Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Ringkasan
Kasus Bank Century sungguh telah menyita perhatian dan tenaga bangsa ini. Apalagi setelah Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pembentukkan Panitia Khusus (Pansus) atas masalah ini. Beragam isu bertebaran di ruang-ruang publik termasuk di layar kaca (baca: teve) ketika stasiun teve seperti berlomba menyuguhkan siaran langsung (live) dari sidang-sidang Pansus dengan beragam saksi dan nara sumber. Laporan pandangan mata itu semakin membukakan mata publik akan apa sedang terjadi. Setiap pihak yang terkait masalah Bank Century sepertinya menyuguhkan alibi masing-masing yang cukup menyakinkan. Publik pun akhirnya menjadi bingung. Di luar pemberitaan media massa yang boleh dibilang hampir setiap hari dan saat menyiarkan perkembangan dari masalah ini, di ranah publik juga sudah beredar berbagai buku dengan beragam tajuk (seperti Buku Putih atau Membongkar Kotak Hitam BC dan lainnya). Beragam informasi tercetak itu, sudah barang tentu menambah khasanah pengetahuan publik akan duduk masalah ini dari sudut pandang masing-masing penulis dan penerbit buku tersebut. Dan bukan tak mungkin pasca Pansus akan terbit lagi buku-buku lain terkait persoalan BC ini. Hal ini sesuatu yang wajar saja di era reformasi sekarang ini. Dan, buku yang saat ini Anda baca pun mencoba mengajak pembaca melihat persoalan yang menimpa Bank Century dengan coba lebih terbuka dan jujur. Artinya, penulisan buku ini hanya mengusung satu kepentingan yakni bagaimana agar fakta dan informasi dari apa yang terjadi ketika itu dapat sampai ke publik sebagai bahan masukkan. Selanjutnya tinggal sidang pembaca yang menimbang dan memutuskan, apakah buku ini pantas untuk dijadikan referensi atau tidak. Pada bagian pertama buku ini coba melukiskan bagaimana kegagalan industri properti (sub-prime mortage) di Amerika Serikat menjadi pemicu kejatuhan institusi keuangan di negeri itu hingga menyeret dunia masuk dalam krisis skala global. Di era dunia yang serba telah menglobal dan menyatu, Indonesia pun tak lepas dari imbas krisis keuangan di AS. Berbagai indikator yang diperiksa memperlihatkan gejala memang kondisi kita sedang mengalami “peradangan” akibat krisis. Salah satu indikasi yang kasat mata adalah nilai tukar rupiah yang sempat mengoyak angka nilai tukar psikologis yakni Rp10.000. Cadangan devisi kita sempat menguap hampir Rp9 triliun hanya dalam waktu sekejab. Indikasi lain yang diteliti juga memperlihatkan gejala yang sama. Bursa Efek Indonesia sempat menyetop (suspen) perdagangan saham selama dua hari. Hal ini untuk menghindari kejatuhan indeks bursa lebih parah dan merontokkan modal sekitar 300 ribu investor lokal yang seketika menjadi “miskin” karena harga saham yang mereka pegang merosot hingga di atas 50%. Kondisi perbankan di dalam negeri pun sempat kocar-kacir dibuat. Ini terlihat dari keringnya likuiditas di pasar yang membuat bank-bank pun mengalami kesulitan mencari pasok dana segar. Bisa dibayangkan bila tiga bank besar BUMN sampai meminta “tolong” Pemerintah selaku bohir ketiga bank pelat merah itu, tambahan likuiditas. Ketiga bank itu masing-masing bank mendapat guyuran Rp5 triliun. Dalam situasi krisis kepercayaan masyarakat menipis dan rumor-rumor tak sedap terkait kondisi bank-bank semakin memperkeruh situasi ketika itu. Bukan hanya kepercayaan publik yang merosot, tapi juga antar sesama bank pun kehilangan kepercayaan itu. Hal ini dapat terlihat dari macetnya Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Bank-bank yang kelebihan likuiditas tidak berani meminjamkan dana mereka ke bank lain karena khawatir tak bisa dikembalikan. Situasi perbankan ketika itu betul-betul mencekam. Betapa gentingnya situasi itu juga dapat dilihat tatkala Dewa Gubernur Bank Indonesia menyalakan mekanisme Crisis Management Protocol (CMP) pada 29 Oktober 2009. Melalui mekanisme CMP laporan situasi terkini kondisi perbankan pun dilaporkan setiap saat dan detik. Dalam kondisi yang sedang krisis, BI selaku otoritas moneter pun berjaga-jaga mengantisipasi bila ada bank mengalami masalah, baik likuiditas maupun di luar itu. Untuk memberi ruang bagi perbankan agar lebih rileks dalam menghadapi krisis, BI menyempurnakan sejumlah Peraturan Bank Indonesia (PBI). Kelonggaran dalam hal Giro Wajib Minimum dari 7% menjadi 5%. Selain itu, BI juga mengendurkan syarat bagi bank yang ingin mendapatkan Fasilitas Pembiayaan Darurat tatkala likuiditas mereka kering. Pemerintah pun menerbitkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Setelah melihat sodoran fakta bahwa sebenarnya ekonomi Indonesia sedang mengalami “demam” akibat krisis moneter global, pada Bab 2, pembaca diajak melihat lebih jauh tentang sepak terjang pengawasan bank yang dilakukan BI. Bahwa ketika ada bank bermasalah, tudingan pertama telunjuk tangan masyarakat akan langsung mengarah kepada praktik pengawasan bank oleh BI. Bahwa bila ada bank mengalami masalah dalam perjalanan roda bisnsinya sejatinya adalah kenyataan yang wajar. Sebab, bisnis bank penuh dengan risiko. Makanya, bisnis bank harus dilakukan pengawasan. Bila tidak, bandit-bandit kerah putih akan mendirikan bank yang lalu dirampok sendiri dan dibiarkan sekarat. Disinilah letak krusialnya sebuah bank mestilah diawasi. Dalam melakukan praktik pengawasan bank, BI merujuk pada best practise yang berlaku di berbagai negara maju. Ada dua hal yang dilakukan Pengawas Bank BI yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision/CBS) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). CBS adalah model pengawasan berdasarkan kepatuhan bank untuk melaksanakan rambu-rambu yang ditetapkan BI dan prinsip kehati-hatian terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Sedangkan RBS, meneropong kinerja bank dari berbagai macam sudut pandang potensi risiko yang melekat dalam bisnis bank. Dari pengawasan merujuk dua cara ini akan diperoleh gambaran akan profil bank. Dan kalau pun dari kerja keras sekitar 700 Pengawas Bank di BI yang memelototi 125 bank yang diawasi, ternyata masih ada saja bank yang bermasalah hingga berstatus bank gagal, mestilah diteliti: apa akar masalahnya. Bank yang sedang bermasalah bisa bersumber dari dua hal, pertama dari sisi internal bank sendiri. Ketika pengawasan dan kontrol internal bank lemah dan manajemen bank menjalankan roda bisnis dengan menabrak banyak rambu-rambu kehati-hatian, akan sangat mungkin menghadapi masalah. Bisa juga bank terperosok jurang kehancuran karena digerecoki Pemeggang Saham Pengendali (PSP). Contoh terkait hal ini yang sedang aktual adalah apa yang dilakukan Robert Tantular terhadap Bank Century. Selaku PSP, Robert diindikasikan kerap mengintervensi kerja profesional pengurus bank. Selain faktor internal, sumber masalah di bank juga karena fakto eksternal. Faktor ini tidaklah sepenuhnya dapat dikelola oleh pengurus bank. Siapa yang bisa mengantisipasi atau mengendalikan sebuah krisis moneter yang telah memporakporandakan kinerja korporasi di dalam negeri yang nota bene adalah debitor perbankan. Situasi krisis ini telah membuat tumpukkan kredit macet perbankan meroket tajam. Atau, bisa juga ketika pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan atau aturan yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup debitor yang terkait langsung dengan likuiditas perbankan. Menangani sebuah bank bermasalah pun mesti dilihat akar pokok masalah di bank itu. Bila pokok substansi masalah adalah NPL yang melangit hingga melebihi angka 5%, atau persoalan yang lebih serius lagi yakni persoalan tata kelola (good corporate governance) yang tak berjalan baik hingga merugikan bank. Bila persoalan yang dihadapi bank masih dalam kategori ringan seperti NPL, Pengawas Bank hanya mengenakan status: bank dalam pengawasan intensif. Tapi, bila persoalannya sudah lebih serius lagi, maka BI akan menempatkan bank itu dalam status pengawasan khusus. Bila ada bank kecil yang gagal dan tidak sedang dalam kondisi krisis, sangat mungkin bank itu akan ditutup. Pada Bab 4 membahas kejatuhan Bank Century. Apa sesungguhnya membuat bank hasil leburan tiga bank (CIC, PIKKO dan Danpac) sampai ambruk? Pada bagian ini akan dipaparkan secara rinci dan kronologis mulai dari tahapan akuisisi ketiga bank tersebut oleh Chinkara Capital Ltd (CCL) hingga proses merger. Inti yang bisa dikatakan bahwa BC berstatus bank gagal karena lemahnya sistem pengendalian internal bank yang kebetulan diperparah oleh adanya krisis. Lengkaplah penderitaan BC. Bila permasalahan bank ini dalam kondisi normal, kemungkinan besar bank ini ditutup seperti almarhum Bank IFI, Bank Dagang Bali, Bank Asiatic dan Uni Bank. Situasi krisis seperti menjadi “save by the bell” bagi BC yang akhirnya diputus KSSK untuk diselamatkan dan berganti baju menjadi Bank Mutiara. Selain keempat topik tersebut, pembaca juga dapat melihat yang seperti apa sih sebuah bank sampai masuk kategori sistemik. Perdebatan panjang lebar terkait hal ini di publik, bisa akan diredam dengan suguhan kajian sistemik bank tersebut. Pokok soal lainnya yang dibahas adalah tentang untung rugi menyelamatkan BC dan alasan dibalik bank sentral merelaksasi kebijakan. Apakah tindakan relaksasi ini ada bau-bau untuk memuluskan kepenintangan kelompok tertentu atau tidak, silahkan diteliti pada tulisan box pelengkap naskah utama. (*)