Propinsi Sumatera Utara/Bab 13

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

PERISTIWA-PERISTIWA DISEKITAR
RENVILLE SEPINTAS LALU

PERISTIWA DISEKITAR RENVILLE SEPINTAS LALU.


PADA tanggal 22 Djuli 1947 Pemerintah Amerika menjatakan penjesalannja karena di Indonesia terdjadi peperangan. Menteri Luar Negeri Inggeris, E. Bevin, bertemu dengan Duta Besar Amerika di Londen untuk membitjarakan kemungkinan tjampur tangan kedua negeri itu tentang peristiwa Indonesia.

Dalam pada itu, Pemerintah Belanda menjampaikan nota kepada Sekretaris Djenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Trygve Lie, memberikan pendjelasan tentang ,,aksi polisionilnja" di Indonesia.

P. M. Amir Sjarifuddin dalam pidato radio jang ditudjukan kepada Australia berseru kepada Dr. Evatt, Menteri Luar Negeri : „Saja meminta dengan sangat kepada dunia, dan kepada sahabat-sahabat kita di Australia, hendaknja memperkuat bantuannja untuk menghentikan pertumpahan darah selandjutnja dan memandang perdjuangan kita dengan katja mata keadilan, kemerdekaan dan kemanusiaan”.

Pada tanggal 24 Djuli 1947, Presiden Sukarno berseru kepada Presiden Truman , supaja Amerika menggunakan pengaruhnja untuk menghentikan peperangan jang sedang berkobar di Indonesia.

Pada tanggal 30 Djuli 1947, Pemerintah Australia memberikan instruksi kepada wakilnja di Dewan Keamanan, Kolonel Hodgson, untuk memadjukan permintaan resmi supaja soal Indonesia dengan segera dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan.

India memadjukan permintaan kepada Dewan Keamanan agar badan ini mengambil tindakan tentang soal Indonesia, berdasarkan pasal 35 dan 39 dari Piagam P.B.B. , karena soal Indonesia adalah suatu soal jang mengantjam perdamaian dunia.

Siam berniat melarang pesawat-pesawat terbang Belanda mendarat di Siam.

Pada tanggal 31 Djuli 1947, soal Indonesia dimasukkan agenda Dewan Keamanan. Australia memadjukan usul, supaja P.B.B. berseru kepada kedua belah pihak untuk menghentikan permusuhan. Amerika memadjukan supaja Dewan Keamanan menawarkan djasa-djasa baiknja. Republik inginkan arbitrage dibawah pengawasan P.B.B.

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan dalam sidangnja memutuskan dan berseru kepada Indonesia dan Belanda untuk dengan segera menghentikan tembak-menembak.

Pada tanggal 4 Agustus 1947, bersamaan saat dengan pihak Belanda, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik pada djam 12 tengah malam memerintahkan penghentian tembak-menembak dan tetap tinggal ditempatnja masing-masing. Pada tanggal 6 Agustus 1947, Konsul Djenderal Amerika atas nama pemerintahnja menawarkan djasa-baiknja kepada Indonesia dalam usaha penjelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.

Pada tanggal 7 Agustus 1947, Australia djuga menawarkan djasabaiknja.

Pada tanggal 12 Agustus 1947, Dewan Keamanan memperbolehkan wakil Republik berbitjara pada sidangnja tgl. 14 berikutnja.

Pada tanggal 14 Agustus 1947, St. Sjahrir berbitjara dalam sidang Dewan Keamanan. Beliau sesudahnja mengupas politik pendjadjahan Belanda, lalu mendesak supaja Dewan membentuk sebuah badan arbitrage jang tidak berpihak.

Pada tanggal 22 Agustus 1947, Duta Besar Amerika di Den Haag, Baruch, meminta kepada Pemerintah Belanda, supaja djangan tergesagesa mengambil putusan untuk melandjutkan ,,aksi polisionil" di Indonesia.

Pada tanggal 27 Agustus 1947, teks resmi keputusan Dewan Keamanan, diterima oleh Pemerintah Republik jang berisi sebagai berikut:

  1. Supaja konsol- konsol jang berada di Djakarta membuat laporan tentang keadaan di Indonesia jang sesungguhnja;
  2. Pembentukan Komisi Tiga Negara (K.T.N. ), jang memberikan djasadjasa baik untuk membantu menjelesaikan pertikaian IndonesiaBelanda.

Pada tanggal 3 September 1947, Pemerintah Belanda memilih Belgia sebagai anggota K.T.N.

Pada tanggal 7 September 1947 , Pemerintah Republik memilih Australia sebagai anggota K.T.N.

Pada tanggal 19 September 1947 , Belgia dan Australia memilih Amerika sebagai negara ketiga untuk mendjadi anggota K.T.N.

Pada tanggal 28 September 1947 , Laporan sementara dari Komisi 6 konsol diterima oleh D.K.

Pada tanggal 29 Oktober 1947 , K.T.N. bersama stafnja untuk pertama kalinja tiba di Djokja . H. A. Salim sampai di Djakarta kembali, sesudah berbulan-bulan lamanja mengundjungi beberapa negeri sebagai Duta Keliling Republik. Pertemuan pertama antara Delegasi Republik (dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin) dengan K.T.N. di Djokjakarta.

Pada tanggal 8 Desember 1947, pembukaan resmi perundingan Indonesia-Belanda diatas kapal ,,Renville". Abdulkadir Widjojoatmodjo mengetuai delegasi Belanda.

Pada tanggal 11 Djanuari 1948, K.T.N. tiba di Djokja untuk bertukar pikiran dengan Republik , antara lain tentang soal penghentian permusuhan.

Pada tanggal 13 Djanuari 1948, perundingan di Kaliurang antara K.T.N. dan Pemerintah Republik Indonesia mentjiptakan ,,Notulen Kaliurang" jang menjatakan, bahwa Republik Indonesia tetap memegang kedudukannja sekarang. Berkatalah Graham waktu itu: ,,You are what you are !".   Pada tanggal 17 Djanuari 1948, bertempat di kapal U.S.A. „Renville" ditanda tanganilah persetudjuan gentjatan sendjata, jang kemudian disebut ,,persetudjuan Renville". Pemerintah Keradjaan Belanda diwakili penanda tanganannja oleh ketua delegasi Abdulkadir Widjojoatmodjo, dan untuk Pemerintah Republik Indonesia ditanda tangani oleh ketua delegasi Mr. Amir Sjarifuddin.

  Tanda tangan itu jang dibubuhkan oleh kedua belah pihak berlangsung dihadapan wakil-wakil Komisi Tiga Negara dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hubungannja terhadap masaalah Indonesia, djuga dihadapan sekretaris Komisi itu, jang sebagai saksi menempatkan djuga tanda tangannja masing-masing, jaitu ketua : Mr. Justice Richard C. Kirby ( Australia ), wakil-wakil Mr. Paul van Zeeland (Belgia ), Dr. Frank Graham ( Amerika Serikat ), sekretaris Mr. T. G. Narayanan.


DUABELAS POKOK DASAR POLITIK.

  Komisi Tiga Negara telah diberitahukan oleh kedua delegasi, bahwa sudah ditandatangani, perdjandjian penghentian permusuhan, maka Pemerintah mereka masing-masing menerima pokok-pokok jang merupakan dasar untuk perundingan politik buat selandjutnja sebagai berikut:

1. Bantuan dari Komisi Tiga Negara akan diteruskan untuk melaksanakan dan mengadakan perdjandjian untuk menjelesaikan pertikaian politik dipulau-pulau Djawa, Sumatera dan Madura, berdasar kepada prinsip naskah perdjandjian ,,Linggardjati".

2. Telah sewadjarnja, bahwa kedua pihak tidak berhak menghalanghalangi pergerakan-pergerakan rakjat untuk mengemukakan suaranja dengan leluasa dan merdeka, jang sesuai dengan perdjandjian Linggardjati. Djuga telah disetudjui, bahwa kedua pihak akan memberi djaminan tentang adanja kemerdekaan bersidang dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan suara dan pendapatannja dan kemerdekaan dalam penjiaran (publikasi), asal djaminan ini tidak dianggap meliputi djuga propaganda untuk mendjalankan kekerasan dan pembalasan (repressailles) .

3. Telah sewadjarnja, bahwa keputusan untuk mengadakan perobahan-perobahan dalam pemerintahan pamong-pradja didaerah-daerah hanja dapat dilakukan dengan persetudjuan sepenuhnja dan sukarela dari penduduk didaerah-daerah itu pada suatu saat, setelah dapat didjamin keamanan dan ketenteraman dan tidak adanja lagi paksaan kepada rakjat.

4. Bahwa dalam mengadakan suatu perdjandjian politik dilakukan pula persiapan-persiapan untuk lambat-laun mengurangkan djumlah kekuatan tenteranja masing-masing.

5. Bahwa, setelah dilakukan penanda-tanganan perdjandjian penghentian permusuhan dan sebaik dapat dilaksanakan perdjandjian itu, maka kegiatan dalam lapangan ekonomi, perdagangan, perhubungan dan pengangkutan akan diperbaiki dengan segera, dengan bekerdja bersama-sama dimana harus diperhatikan kepentingan-kepentingan semua bagian-bagian lain di Indonesia.

6. Bahwa akan diadakan plebisciet sesudah waktu jang tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun, setelah ditanda-tangani perdjandjian, dalam waktu mana dapat terdjadi tukar-menukar fikiran, dan pertimbangan tentang soal-soal jang penting setjara merdeka dan dengan tidak ada paksaan. Dalam waktu itu, dapat diadakan pemilihan umum setjara merdeka, agar rakjat Indonesia dapat menentukan kedudukannja sendiri dilapangan politik dalam hubungan dengan Negara Indonesia Serikat.

7. Bahwa suatu dewan jang akan menetapkan undang-undang dasar (constitutie) akan dipilih setjara demokrasi untuk menetapkan suatu undang-undang dasar buat Negara Indonesia Serikat.

8. Telah didapat persetudjuan, bahwa, setelah ditanda-tanganinja perdjandjian, sebagai jang dimaksud dalam pasal 1, djika salah satu dari kedua pihak meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengadakan satu badan buat melakukan pengawasan sampai saat diserahkannja kedaulatan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Negara Indonesia Serikat, maka pihak jang kedua akan menimbangnja dengan sungguh-sungguh. Dasar-dasar seperti dibawah ini diambil dari naskah perdjuangan ,,Linggardjati”.

9. Kemerdekaan bebas buat bangsa Indonesia seluruhnja.

10. Bekerdja bersama antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia.

11. Satu negara berdasarkan federasi jang berdaulat, dan dengan suatu undang-undang dasar jang timbulnja melalui djalan-djalan demokrasi.

12. Suatu Uni (persatuan) dari Negara Indonesia Serikat dengan Keradjaan Belanda dan bagian-bagiannja jang lain, dibawah Turunan Radja Belanda.

  Pada tanggal 23 Djanugri 1948, Presiden mengumumkan bubarnja Kabinet Amir Sjarifuddin.

  Drs. Mohd. Hatta ditundjuk sebagai formateur Kabinet.

  Pada tanggal 29 Djanuari 1948, Presidentieel Kabinet Hatta dibentuk (Kabinet VII). Program Kabinet :

  1. Menjelenggarakan persetudjuan Renville.

  2. Mempertjepat terbentuknja Negara Indonesia Serikat.

  3. Rasionalisasi.

  4. Pembangunan.

  Pada tanggal 1 Pebruari 1948, Delegasi Republik jang dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin bubar, dan dibentuk jang baru dipimpin oleh Mr. Mohd. Roem.

  Pada tanggal 6 Pebruari 1948, Panitia Hidjrah dibentuk, untuk memindahkan pradjurit-pradjurit T.N.I. dari ,,kantong-kantong”, sesuai dengan perdjandjian Renville. Pada tanggal 9 Pebruari 1948, berlangsunglah sidang jang penghabisan dikapal ,,Renville".

Pada tanggal 10 Pebruari 1948, K.T.N. buat pertama kalinja mengirimkan laporan sementara kepada Dewan Keamanan.

Pada tanggal 17 Pebruari 1948, laporan sementara K.T.N. jang pertama, mulai diperdebatkan di Dewan Keamanan.

Pada tanggal 22 Pebruari 1948, penghidjrahan T.N.I. dari ,,kantongkantong" sedjumlah 35.000 pradjurit, selesai dengan selamat.

Pada tanggal 27 Pebruari 1948, resolusi jang dimadjukan oleh Tiongkok, telah diterima oleh Dewan Keamanan. Dalam resolusi itu diminta kepada K.T.N. supaja memberikan laporan tentang keadaan politik di Djawa Barat dan Madura.

Pada tanggal 16 Maret 1948, perundingan politik antara delegasi Republik dan Belanda dilandjutkan dibawah pimpinan K.T.N.

Pada tanggal 10 April 1948, berlangsunglah pertemuan antara Hatta dengan van Mook di Djakarta . Pertemuan ini merupakan kelandjutan daripada pertemuan jang terlebih dahulu dari pada itu, jaitu pada tanggal 12 dan 13 Maret 1948.

Pada tanggal 12 April 1948, maka K.T.N. dengan kereta api tiba di Djokjakarta, untuk berunding di Kaliurang. Pada saat itu terdjadi demonstrasi terhadap Belanda. Kedjadian ini terkenal dengan nama ,,insiden stasiun Tugu". Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo, ketua delegasi Belanda, dipanggil pulang ke Djakarta. Baru pada tanggal 18 April Raden Abdulkadir kembali lagi ke Djokja.

Pada tanggal 30 April 1948, Wakil Republik di Lake Success, Palar dan Dr. Tjoa Sik Ien, dengan informil meminta kepada Dewan Keamanan Belanda kembali ditjantumkan dalam agenda supaja soal Indonesia — Hal ini diprotes oleh Jhr. van Vredenburgh di Dewan Keamanan pada 6 Mei 1948.

Pada tanggal 21 Mei 1948, para Menteri Belanda jaitu Lieftinck dan Götzen tiba di Djakarta. Menteri Belanda D. U. Stikker djuga akan mengundjungi Indonesia untuk mengikuti dari dekat perkembangan politik di Indonesia.

Pada tanggal 7 Djuni 1948, van Mook menjampaikan undangan kepada P. M. Mohd . Hatta untuk melakukan perundingan lagi jang diterima baik oleh Hatta pada esok harinja.

Pada tanggal 9 Djuni 1948, van Kleffens meminta kepada Dewan Keamanan djangan membitjarakan dulu soal pertikaian IndonesiaBelanda, karena perundingan masih sedang berdjalan.

Pada tanggal 10 Djuni 1948, usul kompromi dua orang anggota K.T.N. jang ditanda tangani oleh Court Dubois (Amerika ) dan Critchley (Australia) disampaikan kepada delegasi Indonesia dan Belanda. Dewan Keamanan membitjarakan laporan sementara K.T.N. dan djuga mengenai Djawa Barat dan Madura.

Pada tanggal 14 Djuni 1948, Van Kleffens mengundjungi Menteri Muda Luar Negeri Amerika, Lovett, mungkin membitjarakan soal pertikaian Indonesia.   Pada tanggal 16 Djuni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan van Mook.

  Pada tanggal 17 Djuni 1948 K.T.N. dalam sebuah pengumumannja menerangkan, bahwa usul itu diberikan, djika perundingan mengalami deadlock, dan hanja merupakan sebuah working-paper sadja. Laporan sementara jang ketiga dari K.T.N. sudah selesai, dimana antara lain diterangkan bahwa soal-soal pertengkaran jang mendjauhkan satu dengan jang lain, masih sama sadja dengan zamannja persetudjuan Linggardjati.

  Pada tanggal 18 Djuni 1948, Pemerintah Republik menerima usul Kompromis K.T.N. sebagai dasar perundingan.

  Pada tanggal 23 Djuni 1948, Dubois meletakkan djabatannja sebagai anggota K.T.N. (jang mewakili Amerika). Dewan Keamanan dalam sidangnja memberikan andjuran dan pedoman kepada K.T.N. antara lain sebagai berikut :

1. Perhubungan ekonomi antara Republik dan luar negeri harus bisa dilaksanakan selekas mungkin.

2. Negara Indonesia Serikat harus terbentuk setjara demokratis

3. Uni antara Indonesia dan Nederland dibentuk atas dasar dua negara jang sama deradjatnja.

  Pada tanggal 13 Djuli 1948, Amerika menundjuk Merle Cochran sebagai anggota K.T.N. untuk menggantikan Court Dubois.

  Pada tanggal 23 Djuli 1948, Statement Pemerintah Republik, berhubung dengan penolakan usul kompromis Critchley-Dubois oleh Belanda, maka praktis perundingan politik terhenti. Karena itu Panitia Politik daripada Delegasi tidak akan pergi ke Djakarta untuk melandjutkan perundingan.

  Pada tanggal 4 Agustus 1948, wakil Republik di Amerika, Sumitro, menerangkan bahwa Pemerintah Belanda setiap hari mengeluarkan uang sedjuta dollar untuk membelandjai tenteranja sedjumlah 120.000 orang jang ditempatkan di Indonesia. Uang itu diambilnja dari bagian fonds Eca (Marshall-plan). Matthew Fox diundang ke Nedertand oleh Pemerintah Belanda. Fox menerangkan dia bersedia menerima undangan itu, kalau ada perseludjuan dari pihak Republik.

  Pada tanggal 16 Agustus 1948, malam memperingati Republik telah tjukup berusia 3 tahun oleh para pemuda dan pandu-pandu digedung Pegangsaan Timur 56 Djakarta, maka terdjadilah bentrokan dengan polisi Belanda, sehingga polisi itu melepaskan beberapa tembakan. Diantara korban-korban jang meninggal dunia ialah pemuda Suprapto Dwidjosewojo. Gedung Pegangsaan Timur 56 lalu diduduki oleh Belanda dan dokumen-dokumen jang ada dibeslah. Kedjadian ini menimbulkan akibat politik, karena pihak Republik merasa terlanggar immuniteit diplomatiknja.

  Pada tanggal 17 Agustus 1948, Republik Indonesia genap berusia 3 tahun. Presiden Sukarno dalam pidato peringatan itu menjatakan bahwa tanggal 1 Djanuari 1949 adalah tanggal penghabisan untuk membentuk Negara Indonesia Serikat. Pada Hari Kemerdekaan itu Pemerintah membebaskan 145 orang tawanan, diantaranja mereka jang tersangkut dalam ,,peristiwa 3 Djuli" (1946).

Pada tanggal 18 Agustus 1948, L.N. Palar menjampaikan laporan kepada Dewan Keamanan tentang apa jang sudah dikerdjakan oleh Republik dalam tempo tiga tahun ini.

Pada tanggal 20 Agustus 1948, berhubung dengan insiden Pegangsaan Timur, Pemerintah Republik menjatakan tidak akan melandjutkan perundingannja dengan Belanda sebelum Belanda memberikan djaminan akan menghormati immuniteit diplomatik dari Republik. Sikap ini oleh B.P.K.N.P. hari itu disokong dengan tambahan : djangan berunding lagi, sebelum immuniteit itu dihormati dan sebelum gentjatan sendjata dilaksanakan, demikian djuga dalam djaminan hak-hak demokrasi.

Pada tanggal 24 Agustus 1948, P. Herremans menggantikan Paul van Zeeland sebagai wakil Belgia dalam K.T.N. Rumah Sakit Perguruan Tinggi Djakarta diduduki oleh Belanda dengan kekuatan sendjata.

Semua pegawainja, dokter dan djururawatnja meninggalkan rumah sakit tersebut sebagai tanda taat kepada Republik.

Pada tanggal 26 Agustus 1948, oleh Belanda, pegawai2 Republik akan dikeluarkan dari daerah pendudukannja.

Pada tanggal 30 Agustus 1948, Republik tidak mengakui adanja Pemerintah Federal Sementara a la van Mook. Karena itu Pemerintah Republik menerangkan „ Pemerintah" tersebut tidak berhak sama sekali mengusir pegawai- pegawai Republik dari Djakarta. Diminta perhatiannja K.T.N.

Pada tanggal 2 September 1948, wakil Presiden P.M. Hatta dimuka sidang B.P.K.N.P. menerangkan bahwa kabinet Hatta jang sedianja hanja akan dilakukan untuk sementara waktu hingga memungkinkan partai-partai mendapat ketjotjokan untuk membentuk kabinet, sekarang ternjata masih perlu dilandjutkan, hingga selesainja pemilihan jang akan datang. Tentang keadaan politik dikatakannja, bahwa kedudukan politik diluar negeri jang kuat, diperlemah karena keadaan konflik politik didalam negeri. Beleid politik luar negeri dikatakannja, bahwa Republik ingin mendjadi subject, tidak untuk mendjadi object dari pertarungan politik luar negeri dari negara-negara besar.

Pada tanggal 16 September 1948, dalam djawabannja atas pemandangan umum di B.P.K.N.P., P.M. Hatta berkata melandjutkan perundingan dengan Belanda untuk memperdjuangkan apa jang telah ditentukan dalam persetudjuan Renville itu.

Pada tanggal 20 September 1948, B.P.K.N.P. menjetudjui rentjana Undang-undang jang memberi kekuasaan penuh kepada Presiden untuk mengambil tindakan-tindakan guna menjelamatkan Negara. Kekuasaan penuh itu berlaku untuk tiga bulan lamanja, terhitung mulai tanggal 15 September. Pemerintah Belanda mengumumkan bahwa sekarang dengan resmi nama „Hindia Belanda" diganti mendjadi ,,Indonesia".

Pada tanggal 21 September 1948, menteri Belanda D.U. Stikker menjarankan, bahwa djika diminta, maka Belanda bersedia katanja memberikan bantuannja untuk membereskan peristiwa Madiun. Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam suatu interview menerangkan peristiwa Madiun adalah soal dalam negeri, jang akan diselesaikan sendiri oleh Pemerintah Republik.

Dalam pada itu, van Mook jang berada di Nederland dengan terburuburu pulang ke Djakarta karena soal Madiun.

Pada tanggal 15 Oktober 1948, Cochran, Sjahrir dan Darmasetiawan tiba di Djokja. Merle Cochran menjampaikan usul-usulnja kepada Mohammad Hatta, jang sudah dibubuhi amandemen-amandemen dari Belanda.

Pada tanggal 19 Oktober 1948, berlangsunglah Sidang Kabinet Istimewa untuk merundingkan usul jang dibawa oleh Merle Cochran.

Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat menerima dengan suara bulat mosi Mangunsarkoro, supaja Pemerintah melepaskan sikap „ikat diri" dalam memperluas hubungannja dengan luar negeri. Sikap ini diambil oleh Pemerintah sebagai pernjataan goodwillnja terhadap Belanda.

Pada tanggal 20 Oktober 1948, Tentera Belanda mengumumkan bahwa kesatuan² Republik melalui garis demarkasi menudju ke Djawa Barat.

Pada tanggal 21 Oktober 1948, Delegasi Belanda memadjukan protesnja kepada K.T.N. karena ,,infiltrasi" jang dilakukan Republik didaerah pendudukannja.

Pada tanggal 22 Oktober 1948, Kabinet Republik menerima baik usul Cochran sebagai dasar untuk melandjutkan perundingan dengan Belanda.

Pada tanggal 31 Oktober 1948, Menteri Stikker, tiba di Djakarta, untuk menudju ke sungkan perundingan dengan Mohammad Hatta. Mahkota Belanda jang pertama, berangkat ke Gubernur Djenderal dihapuskan.

Pada tanggal 1 Nopember 1948, Dr. van Mook diperhentikan dengan hormat atas permintaannja sendiri demikian halnja dengan Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo.

Pada tanggal 2 Nopember 1948, Komunike Kementerian Penerangan Republik Indonesia menolak tuduhan-tuduhan Belanda, jang menjatakan bahwa Republik melanggar gentjatan sendjata. Tuduhan-tuduhan ini adalah serupa dengan tuduhan jang dahulu sebelum Belanda melakukan agressi jang pertama, pada 21 Djuli 1947.

Pada tanggal 3 Nopember 1948 , berlangsunglah timbang terima kekuasaan antara Dr. van Mook dan Dr. Beel. K.T.N. mengeluarkan Komunike-nja jang menjatakan : Kesatuan-kesatuan bersendjata dari kedua belah pihak melalui daerah demarkasi.

Pada tanggal 4 Nopember 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta menjatakan: Suasana buruk sekali dan mengingatkan kepada keadaan sebelum 20 Djuli 1947.

Dalam pada itu Menteri Belanda Stikker bertolak ke Djokjakarta untuk melakukan perundingan di Kaliurang dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan H. Agus Salim.   Pada tanggal 18 Nopember 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta berangkat ke Bukittinggi, untuk terus bertolak ke Sibolga untuk menjelesaikan keadaan ketenteraan di Tapanuli.

  Pada tanggal 28 Nopember 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta melakukan perundingan di Kaliurang dengan Menteri Belanda Sassen.

  Pada tanggal 3 Desember 1948, perutusan Menteri-menteri Belanda kembali ke Nederland.

  Pada tanggal 6 Desember 1948, Presiden Sukarno menerima baik undangan Perdana Menteri Nehru untuk berkundjung ke India.

  Pada tanggal 7 Desember 1948, anggota K.T.N. Chritchley mengundjungi Wakil Presiden Mohammad Hatta di Djokja, sedang Konsul Djenderal India mengundjungi Presiden Sukarno.

  Pada tanggal 11 Desember 1948, Delegasi Belanda menjampaikan nota kepada K.T.N.: Belanda memandang tidak mungkin bisa diadakan persetudjuan dengan Republik. Mereka akan membentuk sendiri Pemerintah interim.

  Pada tanggal 15 Desember 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengirim surat kepada K.T.N. dimana beliau persoonlijk menjatakan : setudju untuk mulai perundingan lagi dengan Belanda, dengan dasar mengakui souvereinteit Belanda atas Indonesia selama masa peralihan.

  Pada tanggal 16 Desember 1948, Pemerintah Belanda menjatakan: Hanja keterangan jang mengikat dalam waktu jang tjepat dari Republik sadjalah jang memungkinkan diadakannja kembali perundingan.

  L. N. Palar mendesak kepada Dewan Keamanan untuk menempatkan lagi soal perselisihan Indonesia-Belanda dalam agenda.

  Pada tanggal 18 Desember 1948, djam 11.30 malam Dr. Beel menjatakan tidak terikat lagi dengan perdjandjian Renville. Agressi Belanda terhadap Republik dimulai.

x-small

Untuk mengadakan pembitjaraan gentjatan sendjata sesudah agressi pertama, tiga orang opsir Komisi Tiga Negara mengundjungi Gubernur Militer Atjeh, Langkat dan Tanah Karo di Kutaradja (10-3-48). Sesudah mengadakan pembitjaraan mereka bergambar bersama-sama. Ditengah-tengah pakai tongkat, Gubernur Militer Tgk. Mohd. Daoed Beureueh.

Untuk menghormati kedatangan rombongan Komisi Tiga Negara di Kutaradja jang diantaranja termasuk djuga Wakil dari Negara Tiongkok, perkumpulan

bangsa Tionghoa Daerah Atjeh Chung Hoa Chung Hui telah mengadakan pula satu resepsi bertempat digedung Sekolah Tionghoa di Peunajong Kutaradja. Diantaranja hadir djuga beberapa Pembesar pemerintah Daerah Atjeh.

x-small

Untuk mengadakan hubungan jang dekat dengan penduduk bangsa India didaerah Atjeh, Konsul India jang berkedudukan di Medan mengadakan pula perkundjungan ke Kutaradja, ibu kota propinsi Atjeh. Dilapangan terbang Lho 'Nga. Konsul India itu disambut oleh pembersar-pembesar daerah dan wakil-wakil dari masjarakat India