Lompat ke isi

Tjerita Si Umbut Muda/9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Tjerita Si Umbut Muda diterjemahkan oleh Tulis Sutan Sati
Jang Hilang Sudah Kembali

9. JANG HILANG SUDAH KEMBALI

Kalau boleh siput bertali,
kuseret ketengah rimba.
Kalau boleh hidup dua kali,
kutimbang sekati lima.

Kabar beralih tentang itu — sungguh beralih sanan djuga — beralih kepada si Umbut; tjukuplah tiga hari pepat — majat si Gelang dalam kubur — tumbuh mimpi oleh si Umbut. Apalah nan dimimpikannja — bermimpi kehilangan burung — berasian kehilangan destar. Terbangun si Umbut tidur — lalu djaga ia sekali — menangis mengesak-esak; baru sebentar ia menangis — tibalah pikiran masa itu — lalu turun ia sekali — pergi kesumur mentjutji muka — diambil air sembahjang — berbaljk keatas surau. Serta sudah ia sembahjang — bertanja ia kepada gurunja: „O guru, ja guruku! beri ma'af hamba oleh guru — beri ampun banjak-banjak! Apakah takbir mimpi hamba — hamba bermimpi malam tadi?”

Berkata guru si Umbut: „O bujung, si Umbut Muda! Apakah nan engkau mimpikan? — tjoba katakan kepada hamba — tjoba kabarkan djelas-djelas — supaja kulihat takbirnja.”

Mendjawab si Umbut Muda: „Mimpi hamba malam tadi — bermimpi kehilangan burung — bermimpi kehilangan destar. Apa takbirnja itu guru ? Tjoba katakan oleh guru — supaja senang hati hamba!”

Kononlah guru si Umbut — diambil sekali surat mimpi — dibawa ketengah surau — dibilang-bilang hari bulan — menggeleng-geleng masa itu — sambil mengangguk-anggukkan kepala. Berkata guru si Umbut: „O bujung, si Umbut Muda ! Djika itu engkau mimpikan — buruklah itu takbirnja: Kerugian didalam kampung — engkau kehilangan permainan — kematian bini malah itu.”

Mendengar kata demikian — menangis si Umbut Muda — air mata bagai hudjan lebat — djatuh dua djatuh tiga-bagai intan putus pengarang—bagai manik putus talinja-bagai bonai—direntak pagam.

Berkata guru si Umbut: „O bujung, si Umbut Muda! Djangan hati diperusuh — djangan hati dipermabuk — bujung pulanglah dahulu — berdjalan malah kini-kini — djangan tumbuh umpat dengan pudji — kepada orang sekampungmu.”

Mendjawab si Umbut Muda: „Kalau begitu kata guru — kalau 'lah izin dari guru — hamba pulang malah dahulu. Beri ampun hamba oleh guru — beri ma'af banjak-banjak — hamba balik dahsutu pulang. Tunangan hambalah agaknja — bernama Puteri Gelang Banjak — nan sampai adjulu'llilahnja — waktu sakit hamba berdjalan — sedang letih hamba tinggalkan.”

Berkemas si Umbut Muda — berdjabat salam dengan gurunja — diundjamkan lutut nan dua — ditekurkan kepala nan satu — lalu berdjalan ia sekali.

Berapa lama didjalan — tibalah di Kampung Teberau — tiba ia dirumah ibunja — lalu naik ia sekali. Berkata si Umbut Muda: „O upik, Puteri Rambun Emas — bertanaklah engkau sebentar — menggulailah agak setjetjah — sedjak pagi hari siang — belum menginjam nasi sebutir — mengisap-isap hati hamba — gemetar rasa djantung hamba.”

'Lah bertanak si Rambun Emas — nasi masak gulaipun masak — kopi sudah masak pula. 'Lah makan si Umbut Muda — minum kopi ia sekali. Sudah minum dengan makan — berkata si Rambun Emas: „O tuan, tuan Umbut Muda — benar djua kata tuan — kakak hamba Puteri Gelang Banjak — 'lah mati djua nan djadi — berkubur dibukit Silanggung. Lorong kepada pesan tuan — sudahlah hamba sampaikan — petaruh sudah hamba katakan — semuanja sudah hamba kerdjakan. Serta hilang kak Gelang Banjak — hamba bawakan pajung pandji — hamba bawakan kain kapannja.”

Mendengar kata demikian — menangis si Umbut Muda — air mata iring-gemiring — lalu dibawanja menengadah — hati bagai disajat-sajat — djantung bagai diiris-iris. Berkata si Umbut Muda: „O upik Puteri Rambun Emas — hamba 'kan turun sebentar — kesumur pergi mandi — tidak tertahan panas badan.”

'Lah turun si Umbut Muda — berdjalan melereng bukit. 'Lah sebentar ia berdjalan — 'lah dua bentar antaranja — sampai kepuntjak bukit Silanggung. Dipandang kiri dengan kanan — dipandang hilir dengan mudik — 'lah tampak kubur si Gelang. Tersirap darah didada — terpertjik peluh dikening — mengalir ketulang punggung — air mata iring-gemiring — terentak duduk bermenung. 'Lah sebentar ia menangis—'lah dua bentar ia bermenung — tampaklah seorang anak gembala Berkata si Umbut Muda: „O, bujung kemari sebentar — sukakah bujung hamba suruh — maukah bujung hamba seraja — hamba beri emas setahil. Ambilkan hamba lidi kerambil — lidi kerambil njiur hidjau — nan bernama si lidi gila — ambilkan dua kali tudjuh!”

Mendjawab anak 'rang gembala: „Sedangkan gembala hamba mau konon pula mengambil lidi!"

Setelah dapat emas setahil — berdjalan anak 'rang gembala — mentjari kerambil hidjau. Karena untung pemberi Allah — Tuhan akan menolongnja — belum serentang ia berdjalan — 'lah tampak kerambil hidjau — nan menaruh silidi gila; dipandjatnja kerambil itu silidi diambil sekali lidinja — dibilang dua kali tudjuh. Lidi 'lah sudah diambil — berlari-lari ia balik — berbalik kepada si Umbut; serta tiba ia disana — lalu diberikan lidi itu. Berkata anak 'rang gembala: tuan, tuan Umbut Muda — inilah lidi nan hamba tjari — banjaknja dua kali tudjuh!”

Berkata pula si Umbut: „O bujung anak gembala — sebuah lagi pinta hamba — sebuah lagi kehendak hamba tolonglah tjarikan hamba limau — limau nan tiga sepundjut — limau nan tiga serangkai — tumbuhnja ditepi lubuk — pidjakkan bajang-bajangnja — kuberi kau emas setahil!”

Giranglah anak 'rang gembala — 'lah dua tahil beroleh emas. Berdjalan ia sekali — pergi mentjari limau itu. Karena mudjur anak 'rang gembala — pinta si Umbut akan berlaku — belum serentang ia berdjalan — 'lah nampak limau sebatang — tumbuhnja ditepi lubuk — berbuah tiga sepundjut; lalu dipandjatnja limau itu — dipetiknja buah nan setangkai. Setelah limau dibawa turun — ia berlari kepada si Umbut — serta tiba diberikannja — beroleh pula emas setahil.

Bertanja si Umbut Muda: „O bujung, anak 'rang gembala — beri lurus hamba bertanja! Siapakah punja kubur ini — diatas puntjak bukit ini?”

Mendjawab anak 'rang gembala: „Djika itu tuan tanjakan — ini lah kubur Puteri Gelang Banjak!”

Berkata pula si Umbut: „Kini begitulah oleh bujung — tolonglah hamba sekali ini — tolonglah dengan djerih pajah — tolonglah gali kubur ini — hamba beri pakaian sepersalin!”

Mendengar kata demikian giranglah hati 'rang gembala — emas dapat pakaian dapat; berlari sekali pulang berlari mendjemput tembilang — akan penggali kubur si Gelang. Ada sebentar antaranja — baliklah pula anak gembala; serta tiba ia bersiap — dibuka badju dibadan — disingsingkan tjelana tinggi-tinggi — lalu digalinja kubur itu. 'Lah sebentar ia menggali — 'lah dua bentar ia menggali 'lah tampak biang-biangan[1]. Tjukup tiga bentar ia menggali — 'lah tampak majat si Gelang — lalu ditating keatas kubur. 'Lah ditoreh kotjong kapan — 'lah tampak rupa si Gelang — rupa nan bagai orang tidur — djangankan busuk berbau tidak — djangankan gembur, lisutpun tidak; hanja sebuah sadja tjatjatnja — njawa nan tidak ada — napas dibadan nan hilang.

Berkebun kebukit Sulah,
tumbuhlah kapas muda-muda.
Meski tertimbun dalam tanah,
lamun teras membangun djua.

Berkata si Umbut Muda: „O bujung 'rang gembala — minta tolong hamba kepada bujung — djemputkan apalah hamba air — bawakan tjawan sebuah.

Berdjalan anak 'rang gembala — pergi mendjemput air; tidak lama antaranja — 'lah tampak ia berbalik — membawa air seperian — serta dengan tjawan sebuah — diberikannja kepada si Umbut. Berkata pula si Umbut: „O, bujung 'lah pajah menolong — inilah ringgit sepura — sedekah hamba pada bujung — pergi bujung menggembala — pergilah lihat kerbau awak.”

'Lah berdjalan anak 'rang gembala — bergegas si Umbut Muda — dibakar kemenjan putih — asap mendjulang keatas langit — harum setimbang dengan negeri ditjutjutkan air ketjawan — disajat-sajat pula limau — diremas-remas dalam tjawan. Mendo'a si Umbut Muda — berkaul kepada jang keramat — meminta kepada jang akan dapat — berkata si Umbut Muda:

„Titian di Kota Ketjil,
dibuang orang Talang Enau.
Berdasun beriada ketjil,
Berlidi keranrbii hidjau.”

Sekali melajang limau — terangkat daki si Gelang; dua kali melajang limau — bertjahaja sampai kelangit — kelangit berbajang kuning — kelaut berbajang merah — kedunia mengelimantang.

Diambilnja air sembahjang — ditariknja pula lidi tadi — ditjambuk empu kaki si Gelang — mendenjut keubun-ubun. 'Lah bergerak si Gelang Banjak — di

x-small

tjambuk sekali lagi — 'lah duduk si Gelang Banjak — diembus umbun-umbunnja — tahu berunding ia sekali — tahu bertutur dengan si Umbut. Berkata si Gelang Banjak:

„Tak kusangka akan kegua,
kegua djua malah kiranja.
Tak kusangka akan bersua,
bersua djua malah kiranja.”

Mendjawab si Umbut Muda: „Adikku Puteri Gelang Banjak:

Berbilang dua kali lima,
berbilang dengan buku djari.
Hilang adik sekian lama,
apa djua jang kautjari ?”

Mendjawab Puteri Gelang Banjak:

„Berbilang dua kali lima,
berbilang sampai sembilan.
Hilang nan sekian lama,
tak tjerai hamba dengan tuan!

Dengarkan djua oleh tuan:

Damar padam haripun terang,
orang dilurah kematian,
kepekan membeli kain,
dapat merekan pandjang lima,
selasih berdjurai daun.

Njawa padam, tubuhpun hilang,
'lah merah tanah penggalian,
berderum air penalakin,
tertegak nisan nan dua,
kasih 'kan tuan tjerai belum.

Ramai pasar 'rang Suliki,
tempat berdjual-beli minjak.
Barang kemana tuan pergi.
hilang dimata, lupa tidak.

Pisang ketela pisang rotan,
putjuk diguntjang-guntjang balam.
Allah djua siang malam,
terkenang djua siang malam.

Gedang air telentang pandjang,
kersik kesawah 'rang Suliki,
bertjampur dengan daun talang.
Angan-angan ke tuan seorang,
kasih nan boleh tahan udji,
sajang nan boleh tahan timbang.

Elang didjungut batu mandi,
menjambar ajam sambil terbang.
Batang tubuh boleh diganti,
rupa tiada kundjung hilang.

Punai dibukit Tambun Tulang,
kena getah dua-dua.
Ruman tidak mau hilang,
rasa dimata tampak djua.

Mengabut api Pulau Pundjung,
orang memarun rimba raja.
Maksud hati hendak bergantung,
tuan enggan, apakan daja!”

Berkata si Umbut Muda:

„Tinggi bukit Gunung Padang,
tempat orang bertanam tjekur.
Sedjak adik terdengar hilang,
hamba nan tidak lelap tidur.

Singkarak djalan ke Muara,
djalan orang membeli padi.
Hati rusak, badan binasa,
untunglah pandai main budi.

Tjutjilah kain dengan sabun,
bawa keair buang daki.
Adik sepantun kasah embun,
hilang dengan apa'kan diganti.

Lajang-lajang menjambar buih,
dibalik pulau Angsa Dua.
Kasih sajang ditjari boleh,
tempat hati larang bersua.

Kalau terkenang 'rang di Pandan,
mati kesturi dalam katja.
Kalau terkenang 'rang ditolan,
tidur bertilam air mata.

Kalau 'ndak tahu diladang padi,
ke Panti djalan ke Tjubadak.
Kalau 'ndak tahu disajang kami,
lihatlah api makan dedak.

Hari Ahad pukul sebelas,
orang melepas lajang-lajang.
Adik kandung djanganlah tjemas,
tidak berubah kasih sajang.

O upik Puteri Gelang Banjak — dengarkan benarlah oleh kau! Marilah kita balik pulang — ibu'lah angus dengan rindu — bapak 'lah kurus kira-kira.”

Mendjawab si Gelang Banjak:

„Ketebing hambapun suka,
kononlah kelurah pula.
Terbaring hamba lagi suka,
kononlah berdjalan berdua.

Orang membatja surat nahu,
dibatja sambil berdiri.
Hilang dengan njawa hamba mau.
hanjalah tuan takut mati.”

Mendjawab si Umbut Muda:

„Sedjak semula hamba latakkan,
tidak diletak dalam padi,
pandan djua meladungkan.

Sedjak semula hamba katakan,
tidak diletak dalam hati,
badan 'kau djua menanggungkan.

Senduduk 'rang Limbanang,
dipepat dikabung tudjuh.
Dimana hidup akan senang,
malah diperbuat nan merusuh.

Djika tidak hudjan dihulu,
tidaklah ara berapungan.
Djika tidak enggan dahulu,
tidaklah begini penanggungan.

Lubuk dangkal, ikannja djinak,
sanalah pandan muda-muda.
Awal dikenal, achir idak,
sanalah badan maka binasa.

Sekarang beginilah nan elok — kita hentikanlah dahulu — tak usahu dibintjang djua — tak usah diulang djua. Marilah kita pulang kerumah —berdjalan kita kini — sebab hari 'lah rembang petang — usah kita lalai djua — supaja senang hati bapak — supaja suka hati ibu — supaja tahu orang dikampung — 'kau sudah kembali hidup.”

Akan bagaimana pulatah lagi — berdjalan si Umbut Muda — berdjalan berdua-dua — berdua dengan si Gelang. Lama lambat ia didjalan — tibalah dikampung si Gelang — ialah diranah Kampung Aur. Ibu si Gelang sedang dirumah — sedang bermenung tentang pintu. Serta tampak si Gelang melintas — hilang rasanja darah didada — berkata ia kepada lakinja: „O tuan bapak si Gelang — itu serupa si Gelang Banjak — itu seroman anak kita; lihatlah ketengah djalan —pandanglah ke tengah lebuh!”

'Lah menengok bapak si Gelang — melihat ketengah lebuh — 'lah tampak si Gelang Banjak. Tertjengang bapak si Gelang — dipatut-patut dengan 'akal — tidak mungkin itu anaknja. Berkata bapak si Gelang: „Bingung benar malah 'kau — anak kita sudah — 'lah mati — masakan ia hidup pula. Penglihatan 'kau banjak nan seroman — penuh orang jang serupa.

Kalau boleh siput bertali
kuseret ketengah rimba.
Kalau boleh hidup dua kali,
kutimbang sekati lima!"

Berdjalan djua si Gelang — si Umbut berundung-undung — menempuh ranah Kampung Aur. 'Lah sebentar ia berdjalan — lepaslah dari Kampung Aur — tiba di Kampung Teberau — lalu naik ia sekali — ialah kerumah ibu si Umbut.

  1. Membajang