orang banjak, jang dateng dari berbagi-bagi negri, dimana sembarang waktoe bisa terdenger matjem-matjem bahasa jang ada di doenia.
Pada soeatoe hari, tatkalah baginda lagi berdjalan-djalan dalem itoe tentoonstelling, sakoenjoeng-koenjoeng ia mendapet liat pada Prins van Saksen-Coburg, jang sedeng berdiri dihadepan menarah Japan, sembari memandang tida soedanja, pada itoe barang indah.
Dengen plahan baginda dateng mengamperi, kamoedian sembari menggojang-gojang poendak mantoenja, ia berkata dengen soeara goembira:
„Ei, ei! Apatah kaoe tida bisa merasa bosen, meliat itoe barang Japan?”
Prins paling meliat.
„Eh,” kata ia, „soenggoe kabetoelan sekali. Akoe djoestroe lagi berpikir: Di tempat manatah akoe nanti bisa dapet bertemoe padamoe?”
„Nah, sekarang kitaorang soeda bertemoe. Habis... apatah jang mendjadi kaoe poenja kainginan paling taroetama?”
Prins tertawa.
„Kaloe akoe misti bitjara teroes terang apa jang akoe begitoe inginken, tentoe lebi doeloe kaoe soeda bisa mendoega, jang itoe boekan ada perkara baroe. Dan kaoe djoega tentoe satoedjoe, bilah akoe bilang, sekarang ini akoe kapingin sekali, bisa berada di soeatoe tempat, dimana kitaorang bisa berdiam dengen tida terganggoe: seperti satoe tempat tedoeh, dimana laloewasa sekali kita boleh minoem anggoer, kerna leherkoe rasanja kering, sabagi telah tahonan tida kenah aer."
„Tempat begitoe, di sini ada sampe tjoekoep, tapi kita misti djangan berboeat seperti laen-laen orang, jang lantaran berdiam di soeatoe tempat terlaloe lama, hingga tida ada tempo, meliat laen-laen kabagoesan di ini tentoonstelling."
„Itoe betoel! Dan akoe ada dapet denger djoega, jang di ini tentoonstelling bagian Hongarije poenja ka'adahan, ada banjak pengliatan bagoes," kata poelah prins. „Dari itoe, djika akoe berlambat-lambatan dengen meliat bagian ka'adahan Japan, boleh djadi akoe nanti tida dapet tempo tjoekoep, boeat saksiken itoe kaindahan kota Buda-Pest."
„Memang."
„Aken tetapi, papa, sekali poen akoe misti katinggalan boeat meliat itoe kabagoesan, tida loepoet ka'adahan kita seperti sekarang, bergaoelan pada orang banjak dengen sänget laloewasa, troesa goenaken adat-istiadat, troesa goenaken oepatjara, hanja boleh berboeat sadja seperti laenlaen orang, begitoe merdikah, boleh memandang ka sana-sini, troesa adjak orang penoendjoek djalan, tapi menoeroet sadja soeka sendiri, berdjalan koeliling, meliat ini itoe samoeanja hati dalem wereldtentoonstelling seperti ini... itoe soenggoe membikin hatikoe teramat senang, dan djoega girang sekali," kata prins lebi djaoe.
Sembari beromong-omong begitoe, iaorang sembari berdjalan.
„Hei," kata prins sakoenjoeng-koenjoeng, „apa itoe di sana boekan Congo-paviljoen?"
„Betoel," djawab baginda.
„Dan sekarang akoe djadi inget lagi satoe perkara, aken menanja padamoe. Kaloe soeka, akoe ingin denger kaoe poenja tjerita. Bagimana kadjadian dengen ka'adahan Congo?"
„Sekarang djoestroe akoe baroe bikin slesi, itoe oeroesan tjilaka, dalem persidangan jang paling blakang, dan laloeken itoe halangan, jang menetapken Belgie ada hak, tjampoer tangan dalem perkara di Congo, bersama lagi itoe larangan, aken memboekah oetang baroe dan sabaginja. Kaoe taoe, jang djoestroe ini tahon, Pamarentahan-Belgie ada dapet hak, hoeboengken itoe djadjahan dalem oeroesannja memarenta. Tapi sekarang, itoe samoea tida kadjadian, dan akoe tinggal tetap djadi pamarenta aseli boeat sakean lamanja. Jang didjadiken oendang-oendang, jaitoe akoe poenja kahendak! Akoe troesa menanja lagi pada orang, apa ia soeka begitoe atawa tida."
„Dan lebi djaoe, bagimana kaoe poenja pikiran? Apa kaoe rasa soenggoe-soenggoe itoe tanah di Afrika nanti bisa bri harepan baek di kamoedian hari?"
„Kaoe masi maoe menanja akoe poenja rasa-rasa? Ei, ei, sobat, itoe samoea akoe soeda brani pastiken. Kaoe misti taoe, bagimana kajah ka'adahan itoe negri dalem berbagi-bagi pengasilan! Jang perloe sekarang, jaitoe malaenkan kaloeari lagi kapitaal, dan boeat itoe orang-orang di Belgie ada merasa sedikit djeri. Itoe tida mengapa, akoe sendiri nanti bisa dapeti oewang, goena mengoeroes segala apa jang perloe, tapi, bilah pamarentahan maoe tanggap itoe djadjahan, nistjaja ia jang misti menanggoeng itoe samoea oetang-oetang."
„Akoe harep sadja, itoe samoea nanti terdjadi menoeroet kaoe poenja kahendak," kata prins, „tapi kaloe akoe djadi kaoe, akoe ada lebi soeka tanem akoe poenja oewang dalem laen peroesahan." Baginda mendengeri dengen bersenjoem.
„Ja, laen orang memang laen pikiran," kata ia kamoedian. „Tapi sekarang, apa kita soeda ampir sampe di itoe tempat jang maoe dipergiken, atawa barangkali kaoe soeda djalan menjasar?"
„Ikoet sadja padakoe !" kata prins. „Nah, sekarang kita biloek ka kiri. Akoe tida nanti bisa loepah, djalanan jang soeda satoe kali akoe liwati. Nah, itoe dia! Dari sini soeda bisa kaliatan ia poenja merek jang berkibar-kibar seperti mendera."
Tida sabrapa lama lagi, iaorang soeda berada di soeatoe roemah ketjil, terbikin dari kajoe.
„Sekarang, biarlah kita pilih sadja tempat doedoek jang paling senang," kata prins, „kamoedian akoe nanti kasi kaoe liat satoe nona, paling tjantik dari samoea jang ada di ini tentoonstelling."
Iaorang ambil tempat di krosi rotan, jang ada di kiri-kanannja satoe medja ketjil. Prins van Saksen-Coburg mengetok-ngetok dengen toengkatnja bèbrapa kali, dan tida berselang lama, betoel sadja satoe potongan badan jang langsing laloe dateng mengamperi.
„Ai," kata baginda dengen tida terasa lagi. Aken tetapi sigra orang jang mendatengi soeda ada terlaloe dekat, hingga si bangsawan kolot tida lagi bisa memandang dengen laloewasa.
Sasoenggoenja itoe nona jang dateng boeat melajani, ada saorang jang tjantik sekali. Ia masi moeda, dan baginda poenja mata brani pastiken, ia tida ada lebi toewa dari pangkatan oemoer toedjoe belas atawa delapan belas tahon. Doewa matanja ada bependar-pendar, meliat pada itoe doewa tetamoe agoeng, dan gerak-gerakannja ada amat sembabat dengen ia poenja potongan toeboe dan paras.
„Apatah jang di'inginken oleh toewan-toewan?" tanja ia kamoedian dalem bahasa Prasman.
„Pertama," kata baginda, jang di itoe masa ada rasaken diri sabagi djadi moeda kombali, lantaran liat kaelokan, „pertama akoe ingin taoe, namanja orang jang telah menanja dengen begitoe manis boedi."
„Goena apa?" tanja poelah itoe nona tjantik. „Panggil sadja akoe menoeroet toewan poenja soeka."
„Tida, itoe akoe koerang senang. Kerna akoe sanantiasa soeka sekali menimpalken namanja barang dengen itoe barang sendiri." „Toewan memaen."
„Sasoenggoenja ini toewan ingin sekali taoe kaoe poenja nama, nona," kata prins. „Hajo, bikinlah ia senang, dan djoega akoe, nanti toeroet bergirang."
„Baek," kata itoe nona. „Sabenarnja djoega itoe memang boekan satoe resia. Akoe poenja nama Caroline. Habis, apatah jang toewan-toewan inginken lebi djaoe?"
„Toenggoelah akoe menimpalken doeloe," kata baginda. „Caro, artinja manis, line boleh diartiken sipat, djadi sipat manis, itoe satimpal sekali. Soenggoe kaoe poenja nama ada terpilih menoeroet arti jang satoedjoe betoel."
„Atas nama akoe poenja ajah, akoe membilang banjak trima kasi padamoe, kerna boekan akoe sendiri jang pilih itoe nama. Dan sekarang.....?"
„Kasi kitaorang doewa Rijnwijnbowl, nona manis ! Tapi tjampoeri sedikit ijs, kaloe soedi, kerna kita sekarang seperti habis diganggang di api."
Si nona laloe berdjalan lekas-lekas mengamperi buffet, dimana ada sediah matjem-matjem minoeman.
„Dan, bagimana kaoe poenja pengliatan?" tanja Prins van Saksen-Coburg, samantara hatinja ada merasa koerang enak, lantaran meliat si nona tjantik begitoe banjak menimboelken baginda poenja hati opèn.
„Akoe poedji sekali kaelokannja!" djawab Leopold, samantara matanja tinggal mengintjar ka djoeroesan buffet, dimana si nona sedeng ripoe oeroesken pesenan.
Tida berselang lama boengah mawar itoe dateng kombali dengen membawah bowl, taroh itoe diatas medja, sembari kata: „Soedilah minoem, toewan-toewan!" dan lantas maoe berlaloe.
„Sabar, sabar sedikit, nona!" seroeken baginda pada si eilok. „Akoe niat minoem di sini, boekan seperti di oetanan, dimana dengen „glok-glok" satoe gelas penoeh lantas masoek kadalem peroet. Kaoe toch tentoe soedi trima, akoe tawarken kaoe sagelas bowl?"
„Trima kasi," kata si nona, sembari matanja meliat ka sana-sini, sabagi kwatir pada orang banjak, jang liwat didepan itoe kantin.
„Apa? Kaoe tampik aken minoem satoe gelas sabagi tanda persobatan... ah!"
Tapi itoe waktoe si eilok soeda bertindak ka samping sampe bebrapa langkah, berpaling sabentaran, dan berkata: „Sekarang tampik... Nanti barangkali trima!"
Kamoedian ia sigra berlaloe.
„Begitoe memang telah djadi kabiasahan," kata prins dengen tertawa. „Nanti... Orang ingin bertemoe poelah pada kita!"
„Tapi toch akoe kira ia ada poenja sebab jang patoet, aken menampik ini sekarang... Tjoba liat! Di sana!" Dan dengen menaroh lengan diatas medja, baginda menoendjoek satoe anak moeda, jang di itoe masa lekas-lekas ada mengamperi Caroline.
Philip meliat klakoean itoe tida lebi sedikit koerang senang dari Leopold, kerna tingka si nona, jang lantas boeroe mendekati itoe orang asing, ada membri kanjatahan tjoekoep, jang antara iaorang berdoewa ada satoe tali perhoeboengan jang rapat sekali.
„Ia poenja "soedara barangkali," kata baginda.
„Itoe tida boleh djadi," kata prins. „Tjoba liat sadja, marika poenja tingkalakoe ada sanget menjataken!"
Aken tetapi sigra si nona soeda mengadjak itoe anak moeda ka samping roemah, hingga soesa terliat dengen njata iaorang poenja gerak-gerakan. Jang malaenkan bisa dipandang teges sekali, jaitoe si anak raoeda ada mengitoeng apa-apa di tangannja, kamoedian masoeki itoe di kantong. Lagi sabentaran iaorang berdiri dengen berhadepan, dan boleh ditentoeken jang fihak si lelaki ada kaloeari perkatahan keras, kaloe maoe diperhatiken si nona poenja gerak-gerakan tangan, jang menandakan seperti ada katakoetan.
„Akoe tida bisa bersabar lebi lama lagi boeat itoe klakoean jang sanget koerang adjar!" seroe baginda, dan minoem isi gelasnja sampe kering, sembari ketok-ketok medja.
„Kaoe maoe apa?" tanja prins.
„Tida laen, panggil padanja kamari! Itoe lelaki djahanam tida misti goda lebi lama pada itoe nona!"
Tapi, sekali poen baginda tida mengetok terlaloe plahan, toch roepanja sabagi si eilok tida mendenger.
Oleh kerna itoe djadi Sri maha radja kasi denger boenji lebi keras dengen gelasnja.
Laen prampoean moeda dateng samperi, dan tanja dengen hormat, apa jang mendjadi doewa tetamoe itoe poenja kainginan.
„Minta nona Caroline dateng kamari," saoet Leopold seperti soeda hilang sabar.
Nona itoe lantas meliat koeliling dengen moeka kwatir, dan tatkalah matanja dapet bertemoe pada si tjantik, sigra ia berseroe:
„Caroline, Caroline! Kaoe kerdja apa di sitoe?"
„Ja, akoe nanti dateng," djawab si nona, dan satelah mengasi tabe pada itoe anak moeda, ia laloe boeroe-boeroe dateng mengamperi.
Bebrapa minuut kamoedian, ia soeda membawa lagi doewa gelas jang terisi penoeh sama bowl.
„Kaoe poenja klakoean ada loear biasa, Coroline," kata baginda Leopold sambil tertawa.
„Bagimana?" tanja si nona.
„Menoeroet biasa, orang salaloe loepaken sobatnja jang lama boeat jang baroe, tapi kaoe berboeat sabaliknja; kaoe loepaken sobat baroe boeat melajanken pada jang lama."
„Akoe moehoen kaoe ma'afken, apa jang tadi akoe telah berboeat salah."
Baginda tertawa bergelak-gelak.
Aken tetapi ia ada merasa terlaloe lantjang, aken lantas menanjaken pri hal itoe anak moeda. Laen dari itoe, djoega baginda tida perloe terlaloe boeroe-boeroe. Ia nanti dateng beroelang-oelang, dateng, dateng lagi, sampe itoe lelaki djahanam, boekan sadja mendapet taoe samoea, tapi djoega hingga dapet kanjatahan, jang si nona eilok loepaken sobat lamanja boeat melajanken pada jang baroe. Dan itoe sobat baroe, ia sendiri jang ingin djadi!
Apa jang mendjadi sebab, ia tida taoe, tapi itoe si langsing, si eilok, telah menarik ia poenja hati, lebi dari laen-laen prampoean, jang baginda pernah merasa soeka. Tjinta, itoe baginda tida taoe ngalami dan djoega tida maoe kenal. Ia senang sekali bergaoelan sama saorang prampoean, ia soeka djoega mendenger bitjara jang lemah-lemboet, satoe gelas anggoer jang ledzat dan senjoem jang manis, tapi menjinta... Ja, tjinta, sabagimana sering dikata oleh orang Prasman, tapi sekali-kali boekan tjinta seperti ia pernah liat dimaenken di atas panggoeng komedi, jang ada begitoe haloes, begitoe toeloes di hati, hingga menoeroet baginda poenja pikiran, malaenken bisa kadjadian sadja dari boewa penanja si penoelis sair, jang telah djadi beringetan gila, lantaran terlaloe banjak mengimpi.
Saprapat djam kamoedian ia bersama prins membri tabe dengen hormat pada si nona tjantik, dan berdjalan ka laen tempat.
„Itoe bowl akoe rasaken ada terlaloe dingin," kata Philip, „hingga sekarang akoe dapet kainginan, minoem bebrapa gelas whiskey. Barangkali kita nanti bertemoe lagi peri jang tjantik, boeat mendjadiken lebi sedap rasanja itoe minoeman. Apa kaoe soedi, sekarang ini gantiken akoe, menoendjoeki satoe tempat, dimana adanja itoe....."
„Dengen segala senang hati," djawab baginda. „Ikoet sadja padakoe!" Dan dengen tertawa iaorang berdjalan lebi djaoe.
XXI.
Tatkalah hari moelahi mendjadi malem Prins van Saksen-Coburg brangkat dengen kreta api, meninggali Paris, aken tetapi Sri Maha Radja Leopold tida ada inget sama sekali, aken berlaloe dari itoe iboe kota begitoe lekas.
Ia poenja hati, dengen mendadak ada djadi bimbang sekali. Kerna apa mendjadi terbit itoe pengrasahan, ia sendiri tida bisa atawa tida maoe tjari sebabnja sampe terang. Jang bisa ia taoe atawa maoe mengakoe, jaitoe di waktoe tengah hari, satoe aliran electris sakoenjoeng-koenjoeng soeda melantjong dalem hatinja, koetika ia me mandang mata si nona tjantik. Itoe rasa aneh, belon pernah mendjelemah dalem baginda poenja hati, hingga barangkali djoega ia tida taoe, dalem toeboe manoesia bisa terbit pengrasahan samatjem itoe. Hatinja telah berketak-ketik sampe sakean lamanja, dan samantara itoe waktoe, ada- lah sabagi ia dengen mendadak djadi moeda kombali.
Apatah dengen sasoenggoenja, ia, satoe bangsawan jang soeda kolot, saorang jang sanantiasa ada berhati besi, satoe toewa bangka jang sabelah kakinja soeda berada di pintoe koeboer, masi bisa bertjinta, ber-tjinta sabagi anak moeda belasan tahon?
Baginda djadi tertawa sendiri hingga bergelak-gelak, tatkalah hatinja menanja demikian, aken tetapi . . . hm, hm!
Sahabis makan, seperti ingetanja ada dibetot-betot oleh iblis, dengen tida terasa ia soeda bertindak masoek kombali dalem kalangan tentoonstelling.
Satelah berdesak-desak antara orang banjak, jang bergroemoetan seperti semoet, achir-achir baginda sampe didepan kantin. Tapi di itoe masa, adalah sapoeloe kali lebi rameh dari di waktoe siang hari, koe-tika ia dateng minoem bowl bersama Priiis van Saksen-Coburg.
Bebrapa orang asing, bebrapa pendoedoek kota Paris, ada menempati medja-medja, sedeng di bagian tempat jang terpajoeng dengen bajangan, ada berdoedoek satoe doewa pasangan jang bertjinta-tjintahan satoe sama laen.
Baginda laloe mengambil tempat di satoe krosi, jang berada paling dekat pada buffet. Bagian dalem dari kantin ada terang megentjlang dengen sinarnja lampoe electris. Sigra djoega matanja si toewa bangka mentjari koeliling, tapi si eilok tida kaliatan bajang-bajangannja.
Itoe waktoe, saking djengkel, ampir sadja baginda loepa daratan, dan maoe keroeti djidat mendeliki mata dengen oering-oeringan, koetika satoe nona laen dateng me-ngamperi, seraja menanj aken ini-itoe, aken lantas bisa melajani.
Tapi jang dateng itoe boekan si „penarik hati", hingga baginda poen djadi oga-oga'an menjaoeti. Ia poenja pikiran, jang tadi ada begitoe goembira, sekarang berobah djadi tida karoean rasa. Ia sendiri djoega ada anggap terlaloe gila, tida enak hati tjara begitoe, dengen tida beralesan apaapa, tapi biar poen bagitnana ia tjoba se- nang-senangken diri, adalah siasia sadja. Achir-achir ia berbangkit dari tempat ia doedoek, dan berdjalan ka loear dengen tida taoe kamana maoe ditoedjoe.
Koetika itoe hari soeda djadi malembetoel-betoel, hingga dengen njata bisa kaliatan gilang-goemilangnja api, jang mementjarken sinarnja ka sana-sini. Bagi orang seperti Baginda Leopold jang se- deng kalelap pikiran, boleh djadi nanti rasa diri ada tergolong dalem tjerita do- ngeng, bilah tida sabentar-bentar poendaknja tersontok oleh orang-orang, jang me- mang banjak ada berd jalan moendar-mandir.
Saban kali katoebroek, baginda sedar sedikit dari pikiran jang melajang-lajang, tapi tida lama ia djato mengimpi kombali — mengimpi sembari bertindak lebi djaoe, lobi djaoe lagi.
Ia tida poenja mata, boeat meliat begitoe banjak kaindahan jang ada di sapoeternja, kerna di hadepannja malaenken ada berbajang-bàjang roepanja si penarik hati, jang berbadan langsing dengen aer moeka berseri-seri lantaran bersenjoem, disertaken doewa mata berkilap, jang saolaholah bisa tegoeken hati sasoeatoe roh, sekalipoen sedeng ada bersediah aken bikin perdjalanan ka acherat.
Bebrapa kali baginda ada djadi terkesiap sedikit, koetika matanja ada merasa liat toeboe jang ramping tapi sasoeda djadi tedas betoel-betoel, lantas ternjata..... boekan, boekan, samoea boekan!
Kamana djoega ia „ngak-ngak-ngoek-ngoek" dengen mata penoeh kakesalan, tida si „boengah bersoeara merdoeh" maoe kasi liat roepanja, hingga achir-achir, de- ngen otak mengandoeng oering-oeringan, baginda maoe ngelojor, berlaloe dari kalangan tentoonstelling. Tapi koenjoengkoenjoeng ia merandak, tatkalah soeda ada dekat pada tempat boeat djalan ka loear.
Baginda merasa kenali satoe soeara merdoeh jang terdenger di blakangnja. Dan di itoe sa'at djoega, laloe liwat di sampingnja doewa orang dengen bergendongan tangan.
Itoe waktoe, kaloe misti bertaroan tjoe-koeri djenggot, jang baginda ada poenja begitoe bagoes, barangkali djoega ia brani, sa'ande kata itoe doewa orang boekan si „nona penarik hati" sama itoe djedjaka, jang tadi tengahari baginda ada dapet liat di kantin. Sakoetika lamanja baginda rasaken daranja brenti berdjalan. Kadoewa orang itoe roepanja ada bergaoelan rapet sekali. Apa si dia djadi, itoe djedjaka? Soedara? Atawa barangkali....
Tapi tida, tida lagi ada tempo boeat berajal-ajalan. Baginda poen mengarti itoe, maka sigra ia djalan mengoentit dari belakang sebagi lakoenja politie resia.
Aken tetapi si manis jang dikoentit dan temannja jang berdjalan sama-sama, tida sekali ada dapet endoesan, dirinja ada terintip oleh saorang dengen hati berdebar-debar.
Iaorang asik bitjara satoe sama laen. Koetika sampe di bagian tempat, dimana tida ada orang moendar-mandir, marika berdiri diam, hingga baginda djoegakapaksa misti merandak, lantaran takoet kataoehan ada memboentoeti.
Oleh kerna sekarang baginda ada berdiri sedikit terlaloe djaoe, mendjadi soesa ia dapet denger lagi apa jang dibitjaraken antara itoe doewa orang, tapi gerak-gerakan mengantjem dari si djedjaka, ada bri ka-njatahan pada baginda, omongan soeda djadi lebi sengit.
Koenjoeng-koenjoeng ada terdenger satoe soeara treak. Si nona berkoeat-koeat maoe lolosken diri, tapi tangan jang memegang tida djadi terlepas, malah mentjangkem samingkin keras.
Di itoe sa'at, seperti kaki ada terseret iblis, baginda lantas boeroe mengamperi, dan sabelon penista si nona bisa kasi katrangan apa-apa tentang perboeatannja, ia soeda dapet satoe kemplangan dengen toengkat di kapala, jang membikin ia djadi roeboeh di tanah.
Caroline tinggal berdiri sabagi kenah disamber kilat. Ia bergoemeter sa'antero toeboe dan anggota, dan awasi dengen mata penoeh katakoetan pada si toewan penoeloeng dan si penista jang telah didjatoken.
Tapi itoe djedjaka kedjam sigra bangoen kombali, dan hendak bales menj erang pada moesoenja.
Samantara itoe banjak orang dari sanasini dateng mendekati, dan dalem sakitjepan mata sadja, anak moeda i'toe telah dipegang oleh doewa politie jang mendjaga kasantausahan.
„Kaoe djoega misti lantas mengikoet pada kita!" kata satoe antaranja pada baginda.
„Akoe nanti kasi taoe namakoe dan tempat berdiam," saoet Sri Maha Radja Leopold, „itoe soeda ada sampe tjoekoep boeat orang-orang politie."
Satelah meliat baginda poen ja kaartjis dan denger nama jang mendjadi tempat kadiaman, doewa agent politie itoe lantas memoehoen ma'af, dan lepas sabentaran pada si persakitan. Broentoeng itoe waktoe ada banjak sekali orang jang berider di di itoe tempat peroesoehan, hingga penista si nona tida ada harepan boeat minggat lolosken diri.
Tida lama lagi persakitan dibawah berlaloe. Koetika itoe si toewan penoeloeng lantas meagamperi pada si nona.
„Akoe merasa tida enak sekali," kata baginda, „jang pertemoehan kita kadoewa kalinja, tida ada begitoe menjenangken hati seperti jang pertama,"
Si nona tinggal sakean lama mengawasi sambil beringet-inget.
„O," kata ia kamoedian, „kaoe tadi siang...."
„Betoel. Kaoe sekarang kaliatan tida begitoe peloepahan. Tapi, biarlah kitaorang djangan tinggal berdiri di sini terlaloe lama."
Sigra marika berdoewa berdjalan lebi djaoe, meninggalken pada orang banjak. jang meliati iaorang dengen heran, sembari bitjara satoe pada laen.
„Akoe katakoetan satengah mati!" kata poeiah si nona, sasoeda berdjalan sedikit. „Dan sekarang akoe poenja nasib soesa diperbaeki lagi! Kaoe barangkali tida kenal kabiasahannja itoe orang, toe wan! Ia salaloe sediah korbanken dji wan ja boeat dapet membales sakit!"
„Biar bagimana djoega, ini malem toch ia tida nanti bisa ganggoe lagi pada kitaorang. Sekarang, biarlah kaoe tjeritaken sadja padakoe dengen senang, bagimana adanja kaoe poenja pergaoelan pada itoe djedjaka. Bilanglah, apatah masi boleh mendjadi, aken kaoe poetoesken sa'antero perhoeboenganmoe padanja?"
„Memang djoega akoe ingin sekali berboeat begitoe, tapi akoe tida ada kabrani-han memboeka djalan."
„Kaloe akoe menoeloeng padamoe? Apa kaoe nanti tinggal takoet djoega seperti sekarang?"
„Kaoe maoe menoeloeng padakoe dalem ini perkara?"
„Ja, akoe ingin bisa berboeat begitoe. Dan sabenarnja djoega, apa jang nanti mendjadi salah, djika orang berboeat baek pada satoe nona manis seperti kaoe?"
„Trima kasi, tapi tjobalah kaoe saoeti doeloe akoe poenja pertanjahan : Apa benar kaoe ada berderadjat tinggi?"
„Betoel ada begitoe, tapi kaoe djangan loepah, jang akoe masi tinggal djadi ma-noesia djoega, satoe manoesia, jang mempoenja hati seperti kabanjakan laen-laen orang."
„Dan kaoe nanti briken toeloenganmoe padakoe?"
„Dengen segala soeka, nona, dan dalem sembarang waktoe akoe bersediah, aken berboeat apa-apa goena kaoe. Apatah kaoe masi koerang pertjaja akoe poenja bitjara ?"
„Ma'afken akoe, kaloe kaoe ada dapet rasa kesal atas akoe poenja klakoean melit. Memang djoega akoe misti lebi doeloe dJadi gila, aken bisa tida pertjaja bitjara satoe orang seperti kaoe, jang kaliatan njata boekan ada manoesia biasa jang kabanjakan. Akoe poen ing'n sekali toempaken sa'antero rasa hatikoe di hadepanmoe, kerna sabagimana kaoe bisa liat, akoe amat berdoekatjita, tapi sekarang akoe lantas misti berlaloe lagi. Akoe malaenken boleh ambil tempo mengasoh lamanja doewadjam, dan itoe waktoe soeda lama liwat." „Kaloe kita balik bersama-sama, dan kaoe bilang, jang kaoe tida maoe berkerdja lagi, bagimana?"
„Habis?"
„Soeda tentoe kaoe djadi ada poenja tempo tjoekoep, aken tjeritaken dengen senang padakoe, satoe-satoe kaoe poenja ka'adaban."
Cariline melirik ia poenja toewan penoeloeng. Dibandingken dengen dirinja, boleh dibilang baginda ada kaliwat toewa, tapi pada perkatahan-perkatahannja, masi sadja katinggalan tingka bitjaranja satoe anak moeda, dan salagi beromong-omong pada si nona, matanja Leopold ada menjimpan apa-apa, jang menerbitken „si djantoeng hati" poenja kapertjajahan.
Tapi sekalipoen begitoe „si djiwakoe" ada taoe betoel, apa nanti djadi kasoedahannja, bilah toeroet berlakoe sabagiraana baginda poenja bitjara. Matjem-matjem pikiran lantas menjoesoen tindi dalem hatinja. Apa baek ia menoeroet sadja? Kerna kaloe la menampik, boleh djadi si toewan penoeloeng tida nanti dateng mengoendjoengi lagi, dan waktoe baek aken ber-kenalan pada orang berderadjat tinggi, barangkali djoega nanti tida dateng poelah dalem saoemoer hidoepnja. Tapi sabaliknja dari laen fihak, ampir tentoe baginda nanti anggep djelek pada dirinja, djikaia boeroe-boeroe njataken kagirangan atas itoe perkara.
„Djangan begitoe," kata ia, dengen menoeroeti poetoesan jang blakangan, „lebi baek akoe balik korabali dalem perkerdjahan, tapi bilah kaoe soedi dan ada tempo aken bitjara padakoe di hari esok, akoe nanti merasa senang sekali."
„Baek, tapi di waktoe kapan?"
„Samperi akoe pada poekoel doewa. Dalem tempo itoe kaoe tida nanti bertemoe pada si djahanam."
Samantara itoe iaorang berdjalan soeda sampe di tempat si nona berkerdja, dan dengen mendjabat tangan marika berpisah satoe dengen laen.
Di itoe malem „si djiwakoe" ampir tida dapet tidoer teroes sampe pagi. Ia me-ngimpi seperti dirinja dengen mandadak soeda ada dalem kamoeliahan dan kamewahan, djadi hartawan dan berkwasa. . . ...
XXII.
Dalem kamar satoe hotel jang terhias indah, ada doedoek doewa orang dengen berhadep-hadepan. Siapa marika itoe, fentoe pembatja soeda bisa doega, kerna boekan laen, hanja ada Sri Maha Radja Belgia dan Caroline, nona djoeroe lajan satoe kantin dalem tentoonstelling kota Paris.
„Sekarang tjeritakenlah padakoe," kata baginda jang moelahi bitjara, „akoe tanggoeng tida ada satoe orang bisa dapet denger kita poenja omongan, dan segala apa jang kaloear dari kaoe poenja moeloet, maskipoen perkara bagimana ketjil, akoe nanti indahken seperti hal jang penting".
„Sampe sekarang akoe masi belon mengarti — ma'afken, toewan! — soenggoe sampe sekarang akoe belon bisa pikiri, bagimana kaoe dengen sakoenjoeng-koenjoeng maoe berlakoe begitoe baek pada- koe, hingga soedi mendengeri djoegaakoe poenja tjerita, jang barangkali telah riboehan kali masoek dalem koepingmoe."
„Apa jang kaoe aken tjeritaken pada koe, ada hal jang terales dengen kabenaran, nona, itoelah sadja sebabnja, dan akoe oelang perkatahankoe, jang akoe nanti dengeri dengen memperhatiken."
„Kaloe begitoe akoe nanti moelahi . . . Akoe terlahir di Boekarest, tapi ajahkoe berasal orang dari Rijssel, dimana ia ada bekerdja sabagi ingenienr-teekenaar dalem satoe bengkel peleboeran wadja. Tapi oleh kerna merasa diri ada tjoekoep kapandean, djadi dengen gampang ia trima koendjoengannja satoe harepan, aken dapet satoe penghidoepan jang lebi besar, dan achir-achir ia boeka satoe bengkel perleboeran besi goena diri sendiri. Tapi, toewan, biarpoen orang ada djadi djoeroe perkakas jang pinter, aken geraki satoe perkerdjahan, orang misti ada djoega mempoenja katjerdikan, peroentoengan dan pokoh oewang. Oentoeng ajalikoe memang ada amat tipis, soeda begitoe, pokoh oewang jang tjoekoep, aken sakean lama bisa manda menanggoeng roegi, poen ia tida poenja. Lantaran itoe perkerdjahan djadi berdjalan amat djelek dan achir-achir misti ditoetoep. Kamoedian ia adjak anak dan istri pergi ka Rumenie. dimana akoe telah terlahir.
Aken tetapi, djoega di itoe negri asing ajahkoe tida broentoeng. Omong-omongan bagoes, jang orang bri harepan padanja koetika maoe brangkat, tida kasi hoendjoek bajang-bajangannja, dan iboekoe, jang terkenang dengen tempat kalahirannja, djadi djato sakit pajah.
Aken terloepoet dari kasoesahan, pikir ajahkoe, ada paling baek pergi ka Paris, satoe kota, dimana begitoe banjak riboean manoesia telah bisa dapet penghidoepan.
Tapi baroe sadja kitaorang moelahi dengen itoe penghidoepan baroe, lantas djoega kadoekahan amat hai bat dateng menjerang: iboe meninggal, samantara ajab tida bisa dapet perkerdjahan, kamoedian, lantaran terpatah hati, toeboe dan anggotanja djadi penjakitan, hingga achir-achir ia dibawah ka roemah sakit, dimana sigra djoega ia menjoesoel iboe ka tempat bakah.
Akoe poenja soedara prampoean ambil akoe dalem perpelihara'annja.
Akoe misti dapet peladjaran, dan soedarakoe, dengen meliat sadja ka'adahan ia poenja diri sendiri, tida taoe laen dari pada kasi akoe masoek dalem sekola penoempangan, jang ia kira ada sampe baek.
Tatkalah akoe kaloear dari itoe tempat pergoeroean, ia tawarken akoe tinggal da- lem roemahnja, sampe akoe dapetken satoe ka'adahan, aken pelihara penghidoepankoe sendiri.
Tapi akoe poenja hati ada sedikit agoeng. Pada soeatoe hari, salagi soedarakoe membangkit-bangkit akoe dalem bebrapa perkara, akoe kaloear dari pintoe roemahnja, aken tida balik kombali. Bagimana akoe misti moelahi dengen hidoepkoe? Oewang akoe tjoema ada poenja sedikit sekali, hingga tentoe akoe tida bisa bawah penghidoepan sendiri sebrapa lama. Maka itoe lantas sadja akoe pergi ka kantor tempat tjariken orang kerdjahan.
Antara kerdja-kerdjahan jang ditawarken padakoe, akoe pilih satoe, jaitoe boeat djadi pengawe dari satoe hotel ketjil. Di sitoe akoe dapet berkenalan sama Lucien Durienx — begitoelah namanja toewan penistakoe.
Djangan kliroe, toewan ! Pada awal pertama ia itoe bisa sekali berlakoe, terbitken akoe poenja kapertjajahan, dan memastiken, akoe nanti bisa menjoesoel tempatnja goenoeng-goenoeng mas, apabilah akoe menoeroet ia poenja nasehat.
Ia bisa dapetken boeat akoe, satoe kerdjahan dalem tentoonstelling, tapi tida berlaloe lama lagi, sigra akoe dapet kanjatahan dari ia poenja niat, jang terkandoeng dalem pikirannja. Sedikit oewang perolehan, jang akoe dapet dengen mengoetjoerken kringat, malem-malem djoega ia dateng menagi, dan oleh kerna itoe masi belon bisa menjoekoepken padanja, ia soeda minta akoe berlakoe boesoek . . . . . Akoe menampik, dan sabagimana kaoe sendiri telah saksiken, ia lantas memaksa akoe dengen klakoean amat boewas. Broentoeng . . ."
„Tapi mengapatah kaoe maoe menoenggoe sampe ia brani memaksa?" tanja baginda dengen koerang sabar.
„Akoe takoet padanja, toewan !"
„Orang seperti ia tjoema pandei memboewang tingka, lebi tida."
„Kaoe poenja anggapan ada begitoe, kerna kaoe tida kenal betoel ia poenja tabiat!"
„Boleh djadi, tapi akoe tida maoe ambil taoe itoe samoea. Akoe nanti lantas moelahi dengen lepasken kaoe dari ia poenja kwasa. Kaoe liat, nona, tida salamanja satoe djahanam bisa berlakoe kotjak saba gimana jang kaoe doega."
„Kaloe sadja bisa begitoe, memang akoe paling harep."
Habis bitjara Caroline mengelah napas, dan meliati baginda dengen mata bertrima kasi. Kamoedian ia berkata poelah:
„Akoe pertjaja betoel atas kaoe poenja omongan, apabilah memang benar kaoe soeka menoeloeng padakoe."
„Itoe kaoe nanti liat, nona manis!" sabda baginda, dan angsoerken tangannja pada Coroline. Si nona samboeti itoe, laloe mengoetjap selamat berpisah.
Tatkalah soeda ada sendirian dalem kamar, Sri Maha Radja Belgie moelahi menimbang-nimbang tentang ka'adahan hati manoesia, sambil katanja dengen soeara perlahan:
„Akoe brani kata ada benar sekali, kaloe maoe dibilang, manoesia dalem hidoepnja di doenia jang fana, baek si bangsawan agoeng, baek poen si hina-dina, ada sama. sadja dalem hal mempoenja hati. Ada perkatahan perkatahan jang samoea orang anggap betoel, saolah-olah ada boewa pertinibangannja macloek Alah jang. paling berpikiran terang, tapi toch sabetoelnjà tida mengandoeng banjak kabenaran. Djalannja waktoe soeda tjoekoep membri kanjatahan, jang hasilnja pertimbangan tida sanggoep melawan kamaoehan napsoe."
⁂
Satoe-doewa minggoe kamoedian, dalem pasar kota Paris bagian sajoer-sajoeran, ada berkoempoel bebrapa pedagang prampoean, jang asik bitjara dan tertawa satoe pada laen, hingga kaliatannja seperti ada sedeng omongken perkara penting, jang menjenangken hati. „Lagi sakali akoe dapetken kaoe ada doedoek automobiel, Marie! Enak, ja, kaloe orang bisa hidoep begitoe, seperti ada djadi radia-radja?"
„Itoe toch boekan ada satoe perkara jang terlaloe heran," kata satoe prampoean laen. „Kaloe sadja orang mampoe kaloearken oewang tiga frank, nistjaja soeda tjoekoep aken toempak kandaran begitoe."
„Betoel begitoe, tapi jang akoe niaksoedken ada laen. Marie sekarang soeda ada poenja automobiel sendiri."
„Djangan kwatir, njonja Verneuil, akoe trananti loepoeti, samperl kaoe di ini tempat," kata satoe prampoean moeda, jang dalem register, namanja ada tertjatet seperti Marie Delacroix.
„Akoe harep kaoe nanti tida bei'ajalajalan, kerna samingkin lama kakikoe ada djadi mingkin bertamba males, dan djoega akoe soeda merasa bosan betoel-betoel, aken berdjalan lebi lama lagi."
„Tapi tjobalali tjeritaken jang sabetoelnja, Marie! Akoe djadi penasaran amat, dengen kaoe-orang poenja bitjara begitoe matjem."
„O, manoesia, banjak betoel jang maoe penasari orang laen poenja perkara. Tapi kaloe kaoe maoe taoe djoega, dengerlah sadja:
Tadi malem akoe lagi djalan maoe poelang ka roemah, koetika tiba-tiba akoe berpapasan dengen satoe kandaran, jang terboeka tenda penoetoepnja, dalem mana ada berdoedoek satoe njonja — begitoe akoe misti bilang, kerna pakeannja ada rebo sekali. Biasanja, boeat perkara begitoe kitaorang tida ambil perdoeli, sebab orang boleh djadi tida bisa sampe ka tempat jang maoe dipergiken, lantaran sabentar-bentar misti menoleh ka sana atawa ka sini— kaoe-orang tentoe kenal ka'adahan kota Paris. Tapi itoe masa akoe kabetoelan mengangkat moeka, daii . . . akoe kenali itoe njonja rebo sabagi akoe poenja soedara poetoesan peroet. Akoe berdiri diam dengen merasa tida habis kagoem. Itoe kandai'an poen lantas dikasi brenti.
Apatah kaoe akoe poenja soedara atawa boekan? tanja akoe.
„Memang akoe ini kaoe poenja soedara!" saoet ia.
Kaloe begitoe, boleh dibilang kaoe ada banjak lebi broentoeng dari akoe! kata'koe poelah.
Ia tertawa, kamoedian berkata lag: „Apa kaoe masi tinggal di tempat jang doeloe djoega?”
Akoe memanggoet.
Kaoe misti taoe, sobat-sobatkoe, soeda satoe tahon lamanja akoe tida dapet liat padanja. Akoe ada koerang baek pada laen soedarakoe, sama siapa ia ada tinggal bersama-sama. Kaoe-orang ada sampe kenal padakoe, dan akoe kira, tida soeatoe tjelahan jang liaroes didjatoken atas dirikoe. Akoe lebi soeka hidoep dengen roti kering, jang akoe dapetken dengen djalan pantes, dari pada makan daging sabari liari, jang misti dibelih dengen oewimg pendapetannja klakoean boesoek.”
Samoea jang mendenger bermanggoetmanggoet. Iaorang kenal betoel pada Marie Delacroix. Apa jang dibitjaraken, adalah hal dengen sabenarnja.
„Kaloe begitoe,” kata ia, demikianlah Marie teroesken bitjaranja, „sabentar malem akoe nanti koendjoengi kaoe poenja roemah. Akoe aken bawah banjak perkara boeat ditjeritaken padamoe. Kaoe tentoe soeka mendengeri, boekan?”
Baek, saoet'koe, tapi kaoe djangan mengoendjoengi dengen kandaran begini bagoes. Apa tetangga-tetanggakoe nanti bilang, djika ia-orang liat koeda besar-besar dateng brenti didepan akoe poeojaroemah!”
„Habis, apa ia dateng dengen soenggoe?” tanja satoe njonja trokmok, jang dengen soesa madjoe ka hadepan,
„Masalah ia bitjara bohong? Tapi biarlah sekarang akoe traoesa tjerita terlaloe pandjang! Sasoeda berdoedoek, soedarakoe itoe lantas toetoerken dihadepankoe satoe hikajat, jan g haroes dibilang ada aneh djoega. Satoe radja ada ambil bagian dalem penghidoepan akoe poenja soedara. Iaorang berkenalan di tentoonstelling. Katanja, Sri Maha Radja ada amat baek, kerna apa sadja jang mendjadi kahendaknja soedarakoe, ia salaloe maoe menoeroet.”
„Tida salah kaloe orang bilang, segala kaheranan belon berlaloe dari ini doenia,” kata satoe njonja, jang sakean lama ada tinggal diam. „Sadari doeloe poen soeda boekäSn perkara baroe, saorang bangsawan bernikah sama satoe nona jang berderadjat rendah. Dan sekarang ini terdjadi lagi perkara begitoe.”
„Ja, dengen soenggoe djoega ia nanti menikah pada akoe poeaja soedara. Bagoes betoel, baginda soeda ada begitoe toewa, hingga lebi mirip ia seboet dirinja ada satoe aki, dari pada mengakoeh ada djadi soeami dari satoe istri jang masi anak-anak!”
„Itoe boekan perkara loear biasa!” kata satoe njonja laen. „Akoe djoestroe baroe batja tjerita dalem satoe soerat kabar: di sitoe ada diseboet djoega, hal satoe radja bernikah sama satoe nona, jang sama sekali boekan toeroenan bangsawan.”
„Ha, kaoe soeda melantoer terlaloe djaoe dalem bitjara,” kata poelali Marie. „Satoe tjerita tinggal djadi satoe omongan boeat iseng-iseng, mana boleh dibandingken dengen hal jang sasoenggoenja ada mendjadi? Tapi kaloe kaoe denger akoe poenja tjerita, baroe kaoe nanti djadi tertjengang! Soedarakoe kata, ia ada merasa amat soeka pada Sri Baginda. Bagimanatah itoe bisa kadjadian di doenia, ampas maoe dikata ada bersari?”
Di itoe sa'at satoe lelaki moeda dateng mengamperi di tempat orang-orang prampoean ada berkoempoel, dan meliat satjara orang maoe membelih, pada laboe-laboe, jang tersoesoen seperti boekit-boekitan.
Marie Delacroix mengawasi sidjedjaka, kamoedian meliati ia poenja sobat-sobat, seperti maoe berkata: „Kawadjibankoe memanggil, toenggoe sadja sabentaran!”
Tetapi anak moeda itoe poenja roepa, kaliatan seperti tida maoe ambil perdoeli orang poenja bitjara. Ia ambil satoe laboe, dan timbang-timbang itoe dengen tangan sampe bebrapa kali.
„Laboe bagoes betoel!” kata Marie De lacroix, sambil madjoe mengamperi. „Apa toewan maoe belih?”
Si djedjaka, jang di masa itoe ada dapet waktoe, aken bitjara dengen traoesa didenger laen orang, berkata sänget perlahan:
„Tida, akoe poenja dateng boekan boeat belih ini laboe, tapi aken bitjara padamoe sendiri. Di mana kaoe ada beroemah?”
„Apa kaoe kira akoe nanti soedi kasi taoe tempat tinggalkoe pada sembarang orang?” saoet Marie dengen soeara njaring, hingga soesa ditentoeken, tida aken terdenger oleh laen-laen orang.
„St, st! djangan kaoe begitoo kotjak! Apa jang akoe maoe bitjaraken, ada tersangkoet djoega dengen kapentingan dirimoe sendiri. Inget baek-baek!”
„Kaoe maoe beromong tentang hal apa? Itoe toch akoe misti taoe lebi doeloe!”
„Hal kaoe poenja soedara. Kaoe ini nona Delacroix, boekan?” „Betoel, itoe akoe sendiri. Tapi kaoe kata soedarakoe . . . . . soedara jang mana?”
„Kaoe poenja soedara, sama siapa baroe ini kaoe ada bitjara. Apa barangkali kaoe maoe meloepahken djoega itoe perkara?”
Kabiasahan orang prampoean, jang sanantiasa maoe taoe segala perkara, ada mendjadi djoega tabiatnja Marie Delacroix. Siapa taoe, apa itoe djedjaka nanti bisa bilang padanja, jang soedaranja sendiri ada resiaken bagi dirinja!
„Baek,” kata ia kamoedian, „akoe nanti kasi taoe padamoe. Tapi hati-hati kaoe poenja batoek kapala, kaloe kaoe maen gila padakoe!” Sigra djoega ia bilangi, dimana letaknja ia poenja tempat kadiaman, sembari katanja poelah; „Poekoel delapan ini malem kaoe nanti dapetken akoe ada di roemah.”
Satelah itoe ia lantas berpaling, laloe mengamperi lagi pada sobat-sobatnja, jang masi sadja teroes bitjaraken ini dan itoe.
„Orang toeli jang tida poenja mata,” kata Marie, „masalah laboe jang paling besar ditawar tiga poeloe centime!”
Orang-orang bitjara lagi sedikit dalem laen-laen hal, tertawa poelah bebrapa kali, kamoedian lantas kawanan obrol itoe pada boebar.
Betoel sekali pada djam delapan, Lucien Durieux dateng mengoendjoengi roemahnja Marie Delacroix.
„Masoek!” kata Marie, „dan biarlah sekarang kaoe tjeritaken sadja padakoe, apa jang tersimpan dalem kaoe poenja hati.”
Lucien ambil tempat di satoe krosi, dan berlakoe sabagimana ia ada dalem roemak satoe sobat lama.
„Akoe ini ada bakal soeami kaoe poenja soedara!” kata ia.
Marie tertawa bergelak-gelak.
„Kaloe begitoe, boleh dibilang ia terlaloe soeka meliat tinggi!” kata ia kamoedian, sambil berkikik-kikik. „Ia sekarang ada harep, aken mendjoengdjoengmakota radja, kaoe taoe?”
„Boleh djadi ada benar begitoe, tapi ia tida taoe, jang diatas kapalanja ada mengantjam satoe bahaja heibat sekali.”
„Apa soenggoe ada begitoe roepa?” tanja si prampoean padagang sajoer dan aer moekanja jang girang, dengen mendadak lantas berobah djadi goerem.
„Kaoe masi maoe menanja itoe padakoe? Kasian sekali, akoe kira kaoe nanti lantas mengarti akoe poenja bitjara! Tegesnja akoe maoe bilang, satoe nona toeroenan ketjil seperti kaoe poenja soedara, misti djangan harep mendjambret langit: klakoean begitoe biasanja, digandjarkefi dengen penjesalan jang dibawah mati. Akoe ada poenja boekti-boekti atas apa jang akoe kata! Akoe misti bitjara padanja, dan kaoe misti menoeloeng padakoe dalem ini perkara. Akoe soeda bebrapa kali pergi ka hotel, dimana ia ada tinggal, tapi akoe disoeroe laloe seperti ada djadi pengemis. Akoe mengarti, orang soeda timbang, itoe ada daja jang paling baek aken berlakoe padakoe!”
Marie Delacroix doedoek berpeloek tangan.
„Akoe ampir tida bisa pertjaja ada klakoean demikian!” kata ia kamoedian.
„Tapi toch benar ada begitoe roepa!”
„Kaloe kaoe pastiken begitoe, akoe poen maoe pertjaja. Esok sadja kaoe dateng lagi dalem waktoe begini, akoe nanti berlakoe sabisa-bisa, soepaja ia djoega ada di sini.”
„Trima kasi!” kata Lucien seperti saparoh maoe bersoerak. „Kaoe ada djadi ia poenja soedara, hingga tentoe djoega ia tida nanti bertingkah kakoe seperti jang telah kadjadian pada akoe poenja diri. Akoe malaenkan ada satoe toendangan miskin, itoelah sadja jang mendjadi sebab, maka ia maoe lemparken akoe ka samping. Djika akoe memang tida kasian dan tjinta padanja dengen toeloes hati, tentoe sekali akoe nanti ichtiarken membales sakit!”
Habis bitjara Lucien berdjabatan tangan pada Marie, laloe berdjalan pergi, dengen trima perdjandjian pasti, aken bertemoe lagi di esok malem.
XXIII.
Koetika Lucien esok malemnja poekoel delapan betoel datong di roemah marie Delacroix, ia dapeti Caroline soeda ada lebi doeloe. Si njonja roemah tentoe sekali soeda tida bilang terang, siapa adanja orang jang maoe mengoendjoengi, kerna baroe sadja Lucien dianteri masoek oleh Marie, Caroline lantas berbangkit dari tempatnja berdoedoek.
„Kaoe poenja perboeatan kedji betoel!” berseroe ia dengen sengit. „Akoe belon pernah mengira kaoe bisa berlakoe sampe begini, Marie! Akoe tida maoe ini orang,” — sambil kata begitoe, ia toendjoek pada Lucien seperti ada merasa djemoe — „ada bersangkoetan apa-apa lagi padakoe ...”
„Samoea back,” kala si djedjaka, „tapi kaloe akoe maoe mcmbri nasehat goena kapentingan dirimoe sendiri, sedikitnjapoen kaoe misti mendengeri djoega! Sekarang djanganlah bertingka-tingka begitoe seperti anak ketjil, hanja sabarlah sedikit, dengeri apa jang akoe maoe bilang.”
„Soenggoe, Caro,” kata Marie, „ini toewan ada baek sekali, dan apa jang ia nanti bitjaraken, adalah kapentingan goena diri moe sendiri! Menyapalah kaoe berlakoe begitoe?”
„Ia ada ingetan baek padakoe?” kata Caroline dengen soeara menjindir: „Ah, ja, memang Marie!”
Satelah itoe ia lantas mengamperi pintoe, dengen niatan maoe berlaloe dari itoe roemah. Tapi Lucien mengandang di hadepannja.
„Hola, nona manis,” kata ia „lebi doeloe misti denger akoe poenja bitjara!”
Caroline moendoer, tatkalah meliat matanja Lucien. Mata itoe masi tinggal tetap berpengaroe, seperti raatanja oelar bilah mengawasken boeroeng-boeroeng ketjil.
„Tapi boekankah akoe soeda bilang, tida maoe bersangkoetan apa-apa lagi padamoe?” kata si nona sekarang dengen soeara sember, jang menJataken habisnja kabranihan boeat melawan lagi.
„Itoe boekan ada akoe poenja maoe. Akoe oelang perkatahanko: kaoe misti denger akoe poenja bitjara, nona manis!”
„Nah, bitjaralah, tapi dengen pendek!”
„Akoe tida perloe boeroe-boeroe. Akoe maoe bitjara biar njata dan terang ... Tapi kaoe poen tentoe tida soeka, boekan, soedaramoe toeroet terganggoe dalem kitapoenja perkara?”
„Akoe boleh lantas berlaloe ...” kata Marie.
„Tida, boekan betoel begitoe! Akoe kira ada lebi baek, ini perkara dioeroes sadja di laen tempat.”
Caroline djadi poetjat sabagi mait.
„Lucien,” kata ia dengen soeara meratap, „biarlah kitaorang bitjara di sini sadja! Mengapa kaoe berlakoe edan begitoe? Akoe tida ada berboeat salah padamoe!” „Itoe samoea memang ada di loear perkara, nona manis!” kata Lucien dengen soeara tetap. „Pertjaja, kaoe sendiri nanti djadi girang, apabilah soeda denger bitjarakoe sampe di achirnja. Hajo, marilah kitaoraug latitats brangkat!”
Caroline meringik-ringik meminta, tapi si djedjaka ada lebi pandei lakoeken kerdjahaunja memaksa, hingga saprapat djam kamoedian, iaorang berdoewa soeda ada berdjalan di soeatoe tempat jang soenji, dan ada djaoe kasana kamari.
Marika poenja bitjara seperti ada disangadja, tida maoe koeping asing dapet mendenger, hingga sekalipoen ada orang memboentoeti dari blakang, traoeroeng ia tida nanti mendapet poengoet banjak perkatahan. Kerna koepingnja poen baroe bisa dapet denger terang, koetika itoe doewa orang, sasoeda djaoe malem, maoe berpisah. Tatkalah itoe Lucien ada berkata pada si nona:
„Kitaorang djadi soeda moefakat satoe sama laen! Bagimana kaoe oeroes itoe perkara, bagi akoe ada sama sadja, tapi kaoe misti berlakoe sampe si kolot djadi baek kombali padakoe!”
„Akoe soeda rasaken lebi doeloe, Lucien, kerdjabankoe tida nanti berhasil!”
„Moestahil amat! Kaoe tjeritaken sadja perkara-perkara djoesta pada bagian jang kaoe rasa perloe. Bilah kapaksa, kaoe boleh bilang padanja, Jang akoe ini ada kaoe poenja soedara, dan sekalian kaoe boleh kata djoega, bitjaramoe doeloe ada mendjoestaken padanja. Itoe samoea tida djadi apa, anak, si kolot ada sedeng tergila-gila padamoe, hingga kaloe maoe, dengen gampang djoega kaoe nanti bisa bikin ia tida soengkan djalan dengen tangan seperti badoet komedi. Kaoe mengarti itoe, boekan?”
„Baek, akoe nanti berboeat dengen menoeroet betoel kaoe poenja kainginan. Tapi boeat berlakoe, misti ada waktoenja jang betoel, dan kaoe misti menoenggoe!”
„Sekarang njata kaoe djadi lebi tjerdik, Caroline! Akoe nanti bersabar, tapi kapantah kitaorang bertemoe kombali?”
„Laen minggoe.”
„Baek.”
Kamoedian iaorang berdjabatan tangan, dan berpisah satoe dengen laen.
⁂
„Kaoe tida bisa doega, anak, sampe dimana akoe poenja sajang padamoe! Akoe ini saorang toewa, jang ditinggali hidoep sendirian dalem kasoenjian di ini doenia. Akoe perloe dapet klakoean lemah-lemboet jang melajani, perloe mendenger bitjara jang disertaken senjoem-senjoem manis.” Caroline tertawa.
„Apa bitjaramoe ada dengen sabetoelnja?” tanja ia kamoedian dengen soeara aleman.
„Masalah tida dengen soenggoe? Poen jang akoe paling ingin, malaenkan bisa ada salamanja bersama-sama kaoe.”
„Kaloe benar ada begitoe, bawahlah padakoe ka mana kaoe pergi, maka baroelah kitaorang sanantiasa bisa ada bersamasama.”
„Soenggoe kaoe maoe, anak? Kaoe soeka ikoet akoe poelang ka negri sendiri?”
„Ka Brussel?”
„Ja, akoe nanti bawah kaoe pergi ka iboe kota dari karadjahan Belgie, dimana akoe ada djadi orang paling terhormat.”
„Boeat akoe, kanapa tida soeka toeroet? Tapi tjara apa itoe bisa kadjadian, dengen traoesa akoe djadi boewa toetoernja orang di kaoe poenja negri?”
Aer moeka baginda djadi soeram sedikit, kamoedian di sapoeter moeloetnja kaliatan senjoem, jang Caroline dapet artiken, Sri Maha Radja sekarang ada bersediah boeat baliki doenia.
Sasoeda berdiam tjara begitoe sakoetika lamanja, ia berkata poelah; „Djadi boewa toetoernja pendoedoek negrikoe? Bilah akoe bawah sendiri padamoe, bagimana?”
„Maskipoen begitoe, akoe tida nanti loepoet dari orang poenja bisik-bisik, akoe tida aken bisa bertindak, dengen traoesa ditoendjoek-toendjoek dari belakang. Kaoe, boleh berboeat sasoekamoe, tida saorang nanti brani meliat kaoe poenja moeka, kendati djoega dengen ekornja mata. Tapi bagi dirikoe ada laen sekali! Akoe tida nanti terlepas dari moeloet, djika orang maoe bitjara, dan apa jang djadi omongan, kaoe sendiri ada sampe banjak ngalami, aken bisa membilang dengen djitoe ...”
„Tapi tjobalah kaoe bilang padakoe, Caroline! Orang-orang berpikiran terang, jang manatah maoe iboeki diri dengen bitjara-bitjara jang ia sendiri tida bakalan dapet denger?”
„Kaloe begitoe, biarlah akoe tinggal sadja bodo salamanja. Kerna memang poen akoe tida ada begitoe berboedi, aken bisa tida merasa maloe, bilah akoe taoe tentoe, di belakangkoe banjak satsat-soetsoet perkara jang mendjeleki akoe poenja diri.”
„Habis, bagimana kaoe poenja maoe? Apa barangkali kaoe ada poenja atoeran jang lebi baek boeat loepoeti dirimoe dari itoe perkara, jang kaoe ada merasa amat berat? Bilang sadja teroes terang padakoe. Kaoe taoe sendiri, bagimana akoe bisa berlakoe, bilah tida mendenger doeloe kaoe poenja bitjara?”
„Akoe soeda sediah satoe daja, aken bikin dirikoe terloepoet dari bitjara orang banjak jang mendjeleki,” kata Caroline, „tapi soedikah toewankoe berdjandji doeloe, tida nanti mara padakoe? Sebab dari bitjarakoe nanti djadi njata, akoe poenja omongan jang doeloean, ada sedikit mendjoestaken padamoe .....”
Si nona kisar krosinja lebi dekat pada tempat baginda berdoedoek. Itoe waktoe, emboen terharoe” kaliatan ada berlinang-linang di mata si kolot, samantara „si djiwakoe” berkata poelah:
„Ja, akoe ada dapetken satoe daja ... Akoe sendiri djoega ada merasa koerang senang dengen itoe hal, jang akoe nanti toetoerken padamoe, tapi ... akoe kira, malaenkan itoe bisa loepoeti akoe dari omong-omongan djelek .....”
Caroline brentiken poelah bitjaranja, dan awasken pada baginda seperti ada moendoer-madjoe. „Tjeritaken teroes!” kata Sri Maha Radja sambil bersenjoem.
„Lebi doeloe berdjandjilah, toewankoe, jang kaoe nanti toeroet sabagimana akoe poenja permintahan.”
„Ah, anak, lagi-lagi kaoe maoe akoe berlakoe edan! Bagimana orang bisa toeroet apa-apa, sabelon ia denger lebi doeloe bagi mana adanja perkara?”
„Kanapa tida, toewankoe, kaloe memang betoel kaoe ada pertjaja padakoe? Kaoe toch taoe jang akoe tida nanti bermoehoen perkara jang moestahil!”
„Tida, anak manis, permintahan begitoe matjem akoe tida bisa loeloesken. Lebi doeloe akoe misti taoe . . . . .”
Itoe sa'at djoega Caroline lantas tarik tangannja jang dipegang oleh baginda, dan berbangkit dari krosi. Dengen moeka bersengoet seperti lakoenja anak-anak jang tida dapet kainginan, ia pergi berdiri dihadepan djendela, dan ketok-ketok dengen djarinja Pada katja sab agi maoe meniroe satoe lagoe.
Tida antara lama Sri Maha Radja poen bangoen dari tempatnja berdoedoek, dan samperi berdiri dekat si djantoeng hati, Sembari melajangken tangannja ka poendak orang. „Ei, ei,” kata baginda kamoedian, „apatah artinja klakoean begini? Kaoe misti djangan meminta barang Jang moestahil. Baroesan kaoe sendiri kata begitoe, tapi djoestroe kaoe sendiri djoega jang melanggar. Akoe toch misti taoe, atas hal apa akoe loeloesken kaoe poenja permintahan.”
Sekarang Caroline kaloearken ia poenja sapoetangan soetra, soesoet itoe pada matanja, dan bersedoeh-sedoeh menangis.
„Tida . . . njatalah kaoe tida sajang . . . tida . . . tjin . . . ta . . . pa . . . da . . . koe . . . Itoe . . . akoe . . . rasaken . . . betoel! Apa jang kaoe bitjara . . . malaenkan . . . .”
„Ai, anak manis, djanganlali kaoe berlakoe begitoe seperti anakketjil! Tjeritakenlah sadja apa adanja kaoe poenja kainginan. Hajo, akoe nanti berboeat apa jang akoe bisa, itoe akoe berdjandji padamoe!”
„Tida, tida, toewankoe, lebi doeloe akoe misti dapet kaoe poenja kapertjajahan! Tapi kaoe tida maoe briken itce padakoe; maka apatah jang mendjadi arti kaoe poenja sajang dan tjinta hati?”
Baginda berdiam sakoetika lamanja, sembari katanja dalem, hati:
„Tjilaka amat! Ia berlakoe begitoe toch boekan dengen niat boeat minta padakoe, bikin koebra kaoem pamarentahan Belgie atawa soeroe akoe rainoem sampe kering aer kali Schelde? Tida itoe tida bolek djadi; tentoe sekali ini ada tingkanja nonanona moeda, jang memang kabanjakan ada, poenja kabiasaban menengil! Tapi, apa akoe, si toewa bangka, misti kenah dilagoeken oleh anak-anak? . . . Ha, akoe sekarang dapet pikiran bagoes aken bikin ia girang. Ia nanti berlompat-lompat memeloek padakoe boeat bilang trinia kasi!”
Kamoedian ia berkat:, pada Caroline
„Anak manis, tida perloe lebi lama kaoe oeroeki akoe dengen segala kaoe poenja doega-doegahan djelek! Akoe sekarang maoe njataken padamoe, bagimana kliroe adanja kaoe poenja sangkahan, bilah kaoe kira, bitjarakoe malaenkan ada di bibir sadja.”
Si nona laloe menjoesoet-njoesoet mata Seperti boeat bikin kering berlinangnja aer kadoekahan, kamoedian palingken sedikit ia poenja moeka. Moeloetnja kaliatan, ada bersenjoem oeroeng.
„Kaoe maoe taoe itoe, anak?" tanja si djenggot poeti.
Si djantoeng hati memanggoet. „Baek, tapi lebi doeloe kaoe misti bilang: perkara apa si jang kaoe begitoe sänget maoe minta akoe menoeroet?”
„Kaloe toewankoe maoe minta itoe dari akoe, akoe poen bermoehoen sekarang pada toewankoe, soepaja omongmoe itoe disimpan sadja salamanja dalem sakoe,” kata si nona dengen moenjang-manjoeng, dan kaliatan seperti maoe bersedoeh-sedoeh poelah.
„Djangan begitoe lekas poetoes sabar, anak,” kata baginda, „akoe tida ada sabagi kaoe, begitoe bertabiat aneh. Akoe nanti tjeritaken padamoe . . . Kaoe tentoe soeda mengarti, jang akoe sabagi radja, tida sekali ada kapantesan, bergaoelan rapet pada satoe nona, jang malaenkan bernama Caroline Delacroix. Itoe akoe telah pikir, sadari ada tali perhoeboengan antara kita berdoewa, maka poen akoe lantas inget, aken moeliaken kaoe dengen satoe nama bangsawan. Di Belgie hal itoe teramat soesa kadjadian, kerna akoe misti lebi doeloe berhadepan sama sakalian mantrikoe, jang kamoedian baroe nanti membikin sah itoe ka'angkatan. Lantaran itoe akoe soeda madjoeken sadja permintahan pada soedarakoe, aken koerniaken kaoe satoe gelaran barones, dan dari sekarang, kaoe boleh moelahi menjeboet nama, Barones de Vaughan.”
Dengen aer moeka berseri-seri dan mata berkilat lantaran girang, si nona mengawasken pada „si toewankoe”. Ia memang ada sanget tjongkak dan soeka sekali dirinja diagoengken, hingga bagimana hatinja tergerak tatkalah mendenger bitjara baginda adalah teramat soeker diloekisken dengen malaenkan goenaken penah dan tinta. Ia aken djadi satoe njonja agoeng, seperti sasoenggoenja ada toeroenan bangsawan aseli, dan nanti terhormat oleh orang banjak ! Tapi maski begitoe, ia tida maoe bri njata boenga hatinja, dan bikin roepanja seperti dengen mendadak ada berdoekah kombali. Ia inget pada Lucien, pada antjem-antjemannja jang dioetjapken padaûja. Biar poen apa nanti djadi, ia misti dapeti djoega maksoednja. Dengen menginget demikian, djadi ia berkata sadja:
„Baek amat kaoe poenja hati, toewankoe!”
Sri Maha Radja merasa dirinja amat tertjiwa. Hatinja mendjadi sebal, liat si nona tinggal dingin sadja, mendengeri ia poenja koernia. Itoe hal tida sekali ada dikira oleh si kolot.
„Kaoe tida sedikit girang dengen itoe ka'angkatan barones?” tanja ia kamoedian dengen soeara berdoekah.
„Sekarang ada apatah perloenja kaoe briken itoe gelaran, toewankoe? Akoe poen barangkali tida ada poenja tempo begitoe baek, aken hoeboengken itoe dengen namakoe. Akoe sigra nanti balik kembali dalem ka'adaban jang doeloe. Akoe nanti djadi lagi karahajatan Prasman jang hinadina, satoe nona jang hidoep sadja dengen tetesan kringat sendiri . . . . .”
„Anak, anak manis!” kata baginda, jang tida tahan mendenger lebi lama omongnja Caroline, „kaoe berkata-kata dengen tida pikir lebi doeloe Barangkali djoega kaoe belon menginget-inget, apa jang aken djadi boewanja kaoe poenja perkatahan!”
„Akoe poen maoe bilang kaoe salah pahamken, toewankoe! Apa barangkali kaoe kira Caroline begitoe temaha kasenangan, hingga bisa boetaken mata, liat diri tida ada harganja, aken trima kapertjajahan dari satoe orang, jang sendiri berdjandji maoe menjinta, maoe berboeat sabisa-bisa . . . . .”
„Habis dengon soenggoe kaoe hendak tinggali akoe?” kata baginda dengen poeBaginda Leopold II. pada waktoe balapan
koeda di kota Paris. (katja 304).
Dalem soeara si kolot ada penoeh mengandoeng kadoekahan. Si nona, jang memang ada amat tjerdik, dapet rasaken itoe, dan siapa jang tempelken koeping pada hatinja, barangkali djoega nanti dapet denger ketak-ketiknja napsoe kagirangan. Tapi, dengen moeka dingin seperti tida perdoeliken samoea perkara, ia berkata poelah pada „si toewankoe" jang kenah dialaken :
„Keliatan kaoe masi sadja tersesat pikiran! Apa kaoe kira satoe nona seperti akoe, nanti soeka djoewal pertjintahan dengen kasenangan ? Kaoe kliroe, toewankoe! Caroline boekan ada seperti laenlaen orang jang kabanjakan!"
„Tapi boekankah akoe soeda njataken djoega katjintahankoe jang toeloes? Kaoesekarang ada bernama Barones de Vaughan!"
„Akoe tida bantah hal benarnja kaoe poenja omongan, toewankoe! Tapi, apa soenggoe kaoe masi sadja teroes mendoega,jang orang bisa dapet belih hatinja Caroline dengen gelaran barones ? Akoe tida harga aken trima kaoe poenja kapertjajahan, itoe menoendjoeki sekali jang akoe tida berharga djoega aken tertjinta olehmoe! Apa maoe akoe tinggal lebi lama didampingmoe? Apa barangkali malaenkan boeat menjenangken kaoe poenja liati dengen senjoera-senjoem manis, samantara hatikoe tertindes dengen pengrasahan doeka dan sedih? . . . . .”
Baginda berdiam lagi sakoetika lamanja. Ia pikir boelak-balik dengen sanget doeka, tapi tida ia dapet satoe akal laen, boeat memboedjoek si nona jang tertjinta. Maka achir-achir, sasoeda merasa betoel-betoel kapoetoesan daja, ia berkata:
„Kaloe kaoe ada rasa begitoe, anak manis, bilanglah sadja kaoe poen ja kainginan. Lebi doeloe akoe berdjandji padamoe, nanti menoeroet apa djoega jang kaoe minta akoe lakoeken !”
Tatkalah itoe matanja Caroline lantas djadi bertjaja kombali. Senjoem manis tersimpoel di sapoeter moeloetnja, jang sabagi ada mengemoeh aer madoe penghidoepan. Di itoe sa’at djoega ia melajangken tangannja jang lentik, memeloek leher baginda, kamoedian berseroe dengen soeara girang:
„Akoe poen memang soeda mendoega lebi doeloe! Kaoe nanti tida soengkan berboeat segala jang akoe minta padamoe, ja? Itoelah jang akoe harep dari kaoe, kerna lantaran itoe djadi njata, jang kaoe dengen soenggoe ada menjinta padakoe, boekan malaenkan di omongan sadja!”
Sri Maha Radja djadi amat terharoe oleh klakoeannja si djantoeng hati jang begitoe manis.
„Memang,” kata ia, „goena kaoe akoe nanti berboeat segala, djoega perkara jang paling moestahil, anak manis! Akoe poen trananti loepoeti mendepak dan menoemboek dengen kepalan besi, segala apa jang melintas di perdjalanan kita.”
„Sabenarnja, toewankoe!” kata poelah Caroline dengen melahat-lèhet, „akoe memang ingin sekali ikoet kaoe ka tanah Belgie, tjoema akoe rasa misti adjak satoe orang pergi bersama-sama.”
„Satoe nona atawa satoe njonja jang mendjadi sobat? Hei, akoe tida njana, kaoe ada begitoe lengket pada kawan-kawan, tapi itoe tida halangan, biarlah ia mengikoet sadja pada kitaorang.”
„Tida, boekan saorang prampoean, itoelah djoestroe jang membikin akoe berat bitjara lebi doeloe. Djika tida dapet kaoe poenja perdjandjian di moeka, tentoe djoega akoe tida nanti brani bilang padamoe teroes terang. Akoe maoe adjak satoe anak moeda, jang ada mendjadi akoe poenja sobat.”
„Satoe anak moeda?” tanja baginda dengen soeara sember. Moekanja kaliatan djadi poetjat, samantara matanja awasi si djantoeng hati dengen tida sedikit berkesip.
Caroline mengarti „si toewankoe” poenja ingetan, maka sembari bersenjoem, ia berkata dengen soeara lemah-lemboet:
„Ei, djanganlah begitoe kasoesoeh, dan lantas tjemboeroehi padakoe! Akoe bilang sadja „sobat”, tapi sabetoelnja ia ada akoe poenja soedara.”
„O, kaloe ia ada kaoe poenja soedara, djoega akoe nanti trima dengen segala soeka hati!”
„Memang, akoe poen soeda doega lebi doeloe, kaoe nanti menjaoet demikian, toewankoe! Tapi djika kaoe soeda taoe siapa adanja soedarakoe itoe, barangkali djoega kaoe sigra memoeter lagi kaoe poenja lidah. Akoe taoe betoel, kaoe ada sanget bentji padanja. Ia ada itoe orang djoega, pada siapa, belon berselang lama, kaoe ampir saling getjak di tempat tentoon stelling.”
Sri baginda moendoer satindak, dian menanja dengen soeara amat heran:
„Apa kaoe kata, Caroline?" Tapi si djantoeng hati lantas memeloek kombali leher si kolot, sembari memandang moekanja dengen senjoem meroeboeken hati.
„Apa sekarang kaoe lantas djadi mara padakoe?" tanja si nona kamoedian, sambil oesap-oesap djenggot baginda.
„Akoe merasa heiran sekali, Caroline!"
„Akoe mengarti, toewankoe! Memang djoega kaoe misti dj adi sänget heiran denger bitjarakoe."
Baginda tida berkata apa-apa. Hatinja merasa tida senang, tapi maski begitoe, traoeroeng ia tjolek-tjolek djoega pipinja si djantoeng hati amat tertjinta.
„Ma'afken akoe toewan bangsawan ^dermawan!" kata poelah Caroline, sambil pasang djidatnja aken ditjioem. „Kaloe sekarang kaoe denger akoe poenja bitjara, kaoe nanti dapet kanjatahan, jang doeloe akoe ada sedikit mendjoestaken padamoe. Doeloe hatikoe ada sedeng sengit padanja, hingga akoe tida maoe akoeh ia djadi akoe poenja soedara, tapi sekarang akoe misti bilang teroes terang padamoe, toewankoe, kerna akoe rasa, ia aken bergoena bagi kitaorang. Sabenarnja ia poenja hati tida sabagimana; malaenkan tingka lakoehnja ada kasar. Doeloe ia pernah berkerdja dalem balatantara, tapi oleh kerna ia ada berlakoe koerang adjar pada salah satoe orang di atasannja, mendjadi ia misti tinggalken penghidoepannja seperti orang militair, dan terloenta-loenta tjari laen redjeki. Sekarang ia tida taoe, bagimana ia misti berlakoe boeat pelihara diri sendiri, hingga akoe djadi kasian padanja. Pada soedara, toewankoe, saorang prampoean tida bisa djadi sabrapa gemas, terlebi poelah kaloe soedara itoe ada didalem kasoesahan! Maka akoe beroelang-oelang pikiri, tjara bagi mana misti toeloeng loepoeti ia dari kamalaratan, tapi tida akoe taoe satoe djalan jang baek. Koetika kaoe njataken moera hatimoe padakoe, soedi mengadjak akoe poelang ka tanah Belgie, sakoenjoeng-koenjoeng akoe dapet satoe ingetan, jang bilah maoe dibilang samoea aken goenanja Lucien, ada djoega faedahnja bagi kita berdoewa. Sekali poen benar dari sini kaoe sendiri jang bawah akoe pergi ka Belgie, tapi di sana tentoe tida salamanja kaoe ada di dampingkoe. Boleh dipastiken banjakan akoe misti tinggal sgndiri dalem satoe astana jang sänget loewas, dan akoe misti bergaoelan sadja dengen boedjang-boedjang. Tida satoe orang akoe taoe hati dan tabiatnja, itoelah boeat akoe, saorang prampoean, ada kabratan jang boekan ketjil. Tapi kaloe soedarakoe ada bersama-sama, samoea lantas djadi laen. Salaennja ia djadiakoe poenja teman, bersama ia akoe nanti boleh pertoendjoeki diri dihadepan segala orang dengen moeka terang ..... Apabilah kaoe koerniaken ia satoe gelaran baron, dengen traoesa kikoek kaoe boleh koendjoengi padanja, dan tjara begitoe kitaorang nanti bisa bertemoe sabrapa sering, dengen traoesa kwatir, bitjara orang jang mendjeleki."
Satoe mega kadoekahan berlipat-lipat di djidat Sri Maha Radja. Dengen manoesia apatah ia sekarang dipaksa misti bergaoelan? O, napsoe birahi aken dapeti si nona tjantik, sampe di manatah nanti membawah ia dalem kasesatan?
Tapi boetaken hati, biari si manis pilih djalan sendiri ka mana soeka, itoe boekan sadja baginda tida bisa, tapi djoega tida maoe bérboeat. Sekali poen ia didjoestaken dan ditjereweti dalem perkara jang boekanboekan, sabolehnja ia nanti telan loeda menahan sabar, kerna ia merasa tida bertenaga aken berlakoe keras pada „si djiwakoe”.
Salaennja itoe, ia telah berdjandji aken toeroet apa djoega adanja si nona poenja permintahan! Ia soeda briken perkatahannja seperti radja, dan ia merasa dirinja ada terlaloe tinggi, aken djilat kombali, apa jang satoe kali soeda dimoentaken.
Baginda liat sabentaraii pada Caroline dengen mata jang menjataken binasanja hati. Si nona poenja moeka berobah djadi mera djamboe. Apa barangkali ia merasa hina aken diri sendiri, lantaran ia telah berdaja saboleh-boleh boeat paksa si kolot, jang menjinta dengen satoeloes hati, menjerah kalah, malaenkan dengen goenaken pengaroenja ia poenja roepa jang tjantik?
Tapi kita poenja bandot toewa tida dapet njataken soeatoe apa, hingga tidalah heiran bilah ia lantas berkata pada si nona:
„Baek, anak, samoea nanti djadi menoeroet kaoe poenja maoe. Akoe soeda berdjandji, tentoe tida maoe moengkir lagi. Bikin sadja persediahan apa jang perloe. Kitaorang sigra nanti brangkat.”
Kamoedian ia berlaloe dari kamar, seperti dengen mendadak soeda mendjadi gaga dan pesat kombali.
XXIV.
Telah selang bebrapa minggoe lamanja, villa Vanderborght di Heysel dalem kota Laeken, trima datengnja orang jang mengisi. Satoe antaranja ada satoe nona moeda dan tjantik, tapi berklakoean agoeng sekali. Jang laen satoe pengoentit redjeki, jang adat dan kabiasahannja, tida sedikit mirip dengen perketinja orang bangsawan; ia mengandel betoel atas perlindoengan besar jang didapet oleh si nona, hingga ia merasa boleh berboeat segala klakoean kedji dan doerhaka, dengen traoesa dapet tjegahannja oendang-oendang negri: ia anggap dirinja ada poehoen paling besar dalem doenia, jang malaenkan ajoemannja, bisa bikin „tempat mandi pertjintahan” poenja aer, tinggal sedjoek salamanja.
Doewa orang itoe adalah Barones de Vaughan dan ia poenja „soedara”. Marika poenja penghidoepan, sabolehnja maoe diatoer dengen menoeroet betoel satjara orang berderadjat tinggi, tapi bagimana sabenariija ada kabiasahan satoe bangsawan aseli, iaorang tjoema taoe samar-samar sadja. Marika malaenkan taoe berlakoe agoeng-agoengan dan borosken oewang, sabagimana biasanja orang jang baroe menemboki harta, lebi djaoe . . . orang dalem itoe astana kapaksa misti bermesem, meliat iaorang poenja klakoean kikoek dalem perkara ini atawa itoe. Kadang-kadang satoe boedjang misti boeroe-boeroe kasi naek ia poenja idoeng, aken tida djadi tertawa, atas barones atawa „soedaranja” poenja kliroe artiken kagoenahannja satoe barang jang belon dikenal.
Jang paling menjenangken hatinja orangorang kampoengan di Heysel, adalah oleh kerna itoe doewa bangsawan boerit poenja koeping, gampang sekali kamasoekan obrol beboeronan, jang atjap kali bisa kadjadian, orang dapet siratan dengen grimisnja mas.
Aken tetapi antara ka'adahannja iaorang berdoewa, ada satoe hal jang sänget berlaenan: Barones de Vaughan, kendati djoega ada berklakoean agoeng, lebi djaoe tida soeatoe apa perboeatannja, jang menjoesaken orang, sabaliknja ia poenja „soedara”, amat soeka bertingka gila-gila, jang membikin orang kapaksa adoeken pada hakim tentang hal ini atawa itoe.
Itoe matjem-matjem kaedanan, bagi baginda poen tida tinggal tertoetoep. Pada soeatoe malem moesin zomer, si kolot itoe dateng mengoendjoengi ia poenja djantoeag hati. Ia adjak barones berdjalan-djalan di taman, jang ada berwatasan dengen astananja sendiri. Sri Maha Radja ada sanget berdoeka dan amat oga-ogahan mengomong. Meliat begitoe, „si djiwakoe” djadi merasa tjoeriga, dan menanja dengen soeara ratap seperti anak ketjil jang aleman:
„Kaoe mengapa, toewankoe? Tida sari-sarinja kaoe begltoe pendiam. Apa barang kali akoe ada berboeat soeatoe kasalahan, jang membikin kaoe poenja hati djadi koe rang senang?”
„Akoe ampir tertawa atas kaoe poenja pertanjahan, Caroline!” saoet baginda sambil mengeiah napas.
„Mengapa begitoe, toewankoe! Hajo, lekaslah bilang apa jang telah membikin kuoe begitoe koerang senang hati! Akoe merasa leher seperti tertjekek, menoenggoeken kaoe poenja poetoesan. Kaloe kasalahankoe tida terlaloe besar, djika dosakoe masi boleh dibri ampoen, dengen sigra akoe nanti maoe berdaja boeat bikin kaoe djadi senang kombali. Tapi lekaslah Djataken!”
Baginda mengelah napas, kamoedian berkata dengen soeara ampir tida kadengeran: „Sabenarnja, lebi baek doeloe akoe tida toeroet kaoe poenja kainginan.”
„Kainginan apa, toewankoe?”
„Aken adjak itoe „soedara sopan” bersama-sama ikoet ka mari.”
„Tapi ia toch tida mengganggoe kitaorang poenja kasenangan, toewankoe! Habis, ada apa halangan ia tinggal bersama 'koe di sini? Ini soenggoe akoe tida mengarti!”
„Memang, roepanja seperti ia bisa sekali pegang pri kasopanan! Tapi pada politie sabentar-bentar ada sad j a pengadoehan atas ia poenja loetjoe-loetjoe. Bebrapa kali akoe soeda bekerdja boeat dapeti kabebasan goena ia, tapi ... trinia kasi betoel, kaloe akoe misti salamanja berboeat begitoe!”
„Habis bagimana kaoe maoe atoer boeat ia?”
Sambil berkata aer moekanja Caroline berobah djadi soeram.
„Tida ada laen jang lebi baek, dari soeroe ia pergi dari sini, dan djoega misti salekas lekasnja.”
Bebrapa sa'at lamanja si nona tida bri kanjatahan apa-apa, dan berdjalan teroes di samping baginda. Sekarang Lucien tida perloe memeras lagi padanja dalem perkara oewang, kerna „soedara” itoe bisa dapet segala apa jang di'ingini dari fihak si kolot. Lantaran itoe bagi barones, ada lebi baek saratoes kali, anak moeda itoe tinggal tetap ada di dampingnja, aken membikin ia sabentar-bentar berdjekak-djekak tertawa, dengen klakoean djinaka. Salaennja itoe, memang djoega ada enak sekali, mempoenja teman mengomong dan bertjanda dalem satoe astana, dimana samoea orang baroe sadja dikenal bebrapa hari lamanja. Kerna Sri Maha Radja ampir tida taoe mengoendjoengi pada barones, hanja saban-saban minta si djantoeng hati dateng padanja dalem astaaa sendiri. Baginda poenja klakoean seperti ada kikoekkikoek bilah ada di villa Vanderborght.
Tapi kaloe ditimbang dari laen fihak, Caroline tida nanti bermasgoel bagimana sedikit poen, kapan Lucien misti lantas brangkat pergi. Kerna, bilah „soedara” itoe soeda tida ada, ia nanti boleh merasaken lebi senang dalem penghidoepannja seperti bangsawan. Dengen tida teroesik ia aken boleh berlakoe, seperti betoel-betoel ada toeroenan orang berderadjat tinggi jang aseli. Apa lagi memang barones sanantiasa ada mengira, bahoewa boeat djadi mirip soenggoe-soenggoe dengen kaadahannja bangsawan agoeng, orang perloe sekali berlakoe tinggiken diri, danplahanplahan boewang segala apa jang mendjadi kabiasahannja orang kampoengan. Itoe satnoea tida nanti bisa dilakoeken dengen laloewasa, apabilah Lucien masi ada bersama-sama di sitoe. Saban-saban ia nanti tertawaken, dan berkata:
„Baron? Barones? Hm! itoe sama sekali perkara kosong. Bagi akoe, bisa djadi baron poen baek , tapi jang paling bergoena boeat pengbidoepan, ©ewanglah sad ja, Caroline!”
Itoe omongan menimboelkcn sanget sekali si nona poenja koerang senang hati: ia rasaken dirinja terhina, dadanja tertikam dengen pisoh beratjoen. Salagi berdjalan di samping baginda, koepingnja sabagi ada mendenger perkatahan itoe diseboet lagi beroelang-oelang. Maka koetika baginda berkata, Lucien sigra misti berlaloe dari villa Vanderborght. Barones de Vaughan tida merasa ada kabratan, dan achir-achir berkata:
„Bagi akoe perkara itoe tida ada halangan. Akoe poen lebi soeka liat ia lantas pergi dari sini, dari misti ada bersama-sama boeat salamanja.” Aer moeka Sri Maha Radja Leopold berseri bahna teramat girang. Sadari ia kenal pada Caroline, belon pernah satoe kali ia ngalami si nona begitoe gampang maoe menoeroet ia poenja kahendak. Ia, jang sanantiasa kainginannja tida kenal halangan, niatnja tida pernah toendoek pada permoehoenan jang menjegah, ia sekarang misti membentoek kapala atas apa si nona poenja kamaoehan! Hingga poen tida heiran, tatkalah meliat Caroline berlakoe begitoe manis, baginda poenja hati djadi sanget tergerak, dan sambil memeloek kentjeng-kentjeng pada si djantoeng hati, ia berkata:
„Kaoe baek sekali, hati djiwakoe!”
Kasian! Si kolot soeda tida lagi bisa pahamken, bahoewa dengen klakoean itoe, boekan sekali Caroline menoeroet ia poenja kahendak, tapi ada berboeat goena diri sendiri.
Pah bandot soeda djadi mabok betoel-betoel kerna bertjinta. Ia memeloek begitoe lemboet pada si djantoeng hati, sabagi I djoega pasangan orang moeda, jang bertjinta-tjintahan di boelan Mei. Tjara demikian iaorang djalan menjimpang ka satoe djalanan ketjil. Tapi di itoe sa'at djoega, koenjoeng-koenjoeng kadengeran soeara berkrisik, dan satoe potongan jang langsing kaliatan ada berdiri di perdjalanan iaorang. Orang itoe adalah Prinses Clémentine.
Koetika meliat ajahnja, lang berdjalandjalan seperti laki-istri dengen nona barones, poetri poenja moeka lantas berobah djadi mera sabagi tjabe. Ia berpaling, dan maoe simpangi tindakannja ka laen djoeroesan.
Baginda poenja dara dengen mendadak djadi seperti aer berdidih. Apa memang ada kapantesan, satoe nona manis, jang ia anggap ada harga aken djalan bersamasama ia dengen bergendeng tangan, poetrinja melengosken moeka, sabagi meliat barang jang hina?
„Berdiri diam!” seroe baginda dengen soeara memerenta.
Poetri merandak.
„Apa artinja itoe klakoean gila-gila?” tanja baginda kamoedian dongen genggam amara.
Prinses Clémentine mengangkat poendak, dan mendjawab:
„Ja, akoe sendiri djoega tida mengarti!”
Satelah itoe poetri berbalik poelah, dan landjoetken perdjalanannja.