Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999/Penjelasan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 (UU/1999/31)  (1999) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

1. U M U M

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.

Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan

korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka

tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tsb,

pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting uantuk

pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah

korporasi Sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat

ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana

tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang a.l. adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang

diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang

sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak

asasi manusia dari tersangka atau terdakwa. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan

keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Di samping itu, Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan

wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara ybs., dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada

masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tsb diberikan perlindungan hukurn dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat tsb, Undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tsb di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun

1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam Pasal ini mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tsb tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun apabila perbuatan tsb dianggap tercela karena tidak sesuai

dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Maka perbuatan tsb dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil,

yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur- unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini

dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tsb dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Pasal 3 Kata "dapat" dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2. Pasal 4

Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tsb. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan. Pasal 5 dan Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Dalam ketentuan ini, frasa "Angkatan Laut atau Angkatan Darat yang

dimuat dalam Pasal 388 KUHP harus dibaca "Tentara Nasional Indonesia". Pasal 8 s/d Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan "ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang ini"

adalah baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Pasal 15 Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.

Pasal 16 Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif.

Yang dimaksud dengan "bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan" dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 17 Cukup jelas.

Pasal 18 Ayat (1) huruf a dan huruf b Cukup jelas huruf c

Yang dimaksud dengan "penutupan seluruh atau sebagian perusahaan" adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. huruf d

Cukup jelas. Ayat (2) dan Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3) Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang tsb.

Ayat (4) dan Ayat (5) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengurus"

adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi ybs. Sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Ayat (2) s/d Ayat (7) Cukup jelas Pasal 21 s/d Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25

Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tsb diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan. Pasal 26

Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping). Pasal 27 Yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya",

a.l tindak pidana korupsi di bidang perbankan perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang: a. bersifat lintas sektoral; b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau

c. dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 28

Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap

memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan Instansi terkait. Ayat (2) dan Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan "rekening simpanan" adalah dana yang

dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga (safe-deposit box).

Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh darisimpanan tsb. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 30

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin teriebih dahuiu dari Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pelapor" dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu

tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan

hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "putusan bebas" adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 33 Yang dimaksud dengan "ahli waris" dalam Pasal ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36

Yang dimaksud dengan "petugas agama" dalam Pasal ini adalah hanya petugas Agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan rahasia. Pasal 37

Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tsb

tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Pasal 38

Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim. Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan "Putusan" yang diumumkan atau diberitahukan adalah petikan surat putusan pengadilan.

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan negara.

Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan

untuk menjamin dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi. Pasal 39 Yang dimaksud dengan "mengkoordinasikan" adalah kewenangan Jaksa

Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41

Ayat (1) Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ayat (2) Huruf a s/d Huruf d

Cukup jelas Huruf e Perlindungan hukum terhadap Pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (3) s/d Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam tindak pidana

korupsi dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun premi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 43 s/d Pasal 45

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3874