Pantjasila (Ki Hadjar Dewantara)/Bab 3
III. Isi atau Adjaran Pantja - Sila.
Sesudah kita mengetahui akan „sifat” atau hakikatnja Pantja-sila, jaitu keluhuran dan kehalusan budi manusia, pula mengetahui akan „bentuk”, ja'ni susunan Pantja-sila sebagai djiwa Undang-undang Dasar Republik Indonesia, maka datang-lah kini waktunja saja memberi pendjelasan tentang isi - nja Pantja-sila. Adapun „isi” jang dimaksudkan disini tidak lain dari pada adjaran, jang terkandung didalamnja. Adjaran itu ta kurang dan ta' lebih dari pada „filsafah - kenegaraan”, jang memberi tafsiran, singkat tetapi djelas, tentang dasar-dasar serta azas-azas, jang mendjadi tulang punggung serta djiwa dari pada negara Republik Indonesia. Pantja-sila tidak sadja memberi tjorak dan warna, tjukup untuk mengenali „karakter”, ja'ni watak sewutuhnja dari pada negara kebangsaan, jang kita berdirikan pada hari proklamasi itu, akan tetapi Pantja-sila memberi isi pula kepada negara kita sebagai „negara- hukum”, jang setjara modern menudju ke-arah tertib-damainja hidup dan penghidupan serta selamat-bahagianja rakjat seluruhnja.
Isi atau adjaran Pantja-sila mempunjai arti pula jang sangat penting, bila kita hubungkan dengan petjahnja revolusi nasional kita, jang dipelopori oleh kaum Pemuda diseluruh Kepulauan Indonesia. Isi Pantja-sila membuktikan, bahwa perdjuangan rakjat kita, jang memuntjak dalam bentuk-nja revolusi „in optima forma”, revolusi senjata - njatanja, sekali-kali bukanlah perdjuangan jang kosong dan hanja untuk berdjuang semata-mata, bukanlah „terrorisme” hanja untuk mengatjau dan merusak, sekali-kali bukanlah „ex-tremisme" dari pada „avonturiers”, ja'ni bukan meradjalelanja watak luar biasa dari gerombolan-gerombolan jang ta bertanggung djawab, bukan sama sekali! Revolusi kita sebaliknja benar adalah revolusi untuk memusnakan pendjadjahan kolonial, baik dalam sifatnja jang imperialistis maupun jang kapitalistis. Revolusi kita adalah pembalikan zaman dan keadaan, berdasar pada kenjataan dan bersandar atas segala perhitungan, baik moreel maupun materieel. Revolusi kita adalah pemberontakan jang bersiasat dan merupakan puntjak perdjuangan kita sedjak tahun 1908. Itulah semuanja jang menjebabkan siap sedianja perdjuangan kita untuk mewudjudkan negara jang merdeka segera sesudah proklamasi 17 Agustus 1945. Pada saat itu djuga Undang-undang Dasar Republik Indonesia telah selesai dan . . . . berisikan segala tjita² dan program kenegaraan, jang serba modern dan lengkap, karena sudah 25 tahun lamanja diperdjuangkan setjara theoretis dan praktis oleh pergerakan kebangsaan kita diseluruh Kepulauan Indonesia, dari Atjeh sampai Iriau. Dalam pada itu Pantja-silalah jang mendjadi „rukun kenegaraan”, jang hanja dengan 5 perkataan sadja dapat menggambarkan sifat, bentuk, isi, dan „wirama”, dari pada segala tjita², jang didukung oleh rakjat kita dalam gerakan nasionalnja sedjak seperempat abad jang lalu.
Mudah dapat dimengerti, apa sebabnja seluruh Dunia pada umumnja, Perserikatan Bangsa² chususnja, sangat tertarik oleh revolusi kita serta membenarkan, atau setidak - tidaknja tidak berani menjalahkan sikap, langkah serta djedjak rakjat Indonesia, jang dengan terang-terangan mengadakan revolusi terhadap penguasa Belanda di „Hindia - Belanda” -nja. Bangsa² Asia jang hidup dalam pendjadjahan bangsa² Barat, tidak sadja membenarkan revolusi kita, namun mereka dengan terus terang memberi sebutan „pelopor” kepada rakjat Indonesia, jang dengan tegas dan njata telah melemparkan pemerintah kolonialnja, serta segera membentuk pemerintah kebangsaan sendiri, jang murni nasional dan sanggup meneruskan serta memimpin perdjuangan, tertudju kepada kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia seluruhnja. Ta' boleh diragu-ragukan lagi, bahwa segera terbukti kenjataan tentang revolusi nasional di Indonesia itu, bahwa pembalikan itu adalah buah perdjuangan rakjat sedjak tahun 1908, perdjuangan mana senantiasa dilakukan setjara reëel dan modern. Gambaran, jang mentjoba mempropagandakan anggapan, bahwa revolusi di Indonesia adalah kekatjauan jang dilakukun oleh kaum „komunis” dan orang² „perampok”, berdasarkan atas kebentjian terhadap orang² Barat, gambaran jang demikian itu segera dikenali sebagai tipu-muslihat semata-mata. Berkat kegiatan usaha pemimpin² kita di Luar - negeri, baik di „Dewan Keamanan” di Lake Succes, maupun di-pusat² negara² besar diseluruh Dunia, maka berbalikanlah akibat² propaganda pihak orang pemimpin kolonial Belanda tadi. Pemberontakan rakjat Indonesia terhadap kekuasaan Belanda dibenarkan atau dimengerti, sebaliknja sikap dan tindakan² Belanda disalahkan. Bahkan jang sangat menarik perhatian ialah terpaksanja pihak Belanda, jang selaku „N. I. C. A.” bersama - sama datang dengan Tentara Sekutu untuk mengoper kembali daerah djadjahan-nja „Hindia Belanda”, menurut persetudjuan Potsdam. Saja ulangi: terpaksanja pihak Belanda, mengakui setjara „de facto” adanja „Republik Indonesia”. Saja ingat datangnja Majoor Abdul Kadir Widjojoatmodjo, bersama² dengan wakil² Sekutu, mengundjungi Presiden Sukarno dan Wakil-Presiden Hatta, di rumah Pegangsaan Timur 56, untuk menjatakan kesediaan mengakui Republik kita itu sebagai „goodrill” dari pihak Belanda. Barang tentu dengan maksud: „voor wat hoort wat”, artinja: untuk kesediaan itu pihak Belanda minta kesediaan kembali dari Republik, jaitu untuk bersama-sama mengurus Kepulauan Indonesia. Kedjadian inilah, jang berlangsung pada bulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan kita, jang kelak mengakibatkan tumbuhnja sikap bekerdja bersama antara Republik dan N. I. C. A., jang memuntjak pada lahirnja persetudjuan Linggadjati hingga sekarang. Ini semua disebabkan, karena seluruh Dunia mengetahui, bahwa revolusi kita adalah perdjuangan rakjat Indonesia untuk mendirikan Negara Hukum, jang ber-Pantja-sila, dan dipimpin, dituntun dan diatur menurut program pelaksanaan jang pasti dan tertentu. Teringatlah saja disini pada suatu peribahasa klasik kita jang berbunji: „Sura dira djajaning rat, lebur déning pangastuti”; artinja: segala keberanian, kekuatan, dan kedja aan di-undia ini, tak akan dapat mengalahkan kesutjian. Kesu-tjian inilah jang sanggup melebur, menghantjurkan segala angkara-murka di-dunia ini, walaupun bersendjatakan kekuasaan dan kekuatan keduniawian apapun, tetapi tidak berdasarkan kesutjian dan tidak bersendikan keadilan.
Disamping kejakinan akan besarnja pengaruh Pantja-sila pada mereka, jang ingin terus menguasai kita, hendak-nja kita insjafi pula, bahwa Pantja-sila itu memberi kekuatan jang besar kepada kita sendiri, untuk meneruskan perdjuangan kita, jang kita insjafi sebagai perdjuangan, jang sutji, djudjur dan bidjaksana, sebagai perdjuangan jang ber-Pantja-sila dan oleh karenanja ta' dapat di-alahkan oleh kekuatan apapun di dunia ini. Sekali lagi: „Sura dira djajaning rat, lebur déning pangastuti". Tuhan selalu ada pada kita! Tuhan ta' akan membiarkan meradjalelanja augkara - murka, baik jang bersifat imperialisme maupun kapitalisme! Sebaliknja, ta akan Tuhan memperbaiki hidup manusia, kalau manusia itu tidak sanggup berdjuang untuk memperbaiki nasibnja sendiri. Bukankah ini adjaran, jang berkali-kali dipeladjarkan oleh Presiden kita Bung Karno, jang banar² mendjadi bekal jang utama didalam kita melaksanakan perdjuangan kita? Mengertilah kita, untuk apa si-pentjipta Pantja-sila meletakkan „Ketuhanan” sebagai sila jang pertama. Dengan pertjaja akan adanja kekuasaan jang maha-agung, maha-kuasa, maha-adil, maha-kasih dan maha-murah, maka seolah olah kita manusia dengan sendiri kemasukan sifat2 ke-Tuhanan itu. Dari manusia jang lemah, kita mendjadi manusia jang kuat. Ketakutan atau kebimbangan hati lalu lenjaplah. Dan kalau kita dari „manusia takut” mendjadi „manusia berani”, maka itu disebabkan karena kita merasai benarnja perdjuangan kita. Berani karena benar! Keinsjafan ini pun memperkuat djiwa kita.
Disamping perasaan benar, Pantja-sila memberi bekal jang sangat berharga pula. Rasa „Kebangsaan” sebenarnja adalah „rasa diri”, tetapi rasa diri jang telah diperkuat setjara lipat ganda, karena telah dipersatukan dalam hubungan kemasjarakatan bersama. Sebagai „rasa-diri-sebangsa” maka kesedaran kebangsaan itu berarti tulang - punggungnja rasa kemerdekaan diri. Rasa - kebangsaan tidak sadja memberi keinsjafan tentang hak2 atas kemerdekaan bangsa, pun segala kewadjiban nasional lalu kita rasai setjara murni, sutji dan kuat, teristimewa kewadjiban untuk mempertahankan kemerdekaan nusa dan bangsa.
„Kedaulatan Rakjat”, ja'ni „Demokrasi” sebagai sila jg ke 4 mengadjarkan pada kita, bahwa didalam menentukan nasib bersama, djanganlah hanja satu - dua golongan, lebih2 djanganlah hanja satu, dua orang sadja jang bertanggung djawab, namun seluruh anggauta masjarakatlah, rakjat seluruhnjalah jang harus pegang kedaulatan. Kemauan rakjat seluruhnja, itulah jang harus dilaksanakan dengan tjara jang sebaik-baiknja, jaitu oleh orang-orang jang tjakap dan djudjur dan . . . . . jang dapat kepertjajaan dari rakjat. Pelaksanaan itu harus diwudjudkan dengan djalan perwakilan rakjat, jang dibentuk setjara demokratis, jaitu rata dan adil.
Perwakilan jang rata dan adil, kata saja; pembatasan ini perlu agaknja, karena kerap kali kedjadian, ada perwakilan rakjat, namun tidak mewakili semua golongan, atau tidak nampak sebagai perwakilan jang merata, tetapi sebenarnja (karena jang membentuk hanja satu-dua golongan) lalu tidak dapat memenuhi rasa keadilan umum. Itulah sebabnja, untuk dapat menentukan kemauan rakjat jang sebenar-benarnja, perlulah adanja tjara pemungutan suara jang dapat memperoleh suara rakjat itu jang se-rata2-nja.
Sila jang ke-2 dan ke-5, a'ni „Perikemanusiaan” dan „Keadilan Sosial”, bolehlah dipandang sebagai „dasar” dan „isi” Pantja - sila. Sebagai dasar maka „Perikemanusian” tidak sadja memberi segala kemungkinan untuk memperluas serta memperdalam haluan - kenegaraan kita, namun Perikemanusiaan” itu mendjamin tetap adanja sifat keluhuran budi dalam azas - azas serta tudjuan kenegaraan dalam Republik kita. Ta' usah didjelaskan disini, bahwa „Keadilan - Sosial” pun membuka segala kemungkinan serta memberi djaminan pula tentang berbagai kepentingan rakjat seluruhnja, baik jang. bertali dengan penghidupan dalam masjarakatnja, maupun jang berkenaan dengan hidup kebatinannja.