Lompat ke isi

Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB III
ALAM PIKIRAN MINANGKABAU

Sebelum masuk pada analisis konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau, akan diuraikan alam pikiran Minangkabau karena tidak dapat dimungkiri bahwa novel tersebut lahir dari pandangan pengarang yang tidak dapat dilepaskan dari alam pikiran yang terbentuk dari kebudayaan yang dimilikinya. Alam pikiran yang dituangkan pengarang dalam novel berlatar Minangkabau tersebut merupakan hasil pemahaman mereka terhadap falsafah hidup masyarakat Minangkabau.

Menurut Navis (1984:59), falsafah hidup orang Minangkabau berpusat pada konsep alam takambang jadi guru.

...Oleh karena itu, ajaran dan pandangan
hidup mereka yang dinukilkan dalam petatah,
petitih, pituah, mamangan, serta lain-lainnya
mengambil ungkapan dari bentuk, sifat, dan
kehidupan alam.

Alam dan segenap unsurnya mereka
lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat
dibagi dalam empat, yang mereka sebut nan
ampek
(yang empat). Seperti halnya: ada

matahari, ada bulan, ada bumi, ada bintang, ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang, ada timur, ada barat, ada utara, ada selatan, ada api, ada air, ada tanah, ada angin. Semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya itu saling berhubungan, tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan, tapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok, tapi

tidak saling meleburkan. Unsur-unsur itu masing-masing hidup dengan eksistensinya dalam suatu harmoni, tetapi dinamis sesuai dengan dialektika alam yang mereka namakan bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat).

Kutipan itu memperlihatkan kepada kita bahwa orang Minang memiliki kecenderungan untuk hidup dalam alam pikiran yang penuh dengan konflik, Konflik tersebut terjadi antara hal yang saling berhubungan dan tidak mengikat, konflik antara saling berbenturan dan tidak saling melenyapkan, harmoni dan dinamika. Alam yang diibaratkan sebagai kehidupan manusia dalam masyarakatnya memberi kebebasan pada tiap-tiap individu untuk mempertahankan eksistensi dalam perjalanan hidupnya.

Lembaga berkewajiban menjaga eksistensi tersebut. Demikian juga sebaliknya, setiap individu berkewajiban juga memelihara eksistensi lembaganya. Di sinilah konsep harmoni terlihat sehingga terjalinlah keselarasan hidup di antara sesama lembaga, sesama individu, antara lembaga dan individu, serta sebaliknya, Namun, harus disadari bahwa unsur-unsur tersebut memiliki perbedaan dalam kadar dan perannya. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat bersatu dengan yang lain, tetapi akan tetap sama dengan yang lain. Masing-masing menjadi satu untuk bersama dan masing-masing menjadi sama untuk bersendiri-sendiri, Dinamika harmoni seperti itulah yang menjadi inti dari falsafah hidup orang Minang. Nasroen (1971:146) menyatakan bahwa yang menjadi dasar dalam falsafah hidup orang Minang serta tecermin dalam tindakan seseorang dalam hidup bermasyarakat adalah prinsip keseimbangan dalam pertentangan. Menurutnya, prinsip itu tidak didasarkan pada individualisme dan totaliterisme, tetapi berdasarkan pada perimbangan antara individu dan masyarakat, antara kepentingan seseorang dan kepentingan bersama, seperti terungkap dalam pepatah "nan rancak di awak, katuju dek urang andaknyo" (bagus bagi kita, hendaknya bagus juga menurut orang lain).

Lebih lanjut Nasroen (1971) menyatakan bahwa prinsip keseimbangan dalam pertentangan tersebut berbeda dari konsep tesis, antitesis, dan sintesis dalam dialektika yang cenderung meleburkan pertentangan. Dialektika tidak memberikan jalan keluar terhadap pertentangan. Tugas dialektika hanya mengemukakan sistem dan menjelaskan apa sebabnya sintesis diperoleh antara tesis dan antitesis. Selain itu, prinsip keseimbangan dalam pertentangan itu juga berbeda dari konsep koeksistensi yang hanya cenderung merupakan keseimbangan sementara dari pertentangan. Pertentangan dalam koeksistensi tidak mengalami perubahan dan tidak berada dalam keseimbangan. Keadaan yang selalu berubah-ubah dalam koeksistensi setiap saat dapat saja berkembang menjadi pertentangan hingga timbulnya bentrokan. Hal itu terjadi karena salah satu dari pertentangan itu menganggap dirinya lebih kuat dan dapat mengalahkan lawannya.

Prinsip keseimbangan dalam pertentangan itu hidup dan berkembang dalam masyarakat yang mengakui adanya kepentingan bersama dan dapat merasakan perasaan orang lain. Dalam konsep tersebut pertentangan yang ada tidak lenyap. Keseimbangan yang ada dalam konsep itu cenderung merupakan keseimbangan yang abadi tanpa harus melenyapkan berbagai pertentangan yang ada. Pertentangan yang ada itu tetap ada, tetapi diusahakan perimbangan terhadap pertentangan tersebut. Dapat dikatakan bahwa falsafah itu telah melahirkan berbagai konsep kultural yang penting dalam masyarakat Minang, seperti konsep harga diri, konsep malu, konsep merantau, konsep budi, konsep rasa dan periksa, dan konsep yang berhubungan dengan individu dan masyarakat serta sejarah. Berikut ini, akan diuraikan sekilas tentang berbagai konsep kultural masyarakat Minang tersebut.

3.1 Konsep Individu dan Masyarakat

Alam pikiran Minangkabau memandang manusia atau individu sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Menurut Navis (1984:60), falsafah alam Minangkabau meletakkan manusia sebagai salah satu unsur yang memiliki kedudukan yang sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah, suku, dan nagari. Persamaan status itu mereka lihat dari keperluan budi daya manusia itu sendiri. Setiap manusia, secara bersama atau sendiri-sendiri, memerlukan tanah, rumah, suku, dan nagari sebagaimana mereka memerlukan manusia atau orang lain bagi kepentingan lahir dan batinnya. Oleh karena itu, sangat sulit menurut alam pikiran mereka, jika seseorang tidak memiliki keperluan hidup lahir dan batin itu.

Menurut alam pikiran Minangkabau, manusia atau individu dipandang sebagai sesuatu yang sempurna. Navis (1984:60) mengibaratkan kesempurnaan manusia itu seperti sempurnanya matahari dengan sinarnya, bulan dengan cahayanya, api dengan panasnya, angin dengan embusannya. Yang, tidak mempunyai salah satu atau semua keperluan budi daya itu akan dipandang sebagai orang kurang. Oleh karena itu, setiap manusia atau individu dipandang dalam status yang, saina Hal itu sesuai dengan falsafah alam Minangkabau yang mengajarkan bahwa unsur-unsur alam tidak saling melenyapkan. Oleh sebab itu, orang Minang melihat hubungan antarmanusia secara demokratis, seperti tertuang dalam petuah masyarakat Minang "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" Petuah itu memiliki makna yang sangat dalam yang, mengajarkan masyarakat Minang untuk selalu berusaha agar bisa sama dengan orang lain. Pantang bagi mereka untuk menjadi rendah atau dipandang rendah.

Jika dilihat dari strukturnya, seseorang dalam masyarakat dipandang sebagai individu. Setiap individu adalah anggota masyarakat etnik dan lingkungannya. Di sisi lain, jika dilihat dari sistem masyarakatnya yang komunal, setiap individu merupakan bagian dan milik masyarakatnya. Sebaliknya, masyarakat itu adalah milik bersama dari setiap individu. Faktor saling memiliki inilah yang membuat kedua belah pihak tidak dapat saling menguasai.

Setiap individu membangun dirinya di dalam masyarakat. Lingkungan hidupnyalah yang membuat tiap- tiap individu tersebut memiliki keinginan untuk berhasil dalam kehidupannya. Keberhasilan yang membuat individu menjadi besar itu tidak terlepas dari peran masyarakatnya. Oleh karena itulah, setiap individu dalam masyarakat merasa berutang budi pada masyarakat yang telah membesarkannya. Perasaan berutang budi inilah yang mendorong setiap individu yang dalam mencapai ambisinya tidak sanggup melakukan perbuatan yang merugikan masyarakatnya, betapa pun besar egonya untuk berbuat itu. Hal itu berlangsung terus-menerus yang membuat individu merasa selalu berutang budi pada masyarakat. Seseorang yang berutang tentu merasa perlu membayar utang itu kembali sepanjang hidupnya. Keterikatan inilah yang membuat individu merasakan bahwa masyarakat itu adalah bagian dari dirinya yang harus selalu dibela dan diperjuangkan agar menjadi berharga. Setidaknya kalau tidak melebihi, tentu sama dengan masyarakat lain di luar lingkungannnya.

Menurut Nasroen (1971:125), falsafah adat Minangkabau secara sistematis mengatur kedudukan individu dalam masyarakat. Menurutnya, seseorang/individu tersebut adalah untuk bersama dan bersama tersebut untuk seseorang. Seluruh persoalan yang ada berdasarkan atas dan berputar di sekeliling masalah seseorang dengan bersama dan bersama dengan seseorang Jadi dasar dari falsafah hidup orang Minang adalah dan bersama, oleh bersama dan untuk bersama. Kehidupan masyarakat Minang tidak didasarkan pada individualisme yang lebih cenderung mementingkan kepentingan pribadi. Selain itu, dasar individualisme tersebut adalah liberalisme yang mengutamakan kebebasan individu. yang dengan sendirinya mengakibatkan perjuangan dan persaingan antara seseorang dan orang lain. Falsafah hidup orang Minang lebih menekankan pada "num rancak dek awak kaluju dek urang andaknyo" (yang bagus bagi kita, hendaklah disetujui oleh orang lain). Hal itu dimaksudkan agar segala sesuatunya berjalan dengan baik dan memberi kepuasan pada semua pihak. Tidak ada pihak yang merasa enak sendiri atau ada pihak lain yang merasa terpaksa menerima sesuatu. Kehidupan dapat berjalan dengan lancar, jika ada keseimbangan antara orang seorang (individu) dan masyarakatnya.

Menurut alam pikiran Minangkabau, individu mempunyai kedudukan yang penuh sebagai individu. Hal itu sangat disadari oleh individu tersebut dan masyarakat. Akan tetapi, di balik itu individu harus menyadari akan pentingnya masyarakat. Dengan kata lain, individu itu harus menyadari bahwa selain sebagai individu, dia juga sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh sebab itu, kedudukan dan fungsi individu tersebut menghendaki adanya keseimbangan.

Sistem tersebut telah dilaksanakan oleh orang Minang dalam masyarakat Minang. Akan tetapi, harus diketahui bahwa hal tersebut dapat terjadi karena sistem adat dan masyarakat Minang yang merupakan satu keseluruhan yang bulat dan berdasarkan pada falsafah yang penuh dan harmonis sebagai satu keseluruhan yang bulat (Nasroen, 1971:131). Lebih lanjut, Nasroen (1971:133) menyatakan bahwa susunan masyarakat yang berdasarkan pada falsafah seseorang dengan bersama itu telah diatur dalam adat Minangkabau yang mempunyai dasar dan prinsip yang tertentu pula. Dengan demikian, terdapatlah tingkatan dalam masyarakat. Tingkatan tersebut menentukan hak dan tanggung jawab seseorang dalam lingkungannya. Tingkatan tersebut juga mengatur orang-orang dan persekutuan hidup serta daerah. Susunan masyarakat Minang dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya, masing-masing mempunyai dasar atau falsafah susunan masyarakat yang satu, yaitu dasar kekeluargaan. Keragaman yang ada dalam masyarakat Minang tersebut dapat dilihat dari manusianya yang memiliki kepentingan yang berbeda, dengan segala kebaikan dan keburukan yang dapat melahirkan berbagai kemungkinan, tidak akan saling melenyapkan antara sesamanya karena satu dengan bersama, dari, oleh, dan untuk bersama.

Dalam pergaulan hidup pada tingkatan yang ada dalam masyarakat tersebut, seseorang harus membela. tingkatan yang paling dekat dengan dirinya. Akan tetapi, pada saat ia dibutuhkan oleh masyarakat, ia harus membela kepentingan yang lebih besar itu dari kepentingan tingkatan yang lebih rendah, dalam hal ini kepentingan pribadinya sendiri. Dengan kata lain, kepentingan pribadi harus dibela dan dipertahankan, tetapi jika perlu kepentingan yang kecil harus mengalah pada kepentingan yang besar. Inilah dasar dari falsafah adat tersebut, yang tidak hanya mengakui sepenuhnya kedudukan dan fungsi yang kecil, tetapi juga ditetapkannya kedudukan terhadap kepentingan yang lebih besar. Nilai lain yang terkandung dalam prinsip itu adalah bahwa dalam membela kepentingan itu haruslah dengan perpaduan dan kesatuan yang dijalankan berdasarkan kesadaran dan kerelaan..

Dasar falsafah kemasyarakatan orang Minang adalah sama dan bersama. Jika sama dan bersama ini digabungkan, orang Minang menganggapnya bukan menjadi satu, tetapi menjadi bulat, menjadi penuh. Menurut Nasroen (1971:134-135), konsep bersama ini sangat berbeda dengan persamaan. Persamaan dalam masyarakat dan persamaan antara anggota masyarakat adalah tidak mungkin. Adat Minangkabau inenghendaki dasar bersama dan bukan persamaan bagi dan dalam masyarakat Minangkabau. Dasar bersama itu dapat dijalankan antara orang-orang yang berbeda kedudukan dan kepentingannya, sebagaimana tertuang dalam fatwa adat "nan tuo dimuliakan, nan mudo dikasihi, sama gadang, hormat- menghormati" (yang tua dimuliakan, yang muda disayang, sama besar hormat-menghormati). Dari fatwa adat tersebut jelaslah bahwa yang diinginkan dalam masyarakat adalah pengorbanan dan bakti bersama. Akan tetapi, bukan berdasarkan persamaan, melainkan berdasarkan pengorbanan dan bakti menurut kesanggupan masing-masing. Tidak ada paksaan. Hanya tanggung jawab moral seluruh pihak untuk mencapai kebersamaan.

Konsep kultural masyarakat Minang mengenai hubungan individu dan masyarakat sejajar dengan tuntutan akan dua kemungkinan yang bertentangan, yaitu harmoni versus disharmoni. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya pada pengantar bab ini, Nasroen (1971) melihat antara individu dan masyarakatnya berada dalam keseimbangan dari pertentangan. Di satu pihak, kepentingan individu dan eksistensinya diakui dan di pihak lain, pergaulan hidup dalam masyarakat juga tidak dilenyapkan. Antara individu dan masyarakat terdapat hubungan saling memiliki sehingga kedua belah pihak tidak dapat saling menguasai.


3.2 Konsep Harga Diri

Konsep harga diri ini merupakan salah satu konsep kultural yang penting dalam masyarakat Minang. Mereka memegang teguh konsep harga diri ini dan selalu berusaha membangun dan memeliharanya karena sesuai dengan falsafah yang mengajarkan kepada mereka bahwa unsur-unsur alam tidak saling melenyapkan. Hal itu menyebabkan hubungan antarmanusia dipandang secara demokratis oleh orang Minang, "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Mereka selalu berusaha menjadi sama dengan orang lain. Pantang bagi orang Minang untuk menjadi rendah atau dipandang rendah. Kecenderungan seperti itulah yang membuat orang Minang, memegang teguh konsep harga diri.


Keinginan seseorang untuk menjadi berarti dan dianggap penting atau setidaknya menjadi sama dengan orang lam didukung oleh ego manusia. Sesuai dengan pendapat Navis (1984.63), ego inilah yang memotivasi orang Minang untuk hidup dalam persaingan secara terus-menerus. Persaingan itu dilakukan orang Minang demi harga diri yang diinginkannya tadi. Harga diri yang terwujud dalam kemuliaan, kenamaan, kepintaran, kekayaan, dan menjadi sama dengan orang lain inilah yang diinginkan oleh orang Minang. Nilai tersebut dicapai dari persaingan dalam melawan dunia orang lain. Orang Minang beranggapan bahwa jika orang lain mampu, tentu mereka pun juga mampu. Begitu juga sebaliknya, jika mereka mampa, tentu orang lain pun juga mampu.

Setiap individu dianugerahi ego oleh Yang Mahakuasa. Ego yang dimiliki oleh manusia itu membuahkan ambisi dan persaingan antarmanusia. Persaingan tersebut pada akhirnya dapat berubah menjadi pertarungan untuk saling mengalahkan. Pertarungan tersebut mengakibatkan terjadinya disharmoni sosial yang tentu saja tidak sesuai dengan falsafah hidup orang Minang yang menjadikan alam sebagai guru itu. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, masyarakat Minang membuat suatu hukum dan aturan yang mengikat setiap individu agar tetap terkendali. Selain hukum dan aturan tersebut, masyarakat Minang juga mengembangkan berbagai petatah, petitih, pituah (petuah), dan mamangan adat yang mengarah pada anjuran agar orang menjadi tahu diri dan mawas diri (Navis, 1984:63).

Petatah dan sejenisnya itu perlu diberikan untuk ditanamkan pada masyarakat Minang bahwa persaingan itu perlu ada, tetapi keselarasan untuk menjaga keseimbangan pun sama pentingnya. Navis (1984:63) memberikan satu contoh petuah yang paling penting dalam menjaga keseimbangan itu, yakni kurang sio-sio, labial ancak-ancak (kurang adalah sia-sia, berlebih adalah kegilaan). Petuah itu memiliki makna bahwa orang yang berkekurangan dipandang sebagai makhluk yang sia-sia, tetapi adalah suatu kegilaan jika

menganggap diri lebih dari orang lain. Sesuai dengan alam pikiran orang Minang, konsep harga diri ini berlaku untuk semua orang, baik yang memiliki posisi yang lemah maupun yang berposisi kuat. Alam mengajarkan bahwa yang lemah dianjurkan untuk berlaku. sesuai dengan kemampuannya, tanpa harus mengurangi harga dirinya. Di sisi lain, orang yang memiliki posisi yang kuat juga harus tahu diri dengan keadaannya tersebut. Jangan sekali-kali orang besar dan kuat meremehkan orang yang kecil dan lemah karena biar bagaimana pun mereka juga memiliki harga diri yang harus dihormati.


Navis (1984:64) mengibaratkan posisi orang besar di nata orang kecil seperti pohon beringin, yaitu daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, ureknyo tampek baselo (daunnya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat bersila). Namun, orang kuat pun harus tahu diri karena sesuai dengan petuah yang mengajarkan bahwa kok kayo, urang indak ka mamintak; kok cadink, urang indak ka batanyo; kok kuaik, urang indak ka balinduang; kok bagak, urang indak ka baparang (jika kaya, orang tidak akan meminta; jika pintar orang tidak akan bertanya; jika kuat, orang tidak akan berlindung; jika berani, orang tidak akan berperang). Petuah itu memiliki makna bahwa bagaimana pun kuat dan besarnya seseorang, orang kecil dan lemah tidak akan mau merendahkan diri kepadanya.


3.3 Konsep Malu

Falsafah hidup orang Minang mengajarkan bahwa seseorang itu dengan bersama dan bersama untuk seseorang. Seluruh persoalan yang timbul dalam kehidupan berdasarkan pada dan berputar di sekeliling masalah seseorang dengan ersama, bersama dengan seseorang. Hal itu menjadi dasar bagi orang Minang untuk mengatur kehidupannya di dalam masyarakat. Prinsip hersama dari masyarakat Minang itu juga tertuang dalam konsep malu. Menurut Nasroen (1971), dalam masyarakat Minang ada malu yang belum dibagi. Jadi, perasaan adalah bersama. Sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam adat bahwa kok tanah nan sabingkah alah bapunyo, kok rumpuik nan salai ulah hapunyo, malu nan alun babagi (Jika tanah yang sekeping, sudah ada yang punya; jika rumput yang sehelai, sudah ada yang punya, malu belum lagi dibagi).

54

Hal itu sejalan dengan pandangan Navis (1984), bahwa merasa diri kurang berharga merupakan kesia-siaan, sebaliknya merasa diri lebih berharga daripada orang lain adalah kegilaan. Akan tetapi, harga diri yang jatuh merupakan aib yang memalukan. Perbuatan yang menimbulkan aib yang

memalukan tidak saja mengakibatkan harga diri jatuh, tetapi juga membuat seseorang dipandang rendah oleh orang lain, baik di lingkungan kaumnya sendiri maupun pada orang lain yang berada di luar lingkungan kerabatnya. Hal itu merupakan aib yang tidak termaafkan, yang akan menampar muka semua kaum kerabat.


Merendahkan diri pada orang lain adalah malu yang tidak dapat ditebus, tidak dapat dibayar, dan bahkan, tidak dapat dibagi (Navis, 1984). Hal itu disebabkan oleh kaum kerabat yang tidak sanggup menanggung derita akibat aib tersebut. Rasa malu yang timbul tidak hanya menimpa si pembuat aib, tetapi melibatkan juga seluruh kerabat dan lingkungan masyarakatnya. Perbuatan tersebut mencoreng muka dan mencemarkan nama baik kaum kerabat. Kaum itu akan dipandang tidak mampu melindungi dan menjaga kerabatnya dari perbuatan yang menimbulkan aib yang memalukan.


Untuk menghindari agar tidak semua kerabat terkena malu karena perbuatan satu orang, terpaksa kaum kerabat tersebut menyimpan dan merahasiakan aib yang memalukan itu dari orang lain. Kalaupun aib itu terpaksa dibuka untuk mencari penyelesaiannya, hal itu dilakukan di lingkungan kerabat yang paling dekat. Jika kerabat dekatnya tidak dapat menyelesaikan persoalan tersebut, barulah dibawa pada kerabat yang lebih luas.


Setiap kerabat harus menjaga aib yang memalukan agar tidak sampai diketahui oleh orang lain di luar kerabatnya.Apabila aib tersebut sampai diketahui oleh orang lain di luar kerabatnya, hal itu akan membuat malu, tidak saja bagi orang yang membuat aib tersebut, tetapi juga seluruh kerabat dekat si pembuat aib. Oleh sebab itu, setiap kerabat berusaha menyembunyikan aib itu dengan serapat-rapatnya agar jangan sampai diketahui oleh orang lain. Siapa yang menyampaikan dan menceritakan aib keluarga atau kerabat kepada orang lain dicap sebagai pamacal tubo (penyebar racun).


Orang Minang pantang untuk mendapat malu, tetapi apabila malu itu disebabkan oleh harga diri yang dijatuhkan oleh orang lain, misalnya dalam bentuk penghinaan, wajib bagi mereka untuk melakukan pembalasan. Akan tetapi, jika yang melakukan hinaan itu terlalu kuat untuk dilawan, harus dicari cara lain untuk membalaskan penghinaan tersebut. Tidak sanggup dengan cara kekerasan, cara halus pun dianjurkan untuk dilakukan oleh orang yang dihinakan itu.


Bagi orang Minang ada satu keyakinan bahwa ketidaksanggupan membalaskan malu yang diakibatkan oleh penghinaan orang lain menjadi motivasi bagi mereka untuk mencapai kemajuan dan menjaga harga diri. Rasa malu tersebut menjadi pendorong mereka untuk membuktikan kepada orang yang lebih kuat bahwa mereka pun mampu mempertahankan harga diri mereka. Akibat positif dari rasa malu itu dapat dilihat dari persaingan dan perlombaan untuk memajukan kaum keluarga dan kaum kerabat. Misalnya, dalam hal pendidikan.


Orang Minang akan berlomba-lomba menyekolahkan anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi meskipun untuk itu mereka harus bekerja keras dan mengorbankan apa saja untuk kemajuan anak mereka. Mereka meyakini bahwa perasaan malu merupakan dinamika untuk maju dan tidak ketinggalan dari orang lain, baik secara perseorangan maupun bersama. Perasaan malu itu tidak bersifat negatif yang akan merambulkan perasaan dengki, putus asa, dan lain-lain. Malu adalah sikap positif yang membangkitkan usaha lebih besar untuk mengurangi ketertinggalan dari orang lain dan juga mempunyai unsur pedagogis bagi seseorang atau pergaulan hidup tertentu, 3.4 Konsep Budi

Sesuai dengan sistem kemasyarakatan yang komunal, setiap individu merupakan bagian dari masyarakatnya. Individu tersebut merupakan milik masyarakat etnik, sebaliknya masyarakat tersebut merupakan milik bersama dari setiap individu. Rasa saling memiliki inilah yang menyebabkan unsur-unsur tersebut tidak dapat saling menguasai. Sebagai anggota masyarakat, setiap individu akan dibela dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Jadi, lingkungan masyarakat sangat berperan dalam menaikkan harkat dan martabat individu. Oleh karena itu, individu merasa memiliki keterikatan dengan masyarakatnya dalam bentuk utang budi. Seseorang yang merasa berutang tentu senantiasa merasa perlu untuk membayar kembali utang-utang tersebut sepanjang hidupnya.


Manurut Nasroen (1971:87), dasar utama dalam pergaulan masyarakat Minang adalah budi. Budi menjadi dasar dan ikatan dalam menjalankan hidup dan tugas seseorang dalam dan untuk bersama. Dalam pergaulan hidup budi inilah yang menjadi pengikat individu pada masyarakatnya atau kepada orang lain. Terkadang ikatan budi itu malah lebih kuat daripada ikatan darah sekalipun. Seseorang yang terikat dengan budi akan merasa berutang pada si pemberi budi. Orang yang berutang budi akan berusaha membalas utang budi tersebut dengan budi juga. Hal itu meyakinkan kita bahwa budi tersebut merupakan sumber perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain dalam pergaulan hidupnya.


Di dalam kebudayaan Minangkabau konsep budi memegang peranan yang sangat penting. Dalam masyarakat yang menempatkan budi itu pada tingkatan yang tinggi dan memberikan harga yang besar pada budi tersebut, pertentangan akan semakin berkurang dalam pergaulan hidup. Hal itu menyebabkan kemungkinan tercapainya keseimbangan dalam pertentangan semakin besar karena adanya rasa toleransi antarindividu dan masyarakat (Nasroen, 1971:88). Dalam kenyataan hidup masyarakat Minang, pelaksanaan prinsip kebudian ini terlihat dalam hal tolong- menolong dan gotong royong. Seperti juga halnya dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia umumnya, tolong-menolong dan gotong royong menjadi kebiasaan hidup orang Minang. Di dalam dua institusi tersebut terdapat unsur budi yang membuat orang merasa bertanam budi langsung pada pergaulan hidupnya sehingga mereka dapat merasakan masyarakat itu sebagai suatu kenyataan yang hidup.


Nasroen (1971:89) menyatakan begitu pentingnya nilai budi sehingga ia dapat menjadi dasar untuk mengukuhkan kehidupan masyarakat Minang dan menjadi unsur yang menjaga harmoni dalam pertentangan. Budi mendorong setiap orang untuk saling menghormati dan berbuat baik kepada orang lain. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa masyarakat Minang dengan adatnya yang berbeda dengan adat orang lain dapat berjalan terus dan kokoh dari zaman ke zaman karena unsur budi inilah yang menjadi isi dari human morality dan human conduct bagi mereka.


Kalau dibandingkan dengan konsep sebelumnya, konsep budi berdiri sejajar dan sama pentingnya dengan konsep harga diri. Di satu sisi konsep harga diri membuahkan sifat individualis, di sisi lain konsep budi membuahkan moralitas sosial yang terealisasi dalam konsep serasa, sehina, tenggang-menenggang, sosial, tolak ansur, dan sebagainya (Nasroen, 1971:174).


Budi menjadi salah satu dasar dan ikatan yang penting dalam melaksanakan prinsip hidup orang Minang dalam bermasyarakat, yaitu perseimbangan seseorang dengan masyarakat. Dengan budi seseorang dapat merasakan perasaan orang lain, merasakan perasaan saudaranya, dan kerabatnya. Sakit saudaranya adalah sakit ia juga. Seseorang akan memperlakukan orang lain sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri dengan baik. Oleh sebab itulah, budi membuat setiap orang dalam masyarakat menjadi akrab tanpa ada perhitungan rugi laba di dalamnya. Jadi, setiap orang berusaha untuk saling membalas budi. Hal itu didorong oleh kebiasaan seseorang menurut adat Minangkabau yang tidak mau berutang budi karena seperti apa yang diungkapkan oleh Nasroen (1971) utang budi itu dibawa mati.


3.5 Konsep Rasa dan Periksa

Dalam kehidupannya, orang Minang tidak hanya digerakkan oleh persaingan dan konflik semata, yang pada akhirnya dapat menimbulkan disharmoni sosial. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, orang Minang mengembangkan berbagai petatah dan petitih yang mengarah pada anjuran agar orang Minang menjadi tahu diri dan mawas diri. Orang yang selalu berkekurangan dipandang sebagai makhluk yang sia-sia, tetapi sebaliknya orang yang berlebihan. dipandang sebagai orang gila. Ajaran tersebut mengandung makna bahwa orang harus berjuang sesuai dengan kemampuannya dan apabila berlebihan tidak boleh memandang hina terhadap orang lain. Untuk itu, perjuangan pribadi harus dibatasi oleh mekanisme pengontrol, yakni rasa dan periksa yang akan menjaga keseimbangan yang harmonis dalam kehidupan (Navis, 1984).


Lebih lanjut Navis (1984) menyatakan bahwa rasa merupakan kemampuan untuk menimbang bahwa sesuatu yang terasa sakit pada diri sendiri akan terasa sakit pula pada orang lain. Begitu juga sebaliknya, segala sesuatu yang terasa enak bagi diri sendiri hendaknya membuat orang lain merasa suka juga. Dalam hal rasa senang, ukuran yang dipakai adalah lamak dek awak, katuju dek urang (enak bagi kita, suka bagi orang). Artinya, setiap kesenangan yang kita dapatkan hendaknya juga disukai oleh orang lain, setidaknya jangan sampai mengganggu orang lain. Jangan sampai ukuran tersebut menjadi lamak dek awak, katuju surang (enak bagi kita, suka bagi kita). Artinya, kesenangan yang kita dapatkan hanya untuk kita sendiri, sementara orang lain tidak perlu kita pedulikan apakah ikut senang atau tidak.


Periksa, menurut Navis (1984), memiliki makna kemampuan untuk menimbang bahwa apa yang kita lakukan sesuai dengan kepatutan dan hukum yang berlaku ataukah masih dimungkinkan oleh kepatutan dan hukum tersebut. Ukuran periksa itu memakai nilai alur jo patuik (alur dan patut). Hal itu dimaksudkan agar kita selalu memeriksa masalah menurut alur yang lazim, tetapi tetap mempertimbangkannya dengan rasa kepantasan atau kepatutan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala sesuatunya diperiksa dengan hati nurani sendiri.


Selanjutnya Navis (1984) menambahkan jika dalam keadaan yang memaksa, saat rasa dan periksa tidak dapat lagi dilaksanakan, orang pun dapat memakai cara lain yang tidak sesuai dengan alur yang biasa. Cara itu diungkapkan dengan pemeo, awak mandapek, urang indak kailangan (kita mendapat, orang tidak kehilangan). Pemeo itu memiliki makna bahwa kita dapat melakukan sesuatu yang kita inginkan, tetapi orang lain tidak merasa dirugikan. Pemeo yang dapat digunakan untuk berbagai keadaan memiliki makna yang kurang lebih sama dengan tenggang rasa yang nilainya lebih pasif, jika dibandingkan dengan ungkapan rasa dan periksa.


Pemakaian rasa dan periksa harus seimbang. Rasa mempertimbangkan periksa, begitu juga sebaliknya periksa harus mengendalikan rasa. Hal itu terjadi dalam waktu yang bersamaan. Ilyas (2003:28) menggambarkan pemakaian rasa dan periksa itu sesuai dengan falsafah adat alam Minangkabau dengan peribahasa "rasa dibawa naik, periksa dibawa turun". Semua masalah di atas dunia ini harus dibawa naik terlebih dahulu ke otak, ditimbang manfaat dan mudaratnya, baik buruknya secara kualitatif, dengan rasa dan periksa secara kuantitatif. Otak merupakan pusat dari aktivitas budaya Minangkabau karena di otaklah bertemu rasa dan periksa.


3.6 Konsep Adat dan Sejarah

Menurut pendapat Faruk (1988) orang Minangkabau berada dalam tarik menarik yang terus menerus antara dua kutub yang berbeda, yaitu dinamik dan statik. Kecenderungan tarik menarik antara dua kutup tersebut tercermin dalam konsep orang Minangkabau mengenai adat dan sejarah. Adat Minangkabau sekaligus menuntut untuk bersifat tetap dan berubah terus menerus sehingga antara dua kutub tersebut terbangun konsep sejarah yang merupakan sebuah lingkaran yang sempurna. Sebuah lingkaran yang tidak dapat ditentukan ujung dan pangkalnya (Nasroen, 1971).


Apa yang disimpulkan Nasroen mengenai lingkaran sebagai bentuk perkembangan sejarah masyarakat Minangkabau berbeda dari apa yang disimpulkan oleh Abdullah (dalam Faruk, 1988). Menurut pendapat Abdullah, konsep Minangkabau tidaklah berbentuk siklik, seperti apa yang disimpulkan oleh Nasroen, melainkan berbentuk spiral. Apa yang disimpulkan oleh Abdullah ini tampaknya lebih tepat karena sesuai dengan uraian Nasroen sebelumnya tentang adat Minangkabau, mengarah pada simpulan Abdullah itu.


Hal itu juga sejalan dengan pandangan Nasroen (1971) yang menyatakan bahwa konsep sejarah Minangkabau diilhami oleh proses perkembangan alam "patah tumbuh, hilang berganti". Suatu proses yang sewajarnya terjadi serta membuktikan bahwa sesuatu yang patah akan tumbuh kembali dan sesuatu yang hilang harus diusahakan gantinya. Uraian tersebut semakin membuktikan bahwa hukum perkembangan yang terjadi bersifat spiral, seperti apa yang disimpulkan oleh Abdullah karena dahan dan buah baru yang tumbuh dan menggantikan dahan dan buah yang lama itu tidaklah berbeda, tetapi sesungguhnya merupakan sesuatu yang baru.


Apa yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa alam pikiran orang Minangkabau berpusat pada konsep keseimbangan dalam pertentangan, seperti apa yang disimpulkan oleh Nasroen (1971). Alam pikiran orang Minangkabau berpusat pada konsep perimbangan konflik yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Alam pikiran yang seperti itu sesungguhnya merupakan produk dari sistem sosial, politik, serta ekonomi masyarakat Minangkabau.

Masyarakat Minangkabau hidup dalam satu kesatuan teritorial yang dinamakan nagari. Di dalam nagari itulah hidup berbagai suku yang merupakan perkembangan dari empat suku asal, yaitu Koto, Piliang, Bodi, dan Caningo. Menurut sejarah masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam Tambo, pendiri empat suku besar itu adalah dua orang yang masih memiliki hubungan saudara sedarah. Mereka adalah Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang. Akan tetapi, antara satu suku dengan suku lainnya yang terhitung masih memiliki hubungan darah terjadi pula persaingan, permusuhan, dan terkadang terjadi juga peperangan. Persaingan dan permusuhan yang dibarengi oleh peperangan atau tidak antara satu suku dengan suku yang lain tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil dalam hidup bernagari. Namun, perselisihan tersebut selalu dapat diselesaikan dengan musyawarah (Mansoer, 1970:16).

Kenyataan yang diuraikan di atas telah menunjukkan bahwajika dilihat dari segi sistem sosial politiknya, masyarakat Minangkabau telah terbiasa hidup dalam berbagai unsur masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk bersaing, tetapi tidak saling melenyapkan. Masyarakat Minangkabau tetap menjaga kesatuan antarsuku dalam lingkungan nagari mereka. Kesatuan antarsuku tersebut dibina melalui sistem demokratis berupa kerapatan adat yang anggota-anggotanya terdiri dari para penghulu yang menjadi pemimpin setiap suku (Mansoer, 1970:16).

Konsep keseimbangan dalam pertentangan juga terlihat dalam sistem perkawinan orang Minangkabau yang bersifat eksogami. Sistem perkawinan ini tidak membolehkan orang Minangkabau kawin dengan pasangan yang berasal dari suku yang sama. Sementara itu, dalam kehidupan pergaulan antarsuku ada batasan-batasan yang mengatur hubungan antar suku tersebut. Suku yang satu menganggap suku yang lain sebagai orang luar yang tidak dapat saling berbagi malu. Sedapatnya aib yang menimpa suku yang satu jangan sampai diketahui oleh suku yang lain. Kenyataan seperti itu kembali memperlihatkan suatu kontradiksi. Di satu pihak, suku lain dipandang sebagai orang luar yang terpisah, tetapi di pihak lain suku lain itu disatukan dengan suku tertentu dalam lembaga perkawinan. Sistem sosial masyarakat Minangkabau yang bersifat matrilineal juga menimbulkan konflik. Di dalam sistem matrilineal harta dan garis keturunan diwariskan berdasarkan garis ibu. Sistem sosial seperti itu akhirnya menimbulkan konflik antara anak dan kemenakan bagi laki-laki. Di satu sisi, laki-laki Minangkabau mempunyai ikatan biologis yang tidak terelakkan dengan anak-anaknya. Di sisi yang lain, secara sosial ia hanya memiliki ikatan dengan kemenakannya, anak dari saudara perempuannya. Semen- tara itu, anaknya sendiri merupakan orang dari suku lain baginya karena sesuai dengan sistem matrilineal anak-anaknya masuk suku ibunya.

Hal itulah yang membuat laki-laki Minang dihadapkan pada dua tanggung jawab sekaligus, yaitu pada anak dan kemenakannya. Laki-laki Minang bertanggung jawab pada dua rumah sekaligus, yaitu rumah saudara perempuannya dan rumah istrinya. Akan tetapi, di kedua rumah yang menjadi tanggung jawabnya itulah justru laki-laki Minang tidak mempunyai hak apa-apa. Hal tersebut membuat laki-laki Minang mempunyai status yang terkatung-katung. Oleh sabab Itulah, mereka cenderung mengatasi kedua hal tersebut. Salah satu caranya adalah dengan merantau.


3.7 Konsep Merantau

Konsep merantau merupakan salah satu konsep penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Menurut Naim (1984) banyak faktor yang mendorong orang Minangkabau untuk pergi merantau, di antaranya, faktor ekonomi, faktor pendidikan, daya tarik kota, keresahan politik, faktor sosial, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama dari perginya orang Minangkabau mencari penghidupan lain di kawasan budaya baru.

Sebagai individu yang hidup dalam masyarakat seseorang membutuhkan proses sosialisasi untuk meng- aktualisasikan dirinya. Menurut Sa'danoer (1983) salah satu proses sosialisasi itu adalah dengan hidup merantau di kawasan budaya lainnya. Merantau itu bertujuan untuk mengumpulkan rezeki, yang bila berhasil di perantauan si perantau dapat jodoh yang ideal untuk membentuk keluarga baru. Merantau, sukses kebendaan dan kemampuan untuk menjadi orang sumando adalah saling kait berkait dalam proses pendewasaannya. Perantauan khususnya dapatlah dikatakan sebagai pencapaian tertinggi dalam penjelmaan watak kebebasan, yang kemudian juga menjadi dasar bagi sikap dan perbuatannya di rantau

Dalam kehidupannya bermasyarakat masing-masing individu selalu berusaha untuk mempertahankan dirinya. Begitu juga halnya dengan masyarakat Mimangkabau. Agar menjadi sama dan tidak dipandang rendah oleh orang lain, orang Minangkabau akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kehidupannya. Dalam usaha mempertahankan diri itulah, maka kemudian timbul persaingan. Sesuai dengan pandangan Faruk (1988) yang menyatakan bahwa persaingan yang terus-menerus terjadi dalam usahanya untuk membangun dan memelihara harga dirinya agar sama atau bahkan lebih dari orang lain merupakan salah satu faktor penting yang menjadi pendorong bagi laki-laki Minangkabau untuk merantau. Bagi orang Minangkabau, salah satu aspek makna rantau adalah tempat untuk mencari harta kekayaan, yang hasilnya nanti akan dibawa pulang dan dipamerkan di kampung.

Keberhasilan seseorang di rantau diukur masyarakat dengan banyaknya harta yang dibawa oleh si perantau dari tempat perantauannya. Jika si perantau pulang dengan tangan hampa, ia akan dianggap gagal dan dicemoohkan oleh masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan banyak orang Minangkabau enggan untuk pulang ke kampung halaman setelah merantau sekian tahun lamanya karena ia merasa tidak memiliki apa-apa untuk dipamerkan nantinya di kampung halaman. Bahkan ada yang memutuskan untuk tidak pulang sama sekali. Mereka seperti hilang di telan bumi perantauan Orang Minangkabau mengistilahkannya dengan marantau Cino. Seperti orang Cina yang pergi meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali ke tempat asalnya, serta memutuskan hubungan dengan tanah leluhurnya. Hal itu juga terjadi pada perantau Minang yang memutuskan hubungan dengan kampung halamannya.

Hal tersebut tentu saja tidak terjadi pada semua orang Minangkabau yang memutuskan untuk merantau karena bagi Orang Minangkabau merantau bukanlah pelarian diri dari ikatan sosialnya. Merantau bukan usaha untuk “berputus rotan” dengan lingkungannya. Merantau bagi laki-laki Minang merupakan satu cara yang dianggap baik untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Merantau dianggap sebagai realisasi dari bentuk tanggung jawab terhadap keluarga, kaum, dan suku. Kebiasaan merantau dipandang oleh orang Minangkabau Sebagai Satu cara untuk meng-angkat harga dirinya dan harga diri keluarga dan kaumnya.

Selain itu, bagi laki-laki Minang merantau merupakan suatu pengalaman baru yang berbeda dengan pengalaman hidup di dalam lingkungannya. Ketika merantau, laki-laki Minang harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Berpisah dengan keluarga dan kaum kerabatnya. Hal itu tentu Sangat berat bagi mereka yang selama ini terbiasa dengan keberadaannya di tengah keluarga mereka. Untuk itu, laki-laki Minang memerlukan kekuatan batin dan kemauan yang keras untuk bertahan hidup jauh dari keluarganya. Mereka tidak boleh cengeng dan membuang sikap romantik yang Masih melekat dalam diri mereka, seperti kata pepatah “sayang anak ditangiskan, sayang kampung ditinggalkan" .

Proses pendewasaan diri yang terjadi dengan adanya Pengalaman merantau menuntut kekerasan hati dari si Perantau itu sendiri. Kekerasan hati ini mutlak ada untuk Menghadapi berbagai tantangan di rantau, seperti petuah yang dikutip Faruk (1988) berikut ini.

Kalau anak pergi merantau,

Mandilah di bawah-bawah,

Ambillah air di hilir-hilir

Tetapi, kalau ditutup orang bandar sawah,

dikisarnya tiang batas,

busungkanlah dada engkau,

perlihatkan tanda engkau jantan,
jangan takut tanah akan merah,
Satu hilang, kedua terbilang,
sebelum ajal berpantang mati.
Jika di dalam kebenaran,
Biarpun putus leher dipancung
setapak janganlah engkau surut.

Petuah tersebut memiliki makna yang sangat dalam, yang memberi pengajaran pada laki-laki Minang bagaimana bersikap hidup di rantau orang. Hidup di perantauan hendaklah kita selalu merendahkan diri. Jangan pernah bersikap sombong karena kita hidup di negeri orang. Jika ingin berhasil di rantau orang, jangan pernah menyerah apabila menemukan kesukaran, bagaimana pun besarnya kesulitan tersebut. Hadapilah dengan hati yang lapang dan semangat juang yang tinggi dalam menghadapi segala rintangan karena di balik kesusahan pasti sudah menanti kemudahan, yang jika kita sabar pasti akan diperoleh apa yang dicita-citakan.

Menurut Naim (1984) salah satu faktor yang mendorong orang Minangkabau, khususnya laki-laki Minang, untuk merantau adalah segi sosial kejiwaan. Kedudukan laki- laki Minang yang serba terkatung-katung antara dua rumah menyebabkan laki-laki Minang selalu merasa risih dan memiliki rasa gelisah. Di rumah istrinya ia dianggap sebagai tamu (samando). Dia dihormati, tetapi tanpa hak dan kekuasaan. Sementara itu, di rumah ibunya dia didudukkan sebagai mamak, sebagai pengawal keluarga, tetapi tanpa hak untuk juga ikut menikmati hasil dari sawah ladang yang dapat ia bawa ke rumah istrinya.

Di rumah ibunya ia juga tidak memiliki kamar karena semua kamar yang ada diperuntukkan bagi saudara-saudara perempuannya untuk menerima suami-suami mereka. Hal tersebut mengakibatkan laki-laki merasa tidak memiliki hak apa-apa. Sementara itu, masyarakat akan memandang rendah kepadanya jika ia hanya mondar-madir di kedua rumah tersebut dan menghabiskan waktu di rumah istrinya atau di rumah ibunya. Oleh karena itulah, banyak laki-laki Minang yang menghabiskan waktunya di lepau-lepau.

Menghabiskan waktu di lepau-lepau itu juga menyebabkan laki-laki Minang dianggap rendah oleh Masyarakat. Untuk itu, laki-laki Minang memutuskan untuk bekerja demi kepentingan kedua rumah tersebut. Dorongan untuk mencari kerja karena rasa tanggung jawab terhadap dua rumah inilah, yakni terhadap anak dan kemenakan, yang secara sosiologis sekaligus psikologis telah ikut menjawab terhadap dorongan untuk merantau. Dengan meninggalkan rumah, barulah laki-laki Minang mendapatkan identitas kelaki- lakiannya. Identitas tersebut dipandang sangat penting dan Sangat ditonjolkan karena proses pencapaiannya pun tidaklah mudah. Seperti apa yang dinyatakan oleh Sa'danoer (1983) yang menyimpulkan hal tersebut, setelah mengungkapkan bahwa masa kecil laki-laki Minangkabau, ketika masih tinggal di rumah penuh dengan keperempuanan.

Hal itu senada dengan apa yang diungkapkan oleh Naim (1984: 277). Ia menguraikan bahwa sejak umur 6-7 tahun laki-laki Minangkabau sudah harus meninggalkan rumah dan hidup di surau. Secara tidak disadarinya, laki-laki Minangkabau telah mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan rumah. Hal itu juga berarti bahwa di dalam rumah-rumah Minangkabau tidak ada lagi penghuni laki-laki dewasa karena mereka sudah hidup di surau. Dengan alasan meninggalkan kehidupan yang penuh dengan keperempuanan itulah, maka laki-laki Minangkabau Memutuskan untuk merantau dan membuktikan pada masyarakatnya bahwa mereka juga bisa bekerja dan Memenuhi tanggung jawab mereka pada keluarga.