Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tidak dapat dimungkiri bahwa novel pengarang Minang memegang peranan penting dan menjadi perintis bagi tradisi kesusastraan Indonesia modern. Sebut saja Angkatan Balai Pustaka, yang dikenal sebagai angkatan pelopor, didominasi oleh pengarang dari etnik Minang. Bahkan, angkatan setelah Balai Pustaka pun sebagian besar didominasi oleh pengarang etnik ini dengan novelnya yang melegenda. Novel tersebut tidak hanya mengungkapkan kehidupan masyarakat asalnya, tetapi juga masyarakat suku bangsa lain. Dalam setiap karyanya, baik yang bercerita tentang masyarakat Minang maupun yang bercerita tentang masyarakat suku lain, ungkapan tradisional Minang selalu muncul. Kenyataan tersebut menunjukkan kepada kita bahyya pengarang Mimang tidak terlepas dari alam pikiran yang telah terbentuk oleh kebudayaan suku asalnya. Alam pikiran itu digunakan untuk melihat realitas kehidupan sukunya dan suku lain.

Masyarakat Minang menjalani kehidupannya sesuai dengan falsafah yang berpusat pada konsep yang oleh Navis (1984:59-60) disebut sebagai "alam takambang jadi guru". Dalam falsafah hidup itu, seluruh aspek yang ada dalam masyarakat Minang dalam perbedaan kadar dan peranannya saling berhubungan, tetapi tidak saling mengikat. Aspek tersebut cenderung saling berbenturan, tetapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok, tetapi tidak saling meleburkan. Masing-masing unsur mempertahankan eksistensinya dalam suatu harmoni yang dinamis, sesuai dengan dialektika alam yang dinamakan bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat).

Berdasarkan falsafah masyarakat Minangkabau sebagaimana yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Minang cenderung hidup dalam alam pikiran yang penuh dengan konflik. Konflik yang saling berhubungan dan berbenturan, tetapi tidak saling melenyapkan. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Nasroen (1971) bahwa masyarakat Minang hidup dalam falsafah yang mengutamakan keseimbangan dalam pertentangan. Keseimbangan tersebut bersifat abadi tanpa harus melenyapkan pertentangan yang ada. Hal itu sangat menarik untuk diamati lebih jauh karena kekhasan masyarakat Minang dengan falsafah hidupnya yang unik yang dapat membedakannya dari suku bangsa lain di Indonesia. Bertentangan untuk berselaras. Berbeda untuk sama dan bersatu.

Penelitian ini dititikberatkan pada persoalan konflik yang merupakan konsep estetika yang nantinya akan diamati melalui novel berlatar Minangkabau. Sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia mencatat begitu banyak sastrawan yang berasal dari etnik Minangkabau yang telah melahirkan karya-karya besar yang sampai saat sekarang pun masih diakui keberadaannya. Sastrawan besar yang tidak hanya mengangkat persoalan kehidupan masyarakat asalnya, tetapi juga persoalan kehidupan masyarakat dari daerah lain juga tidak luput dari perhatian mereka.

Dalam penelitian kali ini tim peneliti memfokuskan perhatian pada karya yang berlatar Minangkabau yang tidak hanya dilahirkan oleh para sastrawan dari etnik Minang, tetapi juga sastrawan dari masyarakat etnik lainnya. Hal itu menunjukkan kepada kita bagaimana dan seperti apa masyarakat Minang tersebut sehingga banyak sastrawan yang terdorong dan termotivasi untuk mengangkat persoalan masyarakat Minang. Faktor lain yang memotivasi tim peneliti untuk memilih novel berlatar Minangkabau sebagai objek penelitian ialah karena pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa karya tersebut memainkan peranan yang sangat besar dalam perkembangan kesusastraan Indonesia Modern. Untuk melihat dan memahami konsep estetika Indonesia, kita memerlukan perhatian khusus pada novel berlatar Minang, yang pada umumnya merupakan karya pengarang Minangkabau. Hal itu didasari oleh pemikiran bahwa novel-novel tersebut merupakan perintis bagi tradisi sastra Indonesia Modern.

Untuk membahas semua karya, khususnya novel, yang telah dilahirkan oleh para sastrawan, yang pada umumnya sangat produktif dari beberapa generasi dan angkatan dalam satu penelitian, tentu tidak akan membuahkan hasil yang maksimal. Untuk itu, dalam penelitian ini tim peneliti membatasi objek penelitian pada karya yang berlatar Minangkabau periode 1920-1940. Pembatasan objek penelitian ini didasari oleh pemikiran bahwa periode tersebut dapat dikatakan sebagai periodenya sastrawan Minang dengan karya yang telah melegenda, tidak hanya dalam masyarakat Minang, tetapi juga dalam masyarakat Indonesia umumnya. Periode tersebut merupakan tonggak kebesaran karya berlatar Minangkabau yang kebanyakan memang ditulis oleh pengarang Minang Selama periode itu lahir karya besar yang mencoba menyorot tradisi dan kehidupan masyarakat, Minang yang merupakan hasil pengalaman dan pengamatan medalam para pengarang terhadap fenomena yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya.

Pada penade itulah dominan terlihat adanya kecen derungan para pengarang untuk mengangkat persoalan kehidupan masyarakat Minang yang penuh dengan konflik. Pada umumnya, karya tersebut merupakan cermin kenyataan sosiokultural masyarakat Minang. Adanya perbenturan antara tradisi dan modernitas, perbenturan antara kebiasaan timur dan barat, serta persoalan adat dan segala ikatannya yang menjadi salah satu perhatian utama pengarang muda yang telah berpikiran maju dari sekitarnya. Persoalan tersebut pada akhirnya menimbulkan pemikiran baru yang diimplementasikan pada sosok tokoh muda yang berpikiran maju karena telah memperoleh pendidikan yang memadai. Mereka cenderung ingin lepas dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya. Mereka tidak mau lagi dikungkung oleh adat dan segala ikatannya, terutama dalam hal perkawinan yang sangat mengikat kaum muda.

Hal itu sangat berbeda dengan bentuk sastra Melayu yang dikenal sebelumnya. Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya telah terjadi perubahan dan lompatan di dalam kesusastraan Melayu dengan munculnya karya-karya pada periode itu. Karya tersebut menampilkan unsur kritik sosial yang selama ini tidak pernah ditampilkan oleh penulis hikayat. Kondisi tersebut membuktikan kepada kita bahwa keberadaan karya tersebut menjadi salah satu faktor penting di dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Indonesia Modern.

Sistem kemasyarakatan yang unik, yaitu sistem matrilineal, menyebabkari orang Minang sangat setia pada kaumnya. Kesetiaan itu dibuktikan dengan tetap kembalinya orang Minang yang telah meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah di negeri orang ke haribaan kaum kerabatnya. Menurut Damono (1979:16), pergi dan pulangnya orang Minang itu menyebabkan masyarakat Minang selalu terbuka terhadap hal-hal baru, sedangkan pada dasarnya masyarakat itu sangat konservatif dan bisa mengurus masalahnya sendiri. Dengan demikian, ketegangan sosial sering terjadi dalam masyarakat serupa itu. Hal seperti itulah yang menjadi elemen yang sangat berharga, yang mendominasi ide lahirnya karya karya pada periode ini. Orang Minang sangat terbuka pada hal-hal yang baru, tetapi di sisi lain mereka sangat setia pada masyarakat dengan tradisi dan budayanya sendiri. Mereka sangat menjunjung tinggi dasar falsafah orang Minang yang selalu menjaga keseimbangan dalam pertentangan. Persoalan itu menjadi isu sentral sebagian besar karya pada periode 1920-1940 itu. Kenyataan tersebut menjadi salah satu pendorong tim peneliti untuk mengangkat persoalan konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940 sebagai objek penelitian.

Dunia sastra merupakan dunia terbuka, dunia alternatif yang memiliki makna universal. Ia merupakan gabungan dari dunia imajinatif dengan dunia realita yang keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan berlangsung secara terus- menerus. Sastra sebagai dunia yang universal, terbuka untuk berbagai penafsiran. Berbagai disiplin ilmu dipakai untuk mendekati, memahami, dan memaknai kesusastraan. Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Sejarah, Agama, bahkan Ilmu Filsafat pun dipakai untuk mendekati kesusastraan. Begitu kayanya dunia sastra serta begitu beragamnya persoalan yang diangkat dalam kesusastraan sehingga akan dapat menambah dan membawa kearifan terhadap manusia dalam menyikapi dilema kehidupan. Dengan sastra, manusia akan sampai pada pemahaman terhadap diri dan manusia lainnya, serta nilai kemanusiaan yang memungkinkan manusia untuk tidak mementingkan diri sendiri dan lebih bijaksana dalam menyikapi hidup dan kehidupannya di tengah masyarakat.

Salah satu bidang ilmu yang dapat digunakan untuk mendekati kesusastraan adalah Ilmu Filsafat. Estetika sebagai bagian dari Ilmu Filsafat pada awalnya belum begitu populer dalam pengkajian sastra. Menurut Teeuw (1984:346); pada umumnya yang dibicarakan dalam karya sastra adalah yang berkaitan dengan sastra sebagai seni bahasa. Namun, sastra juga merupakan bentuk seni yang dapat didekati dari aspek keseniannya dan dari segi inilah sastra dilihat secara estetis.

Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, gagasan tentang konsep estetika yang dapat membedakannya dari konsep estetika barat belum begitu populer. Ketika Teeuw (1984) menulis perihal konsep estetika sastra Melayu yang menjadi latar belakang kesastraan puisi "Berdiri Aku" karya Amir Hamzah, konsep estetika Indonesia pun belum menjadi persoalan umum. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, muncul suatu gagasan mengenai konsep estetika Indonesia yang khas, yang oleh Faruk (1988) disebut sebagai poetika Indonesia, yaitu ketika munculnya prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi A.G. yang bersifat kontroversial itu dan novel Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya. Sejak saat itu berkembanglah pemikiran dan perdebatan tentang konsep estetika Indonesia yang melahirkan suatu kondisi yang khas dalam kesusastraan Indonesia. Kondisi itu menuntut perlu adanya pengkajian mengenai konsep estetika Indonesia yang berbeda dari konsep estetika barat.

Dalam perkembangan selanjutnya, apa yang dicita- citakan tersebut belum sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Banyak penelitian yang telah dilakukan, tetapi penelitian tersebut masih belum dapat menjawab pertanyaan apa dan bagaimana sesungguhnya konsep estetika dan poetika Indonesia itu. Kesalahan itu, menurut Faruk, terletak pada ketidaktepatan dalam pemilihan metode dan teori dalam penelitian tersebut sehingga melahirkan hasil yang tidak tepat. Kenyataan itu tentu saja tidak menjadi penghalang bagi para peneliti untuk melakukan penelitian selanjutnya. Hal itu nantinya akan menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukan penelitian tentang konsep estetik Indonesia dengan harapan penelitian yang dilakukan akan melahirkan suatu. kesimpulan yang sesuai dengan konsep yang diinginkan, yaitu: konsep estetika Indonesia yang dapat membedakaniya dari konsep estetika barat.

1.2 Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perlu dirumuskan masalah yang akan diung- kapkan dalam penelitian konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940 ini. Masalah itu, antara lain, mencakup:

  1. bagaimanakah konsep konflik menurut alam pikiran Minangkabau?;
  2. bagaimanakah konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940?;
  3. apakah peran dan fungsi konflik sebagai konsep estetika dalam novel berlatar Minangkabau itu? serta
  4. bagaimanakah refleksi konflik sebagai konsep estetika itu?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan hal-hal berikut.

  1. Gambaran konsep konflik menurut alam pikiran Minangkabau.
  2. Gambaran konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940.
  3. Uraian tentang peran dan fungsi konflik sebagai konsep estetika dalam novel berlatar Minangkabau itu.
  4. Uraian tentang refleksi konflik sebagai konsep estetika itu.

1.4 Kerangka Teori

Penelitian terhadap konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau dipusatkan pada analisis konflik sebagai refleksi konsep estetika tersebut. Untuk itu, perlu sekilas uraian tentang makna konflik itu. Marx (dalam Selden, 1989:21) menyatakan bahwa konflik kelas sosial memberikan dasar untuk kemunculan konflik ideologi. Sastra dan seni tergolong ke dalam lingkungan ideologi, tetapi hubungannya tidak langsung dibandingkan dengan keagamaan, hukum, dan sistem falsafah. Khamad (2002) menguraikan teori konflik yang beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas, serta berkecenderungan karena perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Konflik tersebut dapat menimbulkan perbedaan yang akhirnya menjurus pada perpecahan. Namun, seperti yang dikatakan olek Yazid (2003), pada dasarnya konflik adalah salah satu unsur pembawaan dan keberadaannya sangat urgen dalam kerangka peningkatan kualitas kehidupan manusia.

Menurut Suparlan (1985), konflik adalah suatu gejala yang terjadi dalam proses perkembangan masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Konflik pasti terjadi dalam kehidupan suatu masyarakat yang terus berjalan dan berkembang. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah seringkali masyarakat memandang konflik itu dalam arti yang sempit sehingga konflik diartikan sebagai pertengkaran, perselisihan, perusakan, pembunuhan, dan tindakan kekerasan yang biasanya terjadi dalam sebuah revolusi yang keras. Jadi, dalam pandangan kehidupan normal dan sewajarnya, orang cenderung menghindari konflik karena berkonotasi terhadap sesuatu yang negatif. Mereka menyukai kehidupan yang tenang tanpa harus dijejali oleh konflik yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan mereka.

Namun, dalam kenyataannya, tidak ada satu masyarakat pun dalam proses perkembangannya yang tidak mengalami adanya konflik karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terus-menerus dalam keteraturan dan statis dalam hidup yang monoton, tetapi juga tidak dapat hidup terus-menerus dalam kekacauan dan pertentangan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konflik dalam kehidupan nyata penting adanya karena ia seperti bumbu masakan yang jika tidak diadakan akan mengurangi rasa dan kelezatan masakan itu, mengurangi makna kehidupan itu sendiri.

Unsur lain yang perlu diuraikan di sini adalah istilah estetika. Estetika, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan cabang filsafat yang menelaah dan membahas seni dan keindahan, serta tanggapan manusia terhadapnya (Pusat Bahasa, 2001-236). Menurut Djelantik (1999.9), estetika adalah suatu ilmu tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan serta semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan. Analisis estetika adalah usaha untuk menjawab pertanyaan tertentu, misalnya kapan suatu objek dikatakan indah?, apakah yang menimbulkan rasa indah itu?, apakah indah itu terletak pada objek atau pada persepsi pengamat?, dan apakah ada hubungan seni dengan kebenaran dan moralitas? (Hospers dalam Yusriwal, 1998). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, estetika memerlukan bantuan ilmu lain, terutama yang berhubungan dengan bidang humaniora, seperti ilmu sejarah, sastra, sosial, teologi, dan arkeologi (Djelantik, 1999:11).

Estetika yang universal, dalam arti dapat diterima umum dan berlaku untuk seni di segala masa dan tempat, menurut Teeuw (1984:353) belum ada. Sebaliknya, perbedaan dan pertentangan pendapat para ahli semakin sengit. tergantung pada pendirian filsafat, sosial-politik, dan etika para ahli yang bersangkutan. Teeuw mencoba menelusuri apakah dalam sastra Indonesia terungkap pendekatan estetika terhadap karya sastra secara jelas karena memang teori estetika yang eksplisit tidak diketahui di bidang sastra Indonesia. Akan tetapi, ada konsep estetika yang secara implisit terkandung dalam sastra Melayu dan puisi Jawa Kuno. Estetika tersebut tidak bersifat otonom. Fungsi seni diabadikan pada fungsi agama, yaitu pengagungan Tuhan.

Setiap masyarakat dan kebudayaan mengembangkan estetika sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Jadi, estetika yang universal mutlak tidak ada. Oleh karena itu, penelitian estetika harus mendapatkan tempat yang layak dalam penelitian kebudayaan (Teeuw, 1984:357). Berdasarkan kerangka berpikir itu, Mukarovsky (dalam Teeuw, 1984:358) menyatakan bahwa nilai estetika adalah sesuatu yang lahir dari tegangan antara pembaca dan karya, tergantung pada aktivitas pembaca selaku pemberi arti. Oleh karena itu, nilai estetika adalah proses yang terus-menerus, bukan perolehan yang tetap. Teeuw menjelaskan bahwa unsur estetika itu dapat dilihat dan ditentukan oleh tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap, sikap, dan pengalaman seorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah. Manusia tidak pernah statis, tidak pernah sama karena ada perubahan fisik dan psikis yang terus-menerus, juga karena adanya latar sosiokultural yang terus berkembang.

Penelitian terhadap novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940 dari segi konflik sebagai konsep estetika ini menggunakan pendekatan atau teori fenomenologis. Faruk (1987) menawarkan teori ini dengan tujuan memadukan dua paradigma, yaitu paradigma subjektif dan paradigma objektif. Hal yang terdapat pada teori sastra lainnya karena menurut Faruk seluruh teori sastra yang pernah ada sesungguhnya dapat dibedakan ke dalam dua paradigma tersebut. Melalui teori fenomenologis, dua paradigma tersebut dipadukan. Teori itu berusaha untuk memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu.

Sosiologi fenomenologi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl. Husserl (dalam Eagleton, 1988:61) menyatakan bahwa alam pikiran manusia berawal dari kesadaran terhadap sesuatu. Manusia secara sadar mengarahkan pikirannya pada suatu benda. Perbuatan berpikir dan buah pikiran berhubungan secara mendalam dan saling bergantung satu sama lain. Kesadaran tersebut bukan hanya suatu rekaman dunia yang pasif, tetapi menginginkan dunia tersebut ada. Untuk mendirikan kepastian tersebut, kita harus mengesampingkan semua yang berada di luar pengalaman terdekat kita. Hal itu menurut Husserl merupakan langkah yang pertama dan penting dalam teori fenomenologi. Semua unsur yang tidak terdapat dalam kesadaran harus dikeluarkan. Semua kenyataan harus dilihat sebagai "fenomena" mutlak. Namun, pendapat Husserl ini memiliki kelemahan karena mungkin apa yang kita temui, jika menyimak isi pikiran kita, tidak lebih daripada suatu arus fenomena yang kacau dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar

kepastian. Untuk menyempurnakan apa yang telah diuraikan oleh Husserl, Eagleton (1988:162) menjelaskan bahwa fenomenologi bukan hanya mengkaji apa yang tampak apabila kita melihat sesuatu, tetapi intipati dari apa yang dilihat dan tanggapan terhadap apa yang kita lihat. Kaidah itu bukanlah suatu bentuk empirisme yang mementingkan pengalaman individu yang tidak tetap dan terpecah-pecah, bukan juga suatu jenis psikologisme” yang tertarik dengan proses akaliah yang dapat diperhatikan pada individu itu. Melalui fenomenologi, kita dapat mengungkap struktur kesadaran itu sendiri dan dalam perlakuan yang sama mengungkap fenomena itu juga.

Tokoh lain yang menguraikan fenomenologi ini adalah Weber (dalam Moleong, 1996:9), yang memberi tekanan pada verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti dari apa yang mereka teliti. Fenomenologi memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan dalam pendekatan ini adalah aspek subjektif perilaku manusia. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang diteliti sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia berbagai cara menginterpretasi pengalaman melalui interaksi dengan orang lain dan tersedia pengertian bahwa pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

Eagleton (1988:62) menambahkan bahwa dalam kritikan fenomenologi seluruhnya tertuju pada suatu pembacaan teks secara "batiniah" yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh unsur di luar dirinya. Teks tersebut diturunkan sebagai wadah untuk kesadaran pengarang. Seluruh aspek gaya dan semantik dianggap sebagai bagian yang organik dari suatu keseluruhan yang kompleks dan yang menjadi inti pemandu adalah akal budi penulis. Persoalan dalam pendekatan itu adalah struktur yang ada dalam pikiran, yang dapat ditemui dalam tema yang berulang. Hal itu juga mencakupi cara penulis itu "menghidupi" dunianya, hubungan fenomenologi antara dirinya sebagai subjek dan dunia sebagai objek. Menurut Eagleton, "dunia" dalam karya sastra bukanlah suatu kenyataan objektif saja, tetapi apa yang disebut dalam bahasa Jerman sebagai Lebenswelt, kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh sebuah subjek. Kritikan fenomenologi terfokus pada cara penulis mengalami waktu dan ruang, cara hubungan di antara diri dan orang lain, atau persepsinya terhadap objek kebendaan.


Merujuk kembali pada fenomenologi Faruk (1987) — yang memadukan dua paradigma, yaitu paradigma subjektif dan paradigma objektif-ia menganggap bahwa karya sastra berada di luar pikiran manusia, yang merupakan hasil interaksi antara manusia dalam kehidupan yang nyata. Karya sastra, meskipun otonom, tetap merupakan fakta mental, bukan fisik. Makna dan struktur teks sastra bergantung pada pola pikiran manusia yang membaca, mendengar, atau juga yang mengungkapkannya. Faruk menambahkan bahwa dengan kerangka teori fenomenologi itu, pemahaman karya sastra haruslah melalui alam pikiran manusia yang mencipta, memproduksi, dan mengonsumsinya. Ia beranggapan bahwa metode seperti itu sesungguhnya merupakan suatu interpretasi yang tidak memiliki kepastian.


Oleh karena itu, untuk melengkapi pendekatan tersebut, dalam memahami dan meneliti konflik sebagai konsep estetika digunakan metode dialektika, sebagaimana yang dirumuskan oleh Goldman (Faruk, 1994:19-21). Dalam metode ini, pemahaman dan penelitian sastra haruslah menetapkan pilihan terhadap berbagai alam pikiran yang mungkin ada. Dasar pemilihan itu adalah kenyataan tekstual sastra. Metode ini mempertimbangkan koherensi strukturalteks sastra. Prinsip dasar metode dialektika ini yang membuatnya mempertimbangkan masalah koherensi sebagai pengetahuan tentang fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Inilah yang disebut Goldman sebagai konsep "keseluruhan-bagian" dan "pemahaman-penjelasan".


Metode itu menekankan sudut pandangnya pada konsep bahwa tidak pernah ada titik awal yang secara mutlak sahih serta tidak ada persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, pikiran manusia tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta dan gagasan individu mempunyai arti, jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keselurahan hanya dapat dipahami dengin pengetahuan mengenai fakta yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan. Proses pencapaian pengetahuan dengan metode ini menjadi seperti gerak yang melingkar secara terus- menerus, tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi pangkal atau ujungnya.

Seperti yang telah dikemukakan, teks sastra meru- pakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yaitu masyarakat tempat karya sastra itu ada dan menjadi bagian, serta merefleksikan kehidupan masyarakat tersebut. Hal itulah yang menjadikannya memiliki struktur yang berarti. Dalam konteks ini, pemahaman mengenai teks sastra harus dilanjutkan dengan usaha untuk menjelaskannya, dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar itu. Inilah yang disebut Goldman (dalam Faruk, 1994:21) sebagai konsep "pemahaman-penjelasan". Menurut Goldman, pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, yaitu karya sastra, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar, yaitu masyarakat. Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.

Metode dialektika ini merupakan salah satu kategori yang dibangun Goldman untuk menopang teorinya, yang disebutnya sebagai strukturalisme genetik. Menurut Goldman (dalam Faruk, 1994:12), dalam strukturalisme genetik tersebut ada kepercayaan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang bersifat dinamis, produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.


Junus (1988:16) menambahkan bahwa Goldman mencoba membentuk suatu "pandangan dunia" dari suatu novel yang dianggapnya sebagai pandangan dunia penulisnya. Namun, penulis bukanlah individu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari suatu kelompok sosial tertentu sehingga pandangannya adalah pandangan kelompok sosial itu. Oleh karena itu, pandangan dunia itu mesti terikat kepada masa tertentu yang menyebabkannya terikat pada faktor sejarah. Karena adanya hubungan genetik antara pandangan dunia penulis pada suatu novel dan pandangan dunia pada suatu ruang tertentu dalam masa tertentu, pendekatan ini juga dikenal sebagai strukturalisme genetik (genetic structuralism).


Teeuw (1984:153) mengemukakan hal senada bahwa dalam strukturalisme genetik Goldman, setiap karya sastra yang penting memiliki struktur kemaknaan yang mewakili pandangan dunia penulis, bukan sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya. Individu berbicara atas nama kelompoknya, atas dasar situasi sosialnya sehingga manusia dan situasi tersebut secara optimal jelas terbayang dalam karyanya. Kemudian, analisis data yang diperoleh peneliti dibandingkan dengan analisis keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dalam arti ini, karya sastra dapat dipahami asal dan terjadinya secara genetik dari latar belakang struktur sosial tertentu. Jadi, strukturalisme genetik Goldman ini menerangkan karya sastra dari homologi, yaitu persesuaiannya dengan struktur sosial.


1.5 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kualitatif yang dilakukan terhadap sepuluh novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940. Berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan, penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis-interpretatif. Setiap unsur konflik sebagai konsep estetika novel tersebut dideskripsikan, kemudian dicoba untuk dianalisis dan diinterpretasi sesuai dengan teori yang telah dikemukakan.

Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut.

  1. Melakukan observasi terhadap data yang ada (studi pustaka).
  2. Melakukan identifikasi terhadap data yang ada untuk melihat gambaran konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940.
  3. Melakukan interpretasi dan analisis terhadap teks sastra untuk menemukan permasalahan yang berhubungan dengan konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau tersebut.


1.6 Sumber Data dan Percontoh

Populasi penelitian ini meliputi seluruh novel yang berlatar Minangkabau dalam kurun waktu 1920-1940 yang berjumlah 35 novel dari 11 novelis. Perincian karya kesebelas novelis itu adalah sebagai berikut.

  1. Marah Rusli (Sitti Nurbaya (1922))
  2. Abdul Muis (Salah Asuhan (1928))
  3. Nur St Iskandar (Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922), Cinta yang Membawa Maut (1926), Salah Pilih (1928), Karena Mentua (1932),

Abu Nawas (1929), Tuba Dibalas dengan Air Susu (1933), Dewi Rimba (1935), dan Hulubalang Raja (1934))

  1. Adinegoro (Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya(1928))
  2. 'Tulis Sutan Sati (Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tak Disangka (1929), Memutuskan Pertalian (1932), dan Tidak Membalas Guna (1932))
  3. Abas Sutan Pamuncak (Dagang Melarat (1926) dan Pertemuan (1927))

7. Hamka (Dijemput Mamaknya (1930), Tenggelamınya Kapal van der Wijck (1938), Merantau Ke Deli (1939), Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Si Sabariah (1926), Laila Majnun (1939), Salahnya Sendiri (1939), dan Keadilan Ilahi(1940))

8. Aman Dt. Majoindo (Sebabnya Rafiah Tersesat (1934), Menebus Dosa (1932), Rusmala Dewi (1932), Perbuatan Dukun (1935), dan Sampaikan Salamku Padanya (1935))

9. Jusuf Sou'yb (Bibir Mengandung Racun (1939) dan Jiwa Bersiram Darah (1940))

10. Selasih (Kalau Tak Untung (1933))

11. Suman Hs (Percobaan Setia (1931))

Percontoh diambil berdasarkan kriteria kelegendarisan novel, seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Merantau ke Deli, dan Sengsara Membawa Nikmat. Kriteria lain adalah keproduktifan pengarang, seperti Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, dan Hamka. Kriteria ketiga adalah titik persoalan, yaitu novel yang sarat dengan persoalan konflik sebagai konsep estetika yang akan diteliti.


Berdasarkan kriteria tersebut, tim peneliti menetapkanb10 novel yang berasal dari 8 orang pengarang sebagaibpercontoh penelitian. Percontoh penelitian yang ditetapkanboleh tim peneliti adalah sebagai berikut.

  1. Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli
  2. 'Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis
  3. Salah Pilih (1928) karya Nur St. Iskandar
  4. Karena Mentua (1932) karya Nur St. Iskandar
  5. Sengsara Membawa Nikmat (1928) karya Tulis Sutan Sati
  6. Pertemuan (1927) karya Abas St. Pamuncak
  7. Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938) karya Hamka
  8. Merantau ke Deli (1939) karya Hamka
  9. Kalau Tak Untung (1933) karya Selasih
  10. Durah Muda (1932) karya Adinegoro 1.7 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap karya angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru memang telah banyak dilakukan. Berbagai sudut pandang dan persoalan dipakai untuk menelaah karya tersebut, khususnya novel selama periode itu. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Atmazaki dkk. (1988) yang membahas persoalan Obsesi Pengarang Periode Balai Pustaka yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta penelitian yang dilakukan oleh Mursal Esten dkk. (1993) yang menyorot unsur Sosialbudaya Novel-Novel Pengarang Etnis Minangkabau Periode Balai Pustaka. Masih banyak penelitian lainnya yang tidak dapat kami sebutkan di sini satu per satu. Akan tetapi, penelitian "Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920- 1940" dengan pendekatan dan metodologi sebagaimana yang kami tentukan, sejauh pengamatan kami belum pernah dikakukan.

Penelitian ini terilhami dari makalah yang disam- paikan oleh Faruk H.T. dari Universitas Gajah Mada dalam Kongres Bahasa Indonesia V yang diadakan di Jakarta tahun 1988, yang berjudul "Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Pengarang Minangkabau". Seperti kita ketahui, sebuah penelitian ataupun sebuah tulisan dalam bentuk artikel dan makalah dikatakan baik dan berhasil jika memberi peluang ide, dan masukan bagi penelitian selanjutnya. Hal itu memotivasi dan memberi inspirasi bagi tim peneliti untuk mengetengahkan persoalan konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940 ke dalam sebuah bentuk penelitian dengan harapan nantinya penelitian ini akan membuahkan hasil yang bermanfaat bagi pembaca dan membuka peluang baru bagi penelitian selanjutnya.

1.8 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan: berisi latar belakang, masalab. tujuan penelitian, kerangka teori, metode dan teknik penelitian. sumber data dan percontoh, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan Bab 11 berisi uraian tentang identifikasi masalah. Bab III berisi uraian tentang alam pikiran Minangkabau. Bab IV berisi analisis konflik: konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920 — 1940. Bab V berisi uraian tentang refleksi konflik sebagai konsep estetika, dan Bab VI bagian penutup yang berisi simpulan dan saran.