Pola-Pola Kebudajaan/Bab 8
VIII
INDIVIDU DAN POLA-POLA KEBUDAJAAN
Sekalipun demikian kelakuan2, kollektif, jang sampai sekarang kita bitjarakan adalah kelakuan2 individu2. Jaitu dunia dengan mana tiap2 orang masingz dihadapkan, dunia dimana ia harus mendjalankan hidup individuilnja. Apabila suatu peradaban jang tertentu diperbintjangkan setjara singkat dalam beberapa lusin halaman, maka terpaksa ukuran2 kelompok-dibitjarakan setjara luas, sedangkan kelakuan individuil hanja dibitjarakan selama ia memperdjelas tudjuan2 kebudajaan. Akan tetapi hal ini baru merupakan suatu penjesatan, apabila kita menjimpulkan bahwa individu mau-tak-mau akan tenggelam dalam lautan jang mahakuasa.
Sesungguhnja tiadalah antagonisme jang njata antara peranan masjarakat dan peranan individu. Salah satu paham2 jang menjesatkan dari individualisme abad kesembilanbelas ialah tjita, se-olah2 apa jang diambil dari masjarakat dengan sendirinja memperkaja individu, dan sebaliknja, apa jang diambil dari individu memperkaja masjarakat. Filsafat2 kemerdekaan, adjaran2 politik laisse faire dan revolusi2, jan9 telah menggulingkan dinasti2 adalah berdasarkan dualisme ini. Dalam teori anthropologi, pertikaian kepentingan struktur kebudajaan disatu pihak dan individu dilain pihak hanjalah merupakan kerut ketjil jang tersisa dari anggapan paharn asasi tentang sifat masjarakat.
Akan tetapi dalam kenjataannja individu dan masjarakat itu tidaklah bertentangan. Kebudajaan memberi bahan2 untuk membangun kehidupan individu. Djikalau bahan2 ini tandus, maka individu menderita oleh karenanja, apabila subur, maka tiap2 individu mempunjai kesempatan untuk mempergunakan kemungkinan2nja seluas2nja. Tiap2 kepentingan perseorangan setiap orang laki2 dan perempuan ikut beruntung dengan semangkin kajanja kekajaan2 tradisionil dari peradabannja. Bakat musik se-besar2nja hanja: bisa didjelmakan dengan bantuan perlengkapan dan dalam rangka ukuran tradisi-peradabannja jang berlaku. Bakat perseorangan mungkin bisa memperkaja tradisi ini, akan tetapi tjiptaan namun tergantung dari alat2 dan teori musik, jang telah dibentuk oleh kebudajaan itu. Demikian pula halnja di-pulau2 Melandsia beberapa suku bakat-penglihatannja hanja terbatas pada batas2 tak penting dari daerah sihir-keagamaan. Untuk mewudjudkan segala kemungkinan2nja, maka hal ini tergantung kepada perkembangan tjara2 ilmiah dan bakat ini tak akan berkembang baik, sebelum kebudajaan itu memperkemtangkan pengertian² dan alat² jang diperlukan.
Pada umumnja orang masih berpikir dalam pengertian² tentang keharusan adanja antagonisme² antara masjarakat dan individu. Hal ini a.l. terutama sekali disebabkan, karena dalam peradaban kita kekuasaan masjarakat jang mengatur tidak dipertimbangkan, dan oléh karena kita bertjenderung untuk mempersamakan masjarakat dengan batas² jang dikenalkan kepada kita oléh undang². Undang² menetapkan, berapa kilometer sedjam sadja boléh mengendarai mobil saja. Apabila pembatasan² ini dilenjapkan, maka saja akan mendjadi lebih bébas. Pendirian sematjam ini sudah terang merupakan dasar jang naif untuk didjadikan dasar pengertian filsafat dan politik jang asasi. Masjarakat hanja kadang² bertindak sebagai faktor pengatur, dan lagi hanja pada hal² jang tertentu sadja, dan undang² tidaklah sinonim dengan tata-tertib sosial. Dalam kebudajaan² homogin jang lebih sederhana adat dan kebiasaan kolléktif bisa samasekali melenjapkan perlunja setiap bentuk otoritét jang sah. Orang² Indian Amerika menjatakannja sbb. : „Dahulu tidak ada persengkétaan tentang daérah²-perburuan atau daérah²-perikanan. Dahulu belum ada undang² sehingga tiap² orang berbuat menurut apa jang dianggapnja baik.” Dari pernjataannja jang demikian itu ternjata, bahwa dizaman itu tidak terpikirkan, bahwa orang harus tunduk kepada suatu pengawasan sosial jang datangnja dari luar. Bahkan dalam masjarakat kita, undang² tak pernah melebihi daripada suatu alat perlengkapan masjarakat jang kasar, dan sering orang terpaksa mengendalikannja dalam pertumbuhannja jang tjongkak itu. Undang² tak boléh se-kali² dianggap sebagai sesuatu jang sama dengan tatatertib sosial.
Masjarakat dalam arti jang sepenuhnja, seperti jang kita bitjarakan dalam buku ini, tidak se-kali² boléh dipandang lepas dari individu² jang mendjadi anggota²nja. Tidak ada orang jang bisa mentjapai bahkan diambang pintu kemungkinan²nja untuk berkembang, tanpa pertolongan kebudajaan, dimana ia mendjadi anggotanja. Sebaliknja tidak ada satu peradabanpun jang mengandung satu unsur sadja, jang apabila dianalisa sampai se-djauh²nja tidak ditimbulkan berkat seorang peribadi tertentu. Sebab darimana datangnja suatu tjiri jang tertentu djika tidak dari kelakuan seorang laki², perempuan atau kanak²?
Adalah terutama sekali oleh anggapan tradisionil, bahwa karena adanja sengkéta antara masjarakat dan individu, adanja penegasan kepada kelakuan² kebudajaan demikian sering dianggap sebagai pengingkaran otonomi individu. Pembatjaan buku Folkways karangan Summer sering menimbulkan protes terhadap kurangnja penghargaan kepada peranan dan inisiatif individu, jang dianut oleh anggapan ini. Sering kali anthropologi dianggap sebagai sumber keputusharapan, dimana ilusi manusia dihantjurkan. Akan tetapi sesungguhnja tidak ada satu ahli anthropologipun dengan tjukup pengetahuan tentang kebudajaan² lain, jang pernah pertjaja bahwa individu² itu hanjalah se-mata² otomat, jang setjara kaku melaksanakan perintah² daripada peradaban²nja. Tidak pernah didjumpai suatu peradaban, jang pernah bisa menghapus kan perbédaan² temperamén diantara individu². Disini selalu terdapat hal memberi dan menerima. Masalah individu tak mendjadi lebih djelas, apabila orang meletakkan tekanan kepada antagonisme antara kebudajaan dan individu, sebaliknja kita harus meletakkan tekanan kepada pengaruh jang ditimbulkan antara meréka masing². Saling perhubungan ini adalah demikian eratnja, sehingga bahkan tidak mungkin untuk membitjarakan kebudajaan² tanpa menjinggung perhubungannja dengan psikologi individuil.
Kita telah mengetahui, bahwa tiap² masjarakat memilih bagian tertentu dari busur kelakuan² manusia dan semangkin orang berhasil untuk menggabungkan lembaga² dalam suatu kesatuan, semangkin pula ia berusaha memadjukan perkembangan bagian jang dipilihnja itu dan berusaha pula untuk menindas kelakuan² jang bertentangan dengan itu. Akan tetapi kelakuan² jang bertentangan itu namun tidak merupakan perbuatan², jang termasuk hakikat dari suatu bagian tertentu dari pendukung²-kebudajaan. Kita telah mengatakan, mengapa kita beranggapan, bahwa pemilihan ini terutama sekali ditentukan oleh kebudajaan dan tidak oleh sebab² biologis. Oléh karena itu kita tidak bisa menerima — bahkan berdasarkan pertimbangan² teoretis sekalipun — bahwa semua kelakuan² azasi orang, jang merupakan kebudajaan tertentu akan mendapat lajanan jang sama dari lembaga² jang djusteru ada dalam kebudajaan itu. Tidak sadja perlu untuk memahami se-baik²nja kelakuan² individu untuk mengudji riwajat-hidupnja pada bakat² dan tjiri²-wataknja, dimana jang mendjadi ukuran ialah type² normal pada umumnja, akan tetapi djuga untuk membandingkan kelakuan² alami itu dengan kelakuan² jang ditondjolkan oléh lembaga² dan adatkebiasaan² dari kebudajaan jang bersangkutan.
Sebagian terbesar penduduk dalam suatu masjarakat jang tertentu menjesuaikan dirinja atau tunduk kepada kelakuan² jang ditetapkan oléh lembaga² dan adatkebiasaan² kebudajaannja, betapapun anéhnja semuanja itu. Wakil² dari kebudajaan demikian itu menganggap kenjataan ini sebagai suatu bukti, bahwa djusteru lembaga² dan adatkebiasaan² jang chusus itu bersifat menentukan setjara mutlak dan lagi séhat tiada tjatjatnja sama sekali. Sesungguhnja, untuk ini alasan²nja sangat berlainan sekali. Kebanjakan orang² tunduk kepada bentuk² chusus kebudajaannja, karena mereka itu pada kodratnja sangat mudah dipengaruhi dan mudah sekali ber-obah². Meréka itu membiarkan dirinja berkelakuan seperti jang dikehendaki oléh kekuatan masjarakat, dalam mana meréka itu dilahirkan. Tak perduli, apakah seperti halnja di Pesisir Barat-laut, hal ini diiringi dengan chajalan² jang menggelikan tentang kehébatan diri sendiri, atau, seperti halnja dengan peradaban kita diiringi dengan pemgumpulan kekajaan². Dalam semua hal, sebagian terbesar orang² itu dengan mudah sekali menerima kelakuan² jang ditetapkan baginja.
Akan tetapi tidak semuanja bisa melaksanakannja dengan mudah, dan jang paling beruntung dan mendapat suksés paling banjak ialah meréka jang paling bisa menjesuaikan diri dengan type-kelakuan jang dianggap paling baik oléh masjarakat. Meréka jang oléh keadaan merasa dirugikan, sudah barang tentu berusaha untuk selekas²nja dibébaskan dari kewadjiban²nja. Meréka ini tidak begitu mengalami kesukaran² dikalangan bangsa Pueblo. Kita telah mengetahui, bahwa lembaga² Barat-daja ditudjukan untuk sedapat mungkin menghindarkan keadaan², dimana bisa timbul sengketa² hébat, dan apabila mémang tidak mungkin, seperti misalnja pada peristiwa² kematian, maka ini selekas diketemukanlah suatu tjara, dimana situasi² jang tak énak mungkin dilenjapkan.
Sebaliknja Pesisir Barat-laut merupakan suatu daérah jang sebaik²nja bagi meréka, jang menganggap keketjéwaan sebagai suatu penghinaan dan jang réaksi pertamanja dalam keadaan demikian itu ialah hasrat untuk membalas dendam. Meréka itu disana mendapat kesempatan, untuk melampiaskan réaksi jang bagi meréka sangat wadjar, sekali, misalnja kalau dajungnja patah, kanonja terbalik atau kerabatnja meninggal dunia. Réaksinja jang pertama terhadap keketjéwaan jang berupa gerutuan² lekas berobah mendjadi hasrat untuk memukul kembali, untuk „berkelahi” dengan sendjata²nja atau kekajaan²nja. Meréka jang bisa menghapuskan keputusan dengan djalan membikin malu orang lain, beruntung sekali dan dalam masjarakat sematjam itu meréka tak mengenal sengkéta², karena bakat kodratinja mémang sangat sesuai dengan tjiri² kebudajaannja. Demikian pula meréka berbahagia, apabila meréka mempunjai bakat kodrati untuk segera memilih seorang korban untuk melampiaskan keketjéwaannja sendiri dalam bentuk hukuman², djikalau mereka hidup dalam masjarakat Dobu, karena djusteru di Dobu bakatnja itu sangat sesuai dengan jang dianggapnja paling baik oléh masjarakat.
Kenjataannja ialah, bahwa dalam ketiga kebudajaan² jang kita lukiskan, tidak ada suatupun jang menghadapi masalah keketj²waan setjara realistis dengan memberi kesempatan untuk meneruskan lagi tjara hidup semula jang se-konjong² dihentikan itu. Bahkan INDIVIDU DAN POLA-POLA KEBUDAJAAN
nja dalam hal peristiwa-kematian ini memang tidak mungkin, akan tetapi dalam lembaga2 banjak kebudajaan2 lainnja inipun ditjoba. Tjara „meneruskan” apa jang terbengkalai karena sesuatu sebab itu mungkin nampak mendjidjikkan bagi kita, akan tetapi djusteru itu membuktikan bahwa pada kebudajaan jang dengan tjara itu menghadapi keketjewaan, maka lembaga2 dan adatkebiasaan2 jang bersangkutan itu memperkuat refleksi itu. Dikalangan bangsa Eksimo misalnja, bisa terdjadi, bahwa apabila orang laki2 membunuh orang laki2 lain, si pembunuh itu diwadjibkan oleh keluarga si terbunuh untuk mengganti tempatnja dalam keluarga. Si pembunuh lalu mendjadi suami dari wanita jang mendjadi djanda oleh karena perbuatannja. Disini jang diutamakan ialah pembetulan atau perbaikan akibat2 dari kedjahatan itu, sedemikian rupa, sehingga segala segi2lain dari peristiwa itu - djusteru segi2 jang kita anggap paling penting - diabaikan. Akan tetapi inilah djusteru sifat sesuatu tradisi, bahwa apabila suatu tudjuan tertentu hendak ditjapai, maka jang lain2nja, diabaikan.
Penggantian kerugian sematjam ini pada peristiwa2 kematian bisa menimbulkan adatkebiasaan2, jang tidak begitu bertentangan dengan ukuran2pradaban Barat. Dikalangan beberapa suku2 Indian Algoenkian Tengah disebelah Selatan Danau2 adopsi merupakan tjara jang lazim. Apabila kematian seorang anak ketjil pula, jang harus menduduki tempat jang lowong itu. Persamaan antara jang hilang dan penggantinja dilaksanakan dengan berbagai matjam tjara, sering kali ia adalah anak jang direbutnja dalam suatu peperangan dan jang dipungut dan dipelihara dalam arti se-penuh2nja, jakni bahwa anak itu mendapat segala hak2 dan kasihsajang, jang dahulu diterima dan dipunja oleh anak jang mati itu. Sering pula terdjadi bahwa untuk kawan-main jang paling baik dari anak jang telah mati atau seorang anak dari suatu perkampungan jang masih ada hubungan-kerabat didjadikan penggantinja. Adapun anak ini harus mirip dengan anak jang mati itu tentang tinggi badanja dan sifat2 badani jang lainja. Dalam hal ini tidak sangat merugikan seperti seandainja hal ini terdjadi dalam masjarakat kita. Sebab disana adalah biasa sekali bahwa anak2 itu menganggap banjak „ibu2” dan rumah2 sebagai kepunjaannja sendiri. Perubahan baru ini bagi mereka hanjalah berarti, bahwa meréka harus dan bisa merasa kerasan dalam keluarga jang lain lagi. Dilihat dari sudut orang tua jang ditinggalkan mati oleh anaknja, maka keadaanja sudah baik kembali, karena meréka telah mendapatkan penggantinja, dan dengan demikian status quo sebelum meréka kehilangan anaknja tertjapai lagi. 222POLA-POLA KEBUDAJAAN
Orang2 jang dukatjitanja terutama sekari ditudjukan kepada keadaan dan tidak kepada pribadi otung jang mati sedikit-banjaknja bisa diberi kepuasan dalam ,kebudajaan2 ini, jang tak murgkin terdjadi dalam lembaga2 kita. Kita mengakui kemungkiran pemetjahan masalah
dengan tjara demikian itu,.akan tetapi kita selalu berusaha pula untuk memperketjil hubungannja dengan sifat kehilangan jang semula. Kita tak mempergunakannja sebagai suatu téknik bergabung, dan orang2} sadja tanpa bantuan, hingga krisis jang sukar ini telah lampau.
Masih ada sikap lain jang mungkin terhadap keketjéwaan. Dan ini sama sekali berlawanan dengan orang2 Pueblo, dan kita telah melukiskannja, ketika kita
memperbintjangkan réasi2 Dionysis bangsa Indian Padangrumput. Meréka bukannja
berusaha untuk melupakan peristiwa itu dersan pérasaan ketjewa
se-ketjil2nja, akan tetapi
djusteru berusaha meerlenjapkan
perasaan tertekan itu dengan menjatakan perasaan sedih itu se-hébat2nja. Orang2 Indian padangrumput dalam peristiwa2 sematjam itu berbuat sangat ber-lebih2an sekali, dan meréka menganggap. swadjarnja bahwa perasaan2nja
itu dinjatakan dengan tjara jang se-hébat2nja.
Kita selalu bisa mem-béda2kan dalam tiap2 kelompok tjara jang wadjar dalam men ghadapi bertjara2 dan peristiwa2 jang menjedihkan : dengan djalan mensgabaikannja, menangis sekuat2nja, perasaan2 untuk membalas dendam, melenjapkan perasaan ketjéwa dengan menghukum
orang lain atau usaha untuk menormalkan lagi keadaan supaja seperti dahulu lagi. Dalam tjatatan2 psitiatri masjarakat kita, beberapa tjara ini dianngap sebagai tjara2 jang salah dan buruk untuk melepaskan diri
dari kesukaran2 jang lainnja lagi dianggapnja sebagai tjara jang baik. Orang beranggapan, bahwa réaksi jang buruk mengakibatkan sengkéta2 dan orangpun bisa gila oléh karenanja, sedangkan tjara2 jang aik itu
bisa memadjukan kelakuan2 sosial jang memuaskan. Akan tetapi djelaslah, bahwa orangpun tak bisa memberi arti jang mutlak kepada hubungan antara apa jang dinamakan tendénsi2 ,,buruk" dan abnormal. Hasrat untuk menghindarkan diri dari
rasa dukatjita dan meninggalkan perasaan itu dengan tjara bagaimanapun djuga, tidak menimbulkan neurose,djikalau
seperti halnja dikalangan bangsa
Pueblo, lembaga moral ini disokong oléh semua adatkèbiasaan2 dan oléh sikap koléktif kelompok.
Oléh karena itulah, bahwa Pueblo bukanlah bangsa jang neurotis.
Kebudajaannja memberi kesan, bahwa ia memadjukan keséhatan djiwa.
INDIVIDU DAN POLA-POLA KEBUDAJAAN
jang berdaasarkan bakatnja suka sekali berkelakuan seperti itu, mendjadi pemimpin2 masjarakat, dan dalam kebudajaan sematjam itu meréka bisa berkembang se-pesat2nja sebagai pribadi.
Maka ternjata dengan djelasnja, bahwa suatu sikap-hidup perseorangan jang se-baik2nja tidaklah tergantung dari hal menuruti motif tertentu dan meninggalkan motif2 jang lainnja. Tidak begitu soalnja. Sedangkan meréka jang bakat kodratinja paling mendekati kelakuan chas masjarakatnya, lebih beruntung, maka meréka jang bakatnja berada diluar segmén kelakuan2 jang diperkembangkan setjara istiméwa oléh kebudajaannja, djusteru kehilangan pedoman.
Orang2 jang kehilangan pedoman itu, jakni meréka jang tak berhasil menjesuaikan dirinja setjara tepat dengan kebudajaannya, sesungguhnjalah sangat penting sebagai bahan ilmu perbandingan psikiatri. Seringkali orang salah dalam mengadjukan masalah pskiarti , karena ia bertolak dari suatu daftar jang tetap berisi gedjala2 dan tidak bertolak dari hal mempeladjari meréka, jang dikutuk oléh masjarakatnja karna kelakuannja yang chas.
Semua suku2 jang kita lukiskan, mempunjai individu2 „abnormal”, jang agak tersisih dari kegiatan masjarakat. Orang jang dikalangan suku Dobu dianggap abnormal", adalah orang jang mémang berbakat tamah-tamah dan suka mengerdjakan sesuatu djusteru karena sifat pekerdjaannja itu, tidak ada pamrih apa2. Ia seorang baik hati, jang tak mau menindas atau menghukum sesamanja. Ia bekerdja bagi siapapun, jang minta bantuannja dan ia tak kenal lelah dalam melaksanakan tugas2nja. Berlawanan dengan orang2 lain ia tak mengenal rasa tjemas terhadap kegelapan dan — djuga sangat berlainan dengan orang2 sebangsanja — ia samasekali tak menolak untuk mengerlingkan mata tanda persahabatan terhadap seorang wanita, jang merupakan kerabat dekat, seperti misalnja isterinja atau adiknja. Malahan sering djuga ia me-nepuk2nja setjara ramah-tamah. Bagi orang2 Dobu jang lainnja, hal sematjam ini dianggap sangat tidak sopan; akan tetapi karena jang melakukan ini si „abnormal", maka dianggapnja sebagai suatu kelakuan jang bodoh sadja. Orang2 didésa memperlakukan dia tjukup baik, tidak menjalahgunakan kebaikannja dan tidak pula meng-olok2kannja, tetapi dengan tegas meréka menganggap dia sebagai orang jang tidak waras.
Kelakukan orang Dobu-pandir ini dalam masa2 tertentu dimasjarakat kita dianggap sebagai sesuatu jang idéal, dan masih disukai oleh sebagian besar masjarakat2 Barat. Apalagi djikalau mengenai seorang wanita, maka sampai sekarangpun dengan sifat2nja itu akan mendapat tempat jang terhormat dalam keluarganja dan dalam masjarakatnja. Peristiwa, bahwa orang Dobu-pandir jang kita perbintjangkan itu tidak tjotjok dalam kebudajaannja tidaklah ditentukan oleh bakat kodratnja, akan tetapi karena adanja djurang-perbedaan antara bakatnja itu dengan anggapan² kebudjaannja.
Ketanjakan para ahli ethnologi, jang mengalami kenjataan² sematjam itu, bisa mengiakan bahwa orang² jang oleh masjarakat jang satunja dikutuk, dalam masjarakat jang lain mungkin tidak di-apa²kan. Lowie telah mendjumpai seorang Indian-Gagak padangrumput, jang ternjata memiliki banjak sekali pengetahuan tentang berbagai pengutjapan² kebudajaannja. Ia menganggapnja penting untuk memandangnja setjara objektif dan untuk menghubung²kan berbagai aspek²nja. Ia banjak perhatiannja kepada fakta² genealogi dan ia merupakan sumber jang tak ternilai bagi bahan² sedjarah. Pendeknja, ia adalah seorang djurubitjara jang sempurna dari kehidupan kaum Indian-Gagak. Akan tetapi sifat²nja ini bukanlah sifat² jang dikalangan kaum Indian-Gagak bisa membuat dia seorang jang terhormat dan masjhur. Ahli-sedjarah kita ini adalah orang jang takut² akan bahaja badani, padahal keberanian adalah sifat jang dianggap paling tinggi oleh sukunja. Soalnja mendjadi lebih buruk Jagi, ketika ia berusaha supaja lebih dipandang hebat, dengan djalan mentjeriterakan bahwa ia telah berdjasa dalam sesuatu peperangan, jang ternjata hanja isapan djempol sadja. Telah bisa dibuktikan, bahwa ia tidak pernah membawa seekor kuda jang diikat dari perkampungan musuh keperkampungannja sendiri, seperti jang telah ditjeritakannja. Menuntut setjara palsu suatu kemasjhuran dalam medan-perang adalah salah suatu dosa jang paling besar, dan pendapat umum oleh karena itupun bersesuai paham, bahwa dia itu seorang jang tak bertanggungdjawab dan kurang-tjakap.
Peristiwa² sematjam itu bisa dibandingkan dengan sikap dalam peradaban kita terhadap seseorang, jang tak bisa menganggap milik perseorangan sebagai sesuatu jang mahapenting dan menentukan dalam hidup. Orang² bergelandangan dalam masjarakat kita semangkin banjak, karena ditambah dengan orang² jang sedikit sekali mempunjai hasrat untuk mengumpulkan kekajaan. Mereka ini kadang² djuga menggabungkan diri dalam golongan kaum gelandangan itu dan pendapat umum menganggapnja sebagai tjalon-pendjahat, hal mana memanglah mungkin sekali terdjadi, karena mereka disisihkan oleh masjarakat. Akan tetapi bisa pula terdjadi bahwa orang² demikian itu mendapatkan kompensasi dengan mengetengahkan temparamen keseniannja: mereka lalu menggabungkan diri dengan golongan seniman² jang tidak begitu ulung, jang menurut pendapat umum tidaklah djahat, hanja sadja dianggap agak aneh. Bagaimanapun djuga mereka tidak mendapat sokongan dari lembaga² masjarakatnja dan usaha²nja untuk menjatakan dirinja setjara memuaskan biasanja melebihi kekuatannja. Pada umumnja masalah jang dihadapi oleh orang² demikian itu dipetjahkan se-baik²nja dengan djalan menekan bakat²nja jang paling kuat dan menerima peranan jang dihormati oleh kebudajaan. Djikalau ia itu seorang jang membutuhkan sekali pengakuan dari masjarakatnja, maka itulah djalan satu²nja baginja. Dikalangan suku Zuni kita mendjumpai orang — salah seorang peribadi jang penarik hati sekali — jang telah menerima keadaan jang terpaksa ini. Dalam suatu masjarakat, jang sangat membentji segala matjam kekuasaan (otoritet), ia adalah seorang jang mempunjai daja-penarik jang kuat, sehingga ia selalu segera nampak menondjol dalam tiap² kelompok. Dalam suatu masjarakat, jang selalu berpedoman kepada sifat² keperibadian jang tenang dan ramah, maka adalah orang jang berbakat terlalu bersemangat dan bernafsu. Dalam pada itu ia bersifat agak masam, jang lebih suka menjendiri, padahal ia berada di-tengah² masjarakat jang orang²nja menghormati manusia² ramah, jang suka beramahtamah dan banjak bitjara. Orang² Zuni biasa dan gampang sadja menganggap orang demikian itu sebagai ahlisihir. Telah tersiar kabar, bahwa ia pernah mengintip djendela orang dari luar, dan sudah pasti dia itu seorang ahlisihir. Bagaimanapun djuga, pada suatu hari ia mabuk, dan dalam mabuknja itu ia membanggakan dirinja, bahwa tidak ada orang diantara hadirin jang mampu membunuhnja. Maka kemudian ia dibawa dan dihadapkan kepada padri²-perang, jang menggantungnja pada ibudjarinja diikatkan dibalok atap-rumah, supaja mengakui bahwa ia adalah seorang ahlisihir, jang melakukan perjihiran². Memang demikianlah perlakuan terhadap ahlisihir jang mendjalankan peranannja. Si korban tak mau begitu sadja diintimidasi, dan mengirimkan seorang utusan ketentara. Ketika mereka itu datang, bahu si korban itu sudah jatjat untuk se-lama²nja, dan bagi pihak kehakiman tak ada djalan lain daripada mendjebloskan padri itu dalam pendjara, karena mereka itu bertanggungdjawab atas perbuatan jang mengerikan itu. Salah seorang padri-perang itu tergolong orang jang sangat terpandang dan banjak pengaruhnja dalam masa moderen Zuni, akan tetapi setelah ia pernah masuk dalam pendjara, ia tidak lagi mendjadi padri. Habislah riwajatnja sebagai orang jang terpandang dan terhormat. Ini merupakan suatu pembalasan, jang barangkali tiada bandingannja dalam sedjarah Zuni. Sudah barang tentu ini berarti suatu serangan terhadap golongan-padri, jang dilakukan oleh „ahlisihir” itu setjara terang²an.
Akan tetapi empatpuluh tahun dalam kehidupan orang tsb., setelah peristiwa itu, tidak seperti jang di-duga² oleh siapapun. Seorang ahlisihir tidak dilarang mendjadi anggota sjarikat² agama, meskipun ia telah dikutuk oleh karena perbuatan² sihirnja. Dalam pada itu, djalan kearah rehabilitasi sosial djusteru melalui sjarikat² ini. Ia memiliki ingatan jang kuat sekali mengenai kata², dan suaranja pun bagus, tjotjok untuk menjanji. Iapun mengetahui diluar kepala banjak sekali mythos, upatjara esoteris dan njanjian² keagamaan. Sebelum ia meninggal dunia, ia mendiktekan ber-ratus² halaman tjerita² dan sadjak² keupatjaraan, dan ia mengatakan, bahwa ia masih mengetahui lebih banjak lagi. Ia mendjadi orang jang tak boleh tidak harus ada dalam hidup keupatjaraan dan sebelumnja ia meninggal dunia, ia telah meningkat ditangga masjarakat sampai mendjadi gupernur Zuni. Orang ini telah terlibat dalam suatu sengketa jang sengit dan masjarakatnja disebabkan karena bakat kodratinja, namun ia berhasil memetjahkan kesukarannja dengan minta bantuan kepada bakatnja jang kebetulan ia miliki. Memang tak usah mengherankan, bahwa ia bukanlah orang jang berbahagia. Bahkan meskipun ia kemudian mendjabat gupernur Zuni, menempati kedudukan tinggi dalam sjarikat² keagamaan, dan oleh itu mendjadi orang jang terpandang dalam masjarakatnja, ia selalu di-kedjar² oleh perasaan takut akan mati. Di-tengah² penduduk jang lembut dan berbahagia, ia adalah seorang jang kesepian dan sedih.
Mudahlah untuk menerka, apa djadinja seandainja ia adalah anggota masjarakat Indian Padangrumput, dimana tiap² adatkebiasaan dan lembaga menjokong dan menghormati sifat-tabiatnja. Kewibawaan peribadinja, kegairahannja dan sikapnja jang bernafsu, kesemuanja itu akan membuatnja masjhur dan dihargai dalam kariere jang dipilihnja. Misalnja sebagai padri-perang kaum Indian-Cheyenne ia tak akan mengalami perasaan tak-bahagia jang mendjadi akibat jang tak-boleh tidak mesti ada sebagai gupernur Zuni. Perasaan tak-bahagia iri tidaklah ditimbulkan oleh sifat² dari tabiat kodratinja, akan tetapi ditimbulkan oleh ukuran² dari suatu kebudajaan, dimana ia tak bisa melempiaskan bakat aselinja setjara bebas.
Orang² jang kita perbintjangkan itu, bukanlah se-kali² psychopath². Mereka itu hanjalah merupakan tjontoh² daripada kesukaran², jang dapat didjumpai oleh seorang peribadi, apabila bakat² aselinja tidak sesuai dengan apa jang dikehendaki oleh kebudajaannja. Kesukaran ini mendjadi masalah psikiartri, apabila kelakuan²nja itu dalam masjarakat jang tertentu tegas² dianggap sebagai kelakuan² jang abnormal. Tulisan² ilmuketabiban mengenai homoseksualitet chususnja memberikan aksen kepada neurose² dan psychose², jang mendjadi akibatnja dan dalam pada itu ditondjol pula kehidupan seksuil jang tak memuaskan dan kegagalan sosial dari si homoseksuil. Akan tetapi kita tjukup melihat sadja bentuk² kebudajaan lainnja untuk bisa mengetahui, bahwa kaum homoseksuil tidaklah perlu disisihkan dari pergaulan masjarakat, karena sifat² aselinja itu. Mereka ternjata tidak selalu orang² jang gagal. Ada masjarakat² jang memandangnja sangat tinggi dan terhormat. „Republik” dari Plato sudah barang tentu adalah suatu pembelaan jang tegas² tentang ketinggian deradjat homoseksualitet. Disana sifat homoseksuil ini dianggap salah suatu sjarat² jang paling utama bagi suatu kehidupan jang baik dan penghargaan moril jang tinggi dari kelakuan ini oleh Plato disokong adatkebiasaan² orang² Junani dizaman itu.
Orang² Indian Amtrika tidak sepaham dengan Plato mengenai penghargaan jang tinggi bagi kaum homoseksuil, akan tetapi mereka menganggapnja sebagai orang² jang mempunjai bakat² chusus. Disebagian terbesar Amerika Utara ada suatu lembaga jang dalam bahasa Perantjis dinamakan lembaga „berdache”. Kaum bantji ini ketika pubertetnja adalah anak laki², akan tetapi setelah itu mereka mengerdjakan pekerdjaan² dan mengenakan pakaian perempuan. Kadang² mereka itu kawin dengan orang² laki² lain dan hidup ber-sama² dengan mereka. Boleh djadi, bahwa ini mengenai orang² jang sifatnja berlainan, akan tetapi mereka itu adalah orang² jang bakat seksuilnja tak begitu kuat, jang telah memilih peranan ini supaja tidak diedjek oleh perempuan². Akan tetapi mereka tidak menganggapnja sebagai orang² jang mempunjai bakat² jang istimewa, seperti halnja dengan bantji² di Siberia, akan tetapi mereka memang dianggap sebagai pemimpin dalam beberapa pekerdjaan wanita, penjembuh² jang baik bagi penjakit² tertentu, atau dikalangan beberapa suku², dianggap sebagai organisator² jang serasi pada perajaan². Biasanja mereka itu, meskipun peranannja dalam adatkbebiasaan² itu sudah dianggap sewadjarnja dihadapi dengan perasaan jang ragu² djuga. Adalah dianggap agak menggelikan, bahwa mereka harus memanggilnja dengan panggilan wanita, meskipun mereka ini terkenal sebagai orang laki², apabila seperti halnja dikalangan Zuni, dimana mereka itu kalau meninggal dikubur dibagian laki². Akan tetapi bagaimanapun djuga, adalah suatu kenjataan, bahwa mereka itu mendapat kedudukan sosial. Dalam kebanjakan suku² terutama sekali diletakkan aksen kepada kenjataan, bahwa orang² laki² jang melakukan pekerdjaan² orang perempuan menghasilkan prestasi² istimewa karena itu sebagai pemimpin pekerdjaan² wanita dan dalam mengumpulkan bentuk² milik, mereka itu ulung diantara kaum wanita. Seorang bantji jang namarja Wehwa, sebagaimana jang dikatakan oleh temannja. Nj. Stevenson, „pasti dia itu peribadi jang paling kuat dikalangan orang² Zuni, baik djasmani maupun rohani”, adalah masjhur dalam generasi j.l. diantara bangsa itu. Ingatannja jang kuat sekali mengenai upatjara² mengangkat dia sebagai orang penting dalam peristiwa² keupatjaraan, sedangkan kekuatan dan kerjerdasannja mendjadi ia pemimpin dalam segala pekerdjaan. Dikalangan orang² Zuni, tidak semua bantji² itu perbadi² jang kuat dan sadar-diri. Beberapa diantara mereka itu melarikan diri dalam keadaan jang demikian itu untuk menutupi ketidakmampuannja untuk ikut serta dalam pekerdjaan² laki². Misalnja jang satu adalah hampir pandir, dan jang lainnja jang boleh dikatakan masih kanak², mempunjai raut muka halus seperti seorang gadis. Boleh djadi dalam masjarakat Zuni itu ada berbagai alasan mengapa seseorang mendjadi seorang berdache, akan tetap apapun alasannja, orang² laki² jang setjara terang²nja memakai badju permpuan, mempunjai kemungkinan² jang sama untuk bertindak sebagai anggota² jang aktif dari masjarakat seperti siapapun djuga. Sifat²nja mendapat pengakuan dari masjarakat. Djikalau ia memiliki sifat² jang istimewa, maka mereka bisa memperkembangkannja, sebaliknja, apabila mereka berwatak lemah, maka mereka itu gagal karena kelemahannja itu, dan tidak oleh karena kodrat aseli jang berlainan sifatnja.
Chususnja adalah dipadangrumput, dimana lembaga berdache Indian berkembang dengan pesatnja. Orang² Indian-Dakota mempunjai suatu peribahasa, jang kita² berbunji: „kekajaan² bagus seperti berdache”, ini adalah pudjian tertinggi terhadap kekajaan rumahtangga; seorang wanita manapun djuga. Berdache mempunjai dua sendjata pertama, ia ulung dalam pekerdjaan wanita, kedua, iapun bisa membantu rumahtangganja dengan djalan mendjadi pemburu. Oleh karena itulah, ia tergolong orang² jang paling kaja. Apabila orang memerlukan merdjan² dan kulit² terhias jang paling bagus untuk digunakan dalam upatjara², maka orang lebih menjukai hasil pekerdjaan seorang berdache daripada siapapun djuga. Faedahnja sebagai anggota masjarakat selalu diketengahkan. Seperti halnja dikalangan orang² Zuni, perhubungan orang² lain dengan bantji mempunjai dua tjorak, dan mengandung unsur² ke-ragu²an dan keseganan terhadap suatu situasi, jang dirasakan memang tak sewadjarnja. Akan tetapi ketjaman masjarakat tidak mengenai si berdache, akan tetapi mengenai orang laki² jang, hidup ber-sama² dengan dia. Ia dianggap sebagai seorang jang lemah jang memilih tempat-tidur jang enak daripada mengedjar tudjuan² jang diakui dari kebudajaannja. Sesungguhnjalah orang laki² ini tidak ikut membantu apa² bagi rumahtangga, karena semuanja telah dikerdjakan dengan se-baik²nja oleh berdache itu. Dalam mengetjam itu, mereka tidak menjinggung kehidupan-kelaminnja, kan tetapi hanjalah dilihat dari sudut sukses ekonomi ia mendapat ketjaman pedas.
Akan tetapi djikalau homoseksualitet dianggap sebagai hal jang berlawanan dengan kodrat, maka si homoseksuil itu segera mendjadi korban dari segala persengketaan², jang memang mendjadi bagian mereka jang sesat dan bingung. Perasaan-dosanja, kesadarannja bahwa INDIVIDU DAN POLA-POLA KEBUDAJAAN
meréka itu kurang-mampu dalam sesuatu hal, kesalahan2 jang dilakunnja, kesemuanja itu adalah akibat{{2}] ketjaman jang dilantjarkan kepadanja oléh tradisi masjarakat; dan hanja sedikit sadja orang jang bisa menuntut kehidupan jang memuaskan, apabila ia tak disokong oléh masjarakat. Penjesuaian, jang diminta masjarakat daripadanja, adalah demikian mendalam sifatnja, sehingga ini pasti menghabiskan dajahidup setiap orang, sehingga terdjadilah konflik2, jang lalu kita pandang sebagai akibat-langsung daripada homoséksualitétnja itu.
Dalam masjarakat kita trance juga dianggap sebagai suatu hal jang abnormal. Bahkan seorang mystikus ringan dalam peradaban Barat digolongkan sebagai orang jang abnormal. Apabila kita hendak menjelidiki peristiwa2 trance dan ajan dalam masjarakat kita sendiri, maka kita harus menjelidiki lukisan{{2}] tentang orang{{2}] abnormal. Oléh karena itu nampaknja, se-olah2 trance dan ajan itu tak bisa dipisahkan dari neurose dan psychose. Djuga seperti halnja homoséksualitét, hubungan ini hanjalah berlaku di-daerah2 kita dan dizaman jang tertentu pula. Bahkan dalam daérah-budajaan kita sendiripun, tak demikianlah halnja dizaman dahulu. Di Abad pertengahan peristiwa2 trance dianggap sebagai jang berharga, jakni pengalaman2 ekstase dianggap sebagai tanda kesutjian oléh Katholisisme. Orang2, jang pada kodratnja bertjenderung mendapat pengalaman2 sematjam itu, oléh karena itupun didorong dalam kariérenja, dan djusteru tidak terdjerat dalam persengkétaan2 jang mentjélakakan. Dizaman itu, pengalaman2 sematjam itu malahan berarti pengakuan adanja bakat jang bagus dan bukanlah tanda penjakit gila. Oléh karena itu, orang2 seperti itu berhasil atau gagal sesuai dengan ada-tidaknja kemampuan2 lainnja sedangkan pemimpin2 jang ulung dan ternama, djusteru karena pengalaman2 trance dipandang tinggi dan dihormati, biasanja mémang memiliki bakat itu.
Dikalangan bangsa2 primitif, sering terdjadi, bahwa pengalaman2 trance dan ajan mendapat penghargaan jang tinggi. Dikalangan beberapa suku2 Indian di Kalifornia hanja merékalah dianggap terpandang jang telah mengalami keadaan2 trance jang tertentu. Tidak semuasuku2 ini beranggapan, bahwa pengalaman2 itu hanja bisa terdjadi pada kaum wanita sadja akan tetapi anggapan jang demikian itu berlaku dikalangan orang2 Shasta, Sjaman2, jang paling terpandang dikalangan suku2 Shasta ini, semuanja adalah wanita. Meréka terpilih menjadi sjaman, djusteru karena meréka mempunyai ketjenderungan2 untuk mengalami keadaan-trance dan melakukan hal2 jang bertalian dengan itu. Seorang wanita dengan bakat-trance bisa se-konjong2 djatuh ditanah di-tengah2 pekerdjaannja se-hari2. Ia mendengar suatu suara, jang berbitjara kepadany dengan penuh kejakinan. Ketika ia menengok kebelakang, ia melihat seorang laki2 jang mengarahkan busur dan demikian, maka bakat untuk mengalami keadaan-trance mendjadi sifat jang utama dari orang2 jang paling dihormati dalam masjarakat, jang sangat terpandang dan mendapat penghargaan jang paling tinggi pula. Djusteru orang2 ajan inilah, jang dalam kebudajaan ini dipilih mendjadi pengusaha2 dan pemimpin2.
Disetiap bagian dunia ini, kita bisa menemukan tjontoh2 tentang manfaat, jang bisa dipunjai oléh ,,type abnormal" bagi suatu organisasi sosial. Di Sibéria beberapa suku jang tertentu dikuasai oléh sjaman2nja. Disana berlaku kejakinan, bahwa orang jang oléh kehendak roh2 disembuhkan dari sakit jang pajah — taraf permulaan penjakit ajan — dengan demikian mendapat kesaktian adikodrati dan kesehatan serta kekuatan jang tak bertara. Bisa terdjadi, bahwa orang2, jang merasa dipanggil (untuk mendjadi sjaman), ber-tahun2 mendjadi gila; jang lainnja lagi dalam djangkamasa itu kehilangan perasaan tanggung-djawabnja sedemikian rupa, sehingga harus ada orang jang menemaninja dimana ia pergi, untuk mentjegah djangan sampai tersesat dipadang saldju dan ahirnja menemui adjalnja karena kedinginan. Beberapa diantaranja berada dalam keadaan sakit dan kurus-kering, dan kadang² keringat berdarah keluar dari tubuhnja. Praktek sebagai sjaman mengakibatkan meréka itu sembuh, dan meréka menjatakan, bahwa djerih-pajah suatu séance Sibéria menjegarkannja kembali, sehingga ia segera bisa mengulangi séance itu. Serangan penjakit ajan dianggap sebagai bagian hakiki dari tiap2 upatjara-sjaman.
Suatu lukisan tua oléh Canon Callaway, jang ditjeritakan oléh seorang Zulu tua dari Afrika-Selatan, memberi suatu gambaran jang baik dari keadaan neurose jang dialami oléh sjaman, dan perhatian ditjurahkan oleh masjarakatnja kepadanja :
,,Orang laki, jang hendak mendjadi djuruobat itu, barada dalam suasana jang tertentu. Mula2 ia boleh dikatakan sehat dan kuat, akan tetapi lambat-laun ia mendjadi semangkin kurus, tidak oléh karena ia menderita sesuatu penjakit, akan tetapi karena ia semata2 halus sifatnja. Biasanja ia pantang makan djenis makanan tertentu dan dengan tjermat memilih jang ia senangi, dan inipun tak banjak pula. Tidak henti2nja ia mengeluh kesakitan diberbagai bagian tubuhnja. Ia mentjeritakan, bahwa ia bermimpi akan dihanjutkan oléh sungai. Ia banjak mimpi, dan badannja se-olah2 berlumpur (seperti kali) bahkan ia mendjadi rumah jang penuh dengan impian2. Selalu ia berpimpi tentang segala matjam peristiwa dan djika ia bangun, ia berkata kepada kawan2nja : ,,Sekarang ini tubuh saja berlumpur; aku bermimpi, bahwa banjak orang memukulku hingga mati dan aku tak tahu bagaimana aku terhindar dari maut itu. Ketika aku bangun, beberapa bagian tubuhku terasa lain dari bagian2 jang lain: tubuhku tak lagi sama rasanja disemua bagian" Pada suatu ketika, orang laki2 itu sakit pajah dan dimintalah pertolongan kepada djuruobat2.
Djuruobat2 itu tidak lekas mengerti, bahwa ia akan segera mendapat „kepala empuk" (jang berarti: sama perasanja seperti seorang sjaman). Meréka sukar sekali untuk memahami kebenaran itu lama sekali ia mengutjapkan suara jang katjau tiada artinja dan, banjak pula kata jang salah keluar dari mulutnja, hingga semua héwan jang dipunjai oléh orang sakit itu dimakan atas perintah meréka. Sebab meréka mengatakan, bahwa roh rakjatnja menginginkan héwan, jang boléh djadi makan makanan. Achirnja seluruh kekajaan sisakit itu habis, namun ia tetap sakit. Djuruobat tidak tahu lagi apa jang mesti diperbuat, sebab héwanpun sudah habis. Maka datanglah kawan2nja untuk menolongnja dan diberikannjalah barang jang diperlukan oléh sisakit.
Maka se-konjong2 datanglah seorang djuruobat, bahwa semua orang itu salah semua. Katanja: ,,Ia kesurupan roh2. Tidak apa2lagi selainnja itu. Roh2 itu masuk kedalam badannja. Inilah sebabnja ia terbagi dua; ada jang mengatakan: ,,Tidak, kami tak mau anakku disakiti. Kami tak mau itu. Itulah sebabnja ia sakit. Djika roh2 itu di-halang2i, meréka akan membunuh dia. Sebab ia tak akan mendjadi djuruobat; dan iapun tak akan mendjadi orang biasa lagi".
Maka bisalah terdjadi, bahwa orang itu sakit selama dua tahun, tanpa ada perobahan dalam keadaannja; kadang2 lebih lama lagi. Ia harus tinggal dirumah. Ini berlangsung terus hingga rambutnja rontok Badannja kering dan busikan, setab ia tak suka meminjakinja. Ini menundjukkan, bahwa ia akan mendjadi djuruobat, karena ia terus-menerus menguap dan bangkis. Tanda jang lainnja lagi ialah, bahwa ia suka sekali menghirup tembakau; setelah menghirup satu kali, ia kemudian menghirup lagi, dan demikian seterusnja. Maka orang2 mulai mengusahakan supaja ia mendapatkan apa jang diperlukan oléhnja.
Kemudian ia sakit lagi. Ia kena sawan; apabila ia digujur dengan air, sawan ini berhenti. Ia sering menangis, mula2 pe-lahan2, kemudian keras. Apabila orang sedang tidur, meréka dibangunkan oleh suaranja dan njanjiannja. Sebab ia telah mentjiptakan suatu lagu, dan orang2 laki2 dan perempuan bangun dari tidurnja, dan datang padanja untuk ikut serta menjanji. Semua orang didésa kurang tidur, sebab orang jang akan mendjadi djuruobat itu mengganggunja mémang ia tak tidur, karena otaknja selalu bekerdja. Hanja kadang2 sadja ia tidur sebentar dan apabila ia bangun, ia menjanjikan berbagai lagu; maka bangunlah orang2 jang berdiam tak djauh dari situ dan mendengarkan njanjiannja pada malam hari, dan mereka meninggalkan désa2nja untuk mengundjungi orang ini dan bernjanji bersama dengan dia. Pernah kedjadian bahwa ia menjanji sampai pagi, sehingga tak seorangpun jang bisa tidur. Ia melontjat kesana-kemari dalam rumahnja seperti katak dan rumahnjapun mendjadi terlalu ketjil baginja. Oleh karena itu, ia keluar rumah sambil me-lontjat2 dan menjanji, basah karena keringat dan menggigil seperti buluh dalam air.
Apabila sudah demikian keadaannja, maka setiap orang mengira ia se-waktu2 bisa mati. Ia mendjadi demikian kurusnja, sehingga tinggal tulang kulit sadja dan orang mengira, ésoknja ia akan mati. Selama djangkamasa itu, banjak sekali daging dimakan, karena orang2 hendak membantunja supaja ia mendjadi djuruobat. Namun achirnja ia-mendapat suatu mimpi, dimana muntjul seorang roh-nénékmojang. Roh ini berkata kepadanja: ,,Pergilah mengundjungi si anu, ia akan membuat adukan-susu (minuman, jang harus diminum pada pelantikan sebagai djuruobat) bagimu, sehingga engkau bisa samasekali mendjadi djuruobat." Kemudian ia tenang2 sadja selama beberapa hari, karena ia pergi mengundjungi djuruobat, jang akan membuatkan adukan-sușu baginja. Maka datanglah ia kembali, berobah mendjadi manusia baru, dan betul2 seorang djuruobat." Setelah itu, selama hidupnja, ia tetap dihinggapi oléh roh2, sehingga ia bisa meramalkan kedjadian jang akan datang bisa pula menemukan kembali barang2 jang telah hilang.
Kesemuanja itu menundjukkan, bahwa suatu masjarakat tertentu sangat menghargai type2 manusia jang samasekali tak-seimbang, dan bahkan oleh karenanja mereka itu berdjasa bagi masjarakat. Djikalau masjarakat mau menganggap keanéhan2nja itu sebagai variasi2 kelakuan2 manusia jang berharga, maka orang2 ini akan mempergunakan kesempatan ini sepenuhnja, dan memenuhi peranan sosialnja se-baiknja, lepas samasekali dari anggapan kita tentang watak2 jang mana jang bisa naik tangga masjarakat dan mana jang tidak. Meréka jang dalam masjarakat jang tertentu gagal sebagai anggota masjarakat, bukanlah orang2 jang mempunjai tjiri2 ,,abnormal" jang sudah tetap, akan tetapi bisa pula orang2 jang bakat kodratinja tidak dihargai oléh lembaga masjarakatnja. Kelemahan orang2 ,,abnormal" sesungguhnja sifatnja hanjalah semu. Kelemahan ini tidaklah disebabkan oléh tiadanja tenaga atau keulétan jang diperlukan, akan tetapi disebabkan, karena kenjataan, bahwa meréka itu adalah orang jang bakatnja tak sesuai dengan lembaga2 masjarakatnja. ,,Meréka itu", untuk mempergunakan kata Sapir, ,,terasing dari suatu dunia jang mustahil." Dalam literatur Eropah tokoh Don Quichotte melukiskan setjara tepat sekali manusia jang samasekali tidak diatuhkan oléh ukuran jang berlaku dinegerinja dan pada masanja dan oléh karena itu, telandjang, mendjadi korban édjekan dan tjemoohan. Cervantes mengarahkan lampusorotnja jang berupa serangkaian ukuran2 praktis jang baru kepada suatu tradisi, jang hanja setjara formil masih dihormati dan orang tua jang diangkatnja mendjadi pahlawan, pembéla orthodoks kaum satria romantik generasi lama, oléh karena itu mendjadi orang jang tak waras otaknja. Kitiran-angin terhadap mana ia berdjuang adalah lawan sengit dari suatu dunia jang baru sadja lenjap. Akan tetapi kenjataan bahwa ia berdjuang melawan mréka, ketika tak ada lagi orang jang menganggapnja serius, adalah suatu tindakan seorang gila. Ia mentjintai Dulcinea dengan tjara jang tepat bagi kaum satria, akan tetapi pada waktu itu sudah ada tjara lain untuk mentjintai seseorang wanita, dan tjinta asmaranja ditjemoohkan dan ditjap gila.
Dalam kebudajaan2 primitif, jang telah kita tindjau, dunia2 jang saling bertentangan itu terpisah dalam ruang satu sama lainnja; dalam sedjarah modérén Barat sering dunia2 jang saling bertentangan itu susul-menjusul dalam waktu. Pada hakikatnja, soalnja mengenai gedjala jang sama, akan tetapi kepentingan jang dihubungkan dengan pengertian ini lebih besar dalam hal dunia modérn déwasa ini, karena disini kita tak bisa melepaskan diri dari hal susul-menjusul dalam waktu, meskipun kita mengingininja. Apabila, seperti misalnja dalam kebudajaan Eskimo, tiap2 kebudajaan merupakan dunia tersendiri jang agak seimbang, jang setjara keilmubumian terpisah dari dunia lainnja, maka masalah ini bersifat akademis. Akan tetapi peradaban kita harus menghadapi ukuran2 kebudajaan jang surut didepan mata kita dan ukuran2 baru, jang berkembang dari suatu titik dikaki langit. Apabila kita setjara kaku berpegang teguh kepada suatu rumusan jang mutlak tentang moralitét, maka kita tak akan mampu memetjahkan masalah2 éthika, seperti djuga kita tak akan mampu memetjahkan masalah2 masjarakat manusia, selama kita mempersamakan pengertian2 setempat mengenai jang normal dengan keperluan-hidup jang pasti ada.
Belum pernah ada suatu masjarakat jang berusaha setjara sadar memimpin prosés, sehingga tertjipta ukuran2 tentang jang-normal dan jang tidak normal bagi génerasi jang akan datang. Dewey telah menundjukkan bahwa perentjanaan sosial seperti itu adalah mungkin dan menundjukkan pula betapa hébatnja. Adalah djelas sekali, bahwa beberapa lembaga2 sangat banjak mengakibatkan penderitaan dan keketjéwaan bagi manusia. Apabila lembaga2 ini hanja merupakan alat2 untuk mentjapai tudjuan dan bukannja merupakan imperatif2 kategori, maka adalah sebaiknja untuk menjesuaikannja dengan tudjuan2 jang dipilih setjara bidjaksana. Tidak begitulah jang kita lakukan, melainkan kita mentjemoohkan Don Quichotte² kita sebagai wakil² jang menggelikan dari tradisi jang sudah runtuh, dan kita selalu sadja mengganggap tradisi kita sebagai jang terachir (dan terbaik) dan telah ditetapkan oleh kodrat.
Akan tetapi dalam pada itu masalah therapeutis mengenai tjara menghadapi psychopath² sematjam ini, sering disalahpahamkan. Sering tidak mustahil untuk menghadapi persengketaan mereka dengan tjara jang lebih bidjaksana daripada memaksa mereka menjesuaikan diri mereka dengan ukuran² jang asing bagi mereka. Masih selalu tinggal dua djalan terbuka. Pertama, kita bisa mengadjarkan kepada orang sematjam itu untuk memandang ketjenderungan²nja sendiri dengan perhatian jang lebih objektif dan mengandjurkan kepada mereka untuk setjara tenang menguasai sifat² jang berbeda dari type jang umum. Apabila mereka itu achirnja bisa memahami bahwa penderitaannja itu disebabkan karena tiadanja sokongan dari pengertian² ethis tradisionil, maka ia lambat-laun akan bisa berusaha untuk menerima perbedaan dengan penuh kesataran. Baik emosi² type manis-depressif jang meluap² maupun kesunjian dimana type schizophren mengungkung dirinja sendiri mempunjai nilai jang tertentu bagi hidup ini, jang tak dimiliki oleh mereka jang orientasinja berbeda. Individu, jang tanpa mendapat sokongan, jang memang memiliki bakat pemberani dan menganut nilai² kesusilaan jang digemari, dengan begitu bisa mendapatkan djalan untuk berkelakuan setjara memuaskan, sehingga tak perlu lagi ia bersembunji dalam suatu dunia sendiri jang dibuatnja untuk dirinja sendiri. Dengan begitu lambat-laun iapun bisa bersikap lebih bebas dan kurang repot dalam menghadapi sifat²nja jang „abnormal” dan sikap ini bisa mendjadi dasar diatas mana ia bisa membangunkan penghidupan jang memuaskan.
Kedua, pendidikan diri sendiri sisakit itu dibarengi dengan toleransi jang lebih besar dalam masjarakat terhadap orang² jang bertype „abnormal”. Untuk ini banjaklah kemungkinan² jang bisa didjalankan. Tradisi bersifat neurotis, sama sadja dengan sisakit jang manapun djuga : ketjemasan ber-lebih²an terhadap abnormalitet² jang berbeda dengan ukuran² jang kebetulan berlaku mengandung segala tanda² psychopathis. Ketjemasan ini tak mau dibimbing oleh suatu pertanjaan kepada dirinja sendiri se-tjermat²nja, sampai dimana keseragaman itu diperlukan bagi kesedjahteraan masjarakat. Dalam kebudajaan² jang tertentu lebih banjak abnormalitet² individuil dibolehkan daripada dalam kebudajaan² lain, dan ternjata bahwa kebebasan jang lebih besar ini tidak merugikan masjarakat. Adalah sangat boleh djadi, bahwa dalam organisasi² sosial dimasadepan toleransi terhadap perbedaan individuil ini semangkin diperluas melebihi apa jang telah terdjadi dalam kebudajaan² jang telah kita kenal sampai sekarang ini.
Tendensi di Amerika sekarang bertjenderung kearah sebaliknja, sedemikian rupa, sehingga bagi kita tak mudah untuk mengira²kan perobahan² apa jang akan diakibatkan oleh sikap jang demikian itu.
„Middletown” adalah suatu tjontoh jang chas bagi ketjemasan² jang terdjadi di-kota² untuk agak berbeda sedikit sadja dari tetangga kita. Eksentresitet lebih ditakuti daripada parasitisme. Sampai² orang rela mengorbankan waktu dan istirahat asal sadja dalam keluarga tidak ada sesuatu jang sedikit sadja berbeda dengan orang² lain. Anak² disekolah mengalami tragedi² hebat sekali apabila mereka itu tak memakai kaus-kaki dari djenis jang tertentu, tidak beladjar dalam sekolah-tari jang tertentu atau tidak mengemudikan mobil dari merk jang tertentu. Motif jang berkuasa di Middletown ialah ketakutan untuk berbeda dari orang lain.
Dalam tiap² lembaga penjakit djiwa di Amerika, kita bisa melihat betapa besar korban² psychopathis jang diminta oleh tudjuan² dan motif sematjam itu. Dalam suatu masjarakat dimana motif sematjam ini hanja bersifat sekedar sadja diantara banjak motif² lainnja, maka gambaran psikiatrisnjapun akan lain sekali. Bagaimanapun djuga, tidak bisa di-ragu²kan, bahwa salah suatu obat jang mudjarab melawan beban jang berat berupa tragedi² psychopathis di Amerika dewasa ini ialah suatu program pendidikan pendapat umum, jang memadjukan toleransi dalam masjarakat dan memupuk sematjam kemerdekaan peribadi dan harga-diri, jang masih samasekali asing di Middletown dan tradisi² kota.
Sudah barang tentu, tidak semua psychopath² itu orang² jang bakat kodratinja bertentangan dengan peradabannja. Banjak diantara mereka termasuk golongan besar orang jang lemah, jang dalam pada mempunjai tjukup motif² jang kuat sehingga mereka tak mau menerima keadaannja. Dalam suatu masjarakat dimana nafsu dan hasrat akan kekuasaan mendarat penghargaan jang paling tinggi, maka sering kali mereka jang dinasibkan gagal, bukanlah orang² jang mempunjai orientasi jang lain sifatnja, akan tetapi orang² jang tidak tjukup mempunjai kapasitet². Kompleks-rendahdiri banjak menimbulkan kesedihan dan penderitaan dalam masjarakat kita. Untuk ini tidak diperlukan bahwa kurban² itu harus menderita penindasan dari nafsu² dan ketjenderungan² kodrati jang kuat : dalam hal mereka ini, persengketaan disebabkan oleh kenjataan bahwa mereka tak berhasil untuk mentjapai suatu tudjuan jang tertentu. Ini untuk sebagian djuga tergantung kepada kebudajaannja dalam arti, bahwa tudjuan² jang diketengahkan oleh tradisi kadang² bisa ditjapai oleh sedjumlah besar orang², sedangkan dalam beberapa hal lainnja hanja bisa ditjapai oleh beberapa orang sadja. Dimana tudjuan itu semangkin merupakan suatu obsési dan kemungkinan untuk berhasil mendjadi lebih terbatas, maka semangkin banjak orang jang akan mendjadi kurban dari kegagalan itu.
Mémang mungkin sadja, bahwa, apabila peradaban mensjaratkan tudjuan2 jang lebih tinggi dan barangkali lebih bernilai, maka djumlah meréka jang abnormal itupun bertambah. Akan tetapi segi mengatakan, bahwa pessimisme adalah suatu sikap jang ter-gesa2 karena masih begitu sedikit kemungkinan sosial dari toleransi maupun pengakuan adanja perbédaan2 individuil dipraktékkan. Bagaimanapun djuga, adalah djelas bahwa faktor2 sosial lainnja — jang baru sadja kita perbintjangkan — lebih langsung bertanggungdjawab bagi banjaknja orang jang neurotis dan psychotis, dan dengan mengingat faktor2 lainnja, maka djika mau, peradaban2 bisa menghadapi masalah ini, tanpa menderita kerugian2 jang hakiki.
Kita telah membitjarakan individu dilihat dari sudut kapasitét2nja untuk hidup setjara memuaskan dalam masjarakat dimana ia ditempatkan. Penjesuaian diri jang memuaskan ini adalah salah suatu ukuran, jang ditetapkan dalam klinik psikiatri untuk menetapkan normalitét. Akan tetapi dalam hal ini merékapun bertolak dari gedjala tetap jang tertentu dan orang bertjenderung untuk menganggap hasil rata statistik sebagai jang normal. Ini adalah hasil-rata2 jang dalam laboratorium dan jang tak sesuai dengan ini dianggap sebagai abnormal.
Tjara begini memanglah sangat berguna apabila kita memandang kebuaajaan tertentu lepas dari jang lain2nja. Ini memberikan gambaran klinis dari masjarakat dan menghasilkan banjak bahan2 tentang kelakuan2 jang dianggap terpandang oléh masjarakat. Akan tetapi soalnja adalah lain sekali, apabila kita menganggapnja kelakuan2 itu normal bagi semua kebudajaan. Kita telah mengetahui, bahwa dalam berbagai kebudajaan kadang2 jang termasuk „,normal" itu adalah kelakuan2 jang lain sekali sifatnja. Dikalangan suku2 Zuni dan Kwakiuti, perbedaan antara mereka ini adalah demikian besarnja, sehingga sedikit sekali ada titik-persinggungan. Jang menurut statistik dianggap normal di Pesisir Barat-Laut akan terletak samasekali diluar batas2 abnormalitét dikalangan suku Pueblo. Perlombaan dan persaingan jang normal dikalangan suku Kwakiut! dianggap gila oléh orang2 Zuni dan sifat atjuh-tak-atjuh jang tradisionil jang diperlihatkan oleh orang2 Zuni terhadap penguasaan dan penghinaan orang lain, akan dianggap oléh orang kalangan tinggi Kwakiutl sebagai hal jang bodoh dan gila. Kelakuan2 jang, menjimpang dalam kedua kebudajaan ini sukar untuk diperbandingkan satu sama lain, sebab ukuran jang dipakai untuk menetapkan jang normal dan jang abnormal adalah berbéda sekali. Tiap2 masjaraka sesuai dengan tudjuan²nja jang terutama, bahkan bisa memupuk gedjala² hysteris, ajan atau paranoia dan memperkuat gedjala² ini, dan dalam pada itupun semakin lama semakin bersandarkan orang² jang mempunjai tjiri² ini.
Hal ini adalah penting sekali bagi psikiatri, karena ia memusatkan perhatian kepada kelompok lain berupa individu jang abnormal jang barangkali selalu ada dalam tiap² kebudajaan : jakni orang² abnormal jang mewakili bentuk jang ékstrim daripada type kebudajaan setempat. Kelompok ini, dilihat dari sudut sosial djusteru menduduki tempat jang berb6da sekali dari kelompok, jang kita perbintjangkan diatas, jakni merdka jang ketjenderungan²nja bertentangan dengan ukuran² kebudajaan. Dalam hal ini masjarakat menjokorg orangs ini betapapun menjimpangnja kelakuan² meréka itu, dan bukannjr terus-menerus menentangnja. Meréka itu mempunjai suatu KeLebasan jang tak diganggugugat, jang praktis bisa meréka pergunakan sampai batas² jang tiada tertentu. Oléh karena itu, orang² ini tak pernah ditjapai oléh psikiatri d6wasa itu. Sedikit sekali kemungkinan kita bisa menemukan meréka dilukiskan dalam karja²-baku jang se-baik2nja dalam gdnerasi jang menghasilkan meréka itu. Padahal merdka itulah jang dilihat dari sudut pendirian génerasi atau kebudajaan lain, merupakan type² psychopathis jang utama dari masa itu.
Para alim-ulama puritan di New-England abad kedelapanbelas oléh pendapat umum dizaman itu samasekali tak digolongkan sebagai orang² psychopath. Hanja sedikit sadja ada kelompok, dikebudajaan manapun djuga, jang bisa mendjalankan diktaur intelldktuil dan émosionil demikian sempurnanja seperti meréka itu. Meréka itu adalah suara Tuhan. Bagi manusia moddr6n tentunja meréka itulah, dan bukannja wanitaz jang tersiksa jang dibunuhnja sebagai perempuan-sihir, jang merupakan psychopath² di New-England jang puritan itu. Perasaan-berdosa jang demikian hébatnja, jang meréka perlihatkan dan djuga jang mereka minta dari orang lain, baik dalam pengalaman² pertobatannja dan djuga pada orang jang ditobatkannja dalam masjarakat jang agak séhat hanja bisa didjumpai dalam rumah sakit djiwa. Merdka tak bisa melihat kemungkinan untuk menolong suatu djiwa, djikalau sang korban tidak sedemikian jakinnja tentang kedosaannja, sehingga dia, kadang² ber-tahun²-inenderita hebat karena perasaan ketjéwa dan tjemas jang sangat mengerikan. Adalah mendjadi tugas-kewadjiban alim-ulama itu untuk menanamkan ketjemasan akan neraka djuga dalam hati anak² ketjil dan mensjaratkan kepada orang² jang ditobatkan, bahwa iapun harus réla masuk neraka, djikalau ini mémang dikehendaki oléh Tuhan. Dimanapun kita membuka arsip² gerddja puritan di New-England, baik jang mengenai perempuan²-sihir atau anak² jang pasti masuk neraka, padahal merekaini masih berada dalam buaian, ataupun tentang neraka atau takdir, selalu kita berhadapan suatu kenjataan jang tak bisa diungkiri lagi, bahwa orang² jang memperkembangkan adjaran kebudajaan masa itu se-pesat²nja dan dalam pada itu mendapat penghormatan jang paling tinggi, sekarang diukur dengan ukuran² jang agak berobah dalam generasi kita, adalah se-mata² kurban dari pikiran-sesat dan hajalan jang tak bisa dimaafkan. Dilihat dari sudut-tindjauan ilmu perbandingan psikiatri, mereka itupun termasuk golongan abnormal.
Dalam generasi kita sendiri bentuk² ekstrim pemudjaan diri sendiri setjara itu pula dibenarkan oleh kebudajaan. Penulis² kita tak bosan²nja menggambarkan kepala² keluarga, anggota² kepolisian dan pedagang² sebagai orang² tjongkak dan egois² jang besar dan dalam tiap² masjarakat mereka itupun ada, ber-ribu² banjaknja. Kelakuannja, seperti halnja ulama² puritan, seringkali anti-sosial melebihi orang² gila, jang disimpan dalam rumah² sakit gila. Apabila kita membandingkan penderitaan² jang diakibatkan oleh kedua kategori ini, maka jang lebih djahat ialah akibat² jang disebabkan oleh apa jang dinamakan orang „normal” itu. Pada mereka njata sekali pasti ada sematjam kerusakan rohani. Namun mereka itu diberi kedudukan² penting, jang besar sekali pengaruhnja dan kebanjakan mereka itu adalah kepala² keluarga. Kerugian jang diakibatkan mereka itu kepada anak²nja sendiri dan masjarakatnja, sukar sekali diukur. Mereka itu tidak dilukiskan dalam buku² adjaran psikiatri, karena mereka itu disokong oleh seluruh anggota lembaga kebudajaan kita. Mereka itu demikian jakinnja kepada dirinja sendiri sebagai orang² jang mengikuti pedoman kebudajaannja sendiri. Meskipun demikian, psikiatri dimasadepan akan menggali roman² kita, surat² kita dan piagam² resmi kita untuk mendapatkan tjontoh² type abnormal sematjam itu, jang selalu ada dalam roman², surat² dan piagam² resmi itu.
Tindjauan² sosial tentang masa ini mempunjai tugas jang mahapenting untuk memberi gambaran jang tepat dari kenisbian atau relativitet kebudajaan. Baik dilapangan sosiologi atau psikologi hal² ini sangatlah penting, jakni hal² jang disebabkan oleh kenisbian kebudajaan itu. Oleh karena itu dibutuhkan sekali anggapan² jang sehat dan ilmiah tentang saling-perhubungan antara bangsa² dan tentang sifat² berobah dari ukuran² kita. Temperamen katjau dan tegang dizaman kita ini telah membuat suatu adjaran keputusan dari pengertian kenisbian kebudajaan dikalangan jang tak begitu luas, dimana kenisbian kebudajaan ini diakui. Orang menundjukkan konsekwensi²nja jang akan menghantjurkan chajalan² orthodoks mengenai kelestarian dan ideal² jang mutlak, seperti pula chajalan tentang otonomi individu. 240
POLA-POLA KEBUDAJAAN
kannja, bahwa djikalau ideal2 ini mesti ditinggalkan, maka hidup ini akan se-mata2 kosong belaka. Akan tetapi apabila kita menghadapi masalah setjara ini, maka kita akan membuat suatu kesalahan jang besar, jakni anakronisme. Memang adalah se-mata2 karena tertjekam dalam kebudajaan sendiri, jang menjuruh kita mengemukakan sjarat bahwa didalam jang baru itu harus ada unsur2 jang lama dan tiada. penjelesaian masalah jang lain, ketjuali harus diketemukannja kembali pegangan2 dan ketentuan2 lama dalam bentuk kebudajaan baru jang serbahidup itu. Pengakuan adanja kenisbian kebudajaan ini mempunjai nilai2nja sendiri, jang tentunja tak perlu sama dengan nilai2 jang dimiliki oleh para filsuf absolutis. Sudah barang tentu dengan demikian anggapan2 tradisionil diruntuhkan dan bagi mereka jang dibesarkan dan dididik dalam tradisi itu, memanglah ini sangat tidak €nak. Jakni menimbulkan pessimisme, karena rumusan2 lama dikatjau, dan bukan karena anggapan baru itu mengandung kesukaran2 jang hakiki. Segera setelah anggapan baru ini mendjadi umum, meréka akan mendjadi bénténg baru jang terpertjaja dari kehidupan jang baik. Maka kita akan rela menerima ko-éksistensi dan kesamaan deradjat ber-matjam2 anggapan2 hidup itu jang telah ditjiptakan ummat manusia bagi dirinja sendiri dari bahan2 kehidupan, sebagai asas2 kepertjajaan akan hari kemudian dan sebagai dasar baru bagi toléransi.
TAMAT