Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 (UU/2014/17)  (2014) 
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2014
TENTANG
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara;
  2. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
  3. bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Mengingat: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3), Pasal 24C ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disingkat MPR adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  1. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota yang selanjutnya disingkat KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai penyelenggara pemilihan umum.
  4. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang ditetapkan dengan undang-undang.
  6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
  7. Hari adalah hari kerja.


BAB II
MPR


Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan


Pasal 2
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 3
MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.


Bagian Kedua
Wewenang dan Tugas


Paragraf 1
Wewenang

Pasal 4
MPR berwenang:
  1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden Dasar hasil pemilihan umum;
  3. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  4. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
  5. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
  6. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Paragraf 2
Tugas

Pasal 5
MPR bertugas:
  1. memasyarakatkan ketetapan MPR;
  2. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  3. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
  4. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 6
  1. Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
  3. Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketiga
Keanggotaan


Pasal 7
  1. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
  2. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 8
  1. Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR.
  2. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Pasal 9
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."


Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Anggota


Paragraf 1
Hak Anggota

Pasal 10
Anggota MPR berhak:
  1. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
  3. memilih dan dipilih;
  4. membela diri;
  5. imunitas;
  6. protokoler; dan
  7. keuangan dan administratif.

Paragraf 2
Kewajiban Anggota

Pasal 11
Anggota MPR berkewajiban:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
  1. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  2. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
  4. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.


Bagian Kelima
Fraksi dan Kelompok Anggota MPR


Paragraf 1
Fraksi

Pasal 12
  1. Fraksi merupakan pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik.
  2. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
  3. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi.
  4. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.
  5. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
  6. MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi.

Paragraf 2
Kelompok Anggota

Pasal 13
  1. Kelompok anggota merupakan pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD.
  2. Kelompok anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah.
  3. Pengaturan internal kelompok anggota sepenuhnya menjadi urusan kelompok anggota.
  4. MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas kelompok anggota.


Bagian Keenam
Alat Kelengkapan


Pasal 14
Alat kelengkapan MPR terdiri atas:
  1. pimpinan; dan
  2. panitia ad hoc MPR.

Paragraf 1
Pimpinan

Pasal 15
  1. Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
  2. Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
  1. Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna.
  2. Tiap fraksi dan kelompok anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MPR.
  3. Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR.
  4. Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR.
  5. Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
  6. Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota MPR yang tertua dan termuda dari fraksi dan/atau kelompok anggota yang berbeda.
  7. Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Pasal 16
  1. Pimpinan MPR bertugas:
    1. memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
    2. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
    3. menjadi juru bicara MPR;
    4. melaksanakan putusan MPR;
  1. mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  2. mewakili MPR di pengadilan;
  3. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan
  4. menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna MPR pada akhir masa jabatan.
  1. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Pasal 17
  1. Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.
  2. Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
    1. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau
    2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.
  3. Dalam hal pimpinan MPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota dari fraksi atau kelompok anggota asal pimpinan MPR yang bersangkutan menggantikannya paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak pimpinan berhenti dari jabatannya.
  4. Penggantian pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan MPR dan dilaporkan dalam sidang paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis kepada anggota.

Pasal 18
  1. Dalam hal salah seorang pimpinan MPR atau lebih berhenti dari jabatannya, para anggota pimpinan lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif.
  2. Dalam hal pimpinan MPR dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, pimpinan MPR yang bersangkutan tidak boleh melaksanakan tugasnya.
  3. Dalam hal pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan MPR yang bersangkutan melaksanakan tugasnya kembali sebagai pimpinan MPR.

Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Panitia Ad Hoc MPR

Pasal 20
  1. Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan kelompok anggota MPR.
  2. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan kelompok anggota MPR.

Pasal 21
  1. Panitia ad hoc MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) melaksanakan tugas yang diberikan oleh MPR.
  2. Setelah terbentuk, panitia ad hoc MPR segera menyelenggarakan rapat untuk membahas dan memusyawarahkan tugas yang diberikan oleh MPR.

Pasal 22
  1. Panitia ad hoc MPR bertugas:
    1. mempersiapkan bahan sidang MPR; dan
    2. menyusun rancangan putusan MPR.
  2. Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sidang paripurna MPR.
  3. Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai.

Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, dan tugas panitia ad hoc MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.


Bagian Ketujuh
Pelaksanaan Wewenang dan Tugas


Pasal 24
  1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 25
  1. Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh paling sedikit 1/3 (satu per tiga) dari jumlah anggota MPR.
  2. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.

Pasal 26
  1. Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR.
  2. Setelah menerima usul pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya yang meliputi:
    1. jumlah pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); dan
    2. pasal yang diusulkan diubah dan alasan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
  3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak usul pengubahan diterima.

Pasal 27
Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan kelompok anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).

Pasal 28
  1. Dalam hal usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya.
  2. Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lama 60 (enam puluh) Hari.
  3. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.

Pasal 29
Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan kegiatan sebagai berikut:
  1. pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya;
  2. fraksi dan kelompok anggota MPR memberikan pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan
  3. membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji usul pengubahan dari pihak pengusul.

Pasal 30
  1. Dalam sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc melaporkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c.
  2. Fraksi dan kelompok anggota MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap hasil kajian panitia ad hoc.

Pasal 31
  1. Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR.
  2. Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.

Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan terhadap usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum

Pasal 33
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR.

Pasal 34
  1. Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum.
  2. Pimpinan MPR mengundang pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR.
  1. Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pimpinan MPR membacakan keputusan KPU mengenai penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
  2. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
  3. Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
  4. Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
  5. Berita acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan MPR.
  6. Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa jabatan.

Pasal 35
Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sebagai berikut:


Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa".

Janji Presiden (Wakil Presiden):

"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa".


Paragraf 3
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

Pasal 36
  1. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPR.

Pasal 37
  1. MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak MPR menerima usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).
  2. Usul DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) harus dilengkapi putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 38
  1. Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
  2. Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil keputusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
  3. Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota yang hadir.

Pasal 39
  1. Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya.
  2. Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya.
  3. Keputusan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan ketetapan MPR.

Pasal 40
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri sebelum diambil keputusan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), sidang paripurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) tidak dilanjutkan.

Paragraf 4
Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden

Pasal 41
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.

Pasal 42
  1. Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
  2. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
  3. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Pasal 43
Sumpah/janji Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sebagai berikut:

Sumpah Presiden:
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

Janji Presiden:
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."


Pasal 44
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) ditetapkan dengan ketetapan MPR.

Pasal 45
Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan.

Paragraf 5
Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden

Pasal 46
  1. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) Hari untuk memilih Wakil Presiden.
  2. Presiden mengusulkan 2 (dua) calon Wakil Presiden beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum penyelenggaraan sidang paripurna MPR.
  3. Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil presiden yang diusulkan oleh Presiden.
  4. Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan.
  5. Calon wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden.
  6. Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi.
  7. Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon wakil presiden.

Pasal 47
  1. MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) atau ayat (7) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
  2. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
  3. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Pasal 48
Sumpah/janji Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sebagai berikut:

Sumpah Wakil Presiden:
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

Janji Wakil Presiden:
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."


Pasal 49
Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ditetapkan dengan ketetapan MPR.

Paragraf 6
Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 50
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Pasal 51
  1. Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
  2. Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
  1. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan calon presiden dan wakil presidennya kepada pimpinan MPR.
  2. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menyampaikan kesediaannya secara tertulis yang tidak dapat ditarik kembali.
  3. Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
  4. Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Pasal 52
  1. Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan pemungutan suara.
  2. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
  3. Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama banyak, pemungutan suara diulang 1 (satu) kali lagi.
  1. Dalam hal hasil pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap sama, MPR memutuskan untuk mengembalikan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik atau gabungan partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang oleh MPR.
  2. Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).

Pasal 53
  1. MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.
  2. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
  3. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Pasal 54
Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):

"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

Janji Presiden (Wakil Presiden):

"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."


Pasal 55
Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ditetapkan dengan ketetapan MPR.

Pasal 56
Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan.


Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Hak Anggota


Paragraf 1
Hak Imunitas

Pasal 57
  1. Anggota MPR mempunyai hak imunitas.
  2. Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
  3. Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Hak Protokoler

Pasal 58
  1. Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak protokoler.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3
Hak Keuangan dan Administratif

Pasal 59
  1. Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
  2. Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan MPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak anggota MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.


Bagian Kesembilan
Persidangan dan Pengambilan Keputusan


Paragraf 1
Persidangan

Pasal 61
  1. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota negara.
  2. Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan wewenang dan tugas MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Pengambilan Keputusan

Pasal 63
Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila:
  1. dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  3. dihadiri paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.

Pasal 64
  1. Pengambilan keputusan dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 terlebih dahulu diupayakan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara.
  3. Dalam hal keputusan berdasarkan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara ulang.
  4. Dalam hal pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hasilnya masih belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan:
    1. pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang berikutnya; atau
    2. usul yang bersangkutan ditolak.

Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan sidang MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.


Bagian Kesepuluh
Penggantian Antarwaktu


Pasal 66
  1. Penggantian antarwaktu anggota MPR dilakukan apabila terjadi penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD.
  2. Pemberhentian dan pengangkatan sebagai akibat penggantian antarwaktu anggota MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.


BAB III
DPR


Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan


Pasal 67
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 68
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.


Bagian Kedua
Fungsi


Pasal 69
  1. DPR mempunyai fungsi:
    1. legislasi;
    2. anggaran; dan
    3. pengawasan.
  2. Ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 70
  1. Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.
  1. Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
  2. Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.


Bagian Ketiga
Wewenang dan Tugas


Paragraf 1
Wewenang

Pasal 71
DPR berwenang:
  1. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
  2. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
  3. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
  4. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
  1. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
  2. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
  3. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;
  4. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
  5. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
  6. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
  7. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
  8. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
  9. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
  10. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.

Paragraf 2
Tugas

Pasal 72
DPR bertugas:
  1. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program legislasi nasional;
  2. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang;
  3. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  4. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah;
  5. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
  6. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;
  7. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
  8. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 73
  1. DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
  2. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.
  4. Dalam hal badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  5. Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 30 (tiga puluh) Hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74
  1. DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.
  1. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  2. Setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah yang mengabaikan rekomendasi DPR, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.
  3. Dalam hal pejabat negara atau pejabat pemerintah mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.
  4. DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR.
  5. Dalam hal badan hukum atau warga negara mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPR dapat meminta kepada instansi yang berwenang untuk dikenai sanksi.

Pasal 75
  1. Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, DPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Presiden untuk dibahas bersama.
  1. Anggaran DPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR dalam peraturan DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keempat
Keanggotaan


Pasal 76
  1. Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.
  2. Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
  3. Anggota DPR berdomisili di ibu kota negara Republik Indonesia.
  4. Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
  5. Setiap anggota, kecuali pimpinan MPR dan pimpinan DPR, harus menjadi anggota salah satu komisi.
  6. Setiap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat merangkap sebagai anggota salah satu alat kelengkapan lainnya yang bersifat tetap, kecuali sebagai anggota Badan Musyawarah.

Pasal 77
  1. Anggota DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR.
  2. Anggota DPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 78
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."


Bagian Kelima
Hak DPR


Pasal 79
  1. DPR mempunyai hak:
    1. interpelasi;
    2. angket; dan
    3. menyatakan pendapat.
  2. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  1. Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
    1. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
    2. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
    3. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota


Paragraf 1
Hak Anggota

Pasal 80
Anggota DPR berhak:
  1. mengajukan usul rancangan undang-undang;
  2. mengajukan pertanyaan;
  3. menyampaikan usul dan pendapat;
  4. memilih dan dipilih;
  5. membela diri;
  1. imunitas;
  2. protokoler;
  3. keuangan dan administratif;
  4. pengawasan;
  5. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan; dan
  6. melakukan sosialiasi undang-undang.

Paragraf 2
Kewajiban Anggota

Pasal 81
Anggota DPR berkewajiban:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
  5. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
  6. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
  7. menaati tata tertib dan kode etik;
  8. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
  9. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
  10. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
  11. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.


Bagian Ketujuh
Fraksi


Pasal 82
  1. Fraksi merupakan pengelompokan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik berdasarkan hasil pemilihan umum.
  2. Setiap anggota DPR harus menjadi anggota fraksi.
  3. Fraksi dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
  4. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR.
  5. Fraksi didukung oleh sekretariat dan tenaga ahli.
  6. Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan tenaga ahli fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam peraturan DPR.


Bagian Kedelapan
Alat Kelengkapan


Pasal 83
  1. Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
    1. pimpinan;
    2. Badan Musyawarah;
    3. komisi;
    4. Badan Legislasi;
    5. Badan Anggaran;
    6. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen;
    7. Mahkamah Kehormatan Dewan;
    8. Badan Urusan Rumah Tangga;
  1. panitia khusus; dan
  2. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
  1. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan DPR dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
  2. Unit pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
    1. tenaga administrasi; dan
    2. tenaga ahli.
  3. Ketentuan mengenai rekrutmen tenaga administrasi dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 1
Pimpinan

Pasal 84
  1. Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
  2. Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
  3. Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
  4. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR.
  5. Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
  6. Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
  1. Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
  2. Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.
  3. Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 85
Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 86
  1. Pimpinan DPR bertugas:
    1. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
    2. menyusun rencana kerja pimpinan;
    3. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR;
    4. menjadi juru bicara DPR;
    5. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR;
    6. mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya;
    7. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR;
  1. mewakili DPR di pengadilan;
  2. melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
  4. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
  1. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 87
  1. Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.
  2. Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR;
  1. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  2. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  3. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya;
  4. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau
  5. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif.
  2. Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama.
  3. Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  4. Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR.

Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Badan Musyawarah

Pasal 89
Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Pasal 90
  1. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
  2. Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna.

Pasal 91
Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah.

Pasal 92
  1. Badan Musyawarah bertugas:
    1. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya;
  1. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR;
  2. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing;
  3. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR;
  4. menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lain yang diatur dalam undang-undang oleh alat kelengkapan DPR;
  5. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan
  6. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah.
  1. Badan Musyawarah menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Pasal 93
Badan Musyawarah tidak dapat mengubah keputusan atas suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf a.

Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Musyawarah diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 3
Komisi

Pasal 95
Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Pasal 96
  1. DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
  2. Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR, permulaan tahun sidang, dan pada setiap masa sidang.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah komisi dan jumlah anggota komisi diatur dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib.

Pasal 97
  1. Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
  2. Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  3. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan komisi.
  4. Dalam hal pemilihan pimpinan komisi berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  1. Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
  2. Pimpinan komisi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan komisi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 98
  1. Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.
  2. Tugas komisi di bidang anggaran adalah:
    1. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
    2. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
    3. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi;
    4. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
    5. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi;
  1. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, dan program, kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi berdasarkan hasil sinkronisasi alokasi anggaran kementerian/lembaga oleh Badan Anggaran;
  2. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf f untuk bahan akhir penetapan APBN; dan
  3. membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak yang menjadi mitra komisi bersangkutan.
  1. Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:
    1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
    2. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
    3. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
    4. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
    5. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
  2. Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dapat mengadakan:
    1. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
    2. konsultasi dengan DPD;
    3. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
  1. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain;
  2. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
  3. kunjungan kerja.
  1. Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4).
  2. Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh Pemerintah.
  3. Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), komisi dapat mengusulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota mengajukan pertanyaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
  5. Dalam hal badan hukum atau warga negara tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) DPR dapat meminta kepada instansi yang berwenang untuk dikenai sanksi.
  6. Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.
  7. Komisi menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Pasal 99
Pembahasan rancangan undang-undang oleh komisi, gabungan komisi, panitia khusus atau Badan Legislasi diselesaikan dalam 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR.

Pasal 100
Jumlah, ruang lingkup tugas, dan mitra kerja komisi ditetapkan dengan keputusan DPR.

Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas dan mekanisme kerja komisi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 4
Badan Legislasi

Pasal 102
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Pasal 103
  1. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR, permulaan tahun sidang, dan pada setiap masa sidang.
  2. Jumlah anggota Badan Legislasi paling banyak 2 (dua) kali jumlah anggota komisi, yang mencerminkan fraksi dan komisi.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah anggota Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 104
  1. Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
  2. Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  3. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Badan Legislasi.
  4. Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Legislasi berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  5. Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.
  6. Pimpinan Badan Legislasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan Legislasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 105
  1. Badan Legislasi bertugas:
    1. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR;
    2. mengoordinasikan penyusunan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan antara DPR, Pemerintah, dan DPD;
  1. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR;
  2. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas rancangan undang-undang atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;
  3. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugasi oleh Badan Musyawarah; melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang;
  4. menyusun, melakukan evaluasi, dan penyempurnaan peraturan DPR;
  5. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
  6. melakukan sosialisasi program legislasi nasional; dan
  7. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
  1. Badan Legislasi menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme Badan Legislasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 5
Badan Anggaran

Pasal 107
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Pasal 108
  1. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran berdasarkan representasi anggota dari setiap provinsi berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
  2. Keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan penggantian oleh fraksi yang bersangkutan pada setiap masa sidang.
  3. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari setiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.

Pasal 109
  1. Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
  2. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  3. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Badan Anggaran.
  1. Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Anggaran berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  2. Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.
  3. Pimpinan Badan Anggaran ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan Anggaran diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 110
  1. Badan Anggaran bertugas:
    1. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
    2. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi yang berkaitan;
    3. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri mengenai alokasi anggaran untuk fungsi dan program Pemerintah dan dana alokasi transfer daerah dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah;
    4. melakukan sinkronisasi hasil pembahasan di komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
    5. melakukan sinkronisasi terhadap usulan program pembangunan daerah pemilihan yang diusulkan komisi;
    6. membahas laporan realisasi dan perkiraan realisasi yang berkaitan dengan APBN; dan
    7. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
  1. Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
  2. Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi melalui rapat komisi.

Pasal 111
Badan Anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Pasal 112
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme kerja Badan Anggaran diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 6
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen

Pasal 113
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Pasal 114
  1. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
  2. Keanggotaan BKSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan penggantian oleh fraksi yang bersangkutan pada setiap masa sidang.
  1. Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna DPR menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi.

Pasal 115
  1. Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
  2. Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  3. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan BKSAP.
  4. Dalam hal pemilihan pimpinan BKSAP berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  5. Pemilihan pimpinan BKSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP.
  6. Pimpinan BKSAP ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan BKSAP diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 116
  1. BKSAP bertugas:
    1. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
  1. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
  2. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
  3. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
  1. BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya.

Pasal 117
BKSAP menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Pasal 118
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme kerja BKSAP diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 7
Mahkamah Kehormatan Dewan

Pasal 119
  1. Mahkamah Kehormatan Dewan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
  2. Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Pasal 120
  1. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan yang terdiri atas semua fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
  2. Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna.

Pasal 121
  1. Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
  2. Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  3. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
  4. Dalam hal pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  5. Pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Mahkamah Kehormatan Dewan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan.
  6. Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 122
  1. Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
    1. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81;
    2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;
    3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon anggota DPR yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
    4. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  2. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR.
  3. Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.

Pasal 123
Mahkamah Kehormatan Dewan menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Pasal 124
  1. Pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR berupa:
    1. ketidakhadiran dalam rapat DPR yang menjadi kewajibannya;
    2. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
    3. terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
  2. Penanganan pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan:
    1. hasil verifikasi; dan
    2. usulan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan.
  3. Rapat Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tindak lanjut terhadap penanganan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  4. Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan pemberitahuan kepada pimpinan DPR atas keputusan tindak lanjut penanganan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 125
  1. Aduan yang diajukan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan paling sedikit memuat:
    1. identitas pengadu;
    2. identitas teradu; dan
    3. uraian peristiwa yang diduga pelanggaran.
  2. Identitas pengadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi identitas diri yang sah paling sedikit meliputi:
    1. nama lengkap;
    2. tempat tanggal lahir/umur;
  1. jenis kelamin;
  2. pekerjaan;
  3. kewarganegaraan; dan
  4. alamat lengkap/domisili.
  1. Dalam hal pengadu adalah kelompok atau organisasi, identitas pengadu dilengkapi akta notaris, struktur organisasi, atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga organisasi beserta domisili hukum yang dapat dihubungi.
  2. Identitas teradu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
    1. nama lengkap;
    2. nomor anggota;
    3. daerah pemilihan; dan
    4. fraksi/partai politik.
  3. Uraian peristiwa yang diduga pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi uraian singkat fakta perbuatan yang dilakukan oleh teradu dengan kejelasan tempat dan waktu terjadinya disertai bukti awal.
  4. Aduan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibacakan kepada pengadu dan ditandatangani atau diberi cap jempol pengadu.

Pasal 126
  1. Pengaduan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dapat disampaikan oleh:
    1. pimpinan DPR atas aduan anggota DPR terhadap anggota DPR;
    2. anggota DPR terhadap pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya; dan
    3. masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap anggota DPR, pimpinan DPR, atau pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya.
  1. Pengaduan disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani atau diberi cap jempol oleh pengadu.

Pasal 127
Pengaduan pelanggaran terhadap anggota DPR tidak dapat diproses apabila teradu:
  1. meninggal dunia;
  2. telah mengundurkan diri; atau
  3. telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik.

Pasal 128
  1. Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengumpulkan alat bukti, baik sebelum maupun pada saat sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Pengumpulan alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mencari fakta guna mencari kebenaran suatu aduan atau kebenaran alat bukti yang didapatkan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
  3. Dalam rangka melaksanakan tugas pengumpulan alat bukti, Mahkamah Kehormatan Dewan dapat meminta bantuan kepada ahli atau pakar yang memahami materi pelanggaran yang diadukan.

Pasal 129
Mahkamah Kehormatan Dewan wajib merahasiakan materi aduan dan proses verifikasi sampai dengan perkara diputus.

Pasal 130
  1. Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan alat bukti.
  1. Selain memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan alat bukti, Mahkamah Kehormatan Dewan dapat menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1).
  2. Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan, materi aduan disampaikan kepada teradu dan pimpinan fraksi teradu secara resmi paling lama 14 (empat belas) Hari setelah Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan.

Pasal 131
  1. Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan meliputi:
    1. mendengarkan pokok permasalahan yang diajukan oleh pengadu;
    2. mendengarkan keterangan teradu;
    3. memeriksa alat bukti; dan
    4. mendengarkan pembelaan teradu.
  2. Dalam hal pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) sidang Mahkamah Kehormatan Dewan dilakukan tanpa mendengarkan keterangan dari pengadu.

Pasal 132
  1. Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan bersifat tertutup.
  2. Mahkamah Kehormatan Dewan wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.

Pasal 133
  1. Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan menetapkan Hari sidang pertama untuk mendengarkan pokok permasalahan yang diadukan oleh pengadu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak pengaduan diputuskan untuk ditindaklanjuti dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3).
  2. Mahkamah Kehormatan Dewan tidak menanggung segala biaya yang muncul berkaitan dengan pengaduan.

Pasal 134
Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan menetapkan Hari sidang kedua untuk mendengarkan keterangan teradu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak pengadu didengarkan dalam sidang pertama Mahkamah Kehormatan Dewan.

Pasal 135
  1. Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan surat panggilan sidang kepada teradu dengan tembusan kepada pimpinan fraksi teradu paling lambat 7 (tujuh) Hari sebelum sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Teradu dapat tidak memenuhi panggilan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan sakit yang memerlukan perawatan secara intensif atau rawat inap yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
  3. Teradu dapat tidak memenuhi panggilan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan melaksanakan tugas negara yang dibuktikan dengan surat keputusan pimpinan DPR dan surat keterangan pimpinan komisi atau pimpinan fraksi.

Pasal 136
  1. Teradu wajib hadir sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada pihak lain atau tidak dapat didampingi oleh penasihat hukum dalam setiap tahap sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Dalam hal teradu tidak menghadiri panggilan sidang dengan alasan sakit dan tugas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2) dan ayat (3), sidang ditunda.
  3. Jangka waktu penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak panggilan pertama.
  4. Surat panggilan disampaikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu 3 (tiga) Hari sejak panggilan sebelumnya.
  5. Jika teradu tidak memenuhi panggilan Mahkamah Kehormatan Dewan sebanyak 3 (tiga) kali tanpa alasan yang sah, Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan sidang untuk mengambil putusan dengan tanpa dihadiri teradu.

Pasal 137
  1. Pengadu mengajukan alat bukti untuk membuktikan kebenaran pengaduannya.
  2. Teradu berhak mengajukan pembelaan terhadap pengaduan yang diajukan oleh pengadu.
  3. Mahkamah Kehormatan Dewan dapat meminta alat bukti lain kepada pihak ketiga.

Pasal 138
Alat bukti yang dipakai dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan meliputi:
  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  1. surat;
  2. data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna, keterangan pengadu dan teradu; dan
  3. petunjuk lain.

Pasal 139
  1. Keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf a, dapat disampaikan oleh saksi yang diajukan:
    1. pengadu;
    2. teradu; dan/atau
    3. Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberikan keterangan di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
  3. Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh saksi paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.

Pasal 140
  1. Pemeriksaan saksi meliputi:
    1. identitas saksi; dan
    2. pengetahuan saksi tentang materi aduan yang sedang diverifikasi.
  1. Identitas saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
    1. nama lengkap;
    2. tempat tanggal lahir/umur;
    3. jenis kelamin;
    4. pekerjaan; dan
    5. alamat/domisili yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau identitas resmi lainnya.
  2. Pengetahuan saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbatas pada apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri.
  3. Saksi wajib disumpah sebelum didengarkan keterangannya.

Pasal 141
  1. Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf b, dapat disampaikan oleh ahli yang diajukan:
    1. pengadu;
    2. teradu; dan/atau
    3. Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberikan keterangan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
  3. Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh ahli paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
  4. Ahli wajib disumpah sebelum didengarkan keterangannya.

Pasal 142
  1. Pemeriksaan ahli meliputi:
    1. identitas ahli; dan
    2. pengetahuan ahli berkenaan dengan materi aduan yang sedang diperiksa atau alat bukti surat dan data informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf c dan huruf d.
  2. Identitas ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
    1. nama lengkap;
    2. tempat, tanggal lahir/umur;
    3. jenis kelamin;
    4. pekerjaan;
    5. alamat/domisili; dan
    6. keahlian.
  3. Pengetahuan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, didasarkan pada pendidikan, keahlian, dan pengalamannya.

Pasal 143
  1. Mahkamah Kehormatan Dewan menilai alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dan alat bukti yang lain.
  2. Mahkamah Kehormatan Dewan menentukan sah tidaknya alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.

Pasal 144
  1. Dalam hal teradu adalah pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan pengaduan dinyatakan memenuhi syarat dan lengkap dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, Mahkamah Kehormatan Dewan memberitahukan kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi bahwa teradu akan diproses lebih lanjut.
  1. Setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menonaktifkan sementara waktu pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang diadukan.
  2. Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutus teradu tidak terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana yang diadukan, kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan diaktifkan kembali oleh pimpinan DPR.

Pasal 145
  1. Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan didasarkan atas:
    1. asas kepatutan, moral, dan etika;
    2. fakta dalam hasil sidang Mahkamah Kehormatan Dewan;
    3. fakta dalam pembuktian;
    4. fakta dalam pembelaan; dan
    5. Tata Tertib dan Kode Etik.
  2. Anggota, pimpinan fraksi, dan/atau pimpinan DPR dilarang melakukan upaya intervensi terhadap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan.
  3. Upaya intervensi terhadap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelanggaran Kode Etik dan akan diproses oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.

Pasal 146
  1. Putusan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Dalam hal pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  1. Setiap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan harus memuat:
    1. kepala putusan berbunyi "DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DAN DEMI KEHORMATAN DPR";
    2. identitas teradu;
    3. ringkasan aduan;
    4. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dari keterangan pengadu dan teradu;
    5. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam pembuktian;
    6. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam pembelaan;
    7. pertimbangan hukum dan etika yang menjadi dasar putusan;
    8. amar putusan;
    9. hari dan tanggal putusan; dan
    10. nama dan tanda tangan paling sedikit 1 (satu) orang pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.

Pasal 147
  1. Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan bersifat final dan mengikat, kecuali mengenai putusan pemberhentian tetap anggota.
  2. Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan mengenai pemberhentian tetap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan rapat paripurna.
  3. Dalam hal putusan Mahkamah Kehormatan Dewan mengenai pemberhentian tetap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), putusan berlaku sejak tanggal mendapatkan persetujuan rapat paripurna.
  1. Amar putusan berbunyi:
    1. menyatakan teradu tidak terbukti melanggar; atau
    2. menyatakan teradu terbukti melanggar.
  2. Dalam hal teradu tidak terbukti melanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, putusan disertai rehabilitasi kepada teradu.
  3. Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan putusan rehabilitasi kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada pimpinan fraksi dari anggota yang bersangkutan paling lama 5 (lima) Hari sejak tanggal putusan berlaku.
  4. Putusan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diumumkan dalam rapat paripurna DPR yang pertama sejak diterimanya putusan Mahkamah Kehormatan Dewan oleh pimpinan DPR dan dibagikan kepada semua anggota DPR.
  5. Dalam hal teradu terbukti melanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, putusan disertai dengan sanksi kepada teradu berupa:
    1. sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis;
    2. sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR; atau
    3. sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian tetap sebagai anggota DPR.

Pasal 148
  1. Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, Mahkamah Kehormatan Dewan harus membentuk panel sidang pelanggaran kode etik anggota DPR.
  1. Panel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan 4 (empat) orang dari unsur masyarakat.
  2. Putusan panel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada rapat paripurna untuk mendapat persetujuan terhadap pemberhentian tetap anggota DPR.

Pasal 149
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan, tata cara pengenaan sanksi, tata cara pembentukan panel, dan tata cara sidang pelanggaran kode etik DPR diatur dalam peraturan DPR.

Paragraf 8
Badan Urusan Rumah Tangga

Pasal 150
Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Pasal 151
  1. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
  2. Jumlah anggota BURT paling banyak 25 (dua puluh lima) orang atas usul komisi dan fraksi berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi di komisi yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

Pasal 152
  1. Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
  2. Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  3. Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan BURT.
  4. Dalam hal pemilihan pimpinan BURT berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  5. Penetapan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BURT.
  6. Pimpinan BURT ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan BURT diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 153
BURT bertugas:
  1. menetapkan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran DPR untuk setiap tahun anggaran dan diserahkan kepada Sekretaris Jenderal DPR untuk dilaksanakan;
  2. menyusun rencana kerja dan anggaran DPR secara mandiri yang dituangkan dalam program dan kegiatan setiap tahun berdasarkan usulan dari alat kelengkapan DPR dan fraksi;
  1. dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf b, BURT dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada pemerintah untuk dibahas bersama;
  2. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
  3. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugasi oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;
  4. menyampaikan hasil keputusan dan arah kebijakan umum anggaran tahunan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan;
  5. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.

Pasal 154
BURT menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 155
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas dan mekanisme kerja BURT diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 9
Panitia Khusus

Pasal 156
Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.

Pasal 157
  1. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
  2. Jumlah anggota panitia khusus paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

Pasal 158
  1. Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
  2. Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  3. Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.

Pasal 159
  1. Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
  2. Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
  3. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya selesai.
  4. Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.

Pasal 160
Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR.

Pasal 161
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.


Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Wewenang dan Tugas


Paragraf 1
Pembentukan Undang-Undang

Pasal 162
  1. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
  2. Pembentukan undang-undang dilaksanakan sesuai dengan undang-undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang ini.

Pasal 163
  1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
  2. Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai dengan naskah akademik, kecuali rancangan undang–undang mengenai:
    1. APBN;
    2. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang–undang; atau
    3. pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Pasal 164
  1. Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi, dan gabungan komisi.
  2. Usul rancangan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul.
  3. DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:
    1. persetujuan;
    2. persetujuan dengan pengubahan; atau
    3. penolakan.
  4. Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR menugasi komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-undang tersebut.
  5. Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Pasal 165
  1. Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
  2. Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah diajukan kepada DPR dan pimpinan DPR menyampaikannya kepada pimpinan DPD.

Pasal 166
  1. Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.
  3. Pimpinan DPR paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak menerima rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengirim surat kepada Presiden untuk menunjuk menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR dengan mengikutsertakan DPD.
  4. Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengirim surat kepada pimpinan DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang ditugasi mewakili DPD ikut serta dalam pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR bersama Presiden.
  5. DPR dan Presiden mulai membahas rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima Presiden.

Pasal 167
Penyebarluasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) dilaksanakan oleh DPD.

Pasal 168
Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.

Pasal 169
Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 terdiri atas:
  1. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus; dan
  2. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR.

Pasal 170
  1. Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
    1. pengantar musyawarah;
    2. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
    3. penyampaian pendapat mini.
  2. Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
    1. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang berasal dari DPR;
    2. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c berasal dari DPR;
  1. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPD;
  2. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden; atau
  3. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c berasal dari Presiden.
  1. Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
    1. Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR;
    2. DPR jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden;
    3. DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c;
    4. DPR dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; atau
    5. DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c.
  2. Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh:
    1. fraksi;
  1. DPD, jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; dan
  2. Presiden.
  1. Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf e dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
  2. Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

Pasal 171
  1. Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat paripurna DPR dengan kegiatan:
    1. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
    2. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiaptiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
    3. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugasi.
  2. Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b secara musyawarah untuk mufakat tidak dapat dicapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
  3. Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Pasal 172
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat pembicaraan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 173
  1. Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang, termasuk pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.
  2. Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Penerimaan Pertimbangan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang

Pasal 174
  1. DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden.
  2. Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Presiden, pimpinan DPR setelah menerima surat Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
  1. Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari DPR, pimpinan DPR menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
  2. Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis melalui pimpinan DPR paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR, kecuali rancangan undang-undang tentang APBN disampaikan paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
  3. Pada rapat paripurna DPR berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan DPR yang akan membahasnya.

Paragraf 3
Kuasa DPR di Persidangan Mahkamah Konstitusi

Pasal 175
  1. Dalam hal suatu undang-undang diuji di Mahkamah Konstitusi, yang menjadi kuasa DPR untuk memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi adalah alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang dengan melibatkan komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan.
  2. Dalam hal alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang sudah tidak ada pada saat undang-undang diuji di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan menjadi kuasa DPR.
  1. Dalam hal tertentu DPR dapat memanggil setiap orang yang terlibat dalam penyusunan atau pembahasan rancangan undang-undang yang diuji untuk memberikan keterangan sebagai saksi dan/atau ahli.

Paragraf 4
Penetapan APBN

Pasal 176
  1. Penyusunan rancangan APBN berpedoman pada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
  2. Rancangan rencana kerja Pemerintah disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama dengan DPR.
  3. Rencana kerja Pemerintah yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi penyusunan rancangan APBN untuk selanjutnya ditetapkan menjadi satu kesatuan dengan APBN, dan menjadi acuan kerja Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Pasal 177
Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
  1. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
  2. pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;
  3. pembahasan:
    1. laporan realisasi semester pertama dan 6 (enam) bulan berikutnya;
  1. penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
    1. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
    2. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
    3. keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar-unit organisasi; dan/atau
    4. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan;
  1. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang tentang APBN; dan
  2. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

Pasal 178
  1. Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:
    1. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya;
    2. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan
    3. rincian unit organisasi, fungsi, dan program.
  1. Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR pada tanggal 20 Mei tahun sebelumnya atau sehari sebelumnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
  2. Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat untuk membahas rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga tersebut.
  3. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Anggaran.

Pasal 179
Kegiatan dalam tahap pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 meliputi:
  1. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi dan program kementerian/lembaga; dan
  2. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi dan program kementerian/lembaga.

Pasal 180
  1. Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
  1. Rancangan undang-undang tentang APBN disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
  2. Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, dan Pasal 171.
  3. DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan undang-undang tentang APBN.
  4. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
  5. APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program.
  6. Dalam hal DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

Pasal 181
Badan Anggaran mengadakan pembahasan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia pada triwulan ketiga setiap tahun anggaran tentang laporan realisasi semester pertama APBN dan perkiraan realisasi untuk 6 (enam) bulan berikutnya yang disampaikan Pemerintah kepada DPR paling lambat pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.

Pasal 182
  1. Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran berjalan.
  1. Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. penurunan pertumbuhan ekonomi paling sedikit 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau
    2. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan.
  2. Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. penurunan penerimaan perpajakan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
    2. kenaikan atau penurunan belanja kementerian atau lembaga paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
    3. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau
    4. kenaikan defisit paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto yang telah ditetapkan.
  3. Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
  4. Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah.

Pasal 183
Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah disampaikannya bahan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah oleh BPK ke DPR.

Pasal 184
  1. Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
  2. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan kementerian/lembaga.

Paragraf 5
Pengajuan dan Pemberian Persetujuan atau
Pertimbangan atas Calon untuk Pengisian Jabatan

Pasal 185
  1. DPR mengajukan calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna DPR.
  2. DPR memberikan persetujuan atau pertimbangan atas calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna DPR.
  1. Rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menugasi Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada alat kelengkapan DPR terkait.
  2. Pembahasan oleh alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 186
DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar untuk negara lain dan menerima penempatan duta besar dari negara lain.

Pasal 187
  1. Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar untuk negara lain, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna DPR.
  2. Rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menugasi alat kelengkapan DPR terkait untuk membahasnya secara rahasia.

Pasal 188
  1. Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna DPR tanpa menyebut nama calon duta besar.
  2. Dalam hal permintaan pertimbangan terhadap calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia disampaikan pada masa reses, permintaan tersebut dibahas dalam pertemuan konsultasi antara pimpinan DPR, pimpinan komisi terkait, dan pimpinan fraksi.

Pasal 189
Pertimbangan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden secara rahasia.

Pasal 190
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan pemberian persetujuan atau pertimbangan atas calon untuk pengisian jabatan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 6
Pemilihan Anggota BPK

Pasal 191
DPR memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Pasal 192
  1. Pimpinan DPR memberitahukan kepada pimpinan DPD mengenai rencana pemilihan anggota BPK disertai dokumen kelengkapan persyaratan calon anggota BPK sebagai bahan DPD untuk memberikan pertimbangan atas calon anggota BPK, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum alat kelengkapan DPR memproses pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
  2. Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum pelaksanaan pemilihan, yang selanjutnya segera disampaikan kepada alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan.
  1. Dalam hal pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disampaikan, pemilihan anggota BPK tetap dilaksanakan.
  2. Nama calon terpilih anggota BPK disampaikan oleh DPR kepada Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum masa jabatan anggota BPK berakhir.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK dan penerimaan pertimbangan dari DPD diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 193
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang dan tugas DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.


Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Hak DPR


Paragraf 1
Hak Interpelasi

Pasal 194
  1. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
  2. Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dokumen yang memuat paling sedikit:
    1. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan
    2. alasan permintaan keterangan.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.

Pasal 195
  1. Usul hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR.
  2. Usul hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan kepada semua anggota.
  3. Badan Musyawarah menjadwalkan rapat paripurna DPR atas usul interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul interpelasinya secara ringkas.
  4. Selama usul hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disetujui oleh rapat paripurna DPR, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.
  5. Perubahan atau penarikan kembali usul sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan DPR membagikan kepada semua anggota.
  6. Dalam hal jumlah penanda tangan usul hak interpelasi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1), harus diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya mencukupi.
  7. Dalam hal terjadi pengunduran diri penanda tangan usul hak interpelasi sebelum dan pada saat rapat paripurna DPR yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penanda tangan tidak mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1), ketua rapat paripurna DPR mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna DPR untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penanda tangan mencukupi.
  1. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna DPR terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul hak interpelasi dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar pengusul, ketua rapat paripurna DPR mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan.
  2. Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penanda tangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 196
  1. Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (3) menyetujui usul interpelasi sebagai hak interpelasi DPR, Presiden atau pimpinan lembaga dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna DPR berikutnya.
  2. Apabila Presiden tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menugasi menteri/pejabat terkait untuk mewakilinya.

Pasal 197
  1. DPR memutuskan menerima atau menolak penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196.
  2. Dalam hal DPR menerima penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul hak interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali.
  3. Dalam hal DPR menolak penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak DPR lainnya.
  1. Keputusan untuk menerima atau menolak penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.

Pasal 198
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Hak Angket

Pasal 199
  1. Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
  2. Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:
    1. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
    2. alasan penyelidikan.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.

Pasal 200
  1. Usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan kepada semua anggota.
  3. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna DPR atas usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan atas usul hak angket secara ringkas.
  4. Selama usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disetujui oleh rapat paripurna DPR, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.
  5. Perubahan atau penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan DPR membagikannya kepada semua anggota.
  6. Dalam hal jumlah penanda tangan usul hak angket yang belum memasuki pembicaraan tingkat I menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1), harus diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya mencukupi.
  7. Dalam hal terjadi pengunduran diri penanda tangan usul hak angket sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penanda tangan tidak mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1), ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penanda tangan mencukupi.
  1. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna DPR terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul angket dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar pengusul, ketua rapat paripurna mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan.
  2. Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penanda tangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 201
  1. DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1).
  2. Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR.
  3. Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 202
  1. Panitia angket ditetapkan dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara.
  2. Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup juga penentuan biaya panitia angket.
  3. Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden.
  4. Ketentuan mengenai panitia khusus berlaku bagi panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2).

Pasal 203
Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.

Pasal 204
  1. Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan.
  2. Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.
  3. Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  4. Bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas permintaan pimpinan DPR kepada kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  5. Pendanaan untuk pelaksanaan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan pada anggaran DPR.

Pasal 205
  1. Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
  1. Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat meminta secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya.
  2. Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus.
  3. Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena suatu alasan yang sah.
  4. Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta satu kali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan.
  5. Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang sah atau menolak hadir, yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atas permintaan panitia khusus.
  6. Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) Hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 206
  1. Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.
  2. Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket.

Pasal 207
  1. Setelah menyelesaikan tugasnya, panitia angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR dan selanjutnya laporan tersebut dibagikan kepada semua anggota.
  2. Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi.

Pasal 208
  1. Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.
  2. Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali.
  3. Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
  1. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan diambil dalam rapat paripurna DPR.
  2. DPR dapat menindaklanjuti keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan kewenangan DPR menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 209
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 3
Hak Menyatakan Pendapat

Pasal 210
  1. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf c diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR.
  2. Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:
    1. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;
    2. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf b; atau
    3. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf c atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf c.
  1. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.

Pasal 211
  1. Usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan kepada semua anggota DPR.
  3. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna DPR atas usul menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan atas usul menyatakan pendapatnya secara ringkas.
  4. Selama usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disetujui oleh rapat paripurna DPR, pengusul dapat mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali.
  5. Perubahan atau penarikan kembali usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan dibagikan kepada semua anggota DPR.
  6. Dalam hal jumlah penanda tangan usul menyatakan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1), harus diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya mencukupi.
  1. Dalam hal terjadi pengunduran diri penanda tangan usul hak menyatakan pendapat sebelum dan pada saat rapat paripurna DPR yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat jumlah penanda tangan tidak mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1), ketua rapat paripurna DPR mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penanda tangan mencukupi.
  2. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna DPR terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul hak menyatakan pendapat dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar pengusul, ketua rapat paripurna DPR mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan.
  3. Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penanda tangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 212
  1. DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 ayat (1).
  2. Dalam hal DPR menerima usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR.
  3. Dalam hal DPR menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 213
  1. Panitia khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2) melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia khusus.
  2. Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia khusus.

Pasal 214
  1. Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf a dan huruf b, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah.
  2. Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan.
  3. Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4), hak menyatakan pendapat tersebut dinyatakan selesai dan tidak dapat diajukan kembali.
  4. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
  5. Keputusan DPR mengenai usul menyatakan pendapat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden.

Pasal 215
  1. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (2) terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
  2. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (2) tidak terbukti, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilanjutkan.

Pasal 216
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.


Bagian Kesebelas
Pelaksanaan Hak Anggota


Paragraf 1
Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang

Pasal 217
  1. Anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Hak Mengajukan Pertanyaan

Pasal 218
  1. Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan.
  2. Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Presiden, pertanyaan tersebut disusun secara tertulis, singkat, dan jelas serta disampaikan kepada pimpinan DPR.
  1. Apabila diperlukan, pimpinan DPR dapat meminta penjelasan kepada anggota DPR yang mengajukan pertanyaan.
  2. Pimpinan DPR meneruskan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum dan meminta agar Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum memberikan jawaban.
  3. Pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat tertutup atau terbuka.
  4. Pimpinan DPR tidak dapat mengumumkan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang bersifat tertutup.
  5. Pimpinan DPR dapat mengumumkan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang bersifat terbuka.

Pasal 219
  1. Jawaban atas pertanyaan anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pertanyaan diterima oleh Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum.
  2. Penyampaian jawaban oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Paragraf 3
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat

Pasal 220
  1. Anggota DPR berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
  1. Tata cara penyampaian usul dan pendapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai hak mengajukan pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Pasal 221
  1. Dalam menyampaikan usul dan pendapat dalam rapat, anggota mendaftar pada ketua rapat.
  2. Hak menyampaikan usul dan pendapat dalam rapat diberikan terlebih dahulu kepada anggota yang datang lebih awal.
  3. Usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat(1), dapat diajukan secara lisan dan/atau tertulis, singkat, dan jelas kepada ketua rapat.
  4. Apabila diperlukan, ketua rapat dapat meminta anggota yang menyampaikan usul dan pendapat untuk memperjelas usul dan pendapatnya.

Paragraf 4
Hak Memilih dan Dipilih

Pasal 222
  1. Anggota DPR mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 5
Hak Membela Diri

Pasal 223
  1. Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 6
Hak Imunitas

Pasal 224
  1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
  2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
  3. Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
  3. Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.

Paragraf 7
Hak Protokoler

Pasal 225
  1. Pimpinan DPR dan anggota DPR mempunyai hak protokoler.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Paragraf 8
Hak Keuangan dan Administratif

Pasal 226
  1. Pimpinan DPR dan anggota DPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
  2. Hak keuangan dan administratif pimpinan DPR dan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 9
Hak Pengawasan

Pasal 227
  1. Setiap anggota berhak mengawasi pelaksanaan APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di daerah pemilihan.
  2. Untuk melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR berhak mendapatkan dukungan administrasi keuangan dan pendampingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Sebagai bahan dalam melakukan fungsi pengawasan, kementerian/lembaga wajib menyerahkan kepada komisi terkait bahan tertulis mengenai jenis belanja dan kegiatan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah undang-undang tentang APBN atau undang-undang tentang APBNP ditetapkan di paripurna DPR.
  4. Jenis belanja dan kegiatan yang diserahkan ke komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses oleh publik.
  5. Anggota DPR dapat meminta pihak terkait untuk menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh anggota DPR tersebut.
  6. Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib menindaklanjutinya dan menyampaikan hasil tindak lanjut tersebut kepada anggota DPR.


Bagian Kedua Belas
Persidangan dan Pengambilan Keputusan


Paragraf 1
Persidangan

Pasal 228
  1. Tahun sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
  1. Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPR dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
  2. Tahun sidang dibagi dalam masa persidangan.
  3. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPR, masa reses ditiadakan.
  4. Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR dan anggota DPD mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara bergantian.

Pasal 229
Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.

Pasal 230
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.

Paragraf 2
Pengambilan Keputusan

Pasal 231
  1. Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
  3. Setiap keputusan rapat DPR, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak bersifat mengikat bagi semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

Pasal 232
  1. Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
  2. Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat.
  3. Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
  4. Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR.

Pasal 233
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.


Bagian Ketiga Belas
Tata Tertib dan Kode Etik


Paragraf 1
Tata Tertib

Pasal 234
  1. Tata tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
  2. Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPR.
  3. Tata tertib DPR paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    1. pengucapan sumpah/janji;
    2. penetapan pimpinan;
  1. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
  2. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
  3. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
  4. pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan;
  5. penggantian antarwaktu anggota;
  6. pengambilan keputusan;
  7. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
  8. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
  9. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
  10. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Paragraf 2
Kode Etik

Pasal 235
DPR menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR.


Bagian Keempat Belas
Larangan dan Sanksi


Paragraf 1
Larangan

Pasal 236
  1. Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai:
    1. pejabat negara lainnya;
  1. hakim pada badan peradilan; atau
  2. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
  1. Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR.
  2. Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Paragraf 2
Sanksi

Pasal 237
  1. Anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
  3. Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.

Pasal 238
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (1) berupa:
  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis; dan/atau
  3. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.


Bagian Kelima Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara


Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu

Pasal 239
  1. Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.
  2. Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
    3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
    4. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  1. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD;
  2. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
  3. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  4. menjadi anggota partai politik lain.

Pasal 240
  1. Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  3. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Pasal 241
  1. Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  1. Dalam hal pemberhentian didasarkan atas aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2), Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan.
  2. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Paragraf 2
Penggantian Antarwaktu

Pasal 242
  1. Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  2. Dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  3. Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.

Pasal 243
  1. Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
  1. KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPR paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
  3. Paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
  4. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR dengan teks sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
  5. Penggantian antarwaktu anggota DPR tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.

Paragraf 3
Pemberhentian Sementara

Pasal 244
  1. Anggota DPR diberhentikan sementara karena:
    1. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
    2. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
  1. Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR.
  2. Dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan.
  3. Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.


Bagian Keenam Belas
Penyidikan


Pasal 245
  1. Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
  2. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
    1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
  1. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
  2. disangka melakukan tindak pidana khusus.


BAB IV
DPD


Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan


Pasal 246
DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 247
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.


Bagian Kedua
Fungsi


Pasal 248
  1. DPD mempunyai fungsi:
    1. pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
  1. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  2. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; serta
  3. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
  1. Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah.


Bagian Ketiga
Wewenang dan Tugas


Pasal 249
  1. DPD mempunyai wewenang dan tugas:
    1. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
    2. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  1. menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  2. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
  3. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR; b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  4. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
  5. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
  6. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
  7. menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  1. Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan pemerintah daerah, DPRD, dan unsur masyarakat di daerah pemilihannya.

Pasal 250
  1. Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
  3. Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD dalam peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. DPD melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan.

Pasal 251
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang dan tugas DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.


Bagian Keempat
Keanggotaan


Pasal 252
  1. Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang.
  2. Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu per tiga) jumlah anggota DPR.
  1. Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden.
  2. Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya.
  3. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 253
  1. Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPD.
  2. Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPD.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Pasal 254
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;

bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Pasal 255
  1. Di provinsi yang dibentuk setelah pelaksanaan pemilihan umum tidak diadakan pemilihan anggota DPD sampai dengan pemilihan umum berikutnya.
  2. Anggota DPD di provinsi induk juga mewakili provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum.


Bagian Kelima
Hak DPD


Pasal 256
DPD berhak:
  1. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  2. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  3. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
  1. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.


Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota


Paragraf 1
Hak Anggota

Pasal 257
Anggota DPD berhak:
  1. bertanya;
  2. menyampaikan usul dan pendapat;
  3. memilih dan dipilih;
  4. membela diri;
  5. imunitas;
  6. protokoler; dan
  7. keuangan dan administratif.

Paragraf 2
Kewajiban Anggota

Pasal 258
Anggota DPD berkewajiban:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
  3. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  1. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah;
  2. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
  3. menaati tata tertib dan kode etik;
  4. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
  5. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
  6. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.


Bagian Ketujuh
Alat Kelengkapan


Pasal 259
  1. Alat kelengkapan DPD terdiri atas:
    1. pimpinan;
    2. Panitia Musyawarah;
    3. panitia kerja;
    4. Panitia Perancang Undang-Undang;
    5. Panitia Urusan Rumah Tangga;
    6. Badan Kehormatan; dan
    7. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 1
Pimpinan

Pasal 260
  1. Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
  2. Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD.
  3. Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda usianya.
  4. Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
  5. Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan keputusan DPD.
  6. Pimpinan DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Pasal 261
  1. Pimpinan DPD bertugas:
    1. memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
    2. menyusun rencana kerja pimpinan;
    3. menjadi juru bicara DPD;
    4. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPD;
  1. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPD;
  2. mewakili DPD di pengadilan;
  3. melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD; dan
  5. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 2
Panitia Musyawarah

Pasal 262
Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.

Pasal 263
  1. Panitia Musyawarah bertugas menetapkan jadwal dan acara persidangan.
  2. Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD dapat menetapkan jadwal dan acara tersebut.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Musyawarah diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 3
Panitia Kerja

Pasal 264
  1. Panitia kerja dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
  2. Keanggotaan panitia kerja ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.
  3. Panitia kerja dipimpin oleh pimpinan panitia kerja.

Pasal 265
  1. Tugas panitia kerja dalam pengajuan rancangan undang-undang adalah mengadakan persiapan dan pembahasan rancangan undang-undang tertentu.
  2. Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD.
  3. Tugas panitia kerja dalam pemberian pertimbangan adalah:
    1. melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan
    2. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang diajukan DPR.
  4. Tugas panitia kerja di bidang pengawasan adalah:
    1. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu; dan
    2. membahas hasil pemeriksaan BPK.

Pasal 266
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja panitia kerja diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 4
Panitia Perancang Undang-Undang

Pasal 267
  1. Panitia Perancang Undang-Undang dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
  2. Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir masa keanggotaan DPD.
  3. Panitia Perancang Undang-Undang dipimpin oleh pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang.

Pasal 268
  1. Panitia Perancang Undang-Undang bertugas:
    1. merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPD;
    2. membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
    3. melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD;
    4. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau sidang paripurna;
  1. melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh panitia kerja;
  2. melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang; dan
  3. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya.

Pasal 269
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Perancang Undang-Undang diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 5
Badan Kehormatan

Pasal 270
  1. Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Pasal 271
  1. Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
    1. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258;
  1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
  2. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
  3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
  4. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  1. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD.
  2. Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
  3. Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.

Pasal 272
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan wewenang dan tugas Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.

Paragraf 6
Panitia Urusan Rumah Tangga

Pasal 273
  1. Panitia Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap.
  1. Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD.
  2. Panitia Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga.

Pasal 274
  1. Panitia Urusan Rumah Tangga bertugas:
    1. membantu pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal DPD;
    2. membantu pimpinan DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPD;
    3. membantu pimpinan DPD dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD;
    4. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh pimpinan DPD berdasarkan hasil rapat Panitia Musyawarah; dan
    5. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu.
  2. Panitia Urusan Rumah Tangga dapat meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal DPD.
  3. Panitia Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh Panitia Urusan Rumah Tangga pada masa keanggotaan berikutnya.

Pasal 275
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Urusan Rumah Tangga diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.


Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Wewenang dan Tugas DPD


Paragraf 1
Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang

Pasal 276
  1. DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang berdasarkan program legislasi nasional.
  2. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disertai dengan naskah akademik dapat diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja.
  3. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan menjadi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dalam sidang paripurna DPD.

Pasal 277
  1. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) beserta naskah akademik disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
  2. Surat pengantar pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebut juga Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut.

Pasal 278
  1. DPD menyampaikan daftar inventarisasi masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak diterimanya usulan rancangan undang-undang dari DPR atau Presiden.
  2. Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR dan Presiden dengan surat pengantar pimpinan DPD.

Pasal 279
Dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf b dan huruf c, DPD menyampaikan pandangan dan pendapat dalam pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (1), Pasal 170 ayat (2) huruf b dan huruf e, serta Pasal 170 ayat (4) huruf b.

Pasal 280
Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 2
Pemberian Pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang

Pasal 281
DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf c kepada pimpinan DPR.

Pasal 282
  1. Terhadap rancangan undang-undang tentang APBN, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
  2. Terhadap rancangan undang-undang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR.
  3. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada DPR setelah diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
  4. Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 176.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 3
Pemberian Pertimbangan terhadap Calon Anggota BPK

Pasal 283
  1. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai calon anggota BPK.
  2. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
  3. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
  4. Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 192.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 4
Penyampaian Hasil Pengawasan

Pasal 284
  1. DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf d kepada DPR sebagai bahan pertimbangan.
  2. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 5
Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK

Pasal 285
  1. DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang disampaikan oleh pimpinan BPK kepada pimpinan DPD dalam acara yang khusus diadakan untuk itu.
  2. DPD menugasi panitia kerja untuk membahas hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK setelah BPK menyampaikan penjelasan.
  3. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan dalam sidang paripurna DPD.
  4. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi DPR.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembahasan hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib.


Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Hak Anggota


Paragraf 1
Hak Bertanya

Pasal 286
  1. Anggota DPD mempunyai hak bertanya.
  2. Hak bertanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sidang dan/atau rapat sesuai dengan wewenang dan tugas DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) huruf e.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak bertanya diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 2
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat

Pasal 287
  1. Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
  2. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 3
Hak Memilih dan Dipilih

Pasal 288
  1. Anggota DPD mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 4
Hak Membela Diri

Pasal 289
  1. Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan.
  2. Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.

Paragraf 5
Hak Imunitas

Pasal 290
  1. Anggota DPD mempunyai hak imunitas.
  2. Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPD ataupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPD.
  3. Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPD maupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPD.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6
Hak Protokoler

Pasal 291
  1. Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak protokoler.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Paragraf 7
Hak Keuangan dan Administratif

Pasal 292
  1. Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak keuangan dan administratif.
  2. Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPD dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kesepuluh
Persidangan dan Pengambilan Keputusan


Paragraf 1
Persidangan

Pasal 293
  1. Tahun sidang DPD dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya, dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
  2. Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
  1. Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai dengan penugasan DPD.
  2. Sidang DPD di ibu kota negara dalam hal pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang mengikuti masa sidang DPR.
  3. Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPD dan anggota DPR mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPD atau DPR secara bergantian.

Pasal 294
Semua rapat di DPD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.

Pasal 295
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.

Paragraf 2
Pengambilan Keputusan

Pasal 296
  1. Pengambilan keputusan dalam rapat atau sidang DPD pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 297
  1. Setiap rapat atau sidang DPD dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
  2. Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat atau sidang.
  3. Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat atau sidang ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
  4. Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPD.

Pasal 298
Setiap keputusan rapat DPD, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, menjadi perhatian semua pihak yang terkait.

Pasal 299
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.


Bagian Kesebelas
Tata Tertib dan Kode Etik


Paragraf 1
Tata Tertib

Pasal 300
  1. Tata tertib DPD ditetapkan oleh DPD dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD.
  1. Tata tertib DPD paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    1. pengucapan sumpah/janji;
    2. pemilihan dan penetapan pimpinan;
    3. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
    4. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
    5. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
    6. penggantian antarwaktu anggota;
    7. pembentukan, susunan, wewenang dan tugas alat kelengkapan;
    8. pengambilan keputusan;
    9. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
    10. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
    11. pengaturan protokoler;
    12. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
    13. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Paragraf 2
Kode Etik

Pasal 301
DPD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD.


Bagian Kedua Belas
Larangan dan Sanksi


Paragraf 1
Larangan

Pasal 302
  1. Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
    1. pejabat negara lainnya;
    2. hakim pada badan peradilan; atau
    3. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
  2. Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPD serta hak sebagai anggota DPD.
  3. Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Paragraf 2
Sanksi

Pasal 303
  1. Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
  2. Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD.
  3. Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD.

Pasal 304
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1) berupa:
  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis; dan/atau
  3. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Pasal 305
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302.

Pasal 306
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.


Bagian Ketiga Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara


Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu

Pasal 307
  1. Anggota DPD berhenti antarwaktu karena:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.
  1. Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD;
    3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
    4. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
    5. tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum; atau
    6. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 308
  1. Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c diusulkan oleh pimpinan DPD yang diumumkan dalam sidang paripurna.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pimpinan DPD diumumkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  3. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.

Pasal 309
  1. Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf f, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari pimpinan DPD, masyarakat dan/atau pemilih.
  2. Keputusan Badan Kehormatan DPD mengenai pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPD kepada sidang paripurna.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPD yang telah dilaporkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  4. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD.

Pasal 310
  1. Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1), Badan Kehormatan DPD dapat meminta bantuan dari ahli independen.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPD diatur dalam peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.

Paragraf 2
Penggantian Antarwaktu

Pasal 311
  1. Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi yang sama.
  2. Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD, anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.
  3. Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya.

Pasal 312
  1. Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
  2. KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPD paling lambat 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPD.
  3. Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
  1. Paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
  2. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPD pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 253 dan Pasal 254.
  3. Penggantian antarwaktu anggota DPD tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.

Paragraf 3
Pemberhentian Sementara

Pasal 313
  1. Anggota DPD diberhentikan sementara karena:
    1. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
    2. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
  2. Dalam hal anggota DPD dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPD.
  3. Dalam hal anggota DPD dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan.
  1. Anggota DPD yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.


BAB V
DPRD PROVINSI


Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan


Pasal 314
DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 315
DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.


Bagian Kedua
Fungsi


Pasal 316
  1. DPRD provinsi mempunyai fungsi:
    1. legislasi;
    2. anggaran; dan
    3. pengawasan.
  2. Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi.


Bagian Ketiga
Wewenang dan Tugas


Pasal 317
  1. DPRD provinsi mempunyai wewenang dan tugas:
    1. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
    2. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur;
    3. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
    4. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
    5. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;
    6. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
    7. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi;
    8. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
    9. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
    10. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  1. melaksanakan wewenang dan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.


Bagian Keempat
Keanggotaan


Pasal 318
  1. Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang.
  2. Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
  3. Anggota DPRD provinsi berdomisili di ibu kota provinsi yang bersangkutan.
  4. Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 319
  1. Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat paripurna DPRD provinsi.
  2. Anggota DPRD provinsi yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Pasal 320
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 319 sebagai berikut:


"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."


Pasal 321
  1. Dalam hal dilakukan pembentukan provinsi setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD provinsi di provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
    1. menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
    2. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
    3. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum;
  1. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum; dan
  2. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak.
  1. Pengisian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU provinsi induk.
  2. Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
  3. Masa jabatan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD provinsi hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Hak DPRD Provinsi


Pasal 322
  1. DPRD provinsi berhak:
    1. interpelasi;
    2. angket; dan
    3. menyatakan pendapat.
  2. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
  1. Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.


Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota


Paragraf 1
Hak Anggota

Pasal 323
Anggota DPRD provinsi berhak:
  1. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi;
  2. mengajukan pertanyaan;
  3. menyampaikan usul dan pendapat;
  4. memilih dan dipilih;
  5. membela diri;
  6. imunitas;
  7. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
  8. protokoler; dan
  9. keuangan dan administratif.

Paragraf 2
Kewajiban Anggota

Pasal 324
Anggota DPRD provinsi berkewajiban:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
  3. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
  5. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
  6. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
  7. menaati tata tertib dan kode etik;
  8. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
  9. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
  10. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
  11. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.


Bagian Ketujuh
Fraksi


Pasal 325
  1. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas DPRD provinsi, serta hak dan kewajiban anggota DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD provinsi.
  1. Setiap anggota DPRD provinsi harus menjadi anggota salah satu fraksi.
  2. Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.
  3. Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
  4. Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
  5. Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan.
  6. Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
  7. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
  8. Fraksi mempunyai sekretariat.
  9. Sekretariat DPRD provinsi menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.


Bagian Kedelapan
Alat Kelengkapan DPRD Provinsi


Pasal 326
  1. Alat kelengkapan DPRD provinsi terdiri atas:
    1. pimpinan;
    2. Badan Musyawarah;
    3. komisi;
  1. Badan Legislasi Daerah;
  2. Badan Anggaran;
  3. Badan Kehormatan; dan
  4. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
  1. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Pasal 327
  1. Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas:
    1. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
    2. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
    3. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
  2. Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi.
  3. Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi.
  4. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
  1. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
  2. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
  3. Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD provinsi yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
  4. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
  5. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.

Pasal 328
  1. Dalam hal pimpinan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (1) belum terbentuk, DPRD provinsi dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD provinsi.
  2. Pimpinan sementara DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD provinsi.
  1. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD provinsi.
  2. Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
  3. Pimpinan DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 293 yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Pasal 329
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
  1. DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi;
  2. DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.


Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Hak DPRD Provinsi


Paragraf 1
Hak Interpelasi

Pasal 330
  1. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
  1. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
  1. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Paragraf 2
Hak Angket

Pasal 331
  1. Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
    2. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.

Pasal 332
  1. DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 331 ayat (1).
  2. Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi.
  3. Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 333
  1. Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
  2. Pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD provinsi, kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam hal pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 334
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.

Pasal 335
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Paragraf 3
Hak Menyatakan Pendapat

Pasal 336
  1. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
    2. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.

Pasal 337
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.


Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Hak Anggota


Paragraf 1
Hak Imunitas

Pasal 338
  1. Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas.
  2. Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
  3. Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD provinsi maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Hak Protokoler

Pasal 339
  1. Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak protokoler.
  2. Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

Paragraf 3
Hak Keuangan dan Administratif

Pasal 340
  1. Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak keuangan dan administratif.
  2. Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
  3. Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, pimpinan dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
  4. Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD provinsi sesuai dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kesebelas
Persidangan dan Pengambilan Keputusan


Paragraf 1
Persidangan

Pasal 341
  1. Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD provinsi dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
  2. Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
  1. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD provinsi, masa reses ditiadakan.

Pasal 342
Semua rapat di DPRD provinsi pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.

Pasal 343
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Paragraf 2
Pengambilan Keputusan

Pasal 344
  1. Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 345
  1. Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
  2. Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
    1. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur;
  1. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
  2. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
  1. Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
    1. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
    2. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
    3. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
  2. Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
  3. Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah.
  4. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
  5. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi.

Pasal 346
Setiap keputusan rapat DPRD provinsi, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

Pasal 347
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.


Bagian Kedua Belas
Tata Tertib dan Kode Etik


Paragraf 1
Tata Tertib

Pasal 348
  1. Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
  2. Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD provinsi.
  3. Tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    1. pengucapan sumpah/janji;
    2. penetapan pimpinan;
    3. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
    4. jenis dan penyelenggaraan rapat;
    5. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
    6. pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan;
  1. penggantian antarwaktu anggota;
  2. pembuatan pengambilan keputusan;
  3. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi;
  4. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
  5. pengaturan protokoler; dan
  6. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

Paragraf 2
Kode Etik

Pasal 349
DPRD provinsi menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD provinsi.


Bagian Ketiga Belas
Larangan dan Sanksi


Paragraf 1
Larangan

Pasal 350
  1. Anggota DPRD provinsi dilarang merangkap jabatan sebagai:
    1. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
    2. hakim pada badan peradilan; atau
    3. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
  1. Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPRD provinsi serta hak sebagai anggota DPRD provinsi.
  2. Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Paragraf 2
Sanksi

Pasal 351
  1. Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
  2. Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
  3. Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.

Pasal 352
  1. Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) berupa:
    1. teguran lisan;
    2. teguran tertulis; dan/atau
    3. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Pasal 353
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD provinsi dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350.

Pasal 354
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.


Bagian Keempat Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara


Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu

Pasal 355
  1. Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.
  2. Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD provinsi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD provinsi;
  1. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  2. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
  3. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
  5. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
  6. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  7. menjadi anggota partai politik lain.

Pasal 356
  1. Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyampaikan usul tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
  1. Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPRD provinsi dari gubernur.

Pasal 357
  1. Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat, dan/atau pemilih.
  2. Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD provinsi kepada rapat paripurna.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
  4. Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD provinsi, paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD provinsi.
  5. Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD provinsi paling lama 7 (tujuh) Hari meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  1. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur menyampaikan keputusan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
  2. Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari gubernur.

Pasal 358
  1. Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357 ayat (1), Badan Kehormatan DPRD provinsi dapat meminta bantuan dari ahli independen.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara Badan Kehormatan.

Paragraf 2
Penggantian Antarwaktu

Pasal 359
  1. Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (1) dan Pasal 357 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  1. Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  2. Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikannya.

Pasal 360
  1. Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU provinsi.
  2. KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi.
  3. Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
  4. Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri.
  1. Paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Menteri Dalam Negeri.
  2. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 319 dan Pasal 320.
  3. Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.

Pasal 361
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD provinsi diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 3
Pemberhentian Sementara

Pasal 362
  1. Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena:
    1. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
    2. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
  1. Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi.
  2. Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diaktifkan.
  3. Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.


BAB VI
DPRD KABUPATEN/KOTA


Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan


Pasal 363
DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 364
DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.


Bagian Kedua
Fungsi


Pasal 365
  1. DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
    1. legislasi;
    2. anggaran; dan
    3. pengawasan.
  2. Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota.


Bagian Ketiga
Wewenang dan tugas


Pasal 366
  1. DPRD kabupaten/kota mempunyai wewenang dan tugas:
    1. membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
    2. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;
    3. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
    4. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
    5. memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;
  1. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
  2. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
  3. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
  4. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
  5. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  6. melaksanakan wewenang dan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.


Bagian Keempat
Keanggotaan


Pasal 367
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima puluh) orang.
  2. Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
  3. Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota kabupaten/kota yang bersangkutan.
  4. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 368
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna DPRD kabupaten/kota.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 369
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Pasal 370
  1. Dalam hal dilakukan pembentukan kabupaten/kota setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
    1. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
    2. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
    3. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
    4. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
    5. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak.
  2. Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota induk.
  3. Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
  1. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Hak DPRD Kabupaten/Kota


Pasal 371
  1. DPRD kabupaten/kota berhak:
    1. interpelasi;
    2. angket; dan
    3. menyatakan pendapat.
  2. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
  3. Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/wali kota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.


Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota


Paragraf 1
Hak Anggota

Pasal 372
Anggota DPRD kabupaten/kota berhak:
  1. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota;
  2. mengajukan pertanyaan;
  3. menyampaikan usul dan pendapat;
  4. memilih dan dipilih;
  5. membela diri;
  6. imunitas;
  7. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
  8. protokoler; dan
  9. keuangan dan administratif.

Paragraf 2
Kewajiban Anggota

Pasal 373
Anggota DPRD kabupaten/kota berkewajiban:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
  3. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
  5. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
  6. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
  1. menaati tata tertib dan kode etik;
  2. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
  3. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
  4. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
  5. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.


Bagian Ketujuh
Fraksi


Pasal 374
  1. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD kabupaten/kota.
  2. Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota salah satu fraksi.
  3. Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD kabupaten/kota.
  4. Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
  5. Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
  1. Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dibentuk fraksi gabungan.
  2. Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
  3. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
  4. Fraksi mempunyai sekretariat.
  5. Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.


Bagian Kedelapan
Alat Kelengkapan


Pasal 375
  1. Alat kelengkapan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas:
    1. pimpinan;
    2. Badan Musyawarah;
    3. komisi;
    4. Badan Legislasi Daerah;
    5. Badan Anggaran;
    6. Badan Kehormatan; dan
    7. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
  2. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.
  3. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 376
  1. Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
    1. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh) orang;
    2. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
  2. Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota.
  3. Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.
  4. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
  5. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
  6. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
  1. Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD kabupaten/kota yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
  2. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
  3. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.

Pasal 377
  1. Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 376 ayat (1) belum terbentuk, DPRD kabupaten/kota dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota.
  2. Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD kabupaten/kota.
  3. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD kabupaten/kota.
  4. Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
  5. Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 390 yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 378
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
  1. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) Komisi;
  2. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) Komisi.


Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Hak DPRD Kabupaten/Kota


Paragraf 1
Hak Interpelasi

Pasal 379
  1. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima);
    2. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  1. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

Pasal 380
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Paragraf 2
Hak Angket

Pasal 381
  1. Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
    2. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

Pasal 382
  1. DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 381 ayat (1).
  2. Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota dengan keputusan DPRD kabupaten/kota.
  3. Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 383
  1. Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 381 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 381 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
  2. Pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD kabupaten/kota kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam hal pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 384
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.

Pasal 385
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Paragraf 3
Hak Menyatakan Pendapat

Pasal 386
  1. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
    2. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

Pasal 387
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.


Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Hak Anggota


Paragraf 1
Hak Imunitas

Pasal 388
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD kabupaten/kota ataupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota.
  3. Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD kabupaten/kota maupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Hak Protokoler

Pasal 389
  1. Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak protokoler.
  2. Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

Paragraf 3
Hak Keuangan dan Administratif

Pasal 390
  1. Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak keuangan dan administratif.
  2. Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
  3. Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
  4. Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD kabupaten/kota sesuai dengan peraturan pemerintah.


Bagian Kesebelas
Persidangan dan Pengambilan Keputusan


Paragraf 1
Persidangan

Pasal 391
  1. Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
  1. Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
  2. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD kabupaten/kota, masa reses ditiadakan.

Pasal 392
Semua rapat di DPRD kabupaten/kota pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.

Pasal 393
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Paragraf 2
Pengambilan Keputusan

Pasal 394
  1. Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 395
  1. Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
  1. Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
    1. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota;
    2. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk memberhentikan pimpinan DPRD kabupaten/kota serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
    3. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat paripurna DPRD kabupaten/kota selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
  2. Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
    1. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
    2. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
    3. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
  3. Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
  4. Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah.
  1. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
  2. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan fraksi.

Pasal 396
Setiap keputusan rapat DPRD kabupaten/kota, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

Pasal 397
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.


Bagian Kedua Belas
Tata Tertib dan Kode Etik


Paragraf 1
Tata Tertib

Pasal 398
  1. Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
  1. Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota.
  2. Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    1. pengucapan sumpah/janji;
    2. penetapan pimpinan;
    3. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
    4. jenis dan penyelenggaraan rapat;
    5. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
    6. pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan;
    7. penggantian antarwaktu anggota;
    8. pembuatan pengambilan keputusan;
    9. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
    10. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
    11. pengaturan protokoler; dan
    12. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

Paragraf 2
Kode Etik

Pasal 399
DPRD kabupaten/kota menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD kabupaten/kota.


Bagian Ketiga Belas
Larangan dan Sanksi


Paragraf 1
Larangan

Pasal 400
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap jabatan sebagai:
    1. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
    2. hakim pada badan peradilan; atau
    3. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
  3. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Paragraf 2
Sanksi

Pasal 401
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.

Pasal 402
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (1) berupa:
  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis; dan/atau
  3. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Pasal 403
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400.

Pasal 404
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara Badan Kehormatan.


Bagian Keempat Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara


Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu

Pasal 405
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena:
  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri; atau
  3. diberhentikan.
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota;
    3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
    4. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
    5. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    6. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
    7. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
    8. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
    9. menjadi anggota partai politik lain.

Pasal 406
  1. Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur.
  4. Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota.

Pasal 407
  1. Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD kabupaten/kota, masyarakat dan/atau pemilih.
  2. Keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada rapat paripurna.
Halaman:UU 17 2014.pdf/204 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/205 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/206 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/207 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/208 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/209 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/210 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/211 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/212 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/213 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/214 MediaWiki:Proofreadpage pagenum templateHalaman:UU 17 2014.pdf/215

Lihat juga

[sunting]