Tata Bahasa Minangkabau/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
BAB I PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Latar belakang penelitian bahasa daerah tidak terlepas dari Politik Bahasa Nasional yang bermakna politik atau kebijaksanaan nasional mengenai bahasa dan sastra. Untuk mewujudkan kebijaksanaan tersebut telah dibahas masalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing. Ketika kelompok masalah kebahasaan itu merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisah-pisahkan, yang mempunyai timbal balik, dan yang memiliki hubungan pengaruh mempengaruhi baik secara positif maupun secara relatif.

Kerangka daar kebijaksanaan bahasa nasional telah disusun sebagai hasil dari praseminar Politik Bahasa Nasional yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 29-30 Oktober 1954. Satu di antara tiga kelompok masalah kebahasaan yang menjalin satu kesatuan kebijaksanaan itu ialah masalah pembinaan, pengembangan, pambakuan, dan pengajaran bahasa daerah, terutama bahasa daerah yang dipelihara oleh masyarakat pemakainya.

Bahasa daerah sebagai bahasa yang dipakai di wilayah Nusantara menurut Politik Bahasa Nasional berkedudukan sebagai bahasa yang merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional dan karena itu dilindungi oleh negara, sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 36, Bab XV, UUD 1945. Salah satu di antara bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah bahasa Minangkabau.

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Minangkabau (seperti juga bahasa daerah lainnya) berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di sekolah dasar pada tingkat pemula untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaranan lainnya, dan (3) alat pendukung pengembangan kebudayaan daerah (Politik Bahasa Nasional, 1984).

Alisyahbana (1984) berpendapat bahwa perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah bertambah lama akan bertambah besar disebabkan oleh masuknya kebudayaan modem yang banyak menggunakan bahasa asing.

Mengingat kedudukan dan fungsi bahasa daerah yang demikian penting seperti yang disebut di dalam Politik Bahasa Nasional serta pengaruh bahasa asing yang dapat mendesak kedudukan bahasa daerah, maka seyogyanyalah bahasa daerah kita bina dan kita kembangkan. Pembinaan dan pengembangan tersebut dapat kita laksanakan dengan berbagai cara di antaranya melalui inventarisasi dan penelitian-penelitian bahasa.

Bahasa Minangkabau adalah salah satu bahasa daerah yang hidup dan berasa) dari rumpun Ausironesia (Zalner di dalam Keraf, 1984). Bahasa ini tumbuh dan berkembang di wilayah Propinsi Sumatera Barat yang membujur dari barat laut ke tenggara. Provinsi ini berbatas sebelah utara dengan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan dengan Provinsi Jambi dan Bengkulu, setelah barat dengan tautan Indonesia, dan setelah timur dengan Provinsi Riau. Luas daerahnya menurut Isman (1978) adalah sekitar 42.297 kilometer persegi, sedangkan penutur bahasa Minangkabau menurut Nababan (di dalam Khitib, 1986) adalah sekitar 2,42 % dari jumlah penduduk Indonesia atau sebanyak 3.551.000 orang.

Nababan (1979) menyatakan bahwa bahasa Minangkabau bukan saja dipakai di Sumatera Barat tetapi juga di Malaysia, khususnya di Negeri Sembilan. Kemudian Lenggang dalam Nio (1984) menyatakan bahwa bahasa ini juga dipakai di daerah Mukomuko (Provinsi Bengkulu), Natal dan Barus (Provinsi Sumatera Utara), Tapak Tuan (Provinsi Aceh), Bangkinang, Pekan Baru dan Taluk (Provinsi Riau). Sebagai bahasa daerah, bahasa Minangkabau dipakai sebagai bahasa pertama oleh masyarakat penutur asli di dalam lingkungan entra-etnis untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka.

Dari gambaran di atas jelaslah bahwa bahasa Minangkabau mempunyai kedudukan dan fungsi di tengah-tengah masyarakat bahasa Indonesia pada umumnya dan masyarakat bahasa Minangkabau pada khususnya.

Di samping itu, bahasa Minangkabau sebagai salah satu cabang bahasa-bahasa Melayu Polinesia mempunyai kemiripan yang sangat dekat dengan bahasa Indonesia, baik kosa-kata, morfem, maupun sintaksis, Karena itu penemuan-penemuan tentang linguistik bahasa Minangkabau dapat dijadikan penunjang linguistik Nusantara pada umumnya dan linguistik bahasa Indonesia pada khususnya.

Berpijak dari kenyataan-kenyataan tentang pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa Minangkabau, maka kajian tentang bahasa tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih serius.

Penelitian ini merupakan perluasan dari penelitian yang sudah ada. Beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan tentang bahasa Minangkabau baik secara pribadi maupun melalui dana Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa adalah sebagai : (1) "Struktur Bahasa Minangkabau Dialek 50 Kota, Agam, Tanah Datar" (Nikelas,1978), (2) "Struktur Bahasa Minangkabau Dialek 50 Kota, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan" (Nio dkk., 1979), (3) "Struktur Bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar (Riau)" (Said, 1982) "Sistem Perulangan Bahasa Minangkabau” (Husin dkk, 1984) dan beberapa penelitian yang menjurus secara khusus kepada fonologi atau morfologi bahasa tersebut.

Hal yang belum dilakukan adalah penulisan tata bahasa Minangkabau. Penulisan tata bahasa Minangkabau ini sangat penting dalam usaha mengkaji unsur-unsur budaya daerah dalam menyempumakan kurikulum yang dikenal dengan muatan lokal.

1.1.2 Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah kaidah deskriptif dan normatif sistem fonologi, morfologi dan sintaksis bahasa Minangkabau. 1.2 Tujuan dan Hasil yang diharapkan

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh deskriptif lengkap tentang tata bahasa Minangkabau yang mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Di samping itu, hasil penulisan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan penyusunan kurikulum khususnya yang berhubungan dengan budaya daerah.

1.3 Kerangka Teori

Untuk menyusun tata bahasa Minangkabau ini, butir pokok yang perlu dijelaskan adalah batasan tata bahasa itu sendiri.

Dalam memberikan batasan tentang tata bahasa itu, para ahli bahasa memberikan batasan yang agak berbeda, Pada umumnya, aliran Struktural menyatakan bahwatata bahasa terdiri atas morfologi dan sintaksis.

Tampaknya hal yang umum berlaku di Indonesia ialah bahwa tata bahasa terdiri atas dua sub-kajian, yaitu morfologi dan sintaksis. Hal ini sesuai dengan batasan yang diberikan Gleason (1955:11). Ia menyatakan bahwa struktur bahasa terdiri atas fonologi dan tata bahasa. Selanjutnya tata bahasa dibagi atas morfologi dan sintaksis.

Dari batasan di atas juga terlihat bahwa morfologi dan sintaksis merupakan dua demensi bahasa yang sangat erat kaitannya sehingga pengkajian morfologi dan sintaksis diupayakan agar merupakan satu kesatuan yang terpadu. Namun, fonologi diperlukan untuk memahami tata bahasa tersebut. Oleh karena itu, fonologi juga dibahas dalam penelitian ini.

Dalam analisis data untuk masing-masing bagian digunakan beberapa teori. Masing-masing bagian dibahas secara tersendiri dalam hubungannya dengan teori yang digunakan.

1.3.1 Fonologi

Untuk analisis digunakan pokok pikiran Pike (1965:58) yang terdiri dari empat butir pokok pikiran tentang prosedur analisis fonemis. Keempat pokok pikiran tersebut ialah:

1) Bunyi cenderung dipengaruhi oleh bunyi,
2) Sistem bunyi cenderung mempunyai sifat simetris,
3) Bunyi cenderung berubah dari bunyi aslinya, dan

4) Urutan-urutan bunyi yang umum berpengaruh terhadap interprestasi fonemis bunyi atau urutan-urutan yang diragukan.

Sebagai tambahan, juga digunakan pokok pikiran Langacker (1976:145-163) yang memberikan gambaran tentang unsur segmental dan suprasegmental. Bentuk segmental mencakup vokal dan konsonan, sementara bentuk suprasegmental meliputi "length" atau panjang, tekanan, dan nada.

1.3.2 Morfologi[sunting]

Untuk analisis morfologi dalam mendeskripsikan morfologi bahasa Minangkabau ini digunakan pokok pikiran Nida (1949) dan Samsuri (1983). Kedua pokok pikiran Nida dan Samsuri tersebut berupa prinsip-prinsip yang diperlukan dalam identifikasi morfem. Pnnsip-pnnsip tersebut dibagi lagi menjadi prinsip prinsip pokok dan prinsip-prinsip tambahan.


Prinsip-prinsip pokok adalah sebagai berikut.

1) Prinsip A: Bentuk-bentuk yang berulang yang mempunyai pengertian yang sama termasuk morfem yang sama.

2) Prinsip B: Bentuk-bentuk yang mirip (susunan-susunan fonem-fonemnya) yang mempunyai pengertian yang sama termasuk morfem yang sama, seperti apabila perbedaannya dapat diterangkan secara fonologis.

3) Prinsip C: Bentuk-bentuk yang berbeda susunan fonem-fonemnya yang tidak dapat diterangkan secara fonologis perbedaan-perbedaannya masih bisa dianggap sebagai alomorf-alomorf dari morfem yang sama atau mirip, asal pebedaan-perbedaannya itu dapat diterangkan sebagai cara morfologis.

Prinsip-prinsip tambahan adalah sebagai berikut.

4) Prinsip D: Bentuk-bentuk yang sembunyi (homofon) merupakan a) Morfem-morfem yang berbeda, apabila berbeda pengertiannya.

b) Morfem-morfem yang sama, apabila pengertiannya berhubungan (atau sama) diikuti oleh distribusi yang berlainan, dan
c) Morfem-morfem yang berbeda, biarpun pengertiannya berhubungan, tetapi sama distribusinya.
5) Prinsip E : Suatu bentuk dapat dinyatakan sebagai morfem apabila
a) berdiri sendiri,
b) merupakan perbedaan yang formal di dalam suatu deretan struktur, dan
c) terdapat di dalam kombinasi-kombinasi dengan unsur lain yang dapat berdiri sendiri alau di dalam kombinasi-kombinasi yang lain pula.

6) Prinsip F

    (a) Jika suatu bentuk terdapat di dalam kombinasi satu-satunya dengan bentuk lain, bentuk di atas itu, dianggap morfem juga.
    (b) Jika di dalam suatu deretan struktur terdapat perbedaan yang tidak merupakan bentuk melainkan suatu kekosongan, maka kekosongan itu dianggap sebagai:
    (1) morfem tersendiri, apabila deretan struktur berurusan dengan morfem-morfem,
    (2) alomorf dari suatu morfem, apabila dengan Struktur itu berurusan dengan alomorf-alomorf suatu morfem.

Selanjutnya beberapa batasan dan pokok pikiran juga digunakan untuk pedoman analisis. Batasan-batasan dan pokok-pokok pikiran itu adalah seperti berikut ini

  1. Jenis-jenis morfem ditentukan oleh dua macam kriteria, yaitu kriteria hubungan dan kriteria distribusi.
  2. Proses morfologis ialah proses penggabungan morfem-morfem menjadi kata, yang terdiri atas afiksasi dan reduplikasi.
  3. Konstruksi morfologis ialah bentukan kata yang mungkin merupakan morfem tunggal atau penggabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain.
    1. Derivasi ialah konstruksi yang berbeda distribusinya daripada dasarnya, sedangkan infleksi adalah konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya.
    2. Majemuk ialah konstruksi yang terdiri atas dua morfem atau dua kata lebih, konstruksi ini bisa akar + akar, pokok + pokok, atau pokok + akar yang mempunyai satu pengertian.
    3. Pada konstruksi mejemuk atau frase, dapat dibedakan konstruksi yang endosentrik atau eksosentrik. Satu bentukan dinamakan endosentrik apabila distribusi konstruksinya sama dengan kedua (ketiga) atau salah satu unsumya. Suatu bentukan disebut eksosentrik apabila konstruksi itu berlainan distribusinya dari salah satu unsur-unsurnya.
    4. Proses morfologis terjadi bila dua morfem berhubungan atau diucapkan yang satu sesudah yang lain dan perhubungan itu menyebabkan terjadinya perubahan pada fonem atau fonem-fonem yang bersinggungan.

Untuk membuat deskripsi laporan ini lebih lengkap, diberikan juga batasan-batasan dan kriteria penentu. Batasan itu adalah batasan tentang bentuk kata, leksem, dan kata, serta batasan morfologi infleksional dan morfologi derivasional.

Matihews (1978:20-27) mendifinikasikan morfologi sebagai bidang ilmu bahasa yang mengkaji bentuk kata dalam pemakaiannya yang berbeda-beda dan dalam konstruksi yang bermacam-macam.

Bentuk kata ialah sebuah urutan fonem (atau juga huruf) yang lepas dari maknanya. Kalimat Ani memasak terdiri dari tiga kata. Tetapi sekaligus dikatakan bahwa masak dan memasak dan dimasak merupakan bentuk dari satu kata, yaitu bentuk kata masak.

Leksem yaitu lambang abstrak untuk deretan kata (dalam arti kata di bawah ini) dan untuk makna yang umum untuk sederetan kata itu leksemlah yang dipakai sebagai entri dalam kamus dan termasuknya kelas kata tertentu merupakan ciri dari leksem.

Kemudian dibedakan lagi morfologi infleksional dan morfologi derivasional. Morfotogi derivasional diklasifikasikan lagi menjadi bagian yang berhubungan dengan derivasi yaitu pembentukan kata dengan unsur formatif yang tidak mempunyai status akar kata sendini, yang juga disebut morfem terikat dan yang menyangkut pembentukan kata melalui pemajemukan atau komposisi, yaitu pembentukan kata dengan morfem bebas seperti rumah sakit dan papan catur.

Bentuk infeksional dan derivasional dapat dijelaskan sebagai berikut. Bentuk yang termasuk pradigma yang sama disebut bentuk yang infeksional dan bentuk yang tidak termasuk pradigma yang sama disebut bentuk yang derivasional.

Dua butir istilah yang perlu dibedakan lagi adalah kata dasar dan bentuk dasar.

Husin (1982:68) membedakan kata dasar dan bentuk dasar. Ia mengatakan bahwa kata dasar adalah kata yang belum mendapatkan perimbuhan dan bentuk dasar adalah kata yang sudah mendapatkan imbuhan. Baik kata dasar maupun bentuk dasar masih dapat diperluas lagi menjadi kata baru dengan memberinya imbuhan. Dari kata lari misalnya dapat dibentuk kata berlari, dan dari itu dapat lagi dibentuk kata berlarian, dan dari kata berlarian dapat dibentuk kata berlari-larian. Kata lari adalah dasar dari bentuk berlari, kata berlari adalah bentuk dasar dari berlarian, dan kata berlarian adalah bentuk dasar dari berlari-larian.

Kelas kata sangat penting dalam penyusunan suatu tata bahasa. Dalam penyusunan tata bahasa Minangkabau ini digunakan teori kelas kata Harimurti Kridalaksana dengan dua pertimbangan. Pertama, bahasa Minangkabau termasuk rumpun Melayu seperti halnya bahasa Indonesia. Dengan demikian, penerapan kelas kata yang disusun untuk bahasa Indonesia tersebut dapat diterapkan untuk kelas kata bahasa Minangkabau. Kedua, kelas kata yang ditulis oleh Kridalaksana (1986: 40--121) tersebut cukup rinci, dan karena itu dapat diterapkan secara memadai untuk keperluan penyusunan tata bahasa Minangkabau.

Selanjutnya, kelas kata yang ditulisnya itu diringkaskan sebagai berikut.

Kelas kata dalam bahasa Indonesia dibagi atas verba, ajektiva, nomina, pronomis, numeralia, adverbia, interogativa, demontrativa, artikula, konjungsi, dan kategi fatis.

Masing-masing kelas kata tersebut dibagi lagi atas Subkategorisasi yang ringkasnya sebagai berikut.

Dari segi bentuk, masing-masing kelas kata itu mempunyai bentuk dasar dan turunan, kecuali interjeksi. Di samping itu, perpindahan kelas juga dapat terjadi karena perubahan fungsi dalam kalimat. Verba dapat dibedakan atas (a) banyaknya argumen, (b) hubungan verba dengan nomina, (c) interaksi antara dan pendampingnya, (d) referensi argumennya hubungan identifikasi antara argumen-argumen. Berdasarkan (a), Verba dibedakan atas (1) verba intransitif dan (ii) verba transitif, berdasarkan (b), verba dibedakan atas (1) verba aktif, (it) verba pasif, (iii) verba anti-aktif, dan (iv) verba anii pasif, berdasarkan c, dibedakan (1) verba resiprokal, dan (11) verba nonresiprokal, berdasarkan (d), verba dibedakan atas (i) verba reflektif dan (ii) verba nonreflektif, dan berdasarkan (e), verba dibedakan atas (i) verba kopulatif dan (ii) verba ekuatif.

Adjektiva dibedakan atas (a) adjektiva predikat dan adjektiva atributif, dan (b) adjektiva bertaraf dan adjektiva tak bertaraf.

Nomina dibedakan atas (a) nomina bernyawa dan tak bernyawa, (b) nomina terbilang dan tak terbilang, dan (c) nomina kolektif dan bukan kolektif.

Pronomina dibedakan atas (a) pronomina intratekstual dan pronomina ekstratekstual, dan (b) pronomina taktif dan pronomina tak takrif.

Numeralia dibedakan atas (a) numeralia takrif dan (b) numeralia tak takrif. Numeralia takrif dibedakan lagi atas (i) numeralia utama, (ii) numeralia tingkat, dan (iii) numeralia kolektif.

Adverbia dibedakan atas adverbia intraklausal dan adverbia ekstraklausal.

Introgativa terdiri dari apa, bila, kah, kapan, mana, tah, apabila, apakah, apa-apaan, bagaimana, berapa, betapa, bilamana, bukan, bukankah, di mana, kenapa, mengapa, ngapain, siapa, yang mana, dan masakan/masa.

Demonstrasi terdiri atas demonstratiya intrateksiual dan demonstrativa ekstratekstual dan artikula terdiri atas artikula yang berfungsi mengkhususkan nomina singularis dan artikula yang berfungsi mengkhususkan suatu kelompok.

Preposisi tidak dikategorisasikan lebih lanjut, tetapi konjungsi dikategorikan atas konjungsi intra kalimat dan konjungsi ekstratekstual.

Kategori fatis juga tidak ada sub-kategorinya tetapi interjeksi dibedakan atas interjeksi seruan, interjeksi keheranan atau kekaguman, interjeksi kesakitan, interjeksi kekecewaan, dan sesal interjeksi kekagetan, interjeksi kelegaan, dan interjeksi kejijikan. 1.3.3 Sintaksis

Untuk analisis sintaksis digunakan teori M. Ramlan (1979) dan Verhaar (1977). Ramlan menyebutkan:

  1. Frase ialah bentuk linguistik yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang tidak melebihi batas subjek atau predikat.
  2. Klausa adalah konstruksi yang mengandung unsur S-P. Klausa dibagi atas klausa bebas dan klausa terikat.
  3. Kalimat tunggal ialah kalimat yang terdiri atas satu klausa atau satu konstruksi S-P. Jadi kalimat tunggal sama dengan klausa bebas.
  4. Kalimat majemuk dapat dibedakan atas kalimat majemuk setara dan kalimat bertingkat. Klausa dalam kalimat majemuk setara diperhubungkan dengan kata perangkai, sedangkan klausa dalam kalimat majemuk bertingkat dihubungkan oleh kata penghubung bertingkat.

Selanjutnya pokok pikiran Verhaar yang diterapkan di sini adalah beberapa istilah sintaksis yang berkaitan dengan fungsi, kategori, peran, pokok dan sebutan.

Menurut Verhaar istilah-istilah sepeni subjek, predikat, objek, dan keterangan mengacu kepada fungsi, istilah kata benda, kata kerja, kata sifat dan sejenisnya mengacu kepada kategori, dan istilah pelaku, penderita dan sejenisnya mengacu kepada peran.

1.4 Metode dan Teknik

Penulisan tata bahasa ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Melalui metode deskriptif, dideskripsikan dan dianalisis tata kerja bahasa yang dipakai oleh sejumlah penutur pada saat ini.

Yang dideskripsikan adalah tata bahasa Minangkabau umum yang dipakai dewasa ini (bahasa Mimangkabau yang telah berkembang di kalangan masyarakat Minangkabau yang berasal dari berbagai wilayah di Minangkabau (Anwar, 1986). Dengan menggunakan metode ini, data dan informasi dicatat dan dikumpulkan untuk dianalisis sehingga diperoleh gambaran tata bahasa sesuai dengan tujuan penelitian.

Teknik yang digunakan adalah teknik studi pustaka, observasi, wawancara, pencatatan, dan perekaman. Melalui studi pustaka diperoleh dasar-dasar teori secara pengkajian hasil penclitian atau informasi yang diperlukan. Teknik observasi digunakan untuk mengecek data-data yang sudah ada yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis dan dari penelitian yang berbahasa ibu bahasa Minangkabau. Penelitian, dalam hal ini, dapat digunakan intuisinya untuk menentukan keabsahan data tersebut. Di samping itu melalui teknik observasi ini dapat juga diperoleh data tambahan.

1.5 Pengolahan Data

Dalam memperoleh data dipertimbangkan luas korpus data, banyak percontohan yang diolah dan kriteria yang digunakan dalam menentukan percontohan.

Luas korpus yang diolah tergantung kepada ketelitian dan kualitas data yang telah terkumpul melalui penelitian-penelitian yang sudah ada. Diduga data yang sudah ada tersebut perlu diversifikasikan serta dilengkapi dengan data tambahan sehingga penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang lebih sempurna.

Luas korpus didasarkan atas kontes bahasa dan dialek yang akan diteliti. Kontes bahasa adalah segala materi yang berhubungan dengan kerangka teori, sedangkan dialek yang dipakai sebagai percontohan adalah bahasa Minangkabau yang berbentuk dari dialck-dialek yang dipakai di berbagai wilayah Sumatera Barat. Bahasa Minangkabau umum ini dipakai oleh masyarakat Minangkabau di dalam percakapan antara orang-orang yang berasal dari daerah yang berbeda dialek (Anwar, 1986). Kriteria yang dipakai dalam menentukan percontohan adalah: (1) keseragaman dialektual, (2) data dari bahasa yang alamiah, (3) korpus yang beragam, (4) kelengkapan, dan (5) munculnya data secara berulang.

Karena di dalam bahasa Minangkabau terdapat berbagai dialek yang berasal dari wilayah yang ada di Sumatera Barat, maka pemilihan bahasa Minangkabau umum sebagai sampel dari bahasa yang diteliti merupakan suatu pilihan yang tepat. Kriteria keseragaman dialektual ini dipakai karena penelitian ini bertujuan untuk memperolch gambaran umum tentang tata bahasa Minangkabau.

Kriteria lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan sampel ialah alamiah bahasa yang diambil sebagai sampel. Yang dimaksud dengan bahasa alamiah ialah bahasa yang diterima oleh masyarakat bahasa Minangkabau sebagai yang benar berdasarkan bentuk dan fungsi bahasa tersebut. Korpus yang beragam dimaksudkan untuk mencari kecenderungan ketepatan pemakaian bahasa. Salah satu contoh penentuan ketepatan pemakaian bahasa ialah distribusi kategori yang beragam yang dapat memberikan gambaran di mana kategori itu bisa terpakai dan di mana tidak bisa terpakai.

Kelengkapan data juga merupakan kriteria penting yang diperhatikan. Data yang lengkap memudahkan peneliti dalam pendeskripsian tata bahasa yang sedang dicari. Tanpa data yang lengkap, kemungkinan peneliti untuk mengambil kesimpulan yang salah tentang kaidah yang dicari adalah benar.

Terakhir yang perlu diperhatikan sebagai kriteria pemilihan sampel ialah munculnya data secara berulang kali. Kriteria ini sangat berguna pada tahap permulaan penelitian karena dengan munculnya data secara berulang kali, peneliti dengan mudah menentukan lingkungan yang tepat dari suatu kategori yang diteliti.