Rimba-Rimba/Bab 8

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
52577Rimba-Rimba — Bab 8Joni Syahputra

PENCULIKAN BUYA

Malam semakin pekat. Buya Malin Mandaro belum beranjak tidur. Ia merasakan suatu firasat buruk. Dari tadi ia hanya beranjak dari beranda ke kamar dan ke beranda lagi. Ia bisa merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi malam ini.

Istrinya yang sudah tidur sejak tadi ikut terbangun. Ia juga bisa merasakan kegalauan yang dihadapi suaminya, kemudian berjalan mendekat.

"Siapkan barang-barang, bawa yang perlu saja," katanya

Tidak banyak tanya, istrinya mengerjakan apa yang diminta. Mengumpulkan baju sekitar dua atau tiga helai. Beberapa surat penting. Kemudian membungkusnya dengan schelai kain sarung. Ia pun seperti sudah bersiap jika malam ini harus meninggalkan rumah lagi. Tepat pukul 12 malam terdegar suara derap kaki di luar. Buya sudah tahu siapa yang akan datang. Tetapi ia juga tahu apa yang akan dilakukan tamu-tamu tidak diundang itu.

la membukakan pintu, membiarkan mereka masuk.

"Gawat Buya, kita harus cepat pergi. Gestapu, sebutan untuk antek komunis, sedang berkeliaran. Bahaya," ujar seseorang dari mereka. Yang masuk hanya tiga orang. Buya bisa merasakan setidaknya yang datang lebih dari lima orang. Sisanya berjaga di luar.

"Kami disuruh Buya Hasan untuk menjemput Buya," ujar lelaki itu lagi.

"Hem...." Buya bergumam.

la tahu, mereka bukan utusan Buya Hasan, sahabatnya itu. Ia tahu mereka antek-antek komunis. Tetapi Buya tidak menolak untuk dibawa, karena memang tidak ada cara lain. Ia tahu kemana akan dibawa dan apa yang akan dilakukan.

Malam itu juga mereka beranjak. Menyusuri malam yang kian pekat. Mereka membawa Buya melalui jalan-jalan pinggir kampung. Hingga sampai di sebuah pondok di tengah hutan. Merekapun berhenti.

"Kita istirahat di sini Buya, kasihan Ibu," kata salah seorang dari mereka.

Istri Buya tersenyum kecil mendengar kata lelaki itu. la tidak ingin menampakkan kegelisahannya. Setidaknya dari tadi suaminya tidak pernah merasa cemas. Hal itu membuat dia yakin, kalau semua akan baik-baik saja, Pagi, setelah salat subuh mereka melanjutkan perjalanan. Tidak banyak percakapan dalam perjalanan itu. Orang-orang itu mengatakan Buya akan dibawa ke suatu tempat yang aman karena di kampung sudah tidak aman lagi. Antek-antek komunis sangat berbahaya. Di tengah keadaan yang bergejolak, tidak tahu siapa yang lawan dan siapa yang kawan.

"Buya, kita sudah sampai."

Buya hanya tersenyum. Dia dibawa ke daerah Talang Babungo. Dia sangat hafal daerah itu. Ia tidak terkejut lagi. Tetapi ketika beberapa rombongan lain berdatangan, ia sangat terkejut.

"Haji Syaiful..." sahut Buya.

"Buya..." mereka berpelukan.

Haji Syaiful sahabat buya dari Talang Babungo. Ia tak menyangka akan bertemu di tempat itu. Dari Haji Syaiful jugalah Buya malin tahu bahwa banyak ulama di seluruh Sumatra Barat sengaja ditempatkan di beberapa tempat rahasia. Tujuannya untuk menyelamatkan mereka dari kejaran antek komunis yang menempel dalam.

Siangnya mereka melanjutkan perjalanan. Beberapa menggunakan kuda. Rombongan sekitar 20 orang terdiri dari lima orang ulama, istri-istri ulama, sisanya pengawal, juga ada anak-anak kecil. Rombongan itu berjalan lambat, menyisiri tepi bukit, hingga menyeberang beberapa sungai.

Buya sudah tahu tujuan mereka ke tempat ini.

"Dalam perjalanan mereka pun menyusul rombongan lain. Buya terkejut, ternyata itu rombongan ulama dari kampung lain.

"Ternyata mereka ada juga di sini."

Hati bertambah besar. Setidaknya ia bisa berkumpul dengan teman-teman lamanya itu.

"Buya Malin Mandaro. Assalamualaikum, apa kabarnya?"

Suara yang menyapa itu temyata Buya Syamsarul dari Surian. Buya Syamsarul seorang yang juga sangat berpengaruh, terkenal dengan puasa Nabi Daud yang selalu diamalkannya.

Mereka pun hanyut dalam pembicaraan sehingga perjalanan yang jauh tidak terasa. Menempuh perjalanan yang panjang, akhirnya mereka sampai juga ditempat tujuan. Di sebuah daerah pedalaman, yang ternyata sudah disiapkan untuk persembunyian mereka.


***