Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 (UU/2012/8)  (2012) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2012
TENTANG
PENANGANAN KONFLIK SOSIAl

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang:
  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib, damai, dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan agama, diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda;
  2. bahwa perseteruan dan/atau benturan antarkelompok masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional;
  3. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan konflik sosial masih bersifat parsial dan belum komprehensif sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial;


Mengingat: Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
-2Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG SOSIAL. TENTANG PENANGANAN KONFLIK

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda. 5. Pemulihan . . .

2.

3.

4. -35. Pemulihan Pascakonflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat akibat Konflik melalui kegiatan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. 6. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa keluar dan/atau dipaksa keluar oleh pihak tertentu, melarikan diri, atau meninggalkan tempat tinggal dan harta benda mereka dalam jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dari adanya intimidasi terhadap keselamatan jiwa dan harta benda, keamanan bekerja, dan kegiatan kehidupan lainnya. 7. Status Keadaan Konflik adalah suatu status yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang tentang Konflik yang terjadi di daerah kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang tidak dapat diselesaikan dengan cara biasa. 8. Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial adalah lembaga bersifat ad hoc yang dibentuk untuk menyelesaikan Konflik di luar pengadilan melalui musyawarah untuk mufakat. 9. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 10. Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 11. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 12. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 13. Tentara . . . Halaman:UU-7-2012.pdf/4 -5f. g. h. i. j. k. l. m. n. keadilan; kesetaraan gender; ketertiban dan kepastian hukum; keberlanjutan; kearifan lokal; tanggung jawab negara; partisipatif; tidak memihak; dan tidak membeda-bedakan. Pasal 3 Penanganan Konflik bertujuan: a. b. c. d. e. f. g. menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera; memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan; meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan; melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum; memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; dan memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum. Pasal 4 Ruang lingkup Penanganan Konflik meliputi: a. Pencegahan Konflik; b. Penghentian Konflik; dan c. Pemulihan Pascakonflik. Pasal 5 Konflik dapat bersumber dari: a. permasalahan yang berkaitan ekonomi, dan sosial budaya; dengan politik,

b. perseteruan . . . -6b. c. d. perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis; sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi; sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat. BAB III PENCEGAHAN KONFLIK Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya: a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat; b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai; c. meredam potensi Konflik; dan d. membangun sistem peringatan dini. Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

e.

(2)

Bagian Kedua Memelihara Kondisi Damai Dalam Masyarakat Pasal 7 Untuk memelihara kondisi damai dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, setiap orang berkewajiban: a. mengembangkan . . . -7a. mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; c. mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya; d. mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit; e. mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar kebhinneka-tunggal-ikaan; dan/atau f. menghargai pendapat dan kebebasan orang lain. Bagian Ketiga Mengembangkan Sistem Penyelesaian Perselisihan Secara Damai Pasal 8 (1) Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan secara damai. (2) Penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan musyawarah untuk mufakat. (3) Hasil musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikat para pihak. Bagian Keempat Meredam Potensi Konflik Pasal 9 Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan: a. melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat; b. menerapkan . . . -8b. menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; c. melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik; d. mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat; e. menegakkan hukum tanpa diskriminasi; f. membangun karakter bangsa; g. melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan h. menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat. Bagian Kelima Membangun Sistem Peringatan Dini Pasal 10 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem peringatan dini untuk mencegah: a. Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai daerah potensi Konflik; dan/atau b. perluasan Konflik di daerah yang sedang terjadi Konflik. (2) Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penyampaian informasi mengenai potensi Konflik atau terjadinya Konflik di daerah tertentu kepada masyarakat. (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) melalui media komunikasi. Pasal 11 Membangun sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan cara: a. penelitian dan pemetaan wilayah potensi Konflik; b. penyampaian . . . Halaman:UU-7-2012.pdf/9 Halaman:UU-7-2012.pdf/10 Halaman:UU-7-2012.pdf/11 Halaman:UU-7-2012.pdf/12 Halaman:UU-7-2012.pdf/13 Halaman:UU-7-2012.pdf/14 Halaman:UU-7-2012.pdf/15 Halaman:UU-7-2012.pdf/16 Halaman:UU-7-2012.pdf/17 Halaman:UU-7-2012.pdf/18 Halaman:UU-7-2012.pdf/19 Halaman:UU-7-2012.pdf/20 Halaman:UU-7-2012.pdf/21 Halaman:UU-7-2012.pdf/22 Halaman:UU-7-2012.pdf/23 Halaman:UU-7-2012.pdf/24 - 25 kementerian yang membidangi urusan agama; Polri; TNI; Kejaksaan Agung; Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; unsur Pemerintah Daerah dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi yang berkonflik; dan o. instansi pemerintah terkait lainnya sesuai dengan kebutuhan. (3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. tokoh agama; b. tokoh adat; c. tokoh masyarakat; d. pegiat perdamaian; e. wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi; dan f. lembaga masyarakat lain yang terkait sesuai dengan kebutuhan. (4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen). Pasal 50 Penetapan anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1) dengan mempertimbangkan ketokohan, integritas, dan moralitas. Pasal 51 Anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berhenti atau diberhentikan karena: a. masa tugas Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial telah berakhir; b. penggantian personel oleh instansi yang bersangkutan; c. meninggal dunia; d. mengundurkan diri secara tertulis; dan/atau h. i. j. k. l. m. n.

e. melakukan . . . Halaman:UU-7-2012.pdf/26 Halaman:UU-7-2012.pdf/27 Halaman:UU-7-2012.pdf/28 Halaman:UU-7-2012.pdf/29

Lihat pula[sunting]