Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940/Bab 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB V

REFLEKSI KONFLIK

SEBAGAI KONSEP ESTETIKA

Pada bab ini akan dibahas masalah konflik sebagai konsep estetika. Konsep estetika di sini mengacu pada konsep estetika secara umum, salah satunya seperti apa yang didefinisikan oleh Djelantik (1999:9) bahwa estetika adalah suatu ilmu tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan serta semua aspek keindahan. Alasan mengapa konflik disimpulkan sebagai konsep estetika akan diuraikan dalam bab ini. Selain itu, pada bab ini juga akan diuraikan secara ringkas tentang estetika Minangkabau karena bahasan dalam penelitian ini merupakan kajian terhadap masyarakat Minangkabau yang terefleksikan dalam novel berlatar Minangkabau.


5.1 Estetika Minangkabau

Amir (2000:4) menegaskan bahwa dalam khazanah sastra Minangkabau sebenarnya tidak ada kata estetika. Jika estetika diterjemahkan dengan keindahan, bahasa Minang-kabau pun hanya satu kali menyebut indah dalam bahasa

tradisinya, yaitu dalam pantun berikut.

nan kuriak kundi
nan merah sago
nan baiak budi
nan indah basa

Pantun tersebut mengandung makna bahwa yang baik adalah budi, sedangkan yang indah adalah bahasa. Pantun tersebut mengamanatkan pada kita semua bahwa baik dan indah itu sejalan adanya. Seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, begitulah budi dan bahasa itu dipandang. Budi yang baik akan melahirkan bahasa yang baik dan indah. Begitu pun sebaliknya, bahasa yang tidak baik akan memperlihatkan budi yang buruk. Dari sinilah muncul idiom budi bahasa (kiasan) kabau dipacik talinyo, manusia dipacik muncuangnyo (kerbau dipegang talinya, manusia dipegang mulutnya). Idiom itu mengandung arti bahwa kehormatan manusia ada pada kata-katanya. Seindah apa pun kata-kata manusia, jika tidak berbudi akan dipandang tidak baik juga. Begitu juga sebaliknya, biarpun berbudi jika tidak indah dipandang kurang sempurna. Setidaknya itulah yang diyakini oleh masyarakat Minangkabau.


Pembicaraan tentang estetika dalam sastra Minang- kabau sebaiknya dimulai dengan kato dalam budaya Minangkabau. Menurut Yusriwal (2003), secara linguistis kato dalam bahasa Minangkabau berarti kata dalam bahasa Indonesia. Selain itu, kato dalam bahasa Minangkabau jika dilihat secara kultural memiliki makna sebagai sebuah wacana yang mengandung kearifan, kristalisasi pengalaman, dan pengetahuan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam kebudayaan Minangkabau ada ajaran tentang kato, yaitu kato nan ampek (kata yang empat): kato mandaki, kato mandata, kato malereng, dan kato manurun. Unsur-unsur tersebut mengandung pesan agar menggunakan cara berbahasa tertentu untuk bertutur dan agar orang memperhatikan kawan bicara karena bahasa yang digunakan akan memperlihatkan budi pekerti penuturnya. Pengaturan tata krama dalam kato nan ampek bukan untuk membedakan antara bahasa bangsawan dan bahasa orang kebanyakan, tetapi hanya sebagai norma dan kaidah yang ada dalam masyarakat. Adapun "kato nan ampek" itu,yang oleh Navis (1984) disebut langgam kata, adalah (1) kato mandaki (kata mendaki): bahasa orang kecil kepada yang lebih tinggi kedudukannya, (2) kato manurun (kata menurun): bahwa yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi status sosialnya kepada orang kecil, (3) kato malereng (kata melereng): bahwa yang digunakan oleh orang yang posisinya sama dan saling menyegani, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena hubungan jabatan, serta (4) kato mandata (kata mendatar): bahasa yang digunakan oleh orang sebaya yang statusnya sama dalam hubungan akrab.


Menurut Amir (2000), dengan berpijak pada kato nan ampek, budi seseorang dinilai dari kearifannya memilih "model" bahasa yang akan digunakan untuk bertutur pada kawan bicaranya. Bahasa yang bermakna langsung (deno-tatif) hanya digunakan ketika bertutur kepada yang lebih muda ataupun kepada anak-anak, serta kepada sesama besar. Bagi mereka yang memiliki hubungan perkawinan ataupun orang yang lebih tua umumnya akan digunakan kiasan. Orang dianjurkan berbicara menggunakan bahasa kiasan, bukan berbicara secara bukak kulit tampak isi. Kebiasaan berbicara dengan menggunakan bahasa kiasan dan memahami kiasan tersebut akan membuat orang yang bersangkutan dipandang terhormat dan diperlakukan lebih daripada orang yang tidak paham.


Selanjutnya, Amir (2000) menyatakan bahwa apa yang diuraikannya tentang konsep estetika Minangkabau merupakan pemikiran awal yang memandang estetika dari sudut pandang pemilik seni tersebut. Apa yang diung- kapkannya merupakan sebuah tawaran bahwa suatu masyarakat mempunyai pandangan sendiri mengenai lingkungannya. Ukuran yang dapat dikenakan padanya adalah ukuran dari masyarakat itu sendiri. Konsep estetika Minangkabau dipaparkan dalam konteks yang seperti itu. Cara pengungkapan yang digunakan bukan semata-mata persoalan teknis, melainkan persoalan hakikat dari estetika tersebut.

Pembicaraan mengenai estetika Minangkabau membawa kita pada pembicaraan tentang kato, yang dapat berarti "kata", tetapi juga dapat diartikan sebagai pumpunan kearifan yang terwujud dalam bentuk kiasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kiasan merupakan kristalisasi pengalaman masyarakatnya, termasuk di dalamnya pengalaman estetis. Oleh sebab itu, kiasan dapat dikatakan menjadi inti estetika Minangkabau yang merupakan muara dari pengalaman estetis (Amir: 2000).

Apa yang dinyatakan Amir mengenai konsep estetika Minangkabau, juga diungkapkan oleh Fadlillah (2004). Namun, ia mengungkapkan keraguannya tentang konsep estetika Minangkabau yang banyak dirumuskan orang dalam bentuk nan kuriak kundi, nan merah sago, nan baik budi, nan indah baso. Benarkah hal itu menujukkan sesuatu yang Minangkabau karena paradigma seperti itu juga dipakai oleh orang Melayu. Konsep estetika Minangkabau itu tampak sebagai sesuatu yang Melayuistik. Menurutnya, jika hal tersebut diragukan, mungkin estetika Minangkabau itu akan diajukan pada paradigma lanak diawak katuju diurang. Sebuah konsep estetika kolektif yang ia duga dipakai di dunia Melayu.

Selanjutnya, Fadlillah (2004) menguraikan bentuk estetika Minangkabau, seperti apa yang diungkapkan oleh A.A. Navis dengan falsafah alam takambang jadi guru. Falsafah dan adat Minangkabau tersebut berdasarkan pada seluruh pepatah dan fatwa adat, berdasarkan ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata saja. Cara berpikir mereka adalah raso jo pareso (rasa dan periksa), yaitu berpikir rasional. Namun, ia juga meragukan apakah itu benar estetika Minangkabau karena hal seperti itu juga berasal dari filosofi Budha. Jadi, yang manakah sebenarnya estetika Minangkabau itu? Dalam hal ini ia menawarkan sebuah konsep estetika Minangkabau yang mengacu pada apa yang disimpulkan oleh Faruk H.T. mengenai estetika, yaitu estetika konflik. Pembahasan tentang estetika konflik ini akan diuraikan pada bagian berikut dari uraian itu dengan sendirinya akan memperlihatkan konsep estetika Minangkabau.

5.2 Estetika Konflik

Konflik adalah salah satu unsur pembawaan dan keberadaannya sangat urgen dalam kerangka peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kehidupan tidak dapat berjalan dengan tegak tanpa adanya konflik. Ia sangat penting bagi manusia yang memiliki struktur tubuh yang terdiri dari akal, roh, dan raga, yang masing-masing memiliki tuntutan dan keinginan yang beraneka ragam. Keinginan manusia sangat tidak terbatas. Manusia menuntut dibebaskan dari berbagai penyakit, malapetaka, dan kekuatan alam agar ia dapat hidup. Manusia pun menuntut kehormatan lain bagi kehidupan, yang pada akhirnya justru menghadapkan mereka pada realitas yang sangat pelik dan kompleks.

Di satu sisi, mereka dihadapkan pada keburukan yang sudah menjadi hakikat alam. Di sisi lain, juga ada kebaikan yang bakal menghadapi keburukan itu sehingga mereka dapat bertahan hidup bahkan mengusainya. Konflik bukanlah sebagai tujuan. Ia hanya sebagai sarana untuk memadukan antara berbagai hal yang saling bertentangan untuk membebaskan kehidupan manusia dari kepentingan individual dan kejelakan sehingga secara berimbang mereka dapat dibawa menuju jalan yang terang dalam kehidupan mereka (Yazid, 2003).

Uraian tersebut memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya konflik dalam realitas kehidupan manusia. Ia menjadi sarana untuk memadukan berbagai hal yang saling bertentangan menuju suatu harmoni dalam kehidupan menusia. Hal itu menujukkan kepada kita adanya unsur keindahan dalam konflik tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa konflik sesungguhnya dapat menjadi sistem estetik juga. Terungkapnya konflik sebagai konsep estetik dapat dibuktikan, tidak saja melalui kehidupan nyata, tetapi juga terdapat dalam karya sastra yang merefleksikan kehidupan manusia. Seperti apa yang dicontohkan oleh Faruk (1988) lewat sebuah drama yang berjudul "Orde Tabung" yang dipentaskan oleh teater Gandrik.

Drama tersebut mampu memesona penonton dengan daya pukau konflik antara dua hal yang saling bertentangan, yang tidak mungkin tercampurkan, seperti air dengan minyak. Dalam sebuah pertunjukan, pada hakikatnya yang dituntut adalah pertentangan antara jiwa dan raga, keharusan menangis dan keinginan untuk tidak memperlihatkan tangis secara fisik.


Hal itu juga terlihat dalam novel berlatar Minang-kabau. Kecenderungan seperti itu biasanya disebut "panas yang mengandung hujan", seperti yang diungkapkan oleh Iskandar (2002:83) berikut ini.

Maninjau berpadi masak,
Batang kapas bertimbal jalan
Hati risau dibawa gelak,
Bak panas mengandung hujan.

Kutipan di atas memberi gambaran kepada kita bahwa bagi orang Minang, terutama kaum laki-lakinya, penderitaan merupakan bagian integral dari kebudayaan dan sistem kultural. Kalau penderitaan itu tidak ditahan, dibawa menangis, yang muncul hanya kecenderungan yang melanggar konsep kelaki-lakian. Selain itu, perbuatan menangis karena penderitaan hanya akan membuat orang lain merasa kasihan. Sementara itu, orang Minang pantang dikasihani, pantang menjadi pengemis.


Kehidupan masyarakat Minangkabau memang penuh dengan konflik. Paradigma konflik ini juga berakibat pada kepribadian orang Minang, laki-laki dan perempuan, yang menurut Pariaman (1989) mengalami kepribadian yang terbelah (split personality). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya orang Minang mengalami kepribadian yang terbelah tersebut. Salah satunya adalah persoalan adat yang mengajarkan orang Minang "tegak di kaum memagar kaum, tegak di suku memagar suku, tegak di negeri memagar negeri. Sehina semalu. "Kalau tanah sebingkah sudah berpunya, kalau rumput sehelai sudah bermilik, hanya malu yang belum berbagi". Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari apa yang diperlihatkan tidaklah sesuai dengan ajaran adat tersebut. Rasa keakraban dan kekerabatan hanyalah terhadap keluarga dekat saja, lebih dari itu dianggap orang asing.

Konflik dalam masyarakat Minangkabau terjadi di berbagai aspek kehidupan. Konflik tersebut juga terjadi antara adat dan Islam sebagai agama yang dianut oleh orang Minang. Menurut Abdullah (1987), sifat ganda dari posisi adat dan juga Islam tidak dapat dipahami secara tepat tanpa memperhitungkan fungsi konflik dalam masyarakat secara keseluruhan. Bagi masyarakat Minangkabau, konsep tentang konflik tidak sekadar diakui, tetapi juga dikembangkan dalam sistem sosial. Konflik dipandang secara dialektis, sebagai unsur hakiki untuk tercapainya integrasi masyarakat.

Dalam karya beberapa pengarang Minangkabau terlihat adanya usaha untuk menyerasikan dua komponen tersebut. Mereka berusaha membuktikan bahwa agama Islam dan adat tidaklah saling bertentangan. Agama Islam melengkapi adat dan sintesis antara adat dan agama tidaklah sama dengan kombinasi air dan susu, tetapi sebagai campuran air dan minyak dalam susu (Abdullah, 1987).

Estetika konflik bagi orang Minang bermuara pada persoalan epistemologi, sebuah rumusan dari alam pikiran orang Minang. M. Nasroen merupakan salah seorang yang berhasil merumuskan persoalan epistemologi tersebut. Ia meyakini adanya "keseimbangan dalam pertentangan". Hal senada juga diuraikan oleh Pariaman (dalam Fadlillah, 2004) yang menyatakan bahwa pada perimbangan terdapat suatu keadaan dan kesatuan yang baru. Hal inilah yang disebut oleh Faruk (1988) sebagai estetika konflik.

Nasroen dapat dikatakan berhasil merumuskan suatu kajian terhadap kebudayaan, adat, dan realitas kehidupan orang Minang secara sistematis. Realitas konflik sebagai suatu keseimbangan memang tidak dijumpai dalam bangsa Melayu lainnya. Hal itu hanya ditemukan di dalam masyarakat Minangkabau. Inilah yang disimpulkan oleh Fadlillah (2004) sebagai estetika Minangkabau, yang memang lahir dari alam pikiran masyarakat Minang sendiri, bukan dari alam pikiran Melayu.

Konflik merupakan sistem estetik Minangkabau, baik di dalam seni sastra maupun seni rupa (Faruk, 1988). Estetika konflik itu berbeda dengan dialektika yang cenderung meleburkan pertentangan. Ia juga berbeda dengan koe sistensi yang cenderung merupakan keseimbangan sementara dari pertentangan. Konsep keseimbangan dalam pertentangan yang dikemukakan Nasroen (1971), yang menjadi dasar dari estetika konflik tersebut, cenderung merupakan keseimbangan abadi tanpa harus melenyapkan berbagai pertentangan yang ada.

Fadlillah (2004) mencoba menjawab mengapa paradigma estetika konflik itu muncul dan dari mana dirumuskannya. Menurutnya, orang Minang dalam kesehariannya selalu dihadapkan dalam sistem "keduaan", yaitu pertentangan matrilineal dan patrilineal, sistem dua laras (Koto Piliang dan Bodi Caniago), otokrat dan demokrat, pertentangan adat dan agama, serta pertentangan Luhak nan Tigo dan Rantau. Namun, berbagai bentuk "keduaan" yang dihadapi oleh orang Minang selalu dapat diselesaikan menjadi "keesaan". Itulah inti konsep keseimbangan dalam pertentangan tersebut.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi konsep keindahan bagi orang Minang adalah suatu konsep yang disebut Fadlillah (2004) sebagai konsep realitas yang dinamik dalam equalibrium. Sesuatu yang seimbang dalam pertentangan di mata orang Minang adalah indah. Bagi orang Minang konflik adalah realitas yang harus diterima apa adanya dan harus dihadapi dengan jantan. Realitas bagi orang Minang bukanlah suatu yang damai yang bisa membuat mereka bahagia. Akan tetapi, realitas atau dunia adalah konflikyang harus dihadapi. Hal ini sangat berbeda dengan filosofi Budha yang menganggap realitas adalah sesuatu yang equalibrium. Orang Minang melihat alam ini sebagai sesuatu keindahan dari sudut pandang konflik. Air sungai yang tenang dan indah dilihat sebagai suatu yang menghanyutkan. Jadi, air yang tenang menghanyutkan. Namun, bagi orang Budha melihat keindahan alam, akan menghadirkan diri sebagai suatu keseimbangan alam dan kemudian pergi dan tidak merusaknya. Lain lagi dalam estetika barat yang ketika melihat keindahan alam, mereka melihatnya dalam estetika obyektif, yaitu keindahan adalah sebagai suatu yang obyektif yang berada di bawah taklukan dan eksploitasi. Jadi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa estetika konflik Minangkabau berbeda dengan estitika konflik barat yang cenderung memisahkan konflik dengan keseimbangan. Begitu juga halnya dengan keseimbangan bagi orang Minang yang berbeda dari egualibrium orang Budha.