Pantjasila (Ki Hadjar Dewantara)

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Page Modul:Message box/ombox.css has no content.

Pantjasila
oleh Ki Hajar Dewantara

PANTJASILA





Oleh :

Ki Hadjar Dewantara




Penerbit

N.V. USAHA PENERBITAN INDONESIA

JOGJA

1950.

PURWAKA.

BAHWA SESUNGGUHNJA" ― demikianlah bunji Mukodimah, Purwaka atau Kata pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia ――,,kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perdjoangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat, jang berbahagia, dengan selamat sentausa menghantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Atas berkat rachmat Allah jang maha-kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja.


Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia, jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: ,,Ketuhanan Jang Maha Esa, Kemanusiaan jang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakjatan, jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia".


Itulah naskah,,preambule" dalam Undang-undang Dasar negara kita Republik Indonesia, berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, jang ditanda-tangani Bung Karno dan Bung Hatta. Agar terang bagi para pembatja, apa jang dimaksudkan dalam kata pembukaan itu umumnja, chususnja bahwa didalamnja ada termaktub lima dasar tjita2, jang disebut ,,Pantja-sila” itu, maka baiklah pokok isi Purwaka tadi kita singkatkan sebagai berikut :

I. Dalam kata-pembukaan U.U.D. Republik Indonesia didjelaskan, bahwa dalam U.U.D. itu terkandung segala tjita2 perdjoangan pergerakan nasional, mulai dulu hingga tertjapainja kemerdekaan, jang dengan ringkas digambarkan demikian :
  1. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa ; pendjadjahan harus lenjap dari muka dunia ini;
  2. Negara Indonesia harus : merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur;
  3. Pemerintah negara harus :
  1. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah-darah Indonesia;
  2. memadjukan kesedjahteraan umum  ;
  3. mentjerdaskan kehidupan bangsa;
  4. ikut melaksanakan ketertiban dunia, jang berdasarkan ,,kemerdekaan dan perdamaian jang abadi” serta ,,kedilan sosial”.
II Adapun dasar-dasarnja ialah :
  1. Ketuhanan jang Maha Esa;
  2. Kemanusiaan jang adil dan beradab;
  3. Persatuan Indonesia (Kebangsaan);
  4. Kerakjatan dan
  5. Keadilan sosial

I. Sifat Pantja - Sila

KITA tahu apa jang disebut "Pantja-sila": 5, pokok tjita-tjita jang jang termaktub didalam ,,Mukodimah" atau „Purwaka", ,,Kata-pembuka" atau ,,Preambule" dalam Undang2 Dasar negara kita Republik Indonesia. Pantja-sila itu ialah:


  1. Ketuhanan,
  2. Peri-kemanusiaan,
  3. Kebangsaan,
  4. Kedaulatan Rakjat,
  5. Keadilan sosial.


Pantja-sila tak kurang dan tak lebih menundjukkan sifat keluhuran serta kehalusan budi bangsa kita, menggambarkan dengan singkat, namun djelas, apa jang hidup didalam djiwa bangsa kita. Pantja-sila mendjelaskan serta menegaskan tjorak-warna atau watak rakjat kita sebagai bangsa: bangsa jang beradab, bangsa jang berkebudajaan, bangsa jang menginsjafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menjesuaikan hidup kebangsaannja dengan dasar peri-kemanusiaan jang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan tjiptaan Tuhan.


Pantja-sila lahir bersama-sama dengan lahirnja negara kita Republik Indonesia, bersama-sama dengan timbulnja bangsa kita sebagai bangsa jang merdeka dan berdaulat, bersama-sama dengan tertjiptanja ,,Undang-undang Dasar" negara kita. Pantja-sila masuk kedalam U.U.D. kita sebagai isi Mukodimah, dengan begitu memasuki U.U.D., ja'ni peraturan negara kita jang pokok, jang mendjadi dasar segala usaha kita, baik dalam hubungan kebangsaan maupun hubungan kenegaraan. Pantja-sila sebagai isi dan inti, sebagai sari dan puntjak U.U.D. kita, harus kita taati, harus senantiasa mendjadi pedoman kita, baik dalam segala langkah-laku kita sebagai rakjat bersama, maupun dalam hidup kepribadian kita masing2.


Pantja-sila dalam hakikatnja merupakan djiwa bangsa kita, sifat pribadi rakjat kita dalam lingkungan kenegaraan. Pantja-sila sebenar-benarnja menghidupkan U.U.D. kita, karena zonder Pantja-sila itu U.U. D. kita hanja merupakan „Peraturan Besar” atau „Statuten” semata-mata, jang boleh djadi tjukup berisi peraturan2 jang penting, boleh djadi pepak dan lengkap, namun tidak berdjiwa, tidak hidup. Banjak tjontoh peraturan2, statuten dan reglementen jang sungguh-pun „organisatorisch” boleh disebut lengkap, namun ,,organisch" tak berharga, karena tidak berdjiwa, tidak hidup, sebaliknja hanja berlaku setjara mesin atau pesawat, jang tak berfikir dan tak berperasaan. Peraturan jang sedemikian itu biasanja tak dapat memberi semangat, sebaliknja seringkali menimbulkan akal muslihat dalam kalangan jang berkepentingan, untuk menghindarkan diri dari pada lingkungan pengaruhnja.


Dalam pandangan ini njatalah, bahwa Pantja-sila sebagai putjuk permulaan U.U.D. negara kita, tidak sadja berisi perintah atau andjuran, larangan atau pembatasan tentang segala apa jang harus kita lakukan atau harus kita djauhkan dari hidup kita bersama sebagai rakjat, namun Pantja-sila, mempunjai sifat ,,pedoman" pula, jang dalam beberapa hal memberi petundjuk jang djelas dan tegas kepada kita semua. Dengan begitu Pantja-sila mendidik rakjat kita ke-arah kemadjuan lahir dan batin, kemadjuan menudju ke-arah adab peri-kemanusiaan dalam arti jang seluas-luasnja, kemadjuan pula dalam arti kenegaraan pada chususnja.


Apabila kita menindjau kembali segala apa jang telah kedjadian disekitar 17 Agustus 1945 jang beriwajat itu, maka teranglah, bahwa tertjiptanja Undang-undang Dasar kita itu adalah salah satu peristiwa jang maha penting. Tidak sadja ,,constitusi" kita menundjukkan hasrat ,,jang positif" dan ,,construktif" dari pemimpin-pemimpin kita, jang merasa bertanggung djawab atas berdirinja Republik kita sebagai negara hukum, tetapi susunan serta isi U. U. D. kita itu membuktikan adanja kebidjaksanaan pada mereka semua, para pentjipta dan perantjang, jang sangat berdjasa itu. Barang tentu tidak semua golongan menjetudjui seratus persen segala isi peraturan dasar negara kita itu. Ada jang ingin mengubah, mengurangi atau menambah U. U. D. tadi, dan bolehlah dipastikan, bahwa nanti, kalau sudah ada „Madjelis Permusjawaratan Rakjat", jang dibentuk menurut undang pemilihan umum, tentu grondwet" kita itu akan diperubah, dalam arti diperbaiki atau disempurnakan. Bagaimanapun djuga, apa jang kini ada dalam U.U.D. kita itu, ternjata didjundjung tinggi oleh segenap golongan masjarakat kebangsaan kita seluruhnja.


Kalau tentang isi U.U.D. kita, masih ada keinginan untuk mengubah, menambah atau mengurangi, misalnja jang berkenaan dengan peraturan kewarganegaraan, keagamaan, pemerintahan, ke-ekonomian, pertahanan d.l.l. sebagainja, maka itu tidak berarti adanja perbedaan faham tentang pokok atau garis besarnja, jang ada dalam U.U.D. jang sekarang ini. Kesatuan faham itu lebih nampak njata, selama kita tidak mempersoalkan isi U.U.D. kita satu demi satu. atau memperbintjangkan garis besar dan pokok²nja peraturan, tetapi selama kita meresapkan sari, jang ada dalam constitusi kita itu. Sari tadi tidak lain dari pada Pantja-sila, lima sari jang termaktub dalam ,Purwaka" atau ,,Mukodimah" dalam U.U.D. kita. Itulah jang mulai diproklamirkannja kemerdekaan negara dan bangsa kita, hingga saat ini, mendjadi dasar filosofi kenegaraan kita jang chak dan kita akui sepenuhnja. Pantja-sila kita sungguh² adalah djiwa jang menghidupkan U.U.D. kita, dan mendinamiseer negara kita.


Sebagai kita semua mengetahuinja, maka Pantja - sila kita itu kerapkali dengan terang-terangan dipakai sebagai ,,dasar" atau sendi" atau pembatasan", misalnja dalam menjusun ,,anggaran- dasar" atau peraturan lainnja, baik oleh fihak partikulir maupun oleh badan pemerintah jang resmi. Banjak orang membitjarakan, menindjau atau mempeladjari isi, maksud dan tudjuan Pantja-sila, karena mereka ingin menjelami dan menginsjafi sedalam-dalamnja, apa jang mendjadi tulang punggung dan djiwa dari pada kemerdekaan nusa dan bangsa Indonesia. Semua itu membuktikan betapa seluruh rakjat tertarik serta membenarkan dan mendjundjung tinggi isi Pantja-sila, dan sedapat-dapat menjesuaikan dirinja dengan apa jang terkandung didalamnja,


Apakah gerangan jang menjebabkan sangat populèrnja Pantja-sila itu? Menurut kejakinan saja tidak lain karena didalamnja dapat diketemukan sifat² jang pokok dari pada keluhuran dan kehalusan hidup manusia, baik dipandang dari sudut keagamaan, maupun sudut kebudajaan dan kemasjarakatan dalam arti jang seluas²nja.

Meresapkan isi, maksud dan tudjuan Pantja-sila, merupakan suatu „confrontasi” antara diri kita dengan pusat-kebatinan „geweten” kita sendiri, seolah-olah kita melihat kedalam katja benggala, dan melihat disitu gambar badan dan wadjah kita sewadjarnja. Gambar jang menundjukkan beberapa keindahan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan, kebersihan dan kekotoran, jang ada pada tubuh kita. Memang sebenarnja, Pantja-sila mempeladjarkan dan menundjukkan ke pada kita, bagaimana seharusnja kita berpendirian, bersikap dan bertindak, tidak sadja sebagai warga-negara jang setia, melainkan djuga sebagai manusia jang djudjur dan bidjaksana.

Didalam membitjarakan maksud dan tudjuan Pantja-sila. kadang-kadang ada jang memadjukan pertanjaan: bagian apakah dari Pantja-sila itu jang terpenting; mana jang boleh dianggap mendjadi pusatnja atau sarinja dan sudah betulkah urut-urutan, jang biasa terpakai, jaitu :

  1. Ketuhanan jang Maha Esa;
  2. Perikemanusiaan;
  3. Kebangsaan Indonesia:
  4. Kerakjatan atau Demokrasi:
  5. Keadilan sosial.

Urut-urutan jang sedemikian itu barang tentu tidak tersusun setjara tiba-tiba, sebaliknja boleh dianggap sebagai gambaran dan tjorak-warna dari pada djiwa si-pentjipta. Susunan tadi memberi alasan untuk menduga, bahwa pengarang Pantja-sila kita itu pasti ada seorang, jang mempunjai dasar Keagamaan, jang sangat dalam dan positif. Bukan keagamaan jang memusatkan angan2nja kepada mystik, kegaiban, occultisme d.l.l., jang biasa disebut „kebatinan” tetapi atjap kali bersifat sangat leluasa dan kadang2 bersuasana „lalamunan” atau chajal jg speculatif. Keagamaan jg bersysteem „ke-Tuhanan”, apa lagi ke-Tuhanan jg Maha Esa adalah ke-agamaan jg bersifat positif dan „dalam” pula„

Selain itu maka urut-urutan Pantja-sila menundjúkkan kepada kita, bahwa pentjiptanja adalah seorang jg berpandangan luas, lubur dan dalam. Barang siapa mendasarkan hidupnja kepada Perikemanusiaan, pastilah ia ada seorang jang beradab", seorang jang „bertjita-tjita”, seorang jang „berbudi”.

Sila jg ke-3 ta'usah kita bitjarakan dengan pandjang lebar. Tidak sadja si-pentjipta Pantja-sila, tetapi kita semua merasai dalam dada kita, dalam hati-sanubari kita, bahwa kita dengan bangga dan dengan sedar menginsjafi akan kebangsaan kita, ialah Kebangsaan Indonesia jg wutuh bulat, tidak terpetjah-belah atau bertjerai-berai. Kita berbangsa satu, bernegara satu dan berbahasa satu.

Sila jg ke-4, ja'ni Kerakjatan membuktikan bahwa si-pentjipta Pantja-sila bukan sadja seorang „patriot” pentjinta bangsa, akan tetapi seorang „nasionalis”, jg dengan njata berwatak „marhaen” dan menjatukan diri dengan rakjat umum, rakjat murba, rakjat djelata. Azas Kerakjatan atau „Demokrasi”, jg olehnja dimasukkan kedalam Pantja-sila-nja, tidak memungkinkan adanja haluan „kapitalisme”, sikap „imperialisme” atau „fascisme”, semangat „feodalisme” atau „aristokrasi” dalam djiwa si-pentjipta tadi.

Sila jg ke-5, jg mengutamakan so'al Keadilan sosial, menggambarkan suatu tjorak jg istimewa pula dalam idam-idaman si-pentjipta Pantja-sila. Mungkin dia mengalami sendiri, betapa seringkali meluap-luapnja sentiment „kerakjatan” itu, hingga melalui batas2nja demokrasi sendiri. Betapa meluap-luapnja sentiment demokrasi itu, hingga menimbulkan matjam2 „instincten” atau „hawa-nafsu” jg rendah2, misalnja kemurkaan diri, tindak semau-maunja setjara fascistis, meninggalkan sifat2 keadilan, rasa kasihan atau tjinta kasih terhadap manusia lain, demikian seterusnja. Itulah sebabnja maka sila „Keadilan sosial” tadi termasuk dalam Pantja-sila. Dan inilah merupakan isi jg terpenting dalam Pantja-sila seluruhnja; tidak sadja dalam sila „ jatan" sadja, jg biasa disebut dengan perkataan "demokrasi". suatu perkataan dari bahasa asing, jg kerap kali menimbulkan salah faham. Empat sila lain2-nja: ke-Tuhanan, Perikemanusiaan, Kebangsaan dan Kerakjatan, memang sebenarna lebih merupakan „batas-batas” dari pada ,,isi", dan pada umumnja rakjat djelata ta' dapat menginsjafinja dengan sedar dan positif. Keadilan sosial sebaliknja adalah satu kenjataan. jg dapat dikenjam oleh rakjat murba seluruhnja.

Dengan begitu maka boleh dianggap sempurnalah Pantja-sila itu sebagai buah atau hasil perdjoangan rakjat kita sedjak „Hari Kebangunan Nasional” (20 Mei 1908) sampai „Hari Proklamasi 17 Agustus '45”

II. Bentuk Atau Susunan Pantja - Sila.

Uraian saja jang pertama sebenarnja barulah merupakan „ichtisar” serta pula pendjelasan tentang „sifatnja” Pantja-sila, dan „sifat” itu ialah pokok-pokok dan dasar -dasarnja, jaitu „hakekatnja”.

Maksud uraian saja jang pertama itu ialah supaja orang segera dapat menangkap dan menjelami, mengerti dan menginsjafi, apakah sebenarnja pokok-pokok jang terkandung didalam perkataan , „Pantja-sila” itu. Mengenal „sifat” - nja sesuatu keadaan berarti memaklumi pokok-pokok, dasar-dasar dan garis-garis besarnja. Ini perlu didalam kita memandang atau menjelidiki sesuatu keadaan, karena dengan mengetahui pokok - pokoknja seolah - olah lalu terbukalah pintu gedung atau tempat jang akan kita selidiki, sedangkan mengetahui „sifat” - nja berarti seolah-olah kita pegang buku tuntunan atau pedoman, jang mengikat atau membatasi pandangan dan penjelidikan kita, agar djanganlah fikiran kita bergerak setjara leluasa jang tidak teratur. Djadi seperti halnja orang jang hendak mengundjungi „museum” misalnja ; kalau sebelumnja ia mengetahui pokok-pokoknja dari „buku tuntunan” (gids), maka ia akan lebih gampang dapat memahami segala isi museum tadi.

Dalam pada itu hendaknja diingati sebaliknja, bahwa mengenali „sifat” - nja sesuatu keadaan, kedjadian, peristiwa atau hal-hal lain-lain, belum berarti bahwa orang lalu mengetahui benar-benar, apa jang terkandung didalamnja sebagai „isi”, lebih-lebih orang belum dapat mengetahui benar² akan harganja atau nilainja „isi” itu. Untuk dapat menjelami dan menginsjafi tiap-tiap keadaan dalam sifat wutuhnja, perlulah orang mengenali dua factor lainnja, jaitu, bentuk nja serta „isi” - nja tiap-tiap keadaan, kedjadian atau peristiwa. Mengenai „bentuk” dan „isi” itu sangat perlu, karena tiap-tiap keadaan, sesudah terbatas oleh dasar-dasar dan garis²-besarnja (ja'ni sifatnja), masih pula terbatas setjara lebih chusus oleh bentuk dan isi-nja masing². Sama sifatnja, tetapi berbeda „bentuk”-nja, lebih - lebih berlainan „isi” - nja, menjebabkan adanja perbedaan antara keadaan jang satu dengan jang lain. „Ke-Tuhanan” misalnja, mempunjai sifat jang tertentu; pokok-pokok dan dasar²-nja dapat dipastikan. Akan tetapi „ke-Tuhanan” jang berbentuk „organisasi - keagamaan”, sangat mungkin berlainan dengan „ke-Tuhanan” menurut konsepsi sesuatu aliran filsafah atau anggapan seseorang individualis jang religieus, jaitu orang jang berdjiwa keagamaan, namun tidak tergabung dalam sesuatu organisasi, karena ia mementingkan hidup kepribadian. Tambah pula, djika mengingati „isi”, jang ada didalam masing² bentuk keagamaan, maka mudahlah dapat dimengerti akan adanja perbedaan antara „sekte” jg satu dengan „sekte” jang lain (didalam satu agama), perbedaan mana kadang-kadang menimbulkan pertentangan dan permusuhan jang haibat.

Untuk lengkapnja pandangan kita tentang memandang, mempeladjari atau menjelidiki sesuatu so'al, baiklah disini saja tambahkan pula, bahwa sesudah „sifat” serta „bentuk” dan „isi”, masih ada pula suatu factor atau sebab, jang dapat mengakibatkan perbedaan antara dua hal atau keadaan. walaupun sifat serta bentuk dan isinja pada kedua-duanja ada sama. Perbedaan jang masih nampak itu disebabkan, karena tjaranja melakukan, melaksanakan, memakai atau menggerakkan, pendek tjaranja mewudjudkan laku atau tindakan masih ada bedanja antara jang satu dengan jang lain. Dalam ilmu kesenian hal inilah jang disebut gerak „wirama”, atau „rhytmus”, jang dapat menentukan „watak” atau „karakter” (jaitu sifat wutuhnja) tiap-tiap benda jang hidup dan bergerak.

Uraian tentang tjaranja kita memandang, mempeladjari atau menjelidiki sesuatu so'al itu, hendaknja kita pakai djuga dalam kita menjelami Pantja-sila, agar kita dapat mengerti benar-benar akan hakikatnja, ja'ni sifat-nja Pantja - sila; menginsjafi benar-benar akan bentuknja, ja'ni systeemnja atau tjaranja kita mempersoalkannja; memahami benar-benar akan isinja dan achirnja tahu benar-benar, bagaimana kita harus melaksanakan tjita-tjita jg disebut „Pantja -sila“ itu. Diangan sampai Pantja - sila mendjadi sembojan jang kosong; atau mendjadi sjari'at jang tidak kita insjafi. Djangan sampai Pantja-sila kita pergunakan setjara keliru atau salah. Lebih-lebih djangan sampai Pantja - sila kita pakai sebagai kedok untuk mengedjar kepentingan diri pribadi.

Dalam uraian saja jang pertama telah saja madjukan pertanjaan, apakah bentuk dari pada Pantja-sila, jaitu misalnja urut-urutannja, (dan bolehlah disini saja tambahkan „isi“nja), tidak dapat lain dari pada jang termasuk dalam Purwaka U. U. D. kita itu. Jaitu: 1. Ketuhanan, 2. Perikemanusiaan, 3. Kebangsaan, 4. Kerakjatan, 5. Keadilan sosial. Sudah saja uraikan, bahwa hal itu ― boleh kita sebut bentuk serta isinja ― adalah haknja si - pentjipta. Bagi orang lain boleh djadi menjetudjui pokok - dasarnja sepenuhnja bahkan sampai bentuk dan isinja, namun ingin menggunakan wirama lain. Jaitu ingin memakai urut-urutan lain, karena mendasarkan fikiran serta perasaannja pada imbangan jang lain. Bagi saja sendiri misalnja, memandang „perikemanusiaan“ - lah jang berdiri sebagai pokok sarinja Pantja - sila. Dalam pandangan itu lalu setjara „deductif“ dapatlah pokok. sari atau puntjak Pantja-sila itu kita petjah mendjadi dasar lainnja. Atau pabila kita berfikir setjara „inductif“, dasar „perikemanusiaan“ itu kita letakkan paling belakang sebagai „kesimpulan“. Lalu dapatlah imbangan-imbangan antara dasar² Pantja-sila itu serta urut-urutannja kita gambarkan sebagai jang berikut:

  1. Ke-Tuhanan, menurut adab „perikemanusiaan“:
  2. Kebangsaan. jang berdasar pada „perikemanusiaan“:
    1. Kedaulatan Rakjat, jang mengingati azas „perikemanusiaan”;
    2. Keadilan sosial, sesuai dengan tuntutan adab „perikemanusiaan”;
    3. Keluhuran hidup perikemanusiaan, ja'ni pangkal-induknja.

Sangat boleh djadi ada lain orang, jang ingin memakai urut - urutan lain pula, misalnja jang diputjuki oleh „Kebangsaan”, „Kedulatan Rakjat”, atau „Keadilan sosial”, begitu seterusnja. Dalam hal ini hendaknja kita mengerti, bahwa semua itu berhubungan lekat dengan sifat djiwa budi orang masing². Ini harus kita akui dan kita benarkan, karena dengan memakai urut - urutan lain itu, harga atau nilai dari pada Pantja - sila sedikitpun tidak berkurang. Sebaliknja dengan memakai urut-urutan sendiri jang sesuai dengan sifat djiwanja, Pantja - sila tadi lalu mendjadi „hidup” bagi mereka, jang menggunakan wiramanja sendiri itu, sesuai dengan wirama jang hidup didalam djiwanja sendiri.

Pertanjaan lain tentang Pantja - sila itu ialah mengenai „isi” - nja. Apakah tidak ada sila - sila lain, jang patut dimasukkan didalamnja? Misalnja pernah ada orang bertanja, mengapakah „kemerdekaan” tidak termasuk didalam Pantja-sila? Lain orang lagi bertanja, apakah sebabnja „kebudajaan tidak ada didalam Pantja-sila? Demikian seterusnja, orang bertanja, atau dapat bertanja seperti jang tersebut itu. Bolehlah disini saja ulangi, apa jang telah saja uraikan, jaitu: bahwa bentuk dan isi Pantja-sila itu sudah selajaknja merupakan gambaran sikap bathinnia si-pentjipta. Kita tahu, bahwa pentjipta Pantja - sila kita itu tidak lain dari pada Bung Karno sendiri. Pernah Dr. Radjiman Wedyodiningrat menerangkan, bahwa Pantja -sila itu pada suatu saat (jaitu dalam sidang Panitya persiapan Indonesia Merdeka pada tahun 1945) terkeluar setjara „spontaan” (tak direntjanakan lebih dulu) dari mulut Bung Karno. Seolah² utjapannja itu adalah ilham jang langsung timbul dari udjung hati sanubarinja. Bagaimanapun djuga, kita menerima utjapan² itu sebagai kenjataan jang kita benarkan, kita akui dan kita sahkan setjara jakin dan ichlas. Termasuknja Pantja-sila tadi kedalam U.U.D. kita, itu pun sudah membuktikan ke-istimewaannja. Adanja keinginan untuk memakai urut-urutan lain, atau menambah, barangkali untuk mengubah dalam arti memperbaiki atau menjempurnakan, itu semua tidak mendjadi so'al, dan kelak kiranja mungkin djuga kedjadian. Kalau zamannja atau alam-keadaannja menuntut, barang tentu Pantja-sila akan dapat berubah djuga. Jang dalam hal ini harus kita insjali, jaitu sesuainja bentuk dan isi Pantja-sila itu dengan zamannja dan alamnja Pantja-sila itu dilahirkan. Jaitu pada saat rakjat kita berhasjrat memusnakan alam-djadjahan.

„Ke-Tuhanan” . . . . bukankah ini berarti, bahwa negara kita (jang pada waktu itu masih akan lahir) djanganlah hendaknja mengoper sifat djadjahan Belanda, jang hampir semata² bersifat „materialistis”, jaitu mengagungkan hidup „kebendaan” serta merendahkan hidup kebathinan, misalnja menggunakan agama untuk keperluan kolonial dan kapitalisme ?

„Kemanusiaan” . . . . . . bukankah ini dasar jang paling luas, jang mendjamin perikeadaban dalam arti seluas-luasnja, hingga dapat membatalkan segala angkara murka?

„Kebangsaan” . . . . . . bukankah ini, jang dapat menghantjurkan „kolonialisme” dan „imperialisme”, jg meradjalela diseluruh Indonesia?

„Kedaulatan Rakjat” . . . . bukankah ini jang berkewadjiban menghantjurkan isme - isme, jang selalu menekan hidup-tumbuhnja rakjat, baik dlm arti politik dan ekonomi maupun kemasjarakatan dan kebudajaan?

„Keadilan Sosial”. . . . . bukankah ini tjita² jang positif dan concreet, jang harus mendjadi tudjuan segala usaha, untuk memberi keselamatan dan kesedjahteraan kepada rakjat setjara merata?

III. Isi atau Adjaran Pantja - Sila.

Sesudah kita mengetahui akan „sifat” atau hakikatnja Pantja-sila, jaitu keluhuran dan kehalusan budi manusia, pula mengetahui akan „bentuk”, ja'ni susunan Pantja-sila sebagai djiwa Undang-undang Dasar Republik Indonesia, maka datang-lah kini waktunja saja memberi pendjelasan tentang isi - nja Pantja-sila. Adapun „isi” jang dimaksudkan disini tidak lain dari pada adjaran, jang terkandung didalamnja. Adjaran itu ta kurang dan ta' lebih dari pada „filsafah - kenegaraan”, jang memberi tafsiran, singkat tetapi djelas, tentang dasar-dasar serta azas-azas, jang mendjadi tulang punggung serta djiwa dari pada negara Republik Indonesia. Pantja-sila tidak sadja memberi tjorak dan warna, tjukup untuk mengenali „karakter”, ja'ni watak sewutuhnja dari pada negara kebangsaan, jang kita berdirikan pada hari proklamasi itu, akan tetapi Pantja-sila memberi isi pula kepada negara kita sebagai „negara- hukum”, jang setjara modern menudju ke-arah tertib-damainja hidup dan penghidupan serta selamat-bahagianja rakjat seluruhnja.

Isi atau adjaran Pantja-sila mempunjai arti pula jang sangat penting, bila kita hubungkan dengan petjahnja revolusi nasional kita, jang dipelopori oleh kaum Pemuda diseluruh Kepulauan Indonesia. Isi Pantja-sila membuktikan, bahwa perdjuangan rakjat kita, jang memuntjak dalam bentuk-nja revolusi „in optima forma”, revolusi senjata - njatanja, sekali-kali bukanlah perdjuangan jang kosong dan hanja untuk berdjuang semata-mata, bukanlah „terrorisme” hanja untuk mengatjau dan merusak, sekali-kali bukanlah „ex-tremisme" dari pada „avonturiers”, ja'ni bukan meradjalelanja watak luar biasa dari gerombolan-gerombolan jang ta bertanggung djawab, bukan sama sekali! Revolusi kita sebaliknja benar adalah revolusi untuk memusnakan pendjadjahan kolonial, baik dalam sifatnja jang imperialistis maupun jang kapitalistis. Revolusi kita adalah pembalikan zaman dan keadaan, berdasar pada kenjataan dan bersandar atas segala perhitungan, baik moreel maupun materieel. Revolusi kita adalah pemberontakan jang bersiasat dan merupakan puntjak perdjuangan kita sedjak tahun 1908. Itulah semuanja jang menjebabkan siap sedianja perdjuangan kita untuk mewudjudkan negara jang merdeka segera sesudah proklamasi 17 Agustus 1945. Pada saat itu djuga Undang-undang Dasar Republik Indonesia telah selesai dan . . . . berisikan segala tjita² dan program kenegaraan, jang serba modern dan lengkap, karena sudah 25 tahun lamanja diperdjuangkan setjara theoretis dan praktis oleh pergerakan kebangsaan kita diseluruh Kepulauan Indonesia, dari Atjeh sampai Iriau. Dalam pada itu Pantja-silalah jang mendjadi „rukun kenegaraan”, jang hanja dengan 5 perkataan sadja dapat menggambarkan sifat, bentuk, isi, dan „wirama”, dari pada segala tjita², jang didukung oleh rakjat kita dalam gerakan nasionalnja sedjak seperempat abad jang lalu.

Mudah dapat dimengerti, apa sebabnja seluruh Dunia pada umumnja, Perserikatan Bangsa² chususnja, sangat tertarik oleh revolusi kita serta membenarkan, atau setidak - tidaknja tidak berani menjalahkan sikap, langkah serta djedjak rakjat Indonesia, jang dengan terang-terangan mengadakan revolusi terhadap penguasa Belanda di „Hindia - Belanda” -nja. Bangsa² Asia jang hidup dalam pendjadjahan bangsa² Barat, tidak sadja membenarkan revolusi kita, namun mereka dengan terus terang memberi sebutan „pelopor” kepada rakjat Indonesia, jang dengan tegas dan njata telah melemparkan pemerintah kolonialnja, serta segera membentuk pemerintah kebangsaan sendiri, jang murni nasional dan sanggup meneruskan serta memimpin perdjuangan, tertudju kepada kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia seluruhnja. Ta' boleh diragu-ragukan lagi, bahwa segera terbukti kenjataan tentang revolusi nasional di Indonesia itu, bahwa pembalikan itu adalah buah perdjuangan rakjat sedjak tahun 1908, perdjuangan mana senantiasa dilakukan setjara reëel dan modern. Gambaran, jang mentjoba mempropagandakan anggapan, bahwa revolusi di Indonesia adalah kekatjauan jang dilakukun oleh kaum „komunis” dan orang² „perampok”, berdasarkan atas kebentjian terhadap orang² Barat, gambaran jang demikian itu segera dikenali sebagai tipu-muslihat semata-mata. Berkat kegiatan usaha pemimpin² kita di Luar - negeri, baik di „Dewan Keamanan” di Lake Succes, maupun di-pusat² negara² besar diseluruh Dunia, maka berbalikanlah akibat² propaganda pihak orang pemimpin kolonial Belanda tadi. Pemberontakan rakjat Indonesia terhadap kekuasaan Belanda dibenarkan atau dimengerti, sebaliknja sikap dan tindakan² Belanda disalahkan. Bahkan jang sangat menarik perhatian ialah terpaksanja pihak Belanda, jang selaku „N. I. C. A.” bersama - sama datang dengan Tentara Sekutu untuk mengoper kembali daerah djadjahan-nja „Hindia Belanda”, menurut persetudjuan Potsdam. Saja ulangi: terpaksanja pihak Belanda, mengakui setjara „de facto” adanja „Republik Indonesia”. Saja ingat datangnja Majoor Abdul Kadir Widjojoatmodjo, bersama² dengan wakil² Sekutu, mengundjungi Presiden Sukarno dan Wakil-Presiden Hatta, di rumah Pegangsaan Timur 56, untuk menjatakan kesediaan mengakui Republik kita itu sebagai „goodrill” dari pihak Belanda. Barang tentu dengan maksud: „voor wat hoort wat”, artinja: untuk kesediaan itu pihak Belanda minta kesediaan kembali dari Republik, jaitu untuk bersama-sama mengurus Kepulauan Indonesia. Kedjadian inilah, jang berlangsung pada bulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan kita, jang kelak mengakibatkan tumbuhnja sikap bekerdja bersama antara Republik dan N. I. C. A., jang memuntjak pada lahirnja persetudjuan Linggadjati hingga sekarang. Ini semua disebabkan, karena seluruh Dunia mengetahui, bahwa revolusi kita adalah perdjuangan rakjat Indonesia untuk mendirikan Negara Hukum, jang ber-Pantja-sila, dan dipimpin, dituntun dan diatur menurut program pelaksanaan jang pasti dan tertentu. Teringatlah saja disini pada suatu peribahasa klasik kita jang berbunji: „Sura dira djajaning rat, lebur déning pangastuti”; artinja: segala keberanian, kekuatan, dan kedja aan di-undia ini, tak akan dapat mengalahkan kesutjian. Kesu-tjian inilah jang sanggup melebur, menghantjurkan segala angkara-murka di-dunia ini, walaupun bersendjatakan kekuasaan dan kekuatan keduniawian apapun, tetapi tidak berdasarkan kesutjian dan tidak bersendikan keadilan.

Disamping kejakinan akan besarnja pengaruh Pantja-sila pada mereka, jang ingin terus menguasai kita, hendak-nja kita insjafi pula, bahwa Pantja-sila itu memberi kekuatan jang besar kepada kita sendiri, untuk meneruskan perdjuangan kita, jang kita insjafi sebagai perdjuangan, jang sutji, djudjur dan bidjaksana, sebagai perdjuangan jang ber-Pantja-sila dan oleh karenanja ta' dapat di-alahkan oleh kekuatan apapun di dunia ini. Sekali lagi: „Sura dira djajaning rat, lebur déning pangastuti". Tuhan selalu ada pada kita! Tuhan ta' akan membiarkan meradjalelanja augkara - murka, baik jang bersifat imperialisme maupun kapitalisme! Sebaliknja, ta akan Tuhan memperbaiki hidup manusia, kalau manusia itu tidak sanggup berdjuang untuk memperbaiki nasibnja sendiri. Bukankah ini adjaran, jang berkali-kali dipeladjarkan oleh Presiden kita Bung Karno, jang banar² mendjadi bekal jang utama didalam kita melaksanakan perdjuangan kita? Mengertilah kita, untuk apa si-pentjipta Pantja-sila meletakkan „Ketuhanan” sebagai sila jang pertama. Dengan pertjaja akan adanja kekuasaan jang maha-agung, maha-kuasa, maha-adil, maha-kasih dan maha-murah, maka seolah olah kita manusia dengan sendiri kemasukan sifat2 ke-Tuhanan itu. Dari manusia jang lemah, kita mendjadi manusia jang kuat. Ketakutan atau kebimbangan hati lalu lenjaplah. Dan kalau kita dari „manusia takut” mendjadi „manusia berani”, maka itu disebabkan karena kita merasai benarnja perdjuangan kita. Berani karena benar! Keinsjafan ini pun memperkuat djiwa kita.

Disamping perasaan benar, Pantja-sila memberi bekal jang sangat berharga pula. Rasa „Kebangsaan” sebenarnja adalah „rasa diri”, tetapi rasa diri jang telah diperkuat setjara lipat ganda, karena telah dipersatukan dalam hubungan kemasjarakatan bersama. Sebagai „rasa-diri-sebangsa” maka kesedaran kebangsaan itu berarti tulang - punggungnja rasa kemerdekaan diri. Rasa - kebangsaan tidak sadja memberi keinsjafan tentang hak2 atas kemerdekaan bangsa, pun segala kewadjiban nasional lalu kita rasai setjara murni, sutji dan kuat, teristimewa kewadjiban untuk mempertahankan kemerdekaan nusa dan bangsa.

„Kedaulatan Rakjat”, ja'ni „Demokrasi” sebagai sila jg ke 4 mengadjarkan pada kita, bahwa didalam menentukan nasib bersama, djanganlah hanja satu - dua golongan, lebih2 djanganlah hanja satu, dua orang sadja jang bertanggung djawab, namun seluruh anggauta masjarakatlah, rakjat seluruhnjalah jang harus pegang kedaulatan. Kemauan rakjat seluruhnja, itulah jang harus dilaksanakan dengan tjara jang sebaik-baiknja, jaitu oleh orang-orang jang tjakap dan djudjur dan . . . . . jang dapat kepertjajaan dari rakjat. Pelaksanaan itu harus diwudjudkan dengan djalan perwakilan rakjat, jang dibentuk setjara demokratis, jaitu rata dan adil.

Perwakilan jang rata dan adil, kata saja; pembatasan ini perlu agaknja, karena kerap kali kedjadian, ada perwakilan rakjat, namun tidak mewakili semua golongan, atau tidak nampak sebagai perwakilan jang merata, tetapi sebenarnja (karena jang membentuk hanja satu-dua golongan) lalu tidak dapat memenuhi rasa keadilan umum. Itulah sebabnja, untuk dapat menentukan kemauan rakjat jang sebenar-benarnja, perlulah adanja tjara pemungutan suara jang dapat memperoleh suara rakjat itu jang se-rata2-nja.


Sila jang ke-2 dan ke-5, a'ni „Perikemanusiaan” dan „Keadilan Sosial”, bolehlah dipandang sebagai „dasar” dan „isi” Pantja - sila. Sebagai dasar maka „Perikemanusian” tidak sadja memberi segala kemungkinan untuk memperluas serta memperdalam haluan - kenegaraan kita, namun Perikemanusiaan” itu mendjamin tetap adanja sifat keluhuran budi dalam azas - azas serta tudjuan kenegaraan dalam Republik kita. Ta' usah didjelaskan disini, bahwa „Keadilan - Sosial” pun membuka segala kemungkinan serta memberi djaminan pula tentang berbagai kepentingan rakjat seluruhnja, baik jang. bertali dengan penghidupan dalam masjarakatnja, maupun jang berkenaan dengan hidup kebatinannja.

IV. Kemanusiaan dan Ketuhanan.

Setelah mengetahui, apa jg. mendjadi „inti” atau „sari” dari pada Pantja - sila sewutuhnja (jaitu sifat, bentuk serta isinja) dan sebelum membitjarakan tjara penglaksanaannja jang pernah saja sebut „wirama"-nja, maka masih perlnlah kiranja kita menjelidiki lebih landjut akan arti atau tafsiran oleh chalajak diberikan pada tiap-tiap bagian dari pada Pantja-sila jg berlima-djenis itu. Ini perlu, karena guna penglaksanaan jg baik, masih perlu orang mengetahui segala imbangan timbal - balik antara kelima-limanja bagian Pantja-sila djuga imbangan antara Pantja-sila tadi sewutuhja, dgn suasana, jg meliputi chalajak seumumnja. Perlu pula diingati akan sikap mereka, jg berkewadjiban atas penglaksanaan itu. Sikap jg subjectif, jg bertali dengan sifat pribadinja fihak jg saja maksudkan sebagai „wirama"-nja laku. Wirama inilah jg nanti masih akan memberi tjorak - warna jg pasti dan tertentu, sesuai dengan watak mereka jg melakukan. Djadi jg saja maksudkan jaitu bahwa baik-buruknja penglaksanaan sesuatu rantjangan usaha itu tidak sadja bergantung pada dan atau terbatas oleh sifatnja, bentuknja dan isinja, namun pasti akan dapat pengaruh pula dari keadaan atau suasana jg melingkungi atau meliputi terlaksananja rantjangan usaha tadi, dalam mana termasuk sifat pribadi dari pada mereka jg melakukan penglaksanaan itu. Tegasnja ialah bahwa untuk dapat mengerti bagaimana nanti terwudjudnja Pantja-sila itu belum tiukuplah kita hanja memahami benar2 arti, isi maksud dan tudjuan Pantja - sila' tadi, namun masih perlulah kita mengenali suasana jg meliputi seluruh masjarakat kita jang kini sedangnja berdjuang itu, pula watak dari bangsa kita pada umumnja.

Marilah kita mulai dengan menindjau lebih dulu, apakah jg terkandung dalam arti - perkataan 2 bagian jg terpenting dari pada Pantja-sila jaitu: Kemanusiaan dan ke-Tuhanan, jg dua-duanja benar² saling berhubungan sangat erat. Perkataan ,kemanusiaan" mengandung arti keluhuran serta kehalusan, jaug tampak didalam hidup manusia, baik ig bersifat batin maupun lahir. Bila dibanding dengan hidup hewani, maka disitulah nampak luhur dan halusnja hidup manusia. Sebagai machluk, hewan itu berdjiwa djuga, akan tetapi segala gerak-gerik djiwa hewan semata-mata dikuasai oleh kekuatan kodrat - alam, jg ada diluarnja. Sebaliknja, djiwa manusia mempunjai sifat istimewa, mempunjai kekuatan² didalamnja, jang dapat mengalahkan serta menguasai kekuatan-kekuatan kodrat, baik jang ada didalam maupun diluar djiwanja. Tidak sadja manusia itu itu dapat menguasai kekuatan kekuatan/ kodrat-alam, jang melingkungi hidupnia, namun ada satu tabi'at jang istimewa didalam djiwa manusia, jaitu tertariknja djiwa manusia itu kepada segala sifat jang luhur dan jg. halus. Karena itulah djiwa manusia, asal sudah melalui batas ketjerdasan jg tertentu, lalu bersifat djiwa jg luhur dan halus dan djiwa inilah jg disebut budi Karena budi inilah, manusia lalu dapat mewudjudkan hidup, baik lahir maupun batin, jg. bersifat luhur dan halus pula, dan inilah jang disebut „kebudajaan", jang berarti „buah-budi".

Dalam hubungan ini baiklah diketahui, bahwa ada aliran, jg. menggerombolkan hidup manusia dalam gerombolan hidup hewan semata-mata. Artinja, manusia tidak dianggap sebagai machluk, jang oleh Tuhan ditakdirkan setjara chusus dan istimewa. Menurut adjaran seorang filosoof Darwin, manusia itu berasal dari beralihnja sekonjong-konjong seekor hewan, jg bertingkat - hidup tinggi, mendjadi „manusia jg pertama". Barang tentu adjaran Darwin ini ditentang hebat oleh adjaran agama, karena agama menetapkan bahwa manusia machluk jg terpilih dan oleh Tuhan diberi kodrat-iradat lain dari pada hewan. Seorang filosoof materialist lain, Ernst Häckel, dengan „evolusi - theorie"-nja menganggap, bahwa kemadjuan hidup-tumbuh manusia itu melalui fasen (tingkatan waktu) jg terdapat dalam hidupnja semua jg tumbuh setjara „cellen-systeem". Djadi dalam hal ini sama dengan tumbuhnja hewan, pun sama dengan tumbuhnja segala tumbuh-tumbuhan pula. Begitulah benih manusia bertumbuh melalui semua fasen itu, hanja sadja karena terkandung hingga lama, jaitu 10 bulan, didalam kandungan ibu-nja, maka machluk jg kemudian lahir itu agak berbentuk sempurna, berlainan sifat dari pada machluk hewan biasa. Aliran ini boleh kiranja dianggap sebagai theorie jg menengah - nengahi adjaran agama dan aliran jang menganggap manusia itu sebetulnja hewan semata-mata, berasal dari se-ekor „kera". Seperti kita mengetahuinja, maka sedjak lama hingga sekarang, para penjelidik dalam ilmu biologi masih terus mentjahari sisa djenis manusia (terkenal dengan nama „missing link", atau bentuk peralihan jg masih harus diketemukan) jg boleh dipandang sebagai bukti adanja tingkatan hidup manusia, jg masih merupai dienis hewan (kera). Mengetahui adanja aliran jg „materialistis” atau „naturalistis" itu ada perlunja, meskipun hanja utk diketahui sadja.

Kembalilah kita pada pokok pembitjaraan kita, jaitu bahwa hidup manusia itu bersifat luhur dan halus. Keluhuran dan kehalusan itulah jang menjebabkan timbulnja sifat perikeadaban dan kesusilaan, sedang kedua²nja sifat itulah jang mendjadi pangkal pengertian perikemanusiaan.

Dalam sifat perikemanusiaan ini termasuk segala sifat² luhur dan sifat2 halus, diantaranja bagian Pantja-sila, jang dengan sengadja disusun mendjadi satu gabungan dengan nama „Pantja-sila" itu, teristimewa karena digunakan untuk suatu tudjuan jang tertentu, jaitu memberi djiwa serta tjorak-warna jang pasti kepada perdjoangan bangsa Indonesia, sedjak bangunnja pada tahun 1908, sampai lahirnja negara kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sifat perikemanusiaan lainnja, jang harus pula selalu kita insjafi dan kita djundjung tinggi (walaupun tidak tersebut didalam Pantja-sila), ialah misalnja kesusilaan, keadaban, kesutjian. kedjudjuran, kebidjaksanaan, kebaktian, kebudajaan, rasa-tang-gung-djawab, belas-kasihan, budi-derma, tjinta-kasih kepada sesama machluk, kepada orang-tua dan Tuhan dll. sebagainja. Itulah sebabnja menurut pandangan saja dimuka, sila „perikemanusiaan" itulah jang sebaiknja dianggap sebagai dasar jang paling luas, luhur serta dalam, djuga bagi Pantjasila, jang setiara chusus diperuntukkan guna kepentingan perdjoangan dan kenegaraan itu. Sekali lagi saja pesankan kepada sekalian saudara sebangsa: sila kemanusiaan mewadjibkan kepada kita semua, untuk mendjundjung tinggi semua sifat-sifat keluhuran dan kehalusan, seperti jang didjelaskan dimuka tadi, walaupun ta' disebut dalam Pantja-sila Dalam pada itu hendaknja di-ingati, bahwa banjak dari pada sifat² tadi sebetulnja sudah termasuk dalam atau boleh dianggap sebagai bagian perintjian dari pada apa jang termaktub didalam Pantja-sila, jaitu: ke Tuhanan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakjat, Keadilan Sosial dan pangkal-induknja ja'ni Kemanusiaan.

Marilah kini kita menindjau so'al ke-Tuhanan. Apakah itu? Apakah maksud serta tudjuannja? Tjita-tjita apakah jg boleh dianggap sebagai bagian perintjian dari pada KeTuhanan, ig termaktub dalam Pantja - sila sebagai sila jang pertama itu? Saja mulai dengan mengingatkan, bahwa sebetulnja sila tadi selengkapnja harus berbunji: kepertjajaan kepada Tuhan jang Maha Esa. „Esa" berarti „Satu", sedangkan perkataan „satu" itu dalam ilmu atau kesenian bahasa, atjap kali terpakai dalam arti „sempurna". Djadi „Tuhan Jang Maha Esa" boleh diartikan sebagai „Tuhan jg semata-mata Satu" (tidak dua, tiga atau lebih), namun boleh pula diartikan sebagai Tuhan Jang Maha - Sempurna". Dalam hubungan ini hendaknja dimengerti, bahwa perkataan „satu" dan „sempurna" itu memang ada hubungannja. Sesuatu jg sempurna itu selalu merupakan kebulatan jg wutuh dan satu bukan kumpulnja bagian jg terpetjah belah atau bertjerai-berai.

Kepertjajaan kepada Tuhan. . . . . . dalam so'al ini pun harus sebelumnja kita mengetahui akan adanja aliran², jang tidak suka menerimanja. Kaum „vrijdenkers" misalnja, jang kebanjakan menjebut dirinja dengan nama „materialis" (hanja pertjaja pada alam- kebendaan), atau dengan sebutan „naturalis" (hanja pertjaja pada kodrat - alam atau natuur) tidak suka menerima Ke - Tuhanan. Kalau dalam so'al ini kita ambil pokoknja sadja, maka sebenarnja manusia itu, baik ia seorang beragama maupun seorang materialis atau naturalis, pertjajalah dia terhadap adanja kekuatan atau kekuasaan jg sempurna, jg wutuh, jg maha - besar, jg menjebabkan adanja alam dunia jg bersifat serba „rahasia" ini. Adanja bintang² jg ta' dapat terhitung, matahari jg amat adjaib, adanja tumbuh²an jg semuanja dikuasai oleh kodrat-alam, lalu dapat tumbuh setjara tertib, hingga manusia jang berbudi dapat menemukan hukum2-nja tumbuh, adanja manusia jg sangat gaib sifat hidupnja dan bahwa hanja sebagian sadja rahasia² jang telah dapat diterangkan setjara njata oleh ilmu pengetahuan . . . dan lain2 isi seluruh alam-dunia jg serba rahasia itu, semuanja tadi ta' boleh tidak mendorong manusia untuk pertjaja akan adanja kekuatan atau kekuasaan, jang sempurna, jg berpangkalan menjebabkan segala keadaan dan kedjadian dunia ini. Disinilah timbul pengertian „Tuhan" dalam kalangan orang2 jg beragama. Dalam pada itu kaum materialis dan naturalis tidak suka menerima pengertian dan sebutan „Tuhan" tadi, dengan hukum takdirnja. Mereka mengadakan hukum sendiri, jang dinamakan Hukum „Hukum sebab dan dan kedjadian" (Wet der Causaliteit), jg menganggap, bahwa tidak ada kedjadian jg tidak ada sebabnja, atau sebaliknja: tiap2 sebab tentu mengakibatkan kedjadian. Pengertian Tuhan diganti dengan „Natuur".

Bagaimanakah laku fikiran para penganut adjaran agama? Dalam pokokoja sama, ta' berbedaan! Agama mengadjarkan, bahwa termasuk dalam kodrat - iradatnja manusia, ialah mentjahari Tuhan, menjembah - njembah Tuhan, jakin sebelumnja (à priori) akan adanja Tuhan, jg Maha-Kuasa, jg Maha Esa, jg Maha Agung, jg Maha - Adil. Adanja Tuhan dianggap sebagai suatu „dogma" atau „wet" kenjataan-pasti, jg ta' dapat dibantah. Para tjerdik - pandai jg beragama, se, djak dahulu, senantiasa menjelidiki dan mempeladjari segala rahasia2 alam lalu menetapkan hukum2 alam, hukum kedjadian, hukum kenjataan (kasunjatan), hukum hidup-kemanusiaan, dll. Dengan demikian lambat-laun dapat terbentuk systeem peladjaran, systeem ilmu-pengetahuan dan filsafat-systeem kenjataan, jg semuanja dinamakan Agama. Sebelum manusia menginsjafi, mengetahui dan mengarti hukum2 tadi, biasanja manusia menjembah2 benda2, jg olehnja dianggap bahwa disitulah letaknja kekuatan dan kekuasaan jg maha-agung. Disitulah timbulnja Animisme, jg menganggap, bahwa semua benda2 di alam dunia ini berdjiwa serta dapat menjebabkan keselamatan, kebahagiaan, dan kebalikan2-nja: kesengsaraan, ketjelakaan dsb.

Bukankah laku - fikiran ini dalam pokoknja sama dgn laku - fikiran para naturalis dan materialis? Kalau ada perbedaan, maka perbedaan itu terletak pada bedanja nomenclatuur (nama-nama dan istilah), bedanja beberapa kesimpulan (sebagai akibat analyse-nja masing2) dan . . . . . (disinilah, letaknja pokok perbedaan) perbedaan adjaran kebadjikan, kesusilaan, keadaban, ig dlm bahasa asing disebut Ethik dan Moral. Inipun adalah akibat jg dengan sendirinja terdjadi karena bedanja tjara analyse (jaitu tjaranja memetjah - petjah persoalan). Dalam hal ini saja sendiri berkejakinan, bahwa masih selalu dapat diadakan djembatan, untuk menjambung kedua2-nja aliran tadi. Jaitu apabila segala pertikaian jg dapat memetjah - belah bangsa dan negara kita itu, kita pulihkan pada satu lapangan jg pokok, jaitu . . . . dasar Kemanusiaan.

Tentang sifat „Esa" atau „Satu", termasuk dalam Pantja - sila ada orang jg mengira, bahwa mungkin disini nanti timbul pertikaian antara golongan2 agama Islam, Kristen, Jahudi dan lain2 agama, jang hanja pertjaja pada adanja Satu Tuhan sadja menurut monotheisme, dengan agama Hindu, Buddha dan lain2 jang dianggap mempunjai beberapa atau banjak Tuhan (polytheisme). Anggapan itu tidak benar, sebab agama2 jg dalam systeem adjarannja nampak seakan-akan pertjaja akan adanja lebih dari pada „Satu Tuhan", sebenarnja tidak begitu. Didalam systeem2 jg dianggap „polytheisme" itu, selalu ada anggapan akan adanja Satu Kekuasaan jang melingkungi seluruh bagian² kekuasaan tadi. Sebutan „Sanghjang Tunggal" misalnja membuktikan adanja Kesatuan; „Sanghjang Wenang" menundjukkan adanja „Kekuasaan jg tertinggi". Baik di Djawa maupun di Bali, dimana masih terus hidup kejakinan2 jg berhubungan dengan agama2 Hindu dari zaman dahulu, hal itu dapat kita saksikan.

Djika kita menjelidiki, apakah kiranja jg mendjadi pokok isi atau adjaran, ig ada didalam sila „Ke-Tuhanan" itu, maka teringatlah kita pada satu perkataan, jg dipakai sebagai nama - sifat untuk semua kitab2 pokok keagamaan di seluruh dunia, seperti Al-Kor'an, Indjil, Taurét, Bhagawad-Gita, dll. sebagainja. Kitab2 itu semuanja dapat sebutan „Kitab - Sutji". Sehingga bolehlah kesutjian itu dianggap sebagai pokok", sebagai „sari" atau „inti" dalam sifat Ke-Tuhanan.

Dimuka telah kami djelaskan adanja hubungan jg erat „Kemanusiaan dan Ke-Tuhanan". Bolehlah sekarang saja terangkan disini, bahwa segala isi jg terkandung dalam pengertian „Kemanusiaan", itu sebenarnja djadi isinja, sarinja dan pokoknja pula dari pada pengertian „Ke-Tuhanan". Kemanusiaan boleh dianggap sebagai dasarnja keluhuran dan kehalusan hidup manusia, sedangkan Ke-Tuhanan adalah laksana sinar matahari dan air jg memberi hidup, serta merupakan sendi jg perlu adanja, agar segala benih2 kemanusiaan semua dapat terus tumbuh dengan sehat dan subur, serta kuat dan teratur, hingga dapat berkembang dan berbuah sebaik-baiknja. Sekali lagi: „Ke-Tuhanan" adalah sebagai sinar dan air jang sutji (bersih dan djernih) serta sebagai sendi (pagar - rambatan) atau tulang punggung), jg menjuburkan dan menguatkan hidup tumbuh segala benih2 perikemanusiaan.

——————

V. Kebangsaan didalam Pantja - Sila.

Tjita² „Kebangsaan" ada salah satu bagian dari pada Pantja-sila, jg paling dikenali oleh chalajak umum, meskipun boleh djadi hanja dikenali sebagai nama atau pengertian umum. Memang sebenarnja sudah lama perkataan itu dipakai sehari-hari oleh bangsa kita, lebih² oleh mereka, jg ikut serta dalam pergerakan rakjat, baik dilapangan politik dan ekonomi, maupun dalam lingkungan kebudajaan atau lain'nja. Sedjak timbulnja pergerakan rakjat setjara modern, ja'ni dengan mendirikan perhimpunan² serta mengadakan rapat² untuk membitjarakan kepentingan² umum, tjita² Kebangsaan itu meliputi segala usaha pergerakan rakjat tadi. Berdirinja perhimpunan „Budi - Utomo", atas kegiatan para peladjar ketabiban di S. T. O. V. I. A. dibawah pimpinan marhum Dr. Sutomo, pada hari 20 Mei 1908 di Djakarta, dinjatakan sebagai saat kebangunan nasional. Bahkan sekarang hari itu oleh seluruh pergerakan rakjat didjundjung sebagai „Hari Kebangsaan Umum". Ini terbukti pada tahun 1948, ketika semua perhimpunan jg meliputi seluruh pergerakan rakjat (politik, agama, sosial, ekonomi, pendidikan, pemuda, kewanitaan, kepanduan dll.) serentak mengadakan „peringatan" bersama, baik di- Ibu - Kota Republik Jogjakarta, maupun di-lain² tempat diseluruh Indonesia. Pada saat itu segenap golongan, jg tersebut tadi, menjatakan rasa kesatuannja didalam ikatan kebangsaan, ialah Kebangsaan Indonesia. Golongan² Islam, Kristen, Katholik dan jang memelihara hidup keagamaan lain²nja, golongan politik-termasuk mereka, jang berdjiwa „socialis”,bahkan „komunis” —mengakui adanja rasa -kesatuan dalam ikatan „kebangsaan” itu. Dlm upatjara peringatan resmi di Gedung - Presidenan, pada waktu itu di-ikrarkan oleh Presiden Sukarno, bahwa „hari-kebangsaan umum”, tanggal 20 Mei itu, untuk seterusnya akan diperingati setjara besar - besaran tiap² 10 tahun sekali. Jang perlu di-constateer disini, jaitu bahwa pada waktu itu tali rasa "kebangsaan dirasai oleh seluruh masjarakat kita, sebagai tali "persatuan umum untuk semua golongan, dengan ta' ada ketjualinja.

Rahasia apakah jg terkandung dalam perkataan dan pengertian „Kebangsaan” tadi? Apakah sebenarnja rasa Kebangsaan itu? Bagaimanakah sifatnya, bentuknja. dan apakah jang mendjadi isinya? Marilah semua itu kita selidiki.

Sebenarnja perkataan „bangsa” itu pada mulanya berarti „djenis”. Masih sering kita dengar pertanjaan: itu bangsanja apa? Jaitu kalau orang melihat sesuatu barang, sesuatu keadaan, sesuatu machluk jg belum ia kenali. Djawab atas pertanjaan itu biasanja ialah antara lain: o, itu bangsanja bahan makanan ; o, itu bangsanja pasar - derma: o, itu bangsanja kera: d.l.l. sebagainja. Teranglah disitu perkataan „bangsa” terpakai dengan pengertian „djenis”. Didalam djawaban tadi terbukti, bahwa senantiasa ada kesamaan sifat² jang pokok, jg asli, jg murni, jg semuanja dalam perbandingan. kita itu tampak sebagai pertalian kesatuan jg wutuh. Tali kesatuan sifat tadi dirasai dengan sendiri, serta segera, sebelum kita menjelidiki. Sesudah dilakukan penjelidikan, biasanja terdapat djuga sifat², bentuk² serta isi dan laku² jg sama pada barang², keadaan² atau machluk², jg mendjadi object atau bahan perbandingan kita itu. Kesamaan inilah jaitu sama pada pokok²nja—jg menentukan pengertian „djenis”. Begitulah pula dalam perkataan „bangsa” pasti ada dasar² kesatuan, yang nampak dengan segera, serta kemudian akan dapat dibuktikan adanja dan ternjata mendjadi sifat pokoknja „kebangsaan”.

Kebangsaan itu didalam hidup manusia dalam masjarakat dan negerinja, memang menundjukkan adanja „kesamaan” dan adanja „tali-kesatuan” djenis dlm arti jang luas dan umum. Dan djenis jang sedemikian itu ta' bukan dan ta' lain ialah sifat peradaban dan kebudajaan. Memang sebenarnja „kebangsaan” itu pada tingkat jang pertama adalah pengertian kultureel, pengertian adab dan kebudajaan. Baru sesudah itu „kebangsaan” nampak sebagai pengertian politik. Seorang jang disebut „nasionalis” adalah pertama - kalinja orang jang tjinta bangsa, jang mendjundjung tinggi bahasanja sendiri, keseniannja sendiri, adat-istiadatnja sendiri dsb dan barulah kedua kalinja ia ada seorang, jang ta' suka didjadjah bangsa lain dan sanggup mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranja sendiri. Dalam pada itu betul dan benar. menurut kejakinan saja sendiri, ialah harus adanja berbarengan kedua-duanja sifat tadi. Bersendi pada djiwa perasaan memang „kebangsaan” itu soal kebudajaan, namun djiwa pikiran kita menuntut termasuknja arti - politik dalam perkataan „kebangsaan” tadi.

Sebenarnja Kebangsaan itu ada salah satu „lingkaran” atau „cirkel”, ja'ni „alam”, jang melingkungi hidup tiap² manusia. Sebagai „machluk jang terpilih” maka tiap² manusia mempunjai „hidup - diri”, djuga mempunjai „hidup-keluarga”, pula „hidup-masjarakat”. Tiap-tiap bentuk hidup tadi merupakan satu lingkaran jang wutuh satu, dalam mana tiap² manusia mendjadi titik - pusatnja. Tiap² lingkaran tadi mewudjudkan satu alam jang wutuh pula, sedangkan semua lingkaran tadi bersama - sama merupakan suatu susunan jang „concentris”, jaitu bertitik - pusat satu: titik - pusat ini ialah hidup - diri tiap² manusia tadi. Begitulah manusia mempunyai hidup -diri, hidup- keluarga, hidup- kebangsaan, hidup-kemanusiaan, dalam mana ia merasa bersatu dengan lain² manusia, jang bersamaan - hidup, bersamaan-alam atau bersamaan-lingkaran dengan dia sendiri.

Biasanja manusia itu hanja dapat merasai satu alam sadja pada sesuatu saat. Misalnja seseorang, jang sedangnja joang untuk kepentingan bangsanja, biasanja lupa atau tidak ingat, kurang atau tidak memperhatikan akan hidup kelurganja. Baru kalau didalam alam - keluarganja ada apa-apa jang sangat menarik djiwanja (misalnja anaknja (misalnja anaknja meninggal), perhatiannja beralih kepada lingkaran - keluarganja, untuk sementara waktu. Pada saat ia merasai alam-keluarganja itu, biasanja ia lupa atau kurang memperhatikan alam-kebangsaannja. Dia lupa djuga biasanja akan alam dirinja dan alam-kemanusiaannja. Memang manusia itu sangat terbatas kesedarannja dalam lingkungan kedjiwaan, jang ia insjafi pada satu saat. Gampang misalnja seseorang menegakkan pendiriannja sebagai manusia jang „luhur" dan „sutji", tetapi. . . . . . selama didalam alam-keluarganja, alam-dirinja dan alam-kebangsaannia tidak ada apa², jang mengganggu pikiran dan perasaannja. Dalam pada itu djangan dilupakan adanja dasar chusus didalam djiwa manusia masing². Ada orang² misalnja, jang memang mempunjai dasar kedjiwaan, jang disebut „individualis" „egois" dan karenanja sangat kuat „rasa-aku"-nja, lalu tidak gampang berpendirian „sosial" atau „nasional"; lebih² bersikap „perikemanusiaan" sukarlah baginja. Demikian pula ada orang², jang memang mempunjai dasar „kemasjarakatan" atau „kebangsaan" atau „kemanusiaan" jang amat kuat. Sifat² kedjiwaannja atau „watak"nja, „karakter"nja jang chusus itulah jang nampak sehari-hari. Hanja djika ada apa² jang sangat menarik perhatiannja, barulah ia tertarik kedalam alam jang lain.

Dalam so'al alam²-kedjiwaan manusia ini, (mulai alam-diri sampai alam-kemanusiaan) ada satu alam, satu lingkaran, jang biasanja sangat mempengaruhi pikiran serta perasaan manusia, (lebih dari pada lain²-nja) jaitu alam-kebangsaan, jang kini sedang kita bitjarakan itu. Rasa Kebangsaan tidak sadja dirasai lebih kuat oleh seluruhnja chalajak dari pada lain²nja, namun rasa kebangsaan itu meliputi chalajak jang lebih besar dan umum dan lebih luas dari pada lingkungan lain²nja. Agar ta' menimbulkan salah faham, hendaknja dimengerti, bahwa ada rasa kedjiwaan atau kebatinan lain, jang sangat kuat dan kerap kali menguasai sepenuh djiwa kita, kadang² bahkan setjara berkobar-kobar. Jaitu misalnja rasa-keagamaan dan rasa-kepolitikan, pendek kata segala „rasa-kebatinan", jang telah meningkat mendjadi „pendirian - hidup" jang pokok. Namun hendaknjalah diingati bahwa jang kami maksudkan jaitu luas lebarnja lingkungan jang diliputi oleh rasa „kesatuan bangsa". Seluruh masjarakat, jang merupakan satu negara dan satu bangsa, dengan sendirinja termasuk dalam satu lingkungan, ialah lingkungan Kebangsaan tadi. Rasa Kebangsaan dapat meliputi segala golongan itu, karena Kebangsaan mempunjai dasar jg. sangat luas, luhur dan dalam. Dasar Kebangsaan bukan lain dari pada „Kemanusiaan". hal mana nanti akan kami terangkan lebih djelas.

Factor lain, jg, menjebabkan rasa - kebangsaan itu berpengaruh besar kepada djiwa manusia, ialah karena rasa-kebangsaan itu merupakan lipat-gandanja rasa - diri dari orang² jang bersamaan nasib, djadi menurut adjaran masa-psychologi, bersifat sangat kuat dan sangat keras, hingga dapat melenjapkan rasa - diri perseorangan. Demikian pula rasa - kemanusiaan, jg termasuk dalam lingkungan - alam jg lebih luas dari pada lingkaran-kebangsaan, ta' dirasai sekeras rasa - kebangsaan, dan oleh karenanja tidak mudah dapat melemahkan rasa-kebangsaan. Untuk mendjaga, djangan sampai gerak-gerik rasa-kebangsaan tadi melampaui batas - peri- kemanusiaan atau menjalahi kodrat - iradatnja hidup - pribadi manusia, maka perlulah sebaliknja, kita selalu menginsjafi benar², adanja hubungan jang erat antara sifat hidup - kebangsaan, tidak sadja dengan hidup - diri - pribadi, namun pula dengan hidup-perikemanusiaan. Sjukurlah didalam Pantja-sila, tjita² kebangsaan itu telah terbatas dengan sendiri, karena adanja sila-sila lainnja. Dalam pada itu sebaiknjalah kita menarik garis² sebagai jang berikut:

  1. djangan sampai hidup-kebangsaan itu melanggar atau bertentangan dengan sjarat „perikemanusiaan"; insjafilah, bahwa kebangsaan" itu bentuk chususnja „kemanusiaan";
  2. djangan sampai hidup-kebangsaan menindas „hidup pribadi" manusia; baik lahir maupun batin; ingatlah pada sila² kedaulatan rakjat" dan „keadilan sosial";
  3. hendaknjalah kita senantiasa bersendi kesutjian seperti terkandung dalam sila „ke-Tuhanan". Selain itu hendaknja di-ingati pula, bahwa „Kebangsaan" jang tersebut dalam Pantja -sila itu, sewutuhnja berbunji: „Kebangsaan jang wutuh satu". Ini berarti bahwa hanja „Kebangsaan Indonesia"-lah jang ada, bukan kebangsaan² dari daerah nja. Kesatuan Bangsa Indonesia. . . . . hanja itulah, jang dapat mendjamin tegak - tetapnja Kemerdekaan kita untuk selama² - nja.

Sesudah kita memberi batas² tadi, sesuai dengan adjaran Pantja-sila seumumnja, maka insja - Allah, rasa - kebangsaan seperti jang dimaksudkan dalam Pantja-sila itu, akan dapat memperteguh hidup - kenegaraan kita serta memperkembangkan hidup - kebangsaan kita. Tidak sadja rakjat lalu setjara insjaf dan sadar akan sanggup mempertahankan kedudukan nusa dan bangsanja, sebagai negara dan rakjat jang merdeka dan berdaulat, tidak sadja rak'at akan ichlas dan ridla berkorban guna kepentingan negara dan bangsa, namun rakjat akan bersedia djuga untuk membangun hidup serta penghidupannja bersama, kearah keselamatan dan kebahagiaan rakjat setjara merata, adil dan sutji, karena berdasarkan „peri-kemanusiaan" dan bertiang-pangkal „ke-Tuhanan".

Peringatan-peringatan dan pembatasan² dlm. so'al hidup kebangsaan tadi, sangat perlu, oleh karena tidak kurang tjontoh2 jang buruk dan djahat dalam hidup kebangsaan pada umumnja. Tjorak-warna djiwa manusia, watak manusia, sifat hidup manusia, kadang2 semata-mata merupakan peluapan hawa nafsu hewani, perkobaran „instincten" dan „begeerten" melupakan arti dan peladjaran peri- kemanusiaan. Kalau sifat-hewani itu meluap-luap dan berkobar-kobar, lebih karena diperkuat setjara massa-psychologis didalam gabungan besar, gabungan „kebangsaan", maka pastilah akan hantjur lebur adab dan kebudajaan dalam hidup sesuatu bangsa. Disitulah akan hilang lenjap deradjat peri-kemanusiaan dalam bangsa itu, dan dengan demikian akan sirna dengan sendiri haknja atas sebutan „bangsa" dan „negara". Hanja rakjat jang beradab dan berkebudajaan, berhak bernama „bangsa" dan hanja negeri jang teratur setjara tertib dan damai, berhak atas sebutan „negara".


——————

VI. Demokrasi dan Keadilan Sosial.

„Demokrasi" dan „Keadilan - sosial" adalah dua bagian dari Pantja-sila, jang kedua-duanja tidak sadja memberi isi jang chusus, namun memberi tjorak-warna jang tegas pula kepada sila „Kebangsaan". Seperti sudah saja terangkan lebih dahulu, kebangsaan itu kadang² meluap-luap atau berkobar-kobar, dalam mana bukan sifat kemanusiaan jang lubur dan halus, tetapi sebaliknja hawa nafsu jang rendah dan kasarlah jang tampak. Boleh djadi, disini haluan kapitalisme menguasai penghidupan kebangsaan; disana feodalisme jang meliputi suasana kemasjarakatan seluruhnja; dilain negeri „nasional-socialisme" á la Hitler-Mussolini menekan djiwa-kemerdekaan rakjat. Dengan Demokrasi dan Keadilan-sosial sebagai garis² pembatasan hidup kebangsaan, maka terdjaminlah sifat keluhuran dan kehalusan budi manusia dalam hidup kebangsaan tadi. Aapakah arti dan maksud Demokrasi dan Keadilan-sosial itu, sebagai jang terkandung dalam Pantja-sila ?

Demokrasi berasal dari perkataan Junani-kuno „demos", jang berarti „rakjat" dan „krasi", jang berarti ,,kekuasaan" Biasanja terdjemahan dalam bahasa kita berbunji: „kedaulatan rakjat". Menurut perkataannja ini memang benar, karena „kedaulatan" berarti „kekuasaan". Akan tetapi perkataan „kedaulatan" dan „kekuasaan" itu adalah perkataan² modern, jang terpakai dalam hubungan² kenegaraan setjara modern, sehingga bagi mereka, jang belum kenal dan belum memahami maksud dan tudjuan systeem kenegaraan jang modern tadi, mudah menimbulkan salah-faham. Misalnja ada setengah orang iang mengira, bahwa haluan kedaulatan-rakjat itu memberi hak kepada rakjat untuk berbuat semau-maunja, karena rakjatlah jang berkuasa. Mereka itu belum insjaf, bahwa sifat kedaulatan-rakjat itu terbatas dengan beberapa peraturan jang chusus, jang mengatur setjara tertib bagaimana kedaulatan rakjat tadi harus dilaksanakan. Adanja „trias-politica", jang menetapkan harus adanja 3 bagian hak-kenegaraan, jaitu hak membuat undang², hak melakukan pemerintahan dan hak-pengadilan, belumlah mereka pahami benar-benar, Adanja peraturan2 jang harus mendjamin hak-diri dan hak-milik perseorangan, pula jang membatasi kemerdekaan dan kebebasan segenap rakjat, misalnja dengan larangan tiap2 orang berbuat sewenang-wenang d. 1. 1. sebagainja, semuanja itu belum mereka insjafi. Itulah sebabnja demokrasi tadi sering kali berlaku setjara salah atau keliru, lebih-lebih kalau sila jang utama itu disebut dengan perkataan „kedaulatan" atau „kekuasaan" rakjat. Menurut hemat saja, lebih baik dipakainja sebutan „kerakjatan"- Walaupun Undang² Dasar Republik kita memuat pasal2 jang tegas mengenai haluan demokrasi itu, tetapi didalam Mukodimah atau Purwakanja dimasukkan sila „kedaulatan rakjat" bersama-sama dengan „keadilan sosial" tadi, itu pasti ada maksudnja. Maksud itu ialah, djangan sampai rakjat tertekan atau tertindas; djuga sebaliknja djangan sampai rakjat menekan atau menindas.

Marilah kini kita kupas kedua-duanja sila itu dengan menghubungkan so'alnja dengan hidup kedjiwaan atau kebatinan rakjat kita. Rakjat jang sedjak zaman dahulu kala senantiasa mendjundjung tinggi dasar perikemanusiaan serta sendi ke-Tuhanan, mustail tidak memiliki haluan kerakjatan dan keadilan sosial, seperti jang dimaksudkan dalam Pantja-sila itu. Perkataan2 jang biasanja terpakai untuk itu, ialah misalnja: „sesama machluk", atau „sesama manusia" (bhs. Djawa: sepada-pada), jang selalu mengandung maksud, bahwa semua manusia itu untuk Tuhan sungguh sama. Dalam zaman baru, zaman pergerakan, ada salah seorang kawan-perdjoangan jang terkenal, jaitu marhum saudara Mas Marko (jang meninggal dunia dialam-pembuangan di Boven-Digul), jang memakai rangkaian perkataan, untuk mendjelaskan haluhan jang sama dengan apa jang termasuk didalam Pantja-sila itu. Rangkaian perkataan itu ialah: „sama rata sama rasa". Pemilihan perkataan itu menurut pendapat saja sungguh tepat sekali dan patut kita bébérkan disini. Saja jakin bahwa kita semua dapat merasai samanja arti „demokrasi" dan „keadilan sosial" tadi dengan sebutan „sama rata dan rasa". Sama rata berarti tidak membeda-bedakan sama orang jang satu dengan jang lain. Akan tetapi kadang-kadang terbukti, bahwa „sama rata” itu belum tentu bersifat „adil”. Kalau didalam satu keluarga misalnja, jang beranggauta 10 orang, hanja ada beras 1 kilo sadja, dan menurut azas „demokrasi” atau „sama rata” tiap2 anggauta dapat se-per-sepuluh kilo atau 1 ons, maka sangat boleh djadi lalu ada salah seorang jang menjatakan: „Ibu, saja ta'usah makan saja ta' begitu lapar; berikanlah bagian saja kepada adik itu, jang lebih memerlukan makan nasi dari pada saja . . . . .” Sangat boleh djadi ketetapan itu dipudji atau dimufakati oleh beberapa anggauta lainnja, jang mungkin ingin djuga menjerahkan bagiannja kepada adik2 jang ketjil atau jang sedangnja sakit. Disini terbukti, bahwa „sama rata” itu belum pasti berarti „sama rasa” djuga. Memang tidak adil bila seorang jang sakit harus diperlukan sama dengan orang jang sehat. Karena itulah azas „demokrasi”, jang semata-mata mementingkan sama-ratanja sesuatu, harus dilakukan setjara „keadilan social”, jang menghendaki sama-rasanja.

Mungkin orang mengemukakan, bahwa demokrasi itu seharusnja telah mengandung maksud keadilan, akan tetapi selama demokrasi, jang biasa disebut demokrasi setjara Barat atau demokrasi modern masih paling mementingkan „kesamaan”, misalnja kesamaan hak dalam segala hal, serta biasaannja mengabaikan harga dan nilai benda lahir atau batin, maka dengan sendiri demokrasi itu kerap kali tidak merupakan keadilan sosial. Hal itulah tentunja, jang mendjadi alasan bagi si-pentjipta Pantja-sila, untuk memasukkan keadilan sosial” disamping „kedaulatan rakjat”.

Suatu tjontoh lagi. Dalam zaman sekarang telah umum mendjadi kebiasaan, bahwa didalam rapat untuk menetapkan sesuatu keputusan, harus dipungut suara dari segenap anggauta, dengan peraturan, bahwa jang dianggap keputusan jang sah, ialah. jg dimufakati oleh sebagian besar dari pada para anggauta. Biasanja kemenangan satu suara sudah dianggap beralasan tjukup, untuk memutuskan sesuatu ketetapan. Di situ sama sekali tidak dibedakan suara dari orang2 baik jangtjerdik-pandai dan berbudi, maupun jang ta' berpengetahuan dan ta' berwatak. Tidak sadja systeem itu sering menjebabkan adanja putusan jang tidak bidjaksana, namun jang pasti ialah diakui haknja pihak jang kuat dan dikalahkannja pihak jang lemah. Djadi merupakan bentuk baru dari sifat keadilan tjara kuno, jang terkenal dengan sebutannja : „het recht van de sterkste”. Jang dibenarkan bukanlah jang „hak” (benar), tetapi jang kuat, meskipun hanja kuat dalam suara sadja. Kebidjaksanaan disitu tidak terpakai sebagai sjarat pembatasan ataupun ukuran-penghargaan nilai suara pendapatan, jang dikeluarkan. Kalau jang kalah itu golongan jang agak besar, jang hanja karena kekalahan satu, dua atau tiga suara sadja dipaksa takluk (biasanja mereka disebut „een groote minderheid”), dapatlah mudah dimengerti, bahwa rasa tidak puas pada mereka itu kadang² sangat besar, hingga merupakan kegusaran. Dengan begitu gampanglah timbul benih2 perpetjahan. Kalau pihak jang kalah tadi hanja sebagian ketjil, biasanja mudah orang dapat „mengalah”, jaitu menjerah dengan ichlas, karena biasanja ada keinsjafan, bahwa sudah selajaknja golongan jang ketjil harus berkorban guna kepentingan golongan jang besar.

Dalam hidup kemasjarakatan dan kebudajaan bangsa kita tentang so'al ini ada adat-istiadat, jang boleh dianggap petundjuk jg berharga dan patut kita perhatikan. Sebutan „kata sepakat” misalnja, berarti harus adanja kemufakatan jg penuh, jg menurut adat tsb, (jg misalnja di Minangkabau masih didjundjung tinggi) dianggap sjarat mutlak untuk memelihara keadilan sosial dan kesatuan jg wutuh. Bolehkanlah disini saja memberi tahukan, bahwa adat itu didalam golongan kami (jaitu golongan Taman Siswa) selalu dipakai Bila orang bertanja apakah peraturan jg sedemikian itu misalnja dimana seharusnja ada keputusan, lalau tidak dapat, maka hendaknja diketahui, bahwa untuk so'al2 jg penting dan jg harus segera ada keputusan, dapat diadakan atjara menjetem jg tidak berdasarkan „kata sepakat” namun tidak pula mengakui absahnja kemenangan dengan satu suara. Jaitu menetapkan, bahwa untuk itu harus ada kemenangan 2/3 dari semua suara jg dikeluarkan. Dan hendaknja disini diketahui pula, bahwa didalam kalangan kami tsb ada pula tradisi, jg disebut „Demokrasi dan Leiderschap”, jg berarti harus adanja „demokrasi”, akan tetapi disampinhnja harus pula ada „pimpinan”. jg oleh sebagian besar (jaitu 2 dari pada segenap anggauta, dianggap tjukup bidjaksana untuk menetapkan sesuatu putusan, dimana pengeluaran-suara dapat memberi keputusan menurut peraturan. Hak „veto” ini didalam organisasi Taman Siswa tidak bersifat leluasa, karena dibatasi dengan beberapa sjarat; 1. hanja boleh dilakukan dalam saat2 jg memerlukan adanja keputusan segera. lebih2 bila ada bahaja mengantjam; 2. tidak boleh menjalahi dasar2 dan azas2 jg termaktub dalam peraturan besar; 3. pimpinan tetap bertanggung djawab kepada penguasa jg tertinggi, ja'ni Rapat Besar. Dalam dunia organissai jg modern dan jg meliputi sebagian besar dari negara2 sedunia, kegandjilan tradisi mengeluarkan suara-pedapat dengan „stem-steman” jg mengakibatkan hidupnja kembali hukum kuno, „het recht van de sterkste” tadi, diinsjafi djuga. Hak „veto”, jg dipakai dalam sidang2 U. N. O. atau P. B. B. itu, rupa2nja diadakan pula, untuk mendjaga djangan sampai ada keputusan2 jg mengenai so'al2 penting, jg dipaksakan oleh „meerderheid” kepada „minderheid”. Sajangnja, hanja 5 negara jg paling besar sadja, jaitu: Rusia, Amerika Inggris, Perantjis dan Tiongkok jg. mempunjai hak itu.

Sekianlah uraian kami tentang „demokrasi”, dalam mana kami membanding-bandingkan so'al tsb. sebagai jg hidup didalam alam modern dan alam kuno, atau alam kedjiwaan Barat dan Timur. Tentang sila „Keadilan sosial”, jg sudah kami kupas pula, bolehlah kiranja disini kami mengingatkan bahwa untuk rakjat, jg ber-ke-Tuhanan, ada baiknja, bila kita memahami sifat „keadilan” dari pada Tuhan jg Maha Kuasa melakukan kekuasaannja, tidak terlepas dari sifatt Keadilan, sedangkan ke-adilan Tuhan adalah keadilan dari, Dhat jg Maha-Kasih dan Maha-Murah.

Lihatlah sebagai tjontoh sifat sang Matahari, jang telah ditetapkan oleh hukum kodrat-alam, atas kehendak Tuhan menurut adjaran agama, untuk memberi sinarnja; sinar matahari jg diperlukan untuk hidup tumbuh segala machluk dan tumbuh2-an diseluruh alam-duniai ini. Sang Matahari tidak membeda-bedakan; pun Matahari tidak memaksa atau melarang digunakannja, jang bersipat sakti tadi. Matahari memberi sinarnja kepada semua tumbuh2an dan machluk, jg. memerlukan sinarnja. Pemberian sinar matahari berlaku dengan merata dan adil. sesuai dengan sembojan „demokrasi” dan „keadilan sosial, jang dapat diganti dengan utjapan :


„Sama Rata, Sama Rasa.„






_______

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)