Sarinah/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Sarinah oleh Soekarno
Bab 2: Laki-laki dan Perempuan

Allah telah berfirman, bahwa Ia membuat segala hal berpasang-pasangan. Firman ini tertulis dalam surat Yasin ayat 36:l

"Maha mulia lah Dia, yang menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan";

dalam surat Az-Zuchruf ayat 1.2:

"Dan Dia yang menjadikan segala hal berpasang-pasangan dan membuat bagimu perahu-perahu dan ternak, yang kamu tunggangi";

dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49:

"Dan dari tiap-tiap barang kita membuat pasang-pasangan, agar supaya kamu ingat". Perhatikan: Segala barang, segala hal.

Jadi bukan saja manusia berpasang-pasangan, bukan saja kita ada lelakinya dan ada wanitanya.

Binatang ada jantannya, bunga-bungapun ada lelakinya dan perempuannya, alam ada malamnya dan siangnya -, barang-barang ada kohesinya dan adhesinya, tenaga-tenaga ada aksinya dan reaksinya, elektron-elektron ada positifnya dan negatifnya, segala kedudukan ada these dan anti-thesenya.

Ilmu yang maha hebat, yang maha mengagumkan ini telah keluar dari Mulutnya Muhammad s.a.w. ditengah-tengah padang pasir, beratus-ratus tahun sebelum di Eropa ada maha-guru maha-guru sebagai Maxwell, Pharaday, Nicola Tesla, Descartes, Hegel, Spencer, atau William Thompson.

Maha bijaksanalah Mulut yang mengikrarkan perkataan-perkataan itu, maha hikmatlah isi yang tercantum di dalam perkataan-perkataan itu! Sebab di dalam beberapa perkataan itu saja termaktublah segala sifat dan hakekat alam!

Alam membuat manusia berpasang-pasangan. Laki-laki tak dapat ada jika tak ada perempuan, perempuan tak dapat ada jika tak ada laki-laki. Laki-laki tak dapat hidup normal dan subur tak dengan perempuan, perempuan pun tak dapat hidup normal dan subur tak dengan laki-laki. Olive Schreiner, seorang idealis perempuan bangsa Eropa, di dalam bukunya "Drie dromen in de Woestijn", pernah memperlambangkan lelaki dan perempuan itu sebagai dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh satu tali gaib, satu "tali hidup", – begitu terikat yang satu kepada yang lain, sehingga yang satu tak dapat mendahului selangkah-pun kepada yang lain, tak dapat maju setapakpun dengan tidak membawa juga kepada yang lain. Olive Schreiner adalah benar: Memang begitulah keadaan manusia! Bukan saja laki dan perempuan tak dapat terpisah satu daripada yang lain, tetapi juga tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-perempuan yang satu tidak membawa yang lain. Karenanya, janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju dan subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.

Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu kultur yang sewajar-wajarnya kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu. Setengah ahli tarikh menetapkan, bahwa kultur Yunani jatuh, karena perempuan dihinakan di dalam kultur Yunani itu. Nazi Jerman jatuh, oleh karena di Nazi Jerman perempuan dianggap hanya baik buat Kirche-Kiiche-Kleider-Kinder. Dan semenjak kultur masyarakat Islam (bukan agama Islam!) kurang menempatkan kaum perempuan pula ditempatnya yang seharusnya, maka matahari kultur Islam terbenam, sedikit-sedikitnya suram!

Sesungguhnya benarlah perkataan Charles Fourrier kalau ia mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan sesuatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat itu. Atau, benarlah pula perkataan Baba O’lllah, yang menulis, bahwa "laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung". Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu samasekali.

Perkataan Baba O’lllah ini sudah sering kali kita baca.

Tetapi walaupun perkataannya itu hampir basi, – kebenarannya akan tinggal ada, buat selama-lamanya.

Jadi: laki-laki dan perempuan menetapkan sifat hakekat masing-masing. Tali hidup yang ditamsilkan oleh Olive Schreiner itu, bukan tali hidup sosial saja, bukan tali hidup yang karena bersatu rumah atau bersatu piring nasi saja. Lebih asli daripada pertalian perumahan yang satu dan piring nasi yang satu, adalah tali hidupnya kodrat alam sendiri. Tali hidup "sekse"! Laki-laki tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini, perempuan pun tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini. Dan bukan tali sekse yang tali seksenya fungsi biologis saja, tapi juga tali seksenya jiwa. Tiap-tiap sundal yang setiap hari barangkali menjual tubuhnya lima atau sepuluh kali, mengetahui, bahwa "tubuh" masih lain lagi daripada "jiwa". Dengan menjual tubuh yang sampai sekian kali setiap hari itu, masih banyak sekali sundal yang dahaga kepada cinta. Tali sekse jasmani dan tali sekse rohani, – itulah satu bagian dari "tali hidup" yang dimaksudkan oleh Olive Schreiner, yang mempertalikan laki-laki dan perempuan itu. Memang tali sekse jasmani dan rohani inilah kodrat tiap-tiap makhluk, dus juga kodrat tiap-tiap manusia. Manakala tali sekse rohani dihilangkan dan hanya tali sekse jasmani saja yang dipuaskan, maka tidak puaslah kodrat alam itu. Pada permulaan diadakan kultur baru di Sovyet Rusia, maka ekses perhubungan antara laki-laki dan perempuan adalah keliwat. "Tali sekse" dianggap sebagai suatu keperluan tubuh saja, sebagai misalnya tubuh perlu kepada segelas air kalau tubuh itu dahaga. "Teori air segelas" ini di tahun-tahun yang mula-mula sangat laku di kalangan pemuda-pemuda di Rusia. Madame Kollontay menjadi salah seorang penganjurnya. Siapa merasa dahaga seksuil, ia mengambil air yang segelas itu; – "habis minum", sudahlah pula. Beberapa tahun lamanya teori air segelas ini laku. Tetapi kemudian ... kemudian kodrat alam bicara. Kodrat alam tidak puas dengan segelas air saja, kodrat alam minta pula minuman jiwa. Kodrat alam minta "cinta" yang lebih memuaskan cita, "cinta" yang lebih suci. Lenin sendiri gasak teori air segelas ini habis-habisan dari semulanya ia muncul. Dan sekarang orang di sana telah meninggalkan sama sekali teori itu, orang telah mendapat pengalaman, bahwa Alam tak dapat didurhakai oleh sesuatu teori.

Semua ahli-ahli fiIsafat dan ahli biologi seia-sekata, bahwa tali sekse itu adalah salah satu faktor yang terpenting, salah satu motor yang terpenting dari peri-kehidupan manusia. Di samping-nya nafsu makan dan minum, ia adalah motor yang terkuat. Di samping nafsu makan dan minum, ia menentukan perikehidupan manusia.

Malahan ahli fiIsafat Schopenhauer ada berkata: "Syahwat adalah penjelmaan yang paling keras daripada kemauan akan hidup. Keinsyafan kemauan akan hidup ini memusat kepada fi’il membuat turunan," begitulah ia berkata.

Kalau tali sekse diputuskan buat beberapa tahun saja, maka manusia umumnya menjadi abnormal. Lihatlah keadaan di dalam penjara, baik penjara buat orang laki-laki, maupun penjara buat orang perempuan. Dua kali saya pernah meringkuk agak lama dalam penjara, dan tiap-tiap kali yang paling mendirikan bulu saya ialah keabnormalan manusia-manusia di dalam penjara itu. Percakapan-percakapan menjadi abnormal, tingkah laku menjadi abnormal. Sering saya melihat orang-orang di dalam penjara, yang seperti seperempat gila! Laki-laki mencari kepuasan kepada laki-laki, dan direksi terpaksa memberi hukuman yang berat-berat.

Pembaca barangkali tersenyum akan pemandangan saya yang "mentah" ini, dan barangkali malahan menyesali kementahannya. Pembaca barangkali mengemukakan nama orang-orang besar, nama Nabi Isa, nama Gandhi, nama Mazzini, yang menjadi besar, antara lain-lain karena tidak mempunyai isteri atau tidak mencampuri isteri. Ah, ... beberapa nama! Apakah artinya beberapa nama itu, jika dibandingkan dengan ratusan juta manusia biasa di muka bumi ini, yang semuanya hidup menurut kodrat alam? Kita di sini membicarakan kodrat alam, kita tidak membawa-bawa moral. Alam tidak mengenal moral, – begitulah Luther berkata. Beliau berkata lagi: "Siapa hendak menghalangi perlaki-isterian, dan tidak mau memberikan haknya kepadanya, sebagai yang dikehendaki dan dimustikan oleh alam, – ia sama saja dengan menghendaki yang alam jangan alam, yang api jangan menyala, yang air jangan basah, yang manusia jangan makan, jangan minum, jangan tidur!" Tali sekse itu memang bukan perkara moral. Tali sekse itu tidak moril, ia tidak pula immoril. Tali sekse itu adalah menurut kodrat, sebagai lapar adalah menurut kodrat, dan sebagai dahaga adalah menurut kodrat pula!

Apakah maksud saya dengan uraian .tentang tali sekse ini? Pembaca, nyatalah, bahwa baik laki-laki, maupun perempuan tak dapat normal, tak dapat hidup sebagai manusia normal, kalau tidak ada tali sekse ini. Tetapi bagaimanakah pergaulan hidup di zaman sekarang? Masyarakat sekarang di dalam hal inipun, – kita belum membicarakan hal lain-lain! – tidak adil kepada perempuan. Perempuan di dalam hal inipun suatu makhluk yang tertindas. Perempuan bukan saja makhluk yang tertindas kemasyarakatannya, tetapi juga makhluk yang tertindas ke-sekse-annya. Masyarakat kapitalistis zaman sekarang adalah masyarakat, yang membuat pernikahan suatu hal yang sukar, sering kali pula suatu hal yang tak mungkin. Pencaharian nafkah, – struggle for life – di dalam masyarakat sekarang adalah begitu berat, sehingga banyak pemuda karena kekurangan nafkah tak berani kawin, dan tak dapat kawin. Perkawinan hanyalah menjadi privilegenya (hak-lebihnya) pemuda-pemuda yang ada kemampuan rezeki sahaja. Siapa yang belum cukup nafkah, ia musti tunggu sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh, kadang-kadang sampai umur empat puluh tahun. Pada waktu ke-sekse-an sedang sekeras-kerasnya, pada waktu ke-sekse-an itu menyala-nyala, berkobar-kobar sampai kepuncak-puncaknya jiwa, maka perkawinan buat sebagian dari kemanusiaan adalah suatu kesukaran, suatu hal yang tak mungkin. Tetapi, ... api yang menyala-nyala di dalam jiwa laki-laki dapat mencari jalan keluar – meliwati satu "pintu belakang" yang hina -, menuju kepada perzinahan dengan sundal dan perbuatan-perbuatan lain-lain jang keji-keji. Dunia biasanya tidak akan menunjuk laki-laki yang demikian itu dengan jari tunjuk, dan berkata: cih, engkau telah berbuat dosa yang amat besar! Dunia akan anggap hal itu sebagai satu "hal biasa", yang "boleh juga diampuni". Tetapi bagi perempuan "pintu belakang" ini tidak ada, atau lebih benar: tidak dapat dibuka, dengan tak (alhamdulillah) bertabrakan dengan moral, dengan tak berhantaman dengan kesusilaan, – dengan tak meninggalkan cap kehinaan di atas dahi perempuan itu buat selama-lamanya. Jari telunjuk masyarakat hanya menuding kepada perempuan saja, tidak menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua fihak secara adil. Keseksean laki-laki setiap waktu dapat merebut haknya dengan leluasa, – kendati masyarakat tak memudahkan perkawinan -, tetapi keseksean perempuan terpaksa tertutup, dan membakar dan menghanguskan kalbu. Perempuan banyak yang menjadi "terpelanting mizan" oleh karenanya, banyak yang menjadi putus asa oleh karenanya. Bunuh diri kadang-kadang menjadi ujungnya. Statistik Eropa menunjukkan, bahwa di kalangan kaum pemuda, antara umur 15 tahun dan 30 tahun, yakni waktu keseksean sedang sehebat-hebatnya mengamuk di kalbu manusia, lebih banyak perempuan yang bunuh diri, daripada kaum laki-laki. Jikalau diambil prosen dari semua pembunuhan diri, maka buat empat negeri di Eropa pada permulaan abad ke 20, statistik itu adalah begini:

Nama negeri Umur 15 – 20 tahun Umur 21 – 30 tahun
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Jerman Denemarken Swiss Perancis 5,3% 4,6% 3,3% 3,5% 10,7% 8,3% 6,7% 8,2% 16 % 12,4%16,1 % 10,9% 20,2% 14,8% 21 % 14 %

Ternyatalah, bahwa di semua negeri ini lebih banyak perempuan muda bunuh diri daripada laki-laki muda.

Sebabnya? Sebabnya tak sukar kita dapatkan. Keseksean yang terhalang, cinta yang tak sampai; kehamilan yang rahasia, itulah biasanya yang menjadi sebab.

Adakah keadaan di negeri kita berlainan? Di sini tidak ada statistik bunuh diri, tapi saya jaminkan kepada tuan: enam atau tujuh daripada sepuluh kali tuan membaca khabar seorang pemuda bunuh diri di surat-surat khabar, adalah dikerjakan oleh pemuda perempuan. Di dalam masyarakat sekarang, perempuan yang mau hidup menurut kodrat alam tak selamanya dapat, karena masyarakat itu tak mengasih kemungkinannya. Di beberapa tempat di Sumatera Selatan saya melihat "gadis-gadis tua", yang tak dapat perjodoan, karena adat memasang banyak-banyak "rintangan, misalnya uang-antaran yang selalu terlalu mahal, kadang-kadang sampai ribuan rupiah. Roman mukanya gadis-gadis itu seperti sudah tua, padahal mereka ada yang baru berumur 25 tahun, 30 tahun, 35 tahun. Di daerah Indonesia yang lain-lain, saya melihat perempuan-perempuan yang sudah umur 40 atau 45 tahun, tetapi yang roman-mukanya masih seperti muda-muda. Adakah ini oleh karena perempuan-perempuan di lain-lain tempat itu barangkali lebih cakap "make-up" – nya daripada perempuan di beberapa tempat di Sumatera Selatan itu? Lebih cakap memakai bedak, menyisir rambut, memotong baju, mengikatkan sarung? Tidak, sebab perempuan di tempat-tempat yang saya maksudkan itupun tahu betul rahasianya bedak, menyisir rambut, memotong baju dan mengikatkan kain.

Tetapi sebabnya "muka tua" itu ialah oleh karena mereka terpaksa hidup sebagai "gadis tua", – tak ada suami, tak ada teman hidup, tak ada kemungkinan menemui kodrat alami. Di dalum bukunya tentang soal perempuan, August Bebel mengutip perkataan Dr.H.Plosz yang mengatakan, bahwa sering ia melihat, betapa perempuan-perempuan yang sudah hnmpir peyot lantas seakan-akan menjadi muda kembali, kalau mereka itu mendapat suami. "Tidak jarang orang melihat bahwa gadis-gadis yang sudah layu atau yang hampir-hampir peyot, kalau mereka mendapat kesempatan bersuami, tidak lama sesudah perkawinannya itu lantas menjadi sedap kembali bentuk-bentuk badannya, merah kembali pipi-pipinya, bersinar lagi sorot matanya. Maka oleh knrena itu, perkawinan boleh dinamakan sumber ke-muda-an yang sejati bagi kaum perempuan", begitulah kata Dr. Plosz itu.

Tetapi kembali lagi kepada apa yang saya katakan tadi: masyarakat kapitalistis yang sekarang ini, yang menyukarkan sekali struggle for life bagi kaum bawahan, yang di dalamnya amat sukar sekaIi orang mencari nafkah, masyarakat sekarang ini tidak menggampangkan pernikahan antura laki-laki dan perempuan. Alangkah baiknya sesuatu masyarakat yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang mau nikah! Orang pernah tanya kepada saya: Bagaimanakah rupanya masyarakat yang tuan cita-citakan?" Saya menjawab: "Di dalam masyarakat yang saya cita-citakan itu, tiap-tiap orang lelaki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang perempuan bisa mendapat suami".

Ini terdengarnya mentah sekaIi, tuan barangkali akan tertawa atau mengangkat pundak tuan, tetapi renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan saya di atas tadi, dan kemudian katakanlah, apa saya tidak benar? Di dalam masyarakat yang struggle for life tidak seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, di dalam masyarakat yang demikian itu, niscaya persundalan boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi "luar biasa" dan bukan satu kanker sosial yang permanen yang banyak korbannya. Prof. Rudolf Eisler di dalam buku kecilnya tentang sosiologi pernah menulis tentang persundalan ini: "Keadaan sekarang ini hanyalah dapat menjadi baik kalau peri-kehidupan ekonomi menjadi baik, dan mengasih kesempatan kepada laki-laki akan menikah pada umur yang lebih muda, dan mengasih kesempatan kepada perempuan-perempuan yang tidak nikah, buat mencari nafkah sonder pencaharian-pencaharian tambahan yang merusak kehormatan".

Pendek kata: pada hakekat yang sedalam-dalamnya, soal perhubungan antara laki-laki dan perempuan, jadi sebagian daripada "soal perempuan" pula, bolehlah kita kembalikan kepada pokok yang saya sebutkan tadi: yakni soal dapat atau tidak dapat haknya keseksean, soal dapat atau tidak dapat alam bertindak sebagai alam. Di mana alam ini mendapat kesukaran, di mana alam ini dikurangi haknya, di situlah soal ini menjadi genting. Saya tidak ingin kebiadaban, saya tidak ingin tiap-tiap manusia mengumbar hantam-kromo saja meliwat-bataskan ke-sekse-annya, saya cinta kepada ketertiban dan peraturan, saya cinta kepada hukum, yang mengatur perhubungan laki-perempuan di dalam pernikahan menjadi satu hal yang luhur dan suci, tetapi saya kata, bahwa masyarakat yang sekarang ini di dalam hal ini tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki minta haknya menurut kodrat alam, perempuan pun minta haknya menurut kodrat alam. Ditentang haknya menurut kodrat alam ini tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Tapi, dari masyarakat sekarang, lelaki nyata mendapat hak yang lebih, nyata mendapat kedudukan yang lebih menguntungkan. Sebagai makhluk perseksean, sebagai geslachtswezen, perempuan nyata terjepit, sebagaimana ia sebagai makhluk masyarakat atau makhluk sosial juga terjepit. Laki-laki hanya terjepit sebagai makhluk sosial saja di dalam masyarakat sekarang ini, tapi perempuan adalah terjepit sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk perseksean.

Alangkah baiknya masyarakat yang sama adil di dalam hal ini.

Yang sama adil pula di dalam segala hal yang lain-lain.

Saya akui, adalah perbedaan yang fundamentil antara lelaki dan perempuan. Perempuan tidak sama dengan laki-laki, laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu tiap-tiap hidung mengetahui-nya. Lihatlah perbedaan antara tubuh perempuan dengan tubuh laki-laki; anggauta-anggautanya lain, susunan anggautanya lain, fungsi-fungsi anggautanya (pekerjaannya) lain. Tetapi perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan turunan, dan memelihara turunan itu.

Untuk kesempurnaan tercapainya tujuan alam ini, maka alam mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk fungsi masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat "kelaki-lakian" kepada laki-laki, dan mengasih fungsi serta alat-alat "keperempuanan" kepada perempuan: Buat laki-laki: memberi dzat anak; buat perempuan: menerima dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak. Tetapi tidaklah perbedaan-perbedaan ini harus membawa perbedaan-perbedaan pula di dalam peri-kehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat.

Sekali lagi: ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi sekali lagi pula saya ulangi di sini, bahwa perbedaan-perbedaan itu HANYALAH karena dan untuk tujuan kodrat alam, yakni HANYA-LAH karena dan untuk tujuan perlaki-isterian dan peribuan saja. Dan sebagai tadi saya katakan, kecuali perbedaan tubuh, untuk hal ini adalah perbedaan psikhis pula antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan jiwa. Professor Heymans, itu ahli jiwa yang kesohor, yang mempelajari jiwa perempuan dalam-dalam, mengatakan, bahwa perempuan itu, untuk terlaksananya tujuan kodrat alam itu, adalah melebihi laki-laki di lapangan "emotionalitas" (rasa terharu), "aktivitas" (kegiatan), dan "kharitas" (kedermawaan). Perempuan lebih lekas tergoyang jiwanya daripada laki-laki, lebih lekas marah tetapi juga lebih lekas cinta lagi daripada laki-laki, lebih lekas kasihan, lebih lekas "termakan" oleh kepercayaan, lebih ikhlas. dan kurang serakah, lebih lekas terharu, lebih lekas meng-idealisirkan orang lain, lebih boleh dipercaya, lebih gemar kepada anak-anak dan perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengenai jiwa. Tetapi anggapan orang, bahwa perempuan itu akalnya kalah dengan laki-laki, ketajaman otaknya kalah dengan laki-laki, anggapan orang demikian itu dibantah oleh Prof. Heymans itu dengan tegas dan jitu: "Menurut pendapat saya, kita tidak mempunyai hak sedikitpun, buat mengatakan, bahwa akal perempuan kalah dengan akal laki-laki"...

Tiap-tiap guru dapat membenarkan perkataan Profesor Heymans ini. Saya sendiri waktu menjadi murid di H.B.S. mengalami, bahwa seringkali murid lelaki "payah" berlomba kepandaian dengan teman-teman perempuan dan malahan pula sering-sering "terpukul" oleh teman-teman perempuan itu. Pada waktu saya menjadi guru di sekolah menengah pun saya mendapat pengalaman, bahwa murid-murid saya yang perempuan umumnya tak kalah dengan murid-murid saya yang laki-laki. Profesor Freundlich, itu tangan kanannya Profesor Einstein di dalam ilmu bintang yang pada tahun 1929 mengunjungi Indonesia, dan kemudian menjadi maha guru di sekolah tinggi Istambul di dalam mata pelajaran itu pula, menerangkan, bahwa studen-studennya yang perempuan tak kalah dengan studen-studen laki-laki "Mereka selamanya boleh diajak memutarkan otaknya di atas soal-soal yang maha sukar". Profesor O’Conroy yang dulu menjadi maha guru di Universitas Keio di Tokyo, menceritakan di dalam bukunya tentang negeri Nippon, bahwa di Nippon selalu diadakan ujian-ujian perbandingan (vergelijkende examens) antara lelaki dan perempuan oleh kantor-kantor gubernemen atau kantor-kantor dagang yang besar-besar, dan bahwa selamanya kaum perempuan nyata lebih unggul daripada kaum laki-laki.

Ada-ada saja alasan yang orang cari buat "membuktikan", bahwa kaum perempuan "tak mungkin" menyamai (jangan lagi melebihi!) kaum laki-laki ditentang ketajaman otak. Orang katakan, bahwa otak perempuan kalah banyaknya dengan otak laki-laki! Orang lantas keluarkan angka-angka hasil penyelidikan ahli-ahli, seperti Bischoff, seperti Boyd, seperti Marchand, seperti Retzius, seperti Grosser. Orang lantas membuat daftar sebagai di bawah ini:

Berat otak rata-rata:

Menurut penyelidikannya Laki-laki Perempuan
Bischoff Boyd Marchand Retzius Grosser 1362 gram 1325 "1399 "1388 “1388 " 1219 gram 1183 “1248 "1252 "1252 "

Nah, kata mereka, mau apa lagi? Kalau ambil angka-angka Retzius dan Grosser, maka otak laki-laki rata-rata beratnya 1.388 gram, dan otak perempuan rata-rata 1.252 gram! Mau apa lagi? Tidakkah ternyata laki-laki lebih banjak otaknya daripada perempuan?

Ini jago-jago kaum laki-laki lupa, bahwa tubuh laki-laki juga lebih berat dan lebih besar daripada tubuh perempuan! Berhubungan dengan lebih besarnya tubuh laki-laki itu, maka Charles Darwin yang termasyhur itu berkata: "Otak laki-laki memang lebih banyak dari otak perempuan. Tetapi, jika dihitung dalam perbandingan dengan lebih besarnya badan laki-laki, apakah otak laki-laki itu benar lebih besar?" Kalau dihitung di dalam perbandingan dengan beratnya tubuh, maka ternyatalah (demikianlah dihitung) bahwa otak perempuan adalah rata-rata 23,6 gram per kg. tubuh, tetapi otak laki-laki hanya ... 21,6 gram per kg. tubuh! Jadi kalau betul ketajaman akal itu tergantung dari banyak atau sedikitnya otak, kalau betul banyak-sedikitnya otak menjadi ukuran buat tajam atau tidak-tajamnya fikiran maka perempuan musti selalu lebih pandai dari kaum laki-laki!

Ya, kalau betul ketajaman akal tergantung dari banyak sedikitnya otak! Tetapi bagaimana kenyataan? Bagaimana hasil penyelidikan otaknya orang-orang yang termasyhur sesudah mereka mati? Ada ahli-ahli fikir yang banyak otaknya, tetapi ada pula harimau-harimau fikir yang tidak begitu banyak otaknya! Cuvier, itu ahli fikir, otaknya 1.830 gram, Byron itu penyair besar, 1.807 gram, Mommsen 1.429,4 gram, tetapi gembong ilmu hitung Gausz hanya 1.492 gram, ahli faIsafah Hermann hanya 1.358 gram, (di bawah "nomor"!), gajah faIsafah dan ilmu hitung Leibniz hanya 1.300 gram (di bawah "nomor"!), jago phisica Bunsen hanya 1.295 gram (di bawah "nomor"!), kampiun politik Perancis Gambetta hanya 1.180 gram (malahan di bawah "nomor-perempuan" sama sekali!).

Sebaliknya, Broca, itu ahli fisiologi Paris yang termasyhur, pernah mengukur isi tengkorak-tengkorak manusia dari Zaman Batu, – dari zaman tatkala manusia masih biadab dan bodoh! – dan ia mendapat hasil rata-rata 1.606 cms, satu angka yang jauh lebih tinggi daripada angka-angka isi tengkorak dari zaman sekarang. Malahan teori "lebih banjak otak lebih pandai" ini ternyata pula menggelikan, sebab Bischoff pernah menimbang otak mayat seorang kuli biasa, – tentu seorang-orang bodoh -, dan dia mendapat record 2.222 gram!, sedang Kohlbrugge berkata, bahwa "otak orang-orang yang gila atau idioot sering sekali sangat berat"! Dari mana orang masih mau tetap menuduh bahwa orang perempuan kurang tajam fikiran, karena orang perempuan kurang banyak otaknya kalau dibandingkan dengan orang laki-laki?

Tidak, "alasan otak" ini adalah alasan kosong. "Alasan otak" ini sudah lama dibantah, dihantam, dibinasakan oleh ilmu pengetahuan! Bebel di dalam bukunya mengumpulkan ucapan-ucapan ahli wetenschap tentang "alasan otak" ini. Raymond Pearl berkata: "Tidak ada satu bukti, bahwa antara ketajaman akal dan beratnya otak ada perhubungan satu dengan yang lain"; Duckworth menetapkan: "Tidak ada bukti, bahwa manusia yang banyak otaknya itu tentu orang yang tajam akal"; dan Kohlbrugge menulis pula: "Antara ketajaman akal dan beratnya otak tidak ada pertalian apa-apa". Dan tidakkah ada cukup bukti, bahwa perempuan sama tajam fikirannya dengan kaum laki-laki, sebagai dikatakan oleh Profesor Heymans, Prof. Freundlich, Profesor O’Conroy itu tadi, dan boleh ditambah lagi dengan berpuluh-puluh lagi keterangan ahli-ahli lain yang mengakui hal ini, kalau kita mau? Tidakkah kita sering mendengar nama perempuan-perempuan yang menjadi bintang ilmu pengetahuan atau politik, sebagai Madame Curie, Eva Curie, Clara Zetkin, Henriette Roland Holst, Sarojini Naidu, dll?

Tuan barangkali akan membantah, bahwa jumlah perempuan-perempuan kenamaan itu belum banyak, dan bahwa di dalam masyarakat sekarang kebanyakannya kaum laki-lakilah yang memegang obor ilmu pengetahuan dan faIsafah dan politik. Benar sekali, tuan-tuan: Di dalam masyarakat sekarang! Benar sekali: di dalam masyarakat sekarang ini, di mana laki-laki mendapat lebih banyak kesempatan buat menggeladi akal-fikirannya, maka kaum laki-lakilah yang kebanyakan menduduki tempat-tempat kemegahan ilmu dan pengetahuan. Di dalam masyarakat sekarang ini, di mana kaum perempuan banyak yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan ini dan diharamkan itu, maka tidak heran kita, bahwa kurang banyak kaum perempuan yang ilmu dan pengetahuannya membubung ke udara. Tapi ini tidak menjadi bukti bahwa dus kwalitas otak perempuan itu kurang dari kwalitas otak kaum lelaki, atau ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak laki-laki. Kwalitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya kesempatan oleh masyarakat sekarang kepada kaum perempuan, maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidak-adilan masyarakat terhadap kepada kaum perempuan itu!

Bahkan terhadap fungsi kodrat dari kaum perempuan yang kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu, menerima benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak, – terhadap fungsi kodrat inipun dunia laki-laki masih kurang menghargakan kaum perempuan! Orang laki-laki membusungkan dadanya, seraya berkata-kita, kaum laki-laki kita maju ke padang peperangan, kita berani menghadapi bahaya- bahaya yang besar. "Apakah yang perempuan perbuat?" Orang laki-laki mengagul-agulkan kelaki-lakiannya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah jiwa laki-laki yang mati guna keperluan sejarah, seraya berkata: "Bahaya apakah yang perempuan hadapi?" Orang lelaki yang demikian ini tidak mengetahui, bahwa dulu di zaman purbakala, tatkala hukum masyarakat belum seperti sekarang ini, ialah di dalam zaman "hukum per-ibuan" alias matriatchat, – yang di dalam Bab III dan. IV akan saya terangkan panjang lebar -, kaum perempuan-lah yang mengemudi masyarakat, kaum perempuanlah yang kuasa, kaum perempuanlah yang mengepalai peperangan, kaum perempuanlah memanggul senjata, kaum perempuanlah mengorbankan jiwanya guna sejarah. Dan lagi ... apakah benar peperangan lebih berbahaya daripada melahirkan anak? Apakah benar peperangan minta lebih banyak korban daripada melahirkan anak? Tiap-tiap ibu dapat menerangkan, bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di sepanjang hidup seseorang manusia. Tiap-tiap ibu pernah menghadapi maut sedikitnya satu kali dalam hidupnya, yakni pada waktu melahirkan anak, sudahkah kita pernah berhadap-hadapan muka dengan maut itu, sudahkah kita pernah merasakan nafasnya maut yang dingin itu menyilir di muka kita?

Terutama di negeri-negeri yang belum besar usaha kedokteran, seperti di Eropa di zaman dulu, atau di Asia di zaman sekarang, tidak sedikit jumlah perempuan yang jatuh di atas padang kehormatan melahirkan anak. Dulu di negeri Pruisen saja, (perhatikanlah, belum Jerman seluruhnya) antara tahun 1816 dan 1876, pada waktu ilmu kedokteran sudah mulai subur, jumlah perempuan yang meninggal karena melahirkan anak adalah 321.791 orang, – yakni rata-rata 5.363 setahun-tahunnya! Jumlah ini di negeri Inggeris antara tahun 1.847 dan 1.901 adalah 213.533, yakni, kendati waktu itu ilmu dan ikhtiar kedokteran telah maju pula, tak kurang dari 4.000 setahun tahunnya! "Coba orang laki-laki musti menanggung sengsara seperti perempuan ini, maka barangkali segala apa diributkan untuk menolongnya!", begitulah kata Profesor Herff. Di Eropa, jumlah-jumlah itu sekian besarnya! Betapa pula di kampung-kampung dan di dusun-dusun kita, di mana dokter belum dikenal orang! Betapa pula keadaan di kalangan Sarinah! Maka benar sekali konklusi August Hebel, kalau ia mengatakan, bahwa di dalam sejarah manusia ini, kalau dijumlahkan, lebih banyak perempuan melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan melahirkan bayi, dari pada laki-laki melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan peperangan.

Orang laki-laki! Ia selalu menghina saja kepada kaum perempuan. Ia mentertawakan perempuan yang hamil, ia meremehkan arti melahirkan bayi, ia tak ingat bahwa ia sendiri adalah hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya yang bertahun-tahun. "Bagi dia, bagi laki-laki";- begitulah Edward Carpenter, seorang pembela perempuan di negeri Inggeris, berkata – "bagi laki-laki maka persetubuhan itu adalah satu peringanan dan satu kenikmatan. Ia kemudian pergi, dan tidak ingat lagi akan perbuatannya itu. Tetapi buat perempuan fi’il ini adalah satu hal yang paling mulia dan paling berarti di dalam hidupnya, laksana satu perintah yang maha rahasia dan maha penting. Bagi perempuan, fi’il ini adalah satu perbuatan yang banyak akibat-akibatnya, satu perbuatan yang ia tak dapat hapuskan lagi atau lupakan lagi, – satu perbuatan yang ia terpaksa selesaikan dulu dengan segala akibat-akibatnya, sebelum ia bisa merdeka lagi ... Hanya sedikit kaum laki-laki, barangkali tidak ada seorangpun, yang insyaf akan dalamnya dan sucinya rasa-ibu di dalam kalbu seorang perempuan, tidak seorangpun yang ikut merasakan kebahagiaannya dan harapan-harapannya, atau keluh-kesahnya dan ketakutannya yang maha pedih. Bebannya kehamilan, kekhawatirannya pada waktu melihat, bahwa apa yang dikandungnya itu selalu berobah sifat; ketakutannya, kalau-kalau apa yang dikandungnya itu tidak selamat seperti yang diharap-harapkannya, keridlaannya buat kalau perlu menebus dengan jiwanya sendiri, asal saja si bayi itu bisa lahir dengan selamat, semua adalah hal-hal yang orang laki-laki tak dapat mengira-ngirakan atau meraba-rabakan. Kemudian, kemudian daripada itu, pengorbanan yang ibu itu kasihkan buat keselamatan sianak kecil; keletihan dan kepayahan yang bertahun-tahun, yang semasekali mendorong ke belakang segala fikiran-fikiran akan kesenangan diri sendiri serta rasa cinta dan rasa kasih, yang tak pernah orang dapat nilaikan dan hargakan betul ... dan kemudian lagi, rasa pilu dan rasa sunyi kalau nanti anak laki-laki dan anak perempuan itu masuk ke dunia ramai dan memutuskan tali perhubungan dengan rumah tangga. Di sini tali-tali kekeluargaan itu diputuskan, sebagaimana dulu tali ari-ari diputuskan pula. Buat segala hal yang sedih-sedih ini, perempuan tak boleh mengharap akan dapat rasa simpati dari fihak kaum laki-laki".

Begitulah perkataan Edward Carpenter. Moga-moga Allah melimpahkan rakhmad kepada semua ibu-ibu di dunia, yang semuanya, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah limpahkan rakhmad kepada pembuat-pembuat kemanusiaan itu, kepada ini "Bouwsters der Menschheid" yang semuanya tidak ada yang minta dibalas jasa, tidak ada yang minta dibalas budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita semua, agar supaya kita lebih menghormati dan menghargai kaum perempuan itu!

Janganlah kaum laki-laki lupa, bahwa sifat-sifat yang kita dapatkan sekarang pada kaum perempuan itu, dan membuat kaum perempuan itu menjadi dinamakan "kum lemah", "kaum bodo", "kaum singkat pikiran", "kum nerimo", dan lain-lain bukanlah sifat-sifat yang karena kodrat ada terlekat pada kaum perempuan, tetapi adalah buat sebagian besar hasilnya pengurungan dan perbudakan kaum perempuan yang turun-temurun, beratus tahun, beribu tahun. Di zaman dulu, sebagai saya katakan tadi, di zamannya matriarchat yang nanti di dalam Bab III dan IV akan saya terangkan lebih jelas, di zaman dulu itu sifat-sifat kelemahan itu tidak ada. Ilmu pegetahuan yang modern telah menetapkan pengaruh keadaan (milieu) di atas jasmani dan rohani manusia. Apa sebab kaum kuli dan tani badannya umumnya lebih besar dan kuat daripada kaum "atasan"? Oleh karena milieu kuli adalah mengasih kesempatan kepada badan si kuli itu untuk menjadi besar dan menjadi kuat. Apa sebab perempuan-perempuan kuli lebih kuat dan besar dari perempuan kaum "atasan"? Oleh karena milieu perempuan kuli adalah lain daripada milieu perempuan kaum atasan. Apa sebab bangsa-bangsa negeri dingin tabiatnya lebih dinamis, lebih giat, lebih ulet daripada bangsa-bangsa di negeri panas? Oleh karena milieu di negeri dingin memaksa kepada manusia supaya sangat giat di dalam struggle for life, sedang di negeri panas seperti misalnya di Indonesia sini manusia bisa hidup dengan setengah menganggur, – dengan tak berbaju, tak berumah, dengan tak usah banyak membanting tulang. H.H.Van Kol di dalam bukunya tentang negeri Nippon menerangkan, bahwa bangsa Nippon di zaman yang akhir-akhir ini adalah kurang cebol daripada dulu (kakinya menjadi lebih panjang dengan rata-rata 2 cm!), sesudah orang Nippon itu banyak meniru milieu Eropah, yakni duduk di atas kursi.

Maka begitu jugalah ada akibat milieu atas kaum perempuan. Dulu kaum perempuan tidak lemah-lemah badan seperti sekarang ini; dulu kaum perempuan sigap-sigap badan perawak-annya, jauh berbeda dengan badan-badan ramping dari misalnya puteri-puteri priyantun zaman sekarang.

Dulu perempuan-perempuan adalah cerdik dan tajam otaknya, lebar dan luas penglihat-annya, ulet dan besar tenaganya, menaklukkan kaum laki-laki, yang seakan-akan "mengambing saja di belakang mereka", sebagai ternyata buktinya dibanyak sejarah-sejarah. Dulu di zaman matriarchat perempuan-perempuan menjadi raja, menjadi panglima perang, menjadi ketua di rapat-rapat, menjadi kepala rumah tangga, menjadi prajurit, menjadi hakim, menjadi kepala agama. Dulu kaum perempuan tidak banyak berbedaan dengan kaum laki-laki, ya malahan ditentang beberapa sifat-sifat melebihi kaum laki-laki, mengalahkan kaum laki-laki.

Dan di zaman sekarangpun, di zaman kita ini, dapatlah kita tunjukkan, bahwa pada bangsa-bangsa, yang perempuannya tidak tertindas dan terkurung, kaum perempuan itu sigap-sigap badan, tangkas-tangkas gerak, perkasa-perkasa tabiat dan perangainya, cerdik dan luas fikirannya. Havelock Ellis memberi tahukan keterangannya Johnstone yang lama bergaul dengan bangsa-bangsa Andombies di Afrika, bahwa perempuan-perempuan Andombies itu kerja berat tetapi senang hidupnya, dan bahwa "seringkali mereka lebih kuat dari laki-lakinya, lebih subur, dan bentuk-bentuk badannya sigap dan menarik hati".

Dan tentang bangsa Manymema di Afrika itu pula, Parke menceritakan, bahwa bangsa ini "makhluk-makhluk yang sigap, yang perempuan-perempuannya sangat kenes dan sama kuatnya memikul beban-beban berat dengan kaum laki-lakinya". Menurut Duveyrier maka semangat dan ketangkasan wanita-wanita Tuareg di Afrika Utara sangat menakjubkan, malah Paul Lafargue mengatakan, bahwa tubuhnya wanita Tuareg itu lebih kuat dari tubuh laki-laki. Dan menurut Hearne, maka ada satu suku bangsa Indian yang perempuan-perempuannya lebih kuat dua kali ganda dari kaum laki-lakinya! Begitu pula di bagian Papua Timur adalah menurut Schellong suku-suku, yang perempuannya lebih kuat daripada putera-putera Adamnya. Di Sentral Australia orang laki-laki kalau memukul perempuan, seringkali mendapat balasan pukulan kontan-kontanan dengan rente dari perempuan itu, sehingga "kapok" ia buat selama-lamanya. (Karena perempuannya lebih kuat). Di Cuba, dan pada bangsa Pueblo di Amerika Utara, dan di Patagonia, dan pada banyak bangsa Rus, tidak ada perbedaan yang begitu besar antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan! Demikianlah keterangan-keterangan Havelock Ellis, itu ahli manusia yang kesohor. Maka dengan mengingat bukti-bukti dari zaman dahulu dan zaman sekarang itu, Henriette Roland Holst dapat menulis-kan konklusinya dengan jitu, bahwa: "Perbedaan-perbedaan tenaganya badan dan besarnya badan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan-perbedaan tulang dan urat-urat, adalah jauh lebih kecil pada bangsa-bangsa yang biadab daripada pada bangsa-bangsa yang sudah sopan; apa yang orang namakan kelemahan kaum perempuan itu adalah buat sebagian besar satu sifat, yang ditumbuhkan padanya oleh keadaan keadaan hidupnya di zaman kekuasaan kaum laki-laki". Begitu juga pendapat August Bebel: "Pada umumnya, maka di zaman purbakala, perbedaan tubuh dan perbedaan kecerdasan kaum laki-laki dan kaum perempuan itu adalah jauh lebih kecil daripada dalam masyarakat kita sekarang ini. Pada hampir semua bangsa biadab dan bangsa-bangsa yang hidup liar, maka perbedaan antara besar dan beratnya otak laki-laki dan otak perempuan adalah jauh lebih kecil daripada pada bangsa-bangsa yang sudah beradab".

Maka oleh karena itu, tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, jika orang mengatakan, bahwa perempuan itu pada kodratnya di dalam segala hal berbeda dengan kaum laki-laki, di dalam segala hal kalah dengan kaum laki-laki. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan pula, jika orang mengatakan, bahwa sudah dibahagikan oleh alam kepada laki-laki buat berjoang di masyarakat, menduduki jabatan-jabatan masyarakat, menjadi kampiun-kampiun masyarakat, sedang sudah dibahagikan oleh alam pula kepada perempuan untuk menanak nasi saja di rumah, menjaga rumah tangga di rumah, menjadi benda saja yang selalu harus tinggal di rumah. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan jika orang mengatakan demikian itu dengan membawa alasan bahwa "sepanjang ingatan kita" perempuan selalu kerja di rumah, dan tidak di dalam masyarakat. Sebab perkataan yang demikian itu sama saja salahnya dengan perkataan, bahwa misalnya perempuan qua kodrat alam selalu rambutnya panjang, karena sepanjang ingatan kita, kita belum pernah melihat perempuan yang tidak berambut panjang. Dan bukan saja tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan! Orang demikian itu juga tidak melihat lebih jauh dari panjang hidungnya! Tidakkah di zaman yang akhir-akhir ini kita melihat dengan mata sendiri ribuan perempuan-perempuan Indonesia yang tidak mendekam di rumah, tetapi bekerja di kantor-kantor, di paberik-paberik tenun, di paberik-paberik rokok, di paberik-paberik teh, di kebon-kebon tebu, – menjadi kuli, menjadi mandor, menjadi klerk, menjadi komis, guru, dokter, wartawan dan lain-lain Tidakkah kita melihat saban hari dengan mata sendiri juga isteri si bapa tani berduyun-duyun keluar dari rumah tangganya, menuju ke kota dan ke pasar-pasar, dengan membawa macam-macam hasil kebunnya, untuk berdagang di kota-kota dan di pasar-pasar itu? Di manakah yang dinamakan penghidupan menurut kodrat alam mereka, untuk mendekam di rumah itu? Bahwasanya, memang di kalangan si Marhaen inilah, karena dorongan "struggle for life", kaum perempuan lebih merdeka, lebih tidak terikat di rumah daripada di kalangannya kaum-kaum yang agak mampu, yang kadang-kadang mengurung perempuannya itu seperti mengurung ternak di dalam kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung perempuannya itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup isteri-isterinya dan puteri-puterinya itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk memuliakan kedudukan mereka. Ya ... "memuliakan" mereka ... tetapi "memuliakan" mereka dengan memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi dan si tolol!

Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli perempuan atau si tani perempuan yang tidak sangat terikat kepada rumah tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, perempuan Marhaen!

Ah, Sarinah! Pulang dari berkuli di paberik atau di kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang berpuluh kilo meter jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak. Masih menunggu pada mereka lagi pekerjaan menanak nasi, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai. Sang suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, ... tunggu dipanggil makan, tetapi Sarinah, – habis kerja di luar rumah masih adalah kerja lagi baginya di dalam dapur atau di dekat sumur. Bagi laki-laki adalah "kerja delapan jam sehari" atau "kerja sepuluh jam sehari". Tetapi bagi Sarinah zaman sekarang ini, hidup adalah berarti keluh-kesah terus-menerus, gangguan fikiran terus- menerus, dari fajar menyingsing sampai di tengah malam ...

Kapankah matahari akan bersinar lagi bagi Sarinah itu?

Dulu, di dalam kabutnya zaman purbakala, dulu pernah Sarinah itu menduduki takhta-takhta kerajaan, dulu pernah ia bernama Ratu Simha di negeri Kalinga atau Bundo Kandung di negeri Pagar Ruyung. Dulu pernah ia bernama Srikandi yang mengepalai peperangan. Dulu, di Nippon, ia, menurut Van Kol dan Prof. De Visser, pernah berabad-abad lamanya memegang kecakrawartian masyarakat: "Urusan rumah-tangga dan urusan anak-anak mereka serahkan kepada pelayan-pelayan, dan berlomba-lombalah mereka dengan orang-orang lelaki di atas lapangan ilmu dan perpustakaan. Di atas lapangan sya’ir mereka sama tingginya dengan kaum laki-laki, di atas lapangan prosa mereka memukul samasekali kaum laki-laki itu. Sehingga sampai di abad-abad yang kemudian pun, dan terutama sekali di zaman berkembangnya perpustakaan Tionghoa, maka kultur perpustakaan hampir semasekali di dalam tangannya "kaum lemah" itu ... Tidak kurang dari 10 Rajaputeri tercatat namanya di buku sejarah, (antaranya Rajaputeri Jinzo yang termasyhur, yang menaklukkan negeri Korea di abad yang ketiga), yang semuanya menjalankan rol yang penting di dalam sejarah. Di dalam buku-buku Tionghoa kuno, Nippon selalu disebutkan "negeri kaum perempuan" atau "negeri raja-raja puteri". Pada abad ke 10 dan ke 11 kaum perempuanlah yang membuat hukum-hukum negara; ahli-ahli sya’ir menamakan perempuan itu "semennya masyarakat". Di zaman-zaman kuno itu tak pernah perempuan Nippon menekukkan lututnya di muka laki-laki. Di zaman Heian, anak laki-laki dan anak perempuan mendapat warisan yang sama besarnya. Di dalam hukum-hukum negara Kamakura-shogun adalah ditetapkan, bahwa laki-laki yang meninggalkan isterinya, segala hak-hak miliknya jatuh kepada isterinya itu".

Dan bukan di Nippon saja Sarinah pernah berkuasa di dalam masyarakat. Di negeri-negeri lainpun, bangsa mana dan negeri manapun juga, – sejarah banyak mencatat nama-nama raja-raja puteri, nama-nama kepala-kepala pemerintah puteri, yang umumnya sangat baik pemerintahannya, begitu baik, sehingga misalnya Burbach berpendapat, bahwa sangat boleh jadi kaum perempuan itu lebih cakap buat urusan politik daripada kaum laki-laki.

Dulu! ... Tetapi sekarang bagaimana? Di Nippon yang dulu masyarakat mengasih kedudukan yang begitu tinggi kepada perempuan, kini kaum isteri menjadi sampah, pelayan laki-laki, budak laki-laki, yang tiada kekuasaan dan kemerdekaan sedikit juapun. Kini perempuan di Nippon itu, yang dulu begitu gagah dan sigap dan dinamis, menjadi satu makhluk yang tunduk, yang penurut, yang nerimo, yang taat di dalam segala hal baik dan buruk kepada kaum laki-laki. Siapa membaca tulisan-tulisan Van Kol, De Visser, O’Conroy, Lafcadio Hearn, dll, tentang ketundukan dan kenurutan isteri Nippon itu, ia niscaya terharu hatinya, ia niscaya sukar pula mengenang-ngenangkan di dalam ingatannya, bahwa ini makhluk-makhluk yang begitu menurut dan menerima, dulu di zaman sediakala adalah tunggak-tunggaknya masyarakat!

Ya, makin nyatalah kepada kita, bahwa penghidupan menurut kodrat yang menempatkan perempuan ke sisi periuk-nasi dan panci-gulai itu, tak lain tak bukan adalah bukan penghidupan menurut kodrat, bukan penentuan kodrat, (sebagai menerima dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, memelihara anak), tetapi adalah penghidupan yang masyarakat sekarang dan hukum masyarakat sekarang kasihkan kepadanya. Kalau hukum masyarakat ini tidak menempatkan perempuan itu ke sisi api dapur dan pipisan lada saja, kalau hukum masyarakat ini mengasih kelapangan kepada kaum perempuan buat berlomba-lomba di lapangan masyarakat, maka perempuan tidaklah seperti perempuan sekarang. Tidaklah ia "kaum lemah", tidaklah ia "kaum bodoh", tidaklah ia "penakut", tidaklah ia kaum singkat fikiran, tidaklah ia kaum "nerimo". Tidaklah ia makhluk yang mengambing saja sebagai ternak; tidaklah ia kaum yang selamanya harus dijagai dan ditolong saja sebagai "blasteran dewi dan si tolol". Tidaklah ia menjadi sebab, yang Plato, itu ahli faIsafah Yunani, tiap-tiap hari mengucap terima kasih kepada dewa-dewa, bahwa dewa-dewa itu melahirkan dia sebagai orang merdeka, dan bukan sebagai budak belian, sebagai laki-laki, dan bukan sebagai perempuan. Tidaklah ia menjadi sebab, yang orang Yahudi sekarang tiap-tiap pagi mengucapkan kalimat: "Terpujilah Engkau, ya Allah, Robbul’alamin, bahwa Engkau tidak membuat akan daku seorang perempuan". Tidaklah ia menjadi sebab, yang bangsa Inggeris tidak mempunyai kata buat manusia melainkan "man" (laki-laki), dan bangsa Perancis tak mempunyai perkataan buat manusia pula, melainkan "homme" (laki-laki)!

Pendek kata, soal perempuan tak dapat kita nilaikan betul-betul harganya buat masyarakat, kalau kita pisahkan dia dari sejarahnya masyarakat, sejarahnya perhubungan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat.

Sejarah perempuan adalah bergandengan dengan sejarah laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki.

Di muka telah berulang-ulang kita katakan, bahwa di zaman Matriarchat (peribuan), kedudukan perempuan adalah lain dari di zaman sekarang, berganda-ganda lebih tinggi dari di zaman sekarang.

Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita dus lebih senang kepada aturan matriarchat itu? Sama sekali tidak! Sebab manakala di zaman perbapaan (patriarchat) sekarang ini kaum isteri menjadi kaum yang tertindas, maka di zaman peribuan adalah kaum laki-laki kaum yang tertindas. Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum perempuan, maka matriarchat adalah membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan kaum perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu fihak menindas kepada yang lain, tak perduli fihak mana yang menindas, dan tak perduli fihak mana yang tertindas.

Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.

Saya bukan pencinta matriarchat, saya adalah pencinta patriarchat, bukan oleh karena saya seorang laki-laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan, karena hanya dengan hukum keturunan menurut garis perbapaanlah, – di mana perempuan diperisterikan oleh satu orang laki-laki saja, dan tidak lebih -, orang dapat mengatakan dengan pasti: siapa ibunya, siapa bapaknya, – siapa yang mengandungnya, tetapi juga siapa yang menerimakan ia ke dalam kandungan itu. Tetapi di dalam hukum matriarchat, (yang menetapkan keturunan itu menurut garis peribuan), maka orang hanyalah dapat yakin siapa ibunya, tetapi tidak dapat yakin siapa bapaknya. Di dalam bab-bab berikut akan saya kupas hal ini lebih lanjut.

Saya pencinta patriarchat, tetapi hendaklah patriarchat itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patri-archat yang sebenarnya "parental". Saya yakin, bahwa agama-agama adalah dimaksudkan sebagai "pengatur" patriarchat, pengkoreksi ekses-eksesnya patriarchat. Saya yakin, bahwa itu lah salah satu maksud agama, – tetapi apa yang kini telah terjadi? Lihatlah di masyarakat Nasrani. (Bukan agama Nasrani). Maksud agama didurhakai. Perempuan sesudah kawin, hampir hilang haknya sama sekali, dan perempuan menjadi pula barang dagangan persundalan. Dan lihatlah di masyarakat Islam. Maksud agama Islam, semangat agama Islam, yaitu melindungi kaum perempuan dari ekses-eksesnya patriarchat itu, kadang-kadang dilupakan orang, dipendam di bawah timbunan-timbunan tradisi-tradisi, adat-adat, pendapat-pendapat dari kaum-kaum kuno, sehingga kedudukan kaum perempuan yang mau dijunjung tinggi oleh Islam sejati itu kadang-kadang menjadi sama sekali satu kedudukan yang hampir tak ada ubahny daripada kedudukan seorang budak. Pendapat-pendapat dari setengah kaum yang demikian itu di beberapa kalangan menjadi suatu tradisi fikiran, satu kebiasaan fikiran. Firman-firman Tuhan yang untuk menentukan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam sistim patriarchat itu, firman-firman ini lantas ditafsir-tafsirkan dengan kacamata tradisi fikiran itu. Firman-firman ini lantas dijadikan alat-alat buat menundukkan kaum perempuan di bawah lutut laki-laki, dijadikan alat-alat buat memperlakukan kaum perempuan itu sebagai makhluk-makhluk yang harus mengambing saja kepada ke Yang Dipertuan, kaum laki-laki. Maha bijaksanalah Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistim kemasyarakatan yang cocok dengan kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengarti akan hikmat patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan penindasan!