Ordonansi Perlindungan Alam

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Ordonansi Perlindungan Alam
(Natuurbeschermingsordonnantie)
(S. 1941-167.)

Pas. 1. Untuk melindungi kekayaan alam yang ada di Indonesia, Gubernur Jenderal (sekarang dalam hal ini dapat disamakan dengan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup) dapat menunjuk suaka-suaka alam, yang dibedakan antara suaka margasatwa dan cagar alam, dan untuk itu diperlakukan ketentuanketentuan berikut ini.

Pasal 2. (1) Yang dapat ditunjuk sebagai suaka margasatwa adalah daerah-daerah yang tidak menjadi hak pihak ketiga, dan satwa (fauna), nabati (flora) atau pemandangan alamnya mempunyai nilai ilmiah, kebudayaan atau keindahan, sehingga untuk kepentingan umum dipandang perlu dilindungi. (2) Yang dapat ditunjuk sebagai cagar alam adalah daerah-daerah yang tidak menjadi hak pihak ketiga, dan keadaan tanah, pertumbuhan-pertumbuhan satwa dan nabati atau pemandangan alaninya mempunyai nilai ilmiah, kebudayaan atau keindahan, sehingga Petestariannya dianggap perlu untuk kepentingan umum. (3) Tambahan pula penunjukkan daerah-daerah yang menjadi hak pihak ketiga sebagai suaka margasatwa atau cagar alam hanya setelah mendapat persetujuan dari yang berhak.

Pasal 3. (1) Pengurusan suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam ada di bawah pimpinan umum Directeur van Economische Zaken (untuk selanjutnya ditulis Direktur Urusan Perekonomian), di Jawa dan Madura di bawah Dina, Kehutanan, dan di luar Jawa sepa@ang hutan-hutan negara di bawah Dinas Kehutanan dan selebihnya oleh Residen dan pejabat-pejabat yang ditunjuknya. Menyimpang dari ketentuan ini Direktur Urusan Perekonomian dalam hal-hal yang khusus dapat melimpahkan pengurusan kepada dinas pemerintah lainnya atau suatu badan hukum, sedang dalam pelaksanaan Pengurusan suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam termaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur oleh Direktur Urusan Perekonomian sedapat-dapatnya dengan musyawarah dengan pihak yang berhak menurut ketentuan dalam pasal 2 ayat (3) tersebut. (2) Oleh instansi-instansi yang mengurusnya berdasarkan ayat (1) ditunjuk untuk setiap suaka margasatwa dan cagar alam seorang pengurus setempat. (3) Apabila menurut pendapatnya diperlukan untuk melindungi kepentingan, untuk mana suatu daerah ditunjuk sebagai suaka alam, Gubernur Jenderal dapat membebaskan kabupaten-kabupaten di Jawa dan Madura dari pengurusan atas terumbu-terumbu sarang burung dan gua-gua kelelawar yang ada di daerah tersebut. (4) Selama belum ada pembebasan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat yang lebih dahulu, maka terumbu-terumbu sarang burung dan gua-gua kelelawar yang terdapat di Jawa dan Madura dikecualikan dari pengurusan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 4. (1) Dilarang memasuki suatu cagar alam, kecuali dengan mendapat izin tertulis dari pengurus setempat dan dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Apabila izin ditolak, dapat dimintakan banding kepada Residen yang bersangkutan. (2) Suaka-suaka margasatwa, kecuali ditentukan dalam ayat-ayat berikut pasal ini, terbuka untuk umum. (3) Setelah dirundingkan dengan Direktur Urusan Perekonomian, Gubernur Jenderal dapat menutup untuk umum seluruh atau sebagian suatu suaka margastawa. (4) Dalam hal-hal yang mendesak pengurus setempat dapat menutup seperti yang dimaksudkan dalam ayat di atas untuk selanjutnya dimintakan persetujuan Gubernur Jenderal. Untuk persetujuan selanjutnya ini diperlukan permusyawaratan dalam ayat di atas. (5) Penutupan suaka margasatwa seluruhnya atau sebagian diumumkan dalam harian-harian setempat. (6) Berdasarkan ayat (3) atau ayat (4) dilarang memasuki daerah tertutup, kecuali dengan izin tertulis dari pengurus setempat dan dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan. Terhadap suaka margasatwa yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal, izin ini dapat juga diberikan oleh penguasa setempat setelah bermufakat dengan pengurus setempat. Dalam penolakan perizinan dapat diajukan banding kepada Residen yang bersangkutan. (7) Ketentuan-ketentuan pelarangan dalam ayat (1) dan ayat (6) tidak berlaku bagi: a. mereka yang disebut dalam pasal 7 huruf a, b dan c; b. mereka yang disebut dalam pasal 7 huruf d dan pasal 9 huruf b, sepanjang yang dimaksudkan terumbu-terumbu atau gua-gua dalam pasal 3 ayat (4) terletak dalam daerah tertutup; c. mereka yang mendapatkan izin, seperti yang dimaksudkan dalam pasal 8; d. mereka yang tersebut dalam pasal 12 ayat (1).

Pasal 5. (1) Di dalam suaka margasatwa dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerusakan pada satwa, nabati atau pemandangan alam dan dengan demikian merugikan nilai suaka margasatwa. (2) Di dalam cagar alam dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan perubahan-perubahan pada keadaan tanah, pertumbuhan satwa atau nabati dan dengan demikian keasuan cagar alam terganggu. (3) Dilarang tanpa izin pengurus setempat berada dalam suaka margasatwa atau cagar alam dengan membawa anjing, senjata api, senapan angin atau senapan pir atau alat-alat berburu atau penangkap lainnya.

Pasal 6. Di dalam suaka margasatwa atau cagar alam dilarang berkemah atau membuat api unggun, kecuali untuk itu didapatkan izin tertulis dari pengurus setempat dan dengan mengindahkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

Pasal 7. Ketentuan pelarangan dalam pasal 5 tidak berlaku: a. terhadap mereka yang ditunjuk oleh Direktur Urusan Perekononiian dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukannya, berbuat yang dimaksudkan dalam pasal tersebut untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dan juga untuk lebih memenuhi tujuan suaka-suaka margasatwa dan cagar alam; c. terhadap mereka yang oleh pengurus setempat setelah mendapat kuasa dari Residen yang bersangkutan diberi tugas melakukan perbuatan yang diatur dalam pasal tersebut sepanjang tugas yang dibebankannya; c. terhadap mereka yang berdasarkan perjanjian tertulis dengan Direktur Urusan Perekonomian, dengan menutup pihak ketiga mempunyai hak dan dengan membayar jumlah tertentu menurut perjardian, berburu di dalam suaka margasatwa, sepanjang hak itu dilaksanakan di daerah yang dicantumkan dalam perjanjian tersebut dan dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan; d. terhadap mereka yang mendapatkan hak sewa tentang terumbu-terumbu dan gua-gua yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (4) dan mereka yang bekerja di bawahnya, sepanjang perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu diperlukan sekali untuk melaksanakan hak sewa itu dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian sewa.

Pasal 8. (1) Ketentuan pelarangan dalam pasal 5 juga tidak berlaku: a. terhadap mereka, yang berdasarkan persetujuan dengan Direktur Urusan Perekonomian, di Jawa dan Madura oleh Gubemur Jenderal dan di luar oleh Residen diberi izin tertulis dan sesuai dengan rencana yang disetujui dalam suatu suaka margasatwa mejalankan perusahaan atau ikut serta menjalankan perusahaan ini; b. terhadap mereka yang berdasarkan izin tertulis dari pengurus setempat mengumpulkan hasil hutan atau menggembala ternak dalam suaka margasatwa dan juga menangkap ikan di jalur pantai yang termasuk suaka alam; c. terhadap mereka yang berdasarkan izin tertuhs dari pengurus setempat dalam suaka margastawa atau cagar alam untuk tujuan ilmiah mengumpulkan tanaman-tanaman hidup, bagian tanaman atau binatang yang tidak bertulang belakang; sepanjang orang-orang itu mejalankan larangan-larangan seperti disebutkan dalam pasal itu yang dianggap perlu guna mencapai tujuan yang diuraikan dalam izin itu dan sepanjang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang dalam. izin itu diindahkan. (2) Izin yang dimaksud dalam anak kalimat pertama di bawah b daerah-daerah luar Jawa dan Madura dapat diberikan oleh Residen secara kolektif kepada penduduk setempat dari daerah-daerah atau kampung-kampung tertentu yang ditunjuknya. Residen dapat juga menyerahkan pemberian izin secara perorangan kepada penguasa setempat yang untuk itu bermusyawarah dengan pengurus setempat.

Pasal 9. Ketentuan-ketentuan pelarangan yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (3) tidak berlaku: a. terhadap mereka yang dimaksudkan dalam pasal 12 ayat (1); b. terhadap mereka yang ditugaskan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan apa yang ditentukan dalam pasal 7 huruf d, sepanjang mengenai membawa senjata api karena berhak untuk itu dalam hubungan dinas.

Pasal 10. (1) Untuk perizinan seperti yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (6), pasal 6, pasal 7 dan pasal 8 dapat dimintakan ganti rugi menurut cara yang ditentukan oleh Direktur Urusan Perekonomian dan menurut tarif yang ditentukannya. (2) Perizinan tanpa pembayaran danperizinan seperti yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) danayat (6), pasal 6 danpasal 8 ayat (1) huruf b, demikian pula permohonan-permohonan yang sehubungan dengan itu adalah bebas meterai.

Pasal 11. (1) Pelanggaran ketentuan pelarangan dalam pasal 5 dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus gulden. (2) Binatang-binatang, tanaman-tanaman danbarang-barang yang didapat karena pelanggaran yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disita; barang-barang atau binatang-binatang yang dipergunakan untuk melakukan pelanggaran, demikian pula alat-alat angkutan terhukum yang digunakan untuk melakukan pelanggaran, yang mempermudah, yang melancarkan pelanggaran tersebut, juga yang untuk mengangkut dengan melawan hukum, binatang, tanaman dan barang yang diperoleh, dapat disita. (3) Pelanggaran ketentuan pelarangan dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (6) dan pasal 6 dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya tiga minggu atau denda sebanyak-banyaknya seratus gulden. (4) Peristiwa tindak pidana yang ditentukan dalam pasal ini dianggap sebagai pelanggaran. (5) Hukuman yang diancamkan dalam ayat (1) danayat (3) dapat diduakalikan apabila pada waktu melakukan tindak pidana belum lewat dua tabun sejak ada keputusan yang terdahulu bagi yang bersalah karena melanggar ardonansi cagar alam dansuaka margasatwa, dan ketentuan-ketentuan tentang berburu, dan perlindungan satwa yang telah mempunyai kekuatan hukum. (6) Binatang-binatang hidup yang menurut ayat (2) dinyatakan disita harus dibebaskan, kecuali kalau menurut pertimbangan dianggap lebih baik diserahkan kepada kebun binatang yang ditunjuk oleh Direktur Urusan Perekonomian atau dibunuh. Binatang-binatang mati yang dirampas, kulit dan bagian-bagian tubuh lainnya, demikian pula tanaman-tanaman, bila mungkin, diserahkan kepada Direktur Kebun Raya di Bogor; bila tidak mungkin, semuanya dimusnahkan.

Pasal 12. (1) Selain mereka yang pada umumnya ditugaskan untuk menyidik tindak pidana, yang juga ditugaskan untuk menyidik tindak pidana dalam ordonansi ini ialah: 10. pegawai Pemerintahan Dalam Negeri yang ditunjuk oleh Residen;

20. Kepala Daerah Hutan dan mereka yang ditunjuk olehnya yang bekerja sebagai pegawai-pegawai dan petugas-petugas; 30. mereka yang ditugaskan mengurus suatu cagar alam atau suaka marga-satwa; 40. anggota-anggota Komisi Berburu seperti yang dimaksudkan dalam pasal 12 Ordonansi Berburu Jawa dan Madura 1940. (2) Kewenangan kepolisian mereka yang dimaksudkan dalam ayat (1) pada I dan21 tidak lebih meliputi daerah pekerjaannya. (3) Pegawai-pegawai dan mereka yang dimaksudkan dalam ayat (1) pada 1 sampai dengan 41 oleh atau atas nama Kepala Pemerintahan Daerah diberi tanda pengenal menurut model yang ditetapkan oleh Direktur Pemerintahan Dalam Negeri yang memuat kewenangan kepolisian.

Pasal 13. (1) Semua peraturan dantindakan berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa (S. 1932-17), sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan ordonansi ini, tetap berlaku sampai diganti dengan peraturan atau tindakan lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan ordonansi ini. (2) Dalam ordonansi-ordonansi, peraturan-peraturan pemerintah dan surat-surat keputusan yang menyebutkan: a. suaka alam; b. cagar liar; jika tidak ditentukan lain, harus dibaca: a. cagar alam; b. suaka margasatwa. (3) Pada saat berlakunya ordonansi ini, bagi pihak ketiga yang telah menjalankan hak, dalam suaka margasatwa tidak diadakan perubahan-perubahan kecuali setelah diadakan permufakatan dengan yang berhak.

Pasal 14. (1) Ordonansi ini dapat disebut Ordonansi Perlindungan Alam. (2) Ordonansi ini berlaku juga terhadap mereka yang termasuk golongan penduduk pribumi di daerah yang langsung dikuasai Pemerintah Pusat yang tunduk pada kekuasaan peradilan Indonesia asli.

Pasal 15. Ordonansi ini mulai berlaku pada hari dantanggal yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur Jenderal.