Lompat ke isi

Sarinah/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Sarinah oleh Soekarno
Bab 3: Dari Gua ke Kota

Ilmu pengetahuan (wetenschap) sudah lama membantah pendapat setengah orang, bahwa adanya manusia di muka bumi ini barulah 6.000 tahun atau kurang lebih 7.600 tahun saja. Ilmu geologi, anthropologi, archeologi, histori dan praehistori menetapkan dengan bukti-bukti yang nyata, yang dapat diraba, bahwa manusia itu telah ratusan ribu tahun mendiami muka bumi ini: Sir Arthur Keith misalnya menghitung zaman manusia itu pada kurang lebih 800.000 atau 900.000 tahun. Setidak-tidaknya tak kurang dari 300.000 tahun (I.H.Jeans). Hanya saja harus diketahui, bahwa manusia purbakala itu belum begitu sempurna sebagai manusia zaman sekarang.

Manusia zaman purbakala yang bernama Pithecanthropus Erectus (sekitar 500.000 tahun yang lalu), Homo Heidelbergensis (sekitar 250.000 tahun yang lalu), Eoanthropus (sekitar 100.000 tahun yang lalu.), Neanderthalmensch (sekitar 50.000 tahun yang lalu), manusia-manusia ini semuanya kalah kesempurnaannya dengan manusia zaman sekarang. Tetapi 35.000 tahun yang akhir ini, sudahlah ternyata dengan bukti-bukti, bahwa manusia sudah "sempurna" seperti kita zaman sekarang. Sudah barang tentu jumlah manusia itu dulu jauh kurang pula daripada sekarang. Sudah barang tentu pula tidak di mana-mana di muka bumi itu selalu ada manusia, dan tidak di mana-mana pula zaman manusia itu sama tuanya.

Ada negeri-negeri yang sudah lama didiami manusia, ada negeri-negeri yang belum begitu lama didiami oleh manusia. Sebaliknya, ada pula negeri-negeri, yang dulu didiami oleh. manusia, tetapi sekarang kosong dan sunyi.

Misalnya saja padang pasir Sahara. Ada bekas-bekas kultur manusia di Sahara itu, yang membuktikan, bahwa di situ di zaman dulu banyak air dan rumput dan pohon-pohonan, banyak syarat-syarat untuk manusia dan binatang untuk hidup, dan tidak padang pasir yang kering, terik, dan kosong seperti sekarang. Sebaliknya, negeri-negeri Utara seperti Swedia dan Norwegia, yang sekarang begitu banyak manusianya, di zaman dulu adalah kosong oleh karena samasekali tertutup dengan es yang bermeter-meter tebalnya.

Perhitungan Sir Arthur Keith itu disendikan kepada bukti-bukti yang ada. Tetapi mungkin juga ilmu pengetahuan nanti mendapat lagi bukti-bukti yang lebih "tua" dari itu, sehingga perhitungan Sir Arthur Keith itu terpaksa dijadikan "lebih tua" lagi. Maka lantas terpaksa kita mengatakan, bahwa bukan 800.000 tahun, bukan 900.000 tahun sudah ada manusia, tetapi bisa juga 1.000.000 tahun, atau 1.100.000 tahun, atau 1.200.000 tahun. Tetapi bagaimanapun juga, nyatalah sudah salahnya pendapat setengah orang, bahwa manusia itu baru 7.600 tahun saja mendiami dunia ini.

Sudah barang tentu manusia purbakala itu (meskipun kita mengambil manusia-manusia "yang betul-betul manusia" dari zaman praehistori yang terakhir) kecerdasannya, cara hidupnya, anggapan-anggapannya, adat-istiadatnya, kebutuhan-kebutuhan-nya, pergaulan hidupnya, lain daripada manusia zaman sekarang. Manusia-manusia purbakala itu pada mulanya hidup di dalam rimba-rimba dan gua-gua. Mereka belum mempunyai perkakas, mereka belum kenal besi, mereka belum cukup cerdas membuat rumah. Malahan rumah ini bukan saja tak perIu bagi mereka, tetapi juga ... akan merugikan kepada inereka. Sebab di zaman yang pertama itu, manusia hidup dari memburu dan mencari ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu dan mencari ikan. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, tempat yang sudah habis binatangnya dan ikannya mereka tinggalkan, untuk mencari lain tempat yang banyak binatangnya dan banyak ikannya pula. Mereka adalah hidup secara "nomade", yang selalu berpindah kian kemari, jadi yang tak perlu mempunyai "rumah". Hutan dan gua, itulah rumah mereka.

Di dalam tingkat yang pertama itu, mereka belum mempunyai masyarakat. Mereka hidup berkawan-kawanan, bergolong-golongan di dalam persekutuan-persekutuan kecil yang dinamakan horde (kelompok), dengan tak ada pertalian apa-apa melainkan pertalian kerja bersama dan perlindungan-bersama, dengan tak ada "moral" melainkan moral cari makan dan cari hidup. Mereka tak banyak ubahnya daripada anjing-anjing serigala atau gajah-gajah, yang juga hidup di dalam gerombolan-gerombolan kelompok. Mereka sebagai anjing-anjing dan gajah-gajah itu, selalu berpindah kian-kemari menurut keperluan pencaharian hidup dan keselamatan hidup.

Kalau pada satu tempat, buruan dan ikan sudah habis, ditinggalkanlah tempat itu, dan dicarinyalah tempat lain.

Di dalam kelompok inilah perempuan telah mulai menjadi makhluk yang ditaklukkan. "Pembahagian pekerjaan adalah sebabnya ketaklukan itu. Laki-laki semuanya pergi kian-kemari, semuanya memburu, mencari ikan, semuanya berkelahi dengan binatang-binatang buas atau dengan kelompok-kelompok manusia yang lain, tetapi perempuan hanya sebagian saja yang ikut pekerjaan itu: Perempuan yang hamil atau yang membawa anak-anak kecil, tak dapat ikut lari-lari, tak dapat ikut memburu atau berjuang. Ia bersama-sama laki-laki. yang sudah kakek-kakek tinggal di dalam gua atau di bawah pohon "kediamannya", menunggu kaum laki-laki pulang dari perburuan atau perkelahiannya itu. Ia bergantung kepada laki-laki, dan menilik kekasaran dan kebinatangan semua makhluk yang masih liar, maka niscaya nasib perempuan di waktu itu pada umumnya sangat tersia-sia. Ia diperintah saja oleh laki-laki itu, diperkudakan, disuruh mencari daun-daunan dan akar akaran, disuruh memelihara api siang dan malam, dibebani dengan segala pekerjaan yang tidak termasuk perburuan dan pencarian ikan. Ia, menurut August Bebel adalah budak yang pertama. Bebel berkata: " Perempuan adalah budak sebelum ada budak". Ia adalah bernasib sama dengan anjing betina, yang kalau yang jantan tak senang, terus digigit dan dihantam saja, – atau ditinggalkan oleh anjing jantan itu mentah-mentahan. Malah kadang-kadang ia dibunuh, sebagaimana kakek-kakek dan nenek-nenekpun dibunuh, karena terlalu membebani kelompok itu. Hukum persuami-isterian belum ada di dalam kelompok itu. Menurut Prof. Bachofen adalah di dalam kelompok itu "promiskuiteit", artinya: bahwa di dalam kelompok itu hantam-kromo campuran – saja laki-laki dan perempuan mencari kepuasan syahwat satu dengan yang lain. Hantam-kromo saja urusan syahwat itu, – mana yang disukai pada sesuatu saat, itulah yang jadi. Tidak dapat laki-laki di dalam kelompok itu berkata "ini isteriku", tidak dapat pula perempuan menunjuk-kan seorang laki-laki seraya berkata "ini suamiku". Begitulah pendapat Bachofen. Tetapi ada aliran lain pula mengoreksi teori Bachofen ini, misal-nya Eisler, yang berkata: bahwa benar belum ada "pernikahan" di dalam kelompok itu, tetapi pun tidak ada itu promiskuiteit yang hantam-hantaman kromo samasekali. Menurut Eisler, di dalam kelompok tidak ada anarkhi seksuil yang absolut. Laki-laki selalu "berkawin" buat sementara dengan perempuan yang ia senangi. Di dalam kelompok itu bukan "promiskuiteit" yang orang lihat, begitulah kata Eisler, tapi "pasangan-pasangan yang sementara", tijdelijke paring, atau di dalam bahasa Jerman “Zeit-Ehe". Zeit-Ehe ini nanti kalau sudah "bosan", dilepaskan lagi atau ditiadakan lagi, buat menjadi lagi pasangan-pasangan baru dengan laki-laki lain atau perempuan-perempuan lain. Sudahkah tuan pernah perhatikan pasangan sementara di kalangan anjing? Anjing jantan selalu berganti isteri, dan anjing betina selalu berganti suami, tetapi "persuami-isterian" itu bukan hanya buat satu saat beberapa detik saja, melainkan "luku" sampai beberapa minggu lamanya. Anjing selalu "berlaki-bini", sungguhpun hanya buat sementara.

Demikianlah pula perlaki-isterian di dalam kelompok manusia. Benar lelaki mengambil isteri mana saja di dalam kelompok itu yang ia sukai, benar perempuanpun berbuat begitu tetapi "pasangan-sementara" selalu ada. Hanya saja "pasangan-sementara" ini tidak membuat nasib orang perempuan itu menjadi ringan. Laki-laki tidak menanggung tanggungan sedikit-pun atas akibat-akibatnya "pasangan sementara" itu, tetapi perempuanlah yang menanggung hamilnya, perempuanlah yang menanggung pemeliharaan anak, perempuanlah yang menanggung segala konsekwensi "pasangan-sementara" itu.

Di dalam periode kelompok sudahlah perempuan sengsara, – budak yang pertama – sebagai kata Bebel tadi itu. Hanyalah menurut ahli-ahli penyelidikan bangsa-bangsa yang masih biadab, kesengsaraan ini tidak begitu berat dirasanya sebagai kesengsaraan yang musti ditanggung oleh setengah perempuan-perempuan di zaman sekarang, yang bukan saja tertutup samasekali jasmaninya seperti di dalam penjara, tetapi juga tertutup fikirannya, kesenangan-kesenangannya, rohaninya, dan diperbudak serta disiksa pula. Menurut keterangan ahli-ahli ini, maka bagaimapun juga jeleknya nasib perempuan di dalam kelompok itu, belumlah ia menjadi siksaan jiwa yang begitu sangat sebagai perempuan-perempuan tutupan di zaman sekarang ini. Sorot mata perem-puan-perempuan kelompok tentu masih sorot mata "merdeka", menilik gambar-gambar di dalam gua dari puluhan ribu tahun yang lalu, yang menggambarkan perempuan ikut "berpesta" dengan kaum laki-laki. Sebagaimana nasib serigala betina di dalam kelompok serigala bukan nasib yang jelek samasekali, – anjing serigala betina masih banyak kesenangannya dan kemerdekaannya, maka perempuan kelompok pun masih banyak kesenangannya dan kemerdekaannya.

Lama sekali periode ini. Tetapi lambat laun datanglah perubahan. Periode mencari hidup dengan berburu dan mencari ikan berganti dengan periode, yang pencaharian hidupnya secara lain. Banyak ahli mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu, diikuti oleh periode menternakkan binatang, periode penggembalaan. Binatang-binatang yang orang tangkap di waktu perburuan itu, yang tidak mati, orang peliharakan, dan ini menjadi asal-asalnya orang memelihara ternak: memelihara sapi, memelihara kuda, memelihara kambing, memelihara kerbau. Tetapi setengah lagi kaum ahli, – misalnya Dr. Fleure dari University College of Wales -, mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu bukan diikuti oleh periode peternakan, melainkan oleh periode menanam tumbuh-tumbuhan, yakni periode pertanian. (Morgan, seorang ahli yang lain, ada berpendapat lain lagi. Menurut beliau maka tidak adalah periode yang manusia hanya melulu berburu dan mencari ikan saja. Makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah dikenal manusia sejak mulanya). Tetapi bagaimana juga, nyatalah bahwa pertanian adalah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada perburuan. Dr. Fleure menyandarkan teorinya kepada alasan, bahwa sering terdapat bekas-bekas atau tanda-tanda pertanian purbakala, yang tidak disertai pula dengan bekas-bekas atau tanda-tanda peternakan. Jadi: ada pertanian dengan tak ada peternakan; dan ini dianggap-nya sebagai bukti, bahwa pertanianlah yang lebih dulu.

Orang di kelompok itu, kata Dr. Fleure, tidak hanya makan daging dan ikan saja, tetapi niscaya makan juga tumbuh-tumbuhan liar. Manusia bukan pemakan daging saja sebagai harimau dan serigala, manusia bukan carnivor, – manusia adalah perlu juga kepada tumbun-tumbuhan, kepada daun-daunan, kepada buah-buahan, kepada akar-akaran. Dia adalah "omnivor". Maka oleh karena manusia omnivor, maka orang-orang perempuan di kelompok itu, kalau kaum laki-laki berburu, mencari tumbuh-tumbuhan, dan lambat-laun terbuka ingatannya akan menanam benih-benih tumbuh-tumbuhan itu. Maka dia, perempuan adalah berjasa besar kepada kemanusiaan sebagai makhluk yang pertama-tama mendapatkan ilmu bercocok tanam, yang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Dan bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian! – ia juga adalah pekerja pertanian yang pertama. Ia juga adalah petani yang pertama, sebagai nanti akan saya uraikan lebih lanjut.

Buat jasa ini saja kemanusiaan pantas mendirikan patung terima-kasih bagi perempuan itu!

Bagaimanapun juga, – peternakan lebih dulu, atau langsung kepada pertanian, – pada kira-kira 10.000 tahun atau 12.000 tahun yang lalu dunia manusia masuk ke dalam periode pertanian itu. Dan apa yang kita lihat? Perubahan cara pencaharian hidup ini, perubahan proses pencaharian ini, membawa perubahan besar di dalam nasib perempuan itu. Mulai sekarang dia menjadi makhluk yang penting, oleh karena dialah mulai sekarang menjadi pembuat bekal hidup yang penting, yakni ubi, keladi, jagung dan lain sebagainya yang dia perdapat dengan pertaniannya itu, meski pertaniannya itu masih sederhana sekali. Dia mulai sekarang menjadi produsen yang berharga. Malahan dialah yang menjadi induk kemajuan, induknya "kultur", yang mula-mula. Dialah petani yang pertama, tetapi dia pulalah yang pertama sekali mulai terbuka ingatannya membuat rumah. Laki-laki masih banyak lari kian-kemari di hutan, ditepi-tepi sungai, di pantai laut, di padang-padang rumput, di rawa-rawa, tetapi dia, perempuan, karena menjaga hamilnya, atau menjaga anak-anaknya yang kecil serta kebunnya yang sederhana, tetapi tak dapat ditinggalkan itu, dia mulai mencoba membuat tempat kediaman yang tetap. Dia mulai mencoba-coba mendirikan "rumah" yang akan melindungi dirinya serta anak-anaknya daripada panasnya matahari dan basahnya air hujan, dinginnya hawa malam dan tajamnya angin. Dialah yang dengan dahan-dahan kayu, ranting-ranting dan daun-daun mula-mula mendirikan gubug yang amat bersahaja. Dan bukan saja "rumah" Dia jugalah yang pertama-tama duduk di samping buaian kesenian. Dia, kaum perempuan itu, dialah yang mula-mula terbuka ingatannya membuat tali guna mengikat bagian-bagian gubugnya, membuat barang-barang keperluan hidup yang sangat perlu, sebagai misalnya melunakkan kulit binatang yang sudah kering, menganyam tikar atau menganyam keranjang, memintal serat kayu menjadi benang, menenun benang itu menjadi kain kasar, membentuk tanah liat menjadi semacam periuk atau semacam pinggan. Dia, kaum perempuan, dialah yang mula-mula induknya kultur. Dialah pembangun kultur yang pertama, dia dan bukan laki-laki. Dialah menurut Kautsky "pembangun peradaban manusia yang pertama". Juga buat ini ia pantas mendapat patung terimakasih di dalam ingatan kita!

Makin lama makin "laku" pertanian itu. Hasil perburuan dan pencaharian ikan tidak selamanya tetap, – kadang-kadang dapat, kadang-kadang tidak dapat. Tetapi pertanian hasilnya selalu mengalir. Oleh karena itu, maka pertanian itu diperbesar, dan lambat-laun menjadi tiang hidup yang nomor satu. Perburuan dan pencarian ikan itu makin surut, makin diabaikan, makin dikesampingkan. Orang laki-laki yang kini banyak tempo terluang, mulai mengerjakan peternakan. Maka di sini adalah pertanian itu disampingi oleh peternakan. Tapi kecuali di negeri-negeri yang memang negeri rumput, tak mampu peternakan itu mengalahkan pertanian. Pertanian tetap sumber hidup yang paling penting.

Maka makin tambah pentingnya arti pertanian di dalam kehidupan dan penghidupan manusia itu, makin naiklah derajat perempuan, makin naiklah kekuasaannya. Makin naiklah "bintangnya", – naik, buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan. Sebab dialah yang kini menjadi produsen yang terpenting di dalam masyarakat, dari padanyalah tergantung selamat atau tidak selamatnya masyarakat. Cara hidup yang berpindah-pindah tempat itu berubah menjadi cara hidup yang tetap pada satu tempat, manusia nomade yang hidup berkeliaran, selalu berpindah-pindah, berganti sifat menjadi manusia yang "berdiam".

Dan di tempat kediaman itu perempuanlah yang menjadi pusatnya! Tidak lagi ia kini dianggap seperti "benda yang orang terpaksa bawa juga" seperti di zamannya kelompok, tidak lagi ia kini dianggap seperti "noodzakelijk kwaad", tetapi menjadilah ia makhluk yang sangat berharga. Ia menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, tunggak masyarakat!

Maka perubahan di dalam cara hidup ini membawa pula perubahan di dalam moral perlaki-isterian. Dulu perlaki-isterian itu secara anjing serigala saja, dulu adalah "Zeit-Ehe" ataupun "Promiskuiteit". Tapi kini perlaki-isterian ini mulai diatur sedikit-dikit, diatur perhubungannya antara laki-laki dan perempuan, dan diatur pula hal-hal yang mengenai keturunan-keturunan sebagai hasilnya perhubungan laki-laki dan perempuan itu. Kini buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan diadakan hukum yang mengatur perlaki-isterian dan keturunan itu. Memang urusan keturunan inilah pokok-pangkal semua hukum perlaki-isterian, asal-mula segala hukum perlaki-isterian. Melepaskan syahwat, membuat keturunan, adalah mudah -, tetapi memelihara keturunan itu tidaklah mudah. Memelihara keturunan itu hajat kepada kecakapan, kepada banyak pekerjaan, kepada banyak pusing kepala. Dulu di dalam kelompok perempuan saja yang mendapat bagian pusing kepala ini. Laki-laki tinggal bersenang-senang, tak ambil pusing lagi lebih jauh apakah akibat pelepasan syahwat itu nanti. Hanya nanti, nanti kalau si anak itu sudah besar, kalau si anak itu sudah tidak memusingkan kepala lagi dengan pemeliharaannya, tetapi sebaliknya menguntungkan kepada yang mempunyainya, maka laki-laki lantas mau berkuasa atas si anak itu. Dia lantas berkata: “Dia anakku". Tapi, ... orang laki-laki lain berkata pula:

"Dia anakku"! Ya, anak siapa dia itu sebenarnya? Ia tak tentu bapanya! Ia banyak sekali "bapanya"! Laki-laki yang satu mengaku menjadi bapanya, lelaki yang lain membantah: tidak, akulah bapanya. Memang begitulah akibat Zeit-Ehe atau Promiskuiteit. Orang selalu berkelahi, kadang-kadang sampai pecah tercerai-berai kelompok itu, – nyatalah perlu sekali kini diadakan hukum.

Maka kaum perempuan, yang kini menduduki derajat yang penting itu, kaum perempuan itulah yang membuat hukum itu. Kaum perempuan itu mengadakan hukum keturunan menurut garis peribuan. Menurut hukum peribuan ini, maka keturunan disebutkan menurut garis ibu, bukan ditangan bapa. Orang tidak menanya "siapakah bapanya", tetapi orang menanya "siapakah ibunya". Memang (juga di masyarakat sekarang ini), manusia sebenarnya hanyalah dapat ditetapkan dengan kenyataan-bukti: siapa ibunya, dan tidak dengan yakin siapa bapanya. Juga buat zaman sekarang, dengan hukum-hukum perkawinan, "siapa bapa" itu sebenarnya hanyalah satu hal kepercayaan saja. Goethe, itu penyair dan ahli faIsafah Jerman yang termasyhur, mengatakan, bahwa "siapa bapa" itu hanyalah berdasar "nur auf gutem Glauben" belaka. Artinya: hanya berdasar atas kepercayaan, bukan atas kenyataan bukti! Sehingga sampai sekarang adalah satu peribahasa Eropa yang berbunyi: "Anak bijaksana, yang mengenal bapanya". Tetapi dengan bapa banyak atau dengan bapa satu, dengan hukum perkawinan atau tidak dengan hukum perkawinan, dapatlah ditentukan dengan pasti dan yakin: inilah ibunya, inilah orang yang mengandungkan dia, inilah orang yang melahirkan dia ! Itulah sebabnya, maka perempuan di zaman periode kedua dari evolusi kemanusiaan itu, lantas menetapkan "hukum keturunan menurut garis peribuan" itu menjadi hukum perlaki-isterian dan hukum-keturunan. Hukum peribuan ini menjadi hukum yang pertama-tama di dalam pergaulan manusia. Jadi perempuanlah yang pertama-tama mengaruniai kemanusiaan dengan hukum, perempuanlah pembuat hukum yang pertama.

Menjadi: Perempuan petani yang pertama. Perempuan pembangun kultur yang pertama. Perempuan pembuat hukum yang pertama.

Buat ketiga kalinya saya undang tuan-tuan mendirikan patung terima kasih kepadanya di dalam kalbu!

Maka dengan diadakannya hukum peribuan ini, serta hilangnya sifat nomade menjadi sifat "perumahan yang tetap", hilang pula sifat kelompok, dan menjadilah ia bersifat gens, – yakni menjadilah ia "keluarga besar". Perempuan dengan semua keluarganya tua-muda berdiam menjadi satu di satu tempat, – yang bukan keluarga tidak boleh berkumpul di situ, tapi berdiam menjadi gerombolan lain dengan keluarga-keluarganya sendiri pula. Di dalam gens yang demikian itu cara hidup adalah cara hidup sama-rata. Boleh dikatakan cara hidup mereka itu adalah cara hidup komunistis! Dr. F. Muller-Lyer, itu ahli masyarakat yang termasyhur, ada menceritakan dari hal gens pada tingkatan ini: "Anggota-anggota pergabungan keluarga itu memiliki tanah sebagai milik bersama, mereka kerjakan tanah itu bersama-sama pula, dan mereka bagikan buah tanamannya itu di antara keluarga-keluarganya menurut keperluan masing-masing. Sering sekali mereka berdiam berkumpul di dalam rumah-rumah yang besar. Tiap-tiap anggota mempunyai hak yang sama atas ladang itu, dan menerima segala apa yang ia perlukan dari hasil pertanian-bersama itu. Pada hampir semua rakyat-rakyat pertanian yang bertingkat sederhana ini, adalah cara kerja komunistis itu cara-kerja yang asli".

Keluarga (Jawa: somah) seperti yang kita kenal sekarang ini, – satu suami, satu isteri, anak, di dalam satu rumah, pahit-manis dipikul bersama-sama -, keluarga yang demikian itu belum dikenal orang di masa itu. Orang hidup dengan semua sanak-sanak-familinya menjadi satu gerombolan besar, satu persatuan darah yang besar, satu keluarga besar, – rukun dan rapat, mati-hidup bersama-sama, mengerjakan ladang bersama-sama, menentang musuh bersama-sama. Justru persekutuan dan kerukunan gens inilah menghambat terjadinya "somah" itu. Sebab, oleh karena kini perempuan itu menjadi satu makhluk yang sangat berharga, – tidak seperti dulu di zaman kelompok -, maka gens tidak mau melepaskan dia pindah mengikuti suaminya kelain gens. (Suaminya perempuan itu lebih dari satu. Sebalikya, laki-lakipun isterinya lebih dari satu). Orang lelaki dari lain gens yang kawin dengan dia, tidak boleh membawa dia pindah kerumahnya, tetapi si laki itulah yang musti pindah ke rumah perempuannya itu, atau, kalau si laki itu tinggal di gens-nya sendiri, – ia datang di rumah isterinya itu hanya pada waktu ada keperluan saja. (Sisanya aturan begini sekarang misalnya masih ada di Minangkabau, begitu pula pada orang Indian di Amerika Utara, pada beberapa bangsa di Oceania, pada sebagian bangsa Neger, dll. Dulu aturan ini nyata benar ada pada bangsa Israil; sampai di zaman Yesus, orang masih menamakan beliau Isa Ibnu Maryam! Juga pada bangsa Mesir, Phunicia, Etruska, Lykia, Iberia, Inggeris, dll dulu berlaku aturan ini). Tuan mengerti, aturan yang demikian ini tentu tidak mengasih jalan kepada timbulnya satu "persomahan" yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak saja, yang seperti kita kenal di zaman kemudian. Tetapi kendati begitu, kedudukan perempuan di dalam gens itu adalah kedudukan yang sangat mulia sekali. Sudah barang tentu! Sebab yang berkumpul men-jadi satu di dalam gens itu, – laki-perempuan -, adalah keluarga-keluarga dari fihak perempuan. Meski seseorang perempuan sudah kawin dengan orang laki-laki dari lain gens pun, ia masih berkumpul dengan sanak-famili se gens, dan karenanya ia masih terus mendapat sokongan dari sanak-famili se gens itu. Tapi laki-laki tidak mendapat sokongan itu, laki-laki bertindak terhadap isterinya itu seperti "orang sendirian", sebagai individu. Orang perempuan jadi lebih kuasa daripadanya. Orang perempuan di waktu itu misalnya di Eropa disebutkan Frowa, – yang maknanya tuan puteri. (Ingatkan perkataan mevrouw, atau Frau). Malahan, seringkali, di tingkat yang kemudian, kalau gens-gens itu sudah bertalikan satu dengan lain meliputi satu daerah, dan pemerintahan sudah dijalankan oleh satu kepala atau satu raja -, maka ditetapkanlah bahwa kepala itu harus kepala puteri, rajanya raja puteri, pahlawannya pahlawan puteri, pemimpin rapat pemimpin-puteri. Maka bertambahlah hukum peribuan itu menjadi pemerintahan – ibu, – menjadi Matriarchat. Dari bangsa Indian Irokees misalnya, Lafitau menulis: "Semua pemerintahan di negeri itu adalah di tangan perempuan: merekalah yang menguasai ladang-ladang dan hasil-hasil ladang itu, merekalah menjadi jiwa persidangan-persidangan majelis negeri, merekalah berkuasa atas perang atau damai, merekalah mengurus cukai, mengurus kekayaan suku, kepada merekalah orang serahkan orang-orang tawanan, merekalah menetapkan perkawinan-perkawinan, merekalah berkuasa atas anak-anak, dan menurut garis merekalah diambil keturunan". Pada bangsa Indian Wyandot keadaan juga begitu, majelis pemerintahan mereka adalah terdiri dari 55 orang; anggota laki-laki dari majelis ini hanya 11 orang; tapi anggota perempuan ... 44 orang!

Dan juga di dalam urusan agama kaum perempuan dijadikan pemimpin. Mrs. Ray Strachey menerangkan, bahwa justru di dalam urusan agamalah kaum perempuan di zaman dulu hampir selamanya diutamakan dari kaum laki-laki; perempuan dianggap lebih suci daripada kaum laki-laki. Di dalam kehidupan sehari-haripun orang lebih mencintai dewi-dewi daripada dewa-dewa. Agama Sumeria, agama Shinto, yang kedua-duanya agama tua sekali, sangat memuliakan perempuan. Pada banyak bangsa di lautan Teduh masih selalu perempuan yang mengepalai agama.

Sekianlah keadaan kaum perempuan di zaman hukum peribuan atau matriarchat itu. Di dalam bab IV hal ini akan saya terangkan lebih lebar. Di dalam bab II pun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit tentang zaman peribuan ini. Di zaman itu kaum perempuan, karena kemerdekaannya, adalah besar-besar dan sigap-sigap badan, cerdas-cerdas dan tangkas-tangkas, berani-berani dan luas-luas penglihatan, – tidak seperti perempuan-perempuan di zaman sekarang, yang kecil-kecil dan takut-takut. Di zaman peribuan itu mereka bukan "kaum lemah", bukan "kaum bodoh", bukan "kaum sempit pikiran", bukan "kaum penakut". Di zaman itu perempuan bukan "kaum dapur" saja, bukan "bunga rumah tangga" saja. Mereka berkuasa, menduduki masyarakat, mengendali masyarakat, menguasai masyarakat. Malah kaum laki-lakilah yang di zaman itu dianggap sebagai kaum embel-embel semata-mata. Mereka hanya dianggap sebagai anasir "pemacek", – anasir "pembuat turunan". Mereka, kaum laki-laki itu, di zaman peribuan berkedudukan seperti semut laki atau lebah laki dalam masyarakat semut dan masyarakat lebah. Juga dalam masyarakat semut dan masyarakat lebah itu betina lebih penting daripada laki; juga di situ si laki hanya pemacek. Malahan di masyarakat semut dan lebah itu si laki dibunuh sesudah ia selesai mengerjakan pacekannya! Maka pantaslah orang menanya: Manakah kebenaran semua "teori" yang mengatakan, bahwa sudah kodrat perempuan-perempuan. menjadi penunggu rumah tangga dan penunggu periuk-nasi saja?[1]

Tetapi ... zaman selalu berjalan, zaman selalu beralih. Datanglah phase (tingkat) ketiga di dalam sejarah peri-kemanusiaan itu, yang menggugurkan lagi kaum perempuan dari singgasananya. Kaum laki-laki yang dulu berburu dan mencari ikan itu, yang kadang-kadang berminggu-minggu meninggalkan kelompok atau gensnya buat berjuang di dalam rimba atau bersenang-senang di dalam rimba, kaum laki-laki itu lambat-laun makin lama makin meninggalkan cara pencarian hidup dengan berburu dan mencari ikan itu. Buat apa cape-cape lagi membahayakan diri di dalam perburuan, yang juga tidak selamanya berhasil baik itu, kalau ada sumber rezeki lain yang lebih menyenangkan? Tidakkah hasil pertanian telah mencukupi segala-gala keperluan hidup? Dulu, tatkala orang belum kenal pertanian, dulu orang terpaksa hidup di gunung-gunung dan di rimba-rimba yang banyak binatang-binatang dan sato hewannya. Kini orang meninggalkan rimba-rimba itu, meninggalkan tempat-tempat yang sukar dan sempit, kini orang mencari tanah-tanah datar dan tanah-tanah rata yang baik buat pertanian itu. Kini tanah yang subur dan yang berisi banyak zatlah yang orang perlukan, – meskipun tidak ada binatang sato khewan di situ. Kini ditanah yang bukan rimba dan bukan gunung itu perburuan itu menjadi sangat terdorong ke belakang. Lagipula, sudah lama pula orang laki-laki terbuka ingatannya buat menternakkan binatang sato khewan. Juga buat peternakan ini, bukan rimba dan gunung-gunung yang diperlukan, tetapi tanah rata yang banyak rumput. Karena peternakan inipun, maka laki-laki lantas banyak waktunya yang senggang, banyak waktunya yang tak terpakai, tidak seperti dulu, tatkala ia berhari-hari musti mengintai atau mengejar buruan. Maka lambat-laun laki-laki lantas ikut-ikut menjadi tani pula. Malahan lambat-laun laki-laki itu lantas "memborong" pekerjaan pertanian, – perempuan disuruh tinggal di rumah saja, atau, kalau diajak ke ladang, hanya dipakai sebagai pembantunya saja. Maka lambat-laun merosotlah kedudukan perempuan sebagai produsen, lambat-laun lunturlah pamor wanita sebagai pemberi makan kepada semua keluarganya. Sebaliknya si laki-lakilah yang makin naik derajat, si laki-lakilah yang makin bertambah nama dan kekuasaannya. Sebab kini dialah yang bekerja di ladang, dialah yang menguasai ladang. Dialah kini produsen yang pertama, dialah kini pemberi-hidup.

Dialah kini menjadi penjaga dan pemelihara milik. Dulu di zaman mula-mulanya pertanian, milik itu hanya berupa rumah, senjata-senjata, perkakas-perkakas, perahu, sedikit pakaian, periuk-periuk, dll sebagainya saja. Tapi kini, ternak semakin lama sudah semakin bertambah, lebih cepat bertambah dari tambahnya manusia, sehingga, milik ternak itu kadang-kadang menjadi berpuluh-puluh ekor atau beratus-ratus ekor!

Perdagangan bertukar dengan gens-gens atau suku-suku yang lainpun, yang kini mulai berkembang, menambah pula jumlah milik itu. Dan orang-orang tawananpun, yang dulu dibunuh saja, kini dijadikan budak-budak pembantu di ladang dan ini berarti penambahan milik pula. Maka kini timbullah satu soal yang maha penting: kepada siapakah laki-laki akan mewariskan milik ini kalau ia meninggal dunia? Kini mulailah laki-laki memikirkan hukum keturunan pula. Kini timbullah keinginan pada laki-laki itu supaya anak-anak dia sendiri sajalah, – bukan anak-anak orang lain, sebagai di dalam hukum peribuan -, yang mewarisi benda-benda dan milik-milik hasil keringatnya itu. Kini ia mau yakin, mau pasti, bahwa anak-anak dia sendiri sajalah yang kelak mewarisi ternak, perkakas, senjata-senjata, pakaian-pakaian, budak-budak pembantu itu. Ia tidak mau membanting tulang buat hari kemudian anak orang-lain, ia hanya mau membanting tulang buat hari kemudian anak dia sendiri. Maka oleh karena itu, kini ia tentukan, bahwa perempuan-perempuannya! -, tidak boleh berkawin dengan lelaki lain, melainkan hanya dengan dia sendiri saja. Kini ia tuntut kepada perempuan itu dengan ancaman hukum mati kesetiaan perkawinan, kesetiaan perlaki-isterian. Kini ia mau bekerja buat isteri-isteri dan anak-anaknya sendiri saja, dan tidak buat gens seumumnya.

Maka lambat-laun pecahlah persatuan gens yang sediakala itu, pecahlah pergaulan hidup secara sama rata sama rata itu. Masing-masing laki-laki minta bahagiannya sendiri-sendiri dari tanah kommunal milik gens itu. Masing-masing laki-laki membentuk satu " gezin ", membentuk somah, yang di situlah ia pusatkan segala kemauannya mencari kekayaan, segala energi-nya. Sebab ia kini tahu: ia bekerja buat turunannya sendiri! Kalau ia mati, anak-anaknya sendirilah yang akan menerima kekayaan itu. Hak keturunan dari ibu dihapuskan, diganti dengan hak keturunan dari bapa. Dan Sarinah, yang dulu berkuasa dan berpengaruh itu, Sarinah kini menjadi makhluk yang duduk di tingkatan yang kedua lagi. Malahan kemudian lagi, bapa lebih mementingkan anak daripada isteri, dan Sarinah merosot lagi ke tempat kedudukan yang ketiga.

Sebab anak inilah yang menerus-kan darahnya, isteri hanyalah satu "perantaraan" saja. Sarinah bukan lagi penguasa masyarakat, tapi menjadi benda dalam rumah tangga saja, benda penglahirkan anak dan benda pemelihara anak, yang tak lebih dan tak kurang menjadi miliknya laki-laki.

Kini bukan Sarinah yang menerima laki-laki tetapi laki-laki yang menerima Sarinah. Kini perkawinan bukan berarti si laki menghamba kepada si perempuan, tetapi si perempuan menghamba kepada si laki-laki. Kini gens terpecah menjadi beberapa somah, tetapi somah (famili) ini benar-benar satu tempat perhambaan bagi Sarinah itu. Perkataan famili adalah berasal dari perkataan Latin famulus, yang artinya hamba, pelayan, budak, atau dari perkataan Oskia "famel" yang juga bermakna budak. Kini menjadi adat, si laki itu membeli perempuan waktu ia berkawin dengan dia, sebagaimana ia membeli satu barang atau satu milik di kedai atau di pekan. Inilah yang dinamakan kawin beli, yang kita jumpai di mana-mana di zaman hukum perbapaan itu, sampai sekarang. Atau, kalau si laki tak mampu membeli, maka perempuan dicuri atau dirampas mentah-mentahan oleh si laki itu, seperti orang merampas atau mencuri sesuatu barang atau sesuatu milik di waktu malam. Kawin beli dan kawin rampas adalah gambarnya hukum perbapaan itu. Sarinah menjadi benda. Ditutuplah ia dan disimpanlah ia di dalam rumah seperti benda, dilaranglah ia keluar dari rumah itu, supaya tidak dicuri orang, sebab ia suatu benda; ditabirkanlah ia rapat-rapat manakala ada laki-laki asing, kalau-kalau si laki asing itu timbul keinginan birahi kepadanya atau keinginan mencuri kepadanya, karena ia sebuah benda. Kalau suaminya mati, maka bukan dia yang menerima barang-barang warisannya suami, tetapi dia sendiri diwariskan kepada saudara suaminya atau keluarga suaminya, sebagaimana juga halnya dengan lain-lain benda milik suami yang mati itu. Segala susunan-susunan dan sifat-sifat masyarakat berbalik samasekali. Hukum pemerin-tahan, hukum kemilikan, hukum persuami-isterian, hukum keturunan, hukum perwarisan, semua itu berubah sebagai ubahnya siang menjadi malam. Segala kemerdekaan perempuan yang sediakala, hilang sama-sekali, hilang karena menjadi famulus di dalam famili. Sarinah dikungkung, ditutup, dipingit, diperhambakan. Friederich Engels mengatakan, bahwa perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu adalah satu "kekalahan perempuan yang paling hebat di dalam sejarah kemanusiaan". August Bebel menamakan dia revolusi besar yang pertama di dalam sejarah manusia.

Perobahan ini, sebagai satu revolusi besar di dalam susunan masyarakat, sudah tentu tidak terjadi sekaligus, tetapi mungkin makan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Tetapi sudah barang tentu pula, perempuan tidak selamanya mau menyerah begitu saja digugurkan dari kedudukannya jang tinggi itu. Sebelum menyerah, berjoang ia mati-matian. Sejarah dunia tak sunyi dari ceritera-ceritera perjoangan hebat antara laki-laki dan perempuan di zaman perpindahan kekuasaan itu. Karena sudah tuanya kejadian-kejadian ini, – sudah hampir hilang di dalam kabut zaman purbakala -, maka banyak dari cerita-cerita itu menjadi bersifat dongeng saja, legende saja, saga saja. Kita di Indonesia ini kenal akan dongengnya wanita "Nusa Tembini" yang berjoang mati-matian dengan kaum lelaki, mengusir kaum laki-laki dari negeri-negeri daerahnya. Atau dongengnya Dewi Rayungwulan dari negeri Sigaluh, dalam cerita Banjaransari. Kita juga kenal akan dongeng Ratu Roro Kidul, yang tak mau tunduk kepada siapa juga, tak mau terambil kekuasaannya oleh siapapun juga. Mungkinkah di zaman purbakala di Selatan tanah Jawa ada satu kerajaan matriarchat, yang kini sudah lenyap, atau satu pulau matriarchat, yang kini sudah tenggelam, sebagai di dalam dongeng Eropa ada pula diceritakan satu negeri tenggelam yang bernama Atlantis? Di negeri Eropa pun ada dongeng-dongeng perjoangan antara perempuan dengan laki-laki itu. Tiap-tiap murid sekolah menengah telah pernah mendengar dari hal kaum "Amazone" yang berperang dengan kaum laki-laki gagah-gagah dan sigap-sigap, berkuda seperti pahlawan-pahlawan yang gagah berani, yang pedangnya menyambar-nyambar ke kanan dan ke kiri seperti kilat. Perhiasan-perhiasan yang orang pahatkan di gedung-gedung Yunani atau Rumawi zaman dulu, banyak pula yang menggambarkan peperangan antara kaum laki-laki dan perempuan itu. Tapi kecuali di beberapa tempat, hampir di mana-mana, di dalam perjoangan ini kaum perempuan terpaksa kalah dan takluk.

Sesudah kaum laki-laki berkuasa, maka bukan saja segala hukum-hukum masyarakat, hukum-hukum perkawinan, hukum-hukum keturunan dan perwarisan, diubah dan dibentuk menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu, tetapi semua moral, adat-istiadat, kepercajaan, seni, ideologi-ideologi, agama, berubah pula menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu. Agama-agama penyembahan alam yang dahulu, terdesak oleh agama-agama baru, yang semuanya merendahkan deradat perempuan. Ceritera Jahudi tua tentang pembuatan Sitti Hawa, bukan menurut "gambarnya Tuhan", tetapi dari tulang rusuk Adam, (Qur’an tidak mengatakan begitu, meski setengah kaum mengatakannya, tetapi dibantah oleh kaum muda), tidakkah ceritera ini bermaksud menggambarkan bahwa perempuan itu adalah "kelas dua" dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa Hawalah, – ai dia! perempuan! -, yang menjadi sebabnya Adam terusir dari sorga? Bukankah oleh karena itu perempuan lantas dikatakan "makhluk dosa" dan makhluk yang tak suci? Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan Dewa Apollo yang berbunyi: "Bukan Ibu yang membuat anak, dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh orang laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak beristeri". Maka dibuktikan oleh Apollo kebenaran perkataannya yang terakhir ini dengan menunjuk kepada Dewi Minerva, yang dilahirkan tidak dengan Ibu, tetapi keluar "sudah jadi samasekali" dari kepala bapanya, yaitu Dewa Yupiter. Begitu pula di dalam agama Hindu tua perempuan direndahkan. Di dalam kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu, bahwa perempuan itu "selalu memikir kesyahwatan, selalu marah, selalu palsu dan tidak jujur ... Menurut tabiatnya, perempuan itu selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh karena itu laki-laki musti selalu hati-hati terhadap kepadanya ... Perempuan tak pernah dapat berdiri sendiri".

Di lain tempat Manu berkata: "Orang hilang kehormatan karena perempuan; asalnya permusuhan adalah perempuan; karena itu jauhilah perempuan".

Agama Buddha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-konyong menjadi tidak adil kalau membicarakan kedudukan kaum perempuan: "Perempuan itu makhluk dosa; roman-muka perempuan seperti keramat, tapi hatinya seperti syaitan".

Marilah di sini saya ceriterakan satu hal yang lucu.

Sudahkah pembaca pernah mendengar perkataan "couvade"? Couvade adalah satu adat-kebiasaan yang sampai sekarangpun masih ada pada bangsa Baskia, yang berdiam di kanan-kiri gunung Pyrenea di Eropa. Kalau seorang wanita Baskia bersalin, maka terjadilah "sandiwara" berikut: Segera sesudah bersalin, wanita itu keluar dari tempat pembaringannya, dan suaminya lantas berbaring di tempat itu, mengaduh, merintih, sambat-sambat, seolah-olah dialah yang melahirkan anak. Ia berbuat demikian itu dengan disaksikan oleh banyak tamu-tamu, yang "menolong" dia, dan ia tinggal di tempat pembaringan itu beberapa hari lamanya! Segala sesuatu berlaku seolah-olah dia, – laki-laki itu -, yang melahirkan anak. Isterinya harus berbuat seakan-akan padanya "tidak ada apa-apa". Tamu-tamu itupun samasekali tidak memperdulikan isteri itu. Sebaliknya, sang suami itu tadi yang diladeni, sang suami itu tadi yang dijaga, ditolong. Sebab sang suami itu tadi yang baru saja "bersalin"! ...

Inilah adat yang dinamakan couvade. Mula-mula orang kira, bahwa adat ini hanya terdapat pada bangsa Baskia saja. Tetapi ia terdapat pula pada suku Abipon di Amerika Selatan! Dan pada suku-suku Indian di Guiana! Juga pada beberapa suku di Afrika dan di Asia Marco Polo menjumpainya di Yunnan Apollonius di tepi Lautan Hitam; Plutarchus di pulau Cyprus. Couvade ternyata satu adat yang dulu tersebar di mana-mana!

Apa arti couvade itu? Lihatlah, demikian munafiknya laki-laki! Wanita yang mengandung, wanita yang melahirkan bayi, wanita yang sakit, – tetapi itu harus disulap hilang. Dia, laki-laki, dia yang "bersalin", dia yang "mengadakan anak", dia yang kuasa. Dia yang berhak!

Sungguh menggelikan! .

Tentang couvade ini, maka Paul Lafargue menulis dalam kitabnya tentang hukum peribuan: "Manusia, makhluk yang paling kejam dan paling edan antara segala hewan, sering sekali membungkus keadaan-keadaan masyarakat yang penting dengan adat-adat kebiasaan yang paling menggelikan. Couvade adalah salah satu tipuan yang dijalankan oleh laki-laki, untuk mengusir wanita dari kedudukannya dan miliknya. Fi’il bersalin adalah tadinya tanda hak lebih daripada wanita dalam famili tetapi laki-laki telah menirukan fi’il ini dengan cara yang amat menggeli-kan, untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dari dialah bayi itu mendapat hidupnya".

Dari dia! Dari dia! Wanita tidak kuasa apa-apa, wanita sekadar alat!

Begitulah kecelakaan yang menimpa Sarinah itu. Alangkah kerasnya kejatuhannya itu, dari kedudukan yang. begitu mulia kepada kedudukan hina, yang ia nanti musti derita beribu-ribu tahun lamanya: tertutup, terkunci, terlantar, terabaikan sebagai benda, terhina, tersiksa, terperas tenaganya seperti sapi. Bagi kita kaum yang sadar di zaman sekarang, kejatuhan ini kita rasakan sebagai satu kesedihan yang maha sedih, satu tragedi yang maha tragis. Tetapi ditinjau dari sudut pertumbuhan masyarakat, maka perpindahan hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu adalah satu kemajuan yang maha besar, satu evolusi masyarakat yang maha penting. Bagi masyarakat di zaman itu perpindahan itu adalah satu keharusan sejarah. Sebab masyarakat tak dapat berkembang-biak benar-benar, kalau masyarakat itu terikat kepada perikatan gens dan hukum peribuan yang di situ individualitas (keperibadian manusia seorang-orang) tak dapat merdeka dan leluasa, tak dapat "bertumbuh" dan "berkembang" menurut kehendaknya sendiri-sendiri, menurut hasrat sosial sendiri-sendiri. Maka oleh karena itulah tenaga-tenaga masyarakat dan tenaga-tenaga individualitas lantas memberontak kepada ikatan gens dan hukum peribuan itu, menghantam hancur perikatan-perikatan itu, menyapu bersih segala rintangan-rintangan yang menghalangi kepada berkembangnya individualitas itu. "Kita laki-laki mau merdeka dari asuhan ibu, kita mau merdeka mengeluarkan keringat kita buat kita sendiri, dan buat anak kita sendiri, kita mau merdeka menyusun keluarga!" – itulah semboyan revolusi sosial pertama yang maha hebat ini.

Dan revolusi yang menjelmakan faham milik perseorangan memang berhasil! Berhasil, oleh karena memang disuruh dan dibuat oleh masyarakat. Nyata masyarakat beruntung dengan merdekanya individuaitas, nyata masyarakat akan dapat merdeka berkembang dengan merdekanya individualitas itu. Nyata hukum keturunan menurut garis ibu itu adalah kurang cocok, kurang sesuai, kurang mendorong maju, kurang menjadi stimulasi kepada individualitas itu. Nyata di dalam hukum tua itu somah (keluarga) tak dapat berkembang, – somah, yaitu satu-satunya benteng tempat berkembang individu-alitas itu.

Maka oleh karena itu, terteropong dengan teropong umum, terpandang dari pandangan kemasyarakatan, maka revolusi ini adalah revolusi kemajuan, dan bukan revolusi kemunduran, bukan revolusi reaksioner. Maka benarlah kita, kalau kita bersorak syukur, bersorak "horas" atas berhasilnya perjoangan mengganti hukum ... tua dengan hukum baru itu. Tetapi tiap-tiap revolusi senantiasa mengekses, mengujung kapada ujung yang meliwati batas kemustian. Revolusi patriarchat ini bukan revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki dengan memelihara kemerdekaan perempuan, tetapi menjadilah satu revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki dengan mengorbankan kemerdekaan perempuan! Perlawanan kaum perempuan terhadap pada revolusi ini tentu menjadi sebab pula bagi kaum laki-laki itu untuk "melipat" kaum perempuan itu sama sekali, merampas segala kemerdekaan yang ada pada perempuan itu sama sekali, agar supaya perlawanan perempuan itu menjadi patah sama sekali. Perlawanan kaum perempuan itu, – sebagai di dalam tiap-tiap revolusi -, menjadilah sebabnya kaum yang membuat revolusi itu mengadakan "diktatur": Diktatur kaum laki-laki untuk mematahkan kontra revolusinya kaum perempuan.

Tetapi sesudah kaum perempuan patah, maka inilah celakanya perempuan – kaum laki-laki itu tidak mengembalikan kepadanya sebagian daripada kemerdekaannya yang sediakala. Beribu-ribu tahun Sarinah tetap dan terus di- "diktaturi" saja. Beribu-ribu tahun ia tetap dipisahkan dari masyarakat, dipisah-kan dari pergolakan hidup sehari-hari, dipisahkan dari "struggle for life" yang dulu membuat dia menjadi sehat dan sigap badan, sehat dan sigap fikiran, sehat dan sigap jiwa. Beribu-ribu tahun ia ditutup di dalam kegelapannya rumah, diperlakukan seperti benda, diperhambakan secara budak, atau paling mujur dipeliharakan seperti blasteran dewi dan si tolol. Akhirnya, karena perhambaan yang turun-temurun itu, ia menjadi makhluk yang lemah dan kecil badan, makkhluk yang bodoh, makhluk yang tumpul fikiran, makhluk yang singkat pemandangan, makhluk yang selalu takut, makhluk yang tiada kekerasan kemauan, makhluk yang karena tiada melihat dunia lantas gemar bicara tetek-bengek, makhluk yang karena selalu didurhakai lantas banyak akal "tipu-muslihat". "Dia mengkerat menjadi kecil", demikianlah kata Bebel dalam satu tulisan. Nasib dia sekarang, nasib miskin atau nasib kaya, nasib lapar atau nasib kenyang, nasib dia sekarang tidak lagi tergantung dari kepribadian sendiri, tetapi sama sekali tergantung daripada laki-laki yang menjadi suaminya.

Laki-laki inilah yang kini menjadi Maha Dewanya. Sebagai fihak yang memelihara jiwanya, maka menjadilah laki-laki itu satu kekuasaan yang membentuk hidupnya. Perkawinan, mendapat jodo, itulah kini menjadi soal yang terbesar bagi perempuan, soal yang mengisi segenap jiwanya, satu tanda besar di dalam hidupnya. Mendapatkan seorang laki-laki yang sanggup mengangkat hidupnya itu ke derajat yang mulia, yang dapat mengasih kepadanya keamanan dan kekayaan, – itulah kini menjadi pusat segenap idam-idamannya, ke situlah diarahkan segenap kecantikannya.

Bukan lagi kepribadiannya yang kini menentukan hidupnya, tetapi kecantikannya, kejelitaannya, "sex-appeal"-nya. Keelok-annya itu kini menjadi senjata ekonomis, fungsi kelaminnya menjadi fungsi ekonomi. Dengan keelokannya inilah ia kadang-kadang dapat merebut kedudukan yang tinggi, – menjadi isteri orang besar, bini orang yang termasyhur nama, gundik orang yang kaya-raya. Dengan keelokannya itulah malahan ia kadang-kadang dapat menjadi permaisuri seorang raja.

Kita mengetahui dari dongeng-dongeng, dari cerita-cerita wayang, dari bukti-bukti dalam sejarah, betapa kadang-kadang seorang laki-laki miskin, karena kecakapan, keberanian, keuletan, perjoangan, kelaki-lakian, pendek kata karena kepribadian, dapat menjadi seorang pahlawan besar atau seorang raja. Ken Arok, itu penggembala kerbau, menjadi Maharajadiraja di Singasari karena kepribadian; Ciung Wanara, itu anak tukang besi, menjadi Sang Perabu Pejajaran, karena "kepribadian. Tapi bagi perempuan hanyalah kecantikan paras muka dan kecantikan badan saja, bukan kepribadian yang dapat mendatangkan "keajaiban" yang demikian itu. Kalau tidak kebetulan Sang Arjuna berjalan meliwati tempat kediamannya, dan tertarik oleh keelokannya yang "seperti bulan purnama", maka tak mungkin si gadis miskin naik derajat menjadi puteri di dalam keraton.

Karena itu, maka segenap jiwanya, segenap fikirannya, segenap angan-angannya, dipusatkan kepada soal yang satu itu: mendapat jodo yang menyenangkan, dan kalau sudah mendapat jodo, menjaga jangan sampai diceraikan lagi; menjaga jangan sampai sang suami tak senang kepadanya, jangan sampai ia dialahkan oleh lain perempuan. Maka karena itu pula, semua pendidikan yang dikasihkan kepada gadis-gadis adalah ditujukan kepada hal yang satu ini. Dan apakah sifat-sifat perempuan yang kini disenangi oleh laki-laki? Tak lain dan tak bukan sifat-sifat yang menetapkan perempuan itu di dalam perhambaan; ia tak perlu pintar, tetapi ia harus tenang, harus menurut, harus taat, harus merendah, harus sabar, harus sedia berkurban, harus halus suara, harus benci kepada dunia luaran, harus cinta rumah tangga saja.

Perempuan harus cantik, tetapi kecantikannya itu harus lain lagi dari kecantikan Srikandi yang sigap dan tangkas, atau lain lagi dari kecantikan Brunhilde yang laksana kecantikan singa betina, melainkan haruslah kecantikan jelita, halus seperti sutera, harus "tunduk mata", ramping badan, jatmika, seperti kecantikan bunga melati. Pendek kata, idam-idaman kaum laki-laki adalah orang perempuan yang cukup memuaskan kebirahiannya tetapi harus "halus" dan "lemah lembut", yang sesuai dengan status perhambaan dan ketaatan. Jadi yang sama sekali bertentangan benar dengan sifat-sifat yang ia senang melihat kepada kaum laki-laki sendiri: Laki-laki harus kuat, harus berani, harus besar badan, harus dinamis, harus bersuara sebagai guntur, harus suka berjoang mati-matian, tetapi perempuan harus kebalikannya sama sekali daripada itu. Ia harus lemah, harus, merasa dirinya lemah, perlu mohon tolong dari orang laki-laki, mohon per-lindungan, mohon hidup dari orang laki-laki. Orang perempuan yang demikian ini, orang laki-laki sedia menganggapnya sebagai bidadari atau dewi; buat orang perempuan yang demikian ini orang laki-laki bersedia berkurban dan berjoang. Di Eropa sebagai salah satu akibat anggapan ini timbullah ridderisme, yang menganggap perempuan itu sebagai satu makhluk jelita yang musti dihormati setinggi langit dan diperlindungi. Pada kulitnya sahaja ridderisme ini seperti mengangkat tinggi kepada perempuan, tetapi sebenarnya ridderisme itu adalah justru memandang perempuan itu sebagai makhluk yang sangat lemah, yang selalu harus ditolong. Tidakkah "kegentlemanan" zaman sekarang ini, yang bersemboyan "kehormatan bagi para wanita", pada hakekatnya berbatin juga menganggap lemah kepada perempuan itu?

Dan lama-lama idam-idaman kaum lelaki tentang wanita ini "mewujud" kepada perempuan pula! Beratus-ratus tahun perempuan hidup di dalam udara "idam-idaman kaum lelaki tentang wanita" ini, beratus-ratus tahun ia dipaksa hidup menurut "idam-idaman kaum lelaki tentang wanita" ini, – sebab kalau tidak, tak mungkin ia mendapat suami -, maka lama-kelamaan idam-idaman kaum laki-laki ini menjadi idam-idaman kaum wanita tentang dirinya sendiri pula! Rohaninya, jiwanya, fikirannya, kemauannya, perangainya, batinnya, semua itu menjadi lemah dan tunduk, jelita dan sabar, ikhlas dan taat, – lain lagi daripada jiwa, fikiran, nafsu, perangai kaum Amazone atau kaum wanita Nusa Tembini di zaman matriarchat purbakala. Dan bukan saja jiwa dan sukma perempuan itu menjadi lemah, bentuk badannya pun menjadi lemah. Kini jarang sekali terlihat orang perempuan yang badannya subur dan besar, sigap dan kuat seperti di zaman purbakala itu. Kini umumnya tubuh perempuan itu kecil-kecil dan lemah-lemah. "Kultur" tidak berarti perempuan menjadi lebih kuat rohani dan badani, "kultur" adalah membuat roh dan badan perempuan itu menjadi lemah dan jelita. Lihatlah di kalangan kaum atasan, di mana "kultur" ini paling mendalam, maka kelemahan ini tampak dengan terang seterang-terangnya. "Awake koyo putri, antenge koyo putri", itu sampai sekarang masih menjadi sebutan orang Jawa. Di dalam kalangan kaum bawahan, kaum tani dan kaum buruh, yang perempuannya tidak terlalu dikurung, tapi diajak berjoang mencari sesuap nasi, maka kelemahan dan kejelitaan itu kurang tampak padanya. Tetapi pada umumnya tak dapat dibantah lagi, bahwa perbedaan kekuatan dan kebesaran tubuh serta perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan perempuan itu, di dalam zaman patriarchat itulah bertambah-tambahnya, di zaman patriarchat itulah dipelihara-peliharakannya.

Demikianlah umumnya keadaan kaum perempuan di zaman kekuasaan dipegang oleh kaum lelaki itu. Benar sekali perkataan seorang perempuan bangsa Belanda, Clara Meyer Wichmann, bahwa famili itu dus adalah satu machts verhouding, artinya, satu tempat laki-laki menjalankan kekuasaannya atas perempuan.

Tatkala Nabi Isa dan kemudian Nabi Muhammad datang membawa agamanya masing-masing, maka sudahlah keadaan ini keadaan biasa di mana-mana. Kedua-dua Nabi itu lantas mencoba menjunjung kaum perempuan itu dari keada-annya yang hina-dina itu, mencoba menolong perempuan itu dari ekses-ekses patriarchat, mengadakan aturan-aturan guna mengatur serta mengadilkan patriarchat itu. Bukan menghapuskan hukum perbapaan, tetapi mengaturnya, mengadilkannya. Sebab kedua-duanya beranggapan, bahwa memang hukum perbapaanlah, dan bukan hukum peribuan yang lebih cocok dengan kehendak alam, lebih sesuai dengan kehendak kodrat. Tetapi pengajaran kedua-duanya pula telah tidak diperdulikan sama sekali oleh sebagian pengikut-pengikut dan pemuka-pemuka agama yang kemudian. Tradisi kaum penghina perempuan yang diperangi oleh dua Nabi ini, diteruskan oleh pengikut-pengikut itu. Nabi Isa mengajarkan persamaan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, tetapi pengikut-pengikutnya mengadakan lagi aturan-aturan yang mengungkung kaum perempuan itu. Padahal! Sejarah telah membuktikan dengan yakin, bahwa justru kaum perempuanlah yang menjadi pengikut-pengikut dan propagandis-propagandis agama Nasrani yang paling ulet. Kaum perempuanlah yang dibakar mati oleh Raja di Roma, kaum perempuanlah yang dilemparkan kepada singa-singa dan dicabik-cabik tubuhnya oleh binatang-binatang buas itu, oleh karena mereka menjadi pengikut atau propagandis agama Nasrani itu. Ya, oleh karena memang kaum perempuan-lah salah satu dari bagian-bagian masyarakat yang dibela oleh Nabi Isa itu, maka kaum perem-puanlah berduyun-duyun masuk agama Isa; tetapi pengikut-pengikut Isa yang laki-laki tak dapat melepaskan dirinya dari tradisi merendahkan perempuan; mereka itu tak dapat membalas budi kepada kaum perempuan yang telah bekerja dan berkurban begitu banyak untuk agama Isa. "Orang perempuan tak boleh bicara di dalam "jemaah"; "perempuan harus menurut dan menghormat kepada laki-laki"; "Tapi aku tak mengizinkan perempuan belajar, atau perempuan memerintah laki-laki, tapi aku mau perempuan itu diam"; "Tak diizinkan kepada mereka untuk berbicara, tetapi diperintahkan kepada mereka, supaya mereka tunduk". Kalimat-kalimat yang merendahkan kepada perempuan ini, terdapat di dalam kitab Nasrani, tetapi kalimat-kalimat itu bukan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Isa. Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut pengikut-pengikutnya. Begitu pula maka dongeng Yahudi tua tentang kejadian Adam dan Hawa, yang mengatakan bahwa perempuan tidak terbuat "menurut gambar Allah", melainkan hanya dari tulang rusuk Adam saja, dan bahwa dialah yang menarik Adam ke dalam dosa, sehingga dipandang perlu perempuan itu dianggap tidak suci dan selalu ditundukkan saja kepada laki-laki, – dongeng Yahudi tua inipun dimasukkan oleh pengikut-pengikut Isa itu ke dalam kitab. Dan sebagai "gong"-nya ini semua, maka pada penghabisan abad keenam, satu rapat besar dari semua kepala-kepala agama di kota Macon sudah membuang tempo banyak-banyak buat membicarakan soal, apakah perempuan itu benar-benar satu makhluk yang mempunyai nyawa atau tidak!

Kasihan kaum perempuan! Dia yang paling banyak mengorbankan jiwa buat mempropagandakan agama Isa, dia yang dibakar, dia yang dicabik-cabik singa, dia yang menyebar-kan agama Isa itu kemana-mana , – Chlotilde yang menanam agama Nasrani di Franka, Berta di Kent, Gisela di Hongaria -, tetapi dia pula yang selalu dikalahkan saja. Sampai sekarang, dia, pada waktu dia dinikahkan oleh paderi kepada seorang laki-laki, musti bersanggup di muka altar lebih dulu, bahwa dia "akan taat dan menurut kepada suami buat selama-lamanya". Dan kasihan pula perempuan di dalam masyarakat Islam! Nabi Muhammad menjunjung derajat wanita dari ekses-ekses patriarchat jahiliah, memerdekakan dia dari perhambaan, tetapi kaum-kaum yang sempit fikiran dan sempit mata menyeret dia kembali ke dalam lumpur derajat rendah dan lumpur derajat hina. Kaum-kaum yang sempit fikiran dan sempit mata ini meneruskan saja tradisi kaum jahiliah, atau ambil oper saja tradisi Persia dan Yunani Byzantia yang amat menyempitkan hak-hak kaum perempuan. "Perempuan di dalam masyarakat Islam", – tidakkah ini di dalam telinga dunia ramai terdengarnya sama saja dengan:

"Perempuan di dalam penutupan dan perhambaan"?

Ya, benar-benar malang nasib perempuan itu! Sejak datangnya aturan patriarchat sampai kepada zaman-zaman yang hampir masuk zaman kita sekarang ini, ia, beribu-ribu tahun lamanya, terun-temurun, terpaksa musti hidup di dalam satu dunia yang penuh dengan kegelapan dan kesempitan. Orang Yunani menamakan dia "Oikurema", yang berarti benda untuk mengurus rumah. Zaman beredar, masa beralih, abad berganti, kerajaan-kerajaan bangun dan kerajaan-kerajaan runtuh lagi, macam peradaban berubah berganti-ganti, tetapi di dalam nasib perempuan tiada perubahan, sama sekali. Tetap ia musti hidup di dalam kegelapan dan kesempitan yang sediakala, tetap ia dianggap sebagai makhluk jang nomor dua! Dan inipun bagi orang yang mengerti ilmu masyarakat tidak mengherankan! Sebab, meskipun abad dan peradaban itu berubah berganti-ganti, maka belum bangkitlah keharusan-keharusan – masyarakat yang memerdekakan perempuan itu dari ikatan rumah tangga. Belum bangkitlah keharusan-keharusan – masyarakat yang "mengusir" dia dari tutupan rumah, menghela dia ke dalam struggle for life dunia ramai. Zaman beredar melalui tahun-tahun yang beribu-ribu bilangannya, tetapi masih tetap perempuan paling mujur menjadi produsen buat somah, produsen buat ... keluarga, – belumlah ia terhela keluar menjadi produsen masyarakat pula. Itulah sebabnya, maka, semua kejadian-kejadian masyarakat terjadi tidak dengan bantuannya, tidak dengan bahagiannya, tidak dengan pengetahuannya, tidak dengan persetujuannya. Ia tetap hidup sebagai satu anasir, yang belum terhela aktif di dalam pergolakan masyarakat, dan oleh karena itu, maka kedudukannyapun tetap "kedudukan rumah tangga" saja.

Tetap demikian, ... sampai abad delapanbelas hampir silam! Sampai timbulnya zaman industrialisme di Eropa yang menghela perempuan itu keluar dari kegelapan rumah, masuk ke dalam struggle for life produksi masyarakat. Pada akhir abad kedelapanbelas itu mulai timbul di Eropa zaman kepaberikan, dan kepaberikan inilah nanti membongkar sama sekali aturan-aturan masyarakat yang kuno, merobek-robek hukum adat dan hukum moral yang telah ribuan tahun tuanya, menghela keluar semua makhluk-makhluk yang tadinya tertutup di antara dinding-dinding kekeluargaan. Apa yang disusun dan diperkokoh oleh tradisi berabad-abad lamanya itu, dibongkar samasekali oleh mesin di dalam tempo yang hanya puluhan tahun saja. Mesin pemintal, dan mesin tenun, yang terdapatnya hampir satu saat dengan mesin uap, mesin-mesin ini mengada-kan revolusi yang maha hebat di dalam susunan masyarakat, adat, moral; di benua Eropa pada waktu itu. Dulu perempuan tinggal di dalam rumah tangga untuk (kecuali memasak) membuatkan pakaian bagi suami dan anak. Dulu perempuan sendiri yang memintal, menenun, menyulam, menjahit, sebagai juga di negeri kita dulu tiap-tiap perempuan tinggal di rumah untuk menenun atau membatik. Dulu perkataan "ia saleh dan menenun" adalah pujian yang tertinggi yang orang tuliskan di atas batu kuburan orang perempuan yang sudah mati.

Tetapi kini pada akhir abad kedelapanbelas itu, karena revolusi industri itu, maka bukan saja semua bahan-bahan pakaian itu tak perlu lagi ditenun sendiri dengan banyak susah-payah, melain-kan dapat dibeli dengan harga yang amat murah, sehingga banyak perempuan menjadi merdeka dari pekerjaan di rumah itu, – tetapi mesin-mesin yang dipakai di paberik-paberik itu tidak perlu pula pelayanan oleh banyak tenaga laki-laki. Tenaga perempuan dan tenaga kanak–kanak mencukupi buat pekerjaan meladeni mesin-mesin itu. Perempuan dan kanak-kanak diundang bekerja ke dalam paberik. Maka perempuan, yang berwindu-windu; berabad-abad tadinya tertutup di dalam rumah-tangga itu, karena kesempitan nafkah hidupnya, menjadi terhela bersama-sama anak-anaknya ke dalam paberik, ke dalam masyarakat, ke dalam produksi masyarakat. Perempuan-perempuan dan anak-anak itu menjadi kaum buruh. Di dalam tahun 1790 saja sudah adalah 60.000 perempuan Inggeris dan 40.000 anak-anak Inggeris menjadi kaum buruh di paberik-paberik benang, di dalam tahun 1840 jumlah kuli perem-puan Inggeris itu sudah menjadi 500.000 dan di dalam tahun 1890 naik lagi menjadi 1.500.000 orang! Dan bukan di negeri Inggeris saja! Di Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri Belanda, di mana-mana saja industrialisme ini menghancurkan tembok-tembok beton pengurungan perempuan, di mana-mana saja terhela perempuan itu dari cengkeraman kemiskinan rumah-tangga, – keluar! keluar!

Ke dalam struggle for life di dalam paberik, keluar ke sampingnya mesin, keluar ke dalam produksi masyarakat, keluar!, untuk mencari sesuap nasi! Di dalam tahun 1909 di negeri. Belanda adalah 28% dari semua perempuan bekerja sebagai buruh, dan jumlah ini adalah 18,3% dari semua jumlah kaum buruh di dalam totalnya.

Gugurlah kini tradisi, gugurlah segala moral, gugurlah segala kebiasaan anggapan, bahwa sudah penghidupan menurut kodrat perempuan mendekam di dalam rumah tangga, gugurlah semua anggapan, bahwa perempuan tak dapat makan kalau tidak disuap oleh kaum laki-laki. Gugurlah semua faham, bahwa perempuan tidak dapat dipakai buat pekerjaan masyarakat. Di manakah orang mau berkepala batu menetapkan penghidupan menurut kodrat perempuan menenun di rumah dan menanak nasi, kalau perempuan itu sendiri di akhir abad ke-18 dan di abad ke-19 dengan bermiliun-miliun membuktikan kepada dunia, bahwa ia cakap memegang mesin, cakap ikut menjalankan teknik, cakap menjadi pekerja industri, cakap campur di dalam perusahaan?

Di negeri Jerman saja di dalam tahun 1882 sudah ada 4.250.000 kaum buruh perempuan, di dalam tahun 1895 lebih dari 6.500.000 orang, dan di dalam tahun 1907 jumlah ini telah menjadi 9.500.000 orang!

Memang sebelum di Eropa ada aturan-aturan yang melindungi kaum buruh, sebelum di situ ada undang-undang per-buruhan, maka kaum perempuan dan anak-anak itulah yang paling laku sebagai kaum buruh. Apa sebab? Tak lain tak bukan, justru karena tabiat tunduknya dan nerimonya perempuan yang telah menjadi darah-daging-tulang-sungsum itu. Kaum perempuan lebih menurut, lebih sabar, lebih takut, lebih murah, lebih mengetahui kewajiban, daripada kaum buruh laki-laki. Yang tersebut belakangan ini selalu besar mulut, sering mabuk, sering memberontak, dan – mahal upahnya! Upah satu orang laki-laki boleh dipakai buat dua orang perempuan, dan mesin tenun dan mesin pintal memang lebih sempurna dijalankan oleh tangan perempuan yang lebih halus daripada tangan laki-laki. Itulah sebabnya, maka akibat revolusi industri di Eropa itu yang paling dulu tampak ialah sangat lakunya tenaga kaum perempuan sebagai kaum buruh. Revolusi di dalam cara produksi masyarakat menyebab-kan revolusi menghancur-leburkan adat memingit kaum perempuan!

Dan bukan di Eropa saja! Industrialisme itupun menjalar ke Timur, ke seluruh Asia, walaupun agak terlambat. Sejak pertengahan abad ke-19 sudahlah industrialisme ini mulai meng-hantam pula tembok beton penutupan perempuan di dunia Timur. Juga di dunia Timur orang pada waktu silamnya abad ke-19 itu mulai melihat perempuan-perempuan dan anak-anak keluar dari tutupan rumah tangga, masuk ke dalam paberik tenun, paberik gula, paberik teh, atau ke dalam kebun-kebun "kontrakan". Juga di dunia Timur gugurlah lambat-laun segala belenggu-belenggu tradisi, segala faham-faham dan moral-moral yang mau terus menetapkan perempuan itu sebagai makhluk tutupan di rumah. Di negeri-negeri yang tidak terlalu keras ikatan agama, maka kaum buruh perempuan segera menjadi barang yang biasa. Di India, di Tiongkok, dan terutama sekali di Nippon, permasyarakatan ini berjalan dengan cepat. Tetapi di lain-lain tempat masih keras juga ikatan belenggu tradisi. Meredith Towsend, yang dulu membuat perbandingan antara kedudukan perempuan di pelbagai negeri-negeri Asia, mengatakan bahwa, walaupun perempuan-perempuan Nippon masih saja dihina dan ditindas oleh kaum laki-lakinya, mereka toh masih agak bagus kedudukannya kalau dibandingkan dengan kedudukan perempuan di beberapa bagian negeri-negeri Islam. Hukum-hukum Qur’an yang mengasih kedudukan baik kepada mereka itu, diabaikan orang sehingga seperti huruf mati belaka kalau melihat praktek penindasan sehari-hari. Faham-faham yang asal-nya dari zaman kaum kolot, masih ditegakkan orang di banyak bagian negeri-negeri Islam. Tetapi,- bagi siapa yang mempelajari gerak masyarakat dan sejarah, dan cukup lebar-lebar matanya untuk membanding-bandingkan tingkatan-tingkat-an masa dan sejarah, bagi dia tampak pula, bahwa kaum kolot itu sebenarnya memperjoangkan satu perjoangan yang kalah. Juga di negeri-negeri Islam, proses masyarakat ini akan menghancurkan anggapan, bahwa penghidupan menurut kodrat perempuan hanyalah "melahirkan anak-anak, serta menjadi penjaga yang setia dari rumah tangga saja.".

Juga di negeri-negeri Islam proses masyarakat ini menghela, menarik, mendorong perempuan itu ke dalam gelanggang pergolakan masyarakat, menaikkan derajat perempuan itu menurut tinggi bagiannya di dalam proses produksi masyarakat. Sebab di dalam hal ini tiadalah perbedaan antara kekuatan tenaga proses masyarakat di Timur dan di Barat.

Yang berbeda hanyalah temponya belaka, cepatnya atau lambatnya.

Demikianlah pengaruh industrialisme itu atas nasib kaum perempuan Marhaen di benua Eropa dan Asia. Tradisi penutupan dan pengurungan dihantam hancur-lebur oleh industrialisme itu, dan begitu pula tradisi, bahwa hidupnya perempuan harus selalu tergantung kepada nafkah dari laki-laki. Tetapi industrialisme itu tidak menghancurkan pula tradisi perempuan sebagai kuda–beban di dalam rumah-tangga. Tradisi pengurungan hancur-lebur, tetapi tradisi budak rumah tangga berjalan terus. Pekerjaan memasak, mencuci; menjahit pakaian yang robek, memelihara anak, dan lain sebagainya masihlah menjadi tanggungan perempuan. Sepuluh, duabelas, empatbelas jam lamanya kadang-kadang ia musti bekerja di paberik, tetapi sebelum berangkat ke paberik itu dan sesudah pulang dari paberik itu pula, ia masih harus berkeluh-kesah bekerja buat pelbagai urusan rumah-tangga. Ia menjadi kuda beban yang " dobel", kuda-beban di paberik DAN kuda-beban di rumah tangga.

Ia mengerjakan pekerjaan dua orang, pekerjaan produsen di dalam paberik dan pekerjaan produsen di dalam rumah tangga.

Orang Inggeris ada mempunjai sya’ir yang bunyinya:

Man works from rise to set of sun

Woman’s work is never done.

Artinya:

Laki kerja dari matahari terbit sampai terbenam,

Perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam

Ini sya’ir adalah jitu sekali buat menggambarkan beban perempuan itu. Betul barang-barang keluaran paberik kini banyak dijual dipekan-pekan dan kedai-kedai, tetapi ia tak dapat membelinya semuanya, karena tidak cukup mempunyai uang. Betul industrialisme itu bagi siapa yang sedikit mampu adalah satu hal yang meringankan hidup di dalam banyak urusan sehari-hari, tetapi perempuan kaum bawahan itu tidak mampu membelanjai semua urusan sehari-hari itu. Maka oleh karena itu masih banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang masih tetap menjadi tanggungannya. Tetap ia masih musti membuat sendiri seribu satu barang yang kecil-kecil. Kedai-kedai penuh sigaret atau serutu bermacam-macam, tetapi ia masih tetap menggulung-gulungkan rokok bagi sang suami sampai ayam jantan hampir berkokok. Toko penuh dengan barang pakaian yang murah-murah, tetapi ia masih tetap menisik pakaian anaknya yang sudah amoh sampai jatuh tertidur karena tak tahan lagi kantuk matanya. Kedai dan toko sedia mengasih peringanan hidup macam macam, asal saja ada uangnya, tetapi justru uang inilah yang ia tak dapat adakan. Sesungguhnya, – telah hancur tradisi yang membuat dia makhluk pingitan dan makhluk yang isi perutnya tergantung pada laki-laki saja, tetapi masih tetap berjalan tradisi yang membuat dia kuda beban di dalam rumah-tangga. Ia men-dapat kemerdekaan, terlepas dari ikatan tutupan, tetapi kemerdekaan itu harus dibelinya dengan memikul dua beban yang hampir mematahkan tulang belakangnya. Kesehatan tubuhnya selalu terganggu. Menurut statistik, maka rata-rata setahun-tahunnya orang laki mangkir kerja 43/4 hari, tapi orang perempuan 71/2 hari. Di Jerman dulu jumlah kaum buruh perempuan yang kena penyakit tuberculose adalah 3 kali jumlah kaum buruh laki-laki yang kena penyakit ini. Tak salah-lah perkataan seorang pemimpin perempuan, Lily Braun, bahwa perempuan di dalam abad ke-19 dan ke-20 itu sama nasibnya dengan "keledai kecil yang musti menarik dua kereta": kereta rumah tangga dan kereta pencaharian nafkah. Tetapi lebih jitu adalah perkataan Henriette Roland Holst: " jiwa–raganya adalah retak ", " doorhaar wezenloopteenscheur " : sepihak musti ingat kepada rumah tangga, sepihak lagi kepada pencaha-rian nafkah di dunia ramai. Yang satu tak dapat berjalan dengan tidak merugikan atau mengkonflik kepada yang lain. Fikirannya, tubuhnya, jiwa-raganya, menjadi terombang-ambing antara dua kewajiban ini, terbanting-banting antara dua tanggungan ini. Ia menjadi satu makhluk yang "senewen", yang lari dari satu kebingungan ke lain kebingungan, tersepak sebagai satu bola dari satu goal ke lain goal.

Sebab, meskipun dia sudah bekerja di masyarakat, yaitu bekerja sebagai produsen masyarakat di dalam paberik atau di perusahaan lain, – tetap ia seorang Wanita, tetap ia seorang Isteri, tetap ia seorang Ibu. Tetap ia ingin membahagiakan suaminya, tetap ia ingin membahagiakan anak-anaknya. Kewajiban terhadap suami dan anak ini, tak dapat dan tak mungkin ia lupakan. Sebab, kecintaan kepada suami dan kecintaan kepada anak, adalah memang Jiwa Wanita. Wanita boleh modern, boleh "feminis", boleh menjadi orang pangkat tinggi, atau orang kuli hina-dina yang limabelas jam sehari membanting tulang di paberik, – tetapi ia tetap Wanita, yang ingin cinta, yang ingin kasih, yang ingin membahagiakan kepada suami dan anak. Meskipun badan telah letih seperti remuk, pinggang telah patah karena cape, – setiba wanita di rumah dari pekerjaan di paberik atau di kebun, ia akan bekerja lagi, membanting-tulang lagi" memeras keringat lagi, ... buat suami, ... buat anak. Ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tarikan jiwa yang demikian itu. Sebab ia ... wanita! Henriette Roland Holst menggambarkan jiwa wanita ini dengan kata-kata yang berbunyi:

" Diepopdenbodemvandezielvaniedere vrouw, leeftdewensnaarliefdeen moederschap ".

Artinya: " Di dalam jiwa tiap–tiap wanita yang sedalam–dalamnya, bersemayam keinginan kepada Cinta dan Keibuan ".

Maka oleh karena itu, bagi perempuan kelas rendahan yang dapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh di luar rumah, kendati kemerdekaan keluar dari rumah itu, kendati kesempatan memerdekakan diri dari menjadi tanggungan laki-laki, masih tetaplah peri-kehidupan baginya berarti satu kegelapan dan satu kepahitan. Belum terbit matahari baru baginya, yang akan memecahkan kegelapan dan kepahitan itu.

Dan yang tidak mendapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh? Juga mereka banyak yang menjadi merdeka pula, tetapi merdeka yang amat sesat: merdeka sebagai sundal. Sundal menjadi salah satu peristiwa sosial dari zaman industrialisme ini. Havelock Ellis mengatakan, bahwa abad ke-19 itu adalah "abadnya sundal". Tiap-tiap kota besar di zaman ini adalah "satu rumah sundal yang amat besar!".

Bagaimana keadaan kaum perempuan fihak atasan ?

Juga di sini perempuan masih saja tersia-sia. Mesin berputar di paberik-paberik, membuat pelbagai barang yang dulu harus dibuat oleh perempuan di kalangan kaum atasan pula. Mesin itu memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah tangga mereka, tetapi toh tidak membuat peri-kehidupan mereka menjadi senang. Apa sebab? Bukan di kalangan kaum rendahan saja, tetapi juga di kalangan amtenar dan kaum pertengahan dulu perempuan harus memintal dan menenun sendiri, menjahit dan menyulam sendiri, membuat kuwih dan mengerjakan pelbagai pekerjaan rumah tangga sendiri, meskipun pekerjaannya itu tentu jauh lebih ringan daripada pekerjaan perempuan-perempuan di kelas bawahan. Pelayan-pelayan adalah di kalangan kaum atasan itu buat mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Tapi toh, hidup kaum perempuan atasan itu dari dulu mula satu "kehidupan rumah tangga" belaka. Sekolah-sekolah, kantor-kantor, tempat-tempat dunia ramai, pekerjaan-pekerjaan sebagai klerk, komis, pemegang buku dsb, tertutup rapat-rapat bagi mereka. Di rumah tangga saja mereka musti mendekam. Tulisan "dia saleh dan menenun", tulisan batu kubur yang berbunyi demikian itu terutama sekali terdapat pada kubur-kubur kaum perempuan kelas atasan. Hari yang satu, sama saja dengan hari yang lain; tiada perubahan sama sekali di dalam mereka punya daftar hidup; hari-hari mereka duduk saja di dalam kamar kediaman dan kamar tamu, bercakap-cakap membicarakan hal-hal tetek-bengek, diperlakukan oleh "ridder-ridder" lelaki sebagai dewi-dewi halus yang selalu perlu ditolong dan dijaga-jaga. Laki-laki inilah yang mengambilkan saputangan mereka kalau saputangan-nya jatuh, laki-laki inilah mengangkatkan kursi, kalau mereka hendak duduk. Mereka diladeni seperti Raja Puteri, seperti Dewi. Tapi dalam pada itu juga, mereka diperlakukan oleh "ridder-ridder" itu sebagai makhluk yang tak cakap hidup sendiri, tak cukup kecerdasan dan kepandaian, tak kuat memikul pekerjaan pekerjaan masyarakat, tak penuh fikiran dan ingatan.

Di dalam kalangan kaum atasan inilah, kaum perempuan benar-benar dipelihara dan dijaga-jaga oleh "ridder-ridder" itu sebagai blasterannya dewi dan si tolol.

Kini barang-barang paberik itu masuk ke dalam salon dan boudoir mereka. Mereka tak perlu memintal benang lagi, tak perlu menenun lagi, tak perlu membuat kuih lagi, tak perlu membuat obat-obat sendiri lagi. Sebab mereka mampu membeli semua keperluan-keperluan rumah tangga itu dari paberik dan dari toko. Maka kehidupan mereka semakin menjadi kosong, waktu mereka semakin banyak yang terluang.

Mereka semakin "nganggur". Mau masuk paberik menjadi kuli seperti perempuan bawahan, tak mungkin baginya, – mereka musti "jaga nama", dan upah satu dua picis itupun mereka tak perlukan sama sekali – mau masuk kantor-kantor atau sekolah-sekolah, belumlah mereka mendapat pintu yang terbuka, bekerja di paberik sebagai kaum buruh kasaran mereka tak mau, bekerja di kantor atau di masyarakat sebagai kaum buruh halusan masih ditabukan kepadanya. Maka datanglah di dalam hidup mereka itu satu siksaan pedih, lebih pedih daripada siksaan yang lain-lain; datanglah kepadanya siksaan "kesalnya menganggur" siksaan beratnya "duduk tenguk-tenguk". Jeltje de Bosch Kemper, seorang perempuan Belanda, mengeluhkan keadaan yang demikian ini dengan keluhan: "Apa yang saya kerjakan dari umur delapan belas tahun", ... tak tahulah saya. Tinggal di rumah saja menyulam, menggambar, main piano, menjahit sedikit, menulis surat, bertamu, jalan-jalan sedikit, ... Kadang-kadang ada banyak juga hasil pekerjaan itu, tapi kadang-kadang juga banyak yang tersia-sia". Inilah keluhan seorang-orang yang menderita penyakit "verveling" itu. Adakah keadaan di kalangan atasan dari perem-puan Indonesia berbeda? Siapa yang membaca kitab R.A. Kartini "Door duisternis tot licht", akan mendapat kesan yang sama: verveling, verveling, dan sekali lagi verveling! "Saya tak tahu, bagaimanakah saya dapat melakukan waktu", begitulah selalu keluhannya. Maka baik di dunia Eropa, maupun di dunia Indonesia, " puteri–puteri " , yang terlalu banyak tempo, menganggur ini, menjadi "mesin ngomong" yang paling jempol, tukang ngobrol yang paling ulung, yang hari-hari, dari pagi sampai sore, dari sore sampai malam, pekerjaannya cuma meng-obrol saja tiada putusnya, mengobrol tentang kucing, tentang meja, tentang kuih, tentang baju, tentang bedak, tentang seribu satu hal tetek-bengek. Dan terutama sekali mengobrol tentang ... orang lain!

Dan ada akibat lain pula daripada keadaan di kalangan kaum atasan yang saya gambarkan itu: yakni akibat "gadis sukar laku", dan "laki-laki kawin tua". Perempuan-perempuan atasan yang tidak dikasih kesempatan untuk mencari nafkah sendiri itu, (di paberik tidak dan di kantorpun tidak), sama sekali menjadi tanggungan bapanya atau sanak-saudaranya jang laki-laki. Tiap-tiap orang laki-laki di rumahnya ada "menyimpan" beberapa "biji" dari mereka itu: adik, atau saudara sepupu, atau bibi, yang harus ia tanggung sama sekali hidupnya.

Benar di zaman dulu-pun begitu. Tetapi sekarang puteri-puteri ini tidak lagi berarti penting sebagai produsen di rumah tangga, yakni tidak berarti penting sebagai pembantu di rumah tangga. Dulu mereka yang menenun kain, dulu mereka yang menjahit pakaian, dulu mereka yang membuat makanan. Dulu mereka produktif. Kini sebagai akibat produksi barang dagangan, maka kain dibeli dari toko, pakaian dijahit oleh tukang menjahit, kuih-kuih banyak dibeli sudah matang. Dan segala itu dengan uang, – uang orang laki–laki. Tanggungan orang laki-laki naik. Segala hal dialah yang musti mengongkosi, segala hal dialah yang musti bayar. Ia menjadi takut kawin, takut mendirikan somah sendiri, di mana masih begitu banyak "embel-embel" yang musti ia tanggung. Gadis-gadis tidak banyak yang meminangnya, mereka banyak yang menjadi "gadis-tua" yang selalu menertawakan segala hal yang tetek-bengek.

Ya, alangkah celakanya nasib "puteri-puteri" dan "nyonya-nyonya" itu! Mereka menjadi satu peristiwa masyarakat! Edward Carpenter, yang di muka sudah saya kutip perkataanya, menulis-kan satu petikan dari kitab: "Het Vrouwenvraagstuk", yang menggambarkan hidup puteri-puteri di negeri Inggeris di abad yang silam: tiap-tiap orang dapat melihat ratusan puteri-puteri itu, boneka-boneka yang berpakaian bagus -, duduk di muka jendela masing-masing, semuanya matanya memandang kepada pita-pita berwarna yang ada di dalam tangannya:

Duduk di muka jendela dengan berbedak dan berdandan seperti boneka, sambil tiada lain "kerja" melainkan mengatur pita! Ingatkah tuan-tuan kepada puteri-puteri Indonesia yang juga berbedak dan berdandan seperti boneka, duduk di serambi rumah dan "rajin bekerja", – misalnya menyongket renda kain tempat-tidur?

Siapakah yang lebih celaka, si perempuan rendahan yang "senewen" karena terlalu banyak kerja, atau "boneka-boneka" ini? "Nyonya, dan perempuan rendahan yang bekerja seperti kuda beban di rumah tangga, dan sundal – itulah tiga type perem-puan yang keluar dari proses masyarakat yang dahulu, muncul ke dalam masyarakat yang sekarang, dan sukar bagi kita untuk mengatakan, siapa dari mereka itu yang paling menyimpang dari cara hidup yang diingini oleh tiap-tiap perempuan di dalam hatinya", begitulah Edward Carpenter tadi itu berkata.

Tetapi lambat-laun datanglah perubahan juga di dalam kalangan kaum atasan itu. Lambat-laun urusan ekonomi mendesak pula kepada kaum laki-laki yang musti menanggung segala ongkos rumah tangga itu. Mendesak kepada mereka untuk mengangkat hukum tabu yang menutup pintu kantor, pintu perusahaan, pintu sekolah, bagi kaum perempuan itu. Lambat-laun kaum puteri sendiripun dengan pergerakan feminisme mengadakan desakan yang maha hebat kepada kaum laki-laki, untuk mengangkat tabu yang menolak mereka dari proses masyarakat itu. Lambat-laun kaum laki-laki sendiri merasa beratnya menanggung hidupnya keluarga-keluarga perempuan yang di dalam segala-galanya harus ditulung itu, dan merasa manfaatnya kalau perempuan-perempuan ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti makhluk tidak berjiwa, tidak lagi menadahkan tangannya saja ke langit dan ke kaum laki-Iaki, tetapi dapat mencari nafkah hidup sendiri-sendiri. Lambat-laun puteri-puteri itu diijinkan masuk sekolahan-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan, menjadi guru, dokter, insinyur, adpokat. Lambat-laun berubahlah idam-idaman laki-laki tentang perempuan yang telah ratusan dan ribuan tahun terpaku di dalam angan-angannya itu. Kini idam-idaman itu bukan lagi perempuan yang seperti sutera, yang lemah-lembut, menadahkan tangan kepadanya dan memandang kepadanya sebagai memandang kepada seorang Maha Dewa, memohonkan tolong dan perlindungan, – kini idam-idaman laki-laki bergantilah menjadi: perempuan yang "sportif", yang cakap, yang tak selalu butuh pertolongan, yang dapat meringankan bebannya. Perempuan-perempuan yang demikian itulah, – gadis-gadis yang riang, sigap, sehat, sportif, cakap bicara, "sedikit kurang-ajar", tangkas sebagai rusa betina, – klerk-klerk, juru tik-juru tik, guru-guru, studen-studen wanita, dsb. – perempuan-perempuan yang demikian itulah yang kini paling dapat memikat hati orang laki-laki. Perempuan-perempuan yang demikian itulah yang kini paling banyak harapan segera mendapat jodo. Tetapi yang tidak begitu, yang "model kuno", terpaksa terus hidup kehidupannya yang sediakala, tersia-sia menunggu-nunggu datangnya seorang jejaka, sampai ia sendiri menjadi gadis tua yang layu dan hilang keelokan dan kesegarannya.

Tetapi masyarakat kapitalistis sekarang inipun tidak selalu mengasih kesempatan bekerja kepada semua orang yang mau bekerja, tidak selalu mengasih kesempatan kawin kepada semua orang yang mau kawin. Di dalam bab II telah saya terangkan hal ini sedikit-sedikit.

Maka oleh karena itu, masih banyak sekali gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang tidak mendapat suami, – kendati ketangkasan, kendati kesportifan, kendati kecakapan. Meskipun cakap, meskipun tangkas, meski-pun telah berdiploma, belum tentu itu menjadi jaminan akan mendapat seorang suami. Hanya yang paling jempol sajalah, yang paling cakap, yang paling cantik, yang paling menarik, yang paling ber-"sex-appeal", mempunyai harapan akan mendapat jodo. " Struggle for life " kini juga menjadi " struggle for man " . Maka oleh karena itu, timbullah, – mula-mula di Amerika di mana "cari suami" itu yang paling susah -, satu pergerakan "menambah kecantikan", satu make–up–movement, yang maksudnya mempelajari dan mempraktekkan, betapakah cara mustinya perempuan menarik hati kaum laki-laki. Menghaluskan kulit, mengatur rambut, memerahkan bibir, memilih warnanya bedak, mencabut bulu alis supaya alis ini menjadi kecil seperti bulan tanggal satu, menentu-kan warna creme dan menyapukan creme, mengatur badan waktu duduk, menggerakkan badan waktu berjalan, itu semua-nya menjadi satu "ilmu", yang siang dan malam berputar di dalam otaknya perempuan-perempuan fihak atasan itu. Roman muka dan tingkah laku perempuan itu menjadi berubah sama-sekali. Kulit jelita, bibir merah dan alis melengkung, bukan lagi satu hadiah alam yang terdapat pada satu dua perempun saja, tetapi menjadi milik tiap-tiap hidung yang mampu membelinya. Kadang-kadang sungguh menarik benar perempuan-perempuan yang telah di "make-up" itu, tapi kadang-kadarig juga menjadi-lah mereka itu justru seperti "hantu", karena "cap" di atas muka mereka itu terlalu melebih-lebihi batasnya kesederhanaan! Tetapi sebagai satu peristiwa sosial adalah ini akibat dari masyarakat yang di situ "struggle for man" menjadi sukar sesukar-sukarnya. Juga di Indonesia, ini "movement", walaupun sebab-sebabnya yang dalam tidak diinsyafi oleh tiap-tiap orang, sudah mulai menjalar, tentu saja di bawah pimpinan beberapa nyonya dari kalangan atasan!

Jadi: juga di kalangan perempuan atasan, dunia belum menjadi satu sorga, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu.

Ya, sekali lagi, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu! Di kebanyakan negeri Eropa perempuan sudah boleh menjabat pelbagai pekerjaan di dunia ramai, sudah banyak yang masuk sekolah tinggi dan menjadi wartawan, peniaga, insinyur, dokter, adpokat. Di banyak negeri Eropa perempuan malahan sudah mendapat hak-hak politik yang sama dengan kaum lelaki, sehingga banyak dari mereka telah menjadi anggota dewan haminte, dewan propinsi atau dewan parlemen. Tetapi kendati hasil-hasil baik dari perjoang-annya ini, juga pada mereka dirasakan oleh mereka sendiri adanya satu scheur. Juga pada mereka ada satu "retak", tetapi satu retak yang berbeda sedikit daripada retak di kalangan perempuan kaum buruh. Di kalangan kaum buruh itu retaknya ialah: terombang-ambing dan terbanting-banting antara dua tanggungan, tanggungan mencari nafkah di luar, dan tanggungan mengurus rumah-tangga, terbanting-banting antara tanggungan sebagai pekerja masyarakat, dan tanggungan sebagai isteri dan ibu di rumah-tangganya. Bagi perempuan kaum buruh itu, sebenarnya adalah satu ideal, satu keinginan jiwa yang maha tinggi: ingin merdeka di dalam masyarakat dengan jalan ikut menjadi produsen masyarakat, dan ingin menjadi isteri dan ibu yang mencinta, mengasih, menyayang, memelihara suami serta anak-anak menurut kodrat alam. Tetapi tidak satu dari dua keinginan ini dapat ia capai dengan sempurna, tidak satu dari dua ideal ini dapat menjadi satu realitas baginya.

Sebab di dalam masyarakat kapitalistis sekarang ini, sempurnanya pelayanan dua kewajiban ini adalah terlalu membebani kepadanya, terlalu berat bagi tenaganya satu orang, sehingga ia menjadi "senewen" dan patah tulang belakang: Mau melepaskan kerja di dalam masyarakat tak dapat, sebab, itu berarti hilangnya sesuap nasi dan hilangnya kemerdekaan; mau melepaskan suami dan anak-anak tak mungkin, sebab, itu adalah bertentangan dengan kodrat dan keinginan jiwa. Begitulah gambarnya retak yang membelah jiwa-raga perempuan kaum bawahan menjadi dua belahan yang terombang-ambing satu sama lain.

Bagaimanakah retak perempuan kaum atasan? Juga di sini ia kini telah banyak menjabat pekerjaan masyarakat. Juga di sini ia telah banyak bekerja di luar rumah tangga. Juga di sinipun ia, selain memikirkan kerja di masyarakat itu, harus juga memikirkan kerja sebagai isteri dan sebagai ibu. Tetapi manakala dua pekerjaan ini di kalangan kaum buruh mendatangkan "senewen", maka di kalangan atasan hanyalah mendatangkan "rasa kurang puas" sahaja. Sebab perempuan atasan itu di rumahtangganya cukup mendapat bantuan, bantuan alat-alat teknik sebagai gas dan listrik, bantuan harta yang dapat membeli semua keperluan, dan bantuan pelayan-pelayan yang tinggal memerintah saja. Ketidakpuasan yang ia rasakan itu bukan ketidakpuasan karena "patahnya tulang belakang", tetapi adalah ketidakpuasan terganggunya waktu untuk menumpahkan cinta kasih kepada suami dan terutama sekali kepada anak-anak, sebagai panggilan jiwanya dan panggilan kodratnya. Kerja di masyarakat itu menjadi satu halangan baginya buat kesempurnaan kehidupan laki-isteri anak, satu rintangan bagi kehidupan laki–isteri yang sempurna dan bahagia.

Dan bukan saja rintangan bagi kesempurnaan kehidupan laki-isteri manakala kehidupan itu sudah ada, – artinya: manakala sudah hidup berlaki-isteri, sudah ada suami, sudah ada anak -, tetapi bagi banyak kaum perempuan atasan kehidupan laki-isteri inipun satu hal yang susah didapatnya. Bagi banyak kaum atasan, sebagai tadi sudah saya katakan, mendapat suami masih satu teka teki, – sehingga timbul peristiwa "gadis-tua" dan "make-up movement". Maka oleh karena itu, kini, sebagai reaksi atas keadaan yang demikian itu, bukan lagi kerja di dalam masyarakatlah yang menjadi tujuan dan cita-cita, tetapi kehidupan laki-isteri yang bahagia. Bersuami, beranak, berumah tangga bahagia, itulah kini idam-idaman yang pertama, keinginan jiwa yang paling tinggi. Kini timbul satu aliran baru di kalangan kaum perempuan atasan itu, yang mengatakan, bahwa feminisme tak cukup untuk mendatangkan kebahagiaan. Kini timbul aliran neo–feminisme, feminisme baru, yang menganggap pekerjaan masyarakat itu "nomor dua", tetapi perkawinan, menjadi ibu, memimpin keuarga nomor satu.

Sebelum kita lebih lanjut, izinkanlah saya nanti dalam bab IV lebih dulu mengulangi hal matriarchat dan patriarchat dengan kupasan yang sedikit lebih lebar. Sebab hanya dengan mengerti betul-betul matriarchat dan patriarchat itulah kita akan dapat mengerti sebab-sebabnya segala kesusahan-kesusahan yang diderita oleh kaum perempuan. Sudah barang tentu kupasan itu tak dapat bersifat lebih daripada satu "peninjauan" saja, satu orientasi. Bukan tempatnya kitab ini mengupas soal itu terlalu dalam. Buat kupasan yang dalam itu, perlu satu buku tebal yang spesial!

Maka sekarang kita, di dalam perjalanan "dari gua ke kota" itu, sudah menginjak halaman zaman kita sendiri. Dengan cara ikhtisar, kita sudah mengikuti sejarah Sarinah, dari zaman kelompok sampai ke zamannya radio dan lampu listrik. Satu kali kita melihat Sarinah di atas puncak kemuliaan, satu kali ia menjadi cakrawarti dunia, yaitu di zaman berkem-bangnya sistim matriarchat. Tetapi di bagian yang lain-lain, di dalam kelompok, di zaman histori tua, di zaman histori baru, di zaman histori paling baru, – di semua bagian-bagian sejarah itu Sarinah selalu menjadi makhluk yang celaka, makhluk yang selalu dikalahkan kaum laki-laki, makhluk yang teperdaya. August Bebel di dalam bukunya "Die Frau und der Sozialismus" berkata, bahwa perem-puan adalah ’makhluk yang paling dulu diperbudak". Tetapi di lain tempat, di dalam majalah "Neue Zeit", ia pernah berkata pula, bahwa perempuan itu adalah "makhluk jang diperbudak selama–lamanya".

Kecuali perkecualian di zamannya matriarchat itu, maka benar sekali perkataan Bebel ini. Mungkin-kah datang satu waktu, di mana ia akan hidup merdeka kembali? Ataukah sudah memang "kodrat" perempuan, hidup di bawah telapak laki-laki?

  1. Perlu diterangkan di sini bahwa kedudukan yang baik dari perempuan di dalam zaman hukum peribuan itu ialah di dalam hukum peribuan yang karena perezekian, sebagai yang saya terangkan di atas ini. Tetapi ada pula hukum peribuan yang tidak karena perezekian, melainkan hanya buat mengurus keturunan saja. Maka di sini tidak selalu kedudukan perempuan itu baik. Teori Bachofen yang mengatakan, bahwa hukum peribuan selalu mengasih kedudukan mulia kepada perempuan, harus dianggap belum mutlak.