Lompat ke isi

Pola-Pola Kebudajaan/Bab 7

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

VII
SIFAT-TABIAT MASJARAKAT


Ketika kebudajaan, Zuni, Dobu dan Kwakiutl tidaklah se-mata² merupakan kumpulan² perbuatan² dan kepertjajaan² jang berbédadjenis, heterogin. Masing² kebudajaan² itu mempunjai tudjuan² tertentu jang hendak ditjapai, dan jang hendak dilantjarkannja dengan lembaga²nja Kebudajaan itu saling berbéda, tidak sadja karena dalam kebudajaan jang satunja terdapat suatu tjiri jang tak ada didalam kebudajaan jang lainnja, akan tetapi djuga karena satu tjiri jang sama didua daérah jang berlainan, bentuknja berlainan pula. Akan tetapi terutama sekali perbedaan itu disebabkan karena kebudajaan itu masing² sebagai keseluruhan oriéntasinja menudju kearah jang ber-lain²an. Masing² melalui djalan lain untuk mentjapai tudjuan jang lain pula dan tjara² maupun tudjuan² dalam masjarakat jang satu tak bisa dinilai dengan ukuran² masjarakat jang lain, karena memang mereka itu tak bisa di perbandingkan.


Sudah barang tentu tidak semua kebudajaan menjusun be-ribu² bagian dari kelakuan² masjarakat dalam suatu keseluruhan jang seimbang dan berirama. Seperti haknja dengan individu² jang tertentu. struktur² masjarakat jang tertentu pun telah meletakkan aktivitėt²nja dibawah suatu motif jang menguasainja. Sedangkan pada suatu saat se-olah² meréka itu hendak mentjapai tudjuan² jang tertentu, kemudian meréka se-konjong² membélok kearah lain jang tak di-duga², jang nampaknja sama sekali bertentangan dengan apa jang telah terdjadi semula dan dengan demikian tak mampu untuk menentangkan aktivitét jang akan dilaksanakan.


Ketiadaan kesatuan dan integrasi ini rupa²nja adalah tjiri dari masjarakat jang satu, sedangkan kesatuan dan integrasi jang ketat adalah tjiri masjarakat jang lain. Tidak semuanja disebabkan oléh keadaan jang sama. Suku² seperti umpamanja penduduk pedalaman Kolumbia Inggeris telah mengambil tjiri² dari semua peradaban², jang menjekitarinja. Sikapnja terhadap kekajaan diambilnja dari daérah-kebudajaan jang tertentu, beberapa bagian dari adatistiadat keagamaannja dari daerah lain, sedangkan bagian² jang bertentangan lainnja dari kebudajaannja berasalkan dari daérah jang ketiga. Mythologinja merupakan suatu pertjampuradukkan tjerita² jang tak disesuaikan satu sama lain tentang pahlawan²-kebudajaan dari tiga mythologi jang ber-lain²an, jang bisa didapati di-daérah² sekitarnja. Berlawanan dengan kesediaan meréka jang luar biasa untuk menerima tradisi² asing, kebudajaan mereka sendiri memberi kesan jang miskin sekali. Tiada dari unsur² ini jang terangkat sehingga memberi bentuk kepada kebudajaan. Organisasi sosial meréka pengolahannja sangat kasar, upatjara²nja boléh dikatakan paling miskin dibandingkan dengan upatjara² dimanapun didunia ini, dan buah kerdjatangan (kerandjang, merdjan) hanja memberi sedikit kesempatan bagi kesenian plastik. Seperti halnja dengan perseorangan² jang ber-kali² mengalami pengaruh² setjara umum, maka djuga pada suku ini pola² kelakuan-sukunja tidak terkoordinasi dan bersifat kebetulan.


Pada suku² di Kolumbia Inggeris ini rupa²nja integrasi tidak hanja sebagai tanda adanja tjiri² jang ber-sama² diambil dari bangsa² lain disekitarnja. Kita harus mentjarinja lebih dalam lagi. Setiap segi kehidupan mempunjai organisasinja sendiri, akan tetapi organisasi ini tak mempengaruhi organisasi segi lain. Selama masa pubertét banjak sekali perhatian ditudjukan kepada pendidikan anak² untuk berbagai pekerdjaan dan untuk mendapatkan ruh² pelindung. Dipadangrumput barat hasrat untuk mendapatkan visiun menguasai seluruh kompléks kehihidupan orang dewasa dan pekerdjaan seorang pemburu dan peradjurit djuga dikuasai oléh kepertjajaan² sematjam itu. Di Kolumbia Inggeris dalam pada itu, menimbulkan visiun adalah suatu aktivitét jang terorganisasi tersendiri, dan peperangan adalah lain lagi jang terlepas daripada itu. Demikian pula pésta dan tari²an di Kolumbia Inggeris merupakan kedjadian² jang sifatnja se-mata² kemasjarakatan. Semuanja ini adalah kedjadian dalam pésta², dimana beberapa penjelenggara meniru tingkah laku binatang untuk menjenangkan para penonton Tetapi adalah larangan keras untuk meniru tingkah laku binatang² jang dianggap mungkin mendjadi tjalon² ruh-pelindung. Pésta² ini tak bersifat keagamaan dan tak pula didjadikan kesempatan bagi pertukaran ékonomi. Se-olah² tiap aktivitét itu terpisah satu sama lain. Aktivitét² itu masing² merupakan suatu keseluruhan tersendiri, di-mana² motif² dan tudjuan²nja terbatas pada daérahnja sendiri dan tak mengenai seluruh kehidupan rakjat. Djuga tiada tampak suatu reéaksi kewadjiban² untuk menguasai keseluruhan kebudajaan.


Tidaklah selalu mungkin untuk membédakan tiadanja integrasi kebudajaan sematjam itu dari tiadanja integrasi jang disebabkan oléh karena pengaruh² jang bertentangan dari luar. Gedjala jang tersebut terachir ini banjak terdapat di-daérah² perbatasan daérah² jang setjara kebudajaan mempunjai batas² jang tadjam. Daérah² perbatasan itu didjauhkan hubungannja dengan suku² jang paling chas representatif dalam kebudajaan daérah² itu dan dibuka kepada pengaruh dari luar. Oleh karena itu pula bisa sering terdjadi, bahwa meréka itu menerima unsur² jang sangat bertentangan dalam organisasi masjarakatnja atau dalam téknik seninja. Kadang² unsur² asing ini dibentuk kembali dalam suatu kesuluruhan jang selaras, sehingga achirnja terdjadi suatu keseluruhan, jang setjara hakiki berbéda dari tiap² kebudajaan jang sudah lama adanja, dengan mana mereka itu mempunjai banjak persamaan tjiri². Boléh djadi bahwa kita, djikalau kita mengetahui sedjarah kebudajaan ini, akan melihat bahwa setelah berselang waktu lama, dari pengambilan unsur² jang asalnja bertentangan timbul suatu keseluruhan jang selaras memang dalam banjak hal demikian itulah jang terdjadi. Akan tetapi dalam potong-silang (crossection) kebudajaan² primitif dewasa ini — satu²nja tjara jang bisa memberi kesimpulan² jang sungguh² bisa kita mengerti — maka ternjata bahwa banjak daérah²-perbatasan mengandung tjiri² kedjanggalan jang njata sekali.


Pada kebudajaan² jang tertentu ada keadaan² sedjarah jang bertanggungdjawab atas peristiwa² tiadanja integrasi. Tidak sadja suku² perbatasan bisa mempunjai kebudajaan jang tak terkoordinasi, akan tetapi hal ini bisa terdjadi, apabila suatu suku memisahkan diri dari suku-kerabatnja, dan menetap didaérah dimana terdapat bentuk kebudajaan jang lain. Dalam hal² jang demikian itu, sengkéta jang paling menondjol ialah sengkéta jang timbul antara pengaruh² baru jang masuk dalam kebudajaan suku itu dan istiadat² serta lembaga² aselinja Jang demikian itu terdjadi pula kepada suatu bangsa jang tetap tinggal didaérahnja bilamana ada suku jang lain datang menetap disitu dan oleh karena presitisénja jang lebih tinggi atau djumlah anggotanja jang lebih besar berhasil mengadakan perobahan² jang penting.


Suatu penjelidikan jang mendalam dan tjerdas tentang suatu kebudajaan, jang sama sekali hilang oriéntasinja, akan sangat menarikhati. Adalah mungkin sekali, akan ternjata bahwa watak atau sifat sengkéta jang tertentu dan kesediaan menerima pengaruh² baru lebih besar artinja daripada menamakan setjara umum dengan „tiadanja integrasi." Akan tetapi kitapun tak bisa menduga, tjiri² umum apakah jang ada itu. Mungkin dalam kebudajaan² jang sudah djauh kehilangan pegangannja kita memperhatikan tindakan² akomodasi jang bertudjuan untuk menolak unsur² jang mengganggu dan dalam pada itu melindungi apa jang telah diterima. Apabila prosés ini dipeladjari berdasarkan fakta² jang sangat berlainan, maka proses itu akan lebih djelas lagi.


Jang tergolong tjontoh² jang baik dari bentrokan unsur² jang bertentangan ialah peristiwa dalam sedjarah suku², jang berhasil untuk menjatupadukan unsur² jang tak sama mendjadi keseluruhan jang selaras. Demikianlah orang² Kwakiutl tak selalu mempunjai kebudajaan jang dikoordinasi setjara erat seperti sekarang ini. Sebelum meréka itu menetap dipulau Vancouver, mereka mempunjai kebudajaan, jang pada umumnja sama dengan mythos² dan adat-istiadat suku Salis. Akan tetapi suku Salis adalah individualistis. Mereka boléh dikata tak mengakui adanja warisan hak² istimewa. Boléh dibilang bahwa tiap² orang disana, sesuai dengan ketjakepannja, mempunjai kesempatan² jang sama. Kebesarannja tergantung daripada ketjakapannja sebagai pemburu, kemudjurannja dalam perdjudian atau suksésnja dalam menggunakan bakat² adikodratinja sebagai djuruobat atau peramal. Sukar untuk mentjari kontras jang lebih njata pada perhubungan² kemasjarakatan di Pesisir Barat-Laut.

Akan tetapi kontras jang paling besarpun ternjata tak menghalang²i orang² Kwakiutl untuk mengambil oper sistim Barat-Laut ini. Orang² Kwakiutl bahkan ikut menganggap nama, mythos, tiang² rumah ruh pelindung dan hak untuk diwedjang dalam sjarikat² jang tertentu sebagai milik perseorangan. Tetapi penjesuaian diri jang perlu untuk ini dalam pada itu masih ternjata dari beberapa lembaga² nja dan chususnja dilapangan, dimana kontras antara kedua bentuk organisasi ke- masjarakatan adalah jang paling tadjam: Jakni dalam mekanisme organisasi kemasjarakatan, Sebab meskipun orang Kwakiuti mengambil oper seluruh sistim hak² dan potlatch²" dari Pesisir Barat-Laut, mereka tidak mengambil alih bentuk-clan jang erat menurut garis- keturunan pihak ibu dari suku² Utara. Dan djusteru bentuk-clan ini menimbulkan rangka erat dan kaku, dalam mana hak² diwariskan. Pada suku² Utara dengan sendirinja individu disaturwudjudkan dengan gelar kebangsawanan, jang mendjadi hanja karena kelahirannja. Akan tetapi sebaliknja pada suku Kwakiutl kita melihat bahwa individu menuntut seluruh hidupnja dengan usaha untuk mendapatkan gelar² ini dan bahwa ia bisa menuntut gelar jang manapun djuga, jang telah dimiliki oleh tjabang keluarga jang manapun djuga. Djadi suku Kwakiutl mengopér seluruh sistem hak², akan tetapi mereka memberi keleluasan dalam suatu perdjuangan untuk merebut hak² itu, jang berlawanan dengan sistem-kasta pada suku² Utara, sedangkan merekapun mempertahankan adat istiadat lama daérah Selatan, jang dibawanja ke Pesisir.

Beberapa tjiri² kebudajaan jang tegas dari suku Kwakiutl adalah suatu pernjataan atau pendjelmaan dari sengketa chusus antara Sistem² lama dan sistem baru ini. Aturan tentang kewarisan mempunjai arti jang lebih penting lagi karena nilai² baru jang diberikan kepada nutik atau kekajaan. Suku-Salis dari pedalaman diorganisasi setjara lepas² dalam keluarga² dan désa² dan kebanjakan kekajaan mereka dihantjur kan djika pemiliknja meninggal dunia. Akan tetapi kitapun melihat, bahwa sistem-clan jang erat menurut garis keturunan pihak ibu pada suku² Utara tak dipéroléh suku² Kwakiutl. Meréka itu lebih menjukai

SIFAT-TABIAT MASJARAKAT

kompromi dan chususnja menegaskan hak menantu-laki2 untuk menuntut hak2 dari ajah isterinja. Dalam pada itupun orang menganggap sewadjarnja bahwa ia hanjalah menguasai hak2 ini bagi anak2nja. Dengan demikian hak kewarisan menurut garis-keturunan pihak ibu. djuga, akan tetapi boléh dibilang bahwa satu generasi jang dilangkahi Hak2 itu dari generasi kegenerasi tak dikuasai dengan langsung, akan tetapi hanja diawasi. Kitapun telah mengetahui, bahwa semua hak2 itu diserahkan menurut tatatjara potlatch jang tradisionil. Ini merupakan suatu bentuk jang anéh, dan dengan djelas sekali merupakan kompromi antara dua organisasi masjarakat jang tak bisa dipersatukan. Dalam bab jang lalu kita telah menerangkan betapa sempurnanja mereka memetjahkan masalah ini, jakni untuk saling menjesuaikan dua organisasi masjarakat jang saling bertentangan.

Oleh karena itu bisalah terdjadi bahwa meskipun adanja sengketa2 jang asasi, namun ada integrasi. Adalah mungkin sekali, bahwa dalam kenjataannja hanja sedikit sadja hal2 tiadanja orientasi kebudajaan, tak seperti jang nampak sekarang ini. Selalu ada kemungkinan, bahwa pelukisan suatu kebudajaantah jang kehilangan orientasinja dan bukan kebudajaan itu sendiri! Djuga boléh djadi, bahwa sifat integrasi sesungguhnja berada diluar pengalaman kita dan oleh karena itu sukar dikenalnja. Apabila kesukaran2 ini bisa diatasi, jang pertama dengan djalan penjelidikan jang lebih baik setempat dan jang kedua dengan mengadakan analisa jang lebih mendalam, maka mungkin sekali bahwa arti integrasi kebudajaan akan lebih djelas lagi daripada jang terdjadi sekarang ini. Akan tetapi masih penting djuga untuk mengakui, bahwa sudah tentu sekali tak semua kebudajaan merupakan kesatuan jang begitu erat seperti jang ternjata dari pelukisan2 kita tentang suku Zuni dan Kwakiutl. Adalah keliru besar seandainja kita mengembalikan tiap2 kebudajaan dalam suatu rumusan skématis jang tertentu. Misalnja sadja hal ini sedikitnja mengandung bahaja besar, bahwa dalam hal ini fakta2 jang penting tak tersinggung sama-sekali, jakni fakta2 jang tak mem- benarkan dalil jang diketengahkan itu. Tidak boléh kita memulai pekerdjaan jang merobah atau mengurangi pokok persoalannja dan dengan demikian menambah kesukaran2 kepada pengertian kita jang mungkin telah ada.

Rumusan2 umum jang lantjang mengenal integrasi kebudajaan sangatlah berbabaja dalam penjelidikan setempat. Apabila orang sedang memahami bahaja dan segala hal-ihwa! kelakuan2 dalam suatu kebudajaan asing, maka pengertian2 jang telah terbentuk sebelumnja itu mungkin sekali merupakan halangan untuk memahaminja dengan sebaik2nja. Penjelidik setempat harus bersikap se-objéktif2nja. la harus mentjatat kelakuan2 jang penting, dalam pada itu berusaha bahwa ia tak 198

POLA-POLA KEBUDAJAAN

pilih-kasih antara fakta2 berdasarkan salah sesuatu hypothise supaja dengan demikian fakta2 itu bisa sesuai dengan suatu tjara-pembuktian jang tertentu. Tiada bangsa2 jang telah kita lukiskan dalam buku ini di selidiki dengan suatu kejakinan jang terlebih dulu ada tentang bentuk tertentu dan kelakuan2, jang mendjadi tjiri kebudajaan itu. Ethnologi ditjatat seperti apa jang ada tanpa usaha untuk menegaskan dirinja sen- diri. Dengan begitu maka gambaran seluruhnja daripada si penjelidik mendjadi lebih mejakinkan lagi. Djuga dalam diskusi teorétis tentang kebudajaan2 rumusan2 setjara umum tentang integrasi kebudajaan mendjadi kosong dengan tertjapainja sifat dogmatis dan sifat jang lebih umum. Apa jang kita butuhkan adalah suatu pengetahuan jang terperkntji tentang batas2 jang berlawanan dari kelakuan2 dan tentang alasan2 jang dinamis dalam sesuatu masjarakat jang tertentu dan tak dinamis dalam masjarakat jang lain. Kita tak membutuhkan suatu pelukisan skéma, jang dibuat oleh adjaran2 sesuatu mazhab éthnologi. Sebaliknja maka tudjuan2 jang bertentangan jang diusahakan tertjapainja dalam berbagai masjarakat, berbagai maksud, jang mendjadi dasar lembaga2nja, adalah essénsiil untuk memahami berbagai bentuk organisasi masja- rakat dan psikologi perseorangan.

Hubungan integrasi kebudajaan kepada peradaban Barat dan oléh karena itu djuga pada téori2 sosiologi mudah disalah-mengerti.

Sering kali masjarakat kita dianggap sebagai suatu tjontoh jang djelas tentang hal tiadanja integrasi. Adalah sesuatu hal jang wadjar, bahwa ketjorakragaman dan perobahan2 "jang tepat, jang terdjadi dari generasi kegenerasi, menjebabkan tiadanja keselarasan, jang tak ter-jumpai pada masjarakat2 jang lebih sederhana. Tiadanja integrasi itu tjuma sadja terlalu di-lebih2kan dalam kebanjakan penjelidikan2 dan ditafsirkan setjara salah pula karena ada suatu kesalahan teknis jang sederhana jang dilakukan. Masjarakat2 primitif berintegrasi dalam ke- satuan2 keilmubumian. Sebaliknja peradaban Barat terdiri dari berbagai lapisan2, dan berbagai kelompok2 sosial itu hidup pada suatu saat dan tempat jang sama, menurut ukuran2 jang sangat ber-lain2an dan djuga digerakkan oleh motif2 jang berlainan pula.

Usaha untuk menggunakan pengertian daerah kebudajaan anthropologi dalam sosiologi modérén hanja dapat berhasil untuk sebagian ketjil sadja, karena dewasa ini berbagai tjara hidup itu tidaklah disebab- kan oléh karena hidup diberbagai bagian sadja. Ada suatu téndénsi diantara para ahli sosiologi untuk mem-buang2 waktu berdiskusi tentang ,,pengertian daérah-kebudajaan." Sesungguhnja ,,pengertian' sematjam itu tidak ada. Apabila kita melihat sedjumlah tjiri2 terpusat dalam suatu daérah keilmubumian jang tertentu, maka hal ini pun harus dihadapi setjara keilmubumian Apabila tjiiri2 ini tak terpusat demikian, maka

SIFAT-TABIAT MASJARAKAT

tak ada artinja untuk membuat suatu prinsip,kerena paling banjak kelompok itu merupakan kategori jang bersifat sementara sadja. Dalam beradaban kita, dilihat dari sudut antrhroplologi, ada suatu kebudajaan kosmopolotis jang seragam, jang bisa didjumpai ditiap bagian dunia ini, akan tetapi djuga ada perbedaan jang tiada taranja antara kelas pekerdja dengan golongan atas, antara golongan jang kehidupanja berputar sekitar gerédja dan golongan 2 lain jang perhatianja terpusat kepada lapangan balapan kuda. Adanja sedikit-banjaknja kemerdékaan memilih dalam manjarakat sekarang ini memungkinkan adanja golongan2 berdasarkan sukarela jang mempunjai dasar2 jang masing2 djauh berbéda satu sama lain, seperti misalnja Rotary Club dari Greenwich Village. Sifat2 prosés kebudajaan karena kaendahan2 modérén itupun tak dirobah, akan tetapi kesatuan dimana meréka bisa dipeladjari bukanlah lagi kelompok setempat.

Integrasi kebudajaan mempunjai konsekwénsi2 sosiologi dan sementara itu djuga menjinggung berbagai masalah2 sosiologi dan sosial-psikologi jang sering diperbintjangkan. Jang termasuk golongan pertama ialah masalah: Apakah masjarakat ini suatu organisme atau tidak? Kebanjakan ahli sosiologi2 sekarang ini dan djuga para ahli sosial-psikologi dengan pandjang-lébar mengatakan, bahwa masjarakat bukanlah sesuatu atau tak bisa merupakan sesuatu diluar dan diatas pribadi2 individu, jang merupakan bagian2 dari masjarakat itu. Dalam uriannja meréka dengan giat menjerang ,, kesalahan berpikir tentang kelompok" jang menurut pendapat meréka ialah hal pengangkatan pikiran2 dan perbuatan2 mendjadi fungsi2 dari suatu kesatuan mythos, jang dinamakan kelompok. Sebaliknja ada penyelidik2, jang telah menjelidiki berbagai bentuk kebudajaan, dimana bahan2 membuktikan dengan djelas, bahwa hukum2 psikologi indivial tak sanggup untuk menerangkan fakta2nja, dan kemudian menggunakan rumusan2 mystik. Seperti halnja dengan Durkheim meréka berseru : „Individu itu tak ada," atau seperti Kroeber meréka pertjaja akan adanja suatu kekuasaan, jang dinamakan kekuasaan superorganis, untuk menerangkan prosés kebudajaan.

Sesungguhnja pertentangan² itu hanjalah kata² sadja. Tidak ada diantara kaum „organikus" betul² pertatja akan suatu kesadaran diluar kesadaran daripada individu² dalam kebudajaan tertentu, sedangkan sebaliknja bahkan seorang pengetjam „kesalahan berpikir tentang kelompok" seperti Allport mengakui adanja keperluan untuk menjelidiki kelompok² secara ilmiah, jang menurut dia kelompok itu termasuk „wilajah ilmu chusus Jang dinamakan sosiologi" pertentangan² antara mereka, jang menganggap perlu untuk menjatuhkan bahwa kelompok² adalah daripada djumlah individu² jang mendjadi bagian²nja, dan

POLA-POLA KEBUDAJAAN

meréka jang menganggap bahwa jang demikian itu tak perlu, biasanja terdjadi antara penjelidik² jang mempunjai bahan² jang tidak sama. Durkheim, jang sedjak mulanja mengenal baik adanja ketjorakragaman bentuk² kebudajaan dan terutama sekali kebudajaan Australia, sering kembali mengakui — sering dengan kata² jang samar² — perlunja penjelidikan² kebudajaan. Sebaliknja, para ahli sosiologi jang hampir sama sekali_mengchususkan perhatiannja kepada kultur kita sendiri jang sudah distandardisasi, mentjoba merobohkan suatu tjara jang mémang tak diperlukan pada penjelidikan²nya.

Djelaslah bahwa djumlah semua individu²-Zuni telah menghasilkan suatu kebudajaan jang mengatasi apa jang dikehndaki dan ditjiptakan oléh individu² ini. Kelompok itu diisi oléh tradisi : ia mengikat waktu. Kita berhak sepenuhnya menanamkan kelompok ini sebagai suatu keseluruhan jang organis. Sebagai konsekwénsi animisme jang terkandung dalam bahasa kita, maka kita mengatakan tentang kelompok itu sebagai sesuatu jang hendak mentjapai tujuan² jang tertentu dan membuat pilihan jang tertentu pula : tetapi hal ini tak boléh dipergunakan sebagai alasan kepada peladjar sebagai bukti adanja suatu filsafat mystik. Kita harus mempeladjari gedjala² kelompok ini, djikalau kita mau memahami sedjarah kelakuan² manusia; psikologi individuil bagaimanapun djuga tak bisa bertanggung djawab terhadap fakta² jang dihadapkan kepada kita.

Dalam setiap penjelidikan tentang adatkebiasaan² sosial soal jang tersukar ialah kenjataan, bahwa tingkah-laku jang dipeladjari disini harus melalui persetudjuan masjarakat jang sangat sukar itu, hanjalah sedjarah dalam arti jang se-luas²nja bisa mentjeriterakan tentang penerimaan dan penolakan masjarakat ini. Disini bukan sadja ilmudjiwa jang dipersoalkan, akan tetapi djuga sedjarah dan sedjarah bagaiminapundjuga terdiri dari keseluruhan fakta² jang tak bisa oléh introspéksi. Oleh karena itulah maka keterangan² mengenai adatkebiasaan², jang menerangkan bahwa organisasi ékonomi kita disebabkan oléh nafsu manusia untuk ber-lomba², peperangan modérén karena kesukaan berkelahi dan keterangan² jang gampang jang kita djumpai disetiap madjalah dan roman modérén, bagi seorang antropologi merupakan omong kosong belaka. Rivers tergolong orang pertama jang mengemukakan masalah ini se-tegas²nja. Ia menundjukkan bahwa daripada mentjoba menerangkan bahwa pembalasan-darah disebabkan oléh nafsu untuk membalas, sesungguhnja adalah perlu sekali untuk memahami nafsu untuk membalas itu dari lembaga² pembalasan-darah. Demikian pula diperlukan untuk mempeladjari irihati atau tjemburu dari sudut perhubungan², jang menentukan aturan² setempat bagi kelakuan séksuil den lembaga² jang mengatur hak-milik. Sukarnja dengan tafsiran2 naif mengenai kebudajaan2 dengan menggunakan pengertian2 kelakuan individuil tidaklah disebabkan karana tafsiran itu sifatnja psikologis, akan tetapi, bahwasanja merếka mengabaikan sedjarah, dan pula mengabaikan prosếs kesedjarahan tentang penerimaan dan penolakan tjiri2 kebudajaan. Djikalau kita hendak menerangkan kebudajaan dalam keseluruhannja, maka kita mesti menerangkannja dengan pengertian2 psikologi individuil, akan tetapi penerangan ini harus bersandar baik kepada sedjarah maupun psikologi. Mdmang benar, bahwa tjorak Dionysis dengan tegasnja terdapat dalam lembaga2 kebudajaan2 tertentu, karena tjorak ini selalu merupakan kemungkinan psikologis, akan tetapi kenjataan bahwa tjorak ini ada dalam kebudajaan2 jang satu, dan tidak dalam kebudajaan2 lain, harus diterangkan dari kedjadian2 sedjarah, jang pada tempat jang satu menumbuhkan tjorak ini, dan didaếrah lain djusteru menghalang2i pendjelmaan2 tjorak itu. Dalam penafsiran beberapa hal tentang bentuk2 kebudajaan, baik sedjarah maupun psikologi perlu; kita tak bisa minta bantuan dari jang satu dalam hal2 dimana hanja jang lain bisa memberinja.


Ini membawa kita kepada salah suatu titik2 pendếkatan jang paling tadjam mengenai anthropologi keseluruhanz (Configurational anthropology). Ini merupakan sengkếta tentang asas2 biolcgis gedjala2 sosial. Saja mengatakan se-olah2 temperamến manusa bersifat sedikit-banjaknja tetap di-mana2 didunia ini, se-olah2 dalam tiap2 masjarakat pembagian temperamến individuil jang kira2 sama selalu terdapat dengan tegasnja, dan se-olah2 kebudajaan itu masing2 dipilih dari temperamến2, jang sesuai dengan bentuk2 tradisionilnja dan sebagian terbesar individu2 ditempa dan tunduk kepadanja. Menurut tafsiran ini maka misalnja pengalaman dalam keadaan kesurupan merupakan suatu kemungkinan psikologis bagi sedjumlah individu2 jang tertentu dikalangan penduduk jang manapun djuga. Apabila pengalaman dalam keadaan kesurupan ini dihormati dan dihargai, maka suatu djumlah besar orang bisa mentjapai keadaan ini atau se-tidak2nja pura2 mentjapai keadaan itu, sedangkan sebaliknja dalam peradaban kita, dimana hai ini dianggap sebagai noda dalam keluarga, djumlah ini terbatas pada djumlah ketjil orang2, jang dianggap orang2 jang abnormal.


Akan tetapi masih mungkin ada tafsiran lain. Dari berbagai pihak dinjatakan dengan tegas, bahwa tjiri2 psikologi tak terdjadi dari seleksi kebudajaan, akan tetapi merupakan warisan biologis. Menurut anggapan ini, perbếdaanz itu dikembalikan kepada perbếdaan djenis-bangsa, sehingga misalnja orang Indian dipadangrumput mentjari visiun, karena tjiri ini diwarisi olếh zat chromosom2-djenisnja. Demikian pula kebudajaan-Pueblo menghargai dan menghormati kesabaran dan pengen dalian diri, karena hal ini ditetapkan oléh sifat keturunan djenisbangea. Djikalau tafsiran biologis ini benar, maka kita tak usah menoléh kepada sedjarah untuk memahami kelakuan2 kelompok2, akan tetapi harus berpaling kepada fisiologi. Tafsiran2 biologis ini tak pernah mempunjai asas jang kuat. Bagi meréka jang menganut anggapan ini, adalah perlu untuk menundjuk gedjala fisiologis, jang bisa menerangkan sekalipun sebagian ketjil sadja dari kenjataan2 sosial, jang perlu diketahui. Adalah mungkin bahwa metabolisme basal atau fungsi kelendjaran jang tak berpipa (ductless glands) pada beberapa kelompok2-manusia banjak perbédaan dan bahwa kenjataan2 ini mungkin bisa memberi pengertian dalam perbédaan kelakuan kebudajaan. Ini bukanlah masalah anthropologis, akan tetapi djikalau para ahii fisiologi dan ahli genitika memberi bahan2 tentang ini, maka ini akan berharga sekali bagi penjelidik2 dilapangan sedjarah kebudajaan.


Akan tetapi pertalian2 fisiologis, jang mungkin dimasa depan bisa diberikan oléh ahli2 biologi, selama mengenai tjiri2 kebudajaan melalui sifat2 keturunan se-baik2nja, tak bisa menerangkan semua kenjataan2 jang kita ketahui sekarang. Orang2 Indian di Amérika Utara dilihat dari sudut biologis termasuk dalam satu djenisbangsa, namun meréka tak semuanja bertjorak Dionysys dalam kelakuan2 kebudajaannja. Orang2 Zuni memberi tjontoh jang djelas tentang motif2 jang sama sekali bertentangan sifatnja. dan tjorak Appolonis ini bisa diketemukan pula pada bangsa2 Pueblo lainnja, diantaranja ialah suatu kelompok, Hopi, jang termasuk kelompok Shoshonean. Kelompok jang terachir ini banjak cekali diwakili oléh suku2 jang bertjorak Dionysis dan orang mengatakan, bahwa meréka bahasanja masih sekeluarga dengan bahasa orang2 Atzek. Dikalangan bangsa Pueblo kita masih mendapatkan suku Tewa, jang baik biologis maupun berdasar bahasa masih sekeluarga dengan bangsa-Kiowa dipadangrumput Selatan, jang termasuk golongan Pueblo. Maka dari itu kebudajaan2 itu sifatnja menurut tempat dan tidak bertalian dengan relasi2 jang dikenal antara ber-bagai2 golongan. Djuga dipadangrumput Barat tiada kesatuan biologis, sehingga bangsa2 jang menghargai dan mentjari visiun ini terpisah dari kelompok22 lainnja. Suku2, jang menetap d-daérah{{2{{ ini, berasal dari keluarga2-bangsa besar kaum Algokian, Arthabaskan dan Sioux, dan tiap2 suku masih mempunjai logat dari masiig2 kelompok-asalnja 1). Semua kelompok2asal ini meliputi suku2, jang, seperti lazim di-padang2 rumput, mentjari visiun2 dan suku22 jang tak berbuat demikian. Hanja meréka jang hidup dalam lingkungan perbatasan keilmubumian dari padangrumput men-



¹) Dalam hal²ini perkelompokan² berdasarkan bahasa sesuai dengan pertalian biologi. tjari visuin sebagai bagian jang essénsiil dari perlengkapan tiap orang jang normal dan berbadan séhat jang lebih penting lagi ialah keterangan mengenai lingkungan, bilamana kita daripada mempertimbangkan pembagian dalam ruang kita memperhatikan pembagian, waktu. Dalam perobahan2 jang paling radikal dalam tindakan2 psikologi. Hal ini tjukup banjak digambarkan dalam pengalaman kebudajaan kita sendiri. Peradaban Eropah di Abad Pertengahan tjenderung kepada mystik dan epidemi2 psykis, sebagai ia djuga tjenderung kematerialisme jang tjerdik dalam abad kesembilan belas. Kebudajaan berobah samasekali oriéntasinja, tanpa ada perobahan dalam keadaan-djenisbangsa kelompok2 jang mendukung kebudajaan itu.

Tafsiran2 kebudajaan tentang tingkahlaku sama sekali tidak boléh menolak adanja unsur2 fisiologis. Penolakan sematjam itu berdasarkan pengertian jang salah tentang uraian ilmijah. Biologi tak menolak kimia, rneskipun uraian2 kimia tidak tjukup untuk memahami gedjala2 biologi Dan seorang ahlibiologi pun tidak diharuskan menurut tjara2 kimia, meskipun ia mengakui, bahwa hukum2 kimia mendjadi dasar fakta2, jang dipeladjarinja. Dalam tiap{[2}} lapangan ilmupengetahuan adalah perlu untuk mengetengahkan hukum2 dan hubungan2 sebab-akibat jang logis, jang setjara paling tepat bisa mendjelaskan gedjala2 jang diselidiki jang dalam pada itu harus dikatakan pula dengan tegas, bahwa ada pula unsur2 lainnja jang memberikan pengaruhnja, meskipun bisa dibuktikan, bahwa pengaruh2 ini tak mempunjai arti jang menentukan bagi hasil jang terachir. Djika apabila kita mengatakan, bahwa dasar2 biologis dari kelakuan2 kebudajaan ummat-manusia pada umumnja tidak ada artinja untuk menerangkan gedjala2 kebudajaan ini, jang demikian itu tak berarti bahwa kita memungkiri adanja faktor2 biologis itu. Dengan ini kita hanjalah hendak mengatakan, bahwa faktor2 jang menentukan sifatnja kesedjarahan.

Dua psikologi éksperiméntal terpaksa mengambil sikap sedemikian itu pula mengenai penjelidikan2 terhadap kebudajaan kita sendiri. Pertjobaan2 jang penting tentang tjiri2-watak jang belum lama berselang diadakan, menundjukkan bahwa sebab2 sosial sifatnja menentukan bagi tjiri2-watak, djuga tjiri2-watak, seperti kedjudjuran dan kepemimpinan. Apabila ada seorang anak jang dalam suatu situasi éksperiméntal jang tertentu bersikap djudjur, hal ini tak berarti samasekali bahwa iapun tidak bohong dalam suatu éksperiméntal jang lain sifatnja. Maka ternjatalah bahwa tidak ada apa jang dinamakan orang2 djudjur atau orang2 tjurang, jang ada adalah situasi2 djudjur dan situasi2 tjurang. Maka ternjatalah pula, bahwa pada penjelidikan2 jang dilakukan mengenai pemimpin2, tidak ada tjiri2-watak jang tertentu, jang bahkan dalam masjarakat kita bisa berlaku sebagai ukuran2 jang tetap. Seorang pemimpin dibentuk mendjadi pemimpin oleh peranan jang' dilakukanja, dan dalam pada, itu ia djusteru memperkembangkan tjiri2-watak, jang diperlukan o1eh situasi dimana ia berada. Hasil2 daripada situasi ini semangkin memperdjelas, bahwa bahkan dalam bentuk masjarakat jang sudah tinggi, kelakuan2 sosial itu ,,tidaklah mungkin hasil diripada suatu mekanisme jang sudah tetap jang menentukan orang2 supaja melakukan suatu tjara berbuat jang tertintu, akan tetapi bahwasanja kelakuan2 ini disebabkan oleh berbagai tendensi, jang oleh masalah2 chusus jang menghadapi kita dibangkitkan dengan berbagai matjam tjara."


Kesimpulan ini bahkan mesti diambil, apabila ada peristiwa2 seperti jang terdjadi pada suku2 Zuni dan Kwaliud, jakni situasi2 jang meskipun dalam bentuk masjarakat itu djuga bersifat menentukan bagi kelakuan2 manusia, namun berkembang mendjadi kebudajaan2 jang sifatnja berlawanan satu sama lain, jang tudjuan2 dan motif2nja demikian diauh berbeda. Djikalau kita hendak memahami kelakuan manusia sebaik2nja, maka kita terutama sekali harus beladjar mengenal lembaga2 jang ada dalam masjarakat jang tertentu. sebab, kelakuan2 manusia ini akan mengambil bentuk jang ditetapkan oleh lembaga2 ini, bahkan demikian rupa sehingga penjelidik jang hanja diresapi setjara mendalam oleh kebudajaan masjarakat sendiri, tidak bisa memahaminja.


Penjelidik itu hanja bisa melihat bentuk2-kelakuan jang aneh itu dalam kebudajaan2 lain jang tidak dalam kebudajaannja sendiri. Meskipun demikian djelaslah, bahwa ini merupakan prasangka setempat dan bersifat sementara. Tidak ada alasan samasekali untuk beranggapan atau menjangka bahwa ada sesuatu kebudajaan jang mentjapai kesempurnaan untuk selama2nja dan akan berdiri dalam sedjarah sebagai satu2nja tjara pemetjahan jang tepat bagi masarah kemanusiaan. Bahkan generasi jang segera menggantikannja mengetahuinja lebih baik. Sikap ilmiah jang sebaik2nja ialah untuk sedapat mungkin memandang kebudajaan kita sendiri sebagai salah suatu kebudajaan diantara kebudajaan kita sendiri sebagai salah suatu kebudajaan diantara kebudajaan2 jang tak terbilang banjaknja.itu.


Po]a kebudajaan tiap2 peradaban mempergunakan segi tertentu daripada busur besar jang terdiri dari tudjuan2 dan motit2 potensiil manusia seperti jang kita lihat dalam bab jahg lalu, bahwa tiap kebudjaan memilih beberapa teknik-kebendaan jang tertentu atau tjiri kebudajaan. Busur besar jang terdiri dari bentuk2 kelakuan2 manusia jang mungkin adalah demikian luasnja, dan mengandung terlalu banjak pertentangan2. sehingga tak mungkin kebudajaan jang tertentu uniuk menggunakan bagian jang agak besar dari padanja, apalagi memper gunakan seluruhnja. Seléksi adalah sjarat pertama. Dengan tiada seléksi tiada kebudajaan akan mentjapai kedjelasanpun, dan hadjat² jang didipilihnja dan didjadikan miliknja itu adalah lebih penting dari perintjian chusus setjara teknis ataupun tata-tjara perkawinan jang djuga dipilihnja setjara itu.

Ketika kebudajaan, jang telah kita lukiskan, hanjalah memberi suatu illustrasi dari bagian² jang tertentu berupa kelakuan² jang mungkin jang dipilih oléh bangsa² itu dan ditumbuhkan oléh lembaga² tradisionilnja. Adalah sangat tidak boléh djadi, bahwa tudjuan² dan motif² jang dipilihnja, adalah jang termasuk pahng karakteristik bagi dunia seluruhnja. Kita telah memilih tjontoh² ini, karena kebudajaan² ini masih hidup, sehingga kita bébas dari rasa ke-ragu²an, jang selalu ada, apabila jang diperbintjangkan kebudajaan², jang tak bisa diperiksa setjara langsung. Misalnja mengenai kebudajaan Indian Padangrumput kita mempunjai bahan² banjak sekali, jang anéhnja saling bersesuaian. aik bahan² jang langsung berasal dari suku² itu, maupun tjerita² musjafir serta kenang²an dan sisa² adat-istiadat sebagaimana jang telah dilukiskan o1éh para ahli éthnologi, memberi gambaran psikologis jang djelas. Akan tetapi ada kekurangannja, jakni bahwasanja kebudajaan ini sudah sedjak lama tidak ada lagi sehingga se-tidak²nja patut untuk di-ragu²kan kebenarannja. Sukar sekali untuk mengatakan bagaimana dogma dan kenjataan saling menjesuaikan, dan tjara² apa jang dipergunakan untuk saling mentjotjokkan dogma dan kenjataan itu.

Kebudajaan² jang telah kita lukiskan itu mémanglah bukan „type”² dalam arti kesatuan tertentu dari tjiri².

Kebudajaan² itu masing² mempunjai tjorak tersendiri berdasar pengalaman, jang tak ada bentuk kembarnja dimanapun didunia ini. Adalah salah sekali untuk mentjoba menggambarkan semua kebudajaan² sebagai tjontoh² dari djumlah type² tertentu dan terpilih. Kategori² mendjadi kewadjiban djikalau meréka itu dianggap sebagai sesuatu keharusan dan dianggap berlaku untuk segala perabadan dan peristiwa Tjiri² agrésif dan ketjenderungan untuk menganggap dirinja ke-besar²an jang ada pada penduduk Dobu dan Pesisir Baratlaut dalam kebudajaan² tersebut masing² diasosiasikan dengan tjorak² jang sangat berlainan sifatnja. Suatu ketentuan jang tertentu tidak ada. Tjorak² Appolonis jang ada di Zuni dan di Junani sangat berlainan dalam asas perkembangannja. Di Zuni nilai kesusilaan jang berupa pengendalian diri dan kesederhanaan mengakibatkan terbuangnja semua hal jang berlainan sifatnja dari peradabannja. Akan tetapi, peradaban Junani tak bisa dipahami tanpa mengetahui adanja kompénsasi² Dionysis jang diakui pula dalam lembaga²nja. Apa jang dinamakan „hukum” tidak ada; jang ada ialah beberapa tjara karakteristik tertentu, jang bisa diambil oléh sikap jang umumnja terkuasa. Pola² kebudajaan jang sangat mirip satu sama lain mungkin tidak memilih situasi² jang sama untuk tindakan memenuhi tudjuan² meréka jang utama. Dalam peradaban Barat, orang jang kedjam dalam persaingan² perdagangan adalah seringkali suami jang baik hati dan ajah jang suka mengalah. Pengedjaran suksés membabibuta dalam peradaban Barat tidak meluas sampai didalam kehidupan keluarga dalam bentuk dan rupa seperti dalam dunia perdagangan. Lembaga² jang menjekitari kedua aktivitét itu adalah saling berlainan sedemikian rupa, jang misalnja tiada kedapatan dikalangan penduduk Dobu. Hidup perkawinan dikalangan penduduk Dobu dikuasai oléh motif² jang sama seperti jang terdjadi pada perdagangaan Kula. Bahkan berkebun di Dobu adalah memiliki atau mentjuri ubi² pengusaha² kebun lain. Mémang berkebun sering merupakan suatu pekerdjaan routine jang dipengaruhi oléh berbagai pola² kebudajaan; ia merupakan suatu situasi dimana motif² jang berkuasa tidak meluas atau dimana motif² itu dibatasi.

Kehidupan suku Kwakiutl mengandung banjak tjontoh tentang ketidaksamaan kelakuan² itu dipengaruhi oléh struktur kebudajaan. Kita mengetahui bahwa réaksi karateristik orang² Kwakiutl terhadap kematian seorang bangsawan déwasa, ialah, bahwa ia berusaha melaksanakan suatu rentjana untuk bisa menebus peristiwa itu atau dengan lain perkataan untuk memukul kembali kepada bentjana jang menimpa dirinja. Akan tetapi seorang ajah-ibu muda jang menjedihkan kematian anak bajinja, kadang² berkelakuan lain sekali. Keluhan² dan ratapan² ibu sangat sedih dan mengharukan. Semua wanita² datang berkumpul untuk ikut menangis dan si ibu sambil menangis menggéndong anaknja jang mati itu. Ia menjuruh tukang² membuat bonéka dan tukang² pahat kaju untuk membuat berbagai matjam main²an, jang ditébarkan disekelilingnja. Wanita² menangis, dan si ibu berkata kepada anaknja sbb.:

Ah, ah, mengapa, anakku, engkau meninggalkan daku. Engkau telah memilihku sebagai ibumu dan aku telah berusaha berbuat se-gala²nja untukmu. Lihatlah main²anmu, jang telah kusuruh buatkan untukmu. Mengapa engkau meninggalkan daku, anakku? Barangkali aku berbuat salah terhadapmu ? Aku akan berusaha berbuat lebih baik, apabila engkau kembali kepadaku, anakku. Djanganlah pergi. Kasihanilah aku, ibumu ,anakku.

Ia minta kepada anaknja supaja kembali dan untuk kedua kalinja lahir melalui badannja.

Njanjian² Kwakiutl djuga sangat menjedihkan, apabila mengenai perpisahan antara kekasih² :

Oh, ia pergi djauh, Ia dibawa kekota jang bagus, jang bernama
New York, kekasihku.
Oh, aku mau mendjadi seekor gagak hina ketjil terbang disamping-
nja, kekasihku.
Oh, seandaikata aku bisa berbaring disamping kekasihku, asmaraku.
Tjintaku kepada kekasihku membunuh badanku, tuanku.
Kata² dia, jang menghidupiku, membunuh badanku, kekasihku.
Sebab ia telah berkata, bahwa ia tak akan memalingkan wadjahnja
kesini selama dua tahun, tjintaku.
Oh, andaikata aku bisa mendjadi randjang-bulu, tempat pembaring-
anmu, kekasihku.
Oh, andaikata aku mendjadi bantal, tempat meletakkan kepalamu,
kekasihku.
Selamat djalan ! Aku sangat sedih. Aku menangisi kekasihku.

Bahkan njanjian²-Kwakiutl ini tertjampur dengan suatu perasaan malu, jang menimpa orang jang menangis kesedihan itu. Perasaan ini kemudian berobah mendjadi édjékan jang pahit dan hasrat untuk menjetimbangkan kembali neratjanja. Njanjian² gadis² dan pemuda² jang ditinggalkan oléh kekasihnja sering mengandung utjapan² jang hampir sama, djuga kita kenal dalam kebudajaan kita sendiri.

Oh, gadis tjintaku, bagaimana pikiranku bisa dikirimkan kepadamu,
pikiran²ku tentang apa jang dahulu kau perbuat, gadis tjintaku ?
Orang menertawakan, gadis tjintaku, orang menertawakan apa
jang dahulu kau perbuat, gadis tjintaku.
Orang mengédjéknja, gadis tjintaku, perbuatanmu diédjék, gadis
tjintaku.
Selamat djalan, gadis tjintaku, selamat djalan kekasihku, karena
perbuatanmu, gadis tjintaku.

Atau seperti dibawah ini :

Ia berbuat se-olah² atjuh-tak-atjuh, se-olah² ia tak mentjintai aku
tjintaku jang sebenarnja, kekasihku.
Kekasihku, engkau terlalu djauh, nama baikmu hampir lenjap.
kekasihku.
Kawan² djanganlah kita disuruh mendengarkan lagi njanjian² per-
tjintaan jang dinjanjikan oléh meréka jang djauh tak tampak di,
mata,
Kawan², adalah baik kiranja djikalau aku menerima tjinta baru
jang sedjati, jang berharga.

Aku mengharapkan, bahwa njanjian-tjintaku didengar oléhnja, apabila njanjian ini kutudjukan kepada tjintaku jang baru, jang kutjintai.

Dari sini ternjatalah, bahwa dukatjitalah, bahwa dukatjita mudah berobah mendjadi malu, akan tetapi namun dukatjita dalam keadaan² terbatas jang tertentu boleh dinjatakan. Djuga dalam kehidupan mesra keluarga-Kwakiutl ada djuga tempat bagi perasaan saling mentjintai jang hangat dan semangat segar menerima dan memberi dari hubungan² jang gembira antara manusia. Tidak semua situasi dalam kehidupan suku Kwakiutl dikuasai setjara sama oleh motif² jang umumnja sangat karakteristik bagi hidupnja.

Seperti halnja hidup orang² Kwakiutl, maka djuga dalam peradaban Barat tidak semua segi penghidupan melajani setjara sama nafsu untuk kekuasaan, jang demikian menondjolnja dalam kehidupan modérén. Di Dobu dan Zuni tak mudah tampak segi apa dari kehidupan jang terpengaruh sedikit demi sedikit oléh sebagian kebudajaan. Ini bisa disebabkan oleh sifat kebudajaan, akan tetapi djuga oléh bakat istimewa untuk berlaku terus menerus. Belumlah mungkin sekarang ini untuk mengambil keputusan.

Ada suatu fakta sosiologis jang harus diperhatikan, apabila kita hendak mendapatkan pengertian jang baik tentang integrasi kebudajaan. Jakni arti penjebaran (diffusi). Banjak sekali karja antropologi mentjurahkan perhatiannja kepada penjempurnaan faktor² tentang sifat tiru-meniru manusia. Salah satu fakta² antroplogi jang menghérankan ialah luasnja daérah² kebudajaan primitif, tempat tersebarnja tjiri² jang tertentu. Tjiri² pakaian, bentuk² tertentu teknik, upatjara, mythologi pertukaran ekonomi pada perkawinan, kita dapatkan diseluruh benua² dan tiap suku dibenua itu seringkali akan memiliki tjiri itu dalam salah suatu bentuk. Meskipun demikian, ada beberapa wilajah jang tertentu dalam daerah² jang luas ini, dimana bahan dasar ini telah mendapat sifat² tersendiri karena tudjuan² dan motif² chusus. Bangsa² Pueblo menggunakan tjara² bertani dan tjara² bersihir jang sama dan mempunjai mythos² jang sama pula seperti jang terdapat diberbagai darah lainnja di Amerika Utara. Suatu kebudajaan Apollonis dibenua lain dengan sendirinja akan bertumbuh diatas bahan² jang lain. Kedua kebudajaan ini akan mempunjai arah jang sama mengenai pengolahan bahan jang ditiap benua, akan tetapi tjiri² jang terdapat akan berlainan satu sama Jain. Kebudajaan² jang sebanding diberbagai bagian dunia oleh karena itu mesti memiliki isi jang lain pula. Kita bisa memahami arah jang diambil oleh kebudajaan-Pueblo, apabila kita memperbandingkannja dengan kebudajaan Amerika Utara lainnja, jakni dengan kebudajaan² jang mengandung unsur² jang sama, akan tetapi jang dipergunakannja setjara lain. Demikian pula halnja dengan tjorak Apollonis peradaban Junani, jang paling tepat bisa diselidiki dalam lingkungannja sendiri diantara kebudajaan² bagian Timur Lautan Tengah. Kita harus selalu bertolak dari pengetahuan fakta² tentang hasil saling pengaruh mempengaruhi, djikalau kita hendak mentjapai pengertian jang agak tepat tentang prosés integrasi kebudajaan.

Dalam pada itu, pengakuan adanja gedjala integrasi kebudajaan memberi lukisan jang sama sekali lain dari sifat tjiri² jang tersebar. Biasanja kebanjakan penjelidikan² adat-istiadat perkawinan, upatjara² inisiasi, atau agama bertolak dari anggapan, bahwa segi² kehidupan sosial ini menggambarkan suatu kelompok kelakuan² tersendiri, jang masing² memperkembangkan djenis motif²nja sendiri. Westermarck menggambarkan perkawinan sebagai suatu situasi pemilihan séksuil dan biasanja keterangan² tjara² inisiasi menjatakan adanja hubungan dengan gangguan² jang terdjadi dimasa pubertét. Dengan tjara demikian beribu² variasi mendjadi hanja berupa satu rangkaian fakta² dan hanja berarti perobahan² jang terdjadi pada impuls atau keperluan jang tertentu, jang disebabkan oléh situasi jang asasi.

Akan tetapi hanja beberapa kebudajaan² sadja melaksanakan peristiwa² pentingnja dengan tjara jang sederhana. Peristiwa² inilah, seperti misalnja perkawinan, peristiwa² kematian atau permohonan² kepada mahluk² adikodrati, jang dipergunakan oléh masjarakat untuk mendjelmakan tudjuan²nja sendiri jang chas. Tidaklah dari situasi chusus itu sendiri maka motif² itu terdjadi, jang menguasai situasi demikian itu, sebaliknja motif² ini mentjerminkan watak umum kebudajaan. Bisa sadja terdjadi, bahwa perkawinan itu tidak ada hubungannja dengan pemilihan séksuil jang didapatkan dengan tjara² lain, akan tetapi mengumpulkan isteri mungkin merupakan bentuk jang lazim untuk mengumpulkan kekajaan. Adat-istiadat dilapangan ékonomi bisa demikian njéléwéngnja dari fungsi aslinja, jakni pemenuhan kebutuhan² hidup jang utama, sehingga seluruh pertanian ditudjukan untuk memupuk bahan-makanan jang berlipatganda dari djumlah jang dibutuhkan oléh rakjat dan bahkan dengan sengadja membiarkannja busuk untuk memenuhi rasa kebanggaan dan ketjongkakan. Berkabung, berdasarkan kepada kedjadiannja, adalah suatu perasaan duka-tjita atau perasaan lega dalam menderita kehilangan sesuatu. Kebetulan sekali bahwa djusteru dalam ketiga kebudajaan jang kita lukiskan itu, djenis réaksi terhadap keadaan berkabung seperti itu tidak ada. Barangkali jang agak mendekati hal ini ialah suku² Pueblo, karena dalam upatjara²nja kematian seorang kerabat dianggap sebagai salah satu peristiwa jang chidmat dimana tenaga² dalam masjarakat dikerahkan untuk menghilangkan rasa tidak énak. Meskipun dalam tata-tjara meréka dalam berkabung itu sedikit sekali nampak perasaan sedih, namun peristiwa-kehilangan inipun dianggap sebagai suatu peristiwa jang kritis, dimana perlu sekali diusahakan supaja sifat penting dari peristiwa ini diperketjil sedapat mungkin. Dikalangan orang² Kwakiutl, terlepas dari ada atau tiadaNja perasaan sedih jang benar², maka adat kebiasaan² dalam menghadapi peristiwa berkabung merupakan tjontoh² gila perasaan kebesaran dalam kebudajaan, dimana kematian seorang kerabat dirasakan sebagai malu dan dimana diusahakan supaja rasa malu ini dapat diperbaiki kembali. Dikalangan penduduk Dobu tatatjara-berkabung ada persamaannja dengan jang berlaku dikalangan orang² Kwakiutl, meskipun mereka terutama sekali mementingkan hukuman² jang didjatuhkan oleh kerabat² orang jang mati kepada suami (isteri) nja jang dianggapnja sebagai pembunuh si mati itu, Oléh karera itu hal ini berarti, bahwa tatatjara²-berkabung bertolak lagi dari anggaran Dobu jang lazim — jang dipergunakan pada berbagai peristiwa, — bahwa soalnja ialah pengchianatan, sehingga penjelesaiannja harus ditjari dalam bentuk seorang korban, jang bisa didjatuhi hukuman.

Bagi suatu tradisi adalah sangat mudah sekali untuk mempergunakan situasi apapun dan jang bagaimanapun, jang terdjadi selama hidup seorang manusia, untuk mewudjudkan tudjuan², jang pada hekékatnja tiada hubungannja dengan peristiwa tersebut. Watak sebenarnja dari peristiwa itu bisa samasekali ditiadakan seperti halnja misalnja kematian orang jang samasekali tiada hubungannja dengan penjakit itu, atau apabila haid pertama seorang gadis didjadikan alasan untuk mem-bagi² hampir seluruh kekajaan sesuatu suku. Berkabung, perkawinan, upatjara²-pubertét atau tatatjara² ékonomi semuanja itu bukanlah kelakuan² manusia jang chas, jang ditentukan oléh dorongan² dan motif²nja sendiri, jang telah berkembang dimasa lampau jang djuga mengandung kemungkinan² bagi masa depan, akan tetapi sebaliknja merupakan peristiwa² chusus, jang dipergunakan oléh setiap masjarakat untuk menjatakan tudjuan² kebudajaannja jang terpenting.

Dilihat dari pendirian ini, maka kesatuan sosiologis jang berarti bukanlah adat-istiadat atau lembaga itu sendiri, akan tetapi kebudajaan itu sebagai keseluruhan. Penjelidikan mengenai keluarga, ékonomi primitif, dan tjita² susila harus di-petjah² mendjadi penjelidikan² dimana tekanan harus diletakkan kepada berbagai kebudajaan² itu jang pada tiap² peristiwa telah menguasai tjiri² ini. Dalam suatu diskussi, jang hanja terbatas kepada penindjauan keluarga sadja, tidak bisa kita mendapat gambaran jang djelas daripada tjiri² kehidupan orang² Kwakiutl jang anéh itu dan menafsirkan kelakuan² orarg² Kwakiutl dalam perkawinan dari keadaan perkawinan jang chas itu. Demikian pula, perkawinan dalam masjarakat kita adalah keadaan jang tidak akan bisa diterangkan se-djelas²nja, djikalau ini hanjalah dianggap sebagai suatu variasi dari persetubuhan atau hidup berumahtangga. Kedudukan modérén seorang isteri dan perasaan émosi modérén tentang tjemburu tak akan bisa dipahami djuga, apabila kita tidak mempunjai kuntji berupa kenjataan, bahwa dalam peradaban kita pada umumnja, tudjuan utama seorang laki² ialah mengumpulkan kekajaan² dan memperlipat gandakan kesempatan² dimana kekajaan² ini bisa dipamerkan. Sikap kita terhadap anak² kita tenjata dipengaruhi pula oléh tudjuan kebudajaan ini. Anak² kita bukanlah peribadi² jang hak²nja dan pendapat²nja kadang² dihormati semendjak ketjilnja, seperti dalam masjarakat primitif akan tetapi meréka itu adalah tanggungdjawab² chusus, seperti halnja dengan kekajaan² kita, dimana menurut keadaannja kita dikalahkan atau dimenangkan. Sedikit-banjaknja meréka itu adalah akibat daripada kita sendiri dan memberi kesempatan baik kepada kita untuk mendesakkan kekuasaan kita. Perhubungan seperti ini tidaklah karakteristik bagi hubungan² antara orang tua dan anak, halmana kita akui dengan mudahnja. Sebaliknja perhubungan itu ditjiptakan oléh hasrat² kita jang utama dalam kebudajaan kita, jang dengan demikian memberi tjorak kepada situasi² sematjam ini dan dengan begitu mendjadi salah satu diantara kesempatan² jang banjak, dimana kita mengedjar obséssi² kita jang tradisionil.

Bilamana kita bertambah sadar akan kebudajaan, kita akan dapat memisahkan inti ketjil jang hakiki jang bersifat keturunan dalam suatu keadaan daripada tambahan jang luas jang bersifat pembawaan setempat, bersifat kebudajaan dan dibuat oléh manusia. Kenjataan bahwa tambahan² ini tidak mesti datang akan timbul dari suatu situasi jang tertentu tidak memudahkan berobahnja tambahan² itu dan tak pula mengurangi artinja bagi kelakuan² kita. Sebaliknja tambahan² ini lebih sukar dirobahnja daripada jang kita kira. Misalnja perobahan jang diperintjikan dalam tingkah laku ibu selama bajinja masih ketjil mungkin tidak akan tjukup untuk menjelamatkan anaknya jang neurotis (latah, senéwén) bilamana ia terdjepit dalam keadaan jang menggelikan jang bertambah kuatnja dengan tiap hubungannja dan jang melalui ibunja diprojéksikan kesekolahan, perusahaan dan isterinja. Seluruh kehidupan jang dihadapkan kepadanja menegaskan adanja permusuhan dan milik. Adalah mungkin sekali, bahwa satu²nja djalan bagi anak ini untuk terlepas dari keadaan ini ialah keuntungan atau melepaskan diri daripadanja. Bagaimanapun djuga, masalah² demikian itu mungkin akan bisa dipetjahkan setjara lebih baik, bilamana perhatian kepada kesukaran² terdapat karena hubungan² antara orang tua dan anak² dikurangi dan sebaliknja menambah perhatian kepada bentuk² jang diambil oléh sikap égoséntris dan penjalah-gunaan hubungan² perseorangan dalam kelakuan² Barat.

Jang erat hubungannja dengan perbédaan² struktur kebudajaan² jalah masalah nilai sosial. Pada perbintjangan² tentang nilai sosial pada umumnja kita puas dengan menjusun daftar tjiri²-watak jang dinginkan dan menundjukkan tudjuan sosial jang berisi nilai² sosial ini. Maka dikatakan orang misalnja, bahwa penghisapan orang lain dalam hubungan² perseorangan dan égoisme jang ber-lebih²an adalah djélék, sedang kan memasuki aktivitét sosial adalah baik; adapun suatu watak dikatakan baik, jang tak mentjari kepuasan pada sadisme dan masochisme akan tetapi bersedia untuk hidup dan membiarkan hidup. Akan tetapi ada suatu tatatertib sosial seperti halnja dikalangan orang² Zuni, dimana nilai² ini mendjadi lembaga², dimana kita mendapatkan keadaan „baik” ini sama sekali tidak Utopis. Susunan sosial sematjam itu memperlihatkan kekurangan² nilai² sosialnja. Misalnja tidak akan ada tempat bagi sifat² jang biasa kita hargai seperti misalnja tenaga-kemauan, inisiatif pribadi atau kesediaan untuk berdjuang melawan berbagai kesukaran. Organisasi sosial jang demikian itu tak boléh tidak lemah-lembut. Aktivitét kelompok jang mengisi masjarakat Zuni sesungguhnja tidak ada hubungannja dengan hidup manusia, jang terdiri dari kelahiran, tjinta, mati, suksés, kegagalan dan prestisé. Sebagai gantinja diadakanlah permainan keupatjaraan jang memperketjil kepentingan² manusia jang lebih hakiki. Kebebasan dari penghisapan masjarakat atau sadisme sosial tampak dibalik batu sebagai upatjara² jang tiada habis²nja, jang didjelmakan tidak untuk memenuhi tudjuan² terutama kehidupan manusia. Memang orang tak bisa menghindarkan diri dari kenjataan, bahwa setiap hal ada bagian atas dan bagian bawahnja, ada bagian kanan dan bagian kirinja. Ber-belit²nja dan berseluk-beluknja masalah nilai² sosial njata sekali dalam kebudajaan Kwakiutl. Sebagai motif utama sendi lembaga² orang² Kwakiutl adalah persaingan (rivalry = persaingan jang bersifat permusuhan) jang dalam hal ini hampir sama dengan masjarakat modérén dalam garis besarnja. Persaingan dalam hal ini adalah suatu bentuk perdjuangan, jang tak mengutamakan tudjuan² jang senjatanja, melainkan mengutamakan untuk mengalahkan saingannja. Oléh karena itu perhatian tak ditudjukan kepada persediaan tjukup bagi keluarganja atau memiliki kekajaan, untuk dipergunakan atau dinikmati, akan tetapi jang didjadikan tudjuan utama ialah mengalahkan tetangga nja dan memiliki lebih banjak lagi dibandingkan dengan siapapun. Untuk menggondol kemenangan dalam hal ini, segala kepentingan² lainnja diabaikan. Berlawanan dengan apa jang lazim dinamakan persaingan jang séhat maka perhatian dalam persaingan jang seperti ini tak lagi ditudjukan kepada perbuatan² jang mendjadi tudjuan asal, baik jang dihasilkan itu sebuah kerandjang ataupun sepasang sepatu, situasinja tetap bersifat di-buat², sebab permainannja berpusat kepada tudjuan untuk memperlihatkan kepada orang lain, bahwa ia bisa menang dari mereka.

Perlombaan dan persaingan mengakibatkan pemborosan luar-biasa. Dalam skala nilai² kemanusiaan persaingan ini hanja menempati kedudukan jang rendah. Ia rupakan suatu kezaliman jang sekali dibangkitkan dalam suatu masjarakat, pengaruhnja tak dapat dihindarkan lagi oléh siapapun. Hasrat untuk mentjapai keunggulan mengandung sifat jang tak bisa dihentikan, tidak bisa dipuaskan. Perlombaan² itu terus-menerus tiada ber-achir²nja. Semakin banjak masjarakat mengumpulkan barang², semangkin besar pula taruhan²nja jang dilémparkan dalam permainan, akan tetapi dengan demikianpun permainan itu belum pula bisa dimenangkan seperti halnja ketika taruhan² itu masih ketjil. Dalam lembaga² suku Kwakiutl perlombaan dan persaingan ini mentjapai puntjak kegilaannja, apabila penanaman modal disamakan dengan penghantjuran barang² setjara besar²an. Mémang bagi meréka tudjuan utama jaitu ber-lomba² dengan djalan menumpuk barang², akan tetapi sering pula terdjadi, tanpa meréka itu sadar akan kebalikannja, bahwa meréka memetjahkan tembaga²nja dan membakar balok² rumahnja, selimut²nja dan kano²nja. Djelaslah, betapa besarnja pemborosan jang dilakukan meréka itu dilihat dari segi sosial. Pemborosan sematjam ini djelas djuga dinjatakan dalam persaingan jang sering berobah mendjadi suatu obsessi di Middletown, dimana rumah² dibangunkan, pakaian² dibeli dan tempat² untuk bersukaria dikundjungi se-mata² supaja tiap² keluarga bisa mempertontonkan bahwa mereka bisa ikut serta.

Gambaran ini tidak begitu énak. Dalam hidup orang² Kwakiutl persaingan ini dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga semua suksés itu didasarkan atas keruntuhan saingan mereka; di Middletown hal ini terdjadi karena pemilihan perseorangan dan pemuasan kebutuhan setjara langsung dibatasi sampai se-ketjil²nja, dan bahwa tudjuan orang² itu terutama sekali ialah untuk mentjapai persesuaian dengan orang lain. Djelaslah bahwa pada kedua peristiwa itu (Kwakiutl dan Middletown) kekajaan² itu tidaklah dihasratkan dan dinilai sebagai alat² untuk memuaskan kebutuhan² kemanusiaan, akan tetapi sebagai taruhan² dalam permainan perlombaan² dan persaingan². Djikalau, seperti halnja dikalangan orang² Zuni, hasrat untuk menang dihilangkan dari kehidupan ékonomi, maka pembagian dan penggunaan kekajaan² akan mengikuti „hukum²” jang lain pula.

Namun, seperti jang ternjata dari masjarakat-Kwakiutl dan dari individualisme jang kasar dari perintis² Amérika jang pertama, maka kemauan untuk menang bisa membangkitkan kekuatan dan semangat pada kehidupan manusia. Kehidupan orang² Kwatkiutl dilihat dari segi-tindjauannja sendiri merupakan kehidupan jang kaja dan kuat. Tudjuan jang diketengahkan mempunjai nilai²nja sendiri, dan nilai² sosial peradaban-Kwakiutl bahkan lebih merupakan kesatuan daripada jang terdjadi dalam masjarakat Zuni. Bagaimanapun udjud organisasi sosialnja, namun suatu masjarakat, jang telah memilih suatu organisasi selalu akan berusaha untuk mentjapai nilai² kesusilaan jang tertentu dengan sekuat tenaganja, sesuai dengan tudjuan² jang diketengahkannja. Sebaliknja, adalah tidak mungkin sekali, bahwa masjarakat jang se-baik²-njapun tidak bisa memadjukan nilai² kesusilaan jang lazim kita pudji dengan menggunakan hanja satu matjam susunan masjarakat sadja. Utopia tida bisa ditjapai sebagai suatu bentuk struktur masjarakat jang sempurna jang tak ada jang lebih baik Jagi dimana hidup manusia bisa berkembang se-sempurna²nja. Utopia² sematjam ini adalah termasuk chajalan jang sia² belaka. Perbaikan² jang benar² dalam organisasi sosial tergantung kepada perobahan² jang ketjil² jang djusteru sukar. Adalah mungkin untuk menjelidiki dalam² berbagai lembaga dan memperhitungkan biaja²nja dalam kesatuan² modal sosial, memperhitungkan dalam memadjukan tjiri-watak jang kurang baik dan dalam penderitaan dan kesengsaraan manusia. Apabila suatu masjarakat jang tertentu mau membajar harga ini untuk memadjukan tjiri-watak jang tjotjok dengan udjud aslinja dan jang ia ingin memadjukannja, maka beberapa nilai² dalam keseluruhan-kebudajaan ini akan berkembang, betapapun „djahatnja” nilai² itu. Akan tetapi risikonja besar, dan ada kemungkinan bahwa akan ternjata organisasi sosial itu tak mampu membajar harganja. Maka tatatertib sosial mungkin bisa runtuh oleh karenanja dengan segala akibat² berupa pemborosan² jang tiada batasnja dalam bentuk revolusi² dan bentjana² ékonomi dan kedjiwaan. Dalam masjarakat modérén masalah itu termasuk masalah jang paling perlu dipetjahkan oléh generasi sekarang ini dan meréka jang paling memperhatikan masalah ini terlalu sering mengira bahwa reorganisasi ékonomi dunia akan mewudjudkan Utopia chajalan² meréka, dan dalam pada itu lupa bahwa tidak ada suatu organisasi sosial bisa memisahkan nilai² susilanja dari keburukan² nilai² itu. Memang tiada suatu djalan lébar jang terbuka kearah Utopia jang sesungguhnja.

Akan tetapi ada satu latihan jang sukar, dan barangkali kita bisa membiasakan kepadanja, apabila kita semangkin bisa sadar akan kebudajaan. Kita mungkin bisa berlatih untuk menarik kesimpulan² kita terhadap tjiri² masjarakat kita dan peradaban kita. Bahkan sudah tjukup sukar bagi orang jang dibesarkan dibawah pengaruh peradaban itu, untuk beladjar me-misah²kan atau me-njilah²kan tjiri² ini. Dan adalah lebih sukar lagi untuk kalau dianggap perlu — meninggalkan kesukaan kita terhadapnja. Tjiri² itu adalah sama lumrahnja seperti rumah kita sendiri. Dunia jang tidak memiliki tjiri² ini, tampak menjedihkan dan tak mungkin diterima bagi kita. Namun djusteru tjiri² inilah jang oléh mekanisme proces kebudajaan jang asasi sering kali diperkembangkan se-djauh²nja. Meréka melebihi dirinja sendiri, dan lebih lagi dari tjiri² lainnja jang manapun djuga, kita mungkin tidak bisa menguasainja lagi. Djusteru disana dimana sikap kritis sangat diperlukan, maka kita malahan bersikap sangat tidak kritis. Memang akan datang penjesuaian kembali, akan tetapi ini akan terdjadi dalam bentuk revolusi atau kehantjuran. Kemungkinan adanja kemadjuan jang serba tertib telah tertutup karena generasi jang bersangkutan tidak mampu untuk memberi penilaian jang tepat terhadap lembaga² jang telah tumbuh meliwati batasnja. Meréka tidak bisa membuat neratja untung-rugi, karena mereka telah kehilangan kemampunannja untuk melihatnja setjara objéktif. Keadaan itu harus mentjapai suatu titik kritis, sebelum ada kemungkinan untuk bisa diperbaiki.

Sampai sekarang ini, kita selalu menunggu sedemikian lamanja dalam memberikan penilaian jang objéktif terhadap tjiri² jang terpenting sampai tjiri² ini tak mempunjai nilai praktis. Agama tak dipandang setjara objéktif sebelumnja ia berachir mendjadi tjiri kebudajaan, jang dimasa lampau sangat dihargai oléh masjarakat. Sekarang, untuk pertama kalinja, ilmu perbandingan agama² bébas untuk menjelidiki tiap² masalah jang bersangkutan dengannja dari segala segi. Sekarang belumlah mungkin untuk menindjau kapitalisme setjara bébas dari segala segi, sedangkan, dimasa perang, pelaksanaan peperangan dan masalah² hubungan internasional djuga tabu. Namun adalah perlu, bahwa kita menganalisa setjara teliti tjiri² terpenting peradaban kita. Adalah perlu, bahwa kita mengerti, bahwa meréka itu tidak mengikat karena mewakili tjiri² hakiki dan asasi dari kelakuan² manusia, akan tetapi hanja selama meréka itu memiliki arti setempat dan terus berlangsung berkembang dalam kebudajaan kita. Orang Dobu berpendapat, bahwa hanja ada satu tjara hidup sadja, jang asasi bagi sifat manusia, jakni pengchianatan jang dihubungkan dengan ketakutan jang hampir merupakan penjakit. Demikian pula orang² Kwakiutl hanja bisa melihat hidup ini sebagai kesempatan² jang ber-turut² untuk berlomba dan bersaing, dimana suksés diukur dengan besar-ketjilnja penghinaan jang ditimpakan kepada orang lain. Kepertjajaan ini dalam kedua hal itu berdasarkan arti sikap² ini dalam peradabannja. Akan tetapi arti suatu lembaga dalam kebudajaan jang tertentu bukanlah se-kali² merupakan bukti akan gunanja dan kemestiannja. Alasan sematjam itu sangat diragu²kan dan tiap² sifat pengawasan kebudajaan, jang kita harapkan

216

POLA-POLA KEBUDAJAAN


akan kita laksanakan, akan terguntung kepada mampu-tidaknja kita bisa menilai setjara objektif tjiri2 jang disukai dan diperkembangkan setjara bernafsu dari peradaban Barat kita.

.