Lompat ke isi

Peraturan Umum Mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Umum Mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia  (1847) 
(Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie; disingkat AB)
S. 1847-23, diumumkan secara resmi pada tanggal 30 April 1847.

PERATURAN UMUM MENGENAI PERUNDANG-UNDANGAN

UNTUK INDONESIA

(Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie; disingkat AB).

S. 1847-23, diumumkan secara resmi pada tanggal 30 April 1847.

pasal. 1. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Raja atau oleh Gouverneur Generaal atas namanya, berlaku sebagai undang-undang di Indonesia, setelah diumumkan dalam bentuk yang ditetapkan dalam peraturan tentang kebijaksanaan Pemerintah. (ISR. 95; ISR ini kemudian diganti dg. IS.)

Pasal 2.

Undang-undang hanya berlaku untuk waktu kemudian dan tidak berlaku surut. (Ov. 1, 54 dst.; KUHPerd. 755, 1993; KUHP 1.)

Pasal 3.

(s.d.u. dg. S. 1915-299 jo. 642.) Sepanjang undang-undang tidak menentukan sebaliknya, hukum perdata dan hukum dagang berlaku sama baik untuk orang asing maupun untuk kaulanegara Belanda. (KUHPerd. 83, 945; Rv. 100, 128,580-10,761,872.)

Pasal 4.

Yang dimaksud dengan penduduk Indonesia oleh undang-undang ialah semua orang berkebangsaan Belanda yang bertempat tinggal di Indonesia; selanjutnya semua penduduk asli dan Indische Archipel sepanjang mereka termasuk berkebangsaan Indonesia dan akhirnya semua orang, tidak tergantung dan kebangsaan dari negeri asal mereka, yang dengan izin Pemerintah bertempat tinggal di Indonesia. (AB. 5 dst.; ISR. 160.).

Tentang cara untuk mendapatkan izin bertempat tinggal di Indonesia, begitu pula bagi orang yang berkebangsaan Belanda, diatur dengan ketentuan khusus untuk itu. (ISR. 160; S. 1916-47.)

Pasal 5.

(s.d.u. dg. S. 1915-299 jo. 642.) Orang-orang asing ialah mereka yang tidak termasuk sebagai kaulanegara Belanda. (AB. 4; ISR. 161; S. 1872-11; S. 1910-296.)

Pasal 6.

Pasal-pasal 6, 7, 8 dan 10 dianggap telah dihapuskan sehubungan dengan telah adanya pasal ISR. 163 jo. 160, begitu juga dengan adanya pasal-pasal AB 11 dan 12 dan ISR. 131.

Pasal 9.

telah dicabut dengan S. 1915-299 jo. 642.

Pasal 10.

(Lihat ad pasal 6 tersebut di atas.)

Pasal 11 dan 12.

Dianggap telah dihapuskan karena telah ada pasal ISR. 131. (Ov. 4; S. 1832-29.)

Pasal 13.

Telah dicabut dengan S. 1917-12.

Pasal 14.

Telah dicabut dengan S. 1920-69.

Pasal 15.

Dengan pengecualian mengenai ketentuan-ketentuan yang ditetapkan bagi orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dan orang-orang yang disamakan dengan itu, adat-kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali apabila undang-undang menyatakan hal itu. (KUHPerd. 395, 615, 642, 655, 665, 686, 691, 741, 745, 766, 769dst., 772, 1155, 1211, 1339, 1346dst., 1511, 1571, 1578, 1582dst., 1585-1587, 1599; KUHD 60, 644, 754; Rv. 470 dst.)

Pasal 16.

(s.d.u. dg. S. 1915-299 jo. 642.) Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku bagi kaulanegara Belanda, apabila ia berada di luar negeri. Akan tetapi apabila ia menetap di Negeri Belanda atau di salah satu daerah koloni Belanda, selama ia mempunyai tempat tinggal di situ, berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku di sana. (KUHPerd. 83.)

Pasal 17.

Terhadap barang-barang yang tidak-bergerak berlakulah undang-undang dari negeri atau tempat di mana barang-barang itu berada. (AB. 18.)

Pasal 18.

Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut perundang-undangan dari negeri atau tempat, di mana tindakan hukum itu dilakukan. (KUHPerd. 83, 945; KUHD 517c, 533c.)

Untuk menerapkan pasal ini dan pasal di muka, harus diperhatikan perbedaan yang diadakan oleh perundang-undangan antara orang-orang Eropa dan orang-orang Indonesia.

Pasal 19.

Semua akta otentik yang dibuat di hadapan Pejabat-pejabat Umum dari golongan kebangsaan Eropa, untuk kepentingan atau atas permintaan siapa saja, mengenai bentuknya berlakulah ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. (KUHPerd. 1868; IR. 165.)

Pasal 20. Hakim harus memutus perkara berdasarkan undang-undang.

Kecuali yang ditentukan dalam pasal 11, hakim sama sekali tidak diperkenankan menilai isi dan keadila.n dari undang-undang itu.

Pasal 21.

Hakim tidak diperkenankan, berdasarkan verordening umum, disposisi atau reglemen, memutus perkara yang tergantung pada putusannya.

Pasal 22.

Hakim yang menolak untuk mengadakan keputusan terhadap perkara, dengan dalih undang-undarg tidak mengaturnya, terdapat kegelapan atau ketidaklengkapan dalam undang-undang, dapat dituntut karena menolak mengadili perkara. (Rv. 859 dst.)

Pasal 22a.

(s.d.t. dg. S. 1918-234.) Kekuasaan hukum dari hakim, pelaksanaan dari keputusannya dan akta-akta otentik, dibatasi dengan pengecualian-pengecualian yang diakui sebagai hukum kemasyarakatan. (RO. 199.)

Pasal 23.

Undang-undang yang ada sangkut-pautnya dengan ketertiban umum atau tata-susila yang baik, tidak dapat dihilangkan kekuatan hukumnya dengan tindakan atau persetujuan. (ISR. 136; KUHPerd. 58, 119, 132, 139-143, 149, 283, 329, 879, 888, 891, 953, 1018, 1043, 1063, 1066, 1120, 1154, 1178, 1254, 1334 dst., 1337, 1494, 1635, 1653, 1853, 1947; Rv. 616.)

Pasal 24.

(Dianggap sebagai tidak tertulis, karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang).

Pasal 25.

Ketentuan-ketentuan pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran, begitu juga pelanggaran terhadap peraturan polisi, berlaku untuk semua orang yang berada di Indonesia. (AB. 32 dst.)

Dalam menerapkan pasal ini perlu diperhatikan perbedaan yang diadakan oleh undang-undang antara orang-orang berkebangsaan Eropa dan Indonesia.

Untuk yang disebut belakangan ini akan dijatuhi hukuman berdasarkan undang-undang Indonesia, apabila tidak mengenai kejahatan atau pelanggaran, mengenai hal mana diberlakukan ketentuan-ketentuan pidana bagi golongan kebangsaan Eropa.

Pasal 26.

Tidak seorang pun dapat dikenakan pidana atau dijatuhi keputusan oleh pengadilan untuk itu, kecuali dengan cara dan dalam hal-hal yang ditentukan dengan undang-undang. (ISR. 143; AB. 36; Sv. 370; IR. 294; KUHP 1.)

Pasal 27.

Yang berhak mengadakan tuntutan pidana hanyalah pegawai-pegawai yang menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang diberikan wewenang untuk melakukan tugas itu. (Sv. 2; IR. I dst.)

Pasal 28.

Kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang, mengenai pembayaran ganti-rugi yang diakibatkan oleh suatu kejahatan hanya dapat diajukan tuntutan perdata secara khusus. (KUHPerd. 1365, 1370dst., 1853; Sv. 16 174-5,354.)

Pasal 29.

Selama dalam proses tuntutan pidana, ditundalah tuntutan perdata mengnai ganti-rugi yang sedang ditangani oleh hakim perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh undang-undang. (KUHPer. 1370 dst., 1918 dst.; Rv. 165 dst.; Sv. 354, 409.)

Pasal 30.

Tuntutan pidana tidak dapat dihentikan atau ditunda dengan mengingat adanya gugatan perdata, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. (KUHPerd. 268, 1378, 1853; KUHP 280, 284, 332; Sv. 409.)

Pasal 31.

Pasal-pasal 31-33a, 34 termasuk ketentuan-ketentuan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 3 ay at (1) sub c dan Inv. Sw. (S. 1917-497.) dan karenanya dihapuskan.

Hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, dapat ditemukan berturut-turut dalam KUHP pasal-pasal 77, 78; KUHP 3-9 dan KUHP 76.

Pasal 35.

Tidak seorang pun dapat ditahan kecuali atas perintah yang berwenang atas dasar ketentuan dalam undang-undang hukum acara pidana, berdasarkan dan dengan cara seperti diuraikan dalam undang-undang tersebut. (ISR. 141;AB 36.)

Pasal 36.

Dianggap sebagai tidak tertulis, karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini.

Pasal 37.

Dianggap sebagai tidak tertulis, karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini.