Lompat ke isi

Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia
oleh Bank Indonesia
Bab 1: “Ketika Krisis Itu Datang Kembali ....”

Jono nggak habis pikir, kenapa ia sekonyong-konyong tidak boleh bekerja lagi. Padahal, sehari sebelum dirumahkan— begitu bunyi pengumuman pihak manajemen pabrik pada Oktober 2008—, Jono masih bekerja seperti biasa, bahkan masih lembur kerja. Bak petir di siang bolong nan terik di Surabaya yang panas, kabar berhenti bekerja itu diterima Jono. Alasan pihak perusahaan yang ia dengar dari sesama teman kerjanya yang juga terkena putusan itu, yaa ... karena perusahaan terkena dampak krisis ekonomi dan keuangan global.

Ia juga terus merenung mengapa dirinya yang sedang menanti kelahiran anak keduanya, yang mesti terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) itu. Jono juga tak paham betul alasan perusahaan merumahkan karyawan—yang katanya—terimbas dampak krisis ekonomi dan keuangan global. Orang kecil seperti dia jauh dari hingar-bingar pemberitaan krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi karena kegagalan bisnis properti dan hipotek di Amerika Serikat, awal tahun 2008. Dunia yang ia tahu hanya dari rumah kontrakan ke tempat kerja, begitulah dia menjalani keseharian hidupnya. Jono tidaklah sendirian meratapi nasib. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan selama krisis setidaknya sekitar satu juta pekerja di Indonesia kehilangan pekerjaan terimbas dampak krisis global. Seperti halnya Jono, bagi satu juta jiwa yang kehilangan pekerjaan, sulit menerima dan mencerna tali-temali antara kondisi yang menimpa mereka dengan ambruknya bisnis properti di AS, kok ya tega-teganya harus mereka yang kena getahnya. Bagi para buruh kecil yang hidup pas-pasan dengan gaji terkadang di bawah upah minimum regional, dapat menjalani hidup sampai bulan berikut tanpa harus ngutang sana-sini sudahlah bagus.

Dan bagi para buruh yang ter-PHK, mereka tak mau ambil pusing dengan hiruk-pikuk pemberitaan media massa (cetak dan elektronik) yang rajin mewartakan akan kedalaman ekses kegagalan bisnis properti di AS yang merembet hingga ke Indonesia bahkan sampai juga ke dapur mereka. Para buruh pun seperti tak mau tahu apa akar masalah krisis ini yang telah membuat hidup mereka sengsara. Segudang ketidak-tahuan rakyat kecil seperti Jono dan jutaan lainnya akan adanya keterkaitan erat satu negara dengan negara lain di era dunia yang menyatu.

Lima tahun sebelum dunia dihebohkan oleh kehancuran bisnis properti di AS, seorang ekonom terkemuka dunia yang juga pemenang hadiah Nobel, Joseph E. Stiglitz pernah mengingatkan ada indikasi tidak sehat terhadap perkembangan ekonomi di negeri Paman Sam. Ia melihat akan ada masalah dengan suku bunga rendah yang diberlakukan di sana, terlalu bergantungnya pertumbuhan ekonomi AS pada bisnis properti dan pengaturan industri keuangan yang longgar. Ketiga hal itu dikhawatirkan akan menjadi pemicu kebangkrutan ekonomi negara itu, dan mungkin juga merembet ke manca negara. Waktu pun berlalu. Apa yang dikhawatirkan Stiglitz mulai memperlihatkan indikasi yang mencemaskan. Kebangkrutan bisnis properti pun menjadi kenyataan. Pasalnya, kucuran kredit kepada warga AS untuk membeli properti melalui kreditor nonbank (sub-prime mortage) menjadi sumber pemicunya. Mengapa? Sebab, penduduk dengan penghasilan pas-pasan, yang dengan mudahnya syarat mendapat kredit kepemilikan rumah (KPR), akhirnya ramai-ramai memborong properti. Padahal tingkat bunga KPR sub-prime mortage lebih tinggi dari bunga bank.

Ketika debitor KPR di AS satu per satu mulai tak sanggup bayar bunga dan cicilan pokok, keresahan pun mengeruyak. Salah satu yang meradang dan kelimpungan adalah raksasa institusi keuangan seperti Lehman Brothers yang membenamkan dana sekitar US$60 miliar di bisnis sub-prime mortage ini. Maklumlah, Lehman Brothers bertindak selaku agen atau perantara antara mereka yang memiliki kelebihan modal (investor) dengan calon debitor sub-prime mortage di sektor properti.

Puncaknya, Senin, 15 September 2008, Lehman Brothers—sebuah institusi yang didirikan tiga bersaudara imigran asal Jerman: Henry, Emanuel dan Mayer Lehman sekitar tahun 1847—menyatakan diri bangkrut setelah gagal mendapatkan opsi Chapter 11 Protection. Protokol ini adalah mekanisme emergensi terhadap lembaga keuangan di AS yang mengalami masalah likuiditas meminta pertolongan otoritas moneter di sana. Dari sinilah pelintiran krisis seperti tiupan angin puting beliung Tornado yang imbasnya kemana-mana hingga ke Indonesia bahkan sampai pula ke satu juta pekerja yang kehilangan pekerjaan.

Indikator Ekonomi Pun Meradang

[sunting]

Berita kebangkrutan Lehman Brothers seperti sebuah virus yang cepat sekali menyebar dan merembet ke pelosok bumi ini tanpa kecuali. Satu demi satu industri keuangan yang ada kaitannya dengan bisnis properti di AS pun ikut meradang. Ekonomi AS pun memasuki era resesi yang memicu krisis ekonomi dan keuangan global. Dunia memasuki era resesi yang lebih parah pasca Perang Dunia II. Dan, negara seperti Indonesia pun tak lepas dari ekses resesi global tadi. Tindakan banyak perusahaan mem-PHK karyawan yang mencapai satu juta pekerja adalah bukti, Indonesia memasuki era krisis. Sebelum Lehman Brothers mengumumkan kebangkrutannya, nilai tukar rupiah masih anteng-anteng saja di level Rp9.000 per dolar AS. Memasuki pertengahan September, begitu terlansir berita Lehman Brother bangkrut, gerak-gerik rupiah mulai berfluktuasi. Puncaknya, rupiah sempoyongan menembus angka Rp12.650 per dolar AS pada 24 Nopember 2008. Meroketnya nilai tukar rupiah menembus angka psikologis (Rp10.000/dolar) sudah barang tentu membuat panik perusahaan-perusahaan nasional yang masih mengandalkan bahan baku impor dan para pemilik modal yang tergerus nilai nominal dana mereka.

Grafik 1: Pelemahan dan Volatilitas Nilai Tukar

Namun demikian, merosotnya nilai tukar rupiah tadi terkadang hanyalah dimaknai oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia sebatas mereka terpaksa menunda pembelian alat-alat elektronika yang melonjak harganya. Kenaikkan harga barang-barang ini pun memicu angka inflasi hingga sempat menyentuh 12,56% pada tahun 2008. Tapi, apa makna angka inflasi yang begitu tinggi itu pun terkadang tidaklah dimengerti tali-temalinya dengan kehidupan langsung masyarakat. Bahwa daya beli mereka telah lenyap digerus hantu inflasi, adalah kenyataan yang sering tak disadari. Atau, hantu inflasi yang membuat penduduk Indonesia semakin diambang kemiskinan ini dianggap seperti angin lalu saja. Apalagi ketika Bank Indonesia mengumumkan bahwa cadangan devisa tinggal US$51,6 miliar per Desember 2008. Padahal lima bulan sebelumnya (Juli 2008), masih tercatat US$60,6 miliar. Jadi menguap US$9 miliar atau mencapai sekitar 15 persen. Berita yang dilansir sebagian besar media massa nasional dan lokal ini, ternyata kurang sepenuhnya mendapat perhatian sebagian besar masyarakat kita. Mengapa? Karena publik tidaklah melihat keterkaitan langsung antara raibnya cadangan devisa dengan menipisnya asap dapur mereka. Padahal, menguapnya cadangan devisa yang begitu besar adalah harga mahal yang harus dibayar—oleh seluruh rakyat Indonesia— untuk menstabilkan keperkasaan uang mereka (rupiah) agar tak terus meloyo menghadapi dolar AS. Kalau mau dibeberkan, masih banyak lagi indikator-indikator lain yang memperlihatkan gejala meradang yang menjadi indikasi bahwa negara kita sedang terhisap pusaran krisis finansial global. Bagi mereka yang hiruk-pikuk di pasar uang, mahfum benar manakala resiko (credit default) negara Indonesia melemah hingga 1200 basis poin (bps). Penurunan ini sama saja dengan semakin sempitnya pintu masuk bagi Indonesia ke pasar uang dunia. Lho, kenapa? Ya, karena tingginya tingkat resiko membeli surat-surat berharga (obligasi, Surat Utang Negara/SUN dan lainnya) yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia atau dunia usaha swasta. Kalau pun ada investor global yang masih nekad mau membeli surat-surat berharga dalam negeri itu, biasanya menuntut imbal hasil (premi) yang cukup tinggi. Pusaran krisis global itu paling dekat menghajar bursa saham dan pasar keuangan. Bukankah masih segar dalam ingatan kita, banyak investor dalam negeri yang menaruh dana mereka pada saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang tiba-tiba mereka menjadi sering bengong dan muka masam hingga tutup tahun 2008 lalu? Maklumlah, boleh dibilang hampir merata bahwa sebagian besar investor lokal tadi tiba-tiba saja kehilangan aset mereka hingga 80%. Misalnya, Syamsul Komar, seorang pekerja swasta yang tinggal di Bogor, yang rajin bermain saham dua tahun lalu. Dana sebesar Rp100 juta ia belanjakan sejumlah lot berbagai saham perusahaan Indonesia yang terdaftar di BEI. Ketika harga saham pada terjun bebas terimbas krisis sub-prime mortage di AS, nilai saham yang ia pegang pun ambruk hingga kalau dihitung-hitung, nominalnya tinggal Rp20 juta. “Saya bangkrut,” ujar dia seraya mengangkat bahu tak tahu sampai kapan harga-harga saham akan pulih kembali. Syamsul Komar hanyalah salah satu dari sekitar 300.000 investor lokal yang menempatkan sebagian dana mereka di pasar modal. Nasib dari ketiga ratus ribu investor tadi boleh dibilang setali tiga uang dengan apa yang menimpa Syamsul. Banyak investor lokal yang sontak menjadi “miskin” gara-gara main saham. Harap maklum saja, krisis keuangan global ini menyeret kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI ke lembah kekelaman hingga penutupan akhir tahun 2008. Betapa tidak. Pada 8 Oktober 2008, IHSG terkoreksi hingga 10,38% atau menyentuh 1.451,7 yang membuat otoritas bursa mensuspen perdagangan efek dan derivatif hingga 10 Oktober 2008. Langkah suspen 2 (dua) hari kerja ini dimaksudkan untuk melindungi investor lokal seperti Syamsul Komar dan lainnya agar tak merugi lebih dalam lagi. Masih ada lagi indikator lain yang mempertontonkan betapa Indonesia memang sedang terhisap dalam pusaran krisis keuangan global. Bila melongok jumlah dana asing atau lazim disapa dengan hot money yang nangkring di SUN per 5 September 2008 tercatat Rp108,37 triliun. Selang waktu dua minggu kemudian (19 September 2008), nilainya melorot hingga Rp105,06 triliun. Itu artinya hanya dalam kurun waktu singkat terjadi pelarian hot money tadi hingga Rp3,31 triliun. Pasar SUN terus menipis yang membawa konsekuensi mesti menaikkan imbal hasil guna memancing daya tarik hot money tadi kembali. Kalau tadinya rata-rata yield SUN itu 11%, selama guncangan krisis banyak investor asing yang meminta hingga ke level di atas 13%.

Grafik 2: IHSG dan Imbal Hasil SUN Turun Tajam

Bukan hanya dari SUN bila ingin melihat Indonesia mulai dijauhi pemilik modal asing. Pada instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pun memperlihatkan gejala serupa dengan SUN. Bila Januari 2008, simpanan bank pada SBI dan SBI Syariah masih tercatat Rp 231,386 triliun, maka pada Desember tahun yang sama, angka itu merosot menjadi Rp 166,518 triliun atau turun Rp 64,868 triliun. Hal ini bermakna betapa kondisi likuiditas di bank-bank nasional memang sedang ketat dan mengkeret. Bank-bank asing pun memangkas pasokan dana yang ditempatkan di SBI dari Rp13,885 triliun susut jadi Rp9,466 triliun.

Gempuran Krisis Itu Menghajar Perbankan

[sunting]

Putaran krisis ekonomi dan keuangan global pasca kehancurah Lehman Brothers menimbulkan kekacauan dan kepanikan di pasar keuangan global, termasuk melibas industri perbankan di Indonesia. Di berbagai negara, aliran dana dan kredit terhenti, transaksi dan kegiatan ekonomi sehari-hari terganggu. Aliran dana keluar (capital outflow) terjadi besar-besaran. Indonesia yang saat krisis tidak memberlakukan penjaminan dana nasabah secara menyeluruh, menderita capital outflow lebih parah dibanding negara-negara tetangga yang menerapkan penjaminan dana nasabah secara penuh (blankeet guarantee). Aliran dana keluar itu membuat likuiditas di dalam negeri semakin kering dan bank-bank mengalami kesulitan mengelola arus dananya.

Grafik 3: Capital Outflow dan Kepemilikan Asing terhadap SBI dan SUN Turun Signifikan

Situasi krisis ketika itu sampai memukul bank-bank berskala besar. Pada Oktober 2008, ada tiga bank besar BUMN yakni PT Bank Mandiri Tbk., PT Bank BNI Tbk. dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk meminta bantuan likuiditas dari Pemerintah masing-masing Rp5 triliun. Total dana untuk menginjeksi ketiga bank tersebut sebesar Rp15 triliun. Dana tersebut bersumber dari uang pemerintah yang berada di BI. Bantuan likuiditas itu dipakai untuk memperkuat cadangan modal bank atau memenuhi komitmen kredit infrastruktur tanpa harus terganggu likuiditasnya. Maksud bantuan likuiditas Pemerintah ini agar ketiga bank pelat merah tadi tidak perlu mencari pinjaman dari luar negeri. Tapi yang paling menderita adalah bank-bank menengah dan kecil yang mengalami penurunan dana simpanan masyarakat. Dana itu lari ke luar negeri atau bank-bank besar, bahkan yang menarik sampai ada yang menyimpan di safe deposit box karena takut banknya ditutup. Kesulitan bank-bank menengah-kecil itu semakin diperparah ketika salah satu sumber pendanaan yang biasanya sangat diandalkan, yakni dana antarbank atau Pasar Uang Antar Bank (PUAB), berhenti mengalir alias macet. Kenyataan pahit ini masih diperburuk lagi dengan penurunan kualitas aset-aset yang dipegang bank. Hal ini pada akhirnya akan memukul modal bank. Pasalnya, surat-surat berharga yang dikuasai bank seperti SUN, nilainya merosot tajam.

Kondisi ketika itu semakin mencekam karena beredar rumor-rumor yang berseliweran via email, blog dan SMS perihal daftar bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Dalam suasana seperti itu, tingkat kepercayaan nasabah bank pun goyah yang diperlihatkan dengan aksi rush. Bahkan, ada seorang analis pasar dari sebuah perusahaan sekuritas yang ditahan kepolisian hanya karena dituduh menyebarkan rumor lewat email yang dikhawatirkan dapat memicu aksi panik masyarakat. Di tengah situasi krisis, sebuah isu kecil dapat menjadi pemicu dan pemacu sebuah krisis besar seperti yang terlihat pada aksi rush nasabah pasca penutupan 16 bank di tahun 1997/1998.

Grafik 4: Perkembangan Kredit & DPK Perbankan

Seretnya pasokan dana di masyarakat, membuat industri perbankan berusaha mempertahankan dana-dana (rupiah dan valas) yang mereka miliki guna mengantisipasi munculnya kewajiban seperti penarikan dana tunai deposan secara mendadak. Bank pun mulai berebut dana masyarakat melalui iming-iming tingkat suku bunga tinggi khususnya deposito (dari 6% menjadi 12% per tahun). Perang bunga antarbank pun tak terhindarkan. Walhasil, situasi ini menyeret kenaikkan tingkat bunga kredit yang memberatkan dunia usaha. Dalam kondisi biaya dana (cost of funds) yang semakin mahal, tiada pilihan bagi bank-bank untuk kudu riddho memangkas laba usaha mereka guna mempertahankan eksistensi diri di jagad belantara perbankan nasional. Bila merujuk data statistik BI per Desember 2008, laba bank-bank umum setelah pajak diperkirakan Rp30,61 triliun. Jumlah ini merosot Rp3,86 triliun bila merujuk angka perolehan laba sebulan sebelumnya (Nopember) yang membukukan sebesar Rp34,47 triliun. Penurunan laba ini terutama disebabkan beban biaya (cost of funds) yang semakin tinggi. Selain itu, sumber pemicu kerugian bank lainnya adalah transaksi valuta asing, terutama dolar AS. Pelemahan rupiah periode September ke Desember 2008 berakibat pada transaksi valas perbankan. Ketika rupiah jeblok sebagai imbas dari krisis global, sudah barang tentu sangat memukul kocek kas bank, termasuk Bank Century. Pada November 2008, ada SSB Bank Century yang jatuh tempo sebesar US$45 juta dan US$40,36 juta pada Desember 2008. Siapa pun yang dipercaya mengurus bank itu akan dibuat muntah-muntah bila mesti membayar beban utang valas tadi dengan kurs Rp12.650 per dolar AS. Dalam kondisi krisis, adalah wajar bila bank mengamati dan memelototi betul kinerja kredit yang disalurkan kepada debitor. Sebab dari bunga kredit setelah dipangkas kewajiban membayar bunga simpanan dan deposito itulah, bank mengandalkan pemasukan guna membiayai operasional. Mari ambil contoh sederhana saja, bila suku bunga kredit dipatok 15%, bunga deposito 12%, maka ada selisih 3% yang adalah pendapatan bank. Itu teori di atas kertas bila situasi dalam keadaan normal. Banyak kinerja perusahaan-perusahaan yang menjadi debitor perbankan nyungsep sampai ke landasan alias mengalami pemburukan kinerja sehingga tak kuat lagi bayar bunga kredit plus pokoknya. Walhasil, bank mesti gigit jari dan melakukan write-off serta menyisihkan pencadangan yang mengerus modal. Catatan kaki laporan keuangan bank pun diimbuhi tinta merah: rugi lagi ... rugi lagi. Dengan potensi kerugian finansial yang terus mengancam tak pelak ikut menyeret bank-bank masuk ke dalam lembah keambrukan. Untuk memberi kelonggaran bank dalam menghadapi situasi krisis, sejak 16 September 2008—sehari setelah Lehman Brothers mengajukan Chapter 11 Protection atau proteksi dari kebangkrutan—BI merilis serangkaian kebijakan krusial. Beberapa kebijakan utama yang dikeluarkan, misalnya, perubahan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 9,1% menjadi 7,5% yang terbagi atas GWM utama dalam rupiah sebesar 5% dan GWM sekunder 2,5%. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran likuiditas kepada perbankan guna bisa memainkan peran intermediasi.

Penerbitan Tiga PERPPU

[sunting]

Selain itu, Pemerintah juga merespon situasi krisis dengan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Ada tiga beleid yang dirilis. Pertama, PERPPU No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan guna mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kehadiran PERPPU ini memberi payung hukum bila ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas untuk mendapatkan suntikan dana segar.

Grafik 5: Rasio Alat Likuid

Kedua, PERPPU No.3 Tahun 2008 perihal perubahan atas UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang digunakan sebagai dasar menaikan nilai simpanan nasabah yang dijamin oleh LPS dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Kehadiran beleid ini pun semakin memberi rasa aman bagi deposan untuk tidak segera memindahkan dana mereka ke tempat lain. Meski banyak kalangan menyayangkan kenapa Pemerintah tidak memberi perlindungan total (blankeet quarantee) seperti yang dilakukan banyak negara (Singapura, Inggris, Korea Selatan, Cina, Amerika Serikat dan sejumlah negara Uni Eropa). Ketiga, PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penerbitan aturan ini untuk memberi jaminan ada penyelesaian bila ada bank atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang mengalami kesulitan likuiditas atau dinyatakan sebagai bank atau LKBB gagal yang dinilai berdampak sistemik. Selain itu, PERPPU ini juga mengatur pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI serta Sektretaris KSSK. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan adanya bank yang mengalami masalah likuiditas, BI menyempurnakan kembali sejumlah aturan. Misalnya, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/26/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Umum yang lalu direvisi melalui menjadi PBI No.10/30/2008 dan PBI No.10/31/2008 tentang Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) . Perubahan atas kedua beleid ini dilandasi upaya menangani dan meminimalisir dampak negatif krisis terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Tabel 1: Relaksasi Ketentuan

Krisis Semakin Mendalam

[sunting]

Tingkat keseriusan dan kegentingan kondisi perbankan terlihat ketika Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 29 Oktober 2008 memutuskan untuk mengaktifkan Protokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol/CMP). Dihidupkannya mekanisme CMP memberi sinyal kepada publik bahwa situasi memang sedang genting. Laporan data dan informasi ekonomi, moneter dan perbankan dimonitor secara intensif. Berbagai isu-isu sensitif terhadap perbankan pun terus dipantau. Melalui protokol ini, RDG bulan Nopember sudah mulai melakukan simulasi terhadap ketahanan industri perbankan dalam menghadapi gejolak ekonomi moneter dan indeks kestabilan keuangan (financial stability index). Untuk mengetahui kondisi perbankan nasional dalam menghadapi tekanan krisis, simulasi ketahanan likuiditas perbankan pun dilakukan terhadap sampel 15 bank besar, 18 bank menengah dan 5 bank kecil. Simulasi yang dilakukan adalah dengan memainkan skenario bila penurunan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 5%, diketahui ada 5 bank yang ekses likuiditas habis untuk menutupi penarikan DPK. Simulasi akan penurunan DPK pun dinaikkan menjadi 25%, terlihat ada 25 bank yang likuiditasnya ludes. Angka simulasi penurunan DPK pun didongkrak lagi ke level 50%, apa yang terjadi? Wahh .... cukup mengkhawatirkan. Ada 15 bank besar bakal rontok likuiditasnya, 14 bank kelas tengah yang sama nasibnya plus 5 bank papan bawah. Total 34 bank berpotensi kesulitan likuiditas.

Tabel 2: Ketahanan Likuiditas Bank

Simulasi yang dilakukan terhadap perbankan tadi, tidak hanya mencakup ketahanan likuiditasnya saja. Tapi juga terhadap fluktuasi suku bunga, fluktuasi nilai tukar dan kenaikan jumlah kredit bermasalah (NPL). Dengan lengkapnya gambaran situasi dan kondisi perbankan dalam menghadapi situasi krisis, BI pun mulai memantau bank-bank yang berpotensi mengalami masalah dan juga berdampak sistemik terhadap perbankan secara umum serta kondisi perekonomian. Dari sinilah berbagai langkah-langkah antisipasi coba dipersiapkan bila memang secara faktual ada bank yang benar-benar mengalami masalah. Menurut mantan Gubernur BI Boediono, apabila ada yang mengatakan bahwa pada bulan-bulan di tahun 2008 itu tidak ada krisis di Indonesia atau hanya krisis ringan saja, ia katakan bahwa yang bersangkutan tidak mengetahui keadaan atau tidak jujur. Ia pun mengingatkan kembali bahwa DPR ketika itu menerima dua PERPPU (PERPPU Amandemen UU BI dan UU LPS) menjadi UU. Bahkan, DPR juga meminta pemerintah segera mengajukan RUU JPSK. “Hal ini memperlihatkan bahwa DPR pun menyepakati bahwa kondisi saat itu adalah krisis dan menyetujui langkah-langkah pemerintah dan BI mengatasi situasi yang tidak normal,” papar dia. Dengan adanya payung hukum yang telah disetujui DPR memperlihatkan betapa Indonesia sudah jauh lebih siap dalam menghadapi situasi krisis. Koordinasi antarinstansi, menurut pengambaran Boediono, khususnya BI dan Departemen Keuangan, juga jauh lebih baik dibanding 12 (dua belas) tahun silam ketika krisis serupa. Dalam situasi krisis yang mendalam dan eksplosif, kebijakan yang diambil Bank Indonesia pun menitik-beratkan pada upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan pasar serta menghindari penutupan bank. Mengapa begitu? Sebab, bank sekecil apa pun apabila ditutup pada saat krisis berpotensi menjadi pemicu runtuhnya kepercayaan nasabah pada bank-bank lainnya. Makanya ketika Bank Century yang sempat masuk pasien pengawasan khusus BI yang lalu ditetapkan sebagai bank gagal (20 Nopember 2008) dan berpotensi sistemik, diputuskan harus diselamatkan. Tindakan penyelamatan bank kecil seperti Bank Century bukanlah an sich untuk menolong bank itu, tapi lebih karena untuk mempertahankan kepercayaan nasabah pada perbankan nasional. Dan putusan mengucurkan dana talangan dan menyelamatkan Bank Century dinilai praktisi perbankan sebagai tindakan yang benar. “Tidak ada seorang bankir pun yang menyatakan keputusan itu keliru, sebab ketika itu, bank sudah terjangkit penyakit yang namanya ketidakpercayaan. Bank-bank tidak mau lagi meminjamkan uangnya ke bank lain karena khawatir tidak dapat dikembalikan” ujar Sigit Pramono, Ketua Umum Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas) Boediono pun menandaskan bahwa kita tidak ingin mengulang kesalahan yang kita buat pada tahun 1997. Alhamdulillah, hal itu tidak terjadi. Bahkan, kata guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini, Indonesia dinilai oleh sejumlah lembaga internasional sebagai negara yang sukses mengelola perekonomiannya melewati badai krisis keuangan global. Dari mana hal itu dilihat? Ketika banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi minus atau nol persen, Indonesia mampu membukukan angka pertumbuhan 4 (empat) persen. (*)