Rimba-Rimba/Bab 27

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
52596Rimba-Rimba — Bab 27Joni Syahputra

PERLAWANAN DI AKHIR PERJALANAN

Perang telah tama usah. Lelaki tua itu merasa kian lelah. Umur yang sudah lebih 70 tahun membuat ia tidak tahan terpaan udara malam. Namun, di sampingnya, cucu-cucu tercintanya masih setia menunggu kelanjutan cerita itu.

“Sudah tamat,” katanya tiba-tiba.

Mata-mata kecil dan lucu itu tiba-tiba menyiratkan kekecewaan.

“Belum. Ulang lagi,” ujar mereka serempak.

“Sambung lagi.”

Cucu-cucunya lerus mendesak agar cerita itu dilanjutkan. Namun dia sudah kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal. “Sudah habis.”

“Belum.”

“Ayo lanjutkan.” Cucu-cucunya terus mendesak untuk sekadar mendengar cerita-cerita heroiknya di masa lalu.

“Ulang lagi.”

Ia terpaksa mengulang dari awal sampai akhir. Dan entah untuk keberapa kati diulangnya cerita itu sampai anak-anak kecil itu tertidur.

Walau setiap hari cerita itu diulang, namun tetap menarik bagi cucu-cucunya itu. Mereka menyimak dengan seksama dan tatapan mata yang utuh. Cerita yang menjadi ritual pengantar tidur.

Bagi mereka kisah-kisah perjuangan kakeknya itu sama seperti cerita kancil dan mentimun. Cerita itu akan dibingkai emas dan digantung di ruang tengah.

“Wahai teman-teman, wahai orang kampung, inilah kakekku, Johan Si Pejuang.”

Kakek itu tidak melarang mereka merangkai cerita itu dalam bingkai emas, dia mengerti, setidaknya hanya itu yang bisa diberikannya untuk generasi mendatang. Setidaknya cucu-cucunya itu akan bangga tentang masa lalu keluarganya.

Biarkan mereka memiliki kebanggaan dalam diri mereka sendiri. Ia selatu rajin menceritakan kisah-kisah itu, Ia ingin cerita itu hidup agar generasi mendatang tidak kehilangan cerita.

fa ingin menceritakan kisah itu agar generasinya tidak lupa dengan asal usul. Ia ingin menceritakan semua kisah itu agar cucu-cucunya itu punya sesuatu untuk dibanggakan. Kini lelaki tua itu sudah tiada. Seminggu lalu ia wafat, Namun cerita dalam bingkai emas itu bisa dibaca semua orang. Semua kisah itu dihafal orang. Akan tetapi tidak seorangpun yang tahu, tentang Suatu kisah yang tidak akan pernah diceritakannya. Kisah yang sengaja ia sembunyikan. Kisah itu akan tetap terkubur bersama tubuhnya yang sebentar lagi akan menyatu lagi dengan tanah. Cerita itu akan hilang ditelan masa. Satu kisah yang tidak pernah diketahui cucu-cucunya. Ia tidak mau generasi mendatang itu jadi luka. Ia tidak mau cucu-cucunya tersiksa perasaan. Dia tidak ingin kebanggan akan menjadi kekecewaan jika itu diceritakannya. Bahkan ketika dia masih hidup sekalipun, dia sangat takut akan satu pertanyaan cucu-cucunya, “Apa bukti semua itu?”

Untung saja tidak seorang pun yang ingat untuk menanyakan hal itu. Ia bersyukur tidak ada yang menanyakan hal itu,

“Mana monumennya?”

“Mana tanda-tandanya. Bukankah sebuah perjuangan mesti dibuktikan degan monumen?”

Cucu-cucunya lupa menanyakan hal itu.

Di Bukit Batabuah, masih di Jorong Koto, di sanalah masyarakat yang jadi korban perang saudara itu dimakamkan. Puluhan orang dikubur di tempat itu. Mereka adalah korban perang. Korban pemberontakan. Di bukit itu juga empat orang temannya dikuburkan.

Kini, bukit itu sudah dilanyau eskavator. Dilanyau mesin-mesin bergigi tajam untuk penambangan biji besi. Apakah yang akan mengingatkan generasi masa depan tentang sejarah yang pernah bertalu selain monumen atau kuburan. Lalu adakah monumen yang pernah mengingatkan kita tentang PRRI tentang pemberontakan berdarah yang pernah terjadi itu. Bukankah PRRI hanya diingat sebagai sejarah yang kusam dan meluluhlantakkan harga diri orang Minang. Orang Minang yang kalah perang.

Adakah yang bisa mengingatkan kita tentang PRRI selain selembar kurang tulisan di dalam buku sejarah murid-murid sekolah. Dimana di Sumatera Barat ini yang ada monumen PRRI? Dimana di Sumatra Barat ini ada makam pahlawan PRRI?

Lalu, apa yang bisa mengingatkan generasi mendatang tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu? Lalu dimana ribuan korban PRRI itu dimakamkan? Lelaki itu tidak bisa berbuat banyak. Pagi tadi Walijorong Kilun datang ke rumahnya.

“Pak...semua sudah setuju.”

“Pak...besok mesin bekerja.”

“Pak...tolong tandatangai.”

“Pak...

"Pakis"

“Pak...setuju atau tidak proyek ini harus terus berjalan.”

Lelaki itu ingin berteriak. Ia ingin bangkit. Namun tulang-tulangnya sudah rapuh.

Ia ingin mendatangi rumah salah seorang anggota DPRD yang berasa dari kampung itu. “Wahai Bapak Anggota Dewan, tolong kami. Wahai Bapak anggota dewan yang mulia dan terhormat, tolonglah.”

“Wahai Bapak anggota dewan, tahukah kamu di sana juga berkubur kakek dan ayahmu.”

“Maaf Pak, ini sudah ditandatangani Bupati.”

Lelaki itu terpana.

Tidak seorangpun yang bisa menolongnya. Apalah artinya seorang lelaki tua bekas PRRI, Lelaki yang kalah pernga dan tak berdaya. Ia tidak mau mengisahkan cerita itu sampai akhir hayatnya. Ia tidak ingin generasi mendatang terluka. Ia ingin anak cucunya tetap bangga.

*