Lompat ke isi

Rimba-Rimba/Bab 21

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Rimba-Rimba


MENGHADANG BASUKAN BENI

Kini perang terbuka sudah di depan mata antara pasukan Beni dengan sisa-sisa pasukan rimba yang dibantu anak-anak Harimau Campo. Pasukan Beni sakit hati karena bantuan Harimau Campo makanya Mangkuto mampu membongkar kedok inereka. Selain itu kasus senjata dalam truk yang sekarang sudah di tangan pasukan rimba juga menjadi alasan bagi Beni untuk menghancurkan Harimau Campo. Geram. Baru kali ini operasinya gagal total. Itupun ulah pemuda-pemuda ingusan.

Sementara anak-anak muda Harimau Campo juga menyimpan sakit hati mendalam terhadap Beni. Di lain pihak, Mangkuto dan anak buahnya harus menyelesaikan misi mereka. Pasukan Beni adalah pasukan yang terlatih dan sudah berpengalaman dalam berbagai medan pertempuran. Sebagian besar dari mereka bukan berasal


160

dari Sumbar, namun sudah fasih berbahasa Minang. Sebagai pasukan yang akan diterjunkan dalam penyusupan, menguasai bahasa daerah adalah sesuatu

yang sangat dibutuhkan bagi mereka.

Malah beberapa dari mereka juga sudah ikut dalam menyerang Belanda selama agresi Belanda II di Jogjakarta. Ikut beberapa kali menumpas gerakan- gerakan separatis.

Di lain pihak, pasukan Mangkuto dan puluhan pejuang lain mesti menyingkir ke arah bagian selatan. Setelah pasukan Beni keluar hutan, posisi mereka sudah tidak aman lagi. Hari kemarin tiga orang anak buah Mangkuto mati sia-sia.

“Kami segera menyingkir ke daerah selatan. Di daerah Sangir kondisi masih aman. Kami segera kesana.”

Hanya itu kata-kata Mangkuto kepada Johan sewaktu akan berangkat. Namun Mangkuto juga menyuruh salah seorang anak buahnya sebagai penunjuk jalan bagi Harimau Campo.

Anak-anak Harimau Campo betul-betul dalam posisi sulit karena ternyata Mangkuto tidak bisa membantu mereka. Di satu pihak mereka dikejar pasukan Beni, di pihak tain mereka juga akan menjadi sasaran pasukan pusat.

Setelah berpisah dengan pasukan Mangkuto, Johan dan anggotanya langsung menuju ke daerah Sungai Abu. Dari hutan Aic Dingin, kemudian pasukan kecil itu menuju rimba Galagah, mengambil jalan ke timur dan menembus hutan belantara yang perawan. Hanya itu jalan yang terdekat. Jika ingin jalan biasa melalui hutan Alahanpanjang dan kemudian ke Talang Babungo terus ke Sariak Bawah waktu yang ditempuh makin lama. Selain itu jalan juga sudah tidak aman lagi.

Maka, cara satu-satunya yaitu melalui rimba belantara siap berhadapan dengan binatang buas seperti harimau dan ular berbisa. Untung saja jalan yang mereka tempuh sudah pernah dilalui sehingga memudahkan mereka.

Baru sekitar lima jam perjalanan perut mereka sudah lapar. Johan mengatakan untuk berhenti dulu. Kemudian mereka duduk di sebuah batu besar. Teman-temannya yang lain merapat.

"Teman-teman apa yang mesti kita lakukan sekarang. Kita tidak punya senjata apa-apa untuk mempertahankan diri. Kalian lihat pasukan mereka begitu siap dengan senjata dan amunisi."

"Ya. Tapi apa kita punya pilihan?"

"Tidak."

"Kalau tidak ada apa yang mesti kita pikirkan lagi?”

"Ya. Bukankah ini jalan yang harus kita tempuh."

"Ya saya tahu," potong Johan.

"Lalu apa lagi?"

"Saya cuma merasa perjuangan kali ini akan sangat berat."

"Berat apanya?"

"Sangat berat dan kita hanya sendiri. Mangkuto mengatakan sekarang ini posisi PRRI sudah sangat terdesak. Bahkan mereka menyerahkan persoalan ini kepada kita. Saya mendengar puluhan pejuang ditangkap."

"Apa pun rintangannya mesti kita hadapi sekarang," ujar yang lain.

Rimba-Rimba

Mereka pun sepakat dengan hal itu. Apapun rintangan yang dihadapi nanti akan ditanggung bersama, Walau pun demikian mercka masih belum yakin apa yang mereka lakukan akan berhasil.

Malam itu mereka tidur di hutan belantara. Tidak seperti biasanya, saat ini hutan dalam keadaan lengang. Kalau hari sebelumnya dalam satu hari pasti mereka berpapasan dengan orang lain. Kalau tidak pejuang, ya penduduk yang mengungsi. Namun kali ini hutan itu kian lengang.

Malam itu Johan tidak bisa tidur. Ia harus mencari cara untuk mengalahkan pasukan Beni. Zakir yang melihat Johan belum tidur pun ikut duduk di sebelahnya,

“Bagaimana menurumu Kir? Apa kita punya peluang yang cukup untuk melindungi ulama-ulama itu. Bahkan tempatnya saja kita belum tahu. Sedangkan mereka? Mereka sudah paham dengan situasi daerah itu. Apakah kita tidak akan mati sia-sia?”

“Saya juga kurang yakin. Tapi apa kita punya pilihan lain?”

“Coba kamu panggil penunjuk jalan.”

Zakir pun bergegas menuju lelaki si penunjuk jalan itu. Lelaki itu masih berusia sekitar 35 tahun, namun wajahnya lebih tua dibanding usianya.

“Uda Mirus, coba Uda ceritakan bagaimana cara kita mencapai ke sana dan bagaimana kondisi di sana,” pinta Johan.

Lelaki itu pun menghisap sebatang rokok. Ia menghela nafas panjang. “Saya baru sekali ke sana, Itu pun tidak sampai ke tempat persembunyian.”

“Apa? Uda juga belum pernah sampai tempat persembunyian?” Mirus tidak menjawab. Johan terkejut, begtu pun Zakir. “Ini benar-benar tidak masuk akal. Kita akan kalah,” katanya.

Kemudian Mirus mengatakan untuk sampai ke Sungai Abu harus melewati Sariak Bawah terlebih dahulu, Tidak ada jalan lain. Kalaupun harus mengambil jalan lain pastilah memakan waktu icbih lama, sementara mereka harus berburu waktu.

Diterangi cahaya api unggun, kemudian Mirus menggambarkan lokasi-lokasi yang akan mereka lalui dan kemungkinan-kemungkinan tempat yang rawan.

Johan dan Zakir mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk tanda paham. “Kalau mereka menyergap kita di titik ini, kemana kita mesti berlindung,” tanyanya sambil menunjukkan satu titik.

“Di sana ada jembatan. Kita bisa berlindung atau lari masuk sungai dan hilang di hutan yang lebat.” Johan mengangguk.

“Dari posisi kita sekarang, berapa lama mencapai tempat itu?” tanya Zakir.

“Kalau kita bisa berangkat lebih pagi besok, sorenya sudah sampai.”

“Besok pagi-pagi tolong kerahkan teman-teman mencari akar-akar pohon untuk senjata,” kata Johan.

Zakir paham arah pembicaraan Johan. Ada jenis pohon tertentu di hutan itu yang mengandung racun. Jadi ujung kayu dibuat menjadi tajam dan dibubuhi racun. Mereka sudah biasa melakukannya dulu untuk menangkap kijang di rimba.

Sesudah salat Subuh mereka sudah berangkat. Benar saja. Masing-masing mereka membawa sebuah tongkat beracun. Hanya itu senjata mereka saat itu.

Rimba-Rimba

Ketika siang mereka harus masuk ke perkampungan penduduk.

“Hati-hati,” kata Mirus.

“Hati-hati,” kata Johan meneruskan.

Mereka pun berjalan pelan dan hati-hati sekali.

“Kita sampai di Sariak Bawah. Lihat, hanya itu jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh. Di atasnya bukit, di bawahnya jurang. Tidak ada jalan lain.”

“Ya, hati-hati saja.”

Jalanan waktu ilu lengang. Tidak ada orang lain. Tidak ada rintangan sama sekali. “Ini terlalu mudah. Saya mencium gelagat tidak baik. Mundur semua. Kita masuk dalam perangkap,” kata Johan.

Beberapa orang temannya pun mundur teratur. Seperti sudah direncanakan semula, mereka kemudian melompat ke dalam sungai itu. Mirus tahu betul kondisinya. Sungainya banyak rerumputan sehingga banyak tempat untuk bersembunyi. Kemudian mereka menyeberang dengan cepat dan bersembunyi di balik pohon yang besar.

Benar saja yang dirasakan Johan. Dari seberang terlihat sekitar ima orang berlari dengan kencang. Mereka tidak sadar kalau buruan mereka sudah hilang dan entah dimana.

Seorang menembakkan senjatanya tidak tentu arah. la begitu sakit hati karena petugas yang menjaga pos terlambat melapor. Dalam sekejap keadaan langsung berubah.

Begitu mudah memang. Lima orang itu langsung terkapar secara bersamaan karena hantaman tongkat runcing yang dibubuhi racun itu.

“Tidak meleset," kata Imron. “Kalau meleset dalam jarak 15 meter itu keterlaluan,” sahut Zakir lagi. Tak lama kemudian mereka ketuar dari persembunyian dan mengendap-endap keluar. Satu persatu senjata dilucuti dan mereka dikumpulkan dalam pondok itu.

“Cepat kita harus bergegas,” kata Johan.

Mereka pun bergegas meninggalkan tempat itu. Hampir sore baru mereka sampai di Sungai Abu.

“Sekarang bagaimana?” tanya Johan.

“Saya hanya tahu sampai di sini,” kata Mirus.

"Zakir usahakan sesuatu.”

“Baik.”

Kemudian Zakir duduk. Mulutnya komat-kamit. Ia ingin menembus ruang dan mencari pintu masuk dengan ilmu kebatinan yang dipunyanya.

“Ayo..” kata Zakir,

Mereka pun mengikuti Zakir.

“Ayo cepat,” kata Johan. Kemudian mereka bergegas mengitari timur perkampungan. Mereka mengikuti jalan terjal.

“Saya yakin dekat sini,” kata Zakir. Kemudian Johan mencoba kontak batin dengan Buya.

“Kau sudah sampai...”

“Sudah sampai...” hanya itu suara yang didengarnya.

Johan jadi bingung dimana mereka bersembunyi. Ia hanya memandang di sekelilingnya semak belukar yang tinggi. Namun tiba-tiba dia melihat semak-semak bergoyang. Mereka terkejut dan bersiap menghadang.

Sorang bermata sipit keluar dari balik semak-semak itu.

Rimba-Rimba

“Ayo cepat. Kalian pasti Harimau Campo. Saya disuruh Buya Main Mandaro menjemput kalian,” katanya.

Mereka tahu si mata sipit itu adalah orang Jepang. Tapi tidak ada waktu untuk menjelaskan lagi. Sebab dari pandangan mata batin Johan bahaya ada di belakangnya. Ada pasukan yang sedang mengejar mereka di belakang.

Merekapun masuk.

“Masya Allah.”

Mereka takjub.

Terkejut dengan semua pemandangan itu.

“Siapa yang membangun tempat ini? Jin atau malaikatkah?” kata Johan. Johan pun melihat scorang tua dalam keadaan bergegas.

“Buya...”

“Itu Buya Malin...”

“Buya Malin Mandario..”

Teman-teman yang lain pun mendekat. Mereka kemudian mengejar buya. “Kalian...”

“Kalian sampai...”

Mereka pun berangkulan.

“Kami tidak menyangka akan sampai buya...”

“Alhamdulliah..”

“Kalian sampai juga rupanya?”

Johan mengenal suara itu," ia segera membalikkan badannya.

“Pak Mangkuto...”

“Ya....."

“Apa ini. Katanya ke Sangir..”

“Tidak jadi, rencana berubah.”

Johan merasa dipermainkan. Ia ingin marah. Namun pertemuannya dengan Buya melupakan kemarahannya untuk sesaat. “Kita harus bergegas,” katanya.

“Kemana?” kata Johan,

Buya pun membisikkan sesuatu, Beberapa rombongan perempuan dan anak-anak sudah ada yang berangkat sejak tadi. Mereka pun cepat-cepat berlalu dari tempat itu. Si Jepang pun membawa mereka dengan cepat.

Mereka tidak keluar dari pintu semula. Namun dari pintu goa yang lain. Kemudian si mata sipil menggeser sesuatu batu dan ternyata di sana ada pintu keluar, Keluar dari mulut goa bagian belakang, mereka menerobos hijaunya hutan.

Rimba-Rimba