Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH



Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap sepuluh novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940, terlihat ada beberapa konflik. Konflik tersebut membangun unsur alur, karakter para tokoh, dan latar. Pada unsur alur terlihat adanya konflik antara konsep harmoni disharmoni, konflik antara konsep harga diri dan budi, serta konflik antara lama dan baru. Konflik tersebut akan diuraikan pada penjelasan selanjutnya.

Selain itu, untuk melihat konflik yang membangun unsur alur, karakter para tokoh, serta latar, perlu juga dibicarakan unsur tema karena tema sebuah cerita tidak dapt dipisahkan dari konflik yang membangun cerita. Selengkapnya uraian mengenai tema novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940 dapat dilihat pada paparan berikut.

2.1 Tema

Konflik yang melatari novel berlatar Minangkabau vang, menjadi data penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari tema masing-masing novel Tema yang terkandung di dalam novel itu membangun konflik yang muncul dalam rangkaian peristiwa dalam novel tersebut. Sebuah tema pada dasarnya memperlihatkan adanya konflik tersebut. Sitti Nurbaya (karya Marah Rusli), yang merupakan novel adat yang lahir pada masa angkatan 20-an serta diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1922, mengetengahkan tema terpaksa kawin atau lebih tepat dikatakan memaksakan diri kawin karena balas budi pada orang tua serta untuk menjaga keselamatan mereka. Hal yang menimpa Sitti Nurbaya inilah yang membangun rangkaian peristiwa serta menimbukan konflik yang berkepanjangan pada diri para tokoh. Perkawinannya dengan Datuk Maringgih serta perpisahannya dengan Samsul Bahri, kekasih bercinta, mengakibatkan dilema dalam diri Sitti Nurbaya. Pada dasarnya, ia sangat tidak berbahagia dengan perkawinan tersebut. Akan tetapi, demi keselamatan dan bakti kepada orang tua, ia harus menerima semua kenyataan itu dengan lapang dada walaupun untuk itu ia harus mengorbankan cinta sejatinya.

Persoalan perkawinan juga terlihat dalam novel Pertemuan (karya Abas St. Pamunjak). Dalam novel tersebut terlihat adanya unsur keterpaksaan kawin atau lebih tepatnya dikatakan sebagai kawin paksa. Hal tersebut menimpa tokoh utama Masri yang terpaksa mengikuti keinginan mamak dan ayahnya yang memaksa dia untuk menikahi anak mamaknya, sebuah perkawinan yang dianggap paling ideal menurut adat Minangkabau. Konflik yang terbangun dari tema inilah yang menjadi rangkaian peristiwa yang dialami oleh para tokoh.

Persoalan yang hampir sama, yaitu kritik terhadap sistem perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau juga terlihat dalam novel Salah Pilih (karya Nur St. Iskandar). Peristiwa yang menimpa Asri yang mengikuti kemauan ibunya untuk menikahi Saniah dan mengingkari hati kecilnya yang lebih cenderung, memilih Asnah, sebagai calon istrinya, menimbulkan konflik yang berkepanjangan pada diri tokoh Kesalahan Masri dalam memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya mendatangkan penyesalan yang berkepanjangan dalam dirinya sehingga melahirkan konflik Tenggelamnya Kapel van der Wijck (karya Hamka), yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1939, juga mengetengahkan persoalan serupa. Kritik terhadap sistem perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau juga menjadi persoalan utama yang mem- bangun cerita dalam novel tersebut. Kasih Zainuddin pada Hayati tidak pernah menjadi kenyataan karena persoalan sistem perkawinan yang ideal tersebut. Hal itulah yang melahirkan konflik, tidak saja bagi Zainuddin, tetapi juga menimpa Hayati yang sangat dikasihinya.

Masih mempersoalkan masalah perkawinan, Darah Muda (karya Adinegoro), yang merupakan salah satu novel karya sastrawan Balai Pustaka dan untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1927, menge- tengahkan pernikahan dua anak manusia dari dua latar budaya yang berbeda. Di dalam novel tersebut terlihat adanya kritik terhadap bentuk perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau. Persoalan itulah yang malatari serta menimbulkan konflik yang membangun rangkaian peristiwa dalam novel tersebut.

Dalam Merantau ke Deli (karya Hamka) diketengahkan kehidupan laki-laki Minangkabau di perantauan. Tidak jauh berbeda dari novel Darah Muda, novel ini juga menghadirkan kritik terhadap persoalan perkawinan yang ideal menurut orang Minang. Pandangan orang Minang terhadap perkawinan laki-laki Minang dengan wanita dari latar budaya yang berbeda dihadirkan lewat rangkaian peristiwa yang kemudian melahirkan konflik.

Karena Mentua (karya Nur St. Iskandar) mengangkat persoalan perkawinan. Novel ini cenderung menghadirkan persoalan kehidupan rumah tangga orang Minang. Perlakuan yang tidak adil dari seorang mertua terhadap menantunya yang dianggap tidak dapat membahagiakan istri dan keluarganya menjadi inti konflik tersebut. Kekejaman mertua dan keinginannya untuk melenyapkan menantu yang dianggapnya tidak berguna membangun konflik yang erkepanjangan dalam diri para tokoh novel tersebut. Abdul Muis, dalam Salah Asuhan, mengangkat persoalan kehidupan kaum pribumi yang bergaul dengan bangsa Belanda, yang dididik secara Belanda sehingga mempunyai perangai yang sombong dan angkuh. Keinginan seorang pribumi untuk dianggap sama atan sejajar dengan orang Belanda menjadi inti dari segala persoalan yang melahirkan konflik dalam novel yang merupakan salah satu roman yang lahir pada masa angkatan 20-an, yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1928. Penolakannya terhadap kebiasaan dan adat yang berlaku di negerinya, termasuk persoalan perkawinan, menjadi dasar hadirnya konflik. Novel itu juga mempermasalahkan kesetiaan seorang istri pada suaminya serta cinta kasih antara dua orang yang berlainan bangsa.

Satu-satunya novel yang ditulis oleh pengarang wanita adalh Kalau Tak Untung karya Selasih. Roman ini merupakan karya sastrawan Pujangga Baru yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1934. Novel itu mengetengahkan persoalan nasib seorang wanita yang cinta kasihnya selalu mendapat halangan dan rintangan. Konflik lahir dari rangkaian peristiwa yang menimpa Rasmani yang selalu dikecewakan oleh Masrul yang sangat dicintainya.

Sengsara Membawa Nikmat yang merupakan roman adat karya Tulis Sutan Sati yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1929. Novel itu mengangkat tema kesabaran dan ketabahan seorang pemuda dalam menghadapi cobaan dan penderitaan hidup. Rangkaian peristiwa yang menimpa Midun menjalin konflik yang muncul dalam novel tersebut.

Dari sepuluh novel yang menjadi data penelitian ini, dapat diklasifikasi bahwa sebagian besar novel tersebut mengangkat persoalan perkawinan. Sembilan buah novel mengetengahkan persoalan perkawinan dari berbagai sudut pandang Tuntutan terhadap bentuk perkawinan yang ideal. pandangan masyarakat terhadap perkawinan antara dua anak manusia dari latar belakang budaya yang berbeda serta kehidupan rumah tangga dalam sistem perkawinan eksogami melahirkan konflik yang berkepanjangan yang dialami oleh para tokoh dalam novel tersebut.

Selain itu, dapat juga diklasifikasi bahwa dari sepuluh novel berlatar Minangkabau yang menjadi data penelitian ini, 8 buah novel di antaranya mengangkat persoalan kehidupan laki-laki Minang, baik dalam kehidupan sehari-hari, kebiasaan merantau, maupun dalam kehidupan perkawinan dan rumah tangganya.

2.2 Alur[sunting]

2.2.1 Konflik antara Harmoni dan Disharmoni[sunting]

Setelah melakukan analisis terhadap sepuluh novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940, terlihat adanya jalinan peristiwa yang membangun konflik sebagaimana yang telah dijelaskan pada awal bab ini. Dalam Merantau ke Deli Leman memutuskan merantau dan kemudian menikahi Poniem, wanita Jawa, buruh pada sebuah perkebunan di Deli, dalam keadaan yang serba terbatas. Ia hanyalah seorang pedagang kecil yang dengan modal kecil membawa barang dagangannya ke perkebunan tersebut. Namun, Leman sangat meyakini bahwa di balik kesusahan yang ditakdirkan Tuhan bagi dirinya ada kemudahan hidup yang jika diperjuangkan dengan keyakinan yang penuh akan mendatangkan hasil seperti yang diharapkan.

Di tengah kesusahan hidupnya sebagai perantau yang tidak memiliki apa-apa ia dipertemukan dengan seorang wanita yang kemudian betul-betul mengubah kehidupannya. Poniem adalah nikmat kemudahan yang diberikan Tuhan untuk dirinya. Ketabahan dan kesabaran Poniem akhirnya mendatangkan hasil serta mulai mening-katkan penghidupan keluarga mereka. Kesusahan yang dari awal selalu mengikuti mereka berangsur-angsur menjauh berganti dengan kemudahan hidup. Hal itu terjadi berkat kesabaran dan ketabahan mereka dalam menghadapi segala halangan dan rintangan yang muncul dalam kehidupan.

Hal yang sama terlihat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Peristiwa kedatangan Zainuddin ke kampung

23

halaman ayahnya pada akhirnya menimbulkan konflik bagi diri dan juga keluarga ayahnya. Pada akhirnya, dia mengalah dan pergi meninggalkan kampung yang dianggapnya sebagai kampung halamannya sendiri. Zainuddin berkeyakinan bahwa di balik kejemuannya dan kebosanan keluarga terhadap dirinya, suatu saat nanti ia akan menjumpai kebahagiaan. Ia berkeyakinan bahwa tidak akan selamanya kehidupan yang menempatkannya pada posisi yang tidak menguntungkan akan selalu menyertainya. Suatu saat kebahagiaan dan kemudahan hidup pasti akan ditemuinya.


Dalam Sitti Nurbaya, peristiwa yang hampir memiliki kesamaan juga terlihat. Peristiwa terpaksa kawinnya Sitti Nurbaya dengan Datuk Maringgih merupakan wujud ketaatan dan kasih sayangnya kepada orang tua. Kesediaan Sitti Nurbaya menerima laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya itu sebagai suaminya diiringi oleh keyakinan Nurbaya bahwa di balik semua peristiwa yang menimpa dirinya terdapat suatu hikmah yang bisa dipetiknya. Ia sangat yakin bahwa tidak selamanya manusia berada dalam kesusahan dan kemelaratan. Kesenangan hidup akan selalu diiringi oleh kesusahan. Keduanya akan selalu datang silih berganti. Nurbaya menyadari bahwa dalam keadaan sesenang apa pun manusia harus selalu waspada karena suatu waktu hal yang berlawanan pasti akan terjadi.


Peristiwa yang sama juga terlihat dalam Pertemuan. Kesediaan Masri menerima keputusan yang telah ditetapkan ayah dan mamaknya untuk menikahi Chamisah, walaupun hal itu sangat bertentangan dengan hati nurani dan cita-citanya, memperlihatkan keyakinan teguh dalam diri Masri. Keyakinannya, bahwa di balik segala peristiwa yang menimpa dirinya, mendorongnya untuk menerima segala putusan tersebut dengan lapang dada. Meskipun dapat dikatakan bahwa ia terjebak dalam kawin paksa yang digariskan oleh keluarganya, ia tetap tabah. Ia berkeyakinan bahwa tidak selamanya sesuatu di atas dunia ini akan tetap sama. Roda akan terus berputar. Kenyataan tersebut akan selalu mengiringi kehidupan manusia. Marah Adil, dalam Karena Mentua, didorong oleh semangat untuk memperbaiki kehidupan meninggalkan istrinya untuk mencari penghidupan lain di perantauan. Ia berani mengambil keputusan untuk merantau, padahal ia tidak bermodalkan harta dan uang yang berlimpah. Hanya keinginan yang kuat dan keyakinan akan penghidupan yang lebih baik di daerah baru yang menjadi penyemangat dalam menghadapi setiap tantangan dalam kehidupan. Ia yakin bahwa setiap manusia memiliki suratan takdirnya sendiri- sendiri. Kalah dan menang, rugi dan laba dalam perniagaan, semuanya kembali berpulang pada yang kuasa. Manusia hanya dapat berusaha dan berikhtiar, keputusan akhir ada di tangan Tuhan.


Dalam Sengsara Membawa Nikmat, kepergian Midun meninggalkan negeri yang tidak lagi ramah pada dirinya, karena adanya Kacak yang berkuasa dan tidak menyukainya dan telah menjebloskannya ke dalam penjara, merupakan gambaran semangat Midun untuk memperbaiki kehidupannya. Dengan meninggalkan negeri yang dicintainya, ia berharap akan menjumpai kehidupan yang lebih baik. Ia yakin bahwa di balik semua kemalangan yang menimpa dirinya menunggu sebuah kebahagiaan dan kenikmatan hidup yang telah digariskan oleh Tuhan. Yang dibutuhkannya adalah kesabaran menghadapi setiap cobaan yang datang silih berganti menghampiri kehidupannya.


Rangkaian peristiwa yang digambarkan dalam novel-novel tersebut memperlihatkan adanya konflik antara kecenderungan harmoni dan disharmoni yang melatari kehidupan alur novel berlatar Minangkabau itu. Peristiwa yang terjadi pada diri Leman, Zainuddin, Marah Adil, Sitti Nurbaya. Masri, dan Midun memperlihatkan adanya konflik yang sesuai dengan kehidupan orang Minang yang memiliki kecenderungan untuk hidup dalam alam pikiran yang penuh dengan kontlik. Konflik yang terjadi berupa: hal yang saling berhubungan dan tidak mengikat, saling berbenturan dan tidak saling melenyapkan, harmoni, dan dinamika. Alam yang diibaratkan sebagai kehidupan manusia. dalam masyarakatnya memberi kebebasan pada masing-masing individu untuk mempertahankan eksistensi dalam perjalanan hidupnya. Akan tetapi, dalam aktualisasi kebebasannya itu, masing-masing individu tersebut harus menjaga keselarasan hidup antarsesama di dalam masyarakatnya. Di sinilah konsep harmoni terlihat. Namun, harus disadari bahwa unsur-unsur tersebut memiliki perbedaan dalam kadar dan perannya. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat bersatu dengan yang lain, tetapi akan tetap sama dengan yang lain. Masing-masing menjadi satu untuk bersama dan masing-masing menjadi sama untuk bersendiri-sendiri.


Dinamika kehidupan seperti itulah yang membuat tokoh, seperti Leman, Masri, Zainuddin, atau Marah Adil berada dalam pertentangan antara harmoni dan disharmoni. Di satu sisi, individu diakui keberadaannya, diakui hak dan tuntutannya terhadap kehidupan bermasyarakat, tetapi di sisi lain kepentingan masyarakat, dalam hal ini kepentingan bersama harus didahulukan. Jadi, individu dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama penting bagi dirinya, kepentingan pribadi atau kepentingan bersama. Sebagai individu yang hidup dalam pergaulan masyarakat, ia tidak dapat melepaskan dirinya dari masyarakat tersebut. Sementara itu, kepentingan pribadinya pun diakui keberadaannya sehinggal terjadilah konflik antara keseimbangan harmoni dan disharmoni.


Dari sepuluh novel yang menjadi data penelitian ini setelah dianalisis dapat disimpulkan bahwa ada enam novel yang menggambarkan adanya pertentangan atau konflik antara harmoni dan disharmoni. Dapat dikatakan bahwa konflik antara kecenderungan harmoni dan disharmoni itu mendominasi persoalan yang ditemui dalam novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940.


2.2.2 Konflik antara Harga Diri dan Budi

Kecenderungan pertentangan antara harmoni dan disharmoni juga terbangun dari konsep harga diri, konsep malu, dan kehidupan bersuku-suku di satu sisi, serta konsep budi dan sistem perkawinan eksogami di sisi yang lain. Seluruh konsep kultural tersebut sama-sama dipegang teguh oleh para tokoh dalam novel berlatar Minangkabau sehingga akhirnya timbullah konflik.


Rangkaian peristiwa yang terjalin dalam sepuluh novel yang menjadi data penelitian ini memperlihatkan kecenderungan adanya konflik antara unsur yang telah diuraikan tersebut. Dalam Karena Mentua, Marah Adil meninggalkan kampung halaman dan memutuskan untuk mencari penghidupan yang lain didorong oleh rasa harga dirinya yang terkoyak-koyak oleh perlakuan mertuanya. Dengan meninggalkan istri dan keluarganya, ia berharap dapat membuktikan kepada mertuanya bahwa ia juga bisa menjadi seorang menantu yang berguna. Seorang menantu, seperti yang selama ini diidam-idamkan oleh mertuanya yang gila harta.


Perlakuan mertua Marah Adil yang demikian buruk didorong oleh rasa malu karena memiliki menantu yang tidak seperti harapannya. Ia mengharapkan seorang menantu yang bisa membahagiakan anaknya, sekaligus membahagiakannya. Ia sudah bosan dengan kehidupan yang serba kekurangan. Setiap hari harus bekerja membanting tulang. Ia menginginkan kehidupan seperti orang lain yang sudah lebih baikk ehidupannya. Untuk itulah, ia selalu berusaha memisahkan Marah Adil dengan Ramalah.


Perlakuannya yang sudah melewati batas kesabaran Marah Adil, akhirnya berbuntut diceraikannya Ramalah oleh Marah Adil. Harga diri Marah Adil yang telah hancur di hadapan mertuanya mendorongnya untuk mengambil keputusan yang walaupun sakit harus dijalaninya. Ramalah pun akhirnya dengan sangat terpaksa menerima keputusan itu Meskipun harga dirinya sebagai seorang perempuan tercabik-cabik, tasa hormat dan balas budi, kepada ibu yang telah membesarkan, memaksanya untuk menerima keputusan ibunya untuk menikahkan dia dengan laki-laki yang dianggap ibunya lebih pantas sebagai suaminya. Dalam Merantau ke Deli, keputusan Leman untuk menikah lagi dengan wanita sekampungnya didorong oleh rasa malu karena beristrikan wanita Jawa. Keinginan untuk dianggap sama dengan laki-laki Minang lainnya, rasa malu pada keluarga di satu sisi, serta perasaan cinta dan utang budi pada Poniem yang baik hati di sisi yang lain, membuat Leman berada pada posisi yang sangat sulit. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan kehidupannya yang aman dan damai dengan Poniem, sedangkan di sisi lain kepulangannya ke kampung halaman telah membuka mata hatinya bahwa ia tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari kebiasaan yang berlaku di kampungnya. Walaupun istrinya sangat baik, dirinya masih tetap dianggap tidak berharga karena hanya memiliki seorang istri dan itu pun orang asing. Belumlah lengkap kedudukannya sebagai laki-laki Minang, jika ia belum mengambil istri orang kampung sendiri.


Peristiwa yang hampir sama juga terlihat dalam Pertemuan. Kesediaan Masri memenuhi permintaan ayah dan mamaknya menikahi Chamisah sebagai wujud balas budinya pada mereka, akhirnya kandas akibat ulah Chamisah sendiri. Kehidupan rumah tangga yang semula diharapkannya dapat berjalan dengan baik, pada akhirnya harus berakhir dengan perpisahan karena Masri sudah tidak tahan lagi dengan perilaku istrinya. Harga dirinya sebagai seorang suami telah dihancurkan oleh istrinya. Niat baiknya untuk memperbaiki kelakuan istrinya sama sekali tidak dihargai. Kesabarannya dalam mendidik istrinya sama sekali tidak menampakkan hasil sedikit pun. Akhirnya, ia sampai pada puncak kesabarannya dan memulangkan istrinya kepada mamak yang dulu memaksanya kawin dengan anak mamaknya itu.


Peristiwa penolakan Nurdin (dalam Darah Muda) terhadap keinginan orang tua dan mamaknya, yang akan menikahkannya dengan anak mamaknya, didorong oleh keinginan Nurdin sebagai orang muda yang telah berpikiran maju untuk menentukan hidupnya sendiri. Ia berpendirian bahwa adalah tugasnya untuk mencari istri yang sesuai dengan pilihannya. Ia berhak menentukan pilihannya sendiri tanpa bergantung pada pilihan orang tuanya. Nurdin yang berpikiran maju menolak karena ia tidak menyukai bentuk perkawinan seperti itu. Siapa yang akan mendampinginya nanti adalah dia sendirilah yang akan menentukan. Bukan siapa-siapa. Bukan ibunya, ataupun mamaknya. Lagi pula, ia sudah telanjur menutup hati untuk gadis yang lain karena ia telah lebih dahulu mencintai Rukmini yang ditemuinya di kapal tempo hari.


Konflik yang terjadi semakin dalam ketika kepindahan Rukmini ke Bukittinggi yang mempertemukannya kembali dengan Nurdin. Keakraban pun terjalin antara Rukmini dan Nurdin. Hal itu ditandai dengan seringnya Nurdin mengunjungi gadis. Perbuatan Nurdin itu menimbulkan konflik bagi keluarganya. Mereka menganggap tidaklah pantas bagi Nurdin untuk terlalu memperlihatkan perasaannya kepada gadis itu. Kalau memang Rukmini menginginkan Nurdin menjadi suaminya, seharusnya ibu Rukminilah yang datang meminta dan menjemput Nurdin untuk menjadi suami anaknya. Bukan sebaliknya, Nurdin yang harus meminta Rukmini menjadi istrinya. Sesuatu yang memalukan, jika seorang laki-laki Minang harus meminta sendiri wanita untuk menjadi istrinya. Ibu Nurdin yang masih memegang teguh adat-istiadat kampungnya merasa malu, jika anaknya yang sudah berhasil itu dan sepantasnya dijemput orang, harus merendahkan dirinya kepada wanita asing itu.


Dalam Sitti Nurbaya, peristiwa pernikahan Nurbaya dan Datuk Maringgih sebagai wujud balas budinya kepada orang tua, akhirnya harus berakhir karena Nurbaya merasa harga dirinya sebagai seorang wanita hancur oleh perlakuan suaminya. Kematian ayahnya membebaskannya dari penderitaan yang dialaminya selama perkawinannya dengan jaki-laki tua itu. Selain itu, peristiwa terusirnya Samsul Bahri dari kampung halamannya oleh ayahnya sendiri juga didorong oleh rasa malu ayahnya, yang sangat dihormati orang sekampungnya, yang melihat kelakuan anaknya yang tetap menjalin hubungan dengan Nurbaya yang sudah bersuami. Merupakan aib yang sangat besar bagi keluarga, jika mendapati anggota keluarganya telah mencoreng muka mereka. Betapa pun besar cinta Samsul Bahri pada Nurbaya dan begitu pun sebaliknya, perbuatan berdua-duaan dengan wanita yang sudah bersuami adalah perbuatan yang salah serta memberi malu keluarga.

Keputuan Hanafi (dalam Salah Asuhan) menerima permintaan ibunya menikahi Rapiah adalah wujud balas budinya kepada ibu dan mamak yang telah menyekolahkannya. Walaupun bertentangan dengan keinginannya, yang ingin menikah dengan gadis Belanda yang dicintainya, ia terpaksa menerima keputusan tersebut. Ia menganggap gadis kampung tidak pantas menjadi pendampingnya. Akan tetapi, karena permintaan ibu dan mamaknya serta penolakan Corrie atas cintanya, memaksa ia menerima Rapiah sebagai istrinya.

Pada dasarnya ia sangat malu dengan perkawinan tersebut. Sebagai orang yang telah bergaul dan mendapatkan pendidikan Belanda, sudah selayaknyalah ia mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan kesukaannya, bukan seorang istri pilihan ibunya itu. Perasaan malu dan rasa harga diri yang sangat tinggi sebagai orang yang telah mendapatkan pendidikan Belanda dan ingin dianggap sama dan sejajar dengan orang Belanda, membuat ia memutuskan untuk meninggalkan istrinya dan menikahi Corrie, wanita Belanda yang dicintainya.

Kesediaan Asri (dalam Salah Pilih) menerima istri pilihan orang tuanya didorong juga oleh rasa balas budi dan pengabdian kepada orang tuanya. Ia yang sudah berpikiran maju, pada dasarnya tidak menyetujui perjodohan tersebut. Akan tetapi, karena dorongan dan bujukan ibunya serta kecantikan calon istrinya membuat Asri melupakan prinsip yang selama ini dipegang teguhnya, yaitu istri yang akan mendampingi hidupnya adalah pilihan dia sendiri karena ia sendirilah yang akan menjalani kehidupan berumah tangga, bukan ibunya, dan bukan juga orang lain. Namun, didorong oleh kecintaan dan balas budi pada ibu yang sangat mengasihinya, ia bersedia menikahi wanita pilihan ibunya. Kepergian Zainuddin (dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck) dari kampung halaman ayahnya didorong oleh perasaan kecewa dan sedih atas perlakuan keluarga ayahnya dan orang-orang di kampungnya yang hanya mengang- gapnya sebagai orang asing yang malang dan melarat serta tidak jelas asal usulnya. Ia dianggap tidak pantas mendampingi Hayati yang berasal dari keturunan orang berada dan jelas asal usulnya. Walaupun demikian, ia masih memiliki harga diri yang tinggi. Ia tidak mau terus-menerus direndahkan. Ia tidak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh orang-orang yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Untuk itu, ia memutuskan pergi dan meninggalkan segala kenangan indah yang pernah direguknya yang pernah direguknya dengan Hayati. Harga diri itu jugalah yang akhirnya memi-sahkannya dengan Hayati, padahal kesempatan untuk kembali bersatu terbuka lebar. Dendam atas perlakuan keluarga Hayati pada dirinya dulu menutup mata hatinya. Ia melupakan cinta dan kasihnya pada wanita yang sangat diidamkannya itu.


Peristiwa yang terungkap dari novel-novel tersebut memperlihatkan adanya konflik antara harga diri dan malu di satu sisi, dengan serta konsep budi dan sistem perkawinan eksogami di sisi yang lain. Konflik antara harga diri dan budi itu mendominasi hampir sebagian besar novel yang menjadi data penelitian ini. Dari sepuluh novel yang menjadi data penelitian, delapan di antaranya memperlihatkan adanya konflik yang terjadi karena adanya pertentangan antara konsep harga diri dan konsep budi yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau.


Orang Minang memegang teguh konsep harga diri dan selalu berusaha membangun dan memeliharanya karena sesuai dengan falsafah "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" mengajar mereka bahwa unsur alam tidak saling melenyapkan sehingga hubungan antarmanusia dipandang secara demokratis oleh orang Minang. Mereka selalu berusaha menjadi sama dengan orang lain. Pantang bagi orang Minang menjadi rendah atau dipandang rendah. Kecenderungan seperti itulah yang membuat orang Minang memegang teguh konsep harga diri. Sementara itu, konsep budi menjadi dasar utama dalam pergaulan masyarakat Minang. Budi menjadi dasar dan ikatan dalam menjalankan hidup dan tugas seseorang dalam dan untuk bersama. Dalam pergaulan hidup, budi inilah yang menjadi pengikat individu pada masyarakatnya atau pada orang lain. Terkadang ikatan budi ini malah lebih kuat dari pada ikatan darah sekali pun. Seseorang yang terikat dengan budi akan merasa berutang pada si pemberi budi. Orang yang berutang budi akan berusaha membalas utang budi tersebut dengan budi juga. Hal itu meyakinkan kita bahwa budi tersebut merupakan sumber perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain dalam pergaulan hidupnya.


Kecenderungan dua sisi yang berbeda inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Di satu sisi, orang Minang sangat memegang teguh konsep harga diri yang membuat mereka pantang direndahkan ataumenjadi rendah dari orang lain. Namun, di sisi lain, orang Minangkabau juga terikat dengan kosep budi yang mengajarkan orang Minang untuk selalu membalas budi yang pernah diterima dalam pergaulan hidup di dalam masyarakatnya dengan budi juga. Demikian tingginya, harga budi terkadang tidak terbalaskan sampai mati dan demikian tingginya, harga diri yang membuat orang Minang tidak pernah mau direndahkan atau dipandang rendah. Hal itulah yang mendorong terjadinya konflik. Namun, konflik tersebut masih dalam batas keseimbangan dalam pertentangan.


2.2.3 Konflik antara Lama dan Baru

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940, terlihat adanya konflik antara lama dan baru itu. Sebagaimana halnya konsep sejarah Minangkabau yang berkembang secara spiral, perkembangan alur novel berlatar Minangakabau juga selalu bersifat spiral. Perkembangan secara spiral ini membuat orang Minang berada terus-menerus dalam ketegangan antara sifat permanen dan perubahan antara yang lama dan yang baru. Dalam novel Sitti Nurbaya, awal dan akhir sekaligus mempunyai persamaan dan perbedaan. Tokoh yang semula bersatu, setelah berpisah, akhirnya berkumpul kembali. Akan tetapi, perkumpulan di bagian akhir cerita itu berbeda dari yang ada di bagian awal cerita. Pada bagian awal yang berkumpul adalah manusia hidup, sedangkan pada bagian akhir yang berkumpul hanyalah kuburan.

Begitu juga halnya dengan Hanafi dalam Salah Asulan. Novel ini memiliki kecenderungan yang tidak jauh berbeda dari novel Sitti Nurbaya. Tokoh yang semula bersatu, kemudian berpisah, akhirnya berkumpul kembali tapi dalam bentuk yang berbeda. Hanafi yang kembali ke kampung halamannya dalam wujud mayat setelah memutuskan untuk tidak berkumpul dengan anak dan istrinya yang sudah mulai mencintainya. Persatuan mereka terjadi setelah kematian Hanafi.

Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, tokoh Zainuddin dan Hayati yang pada awalnya berkumpul dan kemudian berpisah. Pada akhirnya, bersatu kembali, tetapi dalam bentuk manusia yang telah menjadi mayat. Hayati meninggal karena kecelakaan, sedangkan Zainuddin meninggal karena rasa bersalah terhadap Hayati. tidak yang putus-putusnya

Dalam novel Salah Pilih, persatuan Asri dengan Asnah yang pada awal dan akhir cerita pun mempunyai persamaan dan perbedaan sekaligus. Pada bagian awal cerita Asnah berperan sebagai adik, sedangkan pada bagian akhir cerita, ia berfungsi sebagai istri. Dalam Pertemuan, Masri bertemu kembali dengan kakak angkatnya dalam wujud yang baru: yakni pertemuannya dengan anak kakak angkatnya yang kemudian dijadikannya istri. Setelah melalui pengalaman pahit, walaupun tokohnya tidak sampai mati akhirnya pahan kaum muda menang juga dalam menentang palam tua yang ingin memaksa anak kemenakan kawin atas kehendak mereka.

Di dalam Sengsara Membawa Nikmat, Midun, yang pada awal cerita bertemu dengan Halimah dalam keadaan yang tidak menguntungkan, pada bagian akhir cerita Midun dipertemukan lagi dengan Halimah, sebagai istrinya Noerdin (dalam Darah Muda), pada awal cerita dipertemukan dengan Rukmini di atas kapal ketika akan pulang ke kampung halaman. la tidak menyangka bahwa pada akhir cerita ia akan dipertemukan kembali dengan gadis yang dicintainya pada pandangan pertama itu sebagai istrinya.

Pada awal cerita Merantau ke Deli, Leman dan Poniem disatukan dalam bentuk perkawinan, sedangkan pada akhir cerita mereka dipisahkan oleh konflik yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangganya. Dalam Kalau Tak Untung, kebersamaan Masrul dan Rasmani pada awal cerita, harus berakhir dengan perpisahan setelah kematian Rasmani karena menaggung beban cinta yang sangat berat.

Rangkaian peristiwa tersebut memperlihatkan adanya konflik antara yang lama dan baru. Awal dan akhir cerita yang terjadi sangat beragam. Kebahagiaan dan persatuan yang terjadi di awal cerita terkadang harus berakhir dengan kesedihan dan kematian yang memisahkan para tokohnya. Akan tetapi, ada juga kesusahan dan kemelaratan di awal cerita yang berakhir dengan kebahagiaan dan persatuan di akhir cerita. Bersatu dan berpisah pada awal cerita, akhirnya bersatu kembali, tetapi dalam bentuk persatuan yang berbeda, yaitu kematian. Perpisahan dan persatuan pada awal cerita, berakhir dengan persatuan yang bahagia. Perkembangan secara spiral itu terlihat hampir di sebagian besar novel yang menjadi data penelitian ini. Dari sepuluh novel yang diamati, dapat diklasifikasi bahwa tujuh novel memperlihatkan adanya pertentangan antara konsep lama dan baru tersebut.

2.3 Latar

Novel berlatar Minangkabau periode 1920 — 1940 memiliki ciri khas tersendiri dalam latarnya. Tidak seperti novel lainnya dalam sastra Indonesia yang telah membuahkan banyak inovasi, seperti lahirnya novel surealistik dan absurd, novel berlatar Minangkabau tidak mengikuti gaya penulisan novel seperti itu. Novel-novel tersebut masih setia dengan gaya realis yang tetap mempertahankan kejelasan latar ruang dan waktu. Novel tersebut tidak dapat melepaskan diri dari batas hukum ruang dan waktu sehingga terlihatlah kronologi dan latar ruangnya yang sangat realistis. Novel berlatar Minangkabau tidak pernah tenggelam

pada subjektivitas pengarangnya dalam menangkap realita seperti kebanyakan novel surealis dan absurd. Novel tersebut memiliki kecenderungan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai kenyataan, mengenai realitas. Dalam Sitti Nurbaya terlihat gambaran yang jelas tentang seluk-beluk Kota Padang, gunung, dan laut yang ada di sekitarnya, serta lokasi kapai di pelabuhan dan sebagainya. Dalam novel itu juga terlihat gambaran yang realistis tentang peristiwa atau kebiasaan inisiasi bagi mahasiswa baru di Stovia, pada saat cerita itu berlangsung. Hal yang sama juga terlihat dalam Salah Pilih, yang dengan cukup jelas menggambarkan keindahan dan kondisi Danau Maninjau serta kehidupan masyarakat di sekitar danau tersebut.

Dalam Pertemuan, gambaran latar yang cukup jelas juga terlihat dengan adanya penggambaran seluk-beluk Kota Bukittinggi. Keadaan kota dengan pemandangan dan hawanya yang sangat sejuk digambarkan sedemikian rupa sehingga pembaca seperti dapat merasakan dan berada langsung di tempat tersebut. Juga terlihat adanya gambaran yang jelas tentang kegiatan organisasi pemuda di Kutaraja, tempat Masri bekerja. Suasana alam Kutaraja dan tempat Masri dan Mardiana memadu kasih, juga digambarkan. sedemikian rupa sehingga terlihat jelas dan nyata.

Di dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck terlihat dengan jelas bagaimana pengarang menggambarkan seluk beluk Kota Mengkasar, tempat Zainuddin lahir dan besar. Selanjutnya, dalam Sengsara Membawa Nikmat, terlihat gambaran yang cukup jelas tentang kegiatan pasar kampung Midun dan aktivitas yang dilakukan di sana. Hal yang sama juga terlihat dalam Karena Mentua. Dalam novel im digambarkan dengan amat jelas mengenai kehidupan perantau Minang di Lampung, tempat Marah Adil mengadu nasis cara mereka berdagang dan menghabiskan waktu luang digambarkan dengan amat realistis. Di dalam novel itu juga terlihat gambaran tentang keadaan Kota Padang ketika diadakan acara tabut yang menjadi kegiatan rutin kota itu. Gambaran kehidupan rantau dan kegiatan perdagangan juga terlihat dalam Pertemuan. Seluk-beluk perdagangan, persaingan yang terjadi antara pemilik modal yang besar dan yang kecil, kaum perantau yang memiliki banyak pengalaman dalam berdagang serta para pemula digambarkan sedemikian rupa.

Dari sepuluh novel berlatar Minangkabau periode 1920 — 1940 yang merupakan data penelitian ini, tujuh novel di antaranya memperlihatkan gambaran realitas latar yang menjadi ciri khas novel Minangkabau pada umumnya. Novel tersebut memberikan gambaran latar yang jelas tentang tempat, lokasi, serta kehidupan orang Minang pada umumnya. Penjelasan lebih jauh dapat dilihat pada bab analisis.

Walaupun novel-novel tersebut terikat pada hukum ruang dan waktu yang sangat realistis, ada beberapa novel, seperti Sitti Nurbaya yang tidak dapat melenyapkan subjektivitas pengarangnya. Pengarang lewat novel karyanya tetap berusaha memberikan makna subjektif atau fungsi tertentu pada latar yang digambarkannya. Dalam Novel tersebut, digambarkan sebuah kapal yang telah meninggalkan dermaganya, meninggalkan daratan yang jauh tertinggal di belakang. Yang terlihat sepanjang mata memandang hanyalah lautan luas terbentang. Kapal yang cukup besar terlihat seperti seonggok pasir di padang sahara. Apa lagi manusia yang semakin terlihat kecil dan lemah di alam yang mahaluas tersebut.

Hal yang sama juga terlihat dalam novel Karena Mentua. Ketika kapal mulai meninggalkan pelabuhan, meninggalkan orang yang dicintai, meninggalkan ranah Minang, timbullah rasa takut di dalam diri Marah Adil. Takut akan kehidupan yang akan dijalaninya nanti di negeri yang sama sekali belum pernah dijejakinya. Ketakutan juga muncul karena sama sekali tidak ada seorang pun yang dikenalnya di atas kapal yang membawanya ke negeri impian. Jika merujuk ke falsafah hidup orang Minang, latar novel berlatar Minangkabau berdiri di antara dua sisi. Di satu sisi, novel tersebut tidak menenggelamkan alam dalam subjektivitas, tetapi di sisi lain novel tersebut tidak membiarkan alam berdiri sendiri. Alam tidak dibiarkan terlepas dari subjek yang dihadapinya. Ada novel yang sedikit sekali menggambarkan latar sebagai suatu yang berdiri sendiri, misalnya novel Salah Asuhan. Novel tersebut hanya menampilkan secara singkat latar yang dapat berdiri sendiri. Latar itu hanya dimunculkan sejauh hal tersebut memunyai fungsi, baik bagi penggambaran batin tokoh maupun mengenai alur cerita. Sementara itu, ada juga novel, seperti Karena Mentua atau Merantau ke Deli, yang menampilkan banyak sekali gambaran latar yang mandiri dan hanya berfungsi sebagai bagian yang memberikan kesan realistis.

Jadi, latar yang ditampilkan dalam novel berlatar Minangkabau sesuai dengan alam pikiran dan falsafah hidup orang Minang yang memandang manusia dengan alam sekitarnya sebagai dua kekuatan yang berbeda, bahkan bertentangan. Meskipun berbeda dan bertentangan, antara dua sisi yang berbeda serta antara kekuatan yang satu dan yang lainnya bersifat saling memiliki, saling memberi, dan tidak saling melenyapkan karena adanya keseimbangan dalam pertentangan.

2.4 Karakter

Analisis konflik yang terjadi pada tokoh tidak dilakukan pada semua tokoh yang terlibat dalam cerita tersebut. Analisis dibatasi hanya pada tokoh utama dan tokoh bawahan yang sedikit banyak mempengaruhi tokoh utama novel berlatar Minangkabau yang menjadi data penelitian ini. Pemusatan. perhatian pada tokoh utama bertujuan melihat sampai sejauh mana konflik tersebut mempengaruhi tokohnya. Selain itu, peristiwa yang terjadi dalam rangkaian cerita tersebut merupakan jalinan konflik yang menimpa para tokoh utama.

Dalam Karena Mentua, Marah Adil digambarkan sebagai sosok yang gagah perkasa. Memiliki tubuh yang kekar dan tampan. Penampilan fisik yang seperti itu merupakan hasil godokan alam yang mengharuskan dia untuk selalu bekerja keras di bawah terik sinar matahari. Rutinitas sehari-hari sebagai petani telah membentuk fisik Marah Adil seperti yang telah digambarkan sebelumnya. Selain memiliki tubuh yang sehat, Marah Adil juga mempunyai perilaku yang terpuji. Ta sangat menyayangi istri dan keluarganya. Walaupun hanya sebagai petani, ia tetap berusaha menyenangkan istrinya. Setiap hari ia bekerja keras membanting tulang

Selain pekerja keras, Marah Adil adalah laki-laki yang bertanggung jawab, berkemauan keras, serta teguh pada pendirian dan menjaga harga dirinya. Di dorong oleh rasa tanggung jawab itulah, ia memutuskan untuk merantau, dengan harapan dapat memperbaiki kehidupannya. Harga diri jugalah yang akhirnya memisahkannya dengan Ramalah, istrinya. Sementara itu, Ramalah adalah sosok wanita yang sangat berbakti, baik kepada suami maupun orang tuanya. Setiap hari ia membantu suaminya di sawah. Tidak peduli panas terik matahari akan merusak kecantikannya, ia tetap bekerja membanting tulang. Bakti kepada orang tua jugalah yang akhirnya memisahkan dia dengan suami tercintanya.

Dalam Sitti Nurbaya digambarkan sosok Samsul Bahri yang tampan, baik hati, tetapi sedikit keras kepala. la juga seorang laki-laki yang teguh pada pendirian. Sementara itu, Sitti Nurbaya juga memperilihatkan sikap yang patut dipuji. la adalah wanita perkasa yang rela mengorbankan kehi- dupannya demi kebahagiaan dan kelangsungan hidup keluarganya. Demi keselamatan ayahnya, ia bersedia menerima Datuk Maringgih sebagai suaminya.

Sikap keras hati dan memiliki pendirian yang teguh juga terlihat pada diri Nurdin dalam Darah Muda. Sebagai orang muda yang telah maju pikirannya, ia tidak mau masa depannya ditentukan oleh orang lain, termasuk dalam hal perkawinan. Soal memilih jodoh menjadi urusannya sendiri karena dialah yang akan menjalani kehidupan rumah tangganya nanti. Tokoh Rukmini yang cantik dan menjadi sosok yang sangat diidam-idamkan oleh Nurdin adalah gadis yang baik. la taat dan berbakti kepada orang tuanya. Demi menjaga kesehatan ibunya, ia rela melepaskan pekerjaannya sebagai guru di Padang dan tinggal di Bukittinggi dengan risiko kehilangan pekerjaannya. Ia juga sangat mencintai Nurdin, Namun, kesalahpahaman telah memisahkan mereka.

Di dalam Pertemuan, tokoh Masri juga digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki pendirian tegah, yang tercermin pada pandangannya mengenai perkawinan. la juga pemuda yang patuh dan taat kepada orang tuanya. Ketaatan dan bakti kepada orang tua jugalah yang membuatnya menyetujui keinginan mereka untuk menikahkan dia dengan Chamisah dan melupakan cita-citanya. Selain cantik, tokoh Rasdiana juga digambarkan sebagai sosok wanita yang berpendirian teguh, kuat menjaga harga diri, dan berkemauan keras. Kekerasan hatinya jugalah yang hampir membuat Masri mengakhiri hidupnya karena pernyataan cintanya belum juga mendapat jawaban dari gadis itu. Padahal, ia ingin melihat sampai sejauh mana perasaan Masri kepadanya. la tidak ingin hubungan yang nanti terjalin berakhir karena ternyata Masri hanya pura-pura mencintai dan hanya tertarik pada kecantikannya.

Tenggelamnya Kapal van der Wijck menampilkan tokoh Zainuddin sebagai sosok yang tahan derita, teguh hati, menjaga harga diri, dan sedikit keras kepala. Perlakuan yang tidak baik serta hinaan dari keluarga Hayati ataupun orang-orang yang tidak menyukainya diterimanya dengan lapang dada. Walaupun sempat jatuh sakit karena tidak kuat lagi menanggung penderitaan akibat cinta yang tidak bisa bersatu. ia mampu bangkit dan mulai membenahi kehidupannya yang telah hancur dengan meninggalkan Batipuh. Dengan kegigihannya, ia mampu membuktikan kepada semua orang bahwa ia bisa berhasil dalam kehidupan.

Pada akhirnya kekerasan hatinya jugalah yang akhirnya memisahkan ia dari Hayati, kekasihnya. Padahal jika ia bisa sedikit mengalah dan nielupakan semua perlakuan buruk keluarga Hayati yang dulu pernah dialamnya persatuannya dengan wanita yang dicintainya akan menjadi kenyataan. Namun, keangkuhan dan kekerasan hati telah membutakan mata dan pikirannya sehingga in memulangkan Hayati ke kampung halamannya. Penyesalan baru datang kemudian ketika Hayati sudah pergi meninggalkannya.

Dalam Sengsara Membawa Nikmat digambarkan sosok Midun yang berbudi pekerti baik, sabar, tahan derita, serta menjaga harga dirinya sehingga ia disukai oleh teinan dan orang sekampungnya, kecuali Kacak yang iri dengan keberadaan Midun yang menjadi kesukaan orang sekampung. Kesabaran jugalah yang akhirnya membawa ia pada keberhasilan dalam hidup. la mendapatkan istri yang cantik serta kedudukan yang melebihi Kacak, yang dulu selalu menghinakannya.

Gambaran tokoh yang keras hati serta mempunyai pemikiran yang telah maju juga terlihat pada diri Asri dalam Salah Pilih. Ia juga sangat berbakti kepada orang tua sehingga rela meninggalkan pekerjaannya demi menjaga orang tuanya yang telah berusia lanjut. Alasan menjaga orang tua jugalah yang membuatnya memutuskan untuk tidak tinggal di rumah istrinya, sebagaimana layaknya kebiasaan perkawinan di Minangkabau dan ia membawa istrinya tinggal di rumah ibunya. Hal itu tentu saja tidak biasa menurut adat perkawinan di Minangkabau. Namun, kecintaan dan kasih kepada orang tua mendorong Masri untuk tidak mengikuti kebiasaan di kampungnya.

Selain itu, dalam novel ini juga digambarkan tokoh Asnah sebagai gambaran wanita Minang yang perkasa, tahan terhadap penderitaan, dan teguh memegang adat istiadat negerinya. Perlakuan buruk istri Masri diterimanya dengan kerelaan karena baktinya pada Masri dan ibunya yang telah membesarkan dan mengangapnya sebagai keluarga. Keteguhan hati serta kesabaran jugalah yang akhirnya menyatukan dia dengan Asri yang dicintainya.

Dalam Salah Asuhan juga terlihat gambaran sosok wanita perkasa, sabar, dan menjaga kesetiaan kepada suami. Walaupun selalu mendapatkan perlakuan yang buruk oleh Hanafi, Rapiah tetap sabar karena ia sadar bahwa sudah selayaknya sebagai seorang istri, ia tunduk dan taat kepada suaminya. Dengan jiwa yang besar juga ia menerima kenyataan ketika Hanafi meninggalkannya dan memutuskan untuk menikah dengan Corrie.

Sosok wanita perkasa itu juga terlihat dalam Merantau ke Deli. Tokoh Poniem digambarkan sebagai wanita yang sabar, berjiwa besar, teguh pada pendirian, berkemauan keras, serta taat kepada suaminya. Kemauan keras dan semangat untuk memperbaiki kehidupannya dengan Lemanlah yang akhirnya membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik. Dengan jiwa besar ia menerima kenyataan pernikahan suaminya dengan Mariatun, wanita sekampungnya. Jika pernikahan itu akan membuat suaminya bahagia, ia rela dan mengikhlaskan suaminya menikahi wanita lain. Namun, ketika ia mendapatkan perlakuan yang buruk, baik dari Leman maupun istri barunya dan merasa harga dirinya sebagai seorang wanita seperti diinjak-injak, ia pun kemudian berontak. Pemberontakan yang berujung perpisahan dengan suami yang dicintainya. Dengan kesabaran dan semangat untuk melanjutkan kehidupannya, ia mampu bangkit dan memetik buah perjuangannya itu.

Dalam Kalau Tak Untung, tokoh Rasmani digambarkan sebagai wanita yang sabar, penuh cinta kasih, dan setia. Kesabarannya seringkali mengalami ujian oleh perlakuan Masrul yang selalu mengecewakan hatinya. Kelemahan dan keragu-raguan Masrul terhadap perasaan kasih dan cinta, yang sebenarnya hanya untuk dirinya, yang akhirnya memisahkan ia dengan Masrul. Cinta dan kesetiaanlah yang membuatnya terus menunggu dan berharap suatu saat Masrul akan menyadari perasaan hatinya. Namun, kesabaran itu ternyata tidak membuahkan hasil seperti apa yang diharapkannya. Penderitaan dan tekanan batin yang cukup hebat akhirnya mengalahkan cinta dan takdit kematian memisahkannya dart

pemuda yang sangat dicintainya itu. Dari analisis yang dilakukan terhadap karakter tokoh novel berlatar Minangkabau tersebut, terlihat adanya kecenderungan penghadiran tokoh yang memiliki sikap teguh pada pendirian, keras hati, kuat menjaga harga diri, pantang mengemis dan direndahkan, tahan menerima cobaan hidup, serta berani menerima akibat dari perbuatannya. Hal itu identik dengan kejantanan mental yang pada umumnya dimiliki oleh kaum laki-laki. Gambaran tokoh seperti yang telah diuraikan sebelumnya merupakan refleksi alam pikiran laki- laki karena pada kenyataannya novel berlatar Minangkabau kebanyakan merupakan ciptaan pengarang laki-laki.

Dari sepuluh novel yang menjadi data penelitian ini. hanya satu novel, yaitu Kalau Tak Untung yang dilahirkan oleh pengarang wanita. Jadi, tidak dapat dimungkiri bahwa novel-novel tersebut dipengaruhi oleh alam pikiran laki-laki. Alam pikiran tersebut menjiwai hampir seluruh aspek novel tersebut, baik dari segi alur maupun dalam penggambaran karakter dari tokoh-tokohnya. Wujud dari sikap kelaki-lakian adalah lahirnya sikap kejantanan mental sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, juga terlihat gambaran kejantanan biologis yang identik dengan gambaran tokoh yang memiliki tubuh yang besar dan tegap serta disukai oleh kaum wanita.

Setelah melakukan analisis, dapat diklasifikasi bahwa hampir semua novel yang menjadi data penelitian ini memperlihatkan tokoh yang memiliki kejantanan mental. Tokoh yang memiliki kejantanan mental itu terlihat paling menonjol, jika dibandingkan dengan kejantanan biologis Hanya ada beberapa novel yang memperlihatkan adanya penggambaran tokoh yang memiliki kejantanan biologis. Novel lainnya cenderung lebih mengutamakan gambaran kejantanan mental dari tokoh yang ditampilkan.

Meskipun konsep kejantanan biologis minim sekali terdapat dalam novel berlatar Minangkabau periode 1920 — 1940, unsur tersebut tetap hadir mendampingi konsep kejantanan mental tokohnya. Hal itu menunjukkan bahwa kehidupan orang Minangkabau melatarbelakangi terciptanya novel tersebut. Kehidupan orang Minang yang demokratis, yang hidup dalam pertentangan yang tidak saling melenyapkan, hidup dalam keselarasan dari pertentangan yang terjadi memengaruhi kehidupan tokoh dalam novel. Sikap orang Minang yang tidak menenggelamkan dua hal yang berbeda membuat konsep kejantanan mental tidak menenggelamkan konsep kejantanan biologis, begitu juga sebaliknya.