Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020/Bab VI

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 


BAB VI
KEMUDAHAN BERUSAHA


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 105
Untuk mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922);
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953);
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
  3. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun l940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie);
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870);
  4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);
  5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); dan
  6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).


Bagian Kedua
Keimigrasian


Pasal 106
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 18, angka 21, dan angka 30 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
    2. Wilayah Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Indonesia serta zona tertentu yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
    3. Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.
    4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
    5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Imigrasi.
    6. Direktorat Jenderal Imigrasi adalah unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang Keimigrasian.
  1. Pejabat Imigrasi adalah pegawai yang telah melalui pendidikan khusus Keimigrasian dan memiliki keahlian teknis Keimigrasian serta memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang ini.
  2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian yang selanjutnya disebut dengan PPNS Keimigrasian adalah Pejabat Imigrasi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana Keimigrasian.
  3. Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia.
  4. Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian adalah sistem teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi guna mendukung operasional, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam melaksanakan Fungsi Keimigrasian.
  5. Kantor Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan Fungsi Keimigrasian di daerah kabupaten, kota, atau kecamatan.
  6. Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar Wilayah Indonesia.
  7. Dokumen Perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi internasional lainnya untuk melakukan perjalanan antarnegara yang memuat identitas pemegangnya.
  8. Dokumen Keimigrasian adalah Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dan Izin Tinggal yang dikeluarkan oleh Pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri.
  1. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia adalah Paspor Republik Indonesia dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik Indonesia.
  2. Paspor Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Paspor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada warga negara Indonesia untuk melakukan perjalanan antarnegara yang berlaku selama jangka waktu tertentu.
  3. Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Surat Perjalanan Laksana Paspor adalah dokumen pengganti paspor yang diberikan dalam keadaan tertentu yang berlaku selama jangka waktu tertentu.
  4. Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan tertulis, baik secara manual maupun elektronik yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk pemberian Izin Tinggal.
  5. Tanda Masuk adalah tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada Dokumen Perjalanan warga negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual maupun elektronik, yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan masuk Wilayah Indonesia.
  6. Tanda Keluar adalah tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada Dokumen Perjalanan warga negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual maupun elektronik, yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan keluar Wilayah Indonesia.
  7. Izin Tinggal adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing oleh Pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri baik secara manual maupun elektronik untuk berada di Wilayah Indonesia.
  1. Pernyataan Integrasi adalah pernyataan Orang Asing kepada Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu syarat memperoleh Izin Tinggal Tetap.
  2. Izin Tinggal Tetap adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing tertentu untuk bertempat tinggal dan menetap di Wilayah Indonesia sebagai penduduk Indonesia.
  3. Izin Masuk Kembali adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi kepada Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas dan Izin Tinggal Tetap untuk masuk kembali ke Wilayah Indonesia.
  4. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  5. Penjamin adalah orang atau Korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing selama berada di Wilayah Indonesia.
  6. Alat Angkut adalah kapal laut, pesawat udara, atau sarana transportasi lain yang lazim digunakan, baik untuk mengangkut orang maupun barang.
  7. Pencegahan adalah larangan sementara terhadap Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang.
  8. Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah Indonesia berdasarkan orang untuk keluar dari Wilayah alasan Keimigrasian.
  9. Intelijen Keimigrasian adalah kegiatan penyelidikan Keimigrasian dan pengamanan Keimigrasian dalam rangka penyajian informasi melalui analisis guna menetapkan perkiraan keadaan Keimigrasian yang dihadapi atau yang akan dihadapi.
  10. Tindakan Administratif Keimigrasian adalah sanksi administratif yang ditetapkan Pejabat Imigrasi terhadap Orang Asing di luar proses peradilan.
  1. Penyelundupan Manusia adalah perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak.
  2. Rumah Detensi Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan Fungsi Keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian.
  3. Ruang Detensi Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian yang berada di Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kantor Imigrasi.
  4. Deteni adalah Orang Asing penghuni Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dari Pejabat Imigrasi.
  5. Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia.
  6. Penanggung Jawab Alat Angkut adalah pemilik, pengurus, agen, nakhoda, kapten kapal, kapten pilot, atau pengemudi alat angkut yang bersangkutan.
  1. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut.
  2. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, dan Konsulat Republik Indonesia.
  1. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 38
    Visa kunjungan diberikan kepada Orang Asing yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, prainvestasi, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau singgah untuk meneruskan perjalanan ke negara lain.
  2. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 39
    1. Visa tinggal terbatas diberikan kepada Orang Asing:
      1. sebagai rohaniawan, tenaga ahli, pekerja, peneliti, pelajar, investor, rumah kedua, dan keluarganya, serta Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia, yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia untuk bertempat tinggal dalam jangka waktu yang terbatas; atau
      2. dalam rangka bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah perairan nusantara, laut teritorial, landas kontinen, dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai Visa tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 40
    1. Pemberian Visa kunjungan dan Visa tinggal terbatas merupakan kewenangan Menteri.
    2. Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan ditandatangani oleh Pejabat Imigrasi.
    3. Dalam hal Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan di Perwakilan Republik Indonesia, pemberian Visa dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi di Perwakilan Republik Indonesia dan/atau pejabat dinas luar negeri.
    4. Pejabat dinas luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang memberikan Visa setelah memperoleh Keputusan Menteri.
  2. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 46
    1. Orang Asing pemegang Visa diplomatik atau Visa dinas dengan maksud bertempat tinggal di Wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda Masuk wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk untuk memperoleh lzin Tinggal diplomatik atau Izin Tinggal dinas.
    2. Orang Asing pemegang Visa tinggal terbatas setelah mendapat Tanda Masuk wajib mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Imigrasi untuk memperoleh lzin Tinggal terbatas.
  1. Jika Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak melaksanakan kewajiban tersebut, Orang Asing yang bersangkutan dianggap berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah.
  2. Dalam hal Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapatkan Izin Tinggal terbatas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, tidak perlu mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Imigrasi untuk memperoleh Izin Tinggal terbatas.
  1. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 54
    1. Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada:
      1. Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas sebagai rohaniwan, pekerja, investor, dan rumah kedua;
      2. keluarga karena perkawinan campuran;
      3. suami, istri, dan/atau anak dari Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap; dan
      4. Orang Asing eks warga negara Indonesia dan eks subjek anak berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia.
    2. Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan kepada Orang Asing yang tidak memiliki paspor kebangsaan.
    3. Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap merupakan penduduk Indonesia.
    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63
  1. Orang Asing tertentu yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki Penjamin yang menjamin keberadaannya.
  2. Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin selama tinggal di Wilayah Indonesia serta wajib melaporkan setiap perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat.
  3. Penjamin wajib membayar biaya yang timbul untuk memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia apabila Orang Asing yang bersangkutan:
    1. telah habis masa berlaku Izin Tinggalnya; dan/atau
    2. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi.
  4. Ketentuan mengenai penjaminan tidak berlaku bagi:
    1. Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia;
    2. Pelaku Usaha dengan kewarganegaraan asing yang menanamkan modal sebagai investasinya di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal; dan
    3. Warga dari suatu negara yang secara resiprokal memberikan pembebasan penjaminan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  6. Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai pengganti penjamin selama berada Indonesia.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jaminan keimigrasian bagi Orang Asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 71
    1. Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib:
      1. memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau
      2. menyerahkan Dokumen Perjalanan atau lzin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Paten


Pasal 107
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 3
    1. Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
    2. Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.
    3. Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
      1. produk sederhana;
      2. proses sederhana; atau
      3. metode sederhana.
  2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 20
    1. Paten wajib dilaksanakan di Indonesia.
    2. Pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ialah sebagai berikut:
      1. pelaksanaan Paten-produk yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi Paten;
      2. pelaksanaan Paten-proses yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi Paten; atau
  1. pelaksanaan Paten-metode, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten.
  1. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 82
    1. Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan:
      1. Paten tidak dilaksanakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan paten;
      2. Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat; atau
      3. Paten hasil pengembangan dari Paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan Paten pihak lain yang masih dalam pelindungan.
    2. Permohonan Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya.
  2. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 122
    1. Paten sederhana diberikan hanya untuk satu Invensi.
    2. Permohonan Pemeriksaan Substantif atas Paten sederhana dilakukan bersamaan dengan pengajuan Permohonan Paten sederhana dengan dikenai biaya.
  1. Apabila permohonan pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dilakukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau biaya pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dibayar, Permohonan Paten sederhana dianggap ditarik kembali.
  1. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 123
    1. Pengumuman Permohonan Paten sederhana dilakukan paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten sederhana.
    2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan Paten sederhana.
    3. Pemeriksaan substantif atas Permohonan Paten sederhana dilakukan setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
    4. Dikecualikan terhadap ketentuan dalam Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4), bahwa keberatan terhadap Permohonan Paten sederhana langsung digunakan sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.
  2. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 124
    1. Menteri wajib memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan Paten sederhana paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan Paten sederhana.
  1. Paten sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-elektronik.
  2. Menteri memberikan sertifikat Paten sederhana kepada Pemegang Paten sederhana sebagai bukti hak.


Bagian Keempat
Merek


Pasal 108
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 20
    Merek tidak dapat didaftar jika:
    1. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundangan-undang, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
    2. sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
    3. memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang danlatau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
    4. memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
    5. tidak memiliki daya pembeda;
  1. merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum; dan/atau
  2. mengandung bentuk yang bersifat fungsional.
  1. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 23
    1. Pemeriksaan substantif merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa terhadap Permohonan pendaftaran Merek.
    2. Segala keberatan dan atau sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 menjadi pertimbangan dalam pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    3. Dalam hal tidak terdapat keberatan terhitung sejak tanggal berakhirnya pengumuman, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
    4. Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
    5. Dalam hal terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
    6. Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) Hari.
    7. Dalam hal diperlukan untuk melakukan pemeriksaan substantif, dapat ditetapkan tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa.
  1. Hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dianggap sama dengan hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa dengan Persetujuan Menteri.
  1. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 25
    1. Sertifikat Merek diterbitkan oleh Menteri sejak Merek tersebut terdaftar.
    2. Sertifikat Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
      1. nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar;
      2. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan melalui Kuasa;
      3. Tanggal Penerimaan;
      4. nama negara dan Tanggal Penerimaan pemohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas;
      5. label Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam warna jika Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan jika Merek menggunakan bahasa asing, huruf selain huruf Latin, dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin;
      6. nomor dan tanggal pendaftaran;
      7. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan
      8. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.


Bagian Kelima
Perseroan Terbatas


Pasal 109
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.
    2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.
    3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
  1. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
  2. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
  3. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
  4. Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.
  5. Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal.
  6. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
  7. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
  1. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.
  2. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.
  3. Surat Tercatat adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan menyebutkan tanggal penerimaan.
  4. Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional.
  5. Hari adalah hari kalender.
  6. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
  1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 7
    1. Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
    2. Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.
    3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan.
    4. Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan bukti pendaftaran.
  1. Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib:
    1. mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain; atau
    2. Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
  2. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang:
    1. pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan
    2. atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
  3. Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
    1. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
    2. Badan Usaha Milik Daerah;
    3. Badan Usaha Milik Desa;
    4. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sesuai dengan Undang-Undang tentang Pasar Modal; atau
    5. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.
  4. Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.
  1. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 32
    1. Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan.
    2. Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 153
    Ketentuan mengenai biaya Perseroan sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
  3. Di antara Pasal 153 dan Pasal 154 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 153A, Pasal 1528, Pasal 153C, Pasal 153D, Pasal 153E, Pasal 153F, Pasal 153G, Pasal 153H, Pasal 1531, dan Pasal 153J sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 153A
    1. Perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.
    2. Pendirian Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153B
  1. Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2) memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan.
  2. Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153C
  1. Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ditetapkan oleh RUPS dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format isian perubahan pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153D
  1. Direksi Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A menjalankan pengurusan Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil bagi kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
  2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/atau pernyataan pendirian Perseroan.

Pasal 153E
  1. Pemegang saham Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A merupakan orang perseorangan.
  2. Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan Terbatas untuk Usaha Mikro dan Kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 153F
  1. Direksi Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan Tata Kelola Perseroan yang baik.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat laporan keuangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153G
  1. Pembubaran Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh RUPS yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
  2. Pembubaran Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena:
    1. berdasarkan keputusan RUPS;
    2. jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir;
    3. berdasarkan penetapan pengadilan;
    4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  1. harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
  2. dicabutnya Perizinan Berusaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 153H
  1. Dalam hal Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sudah tidak memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A, Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil menjadi Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153I
  1. Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil diberikan keringanan biaya terkait pendirian badan hukum.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan biaya Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 153J
  1. Pemegang saham Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
    1. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
    2. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
    3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
    4. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.


Bagian Keenam
Undang-Undang Gangguan


Pasal 110
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Bagian Ketujuh
Perpajakan


Pasal 111
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 2
    1. Yang menjadi subjek pajak adalah:
        1. orang pribadi; dan
        2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
      1. badan; dan
      2. bentuk usaha tetap.
      (1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
    2. Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
    3. Subjek pajak dalam negeri adalah:
      1. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang:
        1. bertempat tinggal di Indonesia;
        2. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
  1. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
  1. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
    1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
    3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
    4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
  2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
  1. Subjek pajak luar negeri adalah:
    1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
    2. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
    3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
      1. tempat tinggal;
      2. pusat kegiatan utama;
      3. tempat menjalankan kebiasan;
      4. status subjek pajak; dan/atau
      5. persyaratan tertentu lainnya
    4. yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; dan
  1. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  1. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, dan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:
    1. tempat kedudukan manajemen;
    2. cabang perusahaan;
    3. kantor perwakilan;
    4. gedung kantor;
    5. pabrik;
    6. bengkel;
    7. gudang;
    8. ruang untuk promosi dan penjualan;
    9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
    10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
    11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
    12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
    13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
    14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  1. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  2. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
  1. Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
  1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut

    Pasal 4
    1. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
      1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
      2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
      3. laba usaha;
      4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
  1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
  2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
  3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
  5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
  1. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  3. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
  1. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
  2. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  3. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  4. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  5. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  6. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  7. premi asuransi;
  8. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  9. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  10. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  11. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
  12. surplus Bank Indonesia.

(1a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan:

  1. memiliki keahlian tertentu; dan
  2. berlaku selama 4 (empat) tahun pajak yang dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.

(1b) Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh warga negara asing sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar Indonesia.

(1c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak berlaku terhadap warga negara asing yang memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tempat warga negara asing memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.
(1d) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan Pajak Penghasilan bagi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
    1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
    2. penghasilan berupa hadiah undian;
    3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
    4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
    5. penghasilan tertentu lainnya,

    yang diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

  2. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
    1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
    2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
    sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
  1. warisan;
  2. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
  3. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
  1. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;
  2. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
      a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau
      b) badan dalam negeri;
    2. dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut:
      a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak; atau
      b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang ini;
  1. dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2 merupakan:
    a) dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek; atau
    b) dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham;
  2. dalam hal dividen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b) dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2 diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a) berlaku ketentuan:
    a) atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
    b) atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dikenai Pajak Penghasilan; dan
    c) atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a) serta atas selisih sebagaimana dimaksud pada huruf b), tidak dikenai Pajak Penghasilan;
  1. dalam hal dividen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2, diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a) berlaku ketentuan:
    a) atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan
    b) atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a), tidak dikenai Pajak Penghasilan;
  2. dalam hal dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang ini, dividen dimaksud tidak dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 2;
  3. pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal penghasilan tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi persyaratan berikut:
    a) penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan
    b) bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri;
  1. pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 7, berlaku ketentuan:
    a) tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang;
    b) tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan; dan/atau
    c) tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
  2. dalam hal Wajib Pajak tidak menginvestasikan penghasilan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 7, berlaku ketentuan:
    a) penghasilan dari luar negeri tersebut merupakan penghasilan pada tahun pajak diperoleh; dan
    Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut merupakan kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang ini;
  3. ketentuan lebih lanjut mengenai:
    a) kriteria, tata cara dan jangka waktu tertentu untuk investasi sebagaimana dimaksud pada angka l, angka 2, dan angka 7;
    b) tata cara pengecualian pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 7; dan
    c) perubahan batasan dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5,
    diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
  1. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
  2. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
  3. bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
  4. dihapus;
  5. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
    1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
    2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  6. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  1. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling larna 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  2. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
  3. dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
  4. sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26
  1. Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
    1. dividen;
    2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
    3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
    5. hadiah dan penghargaan;
    6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
    7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
    8. keuntungan karena pembebasan utang.
    (1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
(1b) Tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
    (2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  3. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  4. Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
    1. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
    2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

Pasal 112
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1A
    1. Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
      1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
      2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
      3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
      4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
      5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
      6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antarcabang;
  1. dihapus;
    dan
  2. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
  1. Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
    1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
    2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
    3. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
    4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
    5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
  1. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A
  1. Dihapus.
  2. Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
    1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;
    2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
    3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
    4. uang, emas batangan, dan surat berharga.
  3. Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
    1. jasa pelayanan kesehatan medis;
    2. jasa pelayanan sosial;
    3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
    4. jasa keuangan;
    5. jasa asuransi;
    6. jasa keagamaan;
    7. jasa pendidikan;
    8. jasa kesenian dan hiburan;
    9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
    10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
  1. jasa tenaga kerja;
  2. jasa perhotelan;
  3. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  4. jasa penyediaan tempat parkir;
  5. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
  6. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  7. jasa boga atau katering.
  1. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 9
    1. Dihapus.
    2. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
      (2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
      (2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/637 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/638 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/639 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/640 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/641 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/642 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/643 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/644 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/645 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/646
(5a) Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
  1. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
  2. Dihapus.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  4. Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.

Pasal 113
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/648 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/649
  1. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan pemeriksaan tetap dilanjutkan.
  1. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak:
    1. batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan; atau
    2. jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Masa dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/651 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/652 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/653 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/654 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/655 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/656 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/657 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/658 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/659 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/660 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/661 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/662 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/663 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/664 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/665 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/666 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/667
  1. Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 114
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 141
    Jenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
    1. Retribusi Perizinan Berusaha terkait persetujuan bangunan gedung yang selanjutnya disebut Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung;
    2. Retribusi Perizinan Berusaha terkait tempat penjualan minuman beralkohol yang selanjutnya disebut Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
    3. Retribusi Perizinan Berusaha terkait trayek yang selanjutnya disebut Retribusi Izin Trayek; dan
    4. Retribusi Perizinan Berusaha terkait perikanan yang selanjutnya disebut Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/669 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/670 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/671 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/672 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/673 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/674

Pasal 115
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Pelindungan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk membantu Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
    2. Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam untuk melaksanakan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik.
    3. Nelayan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan.
    4. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan.
    5. Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/676 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/677 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/678 Halaman:UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.pdf/679
  1. paksaan pemerintah; dan/atau
  2. pencabutan Perizinan Berusaha.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 74
    Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).


Bagian Kesembilan
Wajib Daftar Perusahaan


Pasal 116
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Bagian Kesepuluh
Badan Usaha Milik Desa


Pasal 117
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
    4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
  1. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
  2. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah Badan Hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
  3. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
  4. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar- besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
  5. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
  6. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
  7. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
  1. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
  2. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  5. Menteri adalah menteri yang menangani Desa.
  1. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 87
    1. Desa dapat mendirikan BUM Desa.
    2. BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan.
    3. BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk unit usaha berbadan hukum sesuai dengan kebutuhan dan tujuan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kesebelas
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Pasal 118
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 44
    1. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
    2. Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
    3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.
  1. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
  1. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 45
    1. Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.
    2. Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
    3. Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 47
    1. Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
    2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;
  2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
  3. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27;
  4. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
  5. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;
  6. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau pengenaan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  1. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda.
  1. Pasal 49 dihapus.