Lompat ke isi

Rimba-Rimba/Bab 9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

MENCARI BUYA

Johan dan kawan-kawannya yang lain masih bingung, apa yang mesti dilakukan. Rumah Buya benar-benar kosong. Tidak ada petunjuk apapun.

"Jadi sekarang bagaimana?" ujar Zakir.

"Entahlah, kita harus mencari buya," jawab Imron

"Kita mesti bergabung dengan tentara rimba. Hanya itu cara satu-satunya untuk bisa bertahan dan kemungkinan menemukan kembali keluarga kita," ujar Johan.

Yang lain terdiam, tidak ada yang menyahut.

"Saya mendapat kabar sekarang ini pasukan rimba sudah menyatakan ketegasannya, masuk atau keluar. Terutama terhadap lelaki dewasa dan pemuda seperti kita ini. Artinya jika ingin masuk silahkan ke rimba atau ingin keluar, silahkan bergabung dengan tentara pusat. Mereka akan dianggap musuh dan diburu," ujar Zakir lagi.

"Kita berharap semoga Buya dibawa lari pasukan rimba bukan PKI," kata Kamil.

"Mudah-mudahan saja," ujar mereka serempak.

"Jadi sekarang bagaimana?" tanya Johan.

"Ya. Hanya itu cara kita. Kemana pun di Sumatera ini sudah tidak aman. Kalau ingin aman, larilah ke Jawa atau Kalimantan. Mungkin di sana tidak akan ada pemberontakan. Tapi kalian tahu apa cap untuk pengecut seperti itu?" ujar Johan.

"Jadi bagaimana teman-teman?" kata Imron.

"Ya. Kita mesti bergabung dengan pasukan rimba. Setidaknya jadi tukang masak di dapur umum, tidak apalah."

"Ya. Pasukan yang mana? Sekarang ini semua pasukan rimba sudah lari ke hutan. Tidak satupun yang bertahan di kampung. Sebentar lagi kalau kita tidak segera pergi, antek PKI atau tentara pusat yang akan menemukan kita."

"Entah. Saya juga tidak tahu. Tapi saya dengar-dengar sekarang ini para pemimpin PRRI tengah berada di daerah Talang Babungo, mungkin kita bisa ke sana." ujar Imron lagi.

"Pas kalau begitu. Talang Babungo," kata Ali. Kemudian lima orang itu: Johan, Ali, Kamil, Imron, dan Zakir sepakat untuk bergabung dengan pasukan rimba. Mereka memilih Johan sebagai komandan.

Kecuali Johan, yang diberi pangkat Letnan, yang lainnya diberi pangkat sama, yaitu sersan. Johan dipilih karena diantara mereka ilmu bela dirinya paling hebat dan ayahnya mantan tentara. Selain itu ia juga anak pesantren. Ilmunya dipandang lebih dibanding yang lain.

"Kita harus mencari senjata. Paling kurang tombak atau parang," ujar Zakir.

"Tidak usah," kata Johan.

"Tidak usah? Itu namanya bunuh diri. Kita tidak tahu kemana arah dan tujuan."

"Siapa yang pernah ke Talang Babungo?" ujar Johan.

"Saya," kata Kamil.

"Lewat mana?” tanya Johan.

"Pasar Alahanpanjang," jawab Kamil.

"Saya dengar Alahanpanjang sudah direbut tentara pusat kawan. Melewati pos penjagaan mau cari mati apa?" kata Zakir menimpali.

"Kalau begitu kita mesti melewati hutan dari arah Tambang Aro," ujar Johan.

"Tapi siapa yang tahu jalan?" desak Kamil lagi.

"Saya pernah sekali," ujar Ali.

"Bagaimana senjata kita?" ujar Ali lagi lagaknya seperti tentara benaran.

Johan hanya tersenyum. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya agar segera berangkat.

Dari beberapa orang yang mereka temui tersiar kabar pasukan pusat memang sudah sampai di Pasar Alahanpanjang, yang jaraknya hanya sekitar tujuh kilometer dari Aie Dingin. Itu berarti, kampung itu memang sudah tidak aman lagi.

"Ayo berangkat," ujar Johan.

Kemudian mereka berebut keluar dari pintu depan. Namun dengan cepat Johan mencegah. keluar, silahkan bergabung dengan tentara pusat. Mereka akan dianggap musuh dan diburu," ujar Zakir lagi.

"Kita berharap semoga Buya dibawa lari pasukan rimba bukan PKI," kata Kamil.

"Mudah-mudahan saja," ujar mereka serempak.

"Jadi sekarang bagaimana?" tanya Johan.

"Ya. Hanya itu cara kita. Kemana pun di Sumatera ini sudah tidak aman. Kalau ingin aman, larilah ke Jawa atau Kalimantan. Mungkin di sana tidak akan ada pemberontakan. Tapi kalian tahu apa cap untuk pengecut seperti itu?” ujar Johan.

"Jadi bagaimana teman-teman?" kata Imron.

"Ya. Kita mesti bergabung dengan pasukan rimba. Setidaknya jadi tukang masak di dapur umum, tidak apalah."

"Ya. Pasukan yang mana? Sekarang ini semua pasukan rimba sudah lari ke hutan. Tidak satupun yang bertahan di kampung. Sebentar lagi kalau kita tidak segera pergi, antek PKI atau tentara pusat yang akan menemukan kita."

"Entah. Saya juga tidak tahu. Tapi saya dengar-dengar sekarang ini para pemimpin PRRI tengah berada di daerah Talang Babungo, mungkin kita bisa ke sana," ujar Imron lagi.

"Pas kalau begitu. Talang Babungo," kata Ali. Kemudian lima orang itu; Johan, Ali, Kamil, Imron, dan Zakir sepakat untuk bergabung dengan pasukan rimba. Mereka memilih Johan sebagai komandan.

Kecuali Johan, yang diberi pangkat Letnan, yang lainnya diberi pangkat sama, yaitu sersan. Johan dipilih karena diantara mereka ilmu bela dirinya paling hebat

Rimba-Rimba

dan ayahnya mantan tentara. Selain itu ia juga anak pesantren. Ilmunya dipandang tebih dibanding yang lain.

“Kita harus mencari senjata. Paling kurang tombak atau parang,” ujar Zakir.

“Tidak usah,” kata Johan.

“Tidak usah? Itu namanya bunuh diri. Kita tidak tahu kemana arah dan tujuan.”

“Siapa yang pernah ke Talang Babungo?” ujar Johan.

“Saya,” kata Kamil.

“Lewat mana?” tanya Johan.

“Pasar Alahanpanjang,” jawab Kamil.

“Saya dengar Alahanpanjang sudah direbut tentara pusat kawan. Melewati pos penjagaan mau cari mati apa?” kata Zakir menimpali.

“Kalau begitu kita mesti melewati hutan dari arah Tambang Aro,” ujar Johan.

“Tapi siapa yang tahu jalan?” desak Kamil lagi.

“Saya pernah sekali," ujar Ali.

“Bagaimana senjata kita?” ujar Ali lagi lagaknya Seperti tentara benaran.

Johan hanya tersenyum. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya agar segera berangkat.

Dari beberapa orang yang mereka temut tersiar kabar pasukan pusat memang sudah sampat di Pasar Alahanpanjang, yang jaraknya hanya sekitar tujuh kilometer dari Aie Dingin. Itu berarti, kampung itu memang sudah tidak aman lagi.

“Ayo berangkat,” ujar Johan.

Kemudian mereka berebut keluar dari pintu depan. Namun dengan cepat Johan mencegah.


53

Rimba-Rimba

“Upss. Jangan berebut. Mulai sekarang kita mesti hati-hati. Kamil, coba kamu lihat dulu apakah keadaan di luar aman,” kata Johan.

Mereka saling berpandangan mendengar kata Johan itu, namun tidak seorangpun yang berani membantah, karena memang ada benarnya juga. Bagaimana tadi kalau ada pasukan pusat di luar. Mereka bisa disate.

Kemudian mereka memilih keluar dari pintu belakang rumah Buya dan mengendap-endap sepanjang hiliran sungai hingga sampai di daerah Sapan, kemudian memutar arah dengan mendaki Bukit Tabuah.

Sesampai di jalan umum, Johan memerintahkan Kamil untuk berjalan sekitar dua puluh meter di depan dan Ali dua puluti meter di belakang.

“Ada-ada saja,” umpat Kamil.

Sesampai di Lubuk Batu Gajah seharusnya mereka lurus saja hingga mencapai kaki bukit Tambang Aro, namun Johan memilih memutar ke kiri hingga mencapai tambang pasir rakyat.

“Kenapa mesti ke tambang pasir?”

“Ikut sajalah.”

Kemudian mereka bergegas menyusuri tebing yang curam itu. Lagi-lagi Johan meminta Kamit untuk mengamati dulu situasi sebelum beranjak. Tak lama kemudian terdengar suara bising. Scbuah pesawat melayang-layang tepat di atas mereka. Untung saja mereka terlindung tebing, sehingga tidak terlihat dari luar. Hati mereka jadi citu. Nyali pun hilang.

“Benar kan, sudah tidak aman?” katanya.

Setelah situasi dirasa aman, kemudian mereka mendekat ke sebuah lobang seperti goa bekas tambang pasir itu, Saat itulah mereka terbelalak melihat ada


54

sebuah truk yang disembunyikan di dalam bekas tambang pasir yang cukup besar itu.

Buru-buru Ali lari keluar goa itu dan akan beteriak tentang penemuan senjata itu. Tapi Johan mengejarnya dengan cepat dan menariknya kembali masuk goa.

Kecuali Kamil, mereka masuk ke goa itu.

“Truk ini saya yang menyembunyikan di sini. Ceritanya panjang. Nanti saja diceritakan. Sekarang kita lihat apa saja isinya.”

Kemudian mereka memeriksa isi karung yang ada di dalam truk. Mereka membongkar satu per satu.

“Aslaga....apa ini?” mereka terbelalak. Terperanjat dan ada yang tiba-tiba merasa pusing. Kini mereka mulai ketakutan. “Ini berbahaya. Sebaiknya jangan main-main.” kata Kamil,

“Ayo cepat...” ujar Johan.

“Apa ini? Punya siapa? Kita pasti akan dibunuh.”

“Ambil pistol masing-masing satu dan peluru secukupnya. Kita mesti cepat pergi dari sini.”

Mereka pucat mendengar perintah Johan. Tapi itu hanya sebentar.

Masing-masing mereka mempunyai ilmu silat yang sudah mumpuni. Bahkan Imron terkenal karena terjangan kakinya yang maut. Zakir sendiri juga punya ilmu yang hebat, walau sebenarnya ia jarang menggunakannya. Ia juga terkenal mempunyai ilmu pengasihan yang hebat. Banyak gadis di kampung itu yang suka kepadanya.

Segera saja mereka meninggalkan tempat itu. Terlebih dahulu pintu goa ditutup rapat dengan dedaunan yang sudah kering. Dari jauh kelihatan rumah yang terbakar. Namun mereka tak punya waktu lagi, desas desus, pasukan pusat sudah masuk ke kampung kecil itu. Mereka langsung saja mengambil jalan ke arah Tambang Aro. Tambang Aro adalah lokasi hutan yang perawan. Mereka kemudian terus menelusuri hutan dan lari dalam keheningan rimba-rimba belantara itu.

"Kita sebenarnya mau kemana?” kata Kamil.

“Entahlah. Ikut saja. Dia pasti tahu,” ujar Zakir.

“Kalau tidak tahu bagaimana?” kata yang lain.

“Jangan banyak tanya. Apa kamu mau kembali ke kampung? Lelaki yang seusia kita pasti akan jadi sasaran. Mau tidak mau kita akan dianggap pemberontak. Atau kalau kita tidak mau ikut, pasukan rimba yang akan menghabisi kita. Sekarang tidak ada cara tain. Kita lari ke hutan. Apapun kejadian nanti. kita lihat saja.”

Jalan yang mereka lalui sungguh berat. Mereka tidak ingat lagi mana jalan yang biasa dilewati orang.

Di depan terhampar hutan belantara dengan pohon yang besar. Suara burung hutan dan binatang yang menakutkan. Mereka menerobos tebatnya hutan. Kadang-kadang semak menghalangi jalan dan mereka mesti menyingkir ke tepi. Beberapa kali kaki mereka tertusuk duri.

“Dimana posisi kita?” tanya Johan,

“Kita pasti tersesat,” ujar Kamil,

“Saya tidak ingat lagi jalannya,” katanya.

Badan mereka sudah letih. Mereka ingin istirahat.

Johan mengajak teman-temannya duduk di sebuah batu besar di tepi sungai. Ia ingin merundingkan apa yang akan mereka lakukan sekarang.

“Kawan-kawan, kita sudah terlibat dalam pemberontakan ini. Mana senjata tadi?"

Kemudian Imron memberikan bungkusan tadi. Masing-masing masih dalam keadaan seakan tidak sadar tentang semua yang terjadi. Pergulatan waktu yang begitu hebat. Kemarin suasana masih seperti biasa, mandi di Sungai, gembala kerbau, ke surau. Kemudian terjadi pemberontakan. Sekarang mereka memegang senjata.

“Ini bukanlah main-main, sebaiknya kita buang Senjata itu. Atau kita berikan kepada tentara rimba,” ujar Zakir.

“Sudah ada yang bisa memakainya?" tanya Johan.

“Belum,” mereka menggeleng.

“Kamil, ke sini,” katanya pada Kamil yang punya nama lengkap Ibnu Kanit itu. Kemudian Kamil mendekat. Johan memaksa Kamil memegang senjata itu dan menunjukkan cara-cara memakainya.

“Arahkan ke depan, lepaskan pengamannya, dan bidik sasaran...”

“Tidak nanti ada yang mendengar,” katanya.

“Ini hutan belantara,” kata Johan lagi.

“Dor dor..”

Kamil melepaskan dua tembakan. Untung saja Zakir yang berbadan kurus yang ada di depan cepat menghindari. Seketika ia menjadi pucat.

“Jangan tembak aku,” katanya.

Johan cepat bergerak dan merampas senjata itu secepat kilat.

“Kalau salah sasaran kita bisa menembak teman sendiri,” katanya.

Kemudian mereka memperagakan tanpa peluru.

“Dari mana kau tahu cara memakainya? Dari mana Senjata itu?” tanya Zakir.

“Ya...ya..” ujar mereka serentak.

“Apakah kamu menjebak kami?"

“Menjebak?”

“Ya, Kamu sebenarnya sudah masuk ke tentara rimba kan?” “Ha ha ha,” Johan tertawa.

Gelak Johan melengking keras.

“Kau lupa rupanya. Ayahku seorang tentara. Saya sering diajarinya menembak rusa,” katanya.

Mereka mengangguk-angguk.

“Ya, lalu bagarmana dengan truk itu?”

“Truk?”

"Ya, yang berisi senjata?”

Kemudian Johan menceritakan kisahnya dari awal bom meledak di Padangpanjang, sampai menyembunyikan truk itu. Mereka hanya manggut-manggut mendengar cerita Johan. Ada yang menggeleng-geleng. Tak kuasa menahan kekagumannya terhadap Johan.

Zakir mengangguk-angguk. Ali mengelus-elus kumis tipisnya yang sudah tumbuh beberapa helai.

“Lalu apa yang mesti kita lakukan sekarang?”

“Kita harus ke Talang Babungo, Bukankah Buya Malin Mandaro berguru di sana? Nanti kita tanya penduduk dimana rumah guru Buya dulunya. Kalau Buya sudah ketemu maka keluarga kita masing-masing akan mudah ditemukan juga. Mereka sekarang berpindah-pindah dari satu Jokasi ke lokasi Jainnya," ulas Johan.

“Setelah Buya ditemukan bagaimana?”

“Yang penting kita temukan Buya Jebih dahulu. Saya dengar sekarang ini PKI ingin membunuh buya-buya yang merupakan tokoh Masyumi. Kita mestimenemani beliau.

“Lalu bagaimana kalau kepergok pasukan PRRI?” tanya Zakir,

“Kita ceritakan saja yang sebenarnya,” balas Imron.

“Kalau bertemu tentara pusat?” tanyanya lagi. "Ya lari," balas Johan sambil tertawa.

"Ya, kalau buya ditemukan tentu saja kita akan bisa dipertemukan juga dengan komandan tentara rimba. Kita akan menceritakan semua dan menyerahkan senjata itu ke mereka," kata Johan.

"Sekarang kita resmi menjadi salah satu bagian dari ratusan kelompok pasukan rimba yang beroperasi di dalam hutan. Nanti kalau bertemu dengan salah satu kelompok, kita masuk ke kelompok mereka," kata Johan.

"Lalu apa nama kelompok kita?"

"Harimau Campo..."

"Ya...Harimau Campo, ganas dan berbahaya."

Kemudian mereka terkapar di atas batu besar itu. Sedangkan Ali sibuk memasukkan tangannya ke sela-sela batu di dalam sungai. Dengan cara itu, ia dengan mudah dapat mengapit ikan dengan jarinya.

Pasukan Harimau Campo harus tidur di tepi sungai kecil itu. Seperti layaknya tentara sungguhan, jam tidur pun diatur. Mau tidak mau mereka harus mengikuti perintah Johan. Sebab, dia sudah diangkat menjadi komandan pasukan, selain itu hanya dialah satu-satunya yang mempunyai pengetahuan lebih di di bidang ketentaraan dari mereka. Kakeknya adalah pejuang kemerdekaan. Ayahnya pun begitu. Darah pejuang sudah mengalir dalam darahnya.

"Kawan-kawan, saya akan membagi tugas masing-masing. Demi keamanan pasukan kita, tugas masing-masing harus dijalankan. Setiap gerak-gerik kita harus diatur sedemikian rupa. Artinya, jika berjalan dalam hutan, harus ada perintis di bagian depan dan pengaman di belakang juga satu orang. Amankan parameter," ujarnya bergaya lagaknya seorang komandan. "Ali di bagian depan dan Imron di belakang. Zakir dan Kamil bersama saya di tengah. Jarak antara yang di depan dan kami yang di tengah sekitar 20—30 meter. Jika ada yang mencurigakan beri kode. Kode kita tepuk tangan yang keras tiga kali."

Semuanya mengangguk. Tidak ada yang membantah. Ali dan Imron tersenyum kecil, mereka pernah melalui jalan itu mencari burung. Jadi tidak ada masalah bagi mereka.

Hari kian larut.

Lantas mereka melihat ada sebuah pondok tua di tengah rimba itu. Kemudian mereka memeriksa pondok itu.

"Aman," ujar Kamil.

Lantas Johan dan yang lainnya masuk ke pondok itu. Mereka membersihkannya dan bersuara untuk mengusir jika ada binatang buas seperti ular yang sedang tidur di pondok itu. Malam itu mereka harus bermalam di tengah hutan belantara itu. Untuk keamanan malam, mereka giliran berjaga.

"Menurutmu bagaimana keadaan kampung kita sekarang?" kata Zakir kepada Johan.

"Entahlah. Mungkin saja pasukan pusat sudah bermarkas di sana. Tidak mungkin kita bertahan di sana. Susah membedakan mana yang teman dan mana yang lawan. Apalagi antek komunis sudah berkeliaran. Buya adalah sasaran utama mereka. Mereka tahu kita adalah murid-murid Buya, yang pasti akan jadi sasaran mereka. Makanya sekarang kita harus menemukan buya."

Johan ingat dengan Buya. Bagi dia, lelaki itu sangat berarti. Beberapa tahun silam perguruan silat Bukit Tabuah sangat terkenal. Mempunyai sebanyak 20 orang murid yang begitu loyal dan jago dalam beladiri. Pada awalnya perguruan itu hanya tempat mengaji dan menempa diri untuk suku Caniago. Namun lama kelamaan tidak hanya suku Caniago, namun dari daerah lain juga banyak murid berdatangan.

Asal muasalnya adalah surau Nurul Iklas di Lekok Jirek. Semenjak dibangun kondisinya sangat menyedihkan. Surau itu hampir tidak tersentuh. Bahkan tiang pendukungnya hampir roboh. Sewaktu Buya Malin Mandaro pulang kampung, setelah menuntut ilmu agama, ia begitu prihatin dengan kondisi itu. Ia mencoba lagi membangunkan surau itu dari tidur panjangnya. Sedikit demi sedikit akhirnya ia mampu juga.

Hampir setiap malam surau itu penuh sesak oleh murid-murid pengajiannya. Pukul tujuh malam sehabis magrib sampai pukul Sembilan, giliran murid-murid di bawah 15 tahun untuk mengaji. Kemudian pukul sembilan malam ke atas baru giliran murid-murid dewasa. Bahkan banyak juga muridnya yang bermalam di surau itu.

Sekali seminggu, pada Jumat malam, di surau itu diadakan ceramah agama. Sudah bisa dipastikan pesertanya sesak. Bahkan dinding-dinding surau seakan tidak mampu menampung masyarakat yang datang.

Untuk mengikat tali persaudaran antar kampung, sekali sebulan diadakan pengajian keliling. Satu kampung akan mendatangi kampung lain untuk mendengarkan pengajian.

Tidak berapa lama, usaha itu berkembang. Namun Buya merasa perlu regenerasi yang kokoh. Setidaknya jika nanti ajal menjemput ada generasi yang bisa melanjutkan perjuangannya itu.

Di antara muridnya, paling kurang ada sepuluh orang yang menonjol yaitu Johan, Zakir, Kamil, Ali, dan Imron. Kecuali Johan, kemampuan murid-muridnya itu rata-rata sama. Selain “belajar agama yang terpenting yaitu belajar kanuragan dan iImu kebatinan.

Malam itu, Bukit Batabuah sepi. Hening. Kelam. Sepuluh orang duduk di atas batu. Angin mendesis pelan. Suara anjing hutan terdngar dari kejauahan. Suara yang menakutkan. Burung hantu dari tadi tidak henti-hentinya menceracau tidak tentu. Seakan ia mengingatkan tentang suatu kejadian yang akan datang.

Tiba-tiba saja sekelabat bayangan melintas di depan mereka. Johan tersentak. Tangannya mengepal. Mulutnya komat-kamit. Eniah imantra apa yang dibacanya, Sementara sembilan orang temannya yang lain sudah mengambil posisi untuk menunggu serangan.

Malam itu sangat mencekam. Johan tidak lagi melihat atau merasakan keberadaan teman-teman di dekatnya. Itu berarti mereka sudah dipisah satu per satu.

“Sreeet...... "

Johan menangkis serangan demi serangan yang datang ke arahnya. Ia tidak tahu makluk apa yang menyerangnya itu.

"Mungkin ini hantu penunggu Bukit Batabuah? batinnya.

“Atau inikah Si Bunian itu? Inikah si Bigau? Si Ampa? Jimbalang?”

Tiba-tiba sunyi. Bayangan hitam itu hilang,

Seekor harimau berdiri kokoh seraya melentik-lentikkan ekornya. Harimau sepanjang dua meter lebih itu kemudran bergerak lincah dengan mempertihatkan cakaran kukunya yang tajam dan ganas. Menyeringai, memperlihatkan taringnya yang tajam seakan ingin mencabik-cabik orang yaug ada di depannya itu. Tanpa diduga, harimau itu melompat ganas. Johan tertegun. Ia tak mengira harimau ita akan berbuat demikian.

Aumannya memekakkan telinga.

la ingat kata ayahnya sewaktu menunggui ladang. Kalau suaranya terdengar dekat itu berarti dia jauh. namun kalau jauh, itu berarti dekat. Hanya itu pesan ayah yang ia ingat tentang harimau.

Sekarang Johan mendengar persis suara harimau itu begitu dekat. Tapi bukannya harimau itu jauh, ia melihat taring itu yang putih dan tajam.

“Ini bukan harimau sebenarnya, tapi harimau jadi-Jadian," pikirnya.

Namun belum sempat ia berpikiran lebih jauh, harimau itu menyerang tiba-tiba. Johan bergerak cepat menghindari serangan harimau itu. Sesekali Johan bergerak lincah dan sepakannya mengenai tepat di pinggang harimau itu.

“Plukkk. ” Harimau itu mengerang kesakitan. Terjatuh. Berguling di tanah yang merah. Menggeliat. Namun kemudian bangkit lagi dan bersiap menyerang kembali. Setiap tendangan mematikan yang dihadiahi Johan dibalas dengan cengkaraman kuku yang kuat dan menggapai-gapai.

Tiba-tiba saja dengan lentikan pinggul yang khas,harimau itu menegakkan badannya. Johan terpana. Kini harimau itu tegak di atas kedua kaki belakangnya, Sementara dua kaki depan siap mencengkeram.

Johan betul-betul terdesak dan secepat kilat taring harimau itu akan mencabik-cabik tubuhnya. Kilatan Cahaya putih dari langit sudah datang. Sebentar lagi ia akan mati. Ia tahu tak bisa berbuat apa-apa.

Ia menjerit dan, “Allahuakbar”. la pasrah. la rela walau harus mati saat itu. Ia memang akan mati, sekarang atau kapan. Ia pasrah akan nasib yang menimpa. la pasrah jika raga harus berpisah dengan nyawa. la pasrah walau harus mati malam itu juga.

Baginya, mati cepat atau lambat sama saja. Setidaknya begitu yang diajarkan Buya kepada murid-muridnya. Namun, sebelum ajal berpantang mati. Ia bangun dengan cepat. Tapi sekali lagi, taring itu terlihat kuat.

la sudah pasrah saat itu. Ia masih muda dan tak punya siapa-siapa yang akan menyesali. Tiada si kecil yang akan menangisi. Kemudian ia bangkit lagi, dan...

"Pluassss."

Terdengar suara hantaman. Johan terhempas ke tanah. Ia tidak sadarkan diri. Harimau itu tercabik-cabik. Namun, yang menyelamatkannya bukan hentakan pedang ke tubuh harimau itu, sebab harimau yang dihadapinya sekarang adalah harimau jadi-jadian yang kebal senjata. Harimau yang makanannya cuma asap kemenyan.

Dengan secepat kilat itu juga Buya Malin Mandaro melemparkan kemenyan yang dibakarnya. Harimau itu hilang bersama asap putih yang mengepul. Bau amis dan sangit kemenyam bercampur jadi satu. Johan pingsan. Ia tidak sadarkan diri lebih tiga jam. Dari perkampungan terdengar kokok ayam sayup-sayup sampai. Johan mengangkat kepalanya.

"Di mana saya ini?"

Ia merasakan dingin yang menelusuk sampai ke tulang sum-sum. Badannya terasa berada dalam sebuah genangan air yang begitu dingin.

Rimba-Rimba

Ia seakan mendengar perkataan beberapa temannya yang lam. Dicobanya mengangkat kepala. “Oh. Kalian rupanya. Di mana saya?”

“Di hutan Bukit Tabuah,” ujar mereka serempak.

Kemudian sepuluh orang itu membuka baju masing-masing dan melompat ke dalam air itu.

Namun dinginnya sungai masing-masing mereka tidak sama merasakannya. Ada yang sangat dingin, ada yang sedang-sedang saja atau bahkan ada yang panas. Semakin dingin sungai dirasakan maka kebersihan jiwa akan semakin dalam.

“Rasakan tiap buih-buih air membersihkan segala dosa-dosa kalian,” begitu tiba-tiba Buya Malin Mandaro bersuara. Mereka terkejut. Melihat ke atas.

“Buya,” kata mereka serempak.

“Kemana saja Buya?” tanya Zakir.

Johan scgera keluar dari air menyalami Buya. Tak lama kemudian Buya berjalan. Kelima muridnya pun segera keluar dari sungai mengikuti dari belakang.

“Tadi malam masing-masing kalian sudah menjalani ujian. Masing-masing kalian sudah tahu kekuatan dan kemampuan masing-masing. Saya tahu, diantara kalian ada yang bisa mengalahkan seekor kucing, seekor anjing, seekor cicak, kadal, beruk dan ada juga yang bisa mengalahkan harimau.”

“Harimau...”

Belum sampai kata buya namun beberapa orang sudah menyeletuk. “Siapa?”

“Tidak perlu ditanya siapa. Namun dengan apa yang kalian miliki, kalian mesti bersyukur dan pandai-pandai menggunakannya. Ingat, ilmu kebatinan, ilmu putih hanya digunakan untuk berbuat kebaikan dan


65

Rimba-Rimba

membela kebaikan, bukan kejahatan. Ingatlah pesan saya itu.”

Siang itu, mereka menerima keputusan dari gurunya. Artinya ilmu yang mereka miliki sudah sempurna. Walau pun dari segi usia mereka masih bisa dikatakan relatif muda, namun mereka sudah memiliki ilmu kanuragan itu.

Setelah menerima keputusan dari gurunya, mereka kembali tercerai berai. Kembali ke aktivitas masing-masing. Kembali ke kampung asal. Johan melanjutkan pendidikan di pesantren.

Beberapa hari setelah menerima keputusan itu Johan masih memikirkan kata-kata gurunya. Ilmu hanya dipergunakan untuk membela kebaikan saja. Ia masih ingat cerita gurunya ketika pertatna kali pergi berguru ke Talang Babungo. Jarak sekitar tiga puluh kilometer ditempuh dengan kuda bendi. Kemudian berjalan kaki menelusuri pinggir-pinggir bukit, bukanlah suatu pengorbanan yang ringan untuk mencapai semua itu.

“Kau harus berangkat ke Padangpanjang untuk memperdalam ilmu agamamu,” begitu kata ayahnya suatu sore.

“Ya..., saya masih muda harus menimba ilmu banyak-banyak,” jawabnya.

Akhirnya ia pun menjadi seorang santri di pesantren itu. Awal-awal pertama sekolah, hatinya begitu gundah. Ia ingat kampung halamannya. la ingat ayah dan emaknya.

“Sedang apa mereka sekarang? Apakah mereka sedang makan nasi dengan campuran jagung lagi?

Air matanya serasa mau menetes. Ekonomi begitu sulit. Ia ingat makan hanya sekali dalam sehari. Itupun dengan beras yang dicampur jagung hasil tumbukan


66

Rimba-Rimba

kasar. Nasi jagung, walau terasa sekat di tenggorokan, namun terasa nikmat:


Ia sempat beberapa bulan di Padangpanjang. Kemudian suasana berubah. Perang meletus.


"Mengapa sekarang aku berada di sini? Mengapa kampung dibakar? Mengapa rakyat sengsara? Mengapa? Mengapa harus berperang dengan saudara sendiri?”


Ia terlelap dalam seribu tanda tanya yang menghujam dalam jiwanya. Tidur telentang di atas batu di luar pondok. Di atas sana, bulan purnama bercahaya terang. Bekas luka di dagunya terlihat dengan jelas.



{{|67}}

Rimba-Rimba




68