Tjerita Si Umbut Muda/6
6. DIMABUK UMBUT
Guruh petus penuba limbat,
limbat dituba 'rang seberang.
Tudjuh ratus tjarikan obat,
badan bertemu muka senang.
Kabar beralih tentang itu — sungguh beralih sana djua. 'Lah sehari sudah itu — 'lah dua hari antaranja — 'lah sakit si Gelang Banjak — sakit tidak bangun lagi; nasi dimakan rasa sekam — air diminum sembiluan. Banjaklah dukun nan mengobat — banjak penawar dikenakan — obat sudah sepenuh rumah — penawar sudah bertjawan-tjawan — penambal sudah bertimbun-timbun — djangankan sakit 'kan sembuh — malah semakin dalam. Hilanglah 'akal bapaknja — 'lah mabuk hati ibunja — emat budi habis bitjara — melihat si Gelang Banjak. 'Lah sehari si Gelang sakit — 'lah dua hari ia terletak — tjukuplah tiga harinja — tumbuh pikiran oleh bapaknja — terbuka hati ibunja ditanjai si Gelang Banjak: „O upik Puteri Gelang Banjak! Apamukah jang sakit? Tjoba katakan kepada kami supaja tentu nan 'kan ditjari — kalau ada nan 'kan diminta.”
Mendjawab si Gelang Banjak: „Tidak tentu mana jang sakit — badah serasa bajang-bajang — darah hamba tersembur-sembur — hati hamba berdebar-debar — kepala rasakan petjah — nasi ditelan rasa duri — air diminum pahit-pahit. Hamba ingin akan Umbut — tjarikan apalah hamba umbut — diranah Kampung Teberau!”
Mendengar kata demikian — berkata ibu si Gelang: „O tuan bapak si Gelang — o, tuan bapak si Upik! Pergi djuga tuan kesana — pergilah berlekas-lekas — djangan berlalai-lalai djua — ambilkan umbut nan diminta — dikeranah Kampung Teberau — entah 'kan sungguh djadi obat.
Akan bagaimana pulatah lagi — berdjalan bapak si Gelang — berdjalan bergulut-gulut — berdjalan bergegas-gegas — keranah Kampung Teberau. 'Lah sebentar ia berdjalan — 'lah dua bentar ia berdjalan — dekat semakin 'kan hampir — hampir dekat 'kan tiba — 'lah tiba ia disana — diranah Kampung Teberau. Ditjari umbut teberau — sesudah dapat dibawa pulang; berdjalan bergulut-gulut — hati tjemas darah tak senang; si Gelang sakit ditinggalkan. Setelah tiba ia dirumah — dibangunkan si Gelang Banjak: „O, upik bangunlah — bangun — ini umbut sudah dapat.”
Mendengar kata bapaknja — umbut ditjari telah dapat — 'lah bangun si Gelang Banjak — 'lah tahu duduk sekali. Dilihat-lihat dipandangi — 'lah nampak umbut teberau — meradjuk berbalik tidur — mengempas-empaskan badan — meletjut-letjutkan diri — memukul-mukul kepala. Berkata si Gelang Banjak: „Bodoh benar malah bapak — bingung benar malah kiranja! Ke Kampung Teberau kusuruh tjari — umbut teberau jang diambil!”
Karena mengempas-empaskan badan — semakin sakit si Gelang Banjak — kadang ingat kadang tidak — kadang mengigau tak bertentu. Berkata si Gelang Banjak — berkata sambil menangis: „Kalau kehendak tidak dapat — 'kan mati malah badan diri:
Kaju kelat tumbuh dihilir,
berurat berbanir tidak.
Obat djauh, penjakit hampir,
bertawar selilir tidak.”
Berkata bapak si Gelang: „O upik, anakku sajang — katakan benarlah olehmu — kabarkan benar djelas-djelas! Apa nan akan hamba tjari — apa nan akan hamba ambil? Djauh boleh kami djemput — hampir boleh kami djangkau — tergantung boleh kami kait — asal sakit akan senang.”
Mendjawab si Gelang Banjak: „Djika iba bapak — djika sajang pada hamba — djika sakit hendak diobat — tjarikan malah hamba umbut — nan sama tinggi dengan hamba — nan sama gedang dengan hamba — keranah Kampung Teberau. Sebagai lagi petaruh hamba, lorong kepada umbut itu — tumbuhnja sebatang sadja — tidaklah boleh ia dibeli — tidaklah ia dapat ditukar!”
Serta mendengar kata itu — berdiri bapak si Gelang — berdjalan turun sekali — keranah Kampung Teberau. 'Lah serentang perdjalanan — 'lah dua rentang perdjalanan — hampir semakin 'kan dekat — dekat hampir 'kan tiba — tibalah ia disana — diranah Kampung Teberau. Duduk bermenung ia sebentar — tegak berpikir seketika — dibakar rokok sebatang — dikunjah sirih sekapur. Sedang dapat agak-agak — sedang datang kira-kira — berkata bapak si Gelang: „Umbut apa nan akan kuambil — umbut apa nan akan ditarik? Djika kuambil umbut pisang — umbut pisang penuh dirumah — tidak sama besar dengan dia.” Termenung pula ia kembali. Baru sebentar ia bermenung — dua bentar ia tertegun — memandang hilir dengan mudik — melihat kekiri dan kekanan — tampaklah enau sebatang. Berlari-lari ia kesana — ditebang sekali enau itu — lalu diambil umbutnja — diukur setinggi si Gelang. Umbut 'lah sudah diambil — berkata bapak si Gelang: „Nan dapat sekali ini — takkan mungkir lagi rasanja!”
Umbut enau dipikul pulang — berdjalan bergegas-gegas — berdjalan bergulut-gulut; napas sudah gedang ketjil — peluh 'lah menganak sungai — mengalir ketulang punggung — karena berat umbut itu. 'Lah serentang perdjalanan — 'lah dua renteng perdjalanan — hampir semakin 'kan dekat — dekat hampir 'kan tiba — tibalah ia tengah malam. Dientakkannja umbut itu — diletak dibawah lumbung — lalu naik sekali. 'Lah sebentar tengah rumah — berkata bapak si Gelang: „O upik, Puteri Gelang Banjak — upik djagalah dahulu — itu umbut sudah dapat — nan sama besar dengan engkau — nan tingginja setinggi 'kau — kubawa dari Kampung Teberau. Itulah dia tengah halaman — tindjaulah kepintu gerbang! — lihatlah kebawah lumbung!
Kononlah si Gelang Banjak — serta mendengar umbut dapat — hilang sekali penjakitnja; tegak ia kepintu gedang — lalu menindjau kehalaman — melihat ia kekiri kanan — memandang lalu kebawah lumbung; 'lah terputih umbut enau — 'lah terbelintang tengah halaman. Berbalik si Gelang tidur — mengempas-empaskan awak — meletjut-letjutkan badan — memukul-mukul badan — didemuk dada nan djadjai — mengesan djari nan sepuluh — sebelas dengan bentuk tjintjin. Berkata si Gelang Banjak: „Bingung benar malah bapak — bodoh benar malah kiranja — umbut enau pula bapak bawa — apa gunanja pada hamba? Bagaimanakah bapakku ini — makanja sebingung ini — maka tak tahu kata kias — maka tak tahu kilat kata — 'kan mati djua hamba gerangan.”
Berkata bapak si Gelang: „O upik, anakku sajang! Umbut apakah akan ditjari — umbut apa 'kau kehendaki ? Katakan benarlah sungguh-sungguh — katakan benar kata hati — usah engkau sembunji² usah disimpan² djua — supaja tentu nan 'kan ditjari — supaja tentu nan 'kan diturut; djika djauh kami djemput — djika mihal akan dibeli — asal sakit akan senang.”
Mendjawab si Gelang Banjak: „O bapak, dengarlah bapakku! kalau bapak iba 'kan hamba — kalau bapak sebenar sajang — kalau ada hati hendak mengoba — berhelat besarlah bapak — bantailah kerbau empat lima — tumbangkan rengkiang dua tiga — panggil orang Kampung Teberau — besar ketjil tua muda — laki-laki perempuan — baik imam baikpun chatib — sapu lantaikanlah memanggil!”
Mendengar kata demikian — bermenung bapak si Gelang — dipikir-pikir diheningkan — ditimbang-timbang dalam hati — diturut djuga kata anak — dipanggil orang Kampung Teberau — besar ketjil tua muda — laki-laki perempuan hilir nan serentak galah — mudik nan serangkuh dajung — seberang-menjeberang. Djika djauh kulangsing[1] datang — djika hampir dipanggilan tiba — malam dipanggil dengan surat — seranah Kampung Teberaunja. Allahu Rabbi banjak orang.
Tak termuat didaun talas,
didaun terung penuh pula.
Tak termuat pada nan luas,
pada nan lekung penuh pula.
Dari djauh djamu 'lah datang — nan hampir djamu 'lah tiba — dari bukit orang menurun — dari lurah orang mendaki — nan buta datang berpimpin — nan lumpuh datang berdukung — nan pintjang tertendjak-tendjak. Helat sudah sepenuh rumah — tuanku sela-menjela — malim sudah tiap sudut — penghulu berbilang puluh — orang ranah Kampung Teberau. Berkata bapak si Gelang: „O upik Puteri Gelang Banjak — Bangunlah upik bangunlah — djagalah anak djagalah! — lihatlah helat sudah tiba — mengapa engkau tidur djuga — sudahkah senang sakit 'kau?”
Lah bangun si Gelang Banjak — lalu ia duduk sekali — berdjalan turun kebawah — dibasuh muka seketika — 'lah naik pula berbalik. Giranglah hati bapak kandung — melihat si Gelang Banjak — 'lah pandai berdjalan-djalan — 'lah pandai mengganti kain.
Ada sebentar antaranja — kononlah Puteri Gelang Banjak — dipandang hilir dengan mudik — dilihat ketengah dan ketepi; pandang djauh dilajangkan — pandang hampir ditukikkan — pandang rusuk digendengkan. 'Lah tampak ummat semua — besar ketjil tua muda — laki-laki perempuan — baik imam dengan chatib — baik manti dengan penghulu — pegawai sukar dibilang — 'rang ranah Kampung Teberau. Seorang sadja nan tak nampak — seorang sadja nan tak datang — si Umbut Muda jang tak ada. Berbalik si Gelang tidur — lelap nan tidak djaga lagi — sakitnja semakin sangat — herangnja berbuah-buah.
„Kaju kelat tumbuh dihilir,
berurat berbanir tidak.
Obat djauh penjakit hampir,
bertawar selilirpun tidak.”
katanja si Gelang Banjak.
Mendengar kata demikian 'lah hilang 'akal bapaknja — habis tenggang kelakar — habis budi dengan upaja — melihat anak kandung diri. Terhenjak duduk dilantai — bermenung ditiang pandjang — menangis mengesak-esak — hati rusuh bertjampur iba — awak djerih djasa tidak. 'Lah sebentar ia menangis — timbul pikiran dalam hati — diimbau ibu si Gelang — dibawa duduk berunding - dibawa beria-ria. Berkata bapak si Gelang: „O ibu si Gelang Banjak! Kini begitulah nan baik — tjoba tanjai pula oleh 'kau — ape benar nan dihatinja — apa benar nan kehendaknja — kehendak si Gelang Banjak. Tioba beli benar mulutnja — tunai benarlah bitjaranja. Konon hamba engkau harapkan — tak dapat olehku lagi — 'lah hilang 'akal dan budi — 'lah sempit kira-kira hamba; boleh djadi kalau pada kau dia mau mengatakan — dia mau membukakan — apa benar dihatinja.”
Kononlah ibu si Gelang — orang tjerdik tjendekia — orang djauhari bidjaksana — mendengar kata demikian, rasa terbajang dalam hatinja, rasa terkira dipikiran — mengapa anak djadi sakit — mengapa si Gelang djadi begitu. Didekati anak nan sakit, lalu berkata ibu si Gelang: „O upik Puteri Gelang Banjak! katakan benarlah oleh 'kau — kabarkan benar habis-habis — usah 'kau sembunji-sembunji — usah 'kau mengendap-endap. Apa 'kau benar nan sakit — apa obat akan ditjari — apa benar kehendak 'kau? Hamba minta kata putus — katakan sungguh kata hati; djika tidak 'kau katakan — tak kau terangkan djelas-djelas —kuamuk badanku kini — supaja senang hati 'kau!”
Ibu si Gelang berlari kebilik dalam — dibuka peti nan gedang — ditarik rentjong sebilah — tadjam jang bukan alang-alang — bisanja bangun sekali — tidak ketawaran — djedjak ditikam mati djua. Disentak rentjong sekali — berlari ketengah rumah — ditudjukan rentjong keleher — sebagai orang akan menikam.
Serta tampak oleh si Gelang — ibunja hendak mengamuk — hendak mengamuk badan diri — tjemas sungguh dalam hati — takut bertjampur ngeri. Memberongsang si Gelang bangun — direbut rentjong ditangan — dirampas dari tangan ibu — lalu ditjampakkan dihalaman.
Kononlah si Gelang Banjak — 'lah sesak rasa kira-kira — 'lah emat budi bitjara — habis tenggang dengan kelakar.
'Lah masak padi di Biara,
diambil akan galu-galu,
tak boleh mengubik lagi.
Tersesak padang kerimba,
terentak ruas kebuku,
tak dapat menjuruk lagi.
'Kan dikatakan rasa malu — tak dikatakan ibu mengamuk. Dikatakannja djua jang djadi — apa nan isi hati ketjil: „O ibu, udjarku ibu, —dengarkan benar ibu — dengarkan hamba ber'ibarat:
Guruh petus menuba limbat,
limbat dituba 'rang seberang.
Tudjuh ratus tjarikan obat,
bersua tuan Umbut maka senang.”
Mendengar kata demikian berkata ibu si Gelang — berkata kepada tuannja: „O tuan bapak si Gelang — berhelatlah sekali lagi — turunkanlah padi dilumbung — tjekaulah kerbau dikandang — djemput si Umbut Muda — keranah Kampung Teberau.”
Akan bagaimana pula lagi — berdjalan bapak si Gelang — berdjalan bergegas-gegas — keranah Kampung Teberau — dibawa tjerana sekali. 'Lah serentang perdjalanan — 'lah dua rentang perdjalanan — tjukup tiga rentang pandjang —dekat semakin 'kan hampir — hampir dekat 'kan tiba — 'lah tiba ia disana — diranah Kampung Teberau — dirumah ibu si Umbut. Mengimbau bapak si Gelang: „O Umbut dengarlah dengar ada dirumah engkau kini?”
Mendengar orang mengimbau — menindjau adik si Umbut — bernama Puteri Rambun Emas. 'Lah tampak bapak si Gelang — berkata si Rambun Emas: „O bapak, udjarku bapak: Tjempedak tengah halaman,
didjo'ok dengan empu kaki.
Djangan lama tegak dihalaman,
itu tjibuk basuhlah kaki.
bapak naiklah dahulu!”
'Lah naik bapak si Gelang — 'lah timbang sela menjela — 'lah duduk bersirih-sirihan — 'lah duduk berpinang-pinangan — makan sirih sekapur seorang, habis manis sepuh terbuang — kelat tinggal dirangkungan — rasanja habis terlulur — sarinja keubun-ubun. Sedang elok pertuturan — sedang longgar perkabaran — diangsur sekali rundingan. Berkata bapak si Gelang:
„Bukan hamba Kenari sadja,
Kenari anak 'rang Talang.
Bukan hamba kemari sadja,
besar maksud nan didjelang.
Dengarkan sebuah lagi:
„Bukan hamba kerimba sadja,
kerimba menebang sampil.
Bukan hamba kemari sadja,
kemari datang memanggil.
memanggil si Umbut Muda — dimanakah ia sekarang?”
Mendjawab Puteri Rambun Emas: „Djika itu bapak tanjakan — djika itu bapak maksud — ia ada dirumah kini — ia tidur diatas andjung — baru sebentar ini tidur.” Berkata bapak si Gelang: „Tolong benarlah bapak ini — tolong bersusah engkau sebentar — tolong apalah bangunkan ia — katakan hamba datang memanggil — terbawa djua kini hendaknja. Katakanlah elok-elok benar!”
Mendjawab si Rambun Emas: „O bapak, udjarku bapak — usah bapak marah nanti — eloklah marah kini-kini. Bukan hamba segan menolong — bukannja enggan diseraja; takutlah hamba mendjagakannja — takutlah hamba membangunkan — sebab dia tidur — pulang mendo'a tadi malam. Bapak berbaliklah dahulu — bapak pulanglah dulu — nanti hamba katakan padanja — bapak datang memanggil.”
Mendjawab bapak si Gelang: „Djika itu djawab engkau — biar disini hamba nantikan — sampai si Umbut terbangun; makanja senang hati hamba — seiring djua kami berdjalan.”
Berkata si Rambun Emas: „Itu djangan bapak rusuhkan — itu djangan bapak risaukan — malah ia terbangun nanti — hamba suruh berdjalan sekali — tidakkan berapa lamanja — berdjalan sedekat ini!”
Mendengar kata demikian — 'lah menurut bapak si Gelang — lalu turun berdjalan pulang. 'Lah serentang perdjalanan — 'lah dua rentang perdjalanan — tibalah ia tengah halaman — lalu naik ia sekali. Bertanja si Gelang Banjak: „O bapak, udjarku bapak — manatah orang nan didjemput — manatah orang nan dipanggil — makanja belum tiba djua — apa sebabnja tak terbawa?”
Mendjawab bapak si Gelang: „Kuturut benar kerumah ibunja — kupergi benar kekampungnja — keranah Kampung Teberau — bersua si Umbut sedang tidur. Kusuruh djagakan oleh adiknja — takut ia membangunkan — sebab si Umbut baru tidur — pulang mendo'a malam tadi. Tapi ada bapak berdjandji — dengan Puteri Rambun Emas — menjuruh bangunkan lekas-lekas — menjuruh kemari bangat-bangat.”
- ↑ Sirih jang dikerunjutkan berisi pinang didalamnja, suatu tanda untuk panggilan berhelat.