Pantjasila (Ki Hadjar Dewantara)/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

II. Bentuk Atau Susunan Pantja - Sila.

Uraian saja jang pertama sebenarnja barulah merupakan „ichtisar” serta pula pendjelasan tentang „sifatnja” Pantja-sila, dan „sifat” itu ialah pokok-pokok dan dasar -dasarnja, jaitu „hakekatnja”.

Maksud uraian saja jang pertama itu ialah supaja orang segera dapat menangkap dan menjelami, mengerti dan menginsjafi, apakah sebenarnja pokok-pokok jang terkandung didalam perkataan , „Pantja-sila” itu. Mengenal „sifat” - nja sesuatu keadaan berarti memaklumi pokok-pokok, dasar-dasar dan garis-garis besarnja. Ini perlu didalam kita memandang atau menjelidiki sesuatu keadaan, karena dengan mengetahui pokok - pokoknja seolah - olah lalu terbukalah pintu gedung atau tempat jang akan kita selidiki, sedangkan mengetahui „sifat” - nja berarti seolah-olah kita pegang buku tuntunan atau pedoman, jang mengikat atau membatasi pandangan dan penjelidikan kita, agar djanganlah fikiran kita bergerak setjara leluasa jang tidak teratur. Djadi seperti halnja orang jang hendak mengundjungi „museum” misalnja ; kalau sebelumnja ia mengetahui pokok-pokoknja dari „buku tuntunan” (gids), maka ia akan lebih gampang dapat memahami segala isi museum tadi.

Dalam pada itu hendaknja diingati sebaliknja, bahwa mengenali „sifat” - nja sesuatu keadaan, kedjadian, peristiwa atau hal-hal lain-lain, belum berarti bahwa orang lalu mengetahui benar-benar, apa jang terkandung didalamnja sebagai „isi”, lebih-lebih orang belum dapat mengetahui benar² akan harganja atau nilainja „isi” itu. Untuk dapat menjelami dan menginsjafi tiap-tiap keadaan dalam sifat wutuhnja, perlulah orang mengenali dua factor lainnja, jaitu, bentuk nja serta „isi” - nja tiap-tiap keadaan, kedjadian atau peristiwa. Mengenai „bentuk” dan „isi” itu sangat perlu, karena tiap-tiap keadaan, sesudah terbatas oleh dasar-dasar dan garis²-besarnja (ja'ni sifatnja), masih pula terbatas setjara lebih chusus oleh bentuk dan isi-nja masing². Sama sifatnja, tetapi berbeda „bentuk”-nja, lebih - lebih berlainan „isi” - nja, menjebabkan adanja perbedaan antara keadaan jang satu dengan jang lain. „Ke-Tuhanan” misalnja, mempunjai sifat jang tertentu; pokok-pokok dan dasar²-nja dapat dipastikan. Akan tetapi „ke-Tuhanan” jang berbentuk „organisasi - keagamaan”, sangat mungkin berlainan dengan „ke-Tuhanan” menurut konsepsi sesuatu aliran filsafah atau anggapan seseorang individualis jang religieus, jaitu orang jang berdjiwa keagamaan, namun tidak tergabung dalam sesuatu organisasi, karena ia mementingkan hidup kepribadian. Tambah pula, djika mengingati „isi”, jang ada didalam masing² bentuk keagamaan, maka mudahlah dapat dimengerti akan adanja perbedaan antara „sekte” jg satu dengan „sekte” jang lain (didalam satu agama), perbedaan mana kadang-kadang menimbulkan pertentangan dan permusuhan jang haibat.

Untuk lengkapnja pandangan kita tentang memandang, mempeladjari atau menjelidiki sesuatu so'al, baiklah disini saja tambahkan pula, bahwa sesudah „sifat” serta „bentuk” dan „isi”, masih ada pula suatu factor atau sebab, jang dapat mengakibatkan perbedaan antara dua hal atau keadaan. walaupun sifat serta bentuk dan isinja pada kedua-duanja ada sama. Perbedaan jang masih nampak itu disebabkan, karena tjaranja melakukan, melaksanakan, memakai atau menggerakkan, pendek tjaranja mewudjudkan laku atau tindakan masih ada bedanja antara jang satu dengan jang lain. Dalam ilmu kesenian hal inilah jang disebut gerak „wirama”, atau „rhytmus”, jang dapat menentukan „watak” atau „karakter” (jaitu sifat wutuhnja) tiap-tiap benda jang hidup dan bergerak.

Uraian tentang tjaranja kita memandang, mempeladjari atau menjelidiki sesuatu so'al itu, hendaknja kita pakai djuga dalam kita menjelami Pantja-sila, agar kita dapat mengerti benar-benar akan hakikatnja, ja'ni sifat-nja Pantja - sila; menginsjafi benar-benar akan bentuknja, ja'ni systeemnja atau tjaranja kita mempersoalkannja; memahami benar-benar akan isinja dan achirnja tahu benar-benar, bagaimana kita harus melaksanakan tjita-tjita jg disebut „Pantja -sila“ itu. Diangan sampai Pantja - sila mendjadi sembojan jang kosong; atau mendjadi sjari'at jang tidak kita insjafi. Djangan sampai Pantja-sila kita pergunakan setjara keliru atau salah. Lebih-lebih djangan sampai Pantja - sila kita pakai sebagai kedok untuk mengedjar kepentingan diri pribadi.

Dalam uraian saja jang pertama telah saja madjukan pertanjaan, apakah bentuk dari pada Pantja-sila, jaitu misalnja urut-urutannja, (dan bolehlah disini saja tambahkan „isi“nja), tidak dapat lain dari pada jang termasuk dalam Purwaka U. U. D. kita itu. Jaitu: 1. Ketuhanan, 2. Perikemanusiaan, 3. Kebangsaan, 4. Kerakjatan, 5. Keadilan sosial. Sudah saja uraikan, bahwa hal itu ― boleh kita sebut bentuk serta isinja ― adalah haknja si - pentjipta. Bagi orang lain boleh djadi menjetudjui pokok - dasarnja sepenuhnja bahkan sampai bentuk dan isinja, namun ingin menggunakan wirama lain. Jaitu ingin memakai urut-urutan lain, karena mendasarkan fikiran serta perasaannja pada imbangan jang lain. Bagi saja sendiri misalnja, memandang „perikemanusiaan“ - lah jang berdiri sebagai pokok sarinja Pantja - sila. Dalam pandangan itu lalu setjara „deductif“ dapatlah pokok. sari atau puntjak Pantja-sila itu kita petjah mendjadi dasar lainnja. Atau pabila kita berfikir setjara „inductif“, dasar „perikemanusiaan“ itu kita letakkan paling belakang sebagai „kesimpulan“. Lalu dapatlah imbangan-imbangan antara dasar² Pantja-sila itu serta urut-urutannja kita gambarkan sebagai jang berikut:

  1. Ke-Tuhanan, menurut adab „perikemanusiaan“:
  2. Kebangsaan. jang berdasar pada „perikemanusiaan“:
    1. Kedaulatan Rakjat, jang mengingati azas „perikemanusiaan”;
    2. Keadilan sosial, sesuai dengan tuntutan adab „perikemanusiaan”;
    3. Keluhuran hidup perikemanusiaan, ja'ni pangkal-induknja.

Sangat boleh djadi ada lain orang, jang ingin memakai urut - urutan lain pula, misalnja jang diputjuki oleh „Kebangsaan”, „Kedulatan Rakjat”, atau „Keadilan sosial”, begitu seterusnja. Dalam hal ini hendaknja kita mengerti, bahwa semua itu berhubungan lekat dengan sifat djiwa budi orang masing². Ini harus kita akui dan kita benarkan, karena dengan memakai urut - urutan lain itu, harga atau nilai dari pada Pantja - sila sedikitpun tidak berkurang. Sebaliknja dengan memakai urut-urutan sendiri jang sesuai dengan sifat djiwanja, Pantja - sila tadi lalu mendjadi „hidup” bagi mereka, jang menggunakan wiramanja sendiri itu, sesuai dengan wirama jang hidup didalam djiwanja sendiri.

Pertanjaan lain tentang Pantja - sila itu ialah mengenai „isi” - nja. Apakah tidak ada sila - sila lain, jang patut dimasukkan didalamnja? Misalnja pernah ada orang bertanja, mengapakah „kemerdekaan” tidak termasuk didalam Pantja-sila? Lain orang lagi bertanja, apakah sebabnja „kebudajaan tidak ada didalam Pantja-sila? Demikian seterusnja, orang bertanja, atau dapat bertanja seperti jang tersebut itu. Bolehlah disini saja ulangi, apa jang telah saja uraikan, jaitu: bahwa bentuk dan isi Pantja-sila itu sudah selajaknja merupakan gambaran sikap bathinnia si-pentjipta. Kita tahu, bahwa pentjipta Pantja - sila kita itu tidak lain dari pada Bung Karno sendiri. Pernah Dr. Radjiman Wedyodiningrat menerangkan, bahwa Pantja -sila itu pada suatu saat (jaitu dalam sidang Panitya persiapan Indonesia Merdeka pada tahun 1945) terkeluar setjara „spontaan” (tak direntjanakan lebih dulu) dari mulut Bung Karno. Seolah² utjapannja itu adalah ilham jang langsung timbul dari udjung hati sanubarinja. Bagaimanapun djuga, kita menerima utjapan² itu sebagai kenjataan jang kita benarkan, kita akui dan kita sahkan setjara jakin dan ichlas. Termasuknja Pantja-sila tadi kedalam U.U.D. kita, itu pun sudah membuktikan ke-istimewaannja. Adanja keinginan untuk memakai urut-urutan lain, atau menambah, barangkali untuk mengubah dalam arti memperbaiki atau menjempurnakan, itu semua tidak mendjadi so'al, dan kelak kiranja mungkin djuga kedjadian. Kalau zamannja atau alam-keadaannja menuntut, barang tentu Pantja-sila akan dapat berubah djuga. Jang dalam hal ini harus kita insjali, jaitu sesuainja bentuk dan isi Pantja-sila itu dengan zamannja dan alamnja Pantja-sila itu dilahirkan. Jaitu pada saat rakjat kita berhasjrat memusnakan alam-djadjahan.

„Ke-Tuhanan” . . . . bukankah ini berarti, bahwa negara kita (jang pada waktu itu masih akan lahir) djanganlah hendaknja mengoper sifat djadjahan Belanda, jang hampir semata² bersifat „materialistis”, jaitu mengagungkan hidup „kebendaan” serta merendahkan hidup kebathinan, misalnja menggunakan agama untuk keperluan kolonial dan kapitalisme ?

„Kemanusiaan” . . . . . . bukankah ini dasar jang paling luas, jang mendjamin perikeadaban dalam arti seluas-luasnja, hingga dapat membatalkan segala angkara murka?

„Kebangsaan” . . . . . . bukankah ini, jang dapat menghantjurkan „kolonialisme” dan „imperialisme”, jg meradjalela diseluruh Indonesia?

„Kedaulatan Rakjat” . . . . bukankah ini jang berkewadjiban menghantjurkan isme - isme, jang selalu menekan hidup-tumbuhnja rakjat, baik dlm arti politik dan ekonomi maupun kemasjarakatan dan kebudajaan?

„Keadilan Sosial”. . . . . bukankah ini tjita² jang positif dan concreet, jang harus mendjadi tudjuan segala usaha, untuk memberi keselamatan dan kesedjahteraan kepada rakjat setjara merata?