Lompat ke isi

Tata Bahasa Minangkabau/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB II

SITUASI UMUM BAHASA MINANGKABAU

2.1 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Minangkabau

Bangsa Indonesia merupakan masyarakat dwibahasa. Di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. bangsa Indonesia menggunakan pula bahasa daerah. Bahkan Minangkabau merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan berkembang di kawasan negara Republik Indonesia. Bahasa Minangkabau termasuk salah satu dari sepuluh besar bahasa-bahasa daerah.

Bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai kedudukan dan fungsi masing-masing dalam masyarakat Indonesia. Jika bahasa Indonesia berkedudukan ganda sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa resmi negara, maka bahasa Minangkabau hanya berkedudukan sebagai bahasa daerah. Fungsi bahasa Minangkabau dapat dibedakan dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia dan kedudukannya sebagai bahasa daerah.

Bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah berfungsi: (a) sebagai lambang kebangsaan daerah Sumatera Barat dan pendukung perkembangan kebudayaan Minangkabau; (b) sebagai lambang identitas daerah Sumatera Barat dan masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia; dan (c) sebagai alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat Minangkabau dalam komunikasi lisan; juga komunikasi lisan antaretnis di Sumatera Barat. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa Minangkabau berfungsi : (a) sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan di Sekolah Dasar untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, (b) sekaligus berfungsi sebagai alat pendukung pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan (c) sebagai alat pengembangan serta pendukung kebudayaan nasional di daerah Sumatera Barat.

Kedudukan dan fungsi bahasa Minangkabau sebagaimana dikemukakan di atas menjadi bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa daerah yang penting di kawasan Nusantara. Penting tidaknya bahasa Minangkabau dapat juga didasari oleh patokan: (1) jumlah penuturnya, (2) luas penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan budaya lain yang dianggap bemilai.

Jika jumlah penuturnya dijadikan patokan, maka bahasa Minangkabau berkaitan erat dengan jumlah penduduk di Sumatera Barat dan para perantau Minangkabau.

Naim (1975) dalam penelitiannya memperkirakan perantau Minangkabau di luar Sumatera Barat seimbang dengan jumlah penduduk Sumatera Barat. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 1971, penduduk Sumatera Barat berjumlah 2.788.388 jiwa dan pada saat itu jumlah bangsa Minangkabau berjumlah 5.437.868. Jika tingkat kenaikan penduduk rata-rata 2,1 % setahun maka diperkirakan jumlah penduduk tahun 1989 adalah 4.053.398 jiwa. Jumlah perantau Minangkabau di luar Sumatera Barat pada tahun 1971 seimbang dengan penduduk Sumatera Barat, sehingga suku bangsa Minangkabau pada lahun 1989 diperkirakan berjumlah 8,1 juta jiwa.

Jumlah penutur bahasa Minangkabau diperkirakan lebih lagi dari jumlah tersebut. Asumsi ini didasarkan kepada suku bangsa lain yang berdiam di Sumatera Barat menggunakan bahasa Minangkabau dalam pergaulan sehari-harinya, jika ia berkomunikasi dengan suku bangsa Minangkabau. Perkawinan campuran di kota-kota besar antara etnis Minangkabau dengan etnis lain masih memungkinkan digunakannya bahasa Minangkabau, karena bahasa Minangkabau diperlukan untuk berkomunikasi dalam hubungan kekeluargaan pihak suami/istri. Asumsi lain jalah digunakan pula bahasa Minangkabau di Negeri Sembilan, Malaysia, mengingat adanya kesamaan asal budaya dan keturunan.

Jika luas penyebaran bahasa Minangkabau dijadikan patokan maka wilayah penggunaan bahasa Minangkabau tidak kalah dengan bahasa Indonesia. Penutur bahasa Minangkabau berada di seluruh pelosok tanah air, bersamaan dengan tempat tinggal para perantau suku bangsa Minangkabau. Tingkat migrasi suku bangsa Minangkabau merupakan yang tertinggi dari seluruh suku bangsa di Indonesia, bahkan ada parneo yang mengatakan bahwa “di setiap keramaian ada warung nasi padang” dan “di sekitar warung nasi padang, banyak orang Padang”.

Peranan bahasa Minangkabau sebagai sarana ilmu, susastra dan uangkapan budaya lainnya, memang terbatas di ruang lingkup kebudayaan dan adat-istiadat Minangkabau saja. Namun, jika dipertimbangkan banyaknya sastrawan-sastrawan Indonesia berasal dari suku bangsa Minangkabau, terutama pada masa-masa awal pertumbuhannya maka memungkinkan pula banyaknya pengaruh bahasa Minangkabau terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa daerah yang terpenting di samping Indonesia.

2.2 Ragam Bahasa Minangkabau

Dalam rangka pengenalan ragam bahasa dapat dikenali melalui golongan penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Ragam yang ditinjau dari sudut pandangan penutur dapat diperinci menurut patokan (1) daerah, (2) pendidikan, dan (3) sikap penutur. Adapun ragam bahasa menurut jenis pemakainnya dapat diperinci menjadi: (1) ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan, (2) ragam menurut sasarannya: dan (3) ragam yang mengalami Gangguan pencampuran.

Secara tradisional, masyarakat Minangkabau membedakan wilayahnya menjadi darek (darat) sebagai daerah pemukiman tertua Suku bangsa Minangkabau, dan daerah rantau sebagai dacrah pemukiman baru. Daerah datar terdiri atas tiga luhak (wilayah), yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. adapun dacrah rantau adalah daerah-daerah pesisir pantai barat dan timur Sumatera. Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, secara tradisional bahasa Minangkabau dikelompokkan pula menjadi empat macam dialek, yakni: (1) Dialek Tanah Datar, (2) Dialek Agam, (3) Dialek Lima Puluh Kota, dan (4) Dialek Pesisir.

Sejak tahun 1979 telah dilakukan beberapa penelitian yang menitikberatkan pada objek dialektologi georafis secara sinkronis dengan penekanannya dalam bidang fonetis dan leksikal. Dari penelitian tersebut untuk sementara telah disimpulkan adanya beberapa dialek bahasa Minangkabau, yakni: (1) Dialek Pancung Soal, di bagian selatan Kabupaten Pesisir Selatan, (2) Dialek Kubung Tigo Baleh, di Kabupaten Solok, Kota Madya Padang, dan bagian utara Kebupaten Pesisir Selatan, (3) Dialek Pariaman, di Kabupaten Padang Pariaman dan bagian barat Kabupaten Agam, (4) Dialek Pasaman, di bagian barat dan selatan Kabupaten Pasaman, (5) Dialek Mapat Tunggul, di bagian timur Kabupaten Pasaman, (6) Dialek Rao-Talu, di bagian utara Kabupaten Pasaman, (7) Dialek Sinurut, di bagian utara dan barat Kabupaten Pasaman. Penelitian belum dilakukan terhadap daerah pemukiman asli di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Namun untuk sementara dialek bahasa Minangkabau dapat ditambahkan, menjadi (8) Kelompok Dialek Tanah Datar, (9) Kelompok Dialek Agam, dan (10) Kelompok Dialek lima puluh Kota. Jika ditambahkan dengan di luar Sumatera Barat dewasa ini yang dipercayai masyarakat Minangkabau tempat berdiam suku bangsa Minangkabau, maka dialek bahasa Minangkabau itu setidak-tidaknya menjadi (11) Dialek Muko-muko, di bagian utara Provinsi Bengkulu, (12) Dialek Kerinci-Jambi, di bagian utara dan barat Provinsi Jambi, (13) Dialek Kampar, di Provinsi Riau, (14) Dialek Natal, di sepanjang pantai barat Provinsi Sumatera Utara, (15) Dialek Tapak Tuan, di sepanjang pantai barat Provinsi Aceh, dan (16) Dialck Negeri Sembilan, di Malaysia,

Ragam bahasa Minangkabau jika ditilik dari patokan pendidikan formal para penuturnya, boleh dikatakan tidak ada perbedaan ragamnya. Hai ini disebabkan bahasa Minangkabau tidak digunakan sebagai sarana pendidikan, berbeda halnya dengan bahasa Indonesia yang memungkinkan timbulnya ragam bahasa disebabkan tingkat pendidikan formal para penuturnya.

Dalam hal ragam bahasa menurut sikap penutur yang biasanya disebut dengan langgam atau gaya, dapat dibedakan berdasarkan patokan status, kedudukan, dan situasi penggunaan bahasa. Dari sudut ini dikenal beberapa ragam bahasa Minangkabau, seperti: (1) Ragam Bahasa Surau, yang ditemukan dalam wirid-wirid pengajian agama Islam di Mesjid, Surau, dan Madrasah: kekhasan ragam ini ditandai dengan struktur kalimat dan kosa kata pengaruh bahasa Arab: (2) Ragam Bahasa Adat, yang ditemukan pada pertemuan atau musyawarah para penghulu, baik pada situasi kenduri perkawinan, mendirikan penghulu, dan keramaian formal lainnya; kekhasan ragam ini ditandai dengan keteraturan pilihan kata yang bernilai kesusastraan; (3) Ragam Bahasa Parewa, yang ditemukan pada pembicaraan-pembicaraan informal, guyonan, ejekan di warung-warung kopi, pos-pos ronda, gubuk-gubuk di sawah terutama ketika panen, dan tapian mandi pada wanita; kekhasan ragam bahasa ini ditandai munculnya kosa kata kerbau pomo dan kasar; dan (4) Ragam Bahasa Biasa yang ditemukan dalam percakapan sehari-hari.

Sebagaimana lazimnya setiap bahasa yang mempunyai ragam bahasa jika ditinjau dari sudut pergaulannya dan profesinya, maka dalam bahasa Minangkabau pun ditemukan pula ragam bahasa yang mempunyai kekhasan dalam pemilihan kosa kata dan ungkapan, seperti ragam bahasa nelayan, petani, pedagang, tukang, pamong praja, guru, seniman, dan lain-lain. Memang bagi yang tidak cermat mengamati bahasa Minangkabau, kekhasan itu tidak segera ditemukan. Namun, sering pula dua orang yang baru kenal akan mengenal profesi lawan bicaranya setelah mengamati bahasa yang digunakannya, sebagaimana juga orang akan mengenali daerah asal si penutur bicaranya.

Bahasa Minangkabau sebagaimana bahasa lainnya membedakan juga adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan, walaupun ragam bahasa tulisan terbatas pada ragam bahasa susastra "kaba" saja. Begitu juga dengan ragam bahasa Minangkabau akibat percampuran dengan bahasa-bahasa lain akibat pergaulan para penutumya ataupun pendidikannya.

2.3 Dialek Standar dan Bahasa Minangkabau Umum

Dari enam belas dialek bahasa Minangkabau sebagaimana dikemukakan di atas, secara teoritis salah satu di antaranya merupakan dialek standar. Dialek standar mempunyai ciri-ciri bila dua orang penutur yang berasal dialek yang berbeda akan menggunakan salah satu dialek yang ada. Faktor yang mendorong menggunakan salah satu dialek itu, antara lain untuk menghilangkan hambatan psikologis, kekakuan komunikasi, dan untuk menghilangkan salah satu pengertian. Oleh sebab itu dialek standar berfungsi sebagai penengah di antara dialek-dialek yang ada dalam suatu bahasa. Para penyelidik bahasa di akhir abad XIX dan awal abad XX berkesimpulan bahwa dialek Agam merupakan dialek standar bahasa Minangkabau, Hal itu berhubungan dengan fungsi Bukitinggi, kota di wilayah Agam, sebagai pusat berbagai kegiatan masyarakat yang ditandai dengan adanya Sekolah Raja, benteng pertahanan Belanda, pusat perdagangan, pusat kebudayaan, pusat pemerintahan, dan pusat penyebaran agama Islam. Segenap anggota masyarakat Minangkabau berkepentingan dengan Bukittinggi, dan bahasa Minangkabau yang digunakan dialek Agam.

Dialek standar dapat langsung berfungsi sebagai bahasa umum, sehingga pada dekade tersebut bahasa Minangkabau umum identik dengan bahasa Minangkabau dialek Agam. Waktu itu dialek Agam berfungsi menyatukan segenap anggota masyarakat Minangkabau dalam menggunakan bahasa Minangkabau. Akan tetapi, dewasa ini bahasa Minangkabau umum tidaklah berasal dari salah satu dialek bahasa Minangkabau, termasuk juga dialek Agam. Bahasa Minangkabau umum merupakan anasir-anasir bahasa Minangkabau yang bersamaan dan tidak spesifik dari semua dialek yang ada, serta bersifat menyatakan dari berbagai dialek, ragam, dan langgam bahasa Minangkabau.

Bahasa Minangkabau umum merupakan bahasa yang digunakan Oleh penutur bahasa Minangkabau yang berasal dari pelbagai daerah, dan di dalamnya tidak ditemukan atau dikenali lagi spesifikasi dari dialek tertentu. Dialek Agam tidak lagi dipakai dalam percakapan umum antar berbagai daerah asal anggota masyarakat Minangkabau. Bahasa Minangkabau yang dipakai di kota-kota seperti Padang, Bukittinggi, dan kota-kota di luar Sumatera Barat seperti Medan, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, tidaklah sama dengan salah satu dialek bahasa Minangkabau yang ada. Bahasa Minangkabau di kota kota tidak lagi mengandung spesifik daerah-daerah tertentu, Bahasa Minangkabau yang dipakai di kota Padang dan kota-kota lainnya itulah bahasa Minangkabau umum.

Beberapa alasan penyebab tidak dipakainya satu dialek tertentu di kota Padang antara lain: (1) Penduduk kota Padang merupakan percampuran segenap anggota masyarakat Minangkabau yang berasal dari seluruh pelosok nagari “desa” di Sumatera Barat, sehingga sewaktu berkomunikasi tidak lagi memungkinkan digunakannya salah satu dialek, tetapi secara alamiah telah meninggalkan spesifik dialek asalnya: (2) Kota Padang telah menjadi pusat kehidupan sosial budaya yang menampung segala aktivitas kehidupaan seperti pemerintahan, perekonomian, pendidikan, kesenian, dan kebudayaan. Keberagaman tingkat kehidupan dan bentuk menyebabkan tidak dimungkinkannya keragaman bahasa dalam percakapan-percakapan umum: dan (3) Kota Padang merupakan pintu gerbang untuk masuk dan mengenali Sumatera Barat dan adat-istiadat Minangkabau. Sebagai pintu gerbang menyebabkan ia berperan menyuguhkan segala sesuatunya secara umum, yang termasuk ke dalamnya bahasa sebagai sarana komunikasi.

Dengan demikian, bahasa Minangkabau umum adalah bahasa Minangkabau yang digunakan oleh anggota masyarakat kota Padang. Begitu juga dengan bahasa Minangkabau yang digunakan di kota-kota lain di luar Sumatera Barat, sebab di kota tersebut anggota masyarakat Minangkabau yang berhimpun dalam organisasi kekeluargaan Minang berasal dari desa-desa yang berbeda di Sumatera Barat sehingga bahasa yang digunakan telah meninggalkan spesifik dialek daerahnya.

2.4 Pembakuan Bahasa Minangkabau

Usaha pembakuan suatu bahasa sangat diperlukan, mengingat bahasa itu merupakan pencerminan dari usaha meningkatkan kualitas kebudayaan anggota masyarakat pendukungnya. Sebagaimana pepatah bahwa “bahasa menunjukkan bangsa” keteraturan bahasa menunjukkan kejernihan pikiran dan ketajaman perasaan penuturnya sekaligus merupakan pencerminan ketinggian kebudayaannya. Sehubungan dengan ini diperlukan usaha pembakuan bahasa Minangkabau untuk membina dan mengembangkan kebudayaan Minangkabau.

Permasalahan yang timbul dalam pembakuan bahasa Minangkabau adalah norma bahasa yang mana yang berlaku untuk bahasa Minangkabau baku dan golongan penutur mana yang dapat dijadikan patokan bagi norma tersebut. Selanjutnya, dapat pula dipersoalkan apakah bahasa Minangkabau baku kelak harus menjalankan segala jenis fungsi kemasyarakatannya.

Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam bahasa Minangkabau terdapat berbagai dialek, ragam, langgam ataupun gaya yang memperlihatkan beragam spesifikasi bahasa Minangkabau. Namun demikian, terdapat pula bahasa Minangkabau umum yang telah meluluhkan spesifik-spesifik bahasa Minangkabau dan dipakai oleh segenap lapisan anggota masyarakat penutumnya. Bahasa Minangkabau umum inilah yang harus dijadikan patokan dalam usaha pembakuan bahasa Minang- kabau.

Dalam usaha pembakuan diperlukan norma-norma umum yang mengingatkan dan menggambarkan unsur-unsur yang sama keberagaman bahasa Minangkabau yang ada. Penyusunan tatabahasa Minangkabau haruslah mengambil patokan dari bahasa Minangkabau umum.

Secara tentatif dapat dikemukakan bahwa perlu ada perangkat norma untuk bahasa Minangkabau. Pertama berupa norma yang dikodikasi dalam bentuk tatabahasa Minangkabau umum yang diperlukan untuk pedoman umum dalam keterpakaian bahasa Minangkabau oleh para penutumnya. Kedua berupa norma yang dikodifikasikan dalam bentuk tatabahasa Minangkabau sekolah, guna memenuhi dan menyongsong pengajaran bahasan Minangkabau di sekolah-sekolah ataupun perguruan tinggi. Dewasa ini sudah tumbuh kesadaran di kalangan para intelektual Minangkabau bahwa perlu diwariskan kebudayaan Minangkabau dengan semua unsumya melalui lembaga pendidikan. Pengajaran bahasa Minangkabau di sekolah telah dimungkinkan dengan adaya muatan lokal dalam kurikulum sekolah-sekolah. Melalui sekolah inilah kita berharap tumbuh dan berkembangnya pemasyarakatan bahasa Minangkabau baku.

Harapan yang hendak diwujudkan menjadi kenyataan adalah agar bahasa Minangkabau dimasa-masa datang menjadi bahasa yang memiliki sifat kemantapan kaidah dan aturan, namun dinamis dalam arti dapat menyerap pengayaan bahasa Minangkabau tanpa mengganggu kemantapan kaidahnya, memiliki kecendikiaan dalam menampung dan mengungkapkan penalaran yang teratur, logis dan masuk akal, sehingga bahasa Minangkabau itu merupakan unsur kebudayaan yang bernilai tinggi dan mencerminkan peradaban suku bangsa Minangkabau yang telah dikenal mempunyai banyak andil dalam mewujudkan kebudayaan nasional.