Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB IV

ANALISIS KONFLIK:

KONSEP ESTETIKA

NOVEL BERLATAR MINANGKABAU

Orang Minang memiliki kecenderungan untuk hidup dalam alam pikiran yang penuh dengan konflik. Konflik tersebut terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Minang, baik di dalam lingkungan yang lebih besar maupun konflik yang terjadi di dalam lingkungan yang lebih kecil. Di dalam lingkungan yang lebih besar, konflik tersebut dapat berupa pertentangan antara kecenderungan disharmoni dan harmoni. Kecenderungan disharmoni tersebut terbangun oleh konsep harga diri, malu, dan kehidupan bersuku-suku. Sementara itu, kecenderungan harmoni terbangun oleh konsep budi dan sistem perkawinan eksogami. Pertentangan antara dua unsur yang berlawanan inilah yang sering melahirkan konflik di tengah masyarakat Minang.

Dalam lingkup yang lebih kecil konflik tersebut sering muncul dalam berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti konflik antara kehidupan kampung dan rantau serta konflik antara mamak dan kemenakan. Konflik tersebut sering terjadi pada diri laki-laki Minang. Hal itu disebabkan dalam sistem matrilineal laki-laki berada pada posisi sosial yang terombang-ambing. Laki-laki berada pada posisi yang terkatung-katung antara dua tanggung jawab yang mendua. Laki-laki diharuskan merantau, meninggalkan rumah, meninggalkan anak, kemenakan, kaum kerabat, dan kampung halaman yang dicintai untuk memperlihatkan rasa tanggung jawabnya sebagai laki-laki.

Ketegangan antara kecenderungan disharmoni dan harmoni yang pada akhirnya menimbulkan konflik, sejajar pula dengan konsep orang Minang mengenai adat dan sejarah. Konsep adat dan sejarah masyarakat Minang mengalami perkembangan secara spiral. Konsep tersebut diilhami oleh proses perkembangan alam "patah tumbuh, hilang berganti". Suatu proses yang sewajarnya terjadi serta membuktikan bahwa sesuatu yang patah akan tumbuh kembali dan sesuatu yang hilang harus diusahakan gantinya. Hukum perkembangan yang bersifat spiral tersebut mengandung makna bahwa dahan dan buah baru yang tumbuh dan menggantikan dahan dan buah yang lama itu tidaklah berbeda, tetapi sesungguhnya merupakan sesuatu yang baru. Akan tetapi, konsep perkembangan secara spiral itu juga telah melahirkan ketegangan antara sifat permanen dan perubahan antara yang lama dan baru.

Alam pikiran masyarakat Minang yang penuh dengan konflik tersebut tentu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Minang. Hal itu terlihat jelas dalam diri orang Minang dalam menatap dan memahami kehidupannya. Konflik yang membangun alam pikiran orang Minang menjadi perspektif yang khas, sesuatu yang istimewa, bagi masyarakat Minang dalam mengatur dan menjalani kehidupannya.

Wujud dari pengamatan dan pemahaman kehidupan tersebut tidak saja dipraktikkan dalam dunia nyata keseharian mereka, tetapi juga dituangkan dalam bentuk karya sastra, seperti novel. Novel bisa menjadi media yang menghubungkan kenyataan dalam kehidupan nyata dengan pemahaman terhadap kehidupan. Pemahaman tersebut membawa manusia pada kearifan dalam menyikapi hidup di dalam kehidupannya. Novel yang memiliki latar belakang kehidupan masyarakat Minang memperlihatkan dengan jelas cara pandang orang Minang terhadap diri mereka, Hal tersebut dapat terlihat dari aspek sebuah novel, baik aspek alur, latar, maupun penokohannya.

4.1. Alur

Salah satu aspek untuk memahami konflik yang terungkap dalam novel berlatar Minangkabau periode 1920—1940 adalah melalui alur. Alur yang dimaksudkan di sini adalah dalam pengertian perkembangan kausal dari peristiwa cerita, dan kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan. Dari rangkaian peristiwa itulah dapat dilihat adanya konflik Sebagai konsep estetika yang menjiwai novel tersebut.

Ada tiga kerangka berpikir yang menjiwai alur novel berlatar Minangkabau. Pertama, pertentangan antara kecenderungan harmoni dan disharmoni, pertentangan antara konflik dan penyelesaian. Kedua, pertentangan antara kecenderungan harga diri dan balas budi. Ketiga, pertentangan antara yang lama dan yang baru, yang mengacu pada konsep sejarah orang Minang yang mengalami perkembangan secara spiral.

4.1.1 Konflik antara Harmoni dan Disharmoni

Pertentangan antara harmoni dan disharmoni yang menjiwai kehidupan orang Minang tercermin dalam beberapa novel yang menjadi sumber data penelitian ini. Dalam novel Merantau ke Deli terlihat adanya gambaran peristiwa yang menunjukkan adanya pertentangan antara keinginan untuk memperbaiki kehidupan, yang tergambar dalam diri tokohnya, dalam hal ini Leman, dan takdir kehidupan yang telah digariskan oleh Tuhan. Leman sangat meyakini bahwa di balik kesusahan yang ditakdirkan Tuhan bagi dirinya ada kemudahan hidup yang jika diperjuangkan dengan keyakinan Yang penuh akan mendatangkan hasil seperti yang diharapkan.

71 Di tengah kesusahan hidup sebagai perantau yang tidak memiliki apa-apa, ia dipertemukan dengan seorang wanita yang kemudian betul-betul mengubah kehidupannya. Poniem adalah nikmat kemudahan yang diberikan Tuhan untuk dirinya. Ketabahan dan kesabaran Poniem akhirnya mendatangkan hasil serta mulai meningkatkan penghidupan keluarga mereka. Kesusahan yang dari awal selalu mengikuti mereka berangsur-angsur menjauh, berganti dengan kemudahan hidup. Hal itu terjadi berkat kesabaran dan ketabahan mereka dalam menghadapi segala halangan dan rintangan yang muncul dalam kehidupan.

Sekarang bertemulah kesulitan dan gelombang yang lain. Karena sudah demikian mestinya hidup itu, habis kesulitan yang satu akan menimpa pula kesulitan yang lain. Kita hanya beristirahat buat sementara, guna mengumpulkan kekuatan untuk menempuh perjuangan yang baru dan mengatasinya. Sebab itulah maka tak usah kita menangis di waktu mendaki, sebab di balik puncak perhentian pendakian itu telah menunggu daerah yang menurun. Hanya satu yang akan kita jaga di sana, yaitu kuatkan kaki, supaya jangan tergelincir. Dan tak usah kita tertawa di waktu menurun, karena kelak kita akan menempuh pendakian pula, yang biasanya tinggi dan menggoyahkan lutut daripada pendakian yang dahulu. Dan barulah kelak di akhir sekali, akan berhenti pendakian dan penurunan itu, di satu sawang luas terbentang, bernama maut (Hamka, 1977:43).

Kutipan di atas mengandung makna bahwa sebuah perjuangan yang mencapai kebahagiaan dan harmoni dalam kehidupan menuntut adanya keberanian dan kesediaan untuk hidup dalam kesusahan. Perjuangan hidup yang keras serta penuh onak dan duri harus dijalani terlebih dahulu. Dalam perjuangan dan pendakian tersebut, manusia harus selalu berikhtiar karena di baliknya pasti menunggu sebuah kemudahan dan kebahagiaan. Rahasia itu ada pada Allah, manusia hanya tinggal manjalankan dan berusaha untuk kehidupannya. Akan tetapi, dalam berjuang itu jangan sampai lengah karena di balik penurunan tersebut akan ada pendakian lagi yang mungkin saja lebih sulit dari pendakian Sebelumnya. Saat berada di penurunan, berada dalam kemudahan hidup, jangan tersenyum lebar dan berpuas diri dahulu karena nanti akan ada pendakian lain, kesusahan hidup yang mungkin saja lebih sulit dari kesusahan aebelumnya.

Pertentangan antara harmoni dan disharmoni yang menjiwai kehidupan orang Minang tercermin juga dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Peristiwa kedatangan Zainuddin ke kampung halaman ayahnya pada akhirnya menimbulkan konflik bagi diri dan juga keluarga ayahnya. Pada akhirnya dia mengalah dan pergi meninggalkan kampung yang telah dianggapnya sebagai kampung halamannya sendiri. Zainuddin berkeyakinan bahwa di balik kejemuannya dan kebosanan keluarga terhadap dirinya, suatu saat nanti ja akan menjumpai kebahagiaan. la berkeyakinan bahwa tidak akan selamanya kehidupan yang menempatkannya pada posisi yang tidak menguntungkan akan selalu menyertainya. Suatu saat kebahagiaan dan kemudahan hidup itu pasti akan ditemuinya.


Tetapi ...ya tetapi kehendak yang Mahakuasa atas diri manusia berbeda dengan kehendak manusia itu sendiri. Zainuddin telah jemu di Minangkabau, dan dia tidak akan jemu lagi, karena tarikh penghidupan manusia bukan manusia membuatnya, dia hanya menjalani yang tertulis (Hamka, 2002:22).

“... Tapi peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita diberinya tangis, saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh." (Hamka, 2002:47).

Kutipan tersebut mengandung makna bahwa segala sesuatu di atas bumi ini kembali kepada Yang Mahakuasa. Manusia boleh berkehendak, tetapi keputusan akhir tetap ada di tangan Allah. Kehidupan ini akan selalu berubah. Roda akan selalu berputar. Tidak selamanya tawa akan menghiasi kehidupan manusia karena jika Tuhan berkehendak, tawa itu akan berubah menjadi tangis yang memilukan. Kesenangan akan berganti dengan kesusahan, jika Tuhan berkehendak demikian.

Peristiwa yang hampir memiliki kesamaan juga terlihat dalam Sitti Nurbaya. Peristiwa terpaksa kawinnya Sitti Nurbaya dengan Datuk Maringgih sebagai wujud ketaatan dan kasih sayangnya pada orang tua. Kesediaan Sitti Nurbaya menerima laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya itu sebagai suaminya diiringi oleh keyakinan Nurbaya bahwa di balik semua peristiwa yang menimpa dirinya ada suatu hikmah yang bisa dipetiknya. Ia sangat yakin bahwa tidak selamanya manusia berada dalam kesusahan dan kemelaratan. Kesenangan hidup akan selalu diiringi dengan kesusahan. Keduanya akan selalu datang silih berganti. Nurbaya menyadari bahwa dalam keadaan sesenang apa pun manusia harus selalu waspada karena suatu waktu hal yang berlawanan pasti akan terjadi.

Aku yakin, bahwa tiap-tiap hujan akan diikuti oleh panas, tetapi tiap-tiap panas pun akan dituruti pula oleh hujan. Panas dan hujan saling berganti; itulah kehidupan fana dalam dunia ini. Panas selalu akan memersikkan sekalian yang hidup, dan akhirnya membawa kematian. Hujan akan selalu menimbulkan air bah, yang akan menghanyutkan sekalian yang hidup dan akhirnya membawa kematian juga.
Tak ada yang tetap, melainkan Tuhan, sekaliannya berubah-ubah. Yang susah akan menjadi senang dan yang hina akan menjadi mulia. Sekaliannya itu bukan kata-kataku saja, tetapi sesungguhnya keyakinan yang ditimbulkan oleh perasaanku. Oleh sebab itu aku yakin pula, keadaanmu sekarang ini pun akan menjadi baik kembali dan cita-citamu akan sampai juga. Buah kemenangan yang diperoleh sesudah peperangan, sebagai kau ketahui, akan lebih lezat rasanya daripada buah kemenangan yang diperoleh dari hadiah (Rusli, 2003: 83).

Kutipan itu menunjukkan bahwa segala sesuatu di atas bumi ini selalu berubah-ubah. Tidak selamanya manusia berada dalam kesusahan dan kemelaratan, tetapi akan berganti dengan sebuah kehidupan yang lebih baik. Sesudah panas akan diikuti oleh hujan. Panas dan hujan datang silih berganti. Namun, harus diingat, dalam panas yang mendatangkan kesusahan dan hujan yang mendatangkan kesejukan, manusia harus selalu waspada karena kedua hal yang berlawanan tersebut dapat mendatangkan malapetaka bagi mereka yang tidak bisa melewatinya. Kehidupan manusia selalu berada dalam dua keadaan yang bertentangan untuk sampai pada kebahagiaan yang besar, sebuah kehidupan yang harmonis.

Kenyataan yang serupa dengan apa yang terlihat : dalam novel Sitti Nurbaya tersebut juga terlihat dalam novel Pertemuan. Kesediaan Masri menerima keputusan yang telah ditetapkan ayah dan mamaknya untuk menikahi Chamisah, Walaupun hal itu sangat bertentangan dengan hati nurani dan cita-citanya, memperlihatkan keyakinan teguh dalam diri Masri. Keyakinannya bahwa di balik segala peristiwa yang menimpa dirinya itu, mendorongnya untuk menerima segala Putusan tersebut dengan lapang dada. Walapun dapat dikatakan bahwa ia terjebak dalam kawin paksa yang gariskan Oleh keluarganya, ia tetap tabah. Ia berkeyakinan bahwa tidak selamanya sesuatu di atas dunia ini akan tetap sama. Roda akan terus berputar. Kenyataan tersebut akan selalu mengiringi kehidupan manusia.


Kehidupan manusia diatas dunia ini ialah sebagai roda pedati, sekali keatas, sekali kebawah, tidaklah tetap adanja. Atau boleh djuga dikatakan, sematjam hari, sekali panas, sekali hudjan. Baik berganti dengan buruk, mudjur bertukar dengan malang. Kita dahulu masuk orang jang berada, tetapi sekarang.....harta kita. telah susut djuga, sawah-ladang kita sudah banjak jang tergadai untuk pembuat rumah ibumu ini. Sebetulnja kita ini sudah sakit seperti betik, diluarnja kelihatan masih baik djuga, tetapi didalam sudah hantjur-luluh (Pamuntjak, 1961:30)


Kutipan tersebut menggambarkan kehidupan yang selalu berada dalam dua pilihan yang bertentangan. Tidak ada sesuatu pun di atas bumi ini yang tetap. Segala sesuatunya pasti akan berubah sesuai dengan perputaran roda bumi ini. Panas berganti hujan, baik berganti dengan buruk, mujur berganti dengan malang. Kenyataan tersebut akan selalu mengikuti perjalanan kehidupan anak manusia.


Keputusan Marah Adil (dalam Karena Mentua) meninggalkan istri untuk mencari penghidupan lain di perantauan didorong oleh semangat untuk memperbaiki kehidupan. Tanpa bermodalkan harta dan uang yang berlimpah, ia berani mengambil keputusan untuk merantau. Hanya keinginan yang kuat dan keyakinan akan sebuah kehidupan yang lebih baik di daerah baru menjadi penyemangat dalam menghadapi setiap tantangan dalam kehidupan. Ia yakin bahwa setiap manusia memiliki suratan takdirnya sendiri-sendiri. Kalah dan menang, rugi dan laba dalarn perniagaan, semuanya kembali berpulang pada yang kuasa. Manusia hanya dapat berusaha dan berikhtiar, keputusan akhir ada di tangan Tuhan. Ada yang berhasil dan ada yang mengalami kegagalan dalan kehidupannya. Dua hal tersebut pasti akan dialami oleh setiap manusia yang hidup. Masing-masing kita telah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri.


"Tentu saja nasib orang tak dapat disamakan dengan nasib awak, Ibu! Seakan-akan lupa Ibu akan adat di atas dunia ini: adat juara kalah-menang, adat saudagar laba-rugi. Adat melepas dagang jauh, buruk, dan baik akan bersua! Tentang suamiku, Kak Marah menantu Ibu yang buruk itu,...seperti menanti ara hanyut, kata Ibu? Sabar, Ibu, jangan kata terdorong-doroang. Siapa tahu, barangkali cita-cita Ibu kelak dapat dipenuhinya." (Iskandar, 2002:84).


Dalam Merantau ke Deli, manusia dianjurkan untuk tidak berputus asa. Selama manusia memiliki keinginan untuk berjuang, rezeki pasti akan datang karena semuanya itu memang sudah diperuntukkan oleh Tuhan bagi umatnya. Halangan dan rintangan yang muncul dalam mengayuh bahtera kehidupan akan teratasi jika manusia selalu berusaha untuk mengubah kehidupannya. Saling mengerti dan bahu-membahu serta cinta kasih merupakan obat yang sangat mujarab dalam menghadapi kesusahan hidup yang dialami. Manusia harus berani menghadapi segala bentuk kesusahan. Jika perlu, setiap saat manusia harus merasakan kesusahan tersebut karena dengan semakin sering manusia didera oleh kesulitan, semakin berpengalamanlah dia dalam menghadapi kehidupan ini. Bukankah pengalaman merupakan guru yang paling berharga?


Di antara beribu makhluk yang percaya akan kekayaan Tuhan, memang bumi membuahkan padi dan tanah menghasilkan emas, yang tidak putus asa, yang percaya bahwa selama nyawa dikandung badan, rezeki telah tersedia, adalah terdapat kedua suami istri itu, ke luar dengan hati yang gembira, percaya akan pertolongan Tuhan, dan yakin akan perhubungan yang ada dalam sanubari mereka sendiri, yaitu cinta suami istri yang sejati (Hamka, 1977:36).

Majulah ke muka, tempuhlah lautan baharullah yang luas itu, beranikan hati menghadapi gelombang yang bergulung-gulung. Karena dengan bermain ombak dan membiasakan menempuh gelora itulah makanya penyakit mabuk laut akan hilang. Pada tiap-tiap bertemu dengan suatu kesusahan dan suatu halangan di dalam bahtera rumah tangga, itu adalah ujian; bila sampai ke sebaliknya tertegak pulalah sebuah tiang yang teguh dan sendi yang kuat, untuk membina rumah kecintaan itu. Di manakah terletaknya keberuntungan kalau bukan di dalam hati??? (Hamka, 1977:36).

Dalam Sengsara Membawa Nikmat, kepergian Midun meninggalkan negeri yang tidak lagi ramah kepada dirinya didorong oleh kehadiran Kacak yang berkuasa dan tidak menyukainya, yang pada akhirnya telah menjebloskannya ke dalam penjara. Kepergian itu merupakan gambaran semangat Midun untuk memperbaiki kehidupannya. Dengan meninggalkan negeri yang dicintainya, ia berharap akan menjumpai kehidupan yang lebih baik. Ia yakin bahwa di balik semua kemalangan yang menimpa dirinya menunggu sebuah kebahagiaan dan kenikmatan hidup yang telah digariskan oleh Tuhan. Yang dibutuhkannya hanyalah kesabaran menghadapi setiap cobaan yang datang silih berganti menghampiri kehidupannya.

Di dalam ungkapan tradisional Minangkabau, dua keadaan yang bertentangan itu disebut sebagai si malakama. si malakama dijumpai, antara lain dalam novel Pertemuan karya Sutan Pamuntjak. Masri, tokoh utama novel ini, harus nghadapi si malakama terlebih dahulu sebelum memperoleh kebahagiaan yang diinginkannya. Utang budi kepada


78

mamaknya mengharuskan Masri mengawini Chamisah. Walaupun ia sendiri tidak menyukai perkawinan tersebut karena telah mempunyai rencana sendiri untuk kehidupannya, ia tidak dapat menolak keinginan mamak dan ayahnya, yang memaksa dia untuk menikahi Chamisah. Akan tetapi, akhirnya tokoh Masri sampai pada kebahagiaan yang diidamkannya.

Hal yang sama juga terjadi pada diri Asri dalam Salah Pilih. Ia harus berada dalam posisi si malakama sebelum akhirnya mencapai kebahagiaannya pula. Ia dapat berkumpul dengan Asnah, wanita yang sebenarnya ia cintai dan harapkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Begitu juga alnya dengan Nurdin dalam Darah Muda. Ia harus menghadapi si malakama itu sebelum sampai pada kebahagiaannya. Ia harus berperang dengan batinnya ketika Menghadapi penolakan ibunya terhadap calon pendamping hidup yang dipilihnya sendiri. Fitnah dan hasutan orang yang tidak suka kepada Rukmini, wanita yang dicintainya, harus ditelannya sendiri. Namun, kondisi si malakama ini berakhir dengan kebahagiaan karena ia dapat berkumpul dengan Rukmini, kekasihnya.

Tidak semua novel berlatar Minangkabau periode 1920-1949 memberikan penyelesaian terhadap situasi si malakama itu. Karena Mentua, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal van der Wijck berhenti hanya pada situasi itu saja. Marah Adil dan Ramalah dalam Karena Mentua, akhirnya berhenti pada situasi si malakama. Mereka bersatu kembali setelah dipisahkan oleh mertua yang kejam dalam bentuk kematian. Bagitu juga halnya dengan Sitti Nurbaya, Samsul Bahri, Baginda Sulaiman, dan Sitti Maryam dalam Sitti Nurbaya berkumpul kembali, tetapi hanya dalam bentuk kuburan.

Tatkala mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana olehnya lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan. Kelima kubur itu sama besar dan sama bentuknya. Pada tiap-tiap kepala kubur ini, ada batu nisan dari marmer, yang tertulis dengan huruf air mas (Rusli, 2002:271).


79

Hanafi dalam Salah Asuhan berada kembali di kampung halamannya, tetapi hanya dalam bentuk mayat. Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, percintaan Hayati dan Zainuddin juga berakhir dengan si malakama itu. Hubungan percintaan dua anak manusia tersebut harus berakhir karena ditentang oleh kaum kerabat Hayati yang menganggap Zainuddin tidak pantas untuk Hayati. Ia dipandang rendah karena tidak memiliki asal usul yang jelas. Harga diri yang jatuh dan rasa malu yang harus ditanggung oleh Zainuddin

atas penolakan yang diterimanya dari keluarga Hayati mendorongnya untuk meninggalkan tanah Minangkabau yang mulai dicintainya. Akhirnya, Hayati menemui ajalnya dalam kecelakaan kapal yang menimpanya. Sementara itu, Zainuddin menemui ajalnya karena didera oleh rasa bersalah dan cinta kasih pada Hayati yang telah mendahuluinya. Akhirnya, persatuan mereka hanya dalam bentuk kematian.

Tengah hari kemarin mayatnya telah dikuburkan di dekat kuburan Hayati, orang yang dicintainya itu. Orang yang telah menyebabkan kermasyhurannya (Hamka, 2002:211).


Dalam Kalau Tak Untung, tali persahabatan yang terjalin antara Masrul dan Rasmani sejak kecil membuahkan rasa kasih yang mendalam di antara mereka berdua. Oleh karena adanya keinginan untuk menahan diri dan menjaga kesopanan dalam adat, rasa yang terpupuk sejak kecil itu urung diwujudkan. Keputusan Masri untuk menikahi Muslina merupakan satu hambatan penting yang telah manghalangi keinginan mereka untuk bersatu. Rasmani yang memendam Cinta yang teramat dalam sangat terpukul dengan keadaan itu. Cinta yang dirasakannya tidak terbalaskan. Ibarat kata pepatah yang mengatakan, cinta bertepuk sebelah tangan. Rasmani pun terhanyut dan terbuai oleh perasaannya sendiri tanpa bisa mengatasinya. Ia didera kesusahan yang dalam di setiap penantian yang dijanjikan Masrul kepada dirinya. Penantian yang tidak berujung itu terjadi dalam waktu yang Cukup lama sehingga menyebabkan ia jatuh sakit. Cerita diakhiri dengan meninggalnya Rasmani setelah menunggu dalam penantian dan kekecewaan yang panjang dan tidak berujung. Rasa tawakal dan kesediaan menerima takdirlah yang membuat Rasmani sanggup memikul bebannya selama ini hingga akhir hayatnya. Cintanya pada Masrul pun dibawanya sampai ke liang lahat. Selasih pun telah menyatakan akhir cerita novel ini ditutup dengan kepergian Rasmani dengan kalimat “Abang jua yang akan pergi ziarah ke kubur saya” (Selasih, 200220).

Kepergian Rasmani meninggalkan rasa sesal yang tidak berkesudahan pada diri Masrul. Masrul harus menanggung Penyesalan sepanjang hidupnya karena menyia-nyiakan cinta Rasmani, yang dibawanya sampai akhir hayatnya. Rasmani harus menemui ajalnya sebelum dapat berkumpul dengan laki-laki yang selama ini begitu dicintainya. Tokoh dalam novel tersebut berada dalam keadaan berkumpul dan berpisah selamanya, kembali dan menghilang selamanya.

“Kak, saya tahu akan kesalahan saya dan sesal yang tak berkeputusan akan menurutkan saya ke mana pun saya pergi dan akan memahitkan kehidupan saya selama-lamanya.” Sebelum Dalipah menjawab, ia telah berdiri hendak berangkat. Surat Rasmani yang dipegang itu sebagai akan cair diremasnya. Bukan karena marah kepada Dalipah, melainkan karena kesal hati dan sesal yang tak berhingga (Selasih, 2002:154).

Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, situasi si malakama juga menimpa Zainuddin dalam bentuk yang lain. Dengan penuh harapan ia meninggalkan Mengkasar menuju tempat yang dianggapnya sebagai kampung halamannya. Tarapannya sangat besar terhadap negeri ayahnya itu, tetapi kenyataan berbicara lain. Ia harus menjumpai kenyataan yang Sama sekali jauh dari harapannya semula.

Tak ubahnya kedatangannya ke Minangkabau, bagai musafir yang mengharapkan minuman dan melihat air di tengah padang pasir, demi setelah didatanginya ke sana, sebuah pun tak ada yang nampak (Hamka, 2002:55).

Kutipan itu memperlihatkan beratnya penderitaan yang dialami oleh Zainuddin ketika sampai di tanah leluhurnya. Pada awalnya ia diterima dengan baik karena ia dianggap sebagai apa yang menurut adat Minangkabau dinamai “anak pisang”, tetapi lama-kelamaan hal tersebut berubah. Sambutan baik berganti dengan kebosanan. Perlakuan seperti itu terjadi karena tidak ada saudara yang kandung lagi karena ayahnya tidak ada bersaudara perempuan. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minang tulen, tetapi dia masih dipandang sebagai orang pendatang. Sebagai orang jauh, orang Bugis (Mengkasar), dan bukan orang Minang.

Novel lainnya mempunyai akhir cerita yang menge- sankan tidak adanya si malakama karena yang ditampilkan adalah perpisahan antara tokoh yang berkonflik, seperti yang terlihat dalam Merantau ke Deli. Perpisahan itu terjadi justru setelah segala konflik berakhir, segala kebencian lenyap, dan jalan menuju ke persatuan terbuka.

Pada novel yang menghadirkan situasi si malakama, konflik yang disajikan semata-mata untuk memberi pengalaman serta mengajak pembaca mengalami secara imajiner situasi dilematis si malakama tersebut. Penyelesaian konflik tersebut tidak dihadirkan, tetapi tetap ada. Pembaca diberi kesempatan untuk menentukan akhir penyelesaian konflik tersebut. Sementara itu, novel yang tidak menghadirkan situasi si malakama cenderung hanya sebagai pembawa pesan. Novel tersebut menyajikan konsep mengenai peranan konflik dalam harmoni.

Kesediaan menerima situasi si malakama merupakan konsep konflik yang merupakan faktor penting bagi lahirnya kebahagiaan. Di dalam Salah Asuhan, terutama di bagian awalnya, Hanafi menolak situasi tersebut. Ia bersedia mengawini Rapiah hanya sebagai balas budi. Pada kenyataannya, ia tetap menempatkan istri pilihan ibunya itu di bagian bawah, seseorang yang tidak penting dan inferior di hadapan Corrie atau orang Belanda lainnya. Penolakan terhadap si malakama itulah yang membuat perkawinannya dengan Corrie hancur. Di bagian akhir cerita, tokoh tersebut menerima si malakama dengan tidak menggabungkan diri dengan anak dan istri pertamanya yang justru mulai mencintainya. Itulah sebabnya, akhirnya ia masih mempunyai harga diri. Ia mengalami kematian yang berharga.

4.1.2 Konflik antara Harga Diri dan Balas Budi

Perkembangan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau digerakkan oleh konsep harga diri dan malu yang telah menjiwai kehidupan masyarakat Minang. Akan tetapi, perkembangan tersebut selalu dikontrol dan dikendalikan arahnya oleh konsep budi serta konsep rasa dan periksa. Fenomena perkembangan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau yang seperti itu ternyata sangat berpengaruh pula dalam organisasi alur novel berlatar Minangkabau.

Di dalam novel berlatar Minangkabau, seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Salah Pilih, dan Pertemuan, cerita dimulai dengan sekolahnya para tokoh dalam cerita tersebut, Sesungguhnya sekolah merupakan suatu usaha untuk mengembangkan diri serta mengangkat derajat kehidupan agar Sama atau tidak kalah dari orang lain.

Inilah satu daripada tujuan kaum muda Padang, yaitu membawa bangsanya kepada kemajuan, di dalam segala lapangan. Selama orang Padang masih ketinggalan di dalam segala hal, tidaklah dapat ia setara dengan bangsa lain; sedang zaman meminta, supaya mereka tampil bersama-sama ke muka (Rusli, 2003: ).

“Betul-betul Nurdin,” kata Masri dengan sebenarnja, “belumlah ada tumbuh tjita-tjita jang sedemikian dalam hati sanubari saja. Tjuma saja masih mengingat pengadjaran saja sadja. Betul ada djuga kawan-kawan saja jang telah beristeri, dan banjak jang sudah bertunangan dan ada pula jang sedang asjik bertjeng-krama didalam taman mundam berahi, tetapi saja tak dapatlah begitu. Saja mesti memikirkan orang tua saja, jang berusaha pajah mentjarikan belandja saja, jang membanting tulang berhudjan berpanas mengu-sahakan sawah ladangnja dan dengan buah djerih-pajahnja itu akan saja sia-siakan pula. O, tidak Nurdin! Lagi pula orang jang sedang menduduki bangku sekolah seperti saja ini bolehlah dikatakan sebagai orang jang sedang berenang tengah lautan entah akan tertjapai tanah tepi, entah tidak. Berapa banjak dan besarnja ombak dan gelombang jang menimpanja, rasa tak dapat diperikan. Apakah akan djadinja kelak, djika murid jang telah bertunangan itu, lebih-lebih jang sudah beristeri, berdjalan tidak sampai kebatas, berlajar tidak sampai kepulau (Pamuntjak, 1961:9).

Dua kutipan tersebut memperlihatkan keinginan para tokoh, terutama kaum muda untuk mengembangkan diri mereka dengan bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu, mereka dapat berbakti pada bangsa, negeri, dan orang tua serta orang-orang yang menurut mereka telah berjasa dalam kehidupan mereka. Perjuangan yang mereka Jakukan untuk mengembangkan diri tersebut tidak mudah adanya karena begitu banyak rintangan yang mereka hadapi, tetapi mereka harus terus berusaha dan berjuang demi kemajuan diri dan bangsa.

Dalam novel Darah Muda, semangat tokoh untuk mengembangkan dan memajukan diri agar tidak tertinggal dari orang lain terlihat dari percakapan Noerdin dan Rukmini, seperti tergambar dalam kutipan berikut ini. “Air jang hendak kelaoet itoe tidak terhambat- hambat oleh barang soeatoe djoea. Lihatlah, sedang batoe jang keras dan sebesar itoe dapat djoega ditemboesnja, soepaja ia dapat mengalir kelaoet. Demikian poelalah pergerakan kita itoe, djangan dibiarkan dialangi oleh barang sesoeatoe djoeapoen hendaknja.” Kata Noerdin seraja menoendjoek ke Batang Anai jang kelihatan dari tingkap kereta api itoe (Negoro, 1931:41).

Entjik Roekmini, mentjapai tjita-tjita adalah seperti melepas lajang-lajang. Kadang-kadang ada angin bagoes, akan tetapi atjap kali poela datang angin topan jang besar dan bengis. Djika benang kita rapoeh, djangan diharap akan mendapat lajang-lajang kita kembali, tentoe diterbangkan oleh angin kemana soekanja, dan kalau salah boeatan lajang-lajang kita, djangan diharapkan lagi akan dapat dinaikkan. Demikian poelalah halnja dengan fjita-tjita. Akan tetapi kalau boetan lajang-lajang kita baik dan benangnja koeat, serta kita pandai poela melepasnja, biarpoen datang angin badai sekalipoen, lajang-lajang itoe akan tinggal dalam tangan kita, dan achirnja akan tertjapai djoega jang dimaksoed itoe (Negoro, 1931:41).

Kutipan tersebut memperlihatkan kenyataan bahwa dalam menggapai cita-cita, sescorang akan dipertemukan dengan kemudahan sekaligus kesusahan. Jika niat tidak diringi dengan usaha untuk menggapai cita-cita, apa yang diinginkan tidak akan tercapai. Segala bentuk halangan yang ditemui harus dihadapi dengan perjuangan dan semangat Yang tidak pantang mundur. Dasar dan keyakinan yang kuat akan melahirkan hasil sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Klau dari semula dasar dan keyakinan untuk mencapai cita-cita itu sudah lemah, kegagalan dengan sendirinya sudah Srada di depan mata. Dalam Salah Asuhan, semangat dan perjuangan ibu Hanafi untuk kemajuan anaknya patut mendapat penghargaan. Orang Minang selalu berupaya agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Berbagai cara mereka upayakan agar putra-putri mereka bisa mengecap pendidikan. Menurut mereka, sekolah merupakan salah satu alat untuk mengembangkan diri dan mengangkat derajat agar kedudukan sama dengan orang lain. Masyarakat Minang juga meyakini bahwa bersekolah dan melanjutkan ilmu lebih utama dari segala-galanya. Untuk itulah, ibu Hanafi menyekolahkan anaknya ke kota yang letaknya jauh dari kampung halamannya. Setelah selesai sekolah pun, ibu yang gigih itu tetap berjuang mendapatkan pekerjaan untuk anaknya.

Tamat sekolah rendah, berpindahlah ia ke HBS, yang dijalaninya sampai tiga tahun. Sebab ibunya sudah merasa tua, dan lama pula merindukan anaknya, maka sekolah Hanafi diputuskan saja di situ, dan dengan pertolongan sahabat-sahabat ayahnya, kerana sangat pula ibunya meminta, dapatlah ia menjadi klerk di kantor Assisten Residen Solok. Tidak pun lama antaranya sampailah ia diangkat menjadi Komis (Moeis, 2002:23).

Sangat disayangkan bahwa usaha untuk mengembangkan diri kaum muda tersebut, pada akhirnya mengalami hambatan, baik oleh orang tua, mamak, maupun kampung halamannya. Pengembangan diri tersebut kemudian dikontrol dan dikendalikan oleh pihak-pihak tersebut. Banyak alasan yang menyebabkan mereka terhalang atau dihalangi dalam mencapai cita-cita.

Kekasih yang direbut orangm, dalam Sitti Nurbaya, memaksa Samsul Bahri meninggalkan sekolahnya. Mamak dan ayah yang menuntut dalam Pertemuan memaksa Masri untuk melupakan keinginannya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagitu juga halnya dalam Salah Asuhan, Hanafi dituntut mamaknya untuk berbakti pada keluarga, yang telah bersusah payah menyekolahkannya. Sudah waktunya bagi Hanafi untuk membalas budi baik mamaknya dengan mengawini Rapiah dan melupakan cita-citanya untuk menjadi kaum muda yang maju dan berpikiran jauh ke depan. Dalam Karena Mentua, faktor istri yang terancam membuat Marah Adil dengan sangat terpaksa harus meninggalkan tanah perantauan yang sudah mulai memberinya kehidupan demi menyelamatkan istrinya yang akan dikawinkan lagi oleh ibu mertuanya yang gila harta dan kehormatan. Ia akhirnya melepaskan istrinya demi kebahagian ibu mertuanya. Ibu yang kesepian, dalam Salah Pilih, memaksa Asri untuk kembali ke kampung halaman dan meninggalkan sekolahnya.

"Aku sudah tua, Asri” katanya dengan lemah lembut. “Aku berharap hendak hidup beserta engkau, dalam lingkunganmu beberapa tahun lagi. Jika engkau berangkat jua dari sini dan kalau sementara itu aku meninggal dunia, siapa yang akan menyelenggarakan rumah dan harta benda kita? (Iskandar, 2003:40).

Konsep harga diri yang kemudian terbentur dengan konsep budi yang terdapat dalam novel Salah Pilih dimulai dengan disekolahkannya Asri oleh ibunya ke kota yang letaknya jauh dari kampung halamannya. Dengan sekolah, Asri diharapkan mampu mengembangkan diri dan menjadi tokoh panutan dalam masyarakatnya. Sekolah merupakan Salah satu alat untuk mengembangkan diri dan mengangkat derajat agar kedudukan sama dengan orang lain. Pengembangan diri ini sifatnya tidak lama karena ia dikontrol dan dihambat oleh tuntutan balas budi dan ikatan pada orang tua. Ikatan pada orang tua itu dititikberatkan pada ikatan seorang anak pada ibunya. |

Ibu Asri yang sudah tua mengharapkan kesediaan anak Semata wayangnya untuk tetap tinggal dan menetap di kampung halamannya. Lebih jauh lagi, Ibu Asri berkehendak agar anaknya berumah tangga guna mendapatkan keturunan, yang nantinya akan menjadi ahli waris mereka. Meskipun Asri menyakini bahwa bersekolah dan melanjutkan ilmu lebih utama dari segala-galanya, ia tetap mengamini permintaan ibunya. Hal itu disebabkan oleh konsep harga diri dan balas budi. Selain itu, konsep harga diri dan budi juga dikendalikan oleh adat dan budaya yang berkembang pada saat itu. Seorang ibu akan malu jika anaknya, baik laki-laki maupun perempuan yang telah berumur di atas 15 tahun belum juga berkeluarga. Hal itu dipandang sebagai aib yang harus ditanggung oleh keluarga tersebut.

Budi adalah dasar utama pergaulan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Budi itulah yang merupakan suatu ikatan yang erat dan halus dalam pergaulan hidup. Adakalanya ikatan budi itu lebih kuat daripada ikatan darah. Oleh karena itu, budi selalu mengikat dan membuat seseorang selalu merasa berutang pada si pemberi budi. Orang yang berutang budi akan selalu berusaha membalas budi tersebut dengan budi pula.

Dalam novel Salah Pilih tergambar jelas konsep budi yang dialami oleh Asnah. Asnah yang memendam cinta pada Asri tidak mempunyai keberanian untuk menampakkan perasaannya. Meskipun cinta yang dipendamnya itu tidak berhingga dan dengan sepenuh hatinya, rasa cinta tersebut tidak boleh diketahui oleh orang lain. Rasa cinta yang tumbuh dalam diri Asnah tersebut tidak datang secara tiba-tiba, tetapi sudah ada semenjak ia menamatkan pelajarannya di sekolah rendah. Pada saat itulah ia merasakan getaran aneh yang berkecamuk di dalam dadanya setiap kali ia terkenang akan Asri. Cintanya pada Asri bukan lagi cinta adik pada kakaknya, melainkan cinta seorang wanita dewasa kepada lawan jenisnya. Sayangnya, ia merasakan bahwa cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan. Hal itu disebabkan karena Asri tidak merasakan cinta seperti apa yang dialami oleh Asnah dan ia berniat untuk kawin dengan pilihan hatinya. Asnah pun menyadari bahwa cintanya itu adalah sia-sia. Akan tetapi ia segera tahu juga, bahwa cintanya itu sia-sia adanya. Asri memandang dirinya hanyalah sebagai seorang pelayan, atau sebaik-baiknya sebagai saudara perempuan yang sangat dikasihinya. Akan jadi istrinya tak layak sekali-kali. Walau ada sekalipun barang sesuatu yang agak lain terbit dalam hati anak muda itu, tak berguna juga (Iskandar, 2003:50).

Cinta yang sia-sia itu amat jelas dan harus diterima oleh Asnah dengan hati yang lapang. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya Asri tidak mungkin bisa menjatuhkan pilihan pada diri Asnah. Asnah adalah seorang anak perempuan yatim yang miskin. Anak seorang pelayan yang menumpangkan hidup dari belas kasihan orang tua Asri. Selain itu, mereka berasal dari suku yang sama. Suku mereka berdua melarang mereka untuk hidup menjadi suami istri. Asri dan Asnah sesuku, satu kaum meskipun tingkat kekerabatan kaum mereka itu jauh karena sudah dilapisi oleh beberapa garis keturunan. Dengan demikian, Asnah harus bisa menerima kenyataan hidupnya dan harus menelan kenyataan pahit kehidupannya karena ia telah terikat dengan budi. Asnah berusaha menutupi rasa cintanya pada Asri dan berkonsentrasi penuh pada kehidupannya. Pekerjaannya Sehari-hari di rumah ibu Asri bisa melenyapkan pikiran yang terus menghantuinya tersebut. Ia akan mencurahkan kasih Sayangnya pada Ibu Mariati, ibunda Asri, sebagai wujud balas budinya pada wanita baik itu.

Nasib, ya, kini ia hendak pergi dari rumah gedang? Dan apakah yang akan jadi sebah baginya hendak pergi itu? Padahal Ibu Mariati berhajatkan dia. Barangkali hajat itu akan berlipat ganda lagi, kalau Asri sudah terikat kepada seorang perempuan muda. Jika penyakit ibu itu bertambah keras siapakah lagi yang akan membela dan mengenakan obatnya? Tidak seorang jua pun yang tahu akan tabiat dan sifatnya lain daripada Asnah. Jadi dapatkah ditinggalkannya ibu yang baik itu, tempat ia berutang budi itu? Sampai hatikah ia akan berbuat demikian? Tentu tidak! Asnah bukan tidak tahu menerima kasih (Iskandar, 2003:52).

Pada akhirnya, kesabaran dan cinta kasih yang tulus Asnah pada Asri menyatukan gadis itu dengan pemuda yang dicintainya. Meskipun adat melarang Jaki-laki dan perempuan kawin sesuku, agama membolehkan perkawinan serupa itu.

Adat melarang laki-laki dan perempuan sesuku kawin, padahal agama membolehkan. Lagi pula lupakah Engku bahwa Tuhan mengadakan jodoh (perempuan) bagimu (laki-laki) dari pada dirimu (laki-laki) jua (Iskandar, 2003:206).

Larangan kawin sesuku tersebut merupakan aturan dalam sistem perkawinan orang Minang yang bersifat eksogami. Sistem perkawinan ini tidak membolehkan orang Minang kawin dengan pasangan yang berasal dari suku yang sama. Sementara itu, dalam kehidupan pergaulan antarsuku ada batasan yang mengatur hubungan antarsuku tersebut. Suku yang satu menganggap suku yang lain sebagai orang luar yang tidak dapat saling berbagi malu. Sedapatnya aib yang menimpa suku yang satu jangan sampai diketahui oleh suku yang lain. Kenyataan seperti itu kembali memperlihatkan suatu kontradiksi.

Di satu pihak suku lain dipandang sebagai orang luar yang terpisah, tetapi di pihak lain suku lain itu disatukan dengan suku tertentu dalam lembaga perkawinan. Di sini terlihat kecenderungan orang Minang untuk hidup dalam alam yang penuh dengan konflik, tetapi selalu ada keseimbangan dalam pertentangan yang terjadi. Hal itu terbukti dengan berhasilnya Asri menikahi Asnah yang sesuku dengannya. Meskipun adat tidak membolehkan, masih ada Cara lain yang bisa ditempuh untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Akhirnya mereka melangsungkan pernikahannya secara syarak yang memang dibolehkan oleh agama dan negeri mereka. Dengan bantuan ibu Mariah, setelah perkawinan terlaksana, mereka menuju kota untuk memulai hidup baru. Pada akhir cerita, Asri dan Asnah kembali ke kampung halamannva. Ia di terima dengan suka Cita oleh masyarakat.

Rasmani, gadis kecil yang selalu diperhatikan dan dilindungi oleh Masrul dalam Kalau Tak Untung, juga merasakan kekecewaan yang dalam ketika pemuda itu memutuskan untuk mengawini Muslina. Selama ini ia Menyimpan rasa kasih dan sayang pada diri Masrul dan selalu mengagungkan pemuda pujaan hatinya itu. Ketika Rasmani mengetahui findakan yang telah diambil Masrul pada saat ia memilih Muslina sebagai istri tanpa seizin orang tua dan ninik mamaknya, Rasmani pun mundur. Setelah Masrul beristri, Rasmani mencoba melupakan orang yang dicintainya itu dan menghapuskannya dari bayangan dan ingatannya. Meskipun ia mengetahui Masrul tidak berbahagia dengan istri pilihannya tersebut dan berkeinginan untuk bisa bersama dirinya kembali, Rasmani berusaha menepis rasa cintanya tersebut dengan banyak membaca buku. Walaupun ia yakin bisa mandapatkan Cinta Masrul kembali, hal itu enggan dilakukannya karena tindakan tersebut bukanlah tindakan orang yang tahu akan rasa dan periksa. Ia tidak mau mengeruk di air keruh.

Dalam kehidupannya, Masrul merupakan sosok yang Sangat dihormatinya. Kebaikan dan budi baik Masrul dan keluarganya, hingga ia bisa melanjutkan sekolah, masih segar dalam ingatannya. Budi, rasa, dan periksa inilah yang Mengalahkan egonya untuk dapat memiliki Masrul walapun ia yakin Masrul juga mencintainya dan persatuan di antara mereka tinggal selangkah lagi.

la seorang perempuan yang telah mengecap pengetahuan, meskipun amat sedikit, tak mau ia berbaut seperti itu, tak mau ia merampas suanu orang, merampas bapak anak orang. Ia tak suka namanya dan masrul akan buruk. Bukankah Orang melihat yang di luar saja, siapa yang tahu batinnya, siapa yang tahu bahasa Masrul! menderita, dan bahasa ia mau kepada Masrul, karena kasihan dan sebab cintanya yang amat besar?” (Selasih, 2002:126).

Konsep rasa dan balas budi yang mengalahkan ego dan keinginan untuk memilki seseorang ini jugalah yang terlihat ketika Rasmani bersedia mengajari calon istri Masrul tentang segala hal vang nantinya berguna dalam kehidupan berumah tangga.

Ah, adinda malang juga rupanya nasib abangmu ini. Abang akan mendapat istri yang buta huruf. Tetapi kakanda belum putus harapan. Bukankah kakanda ada mempunyai seorang adik, adik yang dapat menolong kakanda dalam segala hal? Mani, tolonglah abang! Abang akan menyuruh Aminah datang ke rumahmu. Ajarlah ia menulis dan membaca, menjahit dan merenda, pendeknya segala yang engkau pelajari dari istri engku guru kepala. Maukah engkau, Mani? (Selasih, 2002:47-48).

Karena budilah, akhirnya Rasmani mengabulkan permintaan Masrul. Kebaikan dan jasa Masrul kepadanya membuat Rasmani berupaya agar Aminah bisa membaca dan menulis, serta mengajarinya keterampilan wanita. Ia berusaha agar Aminah, calon istri yang merupakan anak mamak Masrul, bisa menimba ilmu darinya. la bertekad untuk mengajarkan seluruh ilmu dan kepandaian yang dimilikinya kepada Aminah, meskipun selama ini Aminah selalu mencemoohkan dan menghina dirinya. Segala dendam atas tindakan yang dilakukan Aminah terhadap dirinya telah dihapusnya. Ia sangat berharap Masrul memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.

Dalam menghadapi peristiwa yang mengharuskan tokoh melupakan cita-cita dan keinginan mereka, tokoh cerita cenderung menerima keadaan dan menerima ikatan sosial yang telah ditentukan untuk dirinya. Akan tetapi, mereka tidak mau melepaskan ambisi pribadi dalam pikiran mereka. Dalam pandangan mereka, ikatan sosial dan ambisi pribadi untuk mengembangkan dan memajukan diri pribadi mempunyai kedudukan yang sejajar dalam tingkat kepentingannya. Mereka tidak mau berkembang dan mendapatkan kemajuan diri di atas ketidaksenangan orang lain. Dapat dikatakan bahwa dalam diri mereka telah tumbuh konsep rasa yang mengatur perilaku mereka dalam menyikapi kehidupannya.

“Tidak, Ibu!” sahutnja menghapus air matanja. "Hamba tidak bersusah hati. Ibupun tahu djuga, bahwa hamba tidak mau berdukatjita. Susah hati hamba hanja sebentar, tambahan lagi apa gunanja hamba susahkan djuga, jang putih tidak akan hitam, jang hitam tidak akan putih. Tjuma jang hamba harap, djanganlah ibu menjesal kepada hamba kemudian hari, kalau pertjampuran hamba dengan Chamisah tidak selamat. Kata bapak tentu tidak dapat hamba lampaui, hamba turut djugalah sedapat-dapatnja, dan pahit-manisnja hamba telanlah (Pamuntjak, 1961:44).

Magri termenung, mabuk agak-agak. Sekali-sekali ia menghela napas panjang dan dimukanja kelihatan dukatjita dan kekusutan hatinja. Sambil menggigit bibir diangkatnjalah kepalanja, lalu melihat keluar, arah kekebun pisang jang dimuka rumah orang tuanja. Dalam hatinja terbentanglah sebuah medan peperangan, tempat berdjuang dua pasukan laskar pikirannja, memperlihatkan gagah-perkasanja masing-masing. Jang sebuah mengatakan, Masri mesti meneruskan maksudnja. tak usah menurut kata orang tuanja; dan jang sebuah lagi menjuruh Masri berbuat kebaktian kepada ibu-bapanya. Tempur menempur, tolak-menolak dan tangkis-menangkis kedua belah pihak laskar itu,.....dan achirnja menanglah balatentara kebaktian (Pamuntjak, 1961:34).

Dalam kutipan itu terlihat bagaimana tokoh Masri dalam Pertemuan menerima apa yang telah digariskan oleh ayah dan miamaknya. Kenyataan bahwa ia tidak dapat lagi melanjutkan apa yang jadi cita-citanya, pada dasarnya sangat mengecewakan hatinya. Namun, demi kepentingan semua orang dan demi menyenangkan hati mamak dan ayahnya, ia bersedia menuruti semua keinginan kerabatnya. Ia siap menerima segala kemungkinan yang terjadi, baik atau buruk harus dihadapinya dengan lapang dada.

Hal tersebut menunjukkan kebesaran hatinya sebagai seorang yang telah dibesarkan dan disekolahkan oleh ayah dan mamaknya. Dengan menuruti keinginan mereka, Masri menganggapnya sebagai wujud pengabdian pada orang-orang yang notabenenya adalah orang-orang yang dicintainya. Walaupun pada pikirannya, apa yang telah ditetapkan oleh mamak dan ayahnya tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan untuk kehidupannya. Ia hanya dapat menegaskan kepada orang tua dan mamaknya, jika terjadi sesuatu di kemudian hari akibat perkawinan yang tidak disukainya tersebut, ia jangan disalahkan akan hal itu.

Apa yang telah diputuskan oleh Masri menunjukkan adanya pertentangan dalam dirinya. Di satu sisi, ia ingin menggapai Cita-cita, melanjutkan pendidikan, tetapi di sisi yang lain ia juga terikat dengan utang budi kepada keluarga. la harus membayar utang tersebut dengan mengawini anak mamaknya. Keputusan tersebut juga didukung oleh konsep rasa yang tambuh dalam dirinya dengan mengesampingkan kepentingan pribadi. Ia tidak akan bersenang hati dengan ketidaksenangan hati orang lain atas perilakunya.

Keadaan yang sama juga menimpa tokoh Asri dalam Salah Pilih. Ia harus memenuhi tuntutan ibunya untuk kawin meskipun ia tidak menvetujuinya. Tidak bisa dimungkiri bahwa kehidupan dan budaya Barat telah mengubah pola pikir Asri semenjak ia duduk dibangku sekolah HIS, yang mengajarkannya budaya Barat. Segala macam adat dan budaya Timur yang dipandangnya berbeda dengan budaya Barat ditepisnya. Begitu pula dengan pandangan dan pemikiran Asri tentang perkawinan. Meskipun adat negerinya mengizinkan seorang lelaki beristri banyak, Asri tidak sepaham dengan kebiasaan tersebut. Ia tidak mevakini dan mempercayai Perjodohan menjadi urusan kaum kerabatnya. Ia beranggapan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak adalah sia-sia karena mereka tidak mengindahkan perasaan kedua makhluk yang diperjodohkan tersebut. Bagi Asri, perbuatan itu sangat riskan, tidak baik, dan agak keras walaupun cinta di antara kedua belah pihak dapat muncul atau datang kemudian pada saat suami istri sudah bercampur baur. Alangkah sukarnya, jika pasangan itu tidak dipertemukan sedikit juga terlebih dahulu.

Akhirnya, Asri menerima permintaan ibunya untuk dijodohkan dengan anak gadis sahabatnya. Namun, ia tetap menginginkan yang menjadi istrinya adalah pilihannya Sendiri. Ia harus diberi kesempatan untuk mengetahui segala Sesuatu tentang diri dan sifat vang ada dalam diri calon Istrinya. Untuk itu, ia harus mengenal dan mendekati calon Istrinya selama beberapa bulan menjelang hari pernikahan dan Perkawinan dilangsungkan. Selain itu, Asri juga Mengharapkan pertimbangan dari keluarganya, dalam hal ini bunya dan Asnah. Dengan demikian, Asri mempunyai Pertimbangan sendiri tentang calon istrinya.

Kondisi yang sama terlihat dalam Sitti Nurbaya. Tokoh Nurbaya harus rela dikawinkan dengan laki-laki vang tidak Visukainya karena ingin membalas budi terhadap orang tuanya, Akibatnya, ia harus memutuskan hubungan dengan kekasihnya.

Sungguhpun demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati, bila engkau tiada hendak percaya kepadaku, karena walau bagaimana sekalipun aku memang telah mungkir janji, ttada menurut perkataan dan sumpahku yang telah kukeluarkan. Dan akulah seorang perempuan yang telah memutuskan pengharapan kekasihnya. Sekalian itu tidak dapat kutidakkan. Akan tetapi adakah jalan lain yang dapat kuturut di dalam kecelakaan ini?

Suatu yang akan melipur hatiku kelak, apabila aku telah sampai ke sana, kepada penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh ke dalam jurang itu adalah bersama-sama dengan engkau. Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah kita akan bersatu selama-lamanya (Rusli, 2002: 122).

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana tokoh Nurbaya menghadapi keadaan yang mengharuskan dia menerima Datuk Maringgih sebagai suaminya. Putusan tersebut merupakan wujud pengabdian dan kasihnya kepada pada orang tuanya. Ia cenderung menerima keadaan dan ikatan sosial yang telah ditentukan untuk dirinya. Akan tetapi, ia tidak mau melepaskan ambisi pribadi dalam pikirannya. Harapannya untuk bersatu dengan kekasihnya, Samsul Bahri, tetap ada, walaupun bentuk penyatuan itu tidak seperti yang mereka bayangkan selama ini. Nurbaya rela jika nanti ia akan bersatu dengan kekasihnya bukan di dunia nyata, tempat orang lain masih bisa memisahkan mereka. Tidak dapat di dunia, di akhirat pun nanti mereka pasti bersatu.

Konsep budi yang lain juga tergambar dalam Salah Pilih. Pengabdian Asnah pada keluarga Asri merupakan wujud balas hudinya pada keluarga itu. Ia menyadari posisinya sebagai anak yatim piatu yang dipelihara oleh ibu Asri dan dianggap sebagi anaknva sendiri. Asnah menggosok matanya dengan jarinya yang halus bagai duri landak itu. Kemudian dilekapnyalah pipinya kepada orang tua itu. “Ya, ibu, "katanya, “takkan dapat saya memba-las segala kebajikan ibu kepada saya yang hina lagi miskin ini.” (Iskandar, 2003:23) .

Dari kutipan di atas terlukis dengan jelas bagaimana Asnah berupaya membalas kebaikan hati dan budi baik keluarga Ibu Mariati dan Asri yang selalu menyayanginya. Mereka telah menganggap Asnah sebagai anak dan saudara kandungnya sendiri, serta menyakini bahwa Asnah merupakan limpapeh rumah gadang mereka. Dengan kehalusan budi, Asnah membangun karakternya sebagai gadis yang tahu akan budi dan rasa terima kasih. Tutur kata yang lemah lembut dan cekatan dalam bekerja dilakukan Asnah dalam mengisi hari-harinya membantu Asri dan keluarganya. Hal itu dilakukannya dengan senang hati sebagai bentuk Ungkapan membalas budi dan sebagai wujud rasa menvadari Untung dan rugi dalam menjalani nasib dirinya.

Ah, Asnah - alangkah besarnya jasamu pada kami! Dan sekarang telah kauobati pula kakiku yang sakit ini dengan lemah lembut, sebagai dapat dilakukan oleh anak perawanku sendiri (Iskandar, 2003:23).

Jalinan peristiwa di dalam Salah Pilih tersebut memperlihatkan perilaku Asnah sebagai anak angkat yang tahu akan kedudukannya. Terkadang ia merasa malu dan rendah diri. Ia merasa nasibnya sangat tidak beruntung karena tidak memiliki orang tua dan menjadi beban kehidupan orang lain. Setiap hari Asnah selalu merenung memikirkan nasib udupnya. Memang keluarga Asri memperlakukannya dengan Sangat baik, tetapi perasaan rendah diri itu selalu muncul dan membayangi hari-harinva. Rasa malu dan menyadari akan Posisinya, membuat Asnah selalu menjaga sikap dan jarak dalam pergaulannya dengan kakak angkatnya, Asri, dan ibunya. Hal itu dipicu oleh dera dan siksa perasaan serta pikirannya sendiri.

Denukian selalu jika Asri pulang. Dalam waktu yang serupa itu terasa benar oleh Asnah, bahwa ia tidak berhak akan dipandang sebagai masuk bilangan keluarga orang rumah gedang itu. Betul tidak acla orang yang menyuruh dia berperasaan seperti itu, tapi ia sudah disiksa oleh perasaan dan pikirannya sendiri (Iskandar, 2003:28).

Dalam Salah Pilih juga terlihat konsep malu dan balas budi vang mengalami pertentangan ketika Asnah memutuskan untuk pergi dari rumah Asri, saat Asri memboyong istrinya ke rumah itu. Asnah yang merasa berutang budi seumur hidup pada keluarga Asri berupaya sekuat tenaga untuk bisa membayar utang budi tersebut meskipun Asnah tahu bahwa utang budi itu tidak bisa ia bayar sepanjang hidupnya. Ia ingin selamanya mengabdi pada keluarga Asri. Karena ibu Mariati, orang tua angkatnya dan orang yang membesarkannya sudah tiada, patutlah kiranya Asnah mengambil keputusan yang bijak untuk meninggalkan Asri seorang diri. Keputusan itu sangat beralasan karena Asri telah berkeluarga. Akan menjadi aib bagi keluarga mereka, apalagi bagi diri Asnah sendiri seandainya Asnah masih tetap tinggal serumah di rumah tersebut. Untuk menghindari malu, umpatan, dan cela dari masyarakat sekeliling, Asnah meninggalkan Asri seorang diri.

“Dan sekarang - sekarang adinda mesti pergi dari rumah gedang ini! Bukantah baik demikian, Kanda? Hal itu nyata sudah kepada kanda, bukan?” tanyanya pula dengan lemah-lembut. Asri memandang ke mukanya serta bangkit berdiri pula. “Tidak, tidak - Asnah, jangan pergi dari sini, “ katanya dengan terperanjat serta bermohon. “Mesti - mesti - adinda mesti berangkat dari sini, “ kata Asnah dengan perlahan-lahan. “Tika tidak, niscaya nama Kanda menjadi aib dan cemar, — hilang sekalian kehormatan kita. Jadi sekali lagi adinda katakan, adinda mesti pergi dari sini!” (Iskandar, 2003:164).

Kesediaan tokoh menerima keadaan yang menimpa dirinya karena didorong oleh konsep rasa juga terlihat dalam Tenggelamnya Kapal ran der Wijck. Novel tersebut memperlihatkan bagaimana Zainuddin menerima keputusan dari keluarga Hayati untuk meninggalkan Dusun Batipuh dan merelakan Hayati kawin dengan orang yang sederajat dengannya. Jika dengan kepergiannya Hayati akan menemukan kebahagiaan, ia rela. Apa pun akan dilakukannya demi gadis yang sangat dicintainya itu. Ia sangat menyadari posisinya vang tidak menguntungkan. Meskipun ayahnya orang Minang, ia tidak dianggap sebagai orang Minang. Ia adalah tamu yang tidak memiliki hak apa-apa atas Negerinya. Seorang tamu harus menghormati tempat ia bertamu. Ja tidak pantas mendampingi Hayati yang keturunan Orang berada, yang jelas asal usulnya. Walaupun sakit, ia harus menerima kenyataan pahit itu.

“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati anak seorang bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat (Hamka, 2002:51). Kesediaan tokoh untuk menerima keadaan yang menimpa dirinya dan ikatan sosial yang harus dijalaninya juga terlihat dalam novel Karena Mentun, seperti tergambar dalam kutipan berikut ini.

“Apa boleh buat,” keluhnya. “Bagaimana jua pun kasih dan hormatku kepada ibuku, dan bagaimana jua pun cintaku pada negeri tempat aku lahir ke dunia, tetapi perbuatan dan perasaan ibuku sebagai mentua terhadap kepada istriku, yang dipandangnya bukan menantu kandungnya-karena tidak sekampung dengan dia?-dan adat-istiadat orang kampungku yang suka mencampuri hal-ihwal rumah tangga orang lain, tidaklah yang terderitakan olehku..."(Iskandar, 2002:235).

Kutipan itu memperlihatkan kebesaran hati Marah Adil menerima perlakuan ibu mertuanya, Kecintaan pada istri dan keinginan untuk melepaskan istrinya dari bahaya, akhirnya mendorong Marah Adil untuk melepaskan istrinya dan melupakan cita-cita hidupnya dengan Ramalah. Pada dasarnya ia tidak rela dengan kenyataan yang terjadi, tetapi ia harus menerimanya dengan lapang dada. Apa yang menjadi keyakinannya, pada kenyataannya tidak sesuai dengan pandangan orang lain, dalam hal ini mertuanya. Konsep rasa yang ada dalam dirinya telah membawanya pada putusan yang meskipun sakit, harus dijalaninya.

Novel Merantau ke Deli, Salah Asuhan, Karena Mentua, Kalau Tak Untung, Salah Pilih, dan Pertemuan memaparkan pentingnya konsep periksa dalam menjalani pergaulan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Konsep periksa tersebut hertungsi sebagai pengontrol ambisi pribadi tokoh yang berkeinginan untuk mengangkat harga dirinya. Sistem kekerabatan yang berstelsel matrilineal yang menempatkan perempuan dalam posisi vang lebih beruntung dari laki-laki, mendorong seorang laki-laki Minang untuk merantau. Dilema yang umumnya dihadapi oleh laki-laki Minang adalah di rumah istrinya, ia dianggap sebagai tamu yang dihormati, tetapi tanpa hak dan kekuasaan. Di rumah ibunya ia didudukkan sebagai mamak, yang menyebabkan mereka. merasa risi dan gelisah karena kedudukan yang serba terkatung-katung di antara dua rumah tersebut. Dorongan untuk menunjukkan eksistensi diri bahwa laki-laki Minang sanggup bekerja dan tidak hanya pandai duduk-duduk di lepau dan menyusahkan istri, serta rasa tanggung jawab terhadap kedua rumah inilah yang secara sosiologis dan psikologis turut menjawab terhadap dorongan untuk merantau.


Di dalam novel Merantau ke Deli, tokoh Leman yang ingin mengangkat harga dirinya dan mendapatkan kembali tempatnya di kampung memutuskan untuk menikahi wanita. sekampungnya. Pikirannya yang selama ini hanya terpusat pada kehidupannya di rantau berubah setelah kepulangannya ke kampung halaman, sebagaimana yang tergambar dalam kutipan berikut ini.


Sangat banyak perubahan fikirannya sejak balik dari kampung. Banyak hal-hal yang selama ini tidak diperhatikannya, sekarang telah menarik fikirannya. Pertama ialah perhubungan famili yang rapat itu, sebab anak Minangkabau tidak dapat mengeluarkan dirinya dari lingkungan kerabat. "Suku tidak dapat dialih, malu tidak dialih, malu tidak dapat dibagi", demikian tersebut dalam pepatah adat (Hamka, 1977:51).


Kutipan tersebut menunjukkan kebimbangan Leman ketika menemui kenyataan di kampung halamannya. Kehidupan kampung yang selama ini ditinggalkan dan dilupakannya kembali hangat dalam ingatannya. Ia ingin kembali memiliki sesuatu yang selama ini hilang dari kehidupannya di rantau dan menyadari bahwa ia adalah milik dari kaum kerabatnya. Hubungan famili yang selama ini terlepas dari dirinya hadir dalam kehangatan kaum kerabatnya. Keputusan Leman untuk mengawini wanita sekampungnya didorong oleh desakan kaum kerabatnya. Kebiasaan adat yang berlaku di tengah masyarakat mengenai perkawinan memaksanya untuk memikirkan keinginan kaum kerabatnya untuk mengambil istri wanita dari kampung sendiri. Poniem, walaupun adat dan perilakunya sangat baik dan disukai oleh kaum kerabatnya, memiliki satu kekurangan yang sangat fatal, yaitu ia adalah orang asing, orang yang tidak berasal dari Minangkabau. Pandangan masyarakat yang menganggap seseorang yang merantau, walaupun kaya dan memiliki harta yang berlimpah, tidak akan dipandang berharga oleh masyarakat kalau belum mengambil istri di kampung sendiri, mendorong Leman untuk mengikuti anjuran kaum kerabatnya. Dengan mengawini wanita sekampungnya berarti ia telah mendirikan adat dan kebiasaan kampungnya, memiliki gelar, dan dihormati oleh kaum kerabatnya.


Sebuah lagi yang paling penting ialah kedudukan di dalam adat. Seorang anak muda walaupun kaya raya melimpah-limpah uangnya, penuh pundi-pundinya, padat kantongnya dan berpintu-pintu kedainya di rantau orang, namun sekali dalam selama hidupnya haruslah ia membayar hutang kepada negeri dan kampung halamannya. Hutang itu bukan emas bertahil dan uang berbilang, tetapi hutang malu. Namun sekurang-kurangnya sekali selama hidup, hendaklah dia kawin di kam-pungnya sendiri. Setelah ada istrinya di kampung, walapun dia akan kawin pula sekali lagi, dua atau sepuluh kali lagi di negeri orang, tidaklah dia akan tercela, sebab dia telah sanggup mendirikan adat dan lembaga, sudah memakai gelar pusaka yang telah tersedia di dalam persukuannya yang diterima dari nenek, diturunkan dari mamak kepada kemenakan (Hamka, 1977:52). Keputusan Leman untuk mengawini wanita sekampungnya akhirnya menghancurkan dirinya sendiri karena Leman kurang periksa dalam dua hal. Pertama, ia tidak memikirkan untung ruginya jika memiliki istri dua orang sekaligus. Usahanya tidak akan berhasil jika harus membiayai dua orang istri sekaligus. Kedua, usahanya pasti bangkrut karena wanita sekampungnya biasanya bersifat konsumtif dan boros. Tidak seperti Poniem, wanita Jawa yang dikawininya, yang telah menyerahkan hidup matinya pada Leman. Hartanya adalah harta Leman juga. Ia akan mengorbankan apa saja demi kebahagiaan rumah tangganya.


"Abang....! Perniagaan kita harus diperbesar segala barang-barang ini kita jual kembali kepada saudagar emas, kita jadikan uang. Dengan barang ini kita berniaga, kita perbaiki perniagaan kita. Jangan Abang pandang juga aku sebagai memandang isteri dari kampung Abang sendiri, yang hidupnya senang dan sawah ladangnya banyak, yang cukup kaum kerabatnya. Mari kita hidup.....berdua.... tumpahkan kepercayaanmu kepadaku, kepercayaan yang tiada berkulit dan berisi, kepercayaan yang tulus, sebagai kepercayaanku pula terhadap abang. Pakailah barang ini, perniagakanlah, dia adalah hak milikmu, sebagai diriku sendiripun hak milikmu juga" (Hamka, 1977:35).


Tidaklah kelihatan benar sedihnya, lantaran pertukaran nasibnya itu. Mariatun tidaklah sedih benar. Sebab sudah ada pergantungan harapan, yaitu rumah dan sawah setumpak hasil perjalanan yang dahulu. Barang emaspun telah ada pula. Sekarang biar surut ke bawah duhulu. Kelak kalau berhemat tentu akan dapat pula sebagai dahulu kembali. Apalagi petua Guru telah ada; dunia itu sebagai roda pedati, sekali turun sekali naik; mendapat janganlah terlalu harap, rugi janganlah terlalu cemas (Hamka, 1977:116). Dua kutipan tersebut memperlihatkan dua hal yang berbeda mengenai pandangan wanita yang berasal dari dua budaya yang berbeda. Di satu pihak, Poniem yang dipandang sebagai orang asing oleh kaum kerabat Leman rela mengorbankan apa saja demi kelangsungan hidup keluarganya. Dalam pikiran Poniem apa pun yang dimilikinya adalah milik suaminya juga karena menurut budayanya jika ia telah memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki, berarti ia telah menyerahkan seluruh hidupnya bulat-bulat pada laki-laki tersebut. Berbeda halnya dengan Mariatun yang hidup dan besar dalam budaya yang membuatnya berpikiran bahwa biar pun Leman adalah suaminya, tetapi ia adalah orang asing. Jadi, apa yang telah dimilikinya adalah miliknya sendiri. Ia berhak untuk tidak mengorbankan apa pun untuk suaminya.

Keputusan Leman mengawini wanita lain, orang sekampungnya yang tanpa periksa itu telah menimbulkan petaka bagi dirinya sendiri. Keinginannya untuk menaikkan harga dirinya mengalami konflik ketika ia menyadari bahwa ia memutuskan sesuatu tanpa periksa. Nafsu dan keinginannya untuk menaikkan harga diri telah membuatnya terlena dan lupa terhadap akibat yang mungkin nanti muncul dari keputusannya tersebut.

Sungguh banyak sekali manusia yang lemah dan tak dapat mengendalikan dirinya untuk menahan hawa nafsu. Perturutkan dahulu. Buruk baiknya hitung di belakang. Demikian kata hatinya setelah menempuh suatu perbuatan yang ditolak oleh timbangan halusnya, tetapi dikehendaki oleh nafsunya. Kelak zaman belakang waktu berhitung itu akan tiba juga. Maka cerahlah langit teranglah awan, hakikat kebenaran itupun tampaklah, sebab bila hawa nafsu telah lepas, tinggallah tanggungan bathin yang maha berat (Hamka, 1977:100). Leman telah menutup mata dan hatinya. Akal sehatnya telah tertutupi oleh indahnya nanti perkawinannya dengan wanita muda, orang sekampungnya. Ia akan kembali beradat. Kelak jika ia memiliki anak, anaknya akan memiliki keluarga dan kaum kerabat yang mengakui keberadaannya. Hal itu tidak akan terjadi jika ia hanya beristrikan Poniem yang dianggap "orang asing" oleh kaum kerabatnya. Tanpa periksa ia memutuskan sesuatu yang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupannya selanjutnya. Ia lupa bahwa yang akan mengarungi bahtera rumah tangganya adalah dia sendiri. Bukan kaum kerabat yang nantinya akan berada jauh sekali dari kehidupannya di rantau. Ia lupa sebagai orang perantauan jika memiliki istri di kampung, ia harus mencukupi segala tuntutan istrinya, untuk melengkapi harta bendanya, baik mendirikan rumah dan membelikan sawah di kampung maupun perhiasan yang sangat berarti bagi orang perantauan untuk menunjukkan pada orang kampungnya bahwa ia telah berhasil di sana.


"Adat kami Poniem, menurut adat kami orang perempuan harus tahu beres saja. Orang perempuan hanya menerima yang bersih, dia tidak perlu menghiraukan kesusahan suaminya, yang perlu baginya hanya menanakkan nasi supaya suaminya jangan lapar, menyediakan teh, dan mencucikan kain bajunya. Kerja laki-laki mencarikan buat dia, membuatkan rumah, mencarikan tambahan sawah ladangnya. Kalau pekerjaan itu berhasil dia boleh pulang dengan bangga, kalau tidak, dia akan pulang juga dan suaminya akan terus berusaha, dia akan pulang oleh karena dijemput oleh mamaknya." (Hamka, 1977:34).


Kenikmatan hidup di hari tua dengan Poniem yangs angat mengasihinya dilupakan karena harga dirinya yang terlalu tinggi, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini. "Famili hanya berkehendak saja, yang akan mengemudikan rumah tanggamu bukan mereka, tetapi engkau sendiri. Engkau akan kembali hidup di rantau, jauh dari pelupuk mata mereka. Mereka hanya pandai meluncurkan engkau ke dalam lembah kesusahan. Kalau ada hartamu kirimkan pulang, belikan sawah, lekatkan ke rumah, semuanya untuk mereka, umurmu habiskan di rantau, setelah tua pulanglah supaya diletakkan orang engkau di surau buruk. Sudah begitu adat, sudah begitu lembaga, apa lagi! Mestinya engkau sudah terlepas dari neraka kehidupanmu di hari tua lantaran beristrikan Poniem, sekarang engkau hendak mencari penyakitmu sendiri. Hatimu kalau engkau beristeri seorang lagi tidak akan tetap lagi, yaitu menjaga perhubungan isterimu di dalam rumah. Tetapi bukan macammu ini orang yang akan teguh menghadapi itu. Letakkanlah teguh, syukurlah kalau teguh, tetapi sesal takkan hilang dari hatimu. Itulah sebabnya maka dahulu saya halangi engkau beristerikan Poniem, saya kalangkan leher, karena saya tahu akibat yang akan engkau hadapi sekarang" (Hamka, 1977:64).


Di dalam novel Salah Asuhan, Hanafi juga kurang periksa karena hanya menurutkan nafsu dan harga dirinya. Kegagalan perkawinan Hanafi dengan Corrie juga disebabkan oleh kurang periksanya terhadap keadaan yang berlaku dalam sistem kolonial. Ia tidak mungkin mengawini orang Eropa meskipun hukum mengizinkannya. Selain itu, Hanafi juga tidak memedulikan perasaan orang kampung dan perasaan orang Eropa dengan perkawinannya tersebut. Dengan mengawini Corrie, bukan berarti ia akan langsung diterima. dalam lingkungan istrinya. Bagi orang Belanda, ia tetap seorang pribumi yang tentu saja berbeda dengan mereka. Dengan menikahi seorang perempuan Belanda, tidak dengan sendirinya menjadikan Hanafi seorang Belanda. Ia tidak menyadari hal itu. Ia tidak periksa. Selain itu, ia juga tidak mempertimbangkan perasaan kaum kerabatnya dengan perkawinannya tersebut. Seolah-olah tidak ada lagi perempuan dari kaumnya yang cocok untuk dijadikan istri. Secara sadar ia telah melukai hati ibu dan kaum kerabatnya.


Dalam Kalau tak Untung, Masrul juga kurang periksa ketika memutuskan untuk menikah dengan Muslina. Keadaan dirinya yang seorang diri di perantauan mengakibatkan ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Meskipun ia telah ditunangkan dengan anak mamaknya, ia tetap memberikan harapan yang besar pada seorang gadis di kota tempat ia mencari nafkah. Ibarat sebuah pepatah, harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan di lepaskan. Karena berharap mendapat sesuatu yang menurutnya lebih baik, ia melepaskan sesuatu yang sudah berada di tangannya tanpa menimbang baik buruknya. Tindakan ceroboh tersebut diambil sendiri oleh Masrul tanpa meminta izin atau restu dari kedua orang tuanya.


Tetapi rupanya setelah anakanda pikir panjang lebar dan anakanda menung-menungkan dalam dua tahun, tak dapat rasanya anakanda menepati janji anakanda itu. Engku guru gedang itu kaya dan beranak seorang saja. Anaknya itu bagus dan perangainya serta berkepandaian. Rasanya tak akan menyesal Ayahanda-Bunda nanti bermenantukan dia. Jika ada izin Ayahanda-Bunda, pekerjaan ini akan lekas dilangsungkan, karena orang itu minta bergegas. Sekali lagi anakanda minta ampun dan minta kerelaan Ayahanda - Bunda (Selasih, 2002:82).


Pada saat pesta perkawinan dilangsungkan, mulailah Masrul merasakan untung dan rugi nasib dirinya seorang diri perantauan. Seharusnya, perkawinan itu mendatangkan di perasaan bahagia bagi pasangan pengantin, tetapi lain halnya dengan Masrul. Ia telah dimabuk "bidadari dunia", terpengaruh oleh gadis yang berambut panjang sehingga membutakan mata dan membuat hatinya tertutup. Tidak seorang pun pihak keluarganya menghadiri pesta pernikahannya itu. Ia bagaikan seseorang yang telah terbuang dari kampung halaman. Hidup sebatang kara dan dijauhi oleh sanak saudara. Seolah-olah ia tidak beribu dan berbapak lagi.


Konsep harga diri, konsep malu, konsep budi, serta konsep rasa dan periksa tetap memperlihatkan kekuasaannya dalam struktur alur novel berlatar Minangkabau. Persaingan yang terus-menerus dan usaha untuk membangun dan memelihara harga dirinya agar sama atau bahkan lebih dari orang lain merupakan faktor pendorong laki-laki Minang untuk merantau. Dalam Karena Mentua, Marah Adil memutuskan untuk pergi meninggalkan istri dan kampung halamannya karena terdorong oleh rasa harga dirinya yang diinjak-injak oleh mertuanya. Keinginan untuk dianggap berharga dan sama dengan orang lain membuatnya semakin yakin untuk mencari penghidupan di negeri orang. Walaupun istrinya, Ramalah, telah meyakinkannya bahwa hidup di rantau dan di kampung akan sama saja, bergantung pada diri kita sendiri untuk menyikapinya. Bertani ataupun berdagang sama saja bagi Ramalah. Yang terpenting adalah mereka saling mengasihi serta hidup dengan rukun dan damai di kampung halaman.


Hamba pikir, bersawah itu sudah selayak-layaknya bagi hamba, bahkan bagi kita sekalian. Sejak tinggi sejengkal dari tanah hamba sudah dibawa Ibu ke sawah, sudah diajar bertanam; Jadi itulah pusaka yang hamba terima turun-temurun dari nenek moyang, itulah pencarian dan penghidupan kita selama ini. Pusaka itu harus kita muliakan, kita junjung tinggi selama-lamanya. Miskin, yah, boleh jadi kita miskin tentang harta benda, harta dunia yang kelihatan oleh orang, yang terserak ke bumi dan terbayang ke langit, tetapi kita kaya dengan harta batin. Boleh jadi kita hina di mata orang yang suka melihat rupa lahir saja, tetapi di sisi kita sendiri, kita mulia semulia-mulianya, kaya sekaya-kayanya. Bagi Adinda, berhadapan dengan Kanda, selalu dalam penjagaan dan perlindungan Kanda, sudah lebih daripada harta dunia yang berkian-kian banyaknya." (Iskandar, 2002:19).


Dalam novel Merantau ke Deli, Leman juga memutuskan untuk merantau karena didorong oleh rasa harga dirinya. Di kampung, ia sudah tidak dianggap ada. Kemiskinan dan kemelaratan hidup membuatnya lari dari lingkungan kaum kerabatnya. Dorongan untuk mempertahankan harga diri dan keinginan untuk dianggap sama dan berharga membuatnya pergi meninggalkan kampung halaman dan mencari penghidupan di Deli, dengan harapan suatu saat ia dapat menujukkan pada kaum kerabatnya bahwa ia ada dan sanggup berbuat seperti orang lain. Hal tersebut sesuai dengan konsep harga diri orang Minagkabau yang mengajarkan mereka untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang lain. Pantang bagi mereka untuk menjadi rendah atau dianggap rendah.


"Kawan-kawan," kata Uda Patah pula dengan agak keras, tetapi tenang dan sabar. "Sungguh Tuan-Tuan tak tahu akan nasib, tak insaf, bahwa kita jauh di rantau orang. Coba Tuan-Tuan pikirkan sebentar, Tuan-Tuan camkan dan menungkan, apa maksud Tuan-Tuan datang ke mari? Apa doa dan cita-cita ibu-bapa atau anak-bini Tuan-Tuan melepas merantau, meninggalkan kampung halaman? Kalau hamba tidak salah, kita sekalian semaksud, secita-cita menempuh negeri orang: hendak mencari perut nan tak berisi, mencarikan penggung nan tak halal, supaya bertutup. Mencari rezeki yang halal, hidup sama dengan orang: duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Kalau dapat, ya, lebih dari itu." (Iskandar, 2002:53).


Alasan laki-laki Minang pergi meninggalkan kam-pung halaman dan menetap di wilayah budaya lain salah satunya adalah untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai laki-laki. Di kampung posisi laki-laki Minang dapat dikatakan terkatung-katung. Mereka tidak mempunyai kedudukan yang jelas, baik di rumah istrinya maupun di rumah ibunya. Mereka dituntut untuk bertanggung jawab terhadap dua rumah tersebut, namun sekaligus mereka tidak mempunyai hak di kedua rumah tersebut. Kondisi itu mendorong mereka untuk merantau dengan tujuan untuk memperlihatkan rasa tanggung jawab mereka sebagai laki-laki. Selain itu, bagi laki-laki Minang merantau sudah menjadi keharusan. Dari kecil mereka sudah diajarkan untuk pergi merantau. Meskipun penghidupan di kampung halaman terkadang lebih baik daripada kehidupan di rantau, menurut kebiasaan belum lengkap rasanya bagi laki-laki Minang apabila belum pergi merantau, seperti terlihat dalam salah satu kutipan novel Karena Mentua.


Akan tetapi perasaan dan keinginan hendak merantau sesungguhnya sudah menjadi darah daging bagi anak Minang, laki-laki dan perempuan. Istimewa bagi anak muda-muda, sebab semenjak kecil telah didondang oleh ibunya dengan nyanyian:"O, buyung, lekaslah besar, supaya dapat menuruti mamakmu ke rantau orang! Kawan, gantilah dia lekas menggalas..." Dan sekali merantau tetap merantau, meskipun penghidupan di kampung tidak boleh dikatakan terlalu berkurangan atau meskipun merantau itu belum boleh dikatakan pasti mengayakan diri...(Iskandar, 2002:114-115).

Keinginan seseorang untuk menjadi berarti dan dianggap penting atau setidaknya menjadi sama dengan orang lain didukung oleh ego manusia sendiri. Ego inilah yang memotivasi orang Minang untuk hidup dalam persaingan secara terus menerus. Persaingan itu dilakukan orang Minang demi harga diri yang diinginkannya tadi. Harga diri yang terwujud dalam kemuliaan, kenamaan, kepintaran, kekayaan, dan menjadi sama dengan orang lain inilah yang diinginkan oleh orang Minang. Nilai tersebut dicapai dari persaingan dalam melawan dunia orang lain. Orang Minang beranggapan bahwa jika orang lain mampu, tentu mereka pun mampu juga. Begitu juga sebaliknya, jika mereka mampu, tentu orang lain Pun juga mampu.

Dalam novel Karena Mentua, Marah Adil, yang didorong oleh keinginan untuk membuktikan diri pada mertua dan orang kampungnya, memutuskan untuk pergi merantau. Ia berkeyakinan bahwa jika orang lain mampu dan sanggup bertahan dan berhasil di rantau orang, ia pun tentu mampu bertahan di perantauan. Walaupun tidak memiliki modal materi, hanya bermodalkan semangat dan keinginan untuk aju, Marah Adil berangkat meninggalkan kampung halaman. Ia berkeyakinan bahwa dengan niat yang tulus dan diiringi oleh semangat yang tinggi akan membuahkan hasil yang diinginkan. Walapun tidak memiliki kenalan dan saudara di daerah yang akan dituju, ia yakin bahwa ia akan menemukan tempat untuk menyandarkan diri.

Jatuh bersambut, hilang bercari, sungguh adat kebiasaan sedemikian berjasa benar kepada masyarakat Minangkabau, terutama dalam penggalasan di rantau orang. Kalau tidak, mustahil anak-anak Minang akan berani meninggalkan kampung halamannya, pergi mencari nafkah diri, bahkan pergi menuntut ilmu pengetahuan pun ke negeri asing dengan tiada mempunyai tulang-punggung yang lavak dan kuat. Ke mana saja mereka itu pergi dengan tidak berwas-was, asal di tempat itu ada tinggal orang sekampungnya. Dan sifat mereka itu pun, pada umumnya, tiada memantangkan barang sesuatu pekerjaan, yang bersangkut dengan ujud dan maksudnya. Kasar dan halus dikerjakannya dengan rajin dan giat (Iskandar, 2002:41).

Konsep harga diri bagi orang Minang merupakan konsep kultural yang sangat penting. Konsep ini menjiwai alur hampir semua novel yang menjadi data penelitian ini. Bagi orang Mimang harga diri yang terinjak-injak merupakan penghinaan, tidak saja terhadap diri, tetapi juga terhadap kaum kerabat. Akan tetapi, jika harga diri bertentangan dengan konsep budi yang membuat orang Minang harus membayar budi tersebut, harga diri menjadi tidak berarti. Mereka harus lebih mendahulukan konsep budi yang didukung oleh konsep periksa yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Apa vang dilakukan, jika tidak menyenangkan orang lain, harus ditimbang dengan periksa.

Di dalam novel Karena Mertua, Ramalah dipaksa oleh ibunya untuk menikah lagi. Padahal, ia masih memiliki suami yang sah, yang terus menafkahinya. Karena desakan ibunya yang haus harta dan kehormatan serta didorong oleh rasa utang budinya pada ibu yang telah membesarkannya, akhirnya ia memutuskan untuk menerima permintaan cerai suaminya, Marah Adil. Walaupun pada dasarnya ia tidak menyukai perbuatan ibunya yang mengharuskannya menikah dengan laki-laki vang sudah memiliki istri dan tidak mau bermadu serta karena masih mencintai suaminya, desakan ibunya mengalahkan semuanya,

“Hum, tetapi aku anak kandung Ibu jua, bukan? Cuma pikiran dan perasaanku agak berlainan dengan pendirian Ibu. Akan tetapi sama dengan perasaan kebanyakan perempuan, yang tahu akan harga dirinya. Tak seorang jua perempuan yang suka bermadu atau dipermadukan. Walaupun belanja dipalut dengan emas perak dan dihiasi dengan permata intan berlian yang cemerlang cahayanya, oleh suami yang telah beristri dua tiga orang, namun ketenangan

pikiran dan kesenangan hati tidak mungkin diperolehnya. Malah kebiasaan kawin bermadu itu membuat beberapa perempuan bermusuh-musuhan. Istimewa kalau si suami tidak adil: seorang istri dilebihkan daripada istri yang lain. Akhirnya timbul dendam kesumat: jika tidak tampak lahir, dalam hati masing-masing tentu terpendam (Iskandar, 2002:99).

Bagi orang Minang merasa diri kurang berharga merupakan kesia-siaan, sebaliknya merasa diri lebih berharga dari orang lain adalah kegilaan. Akan tetapi, harga diri yang jatuh merupakan aib yang memalukan. Perbuatan yang menimbulkan aib yang memalukan tidak saja meng-akibatkan harga diri jatuh, tetapi juga membuat seseorang dipandang rendah oleh orang lain, baik di lingkungan kaumnya sendiri Inaupun pada orang lain yang berada di luar lingkungan kerabatnya sendiri. Hal itu merupakan aib yang tidak termaafkan yang akan menampar muka semua kaum kerabat.

Rasa malu yang diderita itu melibatkan seluruh kerabat dan lingkungan masyarakatnya sendiri karena perbuatan itu mencemarkan mereka. Mereka seolah-olah tidak mampu menghiraukan dan melindungi kerabat sendiri karena Perbuatan itu mencemarkan mereka juga. Seolah-olah lingkungan kerabat dan masvarakatnva telah mengabaikan Sistem hidup yang mereka muliakan dan pegang seumur hidup, yaitu adat mereka yang tinggi. Untuk menutup rasa malu dalam menjaga harga diri, kepada mereka diajarkan agar Mampu memikul risiko dan konsekuensinva. Dalam novel Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, dan Sengsara Membawa Nikmat bisa kita lihat bagaimana tokoh dalam cerita tersebut berusaha menjaga martabat keluarga dan kaum kerabatnya.

Dalam Tenggelamnya Kapal van der wijek terlihat ketika Hayati menjalin hubungan dengan Zainuddin yang ditentang Oleh seluruh kaum kerabatnya karena Zainuddin tidak dianggap sebagai orang Minang, Hal yang hampir sama juga terlihat dalam Sitti Nurbaya, ketika Samsul Bahri diusir oleh ayahnya karena ia telah membuat aib dengan berhubungan secara sembunyi-sembunyi dengan Sitti Nurbaya yang saat itu telah menjadi istri Datuk Meringgih. Datuk Meringgih pun merasa sakit hati ketika Sitti Nurbaya mengusirnya dengan kasar dari rumah sehingga Datuk Meringgih berencana membalaskan sakit hatinya itu dengan menyuruh orang suruhannya untuk mencelakai Nurbaya. Apa pun caranya, asal maksudnya dapat terlaksana.

“Perbuatanmu ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Kemanakah akan kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku akan menghapus arang yang telah kau corengkan pada mukaku ini? Perbuatan yang demikian, bukanlah perbuatan orang yang berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu adat dan kelakuan yang baik. Pada sangkaku, engkau bukan bangsa yang kedua itu.

Namaku yang baik selama ini, yang dimuliakan dan dihormati orang, bangsaku yang tinggi dan belum bercacat, sekarang kau kotorkan dengan noda yang tak dapat dihapus lagi. Setelah berhenti sejurus, berkata pula Sutan Mahmud, “Kesalahanmu ini tak dapat kuampuni, karena sangat memberi aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku." (Rusli, 2002:156).

Di dalam Pertemuan, rasa malu mamak dan ayah Masri melihat kenyataan bahwa anak dan kemenakan mereka belum beristri mendorong mereka untuk memaksa Masri menikahi Chamisah. Menurut mereka, usia Masri sudah sangat pantas untuk beristri, Alasan Masri untuk melanjutkan sekolahnya dan menolak keinginan orang tuanya dipandang sebagai hal yang sia-sia. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau nantinya Segala kebutuhan mereka setelah menikah dapat dipenuhi oleh mamaknya.

“Segala kawan-kawanmu,” kata bapanja lagi, “jang sebaya dengan kamu dikampung kita ini, sudah memakai adat semuanja, artinja sudah beristri, dan ada djuga jang telah beranak. Malu kami rasanja melihatkan kamu jang sudah besar, belum djuga berumah. Sudah djadi adat sebenar adat bagi kita, kalau hari petang, burung pulang kesarangnja, kerbau pulang kekandangnja, orang pulang kerumahnja (Pamuntjak, 1961:35).

Boleh djadi kamu sudah tahu djuga, jang mendjadi malu besar bagi orang Minangkabau, ialah tiga faraknja: 1. rumah gedang ketirisan, 2. majat terhantar berhari tengah rumah, dan 3. anak jang berumur dewasa tidak dikawinkan. Jang ketiga itulah kewajiban kami jang tinggal.” (Pamuntjak, 1961:35).

Itulah maksud kami jang sebesar-besarnja, jaitu hendak memperumahkan kamu. Tjobalah kamu pikir, djika kamu pulang sekali-kali kesini dimanakah kamu akan bermalam, tentu disurau sadja, karena menurut adat kita dikampung ini, malu benar kalau anak budjang tidur dirumah ibunja, lebih-lebih jang bersaudara perempuan pula. Untunglah kamu sedang bersekolah, djarang tinggal dikampung, kalau tidak, kamu djadi buah mulut orang.” (Pa-muntjak, 1901:35).

Aib atau kehinaan vang memalukan meru pakan rahasia yang perlu disembunvikan. Keaiban tersebut haruslah dilokalisasi, seperti yang terungkap dalam mamangan babiliak ketek, babiliak gadang (berbilik kecil, berbilik besar). Yang artinya, apabila rahasia itu merupakan rahasia kamar, jangan tahu orang serumah.

Dalam Kalau Tak Untung, kekeliruan Masrul menulih istri telah mengakibatkan malu bagi dirinya. Ia malu karena tidak mendengarkan nasihat teman dan keluarganya. Ia telah terbujuk oleh rayuan orang tua Muslina. Setelah kehidupan rumah tangganya berantakan barulah ia menyadari bahwa pilihan terhadap Muslina adalah perbuatan yang sangat keliru.

"Ah, Engku, kalau tak ada berada masakan tempua bersarang rendah, "kata Engku Guru Rasad tersenyum. “Kalau benar seperti kata Engku, ia ada bertunangan di rumah, adalah engku Masrul seperti pepatah orang: harapkan burung terbang tinggi punai di tangan dilepaskan. Rupanya harapkan dikaya orang, harap dibagus orang, sekarang telah terasa olehnya rupanya, bahwa sudah salah langkahnya.” (Selasih, 2002:94).

Karena telah salah melangkah dan salah memilih, hal itu berdampak buruk bagi kondisi Masrul, baik dari segi fisik maupun mental. Badannya kurus dan mukanya pucat. Tidak hanya itu, ia tidak dihormati dan dihargai oleh keluarga istrinya. Ia seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Segala sesuatu yang dikerjakan Masrul haruslah di bawah perintah istri atau harus diketahui oleh istrinya. Perkawinanmya yang baru seumur jagung dirasakannya seperti di neraka. Sesal Masrul lak berkesudahan. la merasakan kekecewaan yang dalam, kesedihan, kesusahan, dan sesalan yang tak terhingga. Mengharapkan permata di atas gunung, bagai si cebol hendak mencapai bulan, itulah kiasan yang patut diberikan kepada Masrul. Istrinya yang dahulu sangat dimuliakannya karena telah mendapat pendidikan yang cukup bagus ternyata berperangai buruk pada suaminya sendiri. Hatinya belum hendak pulang, meskipun hari sudah lewat setengah dua belas. Bukankah umpat, maki vang akan didapatnya di rumah, kalau istrinya belum tidur? Masih teringat olehnya perkara vang kemudian sekali terjadi, yang tak disangka-sangkanya sedikit juga. Istrinya yang disangkanva berpaham dahulu, yang dahulu sangat dimuliakannya, karena ia keluaran Sekolah Satu dan pandai berbahasa Belanda, telah berpuluh-puluh membaca kitab, sekarang memukulnya dengan kayu, mengeluarkan perkataan yang keji, mengumpat dan menyumpah. Dan hal ini bukanlah sekali diperbuatnya (Selasih, 2002:99).

Konsep harga diri dan malu jugalah yang mendorang mamak dan ayah Masri untuk memaksanya menikah dengan Chamisah, anak mamaknya. Menurut mereka perkawinan dengan anak mamak itulah vang paling ideal bagi Masri. Perkawinan yang akan membahagiakan semua kaum kerabat dan melepaskan mereka dari rasa malu.

Telah seajun kami seperti berbuai, sudah setjiap bagai anak ajam, sedentji bagai besi, sekebat bagi sirih, sudah putus hitungan kami diasak laju ditjabut mati, jang akan mendjadi isterimu, ialah Chamisah, anak Datuk Tumenggung, mamakmu ini. Betul banjak djuga orang jang lain, dikampung kita ini jang memintamu untuk djadi menantunja, tetapi kamu dengan Chamisah sudah bertemu ruas dengan buku, sudah bagai sirih pulang kegagangnyja, seperti pinang pulang ketampuknja dan bagai ajam pulang kepautan. Lagi pula, awak sama awak, kuah tertunggang kenasi, nasi akan dimakan djuyga. Djika disampaikan Tuhan, kalau diberkati Allah sadja maksud kami itu, segala pentjaharianmu tentulah tidak akan sia-sia, tidak akan djatuh ketangan orang lain, hanja kita sekaum sekeluarga djuga jang akan beruntung (Pamuntjak, 1961:36).

Pandangan Masri akan makna sebuah perkawinan tidak dianggap oleh orang tuanya. Bagi mereka perkawinannya dengan Chamisah adalah perkawinan yang paling ideal. Ketidakcocokan Masri dengan Chamisah pasti bisa disesuaikan dalam kehidupan berumah tangga nantinya. Rasa cinta nanti juga akan tumbuh dengan sendirinya, begitu pandangan orang tua dan mamaknya.

Pada hemat hamba, dua orang suami-isteri itu mestilah terikat erat dan tersimpai teguh dengan tali kasih-sajang, jakni pertjintaan jang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hudjan. Sebab seperti kata bapa tadi, senang dan susah silih berganti. Djika tiba kesusahan jang tidak diminta-minta, tentulah suami dan isteri itu, terapung sama hanjut, terendam sama basah, menjuruk sama bungkuk dan melompat sama patah, tidak mendua hati lagi, sama-sama rela menanggung kesusahan (Pamuntjak, 1961:40).

Konsep malu terhadap bentuk perkawinan itu juga telihat dalam novel Darah Muda. Ibu Noerdin tidak menyetujui hubungannya dengan Rukmini karena ia bukan gadis Minang. Pada dasarnya ia menyukai pribadi Rukmini. Namun, rasa malunya akan bermenantukan orang asinglah yang mendorong ibu Nurdin untuk menghalangi niat anaknya menikahi Rukmini. Mereka adalah orang berasal yang patut dijemput. Kedatangan Nurdin, yang berulang-ulang bertamu ke rumah Rukmini membuat hati ibu Nurdin tidak senang. Menurut pendapatnya, tidak pantas Nurdin memperlihatkan hatinva sedemikian rupa karena Nurdin bukanlah orang yang tidak patut. Nurdin harus menjaga adat dan memelihara harga dirinya, jangan dipermurah saja. Dalam pikiran ibu Nurdin, jika memang ibu Rukmini menyetujui hubungan anaknya dengan Nurdin, mengapa ia tidak datang meminang Nurdin karena menurut adat Minangkabau pihak perempuanlah yang meminang laki-laki. Kalau sampai laki-laki yang meminang, pasti malu yang akan didapat.

Iboe Noerdin tidak bersenang hati. Boekanlah karena ia tak soeka akan bermenantoekan Roekmini dan boekanlah ia koerang setoedjoe akan berbesan dengan iboe Roekmuni itoe. Gadis itoe dalam pemandanganja adalah tjakap dan patoet djadi djodoh anaknja. Orang toenjapoen orang patoet poela. Tetapi apalah goenanja Noerdin seatjap kali itoe benar datang keroemah gadis itoe, apakah goenanja diperlihatkan benar, bahwa kita berkehendakkan dia. Tidak lajaknja demikian itoe. Adapoen Noerdin itoe, boekanlah orang yang tidak patoet-patoet. Dia bangsa orang baik-baik, orang djempoetan djoega. Tidak lajaknja seorang-orang moeda, sebagai Noerdin itoe. Apalagi Noerdin seorang-orang berpangkat Tinggi, dokter! Apa lagi jang lebih daripada itoe? Djika iboe Roekmini berkenan akan Neerdin, soedah patoet dia jang Uatang meminta. Iboe Noerdin sangat kesal hatinja melihat anaknja tidak tahoe akan harga dirinja itoe. Kalau orang lain seperti Noerdin itoe, nistjaja dipermahalnja dirinja (Negoro, 1931:50).

Pada dasarnya ibu Nurdin menyukai pribadi Rukmuni. Soal peminangan itulah yang menjadi pemikirannya karena di Sana terkait masalah harga diri dan martabat keluarganya. Sebaliknya, bagi keluarga Rukmini tentu berat melakukan Pinangan itu karena tidak ada hal yang demikian dalam adat mereka (Sunda). Tentu saja kedua belah pihak tidak pernah bertemu karena sama-sama menunggu. Dengan dasar mempertahankan harga diri itulah aklirnya ibu Nurdin Mencoba merenggangkan hubungan Rukmini dan Nurdin. Ibu Nurdin tidak sanggup menanggung malu karena ia sangat kuat memegang adat jemputan itu. Meminang seorang Perempuan berarti malu besar bagi orang yang berasal. Dengarkanlah, hai anakkoe! Ketika akoe melihat perboeatanmoe jang salah, soeatoe perboeatan jang manghinakan kepada nama kaoem kita, maka akoe hendak memeliharakan engkau ketjemaran namaoe itoe. Katahoeilah olehmoe, bahwa kita ini orang djempoetan asal berasal. Tiap-tiap orang jang hendak mempersemenda akan kita, selamanja didjempoetnja menoeroet sepandjang adat (Negoro, 1931:67)

Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck rasa malu jugalah yang mendorong Zainuddin pergi meninggalkan kampung. Hal itu terjadi ketika ia harus menerima kenyataan atas penolakan yang diberikan oleh keluarga Hayati terhadap lamarannya.

Mengalir keringat dingin di keningnya sehabis surat itu dibacanya. Menyesal dia, padahal dari dahulu sudah disangkanya juga bahwa permintaannya tidak terkabul, sebab negeri Minangkabau beradat. Terasa malu yang sebesar-besarnya, terasa perasaan yang masih tersimpan dalam hati tiap-tiap manusia. Bahwa dia tidak mau dihinakan, Minangkabau negeri beradat, seakan-akan hanya di sana saja adat di dunia ini, di negeri Jain tidak. Padahal kalau memang negeri Minangkabau beradat, belum patut orang seperti dia hendak ditolak dengan jalan yang begitu saja (Hamka, 2002:108-109)

Harga diri dan malu menjadi menjadi konsep kultural yang penting bagi orang Minang. Dalam Sengsara Membawa Nikmat, rasa malu itu terungkap seperti dalam kutipan berikut ini.

“Kalau begitu Mamak hendak memberi malu kami,” ujar Sutan Manindih. “Tentu kami dibodohkan dan dihinakan orang, sebab Mamak kami biarkan sakit di sini.” (Sati. 2001:160) Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana orang Minang berusaha menghindari malu yang akan mendatangkan gunjingan orang kampung. Apabila salah seorang mamak dari kerabatnya sakit di rumah istrinya, beliau harus dijemput bagaiman pun caranya karena begitulah adat di Minangkabau.

Di dalam Sengsara Membawa Nikmat terlihat bagaimana dendam dan sakit hati tokoh Kacak yang telah dibuat malu oleh teman-teman Midun. Ia tidak bisa menerima perlakuan dan hinaan orang terhadapnya karena ia adalah kemenakan Orang yang berkuasa di kampung tersebut. Oleh karena itu, Kacak rela melakukan apa saja untuk membalaskan rasa sakit hatinya itu kepada Midun dengan cara mengupah orang untuk mencelakai Midun.

Ketika ia akan menvepak, kakinya yang sebelah kiri tergelincir, lalu Kacak ... bab, jatuh terhenyak. Segala yang main, baik pun si penonton semuanya tersenyum sambil membuang muka. Mereka itu seakan-akan menahan tertawanya. Oleh karena itu tak ada ubahnya sebagai orang sakit gigi tertawa. Sebabnya, ialah karena orang segan dan takut kepada kemenakan Tuanku Laras itu.

Kacak bertambah pucat mukanya karena malu. Apalagi dalam permainan itu ia dikalahkan Midun. Tubuhnya terasa sakit terjatuh. Pada pikirannya orang tertawa itu mengejekkannya. Sekonyong-konyong merah padam mukanya. Darahnya mendidih, sebab marah (Sati, 2001:16-17).

Rasa malu dan harga diri sebagai orang peran-tauantah yang membuat Leman dalam Meranta ke Deli harus melengkapi segala kebutuhan anak dan istrinya ketika puking ke kampung halaman. Ia harus membeli baju dan perhiasan yang bagus untuk diperlihatkan stan dipamerkan kepada sanak saudara di kampung. Harta dan kekayaan yang dibawa ke kampung dari rantau merupakan tolak ukur keberhasilan orang Minang di rantau. Kekayaan itu harus diperlihatkan dan dipertontonkan. Orang kampung tidak akan peduli engan cara apa kekayaan itu diperoleh atau dengan apa semua baju dan perhiasan yang bagus-bagus itu dibeli. Yang tampak di lahir itulah yang paling penting bagi orang kampung.


Sudah hampir tiga tahun merantau. Menurut adat di kampung sudah patut pula Mariatun dibawa pulang. Apalagi hendak memperlihatkan anaknya kepada kaum kerabat. Pulang beranak-anakpun perlu belanja, perlu kain selengkapnya, perlu membeli barang mas untuk Mariatun sendiri, jangan kalah hendaknya dari pakaian Poniem seketika dia dibawa pulang dahulu. Dan anak sendiri, anak perempuan. Pakaian anak perempuan meskipun belum cukup usianya dua tahun tentu ada pula hendaknya. Sekurang-kurangnya subang emas semacam gelang tangan, gelang kaki dan dukuh. Semuanya tentu dari emas. Kalau tidak tentu malu awak, terlebih-lebih seketika mula-mula turun dari atas oto, seketika anak itu disambut neneknya dari tangan ibunya. Hendaknya tangan yang mengulurkan harus merah dan diri anak itu sendiri mesti berpalut pula dengan emas. Waktu turun dari atas oto itulah lagaknya yang dicita-citakan oleh tiap-tiap orang yang merantau ke Deli, walaupun sesudah itu tidak akan melagak lagi (Hamka, 1977:112).


Hal yang sama juga terlihat dalam Karena Mentua. Marah Adil termotivasi pergi merantau karena melihat orang sekampungnya yang berhasil di perantauan. Pulang ke kampung, ia membawa uang yang banyak sehingga ia bisa mendirikan rumah untuk kemenakannya. Bisa membelikan istrinya baju dan perhiasan yang mahal. Kemampuan mendirikan rumah dan membelikan sawah bagi kemenakan dan istrinya di kampung adalah ukuran keberhasilan laki-laki Minang di perantauan. Meskipun rumah dan sawah yang dibeli dari hasil keringat di rantau tersebut pada akhirnya tidak dapat dinikmati oleh laki-laki Minang, hal tersebut sudah merupakan kebanggaan bagi mereka. Mereka sadar bahwa tidak ada tempat bagi laki-laki Minang setelah kembali ke kampung halaman, selain tinggal di surau. Rumah yang didirikan untuk istri diperuntukkan buat anak perempuan dengan suami dan anak-anak mereka nantinya. Sementara itu, di rumah saudara perempuan pun mereka tidak memiliki tempat. Satu-satunya tempat adalah kembali ke surau.


"Membeli sawah dan membuat rumah di kampung, lain halnya dengan engkau membeli rumah di sini, Suyono. Rumah ini engkau beli untuk dirimu, untuk istirahat di hari tuamu, atau untuk hendak engkau jual pula jika engkau terdesak uang. Sebab engkau yang empunya. Di kampung kami rumah yang didirikan atau sawah yang dibeli, bukan buat kita laki-laki, tetapi buat isteri. Jadi keduanya adalah kepunyaan Mariatun dan anaknya. Akhirnya untuk suku dan keturunannya. Kita laki-laki menurut adat kami, hanyalah sebagai: "Gajah Pengangkut Debu". Kalau saya tetap di kampung kelak, bahagian saya hanyalah surau, terutama jika anak perempuanku telah bersuami pula. Dan di rumah sanak saudaraku, tidak ada harga diriku, saya akan disesali, sebab umur muda telah saya habiskan di rantau" (Hamka, 1977:140-141)


Kebiasaan orang Minang merantau dengan beragam alasan yang mendorong mereka meninggalkan kampung halaman, baik karena rasa tanggung jawab, harga diri yang terinjak-injak maupun rasa malu banyak mewarnai novel berlatar Minangkabau. Dalam Sitti Nurbaya digambarkan ketika Samsul Bahri harus meninggalkan Ibu dan Nurbaya, dua orang yang sangat dikasihinya, serta kampung halamannya demi kesalahan yang telah ia perbuat sehingga ia harus rela pergi dan tidak kembali lagi.


"Selamat tinggal Ibu dan kekasihku! Aku hendak berjalan, barang ke mana dibawa nasibku yang malang ini. Jika ada umurku panjang, mungkin akan bertemu juga kita dalam dunia ini; jika tidak, bernanti-nantilah kita di akhirat. Di sanalah kita dapat bertemu pula, bercampur selama-lamanya, tiada bercerai lagi (Rusli, 2002:157).


Dalam Sengsara Membawa Nikmat diceritakan bagaimana Midun tidak ingin pulang ke kampungnya karena ia sangat dimusuhi orang sehingga ia harus rela berpisah dengan orang-orang yang mengasihi dan menyayanginya selama ini.


Saya takut pulang, karena saya dimusuhi orang berpangkat di negeri saya. Yang menghukum saya kemari pun, sebab orang itulah. Oleh sebab itu saya berniat hendak tinggal di Padang ini saja mencari pekerjaan (Sati, 2001:116)


Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck diceritakan tentang keinginan Zainuddin untuk melihat negeri ayahnya, Minangkabau, sehingga dia harus meninggalkan tanah kelahirannya, Mengkasar. Darah Minangkabau yang mengalir di tubuhnya menjadi salah satu pendorong keinginannya untuk meninggalkan Mengkasar. Orang Minang adalah suku perantau. Belum sempurna seorang laki-laki Minang jika belum pernah merasakan kehidupan di daerah lain. Begitu juga halnya dengan Zainuddin. Keinginannya untuk bertemu dengan keluarga bapaknya dan dorongan untuk melihat daerah lain memotivasi dia untuk meninggalkan tanah kelahirannya.


"Sempit rasanya alam saya, Mak Base, jika saya masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita ayah bundaku. Lepaslah saya berangkat ke Padang. Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolah-sekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan sebagus-bagusnya. Apalagi, puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku dilahirkan dahulunya (Hamka, 2002:16).


Merendahkan diri kepada orang lain adalah malu yang tidak dapat ditebus, tidak dapat dibayar, bahkan tidak dapat dibagi. Perbuatan yang menimbulkan aib yang memalukan tidak saja mengakibatkan harga diri jatuh, tetapi juga membuat seseorang dipandang rendah oleh orang lain, baik di lingkungan kaumnya sendiri maupun pada orang lain yang berada di luar lingkungan kerabatnya sendiri. Hal itu merupakan aib yang tidak termaafkan yang akan menampar muka kaum kerabat.


Karena didorong oleh rasa malu dan harga diri yang telah jatuh inilah, Leman dalam Merantau ke Deli memutuskan untuk meninggalkan tanah Deli dan kembali ke kampung halaman. Ia tidak bersedia menerima uluran tangan bekas istrinya, Poniem, yang telah menikah lagi dengan Suyono yang telah berhasil dalam usahanya, untuk membantunya. Rasa malu dan harga diri yang telah terkoyak serta kehidupan yang melarat di rantau, akhirnya membuat Leman memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.


Begitu juga halnya yang terjadi pada diri Hanafi dalam Salah Asuhan. Penolakannya untuk kembali pada keluarga, kembali pada istri dan anak yang mulai mencintainya setelah ditinggal mati oleh Corrie merupakan refleksi rasa malu yang tidak tertanggungkan itu. Selama berkeluarga ia telah menya- nyiakan kasih dan kesetiaan Rapiah karena tergiur oleh kenikmatan semu. Ia selalu memandang rendah Rapiah yang dianggapnya sebagai orang kampung yang tidak mengenal kehidupan Belanda. Akibatnya, ia memperlakukan istrinya dengan sangat buruk. Kenyataan itulah yang membuat Hanafi memutuskan untuk tidak kembali kepada istri dan anaknya.

4.1.3 Konflik antara Lama dan Baru

Sebagaimana halnya konsepsi sejarah Minangkabau, perkembangan alur novel berlatar Minangkabau juga bersifat Spiral. Dalam novel Sitti Nurbaya, awal dan akhir sekaligus mempunyai persamaan dan perbedaan. Tokoh yang semula bersatu, setelah berpisah akhirnya berkumpul kembali. Akan tetapi, perkumpulan di bagian akhir cerita itu berbeda dari yang ada di bagian awal cerita. Pada bagian awal yang berkumpul adalah manusia hidup, sedangkan pada bagian akhir yang berkumpul hanyalah kuburan. Begitu juga halnya dengan Hanafi dalam Salah Asuhan. Novel ini memiliki kecenderungan yang tidak jauh beda dari novel Sitti Nurbaya. Tokoh yang semula bersatu, kemudian berpisah, akhirnya berkumpul kembali, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Hanafi kembali ke kampung halamannya dalam wujud mayat setelah memutuskan untuk tidak berkumpul dengan anak dan istrinya yang sudah mulai mencintainya, Persatuan mereka terjadi setelah kematian Hanafi.

Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, tokoh Zainuddin dan Hayati pada awalnya berkumpul, kemudian berpisah. Pada akhirnya bersatu kembali, tetapi dalam bentuk manusia yang telah jadi mayat. Hayati meninggal karena kecelakaan, sedangkan Zainuddin meninggal karena rasa bersalah yang tidak putus-putusnya terhadap Hayati. Dalam Salah Pilih, persatuan Asri dengan Asnah yang pada awal dan akhir cerita pun mempunyai persamaan dan perbedaan sekaligus. Pada bagian awal cerita Asnah berperan sebagai adik, sedangkan pada bagian akhir cerita ia berfungsi sebagai istri.

Dalam Pertemuan, Masri bertemu kembali dengan kakak angkatnya dalam wujud yang baru, yakni pertemuannya dengan anak kakak angkatnya yang kemudian dijadikannya istri. Setelah melalui pengalaman pahit, walaupun tokohnya tidak sampai mati, akhirnya paham kaum muda menang juga dalam menentang paham tua yang ingin memaksa anak kemenakan kawin atas kehendaknya.

“Kehendak kami sudah ananda turut, sehingga ananda hampir mengurbankan nyawa anada. Apa boleh buat, karena sudah salahnya sendiri Charnisah ananda ceraikan. Kini supaya senang hati ananda kawinlah dengan siapa yang ananda sukai, asal orang Islam, tetapi seboleh-bolehnya lebih baik juga orang Minangkabau kita.” (Pamuntjak: 1961:99)

Di dalam Sengsara Membawa Nikmat, Midun yang pada awal cerita bertemu dengan Halimah dalam keadaan yang tidak menguntungkan, pada bagian akhir cerita dipertemukan lagi dengan Halimah sebagai istrinya. Nurdin, dalam Darah Muda, di awal cerita dipertemukan dengan Rukmini di atas kapal, ketika akan pulang ke kampung halaman. Ia tidak menyangka bahwa pada akhir cerita ia akan dipertemukan kembali dengan gadis yang dicintainya pada pandangan Pertama itu sebagai istrinya.

Pada awal cerita Merantau ke Deli, Leman dan Poniem disatukan dalam bentuk perkawinan, sedangkan pada akhir Cerita mereka dipisahkan oleh konflik yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangganya. Dalam Kalau Tak Untung, kebersamaan Masrul dan Rasmani pada awal cerita harus berakhir dengan perpisahan, setelah kematian Rasmani karena Mmenaggung beban cinta yang sangat berat.

4.2 Latar

Novel berlatar Minangkabau periode 1920 — 1940 memilki ciri khas tersendiri dalam latarnya. Tidak seperti novel lainnya dalam sastra Indonesia yang telah membuahkan anyak inovasi, seperti lahirnya novel surcalistik Wan absurd, novel berlatar Minangkabau tidak mengikuti gaya penulisan

127 novel seperti itu. Novel-novel tersebut masih setia dengan gaya realis yang tetap mempertahankan kejelasan latar ruang dan waktu. Novel tersebut tidak dapat melepaskan diri dari batas hukum ruang dan waktu sehingga terlihatlah kronologi dan latar ruangnya yang sangat realistis.

Novel berlatar Minangkabau tidak pernah tenggelam pada subjektivitas pengarangnya dalam menangkap realita, seperti kebanyakan novel surealis dan absurd. Novel tersebut memiliki kecenderungan memberikan gambaran yang jelas mengenai kenyataan, mengenai realitas. Hal tersebut mewarnai hampir semua novel berlatar Minangkabau sejak awal kelahirannya.

Kesan realistis ini terlihat jelas lewat latar yang dihadirkan dalam novel tersebut. Hal itu memberi pijakan cerita secara konkret dan jelas. Novel yang ada menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Kerealistisan latar itu memudahkan pembaca untuk mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkannya untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar dapat dirasakan oleh pembaca sehingga mereka merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan sesuatu dalam cerita itu, yang sebenarnya menjadi bagian dari dirinya. Hal itu terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita.

Dalam Sitti Nurbaya latar realistik itu terlihat jelas, seperti adanya gambaran mengenai peristiwa atau kebiasaan inisiasi bagi mahasiswa baru di Stovia pada waktu cerita itu berlangsung. Novel itu memperlihatkan kerealistisan latar yang tergambar pada seluk-beluk Kota Padang, gunung dan laut yang ada di sekitarnya, lokasi kapal, dan sebagainya.

Di dalam Pertemuan, kecenderungan yang sama juga terlihat. Novel tersebut menggambarkan seluk-beluk Kota Bukittinggi, gambaran kegiatan organisai pemuda di Kutaraja, dan sebagainya. Embun pagi jang sedjuk dingin sedang menjelimuti kota Bukittinggi. Sungguhpun hari sudah hampir pukul tudjuh, tetapi masih gelap djuga, karena kabut belum hilang, adalah seakan-akan hendak menantikan tjahaja siang, sinar matahari jang agak panas, akan penerbangkan dirinja. Itulah jang mengalangi penglihatan, sehingga rumah-rumah jang dekat djalan raja terbajang antara ada dengan tiada diruangan mata, sedangkan orang-orang jang tidak djauh djaraknja dari kita, hampir-hampir tidak kelihatan.

Walaupun demikian sudah banjak djuga orang jang keluar meninggalkan rumah tangganja menudju kedjalan besar, lebuh gedang dari Bukittinggi ke Padangpandjang. Ada jang hendak pergi mendjalankan kewadjibannja dan ada pula yang berdjalan-djalan sadja, untuk menjegarkan badannja, serta menambah kesehatan tubuhnja. Tentang itu tentu kita semua telah mengetahui, timur dan barat, utara dan selatan, bahwa Bukittinggi, ialah suatu negeri jang berhawa sedjuk dan sehat di Sumatra, tempat orang datang dari segala pihak, untuk menjehatkan badannja dan membersihkan pemandanganja. Kebun-kebun bunga yang tjantik molek, ditumbuhi bunga-bungaan perlbagai warna, jang sedap dipandang mata dan ngarai-ngarai jang dalam, “Karbouwengat" dinamai oleh orang Belanda, itulah jang menghiasi kota Bukittinggi. Letak kotanja tinggi diatas bukit, ialah konon jang memberinja nama “Bukittinggi” dan menjebabkan hawanja jang sedjuk. Gunung dua sekelamin, Merapi dan Singgalang, elok bersih kelihatan, djadi perhiasan Bukittinggi djuga (Pamuntjak, 1961:7).

129 Kutipan di atas memperlihatkan gambaran Kota Bukittinggi dengan sangat jelas. Keadaan kota dengan cuaca dan hawanya yang sejuk serta pemandangan yang sangat indah di lingkung dua gunung kembar Merapi dan Singgalang memberi gambaran yang sangat realistis bagi pembaca. Mereka seolah-olah bisa merasakan sendiri. Dengan gambaran latar seperti itu pembaca diajak bermain-main dengan imajinasinya dan diajak serta untuk berperan secara kritis, sehubungan dengan pengetahuan yang diperolehnya dari latar tersebut.

Di dalam Pertemuan juga terlihat gambaran yang realistis tentang alam. Suasana alam Kutaraja tempat Masri dan Mardiana memadu kasih, digambarkan sedemikan rupa.

Dilangit jang tidak berawan, biru rupanja laksana tabir banat wilis, jang luas terhampar tinggi, matahari memantjarkan tjahaya jang tjemerlang, mengirimkan sinarnja kemuka bumi ini, untuk memanasi dan menerangi laut dan darat, menjebabkan hari amat panas dan eloknja, adalah bumi seperti baharu didjadikan oleh Chaliku'l'alamin kelihatannja. Beberapa lingkaran jang kuning-merah mengelilinginja, jang dinamai orang "gelanggang matahari" tampak djelas dipandang mata. Anginpun tenang, tidak berembus sedikit djuga, sehingga sehelai daun kajupun tak ada jang bergojang, sebagai malam lailatu'lkadar lajaknja, seolah-olah membiarkan sjamsu'l'alam meradjalela memperlihatkan kekuasaannja (Pamuntjak, 1961:54).

Juga terlihat gambaran yang cukup lengkap dan realistis tentang bentuk rumah keluarga Masri. Penggambaran bentuk sebuah bangunan tersebut memberi peluang pada pembaca untuk turut berimajinasi tentang apa yang digambarkan oleh pengarang, seolah-olah mereka melihat dan berada di dalam bangunan yang dijadikan latar tersebut.

130

Rumah lima ruang tiga leret, bergondjong seperti tanduk kerbau, beratap idjuk, berdinding papan, dan berdjandjang batu, terdiri tidak djauh dari djalan raja. Pinggir atapnja jang terikat dengan timah putih diantara sedjari-djari, dinding papannja jang berukir, dan dua buah lumbung jang terdiri dihalamannja, menjatakan kepada jang melihatnja, bahwa orang jang tinggal dalam rumah itu, ialah orang jang hartawan. Dekat tangganja ada sebuah kolam ketjil berisi air, tempat orang membasuh kakinja, sebelum naik rumah itu. Itulah rumah-tangga orang tua Masri (Pamuntjak, 1961:25).

Di awal cerita Tenggelamnya Kapal van der Wijck terlihat dengan jelas bagaimana pengarang menggambarkan seluk-beluk kota Mengkasar (Makasar), seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.

Di waktu senja demikian, kota Mengkasar kelihatan hidup. Kepanasan dan kepayahan orang bekerja siang, apabila telah sore diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam dan mengecap hawa laut, lebih-lebih lagi bila suka pula pergi makan angin ke jembatan, yaitu panorama yang sengaja dijorokkan ke laut, di dekat benteng kompeni (Hamka, 2002:3).

Sebelah timur adalah tanah lapang Karibosi yang luas dan dipandang suci oleh penduduk Mengkasar. Menurut takhyul orang tua-tua. bilamana hari akan kiamat, Kara Eng Data akan pulang kembali, di tanah lapang Karibosi akan tumbuh tujuh batang beringin dan berdiri tujuh buah istana, persemayaman tujuh orang anak raja-raja, pengiring dari Kara Eng Data, jauh di darat kelihatan berdiri dengan teguhnya Gunung Lompo Batang dan Bawa Kara Eng yang hijau nampak dari jauh (Hamka, 2002:4).

131

Di dalam Sengsara Membawa Nikmat terlihat penggambaran yang cukup jelas tentang kegiatan di sebuah pasar. Pasar yang bukan saja sebagai tempat berjual beli, melainkan juga sebagai tempat bermalam. Hal itu dimungkinkan kerena pasar itu hanya ada pada waktu-waktu tertentu saja. Dangau-dangau yang tidak dibongkar digunakan sebagai tempat bermalam bagi orang-orang yang kemalaman atau diperuntukkan bagi para musafir yang lewat di pasar.

Adapun pasar di kampung itu terletak di tepi jalan besar. Pada seberang jalan di muka pasar, berderet beberapa buah rumah dan lepau nasi. Di belakang rumah-rumah itu mengalir sebuah sungai. Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, vaitu tiap-tiap hari Jumat. Itu pun ramainya hanya hingga tengah hari saja. Oleh sebab itu, segala dangau-dangau diangkat orang. Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasar dibiarkan tertegak. Gunanya ialah untuk orang musafir atau siapa saja yang suka bermalam di situ, atau untuk berlindung daripada panas akan melepaskan lelah dalam perjalanan dan lain-lain sebagainya (Sati, 2001:11).

Novel Karena Mentua memberikan gambaran mengenai kehidupan kelompok perantau Minang dengan amat realistis, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.

Oleh karena pasar di daerah Lampung berjauh-jauhan letaknva, kalau ia berlegar kerapkali tiada ia sempat pulang ke Teluk Betung kembali, melainkan ia harus bermalam di lepau dekat pasar itu, seperti biasa dilakukan oleh kawan-kawannya. Demikian pula suatu malam ia menumpang dalam sebuah lepau, kepunyaan orang Minangkabau jua. Banyak orang dagang tinggal di situ. Dan istimewa banyak pula tingkah laku, fiil perangai mereka itu: baik atau buruk, terpuji atau tercela (Iskandar, 2002:42).

132

Lepau nasi itu terdiri di tepi jalan raya. Pintu dan jendelanya masih terbuka. Lampu menyala dengan terang-menderang. Sebelah ke dalam dekat kedaian-tempat piring-piring dan tempat makanan-makanan terletak berjajar-jajar, kelihatan seorang laki-laki duduk di atas sebuah kursi kayu, yang tersandar ke dinding. Ia tiada berbaju, hanya berkaus sempit saja, sehingga nyata lipatan kulit perutnya yang gendut dan bentuk dadanya yang bidang lagi busung. Dan ia bercelana panjang daripada kain batik, yang ditutup dengan sehelai kain merekan hingga lutut dan kopiah sutra hitam yang lunak. Kepalanya terangguk-angguk, alamat ia telah mengantuk, meskipun malam itu baru kira-kira pukul delapan. Ya, barangkali karena ia teramat letih. Ia bekerja berat pada siang hari itu, waktu pasar ramai. Di ruang tengah, yang dipergunakan pada siang hari untuk tempat makan orang yang biasa bersila dan malam hari untuk tempat tidur orang dagang, pada ketika itu kelihatan orang tiga kelompok. Masing-masing dengan lakunya dan kesenangannya. Sekelompok di sudut kiri, yaitr pada bagian yang tiada berlampu, hanya samar-samar muka kena cahaya lampu dari kedaian. Mereka itu bersalung dan bernyanyi melagukan pantun dagang dengan sedihnya. Sekelompok lagi di sudut kanan. Mereka itu sedang bekerja menyusun barang-barang, yang akan dibawanya ke pasar pula pada keesokan harinya, yaitu kelompok Marah Adil dengan dua tiga orang kawannya. Dan kelompok yang ketiga di tengah-tengah ruang: di situ ada beberapa orang, yang bercakap-cakap dan berkelakar dengan riang (Iskandar, 2002:42-43). Kehidupan kutipan di atas memperlihatkan gambaran kehidupan kaum perantau di daerah Lampung dengan sangat jelas. Kondisi yang digambarkan memberi penjelasan pada pembaca bagaimana beratnya kehidupan anak dagang di daerah tersebut. Letak geografis daerah yang saling berjauhan membuat sebagian mereka harus bermalam karena tempat berdagangnya sangat jauh dari pusat kota. Misalnya, sebuah kedai dijadikan markas untuk tempat para anak dagang menghabiskan waktu dan beristirahat menunggu esok hari, saat mereka pergi ke pelosok menjajakan dagangan. Bagi yang mampu bisa bermalam di penginapan, tetapi bagi mereka yang memiliki modal kecil, tidur di kedai sudah merupakan sebuah keberuntungan. Masih ada teman mereka yang terpaksa tidur di emperan toko dengan menahan dingin serta risiko kehilangan barang, jika tidak waspada menjaganya dari para pencuri.

Dalam Pertemuan juga digambarkan bagaimana kehidupan perdagangan di daerah rantau tersebut. Kecenderungan yang terjadi dalam perniagaan digambarkan dengan amat realistis. Misalnya, orang Minang kalah bersaing dengan orang asing yang memiliki modal besar dan sudah menguasai ilmu perdagangan dengan baik. Sementara itu, para pedagang kita masih sangat minim pengetahuannya mengenai seluk-beluk dagang. Ditambah lagi mereka tidak memiliki modal yang cukup sehingga banyak di antara mereka yang berniaga seadanya saja.

“Ya, kalau ditilik sepintas Jalu memang benar perkataan Engku-Engku tadi: berjual beli di tempat yang ramai, berjalan di lebuh yang “pasar”, yaitu pada jalan yang sudah kerap kali dilalui orang,” kata Sutan Baginda seraya menggulung rokok sebatang lagi. “Akan tetapi kalau diperhatikan pula kepandaian orang kita berniaga, tentu kita takkan heran, jika mereka itu terpaksa lari ke hulu-hulu, sebab sesungguhnya kebanyakan orang kita belum boleh dikatakan pandai berniaga lagi, seperti sau-

134

dagar-saudagar bangsa asing: bangsa Cina, Arab, dan sebagainya, yang bertoko di kota yang ramai-ramai.Kita tiada dapat bersaingan dengan mereka itu. Pokoknya besar-besar. Tetapi kita, siapa yang ada empunya pokok besar? Siapa yang telah pandai ilmu berniaga, akan pelawan bangsa asing itu? Jadi, di kota kita berlawan dengan orang pandai-pandai: si penjual pandai, dan si pembeli pun pandai dan cerdik juga (Iskandar, 2002:7-8).

Di dalam Karena Mentua, kerealistisan latar juga terlihat dalam gambaran mengenai keadaan Kota Padang ketika diadakan acara tabut. Latar yang digambarkan memberi kesempatan kepada pembaca untuk berimajinasi membayangkan keramaian yang terjadi ketika acara tabut diadakan. Pembaca seolah-olah merasakan mereka berada dalam keramaian itu dan ikut ambil bagian dalam acara tabut yang diadakan.

Pada hari Ahad sejak pukul tiga petang orang sudah berkumpul-kumpul di tepi laut dekat Purus. Laki-laki perempuan, tua-muda, sama ada orang bumiputera, Tionghoa, Belanda, Arab dan Keling. Makin petang hari, orang makin ramai juga. Kendaraan silih berganti, sejak dari jalan Belatung kecil, Damar, Parak-kerambil dan Muara, sehingga polisi bekerja keras akan mengaturkan lalu-lintas. Panas pun telah berkurang-kurang, sampai senja: dan awan makin tebal di sebelah barat, pada pertemuan langit dengan air. Kebetulan angin tiada berembus, sehingga laut jadi tenang dan teduh rupanya. Meskipun cakrawala seolah-olah menunjukkan sedih akan tabut yang akan dibuang kelak, tetapi hati penonton bertambah riang dan gembira, sebab mereka itu tiada usah takut akan kepanasan. Pemandangan lepas, jauh

135

ke tengah laut, sehingga tampak beberapa buah pulau hilang-hilang timbul: jauh di tengah pulau Pandan dan dua buah agak ke tepi pulau Angsa (Iskandar, 2002:160).


Dalam Salah Pilih, kerealistisan latar terlihat, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.


Kadang-kadang mereka itu pergi berbiduk-biduk, mandi-mandi, berenang-renang dalam Danau Maninjau yang luas itu, dan kadang-kadang mengelilingi danau itu. Perjalanan itu adalah 11-12 jam lamanya. Amat senang hati mereka itu dalam perjalanan itu, sebab penglihatan sepanjang jalan sangat bagus dan permai. Rasa takkan puas-puas hati melihat sawah yang luas-luas, sedang padinya di tumpak ini tengah masak dan di tumpak itu tengah berperut, tengah menghijau serta di bagian lain baru ditanami dan sebagainya. Pemandangan itu pun disela-sela pula oleh ladang pala, kulit manis dan kopi. Kampung orang kedapatan sepanjang jalan. Rumah bulat, rumah lipat pandan, rumah gajah mengeram ada belaka. Ada yang beratap ijuk dan ada pula yaang beratap seng (Iskandar, 2003:38).


Kutipan di atas menggambarkan eloknya suasana Maninjau. Keelokan Danau Maninjau digambarkan oleh pengarang dengan runut dan jelas. Maninjau yang terkenal dengan danaunya yang luas, airnya yang biru dikelilingi oleh pepohonan hijau di sepanjang danau tersebut. Masyarakat di daerah pinggiran danau itu banyak yang memanfaatkan Danau Maninjau sebagai tempat pelepas lelah. Untuk menuju dan sampai ke sana, kita harus menempuh waktu yang cukup lama. Namun, itu semua tidak terasa karena kita dapat menjumpai pemandangan yang elok, sawah-sawah yang hijau, dan padi yang tengah menguning. Pemandangan alam itu masih sangat asri. Di sisi kanan dan kiri jalan kita temui pohon pala, kulit manis, dan kopi. Penggambaran latar yang jelas seperti itu membuat pembaca merasa turut merasakan keindahan tempat yang digam-barkan. Mereka seolah-olah bisa merasakan sendiri keberadaan mereka di lokasi yang menjadi latar cerita tersebut.

Suasana pantai di Kota Painan, tempat Masrul bekerja, dalam Kalau Tak Untung juga digambarkan dengan cukup realistis, seperti yang tersurat dalam kutipan berikut.

Hari amat bagus, matahari yang hendak menyerbukan diri ke lautan Hindia yang mata besar itu memancarkan cahaya yang amat indah. Laut berkilat-kilat sebagai dilapisi dengan air emas, puncak-puncak bukit di sebelah timur berwarna merah dan langit berawan yang berwarna-warna, membuat bermacam-macam bentuk. Angin berembus sepoi-sepoi basah dan ombak menderu-deru, merayukan hati orang yang berjalan di tepi pantai ketika itu (Selasih:2002:55).


Hari bagus cuaca terang. Bulan memancarkan cahayanya dengan lemah ke seluruh bumi. Langit bersih, seawan pun tak kelihatan, cakrawala ditaburi oleh bintang yang indah itu. Alam hening sebagai tidur bersama makhluk yang menghentikan lelah pada malam yang tenang itu (Selasih,2002:106).

Latar realis di novel itu memperlihatkan keadaan yang sesungguhnya. Penggambaran keadaan alam yang indah itu menambah daya tarik novel. Selain itu, terlihat dengan jelas besarnya rasa syukur pengarang novel tersebut kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta alam semesta. Dengan menggunakan bahasa yang memikat, pengarang menuturkan kemegahan karunia Ilahi.

137

Latar dalam novel berlatar Minangkabau tidak hanya terbatas pada penggambaran tempat, lokasi, atau suatu keadaan yang bersifat fisik saja secara realistis, tetapi juga penggambaran sesuatu yang bersifat spiritual yang berwujud tata cara kehidupan sosial masyarakat yang mencakupi berbagai masalah dalam ruang lingkup yang cukup kompleks berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap. Latar sosial itu dihadirkan bersama latar fisik dengan tujuan memperkuat kehadiran dan kejelasan latar fisik tersebut.


Dalam Karena Mentua digambarkan kondisi sosial kampung halaman Marah Adil. Tata cara bergaul dan perilaku masyarakat kampung yang tidak disukai oleh Marah Adil, yaitu suka mencampuri kehidupan orang lain. Tindakan tersebut terkadang memang untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada sanak saudara, tetapi seringkali tindakan tersebut malah mendatangkan kerugian. Turut campur masyarakat dalam kehidupan rumah tangga Marah Adil telah membuat mertuanya merasa tidak puas terhadap keberadaannya di rumah tersebut. Kehidupannya sebagai petani yang pas-pasan dianggap mertuanya sebagai sesuatu yang sangat tidak menguntungkan. Mertuanya selalu membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang lebih beruntung daripada dirinya. Hal tersebut disebabkan oleh campur tangan orang lain yang selalu memanas-manasi mertuanya dan menghasutnya untuk mempermasalahkan kondisi kehidupannya.


Dalam pada itu pikirannya melayang ke kampung halamannya, sehingga nampak nyata kepadanya di dalam ingatan seluk-beluk dan susunan rumah-rumalı, demikian juga hal-ihwal dan suasana di sana dengan jelas. Terbayang di hadapan matanya, bagaimana cara dan laku masyarakat memperhatikan serta mencampuri kehidupan berumah tangga dan sebagainya. Tentu saja mula-mula dengan maksud baik, tanda erat hubungan kasih-sayang seorang dengan seorang dalam perkauman dan persukuan (Iskandar, 2002:126-127).

Latar kehidupan sosial masyarakat sangat berpengaruh terhadap perilaku tokoh dalam novel berlatar Minangkabau. Masih dalam Karena Atentua, terlihat bagaimana pandangan masyarakat telah mengubah pola pikir Mak Amin yang hidup lama di rantau dan berbaur dengan beraneka ragam suku. Ja menerima kenyataan bahwa anaknya menikah dengan orang di luar suku Minang sebagai suatu kewajaran. Akan tetapi, pada akhirnya, ketika ia kembali ke lingkungan masyarakatnya sendiri dan kembali menghirup udara keminangkabauan, pandangannya langsung berubah. Ia mulai tidak menyukai menantunya, vang pada mulanya sangat disayangi. Sekarang ia menganggap menantunya sebagai Orang asing yang telah mencerahut anaknya dari akar budayanya. Pandangan masyarakat jugalah yang pada akhirnya membuat Mak Amin memaksa anaknya untuk menikah kembali dengan wanita dari kampung sendiri.

Mak Amin orang kampung tulen. Ia besar dan hidup di kampung, dalam adat-istiadatnya. Sebagaimana orang Minangkabau lain-lain, yang masih terkongkong teguh oleh adatnya, ia tak suka, bahkan jijik akan kawin campuran.Orang yang berbini “bangsa asing” itu dipandangnya kurang dan hina. Sebab tak laku di negerinya, maka terbuang ke negeri lain. Oleh sebab itu tentu saja lama dahulu Ramli bertukar pikiran dengan dia, maka mendapat izin akan kawin dengan Suriati, gadis Periangan itu. Lama, panjang lebar Ramli menerangkan, bahwa dalam perkawinan itu tiada memandang bangsa ini lebih baik dan bangsa itu kurang. Katanya, jodoh itu tidak terletak pada bangsa (Iskandar, 2002:143). Akan tetapi setelah ia balik ke negerinya kembali, setelah bergaul dengan orang seadat-selembaga dengan dia pula, perasaan keminangkabauan itu timbul pula dalam kalbunya, bahkan makin lama makin hidup bernyala-nyala. Apabila dilihatnya Ramli, anaknya, yang tiada kurang tentang perkara rupa dan pangkat daripada orang lain, seakan-akan disisih orang dalam pergaulan hidup, ibalah hatinya (Iskandar, 2002:143).

Yang tak terderitakan benar-benar oleh Mak Amin ialah sesalan dan ejekan kaum-kerabatnya, orang sepersukuannya.Kata mereka itu, Mak Amin dua beranak sudah mencampakkan batu keluar, Bahkan sudah berbuat di luar adat: hendak hidup sendiri saja. Padahal adat Minangkabau menegaskan: Anak dipangku kemenakan dibimbing....Mana mau Ramli memelihara kemenakannya? Kalau tidak ada kemanakan kandung, kemanakan jauh bukantah banyak sepanjang adat, vang patut dididik-disekolahkannya? Tidak, Ramli tidak mempedulikan anak-kemanakan, sebab ia sudah di bawah telapak kaki istrinya, yang tidak seadat dengan dia...(Iskandar, 2002:1-44).

Kutipan itu memperlihatkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap perkawinan laki-laki Minang dengan wanita yang berasal dari luar Minang. Laki-laki yang beristrikan orang asing dipandang kurang dan hina, serta tidak laku di kampung sendiri sehingga harus mencari istri di negeri orang. Tindakan mengambil istri orang asing akan menjadi sesalan dan ejekan dari kaum kerabat. Mereka akan dicap sebagai orang yang suka hidup sendiri, tidak mau bergaul dengan kaum kerabat sehingga harus mengambil istri dari Juar. Selain itu, laki-laki Minang vang menikah dengan orang asing dianggap melepaskan tanggung jawabnya sebagai mamak kepada kemenakannya karena hidupnya nanti akan selalu dikungkung oleh istrinya yang berlainan adat tersebut. Selain itu, perkawinan laki-laki Minang dengan wanita suku lain akan menyulitkan anak-anak yang lahir kelak dari perkawinan tersebut. Anak-anak tersebut akan dipandang sebagai orang asing. Di rumah bapaknya ia akan dipandang sebagai tamu, begitu pula sebaliknya, jika kembali ke tempat ibunya, ia juga akan dipandang sebagai orang asing oleh keluarga ibunya. Suatu malapetaka bagi laki-laki Minang jika suatu hari kelak ia ditinggalkan oleh istrinya dan kemudian anak-anak mereka ditinggalkan begitu saja dengan suaminya karena ia merupakan bapak yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anak hasil perkawinan mereka. Malah terkadang anak-anak tersebut bisa telantar hidupnya karena tidak ada yang merasa berhak dan bertanggung jawab terhadap mereka. Kenyataan adat seperti itulah yang membuat Mak Amin diliputi perasaan cemas dan takut jika Ramli hanya menikahi perempuan asing. Untuk itulah, ia perlu sekali waktu mengambil istri dari kampung sendiri, untuk menjaga fungsi dan kedudukannya sebagai laki-laki. Minang dan menghindarkan kaum kerabat dari rasa malu.

"Oh, pikiran dan pandangan adat lain, Nak! Keturunan....Kalau engkau sudah nikah dan kemudian beranak dengan perempuan awak itu, barulah aku bersuka cita beroleh cucu, yang diakui oleh adat pusaka kita itu. Saripah, bahkan orang awak pun, akan riang-gembira jua. Aku kuatir, jika engkau beroleh anak dengan Suriati, anakmu itu akan terlantar. Tak diakui sebagai anak orang awak, sebab ibunya bukan orang Minangkabau. Dan keluaga Suriati pun tidak pula akan menerima dia dengan gembira, karena dia menjadi tanggung jawab bapanya, engkau sendiri. Jadi alangkah celakanya anakmu itu kelak, jikalau kamu ditinggalkan oleh istrimu. Atau kebalikannya, jika Suriati engkau tinggalkan hidup atau mati. Anak itu tidak ber"bako" dan tidak pula dipandang sebagai keluarga sejati dinegeri ibunya." (Iskandar, 2002:194). Di dalam Merantau ke Deli, pandangan masyarakat dan adat istiadat juga mempengaruhi kehidupan tokohnya. Leman yang pada mulanya sangat teguh dengan pilihannya beristrikan wanita Jawa, pada akhirnya harus tunduk pada kehendak adat dan kaum kerabatnya. Kebahagiaan hidup rumah tangganya dengan Poniem sebelumnya seolah lenyap oleh keinginan kaum kerabat, yang memaksanya beristri seorang lagi. Hal itu dimaksudkan agar Leman tidak hanya lapuk di negeri orang, tarcampakkan dari akar kehidupan yang sebenarnya. Dilupakan oleh kaum kerabat karena tidak ada ikatan dengan kampung halaman. Salah satu cara untuk kembali masuk pada kehidupan adat dan budayanya adalah dengan mengawini wanita sekampungnya. Walaupun istrinya sangat baik dan penuh pengertian, ia memiliki satu kekurangan yang dianggapnya sangat fatal, yaitu ia bukan wanita sekampung, bukan wanita yang seadat dengannya.

"Cuma satu itu sajalah salahnya," ujar perempuan tua itu yang periannya sudah hampir penuh.

"Apa?" tanya perempuan muda itu.

"Dia bukan orang kita," ujar perempuan tua itu pula.

"Ya, itu sajalah salahnya, itu saja yang rasa keberatan. Meskipun budinya baik, kelakuannya terpuji, sayang dia tidak orang kita. Bagaimanapun kekayaan yang didapat Leman, tentu setinggi-tingginya melambung akan kembali ke tanah jua, kemana kekayaan yang sebanyak itu akan dibawa" (Hamka, 1977:49).

Pada suatu malam dia bertandang ke rumah kerabatnya yang dekat. Di sana perempuan-perempuan telah berkumpul membisikinya, bahwa mereka amat malu, sebab tidak ada menantu mereka di kampung. Kalau Leman merantau, tidak ada tempat menyambungkan, basa-basi di kampung, karena mertua Leman tidak ada. Padahal menantu itu adalah kemegahan yang paling tinggi di kampung. Terutama bila hari baik bulan baik, misalnya di bulan Hari Raya, di bulan Haji dan di bulan Maulud. Biasanya perempuan-perempuan muda membawa juadah berbagai-bagai ragam ke rumah mertuanya. Cuma mereka saja yang tidak menerima juadah itu, karena menantu sendiri tidak di kampung dan tidak pula orang kampung sendiri (Hamka, 1977:53).


"Kamipun tidak mau kalau engkau bercerai dengan dia, karena budi bahasanya dengan kami sangat elok. Tetapi ada pula yang harus difikirkan. Kalau kita beristeri orang yang bukan orang kampung kita, adalah amat sulit, kesulitannya ialah di hari tua" jawab perempuan-perempuan itu pula. "Dan kalau engkau bawa dia ke kampung di hari tuamu, di mana dia kau tinggalkan dan ke mana dia akan engkau bawa. Engkau buatkan dia rumah, tidak ada tanah buat dia. Tanah kita sempit, sawah kita telah banyak dijadikan perumahan, karena tidak cukup tanah. Lagi pula menurut pesan orang tua-tua apabila dimasukan orang suku lain ke dalam pekarangan tanah kita, dia akan kekal dannpersukuan kita sendiri akan punah. Kalau engkau turutkan ke mana dia, baik pulang ke negerinya atau sama-sama tinggal di rantau tentulah engkau hilang larat buat selama-lamanya, terpisah dari kami. Ini benarlah yang kami rusuhkan" (Hamka, 1977:54).


Beberapa kutipan di atas menggambarkan pandangan masyarakat terhadap perkawinan laki-laki Minang dengan perempuan asing. Orang Minang akan menganggap hina perkawinan tersebut. Kaum kerabat akan terkena aib dan malu jika seorang laki-laki beristrikan orang asing, yang menurut mereka tidak bisa disamakan dengan wanita di kampung sendiri. Akan sangat berbeda jika orang Minang bermenantukan perempuan Minang juga. Mereka akan disibukkan oleh urusan adat yang tidak akan mereka jumpai kalau mereka bermenantukan orang asing. Selain itu, laki-laki Minang yang menikah dengan perempuan asing akan mengalami kesulitan di hari tua. Ke mana ia akan membawa istrinya jika nanti ia tidak lagi dapat bertahan hidup di rantau. Laki-laki Minang tidak memunyai tempat di rumah ibunya. Tempat tersebut telah diperuntukkan untuk saudara perempuannya. Di mana mereka akan ditempatkan?

Pertanyaan seperti itu menghantui benak orang Minang jika anak laki-laki mereka menikahi wanita asing, seperti yang menimpa Leman ketika membawa istrinya, Poniem, pulang ke kampung halaman. Ia kebingungan karena tidak ada tempat tidur untuknya dan istrinya. Hal itu wajar saja karena ia pulang ke rumah saudara perempuannya. Kamar tidur sudah dihuni oleh saudara perempuannya dengan suami dan anak-anak mereka. Kesulitan seperti itulah yang tidak terbayangkan oleh Leman ketika mengajak istrinya pulang ke kampung halamannya. Hal itu jugalah yang mendorongnya untuk menikahi Mariatun dengan harapan nantinya ia akan dipandang oleh masyarakat karena telah mengikuti adat negerinya.

Latar sosial kehidupan orang Minang di perantauan juga terlihat dalam Karena Mentua. Kehidupan rumah tangga sebuah keluarga Minang di daerah rantau digambarkan dalam kehidupan Leman dan Mariatun. Aturan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan rumah tangga mulai dirasakan Leman. Sungguh berbeda dengan kehidupannya dengan Ponem yang tidak terikat dengan aturan yang mengharuskannya atau tidak membolehkannya untuk melakukan suatu.

Menurut adat Minangkabau, yang matrilineal, yang memegang rumah tangga adalah istri. Suami hanyalah orang semenda, tamu yang datang karena dijemput. Walapun hidup

144 di rantau, istri tidaklah jatuh ke dalam kekuasaan suaminya. Suatu saat jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, si istri akan dijemput mamaknya dan dibawa kembali ke kampung halamannya. Leman merasakan perbedaan itu. Dengan Poniem ia adalah kepala keluarga vang menentukan segala hai di dalam rumah tangganya. Poniem akan menuruti semua kemauannya karena menurut adat Jawa jika seorang wanita telah menikah, ia akan menyerahkan seluruh kehidupannya pada suaminya. Tidak ada lagi ikatan dengan keluarganya.

Menurut adat orang Minangkabau di dalam negeri sendiri, yang memegang rumah tangga ialah si isteri. Suaminya hanya "Sumanda”, artinya orang lain yang datang ke rumah itu lantaran dijemput menurut adat. Anak-anak yang lahir dari pergaulan itu, tidaklah masuk ke dalam suku ayahnya tetapi masuk suku ibu. Meskipun bagaimana lama pergaulan dan ke manapun mereka pergi merantau, namun isteri itu tidaklah jatuh ke dalam kuasa suami sepenuhnya. Kekuasaan itu tetap dalam tangan mamaknya juga. Sehingga kalau sekiranya si isteri itu melarat di rantau bersama suaminya, ada hak bagi mamaknya menjemput perempuan itu dan membawanya pulang ke kampung, biarpun suminya tinggal juga di rantau (Hamka, 1977:30).

Perbedaan cara pandang dan adat istidat antara orang Padang dan Jawa itu juga diangkat Hamka dalam Karena Mentua, Latar sosial dan adat istiadat orang Minang yang memang sangat berbeda dengan orang Jawa telah membuahkan perselisihan antara Mariatun dan Poniem. Di satu sisi, Mariatun sangat merendahkan Poniem yang dianggap tidak beradat dan berasal dari keturunan yang tidak jelas. Sementara itu, Poniem melihat adat Minangkabau, terutama yang berkaitan dengan posisi perempuan dan tingkah lakunya dalam kehidupan berkeluarga sangat berbeda dengan kebiasaannya di Jawa.


145

Menurutnya, wanita Minang hanya bisa menguras

harta suaminya tanpa mau memikirkan dari mana dan dengan cara apa harta tersebut didapat. Dalam pikiran mereka, jika kebutuhan sudah terpenuhi, mereka tidak perlu campur tangan urusan laki-laki karena tugas mereka adalah melayani suarni dan tugas suamilah untuk mencukupi segala kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sangat berbeda dengan pandangan Poniem yang menganggap rumah tangga itu harus dijalankan berdua. Sakit dan senang harus ditanggung bersama. Kesusahan suami adalah kesusahannya juga, begitu pula sebaliknya. Mereka harus bekerja sama membangun rumah tangga sehingga ia akan rela mengorbankan apa saja demi kelangsungan hidup keluarga.

“Engkau memang tidak tahu diuntung, dan tidak suka bertanya ke kiri dan ke kanan. Tidakkah kau tahu bahwa engkau dibeli maka bisa ke mari? Tidakkah engkau tahu bahwa segala barang yang terkedai ini tidak ada dari harta bendamu yang datang ke mari dan tidak pula dari harta benda suamimu itu? Tidakkah engkau tahu bahwa gelangku, subang dan segala perhiasan intan berlianku dahulunya yang dijual dan digadaikan untuk menegakkan perniagaan ini, sehingga suamimu yang dahulu hanya berjualan di punggung sudah bisa membuka kedai. Engkau hinakan orang Jawa? Mana engkau bisa hidup, mana tanganmu bisa berlilit emas kalau bukan karena orang Jawa ini, anak sombong! Engkau katakan engkau senegeri dengan suamimu. Ya begitulah perempuan orang Padang: mata duitan. Dahulu seketika suamiku itu melarat di rantau iru, haram kalian hendak ingat kepadanya atau hendak meminta pulang. Seorangpun haram orang perempuan Padang yang sudi kepadanya sampai di seakan-akan terbuang. Sekarang telah mendengar dia kaya dan kekayaannya itu dari gelangku, dari subang dan dukuhku, baru

146 engkau katakan sekampung, berninik mamak. Ninik mamak orang Padang hanyalah uang, kau tahu? Adat? Sedikit-dikit kami beradat. Sombong! Apakah engkau kira kami yang bukan orang Padang tidak beradat? Ya, itulah macamnya adat. Kalau kelihatan orang kaya yang mampu dan senang hidupnya dengan isterinya, semuanya hendak memeras dan semuanya hendak merampasnya menjadi suami. Itulah adat orang Padang......cis! Tak usahlah Upik, tak usahlah kau lihatkan adat Padang kepadaku, aku sudah tahu, semuanya. Kau datang kemari dengan mamakmu dengan ibumu. Semuanya pulang kembali, ongkos pulang balik mesti suamimu yang menanggung, belikan pula kain bajunya. Itulah adatmu yang engaku puja-puja itu dan itulah alamat berninik bermamak, semuanya hendak menghabiskan dan hendak mengupas kulitnya, memakan dagingnya dan kalau boleh hendak mengertuk tulangnya sekali. Adakah engkau datang kemari hendak membelanya? Tidak! Engkau hendak membelahnya, engkau bukan hendak menolongnya tetapi hendak menggolongnva. Katakan juga beradat negerimu itu! Saya sudah tahu engkau mengharapkan dibelikan sawah, dibuatkan rumah dan dibelikan gelang emas berlian, beli kain sepuluh peti. Sampai nanti kering suamimu itu dan kalau dia telah kering, sehingga kembali pula merantau dengan kemelaratannya, engkau akan minta talak dan minta cerai. Sebab engkau masih muda, dan engkau cari pula laki-laki lain: di negerimu seorang perempuan yang beradat boleh berganti janda sepuluh kali setahun! Bukan aku yang menumpang di sini, Upik, engkaulah yang menumpang......” (Hamka, 1977:96-97).


147

Novel berlatar Minangkabau memiliki latar yang sangat

realistis. Ikatannya terhadap hukum ruang dan waktu yang realistis sangat kuat, tetapi novel tersebut tetap tidak dapat pula melenyapkan subjektivitasnya. Novel tersebut juga memberikan makna subjektivitas atau fungsi tertentu pada latar yang digambarkannya. Sebagai contoh dalam Siti Nurbaya terlihat pemberian makna terhadap latar tersebut, seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.

Tiada lamanya berlayar itu, luputlah daratan dari mata, hilang di balik ujung langit yang hampir tiada berwatas dengan lautan itu. Kemana mata memandang, tiada lain yang kelihatan lagi, melainkan semata-mata, disungkup oleh langit sedangkan kapal yang besar itu seolah-olah sebutir pasir di Padang Saharalah rupanya. Kebesaran dan kekuasaan Allah yang menjadikan alam ini makin bertambah-tambah nyata olehnya, dan kecutlah hatinya, bila mengingatkan halnya tak dapat lari ke mana-mana lain daripada di atas kapal itu jika terjadi apa-apa di laut itu, karena lepas dari tempat yang kecil itu, mautlah yang menunggu dia. Nyatalah benar olehnya, bahwa tempat nyawanya bergantung tiada berapa besar. Di kapal itulah sahaja kehidupan, di luar itu kematian (Rusli, 2002:201).

Pengarang, lewat novel karyanya, tetap berusaha memberikan makna subjektif atau fungsi tertentu pada latar yang digambarkannya. Dalam novel tersebut digambarkan sebuah kapal vang telah meninggalkan dermaga. Meninggalkan daratan yang jauh tertinggal di belakang. Yang terlihat sepanjang mata memandang hanyalah lautan luas terbentang. Kapal yang cukup besar terlihat seperti seonggok pasir di padang sahara. Apa lagi manusia yang semakin terlihat kecil dan lemah di alam yang mahaluas tersebut.

148 Hal yang sama juga terlihat dalam Karena Mentua. Pemberian makna terhadap latar terlihat ketika Marah Adil sudah berada di dalam kapal menuju Lampung. Ketika kapal mulai meninggalkan pelabuhan, meninggalkan orang yang dicintainya, meninggalkan ranah Minang, timbullah rasa takut di dalam diri Marah Adil. Takut akan kehidupan yang akan dijalaninya nanti di negeri yang sama sekali belum pernah dijejakinya. Ketakutan vang muncul karena sama sekali tidak ada seorang pun yang dikenalnya di atas kapal yang membawanya ke negeri impian.

Kesibukan di pelabuhan, kegiatan kaum buruh kapal melakukan pekerjaannya—tak kenal payah dan lelah-serta riuh--rendah suara banyak orang menguruskan diri masing-masing, sekaliannya itu melupakan orang muda itu akan segala sesuatu yang berhubungan rapat dengan keadaan dirinya sendiri dewasa itu.

Akan tetapi setelah kapal berlayar, berangsur-angsur jauh dari daratan, dan sekalian orang yang berdiri di pangkalan makin lama makin kecil nampaknya, ketika itu barulah berdebar-debar hatinya. Sekonyong-konyong pikirannya berkacau, iman di dadanya mulai berguncang. Takut timbul dan kuatir datang. Lebih-lebih ketika dilihatnya orang sibuk dan bergalau di atas geladak kapal itu. Segala penumpang kelam-kabut dan berebut-rebut tempat (Iskandar, 2002:28).

Dalam Salah Pilih juga terlihat pemberian makna terhadap latar yang ditampilkan.

Adakalanya Asri pada hari Ahad atau hari Kamis ikut berburu babi ke dalam rimba yang tiada berapa jauhnya, dan adakalanya ia pergi menolong orang menyabit atau mengirik padi di sawah. Malam hari ia pun pergi ke sasaran

silat, atau ke tempat orang muda-mudi


bernyanyi dan berpantun-pantun, atau ke
surau akan mendengarkan orang mengaji al-
Quran dan segala rukun-syarat agama Islam
(Iskandar, 2003:38)

Pada bagian ini pengarang menggambarkan lalar yang menunjukkan keterkaitan antara tokoh dan tingkah laku serta adat dan kebiasaan masyarakat. Tokoh dilukiskan turut berpartisipasi dalam segala macam aktivitas penduduk. Adakalanya Asri pergi ke masjid atau surau untuk mendengarkan orang-orang mengaji dan belajar tentang agama Islam atau turut dalam pertemuan yang merupakan salah satu cara bagi masyarakat untuk berbicara, men- dengarkan, berunding, dan bertukar pikiran antara satu orang dan yang lainnya. Keterlibatan Masri dalam pergaulan dan aktivitas kampungnya merupakan pemberian makna yang dilakukan oleh pengarang untuk menggambarkan kehidupan dan kebiasaan hidup orang Minang.

Dalam Salah Asuhan juga terlihat subjektivitas pengarang dalam menampilkan latar ceritanya, seperti yang terungkap dalam kutipan berikut.

Di antara segala orang yang menangis-meratap
itu adalah seorang perempuan separuh baya,
yang seperti gila lakunya. Ia meronta-ronta,
membantun-bantunkan barang apa yang
tercapai olehnya. Malah kedua jenazah itu pun
hendak diambungnya. Dengan sigap ia pun
dipertangkapkan oleh beberapa orang perem-
puan bersama-sama, lalu dibaringkan di atas
tikar: kedua belah tangannya dan kakinya
dipegang teguh-teguh. Mereka itu tahu, bahwa
ia biasa "payah" yaitu di dalam pingsan
kehilangan akal ia biasa meracau, bernyanyi-
nyanyi menyampaikan "pesan" orang mati.
Jadi apa-apa yang keluar dari mulutnya bukanlah perkataannya sendiri, melainkan kata-
kata ruh orang mati yang bertemu dengan dia

dalam keadaan sedemikian. Ya begitulah penerimaan orang yang percaya akan peristiwaitu (Moeis, 2002:194).


Kutipan itu memperlihatkan latar yang dipakai oleh pengarang sebagai salah satu paham yang boleh dipercaya, boleh juga tidak. Ada suatu kebiasaan dalam masyarakat Minangkabau untuk mencoba menggali dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi. Sesuai dengan pepatah dek sabah mako bakarano (oleh sebab, ada karena). Tidak bisa dengan cara yang lazim, cara yang tidak wajar pun dilakukan. Kutipan tersebut menggambarkan kelakuan dan tingkah laku wanita tua untuk mengetahui apakah gerangan pesan yang keluar dari mulutnya. Meskipun tubuh yang dipakai menggunakan raga wanita itu, pesan yang keluar dari mulutnya merupakan pesan orang yang ingin diketahui kematiannva. Melalui mulut wanita itu akan bisa didengar keluh dan jerit jiwa orang yang telah berpulang tersebut.


Hal yang hampir sama juga terlihat dalam Salah Pilih. Penggambaran kebiasaan masyarakat dalam kehidupannya, termasuk kebiasaan ketika terjadi kematian digambarkan sedemikian rupa oleh pengarang. Pemberian latar seperti itu. dimaksudkan agar pembaca juga dapat menyelami dan memahami kebiasaan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, dalam hal ini masyarakat Minangkabau.


Tujuh malam orang mengaji Quran berturut-turut di rumah gedang untuk keselamatan ruh almarhumah Ibu mariati yang terhormat itu. Tiap-tiap habis mengaji dan membaca doa diadakan sedekah, makan minum dengan sepertinya. Dan siang hari pun tidak kurang pula orang dating melawat, dari jauh dan dekat, karena almarhumah itu benar-benar terkenal oleh karena kebaikannya dan kemurahan hatinya kepada sesama manusia selama hidupnya (Iskandar, 2003:149). Suasana ritual selalu kita jumpai apabila ada yang meninggal dunia. Upacara itu lazim ada di tengah-tengah masyarakat Minang dan merupakan adat dan kebiasaan masyarakat Minangkabau. Keluarga dan kaum kerabat selalu mendoakan arwah yang lebih dahulu dipanggil oleh Yang Mahakuasa. Pada umumnya ritual itu berjalan dan memakan waktu minimal 7 hari, terkadang ada yang sampai 100 hari. Keseluruhan itu bergantung pada adat dan kebiasaan daerah masing-masing.

Alam pikiran dan falsafah hidup orang Minang juga sangat berpengaruh terhadap penghadiran latar dalam novel berlatar Minangkabau. Alam pikiran Minangkabau yang terbagi pada dua kutub yang bertentangan, tetapi tetap berada dalam keselarasan sangat berpengaruh terhadap pola pikir pengarang. Mereka juga berada di antara dua kutub yang berbeda. Di satu sisi, mereka tidak dapat melepaskan diri dari subjektivitas dan menenggelamkan alam tersebut dalam subjektivitasnya, tetapi di sisi lain mereka juga tidak membiarkan alam tersebut berdiri sendiri dan terlepas dari subjek yang ada di hadapannya.

Kecenderungan antara dua kutub yang berbeda terlihat dalam novel berlatar Minangkabau. Kemunculan dua unsur tersebut sangat bervariasi. Terlihat adanya variasi dalam penekanan terhadap satu di antara kedua kutub tersebut, sebagai contoh dalam novel Salah Asuhan. Dalam novel itu terlihat gambaran yang minim tentang latar sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Latar ditampilkan dalam novel tersebut sejauh latar tersebut mempunyai fungsi, baik bagi penggambaran suasana batin tokoh maupun mengenai alur cerita. Sementara itu, ada novel, misalnya Karena Mentua, menampilkan banyak sekali gambaran latar yang mandiri. Latar tersebut berfungsi untuk memberikan kesan realistis. Akan tetapi, ada juga novel yang berdiri di antara dua kutub yang berbeda tersebut, bahkan ada juga yang menyerap kekuatan keduanya, seperti terlihat dalam novel Siti Nurbaya.

Dari apa vang telah diuraikan sebelumnya, terlihat bahwa pola penyajian latar novel berlatar Minangkabau tersebut sesuai dengan falsafah hidup dan alam pikiran orang Minang. Mereka memandang alam dan manusia sebagai dua kekuatan yang berbeda, bahkan cenderung bertentangan. Akan tetapi, antara dua hal yang berbeda dan saling bertentangan serta antara kekuatan yang satu dan yang lainnya itu bersifat saling memiliki, saling memberi, dan tidak saling melenyapkan.

4.3 Karakter

Pembahasan karakter dalam novel berlatar Minangkabau bertujuan mengetahu: bagaimana tokoh cerita yang ditampilkan dan bagaimana sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral tokoh tersebut sevara umum. Gambaran seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat kaitannya dengan penerimaan pembaca.

Novel berlatar Minangkabau paca umumnya adalah novel ciptaan kaum laki-laki. Oleh karena itu, novel tersebut sangat dipengaruhi oleh alam pikiran laki-laki termasuk pembentukan karakter dari tokohnya. Karakter yang tercipta tentu saja tidak jauh dari sifat laki-laki. Salah satu sifat vang identik dengan laki-laki itu adalah sifat kejantanan.

Sifat kejantanan tersebut terlihat di dalam novel berlatar Minangkabau dan dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yaitu kejantanan biologis dan kejantanan mental. Kejantanan biologis berkaitan dengan bentuk tubuh yang tinggi dan besar, serta disukai oleh kaum wanita. Tokoh yang memiliki kejantanan biologis itu mempunyai banyak pengalaman dengan wanita serta mampu memberikan kepuasan seksual kepada mereka. Akan tetapi, kejantanan mental lebih menonjol pada pribadi tokoh. Kejantanan tersebut identik dengan sikap keras kepala, kuat menjaga harga diri, pantang mengemis dan direndahkan, tahan terhadap cobaan hidup, berani menerima akibat perbuatannya, serta berani menerima si malakama.

Novel berlatar Minangkabau periode 1920 — 1940 tidak banyak menampilkan kejantanan biologis. Salah satu novel yang menampilkan kejantanan biologis pada tokohnya adalah Karena Mentua. Tokoh Marah Adil digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki tubuh yang besar, berbadan kekar, dan kuat bekerja. Tubuhnya yang besar semakin jantan dalam balutan kulit yang hampir setiap hari terkena sengatan matahari.

Yang dapat dipastikan hanyalah badannya amat tegap dan kukuh, matanya tajam berkilat-kilat dan memandang tenang-tenang kepada sebuah danau buruk (Iskandar, 2002:1).


Yang paling menonjol dalam novel berlatar Minang-kabau adalah kejantanan mental. Hal tersebut terlihat dihampir semua novel. Kejantanan mental tokoh di dalam novel tersebut berkisar pada sikap keras kepala dan menjaga harga diri di satu pihak, tetapi tetap bersedia menerima si malakama di pihak lain. Kesediaan dan keberanian tokoh, seperti Samsul Bahri, Asri, Masri, dan Marah Adil menerima buah si malakama memperlihatkan konsep kejantanan mental tersebut. Data tentang itu terungkap di dalam pembicaraan mengenai alur.


Pada novel Karena Mentua, sikap yang ingin mempertahankan harga diri, ingin mengubah nasib, serta tuntutan akan perlunya kemauan yang keras dalam hidup terungkap dalam kutipan berikut.


Ia tak berapa lebih tua daripadaku ini, barangkali kami sebaya. Akan tetapi aku, tinggal melarat seperti ini, jadi orang pesawah, pasak kampung. Kalau kucoba pula mengubah-ngubah pelangkahan (Iskandar: 2002:11).

Di tengah jalan tak lain yang dipikirkannya, melainkan percakapan di surau itu juga. Hatinya suslah terhadap ke Lampung, angan-angannya sudah ke galas. Makin lama makin cepat langkahnya, seakan-akan digerakkan oleh cita- cita yang indah mulia di dalam masa yang akan datang.... Seolah-olah ia sudah terbang di atas awang-awang dibawa angan-angan dan pikiran baru. “Kalau aku sudah bahagia, sudah jadi saudagar kelak, walau saudagar kecil sekalipun, tentu aku takkan hina benar lagi di mata orang (Iskandar, 2002:12).

Dua kutipan itu memperlihatkan sikap tokoh Marah Adil yang ingin mengubah nasib kehidupannya. Ia tidak ingin lagi dipandang hina oleh orang lain, khususnya mertuanya yang gila harta. Semangatnya untuk mengubah nasib didorong pula oleh keberhasilan orang sekampungnya di perantauan. Dalam pikirannya, ia juga pasti bisa berhasil dan memperoleh apa yang bisa diperoleh orang lain. Ja tidak ingin berkubang di sawah selamanya. Sekali waktu ia ingin mencoba penghidupan lain dengan harapan akan mengubah nasibnya dan nasib keluarganya.

Keinginan Marah Adil untuk mencari peruntungan lain didorong pula oleh rasa harga dirinya yang sering diinjak-injak oleh mertuanya. Ia ingin mempertahankan harga diri tersebut dan menunjukkan kepada mertuanya bahwa ia juga sanggup berbuat seperti orang lain. Ia juga sanggup mambahagiakan istrinya. Ia sanggup mencari harta dan mencukupi segala kebutuhan mereka. Semangat inilah yang membuatnya semakin yakin mencari peruntungannya di Lampung.

Ya, kalau ada orang baru pulang dari penggalasan sindiran Ibu itu tak tersudu oleh itik, tak tercotok oleh ayam. Mentuaku, beliau tajam mulut dan lancang bibir.” Ia gemetar sedikit kecut hatinya. “Tidak,” katanya pula dengan perlahan-lahan, “Tidak,...mulutnya mesti kusumbat dengan makanan yang enak-enak, matanya kututup dengan mata uang. Barangkali, kalau sudah demikian barulah akan berkurang angan-angannya (Iskandar, 20-02:13).

Dan Marah Adil betul-betul hendak mencapai cita-citanya, ingin hendak melunasi janjinya kepada istrinya, ingin akan disegani dan disayangi oleh mentuanya, maka dalam tiga bulan saja ia sudah dapat kepercayaan induk semangnya (Iskandar, 2002:42).

Selain memiliki sikap mempertahankan harga diri, Marah Adil juga memiliki sikap yang pantang menyerah dan memiliki keberanian untuk menjalani sesuatu yang baru. Meskipun tidak memiliki saudara di Lampung dan juga tidak berbekal modai untuk berdagang, Marah Adil tetap memutuskan untuk pergi. Ia tidak takut menghadapi apa yang akan ditemuinya di rantau. Ia berkeyakinan bahwa jika ada niat, pasti ada jalan. Hal itulah vang mendorongnya untuk tetap memutuskan pergi meskipun tidak memiliki modal apa-apa, selain semangat dan keberanian untuk menantang hidup.

Lama ia membalik ke kiri dan ke kanan, gelisah tak keruan serta berpikir-pikir juga. Akhirnya ia pun berkata dengan tetap dalam hatinya, “Apa gunanya kuhiraukan benar perkara itu? Ada nyawa ada rezeki. Ikhtiar mesti dijalan-kan...jika aku sudah sampai ke Lampung, kucari akal kelak (Iskandar, 2002: 14).

“Sudah jadi adat kebiasaan kepada kita orang Minangkabau berjalan jauh, mengarungi lautan. Menggalas tidak membawa pokok dari rumah, melainkan pokok itu dicari sendiri di rantau orang. Pokok bagiku hanya izin istriku, izin adik, Lah! Asal adik lepas aku, adik mintakan doa selamat kepada Tuhan rabbulalamin setiap sudah sembahyang, senaglah dan tetaplah kira-kiraku. Mudah-mudahan aku selamat pergi dan pulang, dapat rezeki yang halal...(Iskandar, 2002:20).

Di dalam Sitti Nurbaya, sifat keras kepala Samsul Bahri dikemukakan secara tersurat di dalam kutipan berikut. Jika dipandang daru jauh, tentulah akan disangka, anak muda ini seorang anak Belanda,

156

yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa, karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula. Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak gemuk dan tak kurus,

tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang jernih dan tenang, terbavang, bahwa ia seorang yang turus, tetapi keras hati: tak mudah dibantah, barang sesuatu maksudnya. Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak seorang yang berbangsa tinggi (Rusli, 2002:9).

Tuntutan akan kemauan yang keras, yang tidak tergoyahkan oleh kecengengan secara tersurat diungkapkan dalam Karena Mentia sebagai berikut.

“Benar baru rupanya,” ujar si Kahar setelah memperhatikan orang muda itu dari belakang. “Badannya tegap dan kukuh, perawakannya elok, pakaiannya bersih. Sungguh jauh-jauh ingatannya. Mungkin ia terkenang akan induk nasi di rumah. Ha, ha, kalau tiada beriman, jangan ditinggalkan lingkungan dapur, Kawan!” (Iskandar, 2002: 33).

Sikap keras hati dan memiliki pendirian yang teguh juga terdapat pada diri Nurdin dalam Darah Muda. Hal itu terlihat dari cara pandangnya terhadap perkawinan. Sebagai seorang muda yang telah maju pikirannya, ia tidak menyetujui sikap laki-laki Minang yang suka beristri lebih dari seorang. Dalam pikirannya, laki-laki tidak harus memiliki istri lebih dari satu, seperti kebiasaan vang berlaku di Minangkabau. Laki-laki akan dianggap hinajika hanya memiliki seorang istri, terlebih bagi mereka yang berpangkat dan kaum bangsawan. Mereka akan dipandang tidak laku kalau hanya beristrikan seorang wanita saja. Hal itulah yang tidak disetujui oleh Nurdin. Dalam hal perkawinan, baginya satu istri saja sudah cukup dan kalau dapat calon istrinya itupun harus pilihan sendiri, bukan pilihan orang tua dan bukan pula pilihan kaum kerabatnya.


Pandangan yang sama juga terlihat pada tokoh Ramli dalam Karena Mentua. Sikapnya dalam memandang perkawinan dengan lebih dari satu perempuan tidak jauh berbeda dengan Nurdin. Ia tidak menyukai hal tersebut karena ia merasa bahwa tidak ada wanita yang ingin dimadu dan lebih lagi ia tidak mau membuat istrinya memiliki madu.


"Sekarang, perkara perkawinan itoe, soedah ditimbang benar-benar oleh anak moeda," kata Noerdin. Menoeroet pengertian zaman sekarang, seseorang laki-laki tidak haroes mempoenjai isteri lebih dari seorang dan hendaklah poela anak moeda atau gadis jang mentjari djodohnja masing-masing (Negoro, 1931:27).


"Sungguh tak sanggup aku, Ibu. Lepaskan daripada segala keterangan dan soal jawab tadi itu, pertama-tama karena aku tiada melihat kebaikan adat beristri lebih dari seorang, kedua kerana aku tidak mau merusakkan jiwa perempuan. Coba Ibu periksa benar-benar, dengan seksama, perempuan manakah yang suka rela membiarkan suami yang dicintainya kawin dengan perempuan lain? Atau kualih bunyi pertanyaan: perempuan manakah yang suka bermadu atau dipermadukan? Tidak ada! Oleh sebab itu sekali lagi kutegaskan: aku tidak sanggup..." (Iskandar, 2002:195).


Sikap memiliki pendirian yang teguh, yang tercermin pada pandangan tokoh terhadap perkawinan juga terlihat dalam Pertemuan. Tokoh Masri memiliki pandangan untuk lebih mendahulukan cita-citanya. Ia ingin berbakti dan membahagiakan orang tuanya. Jika ia memutuskan untuk cepat-cepat menikah, tentu ia tidak dapat berbakti dengan penuh pada orang tua yang telah bersusah payah menyekolahkannya hingga ia bisa menyelesaikan pendidikannya. Baginya, cita-cita yang harus diutamakan, setelah itu baru memikirkan perkawinan.

“Betul-betul, Nurdin,” kata Masri dengan sebenarnya, “belumlah ada tumbuh Hita-tjita jang sedemikian dalam hati sanubari saja. Tjuma saja masih mengingat pengadjaran saja sadja. Betul ada djuga kawan-kawan saja jang telah beristeri, dan banjak jang sudah bertunangan dan ada pula jang sedang asjik bertjengkrama didalam taman mundam berahi, tetapi saja tak dapatlah begitu. Saja mesti memikirkan orang tua saja, jang berusaha pajah mentjarikan belandja saja, jang membanting tulang berhudjan berpanas mengusahakan sawah ladangnja dan dengan buah djerih-pajahnja itu akan saja sia-siakan pula. O, tidak Nurdin! Lagi pula orang jang sedang menduduki bangku sekolah seperti saja ini bolehlah dikatakan sebagai orang jang sedang berenang tengah lautan entah akan tertjapai tanah tepi, entah tidak. Berapa banjak dan besarnja ombak dan gelombang jang menimparja, rasa tak dapat diperikan. Apakah akan djadinja kelak, djika murid jang telah bertunangan itu, lebih-lebih jang sudah beristeri, berdjalan tidak sampai kebatas, berlajar tidak sampai kepulau (Pamuntjak, 1961:9).

Konsep kejantanan mental di dalam novel berlatar Minangkabau juga terwujud dalam bentuk keboranian dan kesediaan menerima suatu keadaan yang terkadang bertentangan dengan pandangan tokoh. Perjuangan untuk mencapai cita-cita harus terhalang oleh keinginan orang lain yang bertentangan dengan keinginannya sendiri. Namun, kesediaan dan keberanian serta didukung oleh konsep rasa yang ada dalam diri tokoh membuat mereka dengan rela menerima hal yang bertentangan tersebut. Seperti dalam Pertemuan, didorong oleh rasa hormat dan kasih pada orang tua, akhirnya ia menerima keputusan mereka untuk menikahkannya dengan anak mamaknya.

“Bapak!” udjar Masri dengan chidmatnja, sambil menarik napas pandjang. “Benarlah seperti kata Bapak itu. Sebagai kewadjiban seorang anak, harus menurut kata orang tuanja, segala nasihat bapa itu, djika siang hamba pertongkat, bila malam hamba perkalang. Bapapun sudah tahu djuga, semendjak kecil hamba sampai sekarang, belum pernah hamba bersutan dimata, beradja dihati sadja, hanja senantiasa bapa, ibu dan mamak djugalah, djika pergi akan tempat bertanja, pulang tempat berberita bagi hamba.” (Pamuntjak, 1961:28).

Berpendirian teguh dan berani menolak kebiasaan yang berlaku juga terlihat pada tokoh Ramli dalam Karena Mentua, Pandangannya terhadap bentuk perkawinan yang ideal bagi orang Minang, vaitu mengawini wanita dari negeri sendiri, bukan orang asing, menunjukkan sikapnya sebagai laki-laki. Ia menolak kebiasaan seperti itu. Baginya perempuan dari mana pun asalnya adalah sama. Yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah dia sendiri. Jadi, dengan perempuan dari daerah mana pun ia menikah tidak jadi masalah. Yang paling penting adalah perasaan keduanya yang saling mencintai dan bersedia hidup dalam suka dan duka dalam sebuah rumah tangga.

“Sekalian syarat yang Ibu sebut itu bukantah ada pada Suriati-maksudku-bagiku sendiri dan bahkan bagi Ibu juga selama ini? Dan lebih dari itu: bini bagiku bukan untuk penutup malu orang lain, bukan untuk perhiasan orang senegeri, melainkan untuk jiwa dan sukmaku, ya, untuk perhiasan dan kesenangan batinku belaka! Biar orang lain tak bersenang hati, biar seluruh orang awak mempergunjingkan dan memburuk-burukkan daku, karena aku berbini orang rantau, tidak berbini orang awak, apa peduliku? (Iskandar, 2002: 192).


Di dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck penggambaran karakter tokoh Pendekar Sutan yang keras, perkasa, dan kuat menjaga harga diri terlihat pada kutipan berikut.


Beberapa orang mendekati Pendekar Sutan, tetapi mana yang mendekati, mana yang rebah. Sebab gelar Pendekar itu didapatnya dengan "keputusan", bukan sembarang gelar saja (Hamka, 2002:7)


dia menjadi seorang yang gagah berani, disegani oleh orang-orang rantai yang lain. Di samping itu, dia seorang yang setia kepada kawan, pendiam, pemenung. Diam dan menungnya pun menambah ketakutan orang-orang yang telah kenal kepadanya (Hamka, 2002:7-8)


Dalam novel Sengsara Membawa Nikmat juga dapat diperoleh gambaran kejantanan mental tokohnya. Midun digambarkan sebagai tokoh yang keras hati serta baik budi.Perawakannya yang sederhana dengan tutur kata serta perilaku yang sopan menarik hati setiap orang. Ia disenangi dalam pergaulan. Tidak ada orang yang tidak menyukainya, kecuali Kacak yang iri dengan keberadaan Midun yang disukai oleh semua orang di kampungnya.


Midun ialah seorang muda yang baru berumur lebih kurang 20 tahun. Ia telah menjadi guru tua di surau. Pakaiannya yang bersih dan sederhana rupanya itu menunjukkan bahwa ia seorang yang suci dan baik hati. Parasnya baik, badannya kuat, bagus dan sehat (Sati, 2001:11). Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengar: tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras: apa yang dimaksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih hati olehnya (Sati, 2001:12).

Di dalam Salah Pilih, tokoh Asri digambarkan sebagai sosok pemuda yang keras hati serta mempunyai pemikiran yang telah maju. Ia juga sangat berbakti kepada orang tua sehingga ia rela meninggalkan pekerjaan demi menjaga orang tuanya yang telah berusia lanjut. Alasan menjaga orang tua ini jugalah yang membuatnya memutuskan untuk tidak tinggal di rumah istrinya, sebagaimana layaknya kebiasaan perkawinan di Minangkabau dan membawa istrinya tinggal di rumah ibunya. Hal itu tentu saja tidak biasa menurut adat perkawinan di Minangkabau. Namun, kecintaan dan kasih kepada orang tua mendorong Masri untuk tidak mengikuti kebiasaan di kampungnya.

Selain digambarkan sebagai sosok yang berbakti kepada orang tua, Asri juga digambarkan sebagai sosok anak muda yang sudah terpengaruh dengan kebiasaan pergaulan orang Barat. Hal itu sangat berpengaruh terhadap perilaku Asri. Pola pikir dan tindak tanduknya sudah lebih maju jika dibandingkan dengan pemuda di kampungnya. Terkadang perilakunya itu mengejutkan Asnah dan ibunya.

Asri sudah mendapat pelajaran barat dan sudah biasa bercampur gaul dan beramah-ramahan dengan bangsa Eropa. Baik dengan laki-laki, baikpun dengan perempuan. Rupanya adat mereka itu sudah banyak yang diketahuinya, bahkan banyak pula yang sudah ditiru dan dipakainya. Oleh sebab itu ia pun hampir lupa akan adat-istiadat nenek movangnya sendiri. Karena sangat kasih-sayang kepada Asnah dan karena sangat suka akan perempuan itu, hampir dipeluk dan diciumnya pula adiknya itu. Untung Asnah, walaupun sukacitanya ketika itu lebih agaknya daripada Asri, masih ingat akan kesopanan dan adatnya (Iskandar, 2003:32).

utipan di atas memperlihatkan perilaku Asri dalam pergaulan yang sudah dipengaruhi oleh tata cara barat. Ia begitu bersuka hati ketika bertemu dengan saudara yang dikasihinya sesudah beberapa tahun lamanya tidak berjumpa. Sebagai kaum muda yang sudah mendapatkan pendidikan barat dan sudah terbiasa dengan kebudayaan dan tata cara barat, Asri melupakan tata krama dan budaya timur. Asri telah melupakan adatnya yang selama ini ia junjung tinggi dan pedomani dengan teguh. Tingkah faku Asri tidak sesuai lagi dengan adat dan budaya negerinya. Adat dan budaya negeri yang selama ini dipegang teguh oleh Asri dianggap kuno dan berusaha agar adat itu bisa hilang dalam kehidupan dirinya dan kehidupan keluarganya.

Sikap itu jugalah yang menjadi salah satu pendorong tindakan Masri yang tidak mau tinggal di rumah istrinya setelah pernikahan mereka. Lazimnya dalam sistem perkawinan eksogami laki-laki Minang setelah menikah tinggal di rumah istrinya sebagai orang semenda dan mengikuti tata Cara di rumah tersebut. Namun, Asri malah menyimpang dari kebiasan itu. Ia memilih memboyong istrinya ke rumah ibunya. Selain itu, ketakutannya terhadap tata cara adat dan kebiasaan di rumah istrinya vang belum tentu sesuai dengan pandangannya, mendorongnya untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku menurut alat negerinya.


163

Berbeda dengak kakaknya, Asri, Asnah menyadari

dan memahami kesopanan dan adatnya. Ia selalu menjaga tingkah laku dalam batas-batas kesopanan. Ia tidak mau terlampau bebas, terlampau berolok-olok, dan berkelakar dengan Asri meskipun Asri sudah menganggapnya sebagai adik kandungnya sendiri. Asnah menganggap duduk berdekatan dengan bukan muhrimnya sangatlah dilarang dan akan mengotori adat apabila tidak ada orang lain duduk beserta mereka. Itulah aturan adat secara umum yang diketahui dan diyakininya. Segala sesuatu yang janggal dan dilarang oleh adat haruslah dihindari sebab jika tidak ada faedah dan mantaatnya, pastilah adat itu tidak akan dipakai oleh orang lain dalam hidup.

Selain konsep kejantanan mental sebagaimana yang telah digambarkan sebelumnya, ada juga tokoh yang memperlihatkan sikap yang berlawanan dengan sifat yang menjadi ciri laki-laki yang memiliki kejantanan mental tersebut, Tokoh itu cenderung lemah dan tidak tahan derita. Selain itu, ia juga tidak memiliki pendirian yang teguh. Hal

itu dapat dilihat pada tokoh Leman dalam Merantau ke Deli. Karena tidak tahan dengan bujukan dan pandangan orang kampung terhadap dirinya yang beristrikan orang Jawa, akhirnya ia memutuskan untuk beristri kembali dengan wanita sekampungnya dan melupakan kebaikan dan kasih sayang Poniem yang tulus kepadanya. Kecantikan dan bayangan akan kehidupannya dengan wanita yang lebih muda dan cantik dari Poniecm telah membuatnya lupa akan janjinya dulu kepada istrinya, Ia hanya menurutkan hawa nafsu tanpa menimbang dahulu baik atau buruknya keputusan tersebut.

sam bukan Aiteesidia orang kampung sendiri! Wuhar, kulitnya putih, kuning, tumitnya.....ah, merah bimit dipijakkannya, jauh lebih cantik dari Paniera, bulat penuh mukanya, meskipun Ponien cantik jaga, sayang telah agak tua, mukanya telah ayak kisut. Kasian Poniem, sudah hampir lima tahun bergaul. Tetapi kalau jadi saya kawin

164 dengan Mariatun, Poniem tidak akan saya ceraikan, jasanya kepada sava telah banyak. Tetapi kalau dia mencoba hendak membantah, hendak menghukum saya, itu lain perkara! Ya dibuang, habis perkara! (Hamka, 1977:57).


Demikianlah Leman, bahwasanya akan sulit jalan yang akan ditempuhnya nanti, dia sendiri telah merasa waktu itu dan orang-orang-sebagai Bagindo Kayo-telah memberi ingat. Tetapi dia lemah, dia jatuh di bawah kendali hawa nafsunya. Ada-ada saja dalih vang diperbuat untuk pelemahkan pendirian yang asli. Dikatakan dengan isteri yang tua tidak beranak, dikatakan malu menjejak kampung halaman sebab belum ada rumah tangga di kampung sendiri. Pada hal pada hakikatnya alam kehidupan orang kampung, anak itu tidaklah sepenting kemenakan. Bukankah suku anak berlain dengan suku ayah dan kemenakan itulah yang lebih dekat kepada dirinya? Sentana ada anaknya dengan Poniem, tentu tidak pula akan diakui orang Minangkabau dan itu pula yang akan jadi alasan untuk menam-bah isteri seorang lagi (Hamka, 1977:101).


Tokoh lain yang juga tidak memperlihatkan kejantanan mental itu adalah Datuk Maringgih dalam Sitti Nurbaya. Ia memiliki sifat yang bertolak belakang dengan karakteristik tokoh yang mempunyai kejantanan mental yang cenderung ke arah perilaku positif dan baik. Namun sebaliknya, Datuk Maringgih justru menunjukkan sikap yang sangat tidak jantan dan mengarah pada perbuatan yang merugikan orang lain. Ia sangat licik dan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang ia inginkan. Sungguhpun Datuk Maringgih seorang yang kaya raya, tetapi tiadalah ia berbangsa tinggi. Konon khabarnya, tatkala mudanya, ia sangat miskin. Bagaiman ia boleh menjadi kaya sedemikian itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri. Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaannya itu ialah ia amat sangat kikir. Perkara uang sesen, maulah rasanya ia berbunuhan. Jika ia hendak mengeluarkan duitnya, dibolak-balikkannya dahulu uang itu beberapa kali, sebagai tak dapat ia bercerai dengan mata uang ini, seraya berkata dalam hatinya, "Aku berikankah uang ini atau tidak?" hanya untuk suatu perkara saja ia tidak bakhil, yaitu untuk perempuan. Berapa kali ia telah kawin dan bercerai, tiadalah dapat dibilang. Hampir dalam tiap-tiap kampung, ada anaknya. Tiada boleh ia melihat perempuan yang cantik rupanya, tentulah dipinangnya. Walaupun ia harus mengeluarkan uang seribu rupiah sekalipun, tiadalah diindahkannya, asal sampai maksudnya. Kebanyakan perempuan yang jatuh ke dalam tangan Datuk Maringgih ini, semata-mata karena uangnya itu juga. Sebab lain daripada itu, tak ada yang dapat dipandang padanya. Rupanya buruk, umurnya telah lanjut, pakaian dan rumah tangganya kotor, adat dan kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, pangkat dan kepandaian pun tak ada, selain dari pada kepandaian berdagang. Akan tetapi, karena kekuasaan uangnya, yang tinggi menjadi rendah, yang keras menjadi lunak dan yang jauh menjadi dekat (Rusli, 2002:16).

Gambaran ketidakjantanan mental Datuk Maringgih dengan sikap licik dan cerdik yang cenderung merugikan orang lain serta sifat keras hati dan kemauan yang besar untuk mencelakai orang tersurat dalam kutipan berikut. Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang, dadanya cekung, serta kakinya pengkar, kepalanya besar tetapi tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya yang tinggal sedikit sekeliling kepalanya itu, telah putih sebagai kapas dibusur. Misai dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, tergantung pada ujung dagu dan bibirnya, melengkung ke bawah. Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil, tetapi tajam, hidungnya bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam dan kotor, yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar, seperti telinga gajah, kulit mukanya berkarut-marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar (Rusli, 2002:84).


Gambaran tokoh yang memiliki sikap yang bertolak belakang dengan konsep kejantanan mental juga terlihat pada diri Kacak, dalam Sengsara Membawa Nikmat. Karakternya digambarkan persis sama dengan Datuk Maringgih yang licik dan sangat jahat. Dari raut wajah dan pancaran matanya orang bisa menilai perilaku Kacak, apalagi kalau sudah melihat ia berbuat semena-mena terhadap Midun. Kelicikan dan keburukan sifatnya semakin terlihat jelas. Gambaran sikap Kacak tersurat dalam kutipan berikut.

Sudah padan benar nama itu dilekatkan kepadanya, karena bersesuaian dengan tingkah lakunya. Ia tinggi hati, sombong dan congkak. Matanya juling, kemerah-merahan warnanya. Alisnya terjorok ke muka, hidungnya panjang dan bungkuk. Hal itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang busuk hati (Sati, 2001:13).

Sebagian besar novel berlatar Minangkabau diciptakan oleh pengarang laki-laki, yang cenderung memiliki struktur mengarah pada alam pikiran laki-laki, yaitu kejantanan, baik kejantanan biologis maupun kejantanan mental. Konsep kejantanan tersebut tidak saja terdapat pada tokoh laki-laki, tetapi juga mempengaruhi tokoh perempuan. Lahirlah perempuan perkasa dengan mental yang tidak kalah, layaknya mental tokoh laki-laki yang telah digambarkan sebelumnya. Konsep kejantanan mental atau lebih tepat dikatakan sebagai keperkasaan seorang wanita lebih mendominasi tokoh perempuan ini.

Asnah dalam Salah Pilih, yang memperlihatkan keberanian dan kemampuannya untuk hidup dalam situasi si malakama, menunjukkan konsep kejantanan serupa itu. Ia mampu bertahan dalam situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baginya dan akhirnya berhasil memenangi hati Asri. Tokoh Asnah dilukiskan sebagai gambaran wanita Minang yang perkasa, tahan terhadap penderitaan, dan teguh memegang adat istiadat negerinya. Perlakuan buruk istri Asri diterimanya dengan kerelaan karena baktinya kepada Asri dan ibunya yang telah membesarkan dan menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Keteguhan hati serta kesabaran jugalah yang akhirnya menyatukan dia dengan Asri yang dicintainya.

Selain memperlihatkan keperkasaan layaknya sikap yang dimiliki laki-laki, Asnah juga diberkahi karakter fisik atau karakter biologis yang menarik. Kecantikannya jugalah yang semakin membuat Asri jatuh hati dan tergila-gila padanya. Lambat laun Asnah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang elok dan cantik. Kecantikan yang memancar di wajahnya dan seluruh tubuhnya sangatlah alami. Daya pikat dan keelokan parasnya diibaratkan sekuntum bunga yang baru berkembang dan harum. Apabila melihat keelokan parasnya, akan tergambarlah sebuah pemandangan lukisan yang permai.

Sebentar juga kelihatanlah seorang gadis remaja
naik tangga. Mukanya yang bulat penuh
kemerah-merahan warnanya, sebab sudah
berjalan jauh. Matanya yang riang bersinar-sinar
di bawah alisnya yang tebal lagi hitam.
Rambutnya yang panjang berjalin dan terjuntai
ke belakang, sampai ke bawah pinggangnya,

168

tersembul ujungnya yang berikat dengan kain taf di bawah selendang sutera, yang menutupi kepalanya dan kedua belah telinganya. Sebelah ujung selendang yang berwarna merah dan bersulamkan benang sutera biru laut pinggirnya

itu terjuntai di sisinya. Warna selendang itu membayang ke mukanya sehingga semakin berseri-seri parasnya. Ia memakai payung sutera Jepun, berbaju kurung daripada kain satin, berkain pekalongan dan berselop beludu yang bersulamkan manik-manik dan benang emas. Di dadanya tergantung sebuah medalium yang berantai emas dan bertatahkan permata intan yang kilau-kilauan dan gilang gemilang cahayanya. Sungguh bentuk badannya yang memang elok itu semakin bertambah molek-cantik oleh pakaiannya yang sederhana itu (Iskandar, 2003:11).


Alisnya yang seperti bentuk taji dan bulu matanya yang hitam sebagai semut yang beriringan itu... sangat bagus, ya, memang paras anak gadis itu tak ubah sebagai sekuntum bunga yang baharu kembang! Heran sekali-mengapa rupa Asnah dari sehari ke sehari bertambah-tambah elok di matanya? Bila gerangan ia telah membuka jalin rambut anak gadis itu? Rupa rambut itu makin lama makin panjang dan hitam juga. Tebal dan permai! Jarang bertemu rambut yang seperti itu. Dan betapa pula indahnya pakaian yang menutupi tubuh yang lampai, lemah-gemulai dan clok itu! (Iskandar, 2003:53).

Tokoh Ramalah dalam Karena Mentua juga memperlihatkan kejantanan mental tersebut. Di tengah godaan dan hasutan, serta paksaan ibunya untuk bercerai dengan suaminya dan menikah lagi dengan laki-laki lain, ia masih mampu bertahan. Ia sanggup menahan godaan tersebut dan tetap setia kepada suaminya.


Kemampuan serupa juga diperlihatkan oleh Sitti Nurbaya. Ia mampu memutuskan untuk menikah dengan Datuk Maringgih demi keselamatan ayahnya dan kemudian dengan berani pula memutuskan berpisah dengan laki-laki yang telah menghancurkan kehidupannya itu.


Sekarang ayahku tak ada lagi, putus pula sekalian tali yang mengikatkan aku kepadamu. Janganlah engkau harap, aku akan kembali kepadamu. Manusia sebagai engkau, tiada layak bagiku. Daripada bersuamikan engkau, terlebih suka aku bersuamikan anjing. Nyah engkau dari sini! Tiada sudi aku memandang engkau sebelah mata pun, terlebih daripada aku melihat najis. Cis! Ceraikan aku sekarang ini juga! Jika tiada, bukanlah laki-laki (Rusli, 2002:155).

Selain memperlihatkan keperkasaan sebagai seorang wanita, sosok Sitti Nurbaya juga digambarkan memiliki karakter biologis yang menarik. Ia digambarkan sebagai seorang gadis yang memiliki penampilan fisik yang menarik, yang tentu saja sangat disukai oleh laki-laki. Ia digambarkan sebagai wanita yang cantik dan elok, seperti tergambar dalam kutipan berikut ini.

Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipi sebagai pauh dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari. Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambahkan manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi lalat yang hitam. Pandangan matanya tenang dan lembut, sebagai janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung, dan pada kedua belah cuping telinganya kelihatan subang perak, yang bermatakan berlian besar, yang memancarkan cahaya air embun. Di lehernya yang jenjang, tergantung pula rantai emas yang halus, sebuah dokoh hati-hati, yang bermatakan permata delima. Jika ia minum, seakan-akan terbayang air yang diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemah-lembut, bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya. Dadanya bidang, ping-gangnya ramping. Lengannya dilingkari gelang ular-ular, yanag bermatakan beberapa butir berlian yang menyala-nyala sinarnya. Pada jari manis tangan kirinya yang halus itu, kelihatan sebentuk cincin mutiara, yang besar matanya. Kakinya baik tokohnya dan jalannya lemah gemulai (Rusli, 2002:10).


Di dalam Salah Asuhan, Rapiah juga menunjukkan kejantanan mental tersebut. Sebagai seorang istri, ia sangat menyadari bahwa ia harus setia dan mengikuti segala kemauan suaminya. Walaupun diperlakukan sangat buruk oleh Hanafi, ia tetap sabar dan setia melayani suaminya. Bahkan, ketika Hanafi memutuskan untuk menikah dengan Corrie, ia tetap sabar dan menunggu dengan setia kepu-langan suaminya. Hal itu menunjukkan bahwa ia memiliki jiwa yang besar dan memegang teguh pendiriannya. Ketika menerima Hanafi Hanafi sebagai suaminya, ia telah menyadari perasaan yang sedikit pun tidak mencintainya. Cinta Hanafi hanya untuk perempuan Belanda yang telah merebut hati suaminya Namun, sebagai seorang istri yang baik, ia tetap setia. Ia menunggu sampai Hanafi menyadari kekeliruannya dan kembali berkumpul bersama mereka. 171 Wanita perkasa lainnya juga tergambar dalam Kalau Tak Untung. Tokoh Rasmani digambarkan sebagai wanita yang sabar, penuh cinta kasih, dan setia. Kesabarannya seringkali mengalami ujian oleh perlakuan Masrul yang selalu mengecewakan hatinya. Kelemahan Masrul dan keragu-raguannya terhadap perasaan kasih dan cinta yang sebenarnya hanya untuk Rasmanilah yang akhirnya memisahkannya dari gadis malang itu. Cinta dan kesetiaan Rasmani jugalah yang membuatnya terus menunggu dan berharap suatu saat Masrul akan menyadari perasaan hatinya. Namun, kesabaran itu ternyata tidak membuahkan hasil Seperti apa yang diharapkannya. Penderitaan dan tekanan batin yang cukup hebat, akhirnya mengalahkan cinta dan takdir kematian memisahkannya dari pemuda yang sangat dicintainya itu.

Tokoh perempuan lain yang juga memperlihatkan konsep kejantanan mental itu adalah Rasdiana dalam Pertemuan. Ia digambarkan sebagai seorang wanita yang keras hati, berani, serta teguh pada pendirian. Hal tersebut tersurat dalam kutipan berikut. Kulitnja putih-kuning, perawakannja sedang besarnja, tegaknja tegap dan lurus serta berdjalannja gagah dan manis dipandang mata. Melihat keadaan tubuhnja, tampaklah rasanja, bahwa ia seorang anak perempuan jang berani, tak ada menaruh takut dan gentar akan menudju kebenaran. Tetapi wadjah mukanja jang menaruh suatu kekuatan jang keras, dapat menarik dan mengharu-birukan kalbu barang siapa jang melihatnja, menundjukkan pengasih penjajang, kesetiaan dan kelurusan hatinja. Dua buah mata jang bulat, memantjarkan tjahajanja laksana bintang timur, terletak dengan manisnja dibawah alis jang seperti semut beiring (Pamuntjak, 1961:129)

Selain memperlihatkan kejantanan mental, tokoh Rasdiana juga identik dengan karakter biologis yang nyaris sempurna. Sosoknya digambarkan sebagai seorang wanita yang cantik dan menarik. Karakter biologisnya itu membuat laki-laki terpesona dan ingin menarik perhatiannya. Hal tersebut tersurat dalam kutipan berikut.

Pipinja sebagai pauh dilajang, jang kerap kali merah djambu kelihatan, bibirnja merah limau seulas, mulutnja seperti delima merkah, jang senantiasa dihiasi oleh senjum-senjum simpul, sehingga terbajanglah dua leret gigi jang sama pepat, berbajang putih laksana gading, dagunja sebagai lebah bergantung dan hidungnja jang mendasun tunggal itu, semupakat mendjadikan mukanja jang hampir seperti daun budi. Rambutnja jang hitam laksana dawat, terbelah dua, berat kesebelah kiri kepalanja, kiri-kanan meliputi telinganja jang sebagai tjendawan muda, sehingga hanja sepasang anting-anting mas sadja kelihatan, bersenang hati, berbuai berajun-ajun pada tjuping jang kuning manis itu. Diatas dahinja jang sebagai kiliran tadji itu, berombak-ombak kelihatan rambutnja, jang menambah tjantiknja djuga serta penguatkan besi berani akan penarik hati anak sidang manusia (Pamuntjak, 1961:129).

Sosok wanita perkasa itu juga terlihat dalam Merantau ke Deli. Tokoh Poniem digambarkan sebagai wanita yang sabar, berjiwa besar, teguh pada pendirian, berkemauan keras. serta taat pada suaminya. Kemauan keras dan semangat untuk memperbaiki kehidupannya dengan Lemanlah yang akhirnya membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik. Dengan jiwa besar, ia menerima kenyataan pernikahan suaminya dengan Mariatun, wanita sekampungnya. Jika pernikahan itu akan membuat suaminya bahagia, ia rela dan mengikhlaskannya untuk menikahi wanita lain. Ketika ia mendapatkan perlakuan yang buruk, baik dari Leman maupun istri barunya dan merasa harga dirinya sebagai seorang wanita

173
seperti diinjak-injak, ia pun kemudian berontak.

Pemberontakan itu berujung perpisahan dengan suami yang dicintainya. Namun kemudian, dengan kesabaran dan semangat untuk melanjutkan kehidupannya, ia mampu bangkit dan memetik buah dari perjuangannya itu.

Di samping terlihat gambaran tokoh perempuan yang memiliki kejantanan mental layaknya seorang laki-laki, novel berlatar Minangkabau juga menghadirkan tokoh perempuan yang memiliki sikap yang berlawanan dengan tokoh perempuan perkasa, sebagaimana yang telah digambarkan sebelumnya. Mereka cenderung memiliki sikap yang tidak terpuji dan tidak disukai oleh masyarakat. Dalam Salah Pilih, hal tersebut tergambar dalam diri Saniah, istri pilihan Asri.

Akan tetapi Saniah? Kecuali sifat-sifat ibunya yang sangat terpengaruh sejak muda oleh kebesaran kehormatan Tuanku Laras semasa dalam jabatannya, sudah mengalir dalam darahnya, ia pun terlalu meniru-niru kese- nangan dan kemegahan nona-nona Belanda yang gila kecantikan diri. Selama bersekolah di Bukittinggi payah aku membimbing dia supaya tetap berkepribadian sendiri - kepribadian bangsa jua - tetapi usahaku tidak berhasil. Lebih-lebih setelah ia kembali ke dalam asuhan bunda pula... ah, Saniah semakin manja, semakin tinggi hati, sombong, ya, semakin mementingkan diri sendiri saja. Ia tidak mau bersusah payah, enggan ke dapur hanya mengerahkan tenaga babu dan koki untuk keperluan rumah tangga dan memandang rendah adat-istiadat orang kampung biasa dan hina orang kebanyakan. Jadi, kedua macam sifat yang buruk itu - sifat bangsawan kuna bunda dan sifat “kecantikan” nona-nona atau nyonya kaum senang dan megah - rupanya telah menjadi tujuan hidup baginya (Iskandar, 2003:68). Dari kutipan itu terlihat jelas sifat dan karakter Saniah. Sifat Saniah yang tinggi hati. Saniah yang selalu menganggap rendah orang Jain apabila tak sederajat dengan dirinya. Saniah seorang gadis yang sombong dan bengis. Sikap tersebut merupakan turunan dari ibunya yang memiliki sikap dan tabiat yang tidak jauh berbeda dari anaknya. Sifat dan tabiat jelek tersebut semakin bertambah-tambah setelah ia menempuh pendidikan barat, yang membuat Saniah tidak tahu akan kewajibannya terhadap kampung halaman dan sanak saudaranya. Saniah tidak mengetahu: urusan rumah tangga yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya dan dikerjakan oleh seorang perempuan. Tidak satu pun tugas perempuan yang bisa dilakukannya.

la telah memunculkan satu jurang yang besar antara dirinya dan masyarakat sekitarnya. Juga akhirnya menim- bulkan jurang yang besar dengan Asri, suaminya, yang tidak pernah menyangka Saniah yang dianggapnya berpendidikan tersebut ternyata memiliki budi yang sama sekali jauh berbeda dari budi pekerti yang dimiliki Asnah, yang tidak pernah menempuh pendidikan barat, tetapi berkelakuan layaknya seorang yang berpendidikan. Kehidupan mereka tidak pernah rukun akibat perilaku Saniah yang tidak terpuji. Pertengkaran sering terjadi karena Asri tidak pernah menyukai tingkah polah istrinya yang seringkali menghina Asnah, adik vang sangat dicintainya.

Bagaimanapun Asri tetap menginginkan terciptanya kedamaian dalam rumah tangganya. Berbagai cara ditu- payakan oleh Asri agar di antara mereka, suami-istri, tidak terjadi perdebatan. Asri berusaha menutupi sifat dan tingkah laku istrinya yang tidak tahu rasa dan periksa. la berusaha menghilangkan sifat dan tabiat buruk yang ada di dalam diri istrinya. Asri berkehendak agar Saniah tidak memandang hina dan rendah kepada Asnah karena ia meru pakan “berlian” yang berkilauan di kampung halaman mereka. Asnah merupakan buah hati keluarga Ibu Mariati, Saniah yany merasa sebagai keturunan bangsawan selalu memperlakukan Asnah denpan buruk. Itulah yang tidak disukai Asri. Saniah yang ponygah sebab merasa sebagai seorang bangsawan yang harus dimuliakan orang. Akan tetapi, ia sendiri tidak mampu memuliakan orang lain. Segala macam kepandaian yang ia dapatkan semasa ia sekolah dulu digunakannya hanya untuk kepentingannya sendiri, yaitu untuk membusungkan dadanya dan membanggakan dirinya bahwa ia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada anggota masyarakat lainnya.

Gambaran perilaku tokoh yang tidak jauh berbeda dari Saniah juga terlihat dalam Pertemuan. Chamisah, istri pilihan ayah dan mamak Masri, ternyata memiliki perilaku yang sama sekali tidak sesuai dengan harapan Masri. Walaupun mempunyai wajah yang cantik, tabiatnya sangat buruk. Ia juga malas dan tidak pernah mau melakukan perkerjaan yang layaknya dikerjakan oleh seorang istri. Setiap hari kerjanya hanya bermalas-malasan. Kalau pun ia mau melayani suaminya, itu pun dilakukannya sambil menggerutu. Kebusukan hatinya jugalah yang akhirnya mencelakai Masri dan hampir merenggut nyawa Laki-laki malang itu.

Mariatun dalam Merantau ke Deli juga berperilaku kurang lebih sama dengan Chamisah. Istri kedua Leman, yang dianggapnya sebagai wujud pembuktian dirinya sebagai laki- laki Minang, ternyata hanya bisa menyusahkan kehidupannya saja. Tidak seper ti Poniem yang selalu bekerja keras setiap hari membantu Suaminya, Mariatun meng-habiskan hari-harinya dengan bersolek. Dia tidak pernah mengerjakan pekerjaan perempuan yang seharusnya dikerjakannya. Semuanya dikerjakan oleh Poniem. Saat suaminya mengalami persoalan dalam perniagaannya, Mariatun sama sekali tidak mau membantu meringankan beban suaminya. Menurutnya, semua beban kehidupan rumah tangga suaminyalah yang harus memikulnya Tugasnya hanya melayani suami dan memberikan mereka anak yang akan meneruskan keturunannya.

Konsep kejantanan biologis dan kejantanan mental, baik yang terlihat pada tokoh laki-laki maupun pada tokoh perempuan, sesuai dengan konsepkultural Minangkabau. Alam pikiran Minangkabau bersifat demokratis. Oleh sebab itu, konsep kejantanan biologis selalu hadir mendampingi konsep kejantanan mental tokoh cerita novel berlatar Minangkabau. Alam pikiran Minangkabau tidak menenggelamkan salah satu dari dua unsur yang bertentangan. Oleh sebab itu, konsep kejantanan biologis tidak pernah tenggelam dalam konsep kejantanan mental. Begitu juga sebaliknya, konsep kejantanan mental tidak akan menenggelamkan konsep kejantanan biologis.