Himpunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia/Bab 9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas




PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

(Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971)

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

No. 7/DPR-RI/III/71-72

tentang

PERATURAN TATA-TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Dalam rapat Pleno terbuka ke-10 pada tanggal 8 Januari 1972. Menimbang:

  1. Bahwa dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum tahun 1971, maka Peraturan Tata-tertib DPR-GR. sudah tidak berlaku lagi.
  2. Bahwa perlu ditetapkan suatu Peraturan Tata-Tertib yang mengatur cara-cara menghayati kedudukan, fungsi, tugas, wewenang tanggung jawab beserta alat-alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan asas-asas Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Mengingat:

  1. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menekankan bahwa kerakyatan harus dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (3) yang menekankan bahwa segala putusan ditetapkan dengan suara terbanyak, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), yang menghendaki kerja sama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membentuk sesuatu Undang-undang.
  3. Ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
  4. Undang-undang No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang No. 16/1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. 5. Keputusan Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 29 Oktober 1971, dan 22 Nopember 1971.

Mendengar :

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 2 Nopember 1971 telah mendapat mandat penuh untuk menyusun Peraturan Tata-Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum tahun 1971.

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

Peraturan Tata-Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum tahun 1971 seperti di bawah ini :

BAB I.

KETENTUAN UMUM

Pasal I.

(1) Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Peraturan Tata-tertib ini ialah Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum yang mulai berfungsi pada tanggal 28 Oktober 1971.

(2) Dewan Perwakilan Rakyat dalam melakukan tugasnya berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

(3) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah wakil-wakil Rakyat dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan Rakyat.

BAB II.

KEDUDUKAN TUGAS DAN WEWENANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal 2.

( 1) Dewan Perwakilan Rakyat adalah Lembaga Negara yang bertanggung jawab dan berwenang untuk menjalankan tugas-tugas utama sebagai berikut: a. Bersama-sama dengan Pemerintah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. b. Bersama-sama dengan Pemerintah membentuk Undang-undang sesuai dengan pasal 5 ayat (1), pasal 20. pasal 21 ayat (l}, pasal 22 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.

c. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan kebijaksanaan Pemerintah sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan penjelasannya.

(2) Pelaksanaan tersebut dalam pasal 2 ayat (1) diatur dalam Bab IV, VI, VII, VIII, IX, X, XI, dan XV Peraturan Tata-tertib ini.

BAB III.

KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal 3.

(1) Untuk dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Warganegara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca huruf latin;

c. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, kepada Undang-undang Dasar 1945 dan kepada Revolusi Kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengemban Amanat Penderitaan Rakyat;

d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30-S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;

e. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;

f. Tidak sedang menjalani pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang dikenakan ancaman hukuman sekurang-kurangnya 5 tahun;

g. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.

(2) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus bertempat tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia.

( 3) Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat diresmikan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 4.

Masa keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat adalah 5 (lima) tahun, mereka berhenti bersama-sama setelah masa keanggotaannya berakhir.

Pasal 5.

(1) Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhenti antar-waktu sebagai anggota karcna sebab-sebab:

  1. meninggal dunia;
  2. atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat;
  3. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
  4. tidak memenuhi lagi syarat-syarat tersebut dalam pas al 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib ;
  5. dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
  6. diganti oleh Organisasi/Golongannya, setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat;
  7. karena merangkap dengan jabatan: Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua clan Hakim-hakim Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan lain yang tidak mungkin dirangkap, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Anggota yang berhenti antar-waktu seperti tersebut pada ayat (1) pasal ini, tempatnya diisi oleh:

  1. calon dari organisasi yang bersangkutan;
  2. calon dari Pejabat baik atas usul instansi/organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Pejabat itu

(3) Anggota yang menggantikan antar-waktu anggota lama, berhenti sebagai anggota pada saat anggota yang digantikannya itu seharusnya meletakkan jabatan.

(4) Pemberhentian anggota krena tidak memenuhi lagi syarat yang tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf c, d, f, dan karena alasan tersebut pada ayat (1) huruf e pasal ini adalah pemberhentian tidak dengan hormat.

(5) Pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat disesuaikan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 6.

(1) Sebelum memangku jabatannya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama diambil sumpah/janjinya menurut agamanya masing-masing oleh Ketua Mahk.amah Agung dalam rapat paripurna terbuka Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau anggota Pimpinan lainnya mengambil sumpah/janji anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang belum diambil sumpah/janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung menurut ayat (1) pasal ini.

Pasal 7.

Bunyi sumpah/janji dimaksud dalam pasal 6 adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah (menerangkan dengan sungguh-sungguh) bahwa saya untuk menjadi anggota (Ketua/Wakil Ketua) Dewan Perwakilan Rakyat langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jahatan ini tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah {berjanji) bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi Amanat Penderitaan Rakyat, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, Undang-Undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia; bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia dan bahwa saya akan setia kepada Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia".

BAB IV.

HAK-HAK ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Ketentuan Umum.

Pasal 8.

(1) Untuk melaksanakan tugas dan wew~nang Dewan Perwakilan Rakyat tersebut dalam pasal 2, anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak-hak sebagai berikut:

a. mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota; b. meminta keterangan (interpelasi),

c. mengadakan penyelidikan (angket),

d. mengadakan perobahan (amandemen),

e. mengajukan pernyataan pendapat,

f. mengajukan/menganjurkan seseorahg jika ditentukan oleh sesuatu perundang-undangan.

(2) Mengenai hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif diatur dalam BAB X tentang Pembentukan Undang-undang dan Penyelesaian Usul-usul.

Mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota.

Pasal 9.

(1) Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat secara perseorangan maupun bcrsama-sama dapat mengajukan pcrtanyaan-pertanyaan kepada Presiden.

(2) Pertanyaan itu harus disusun singkat serta jelas dan disampaikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan tertulis.

(3) Apabila dipandang perlu Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dapat merundingkan dengan penanya tentang isi, bentuk dan sifat pertanyaan itu.

(4) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat setelah meneruskan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Presiden dengan disertai permintaan agar supaya mendapat jawaban dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, memperbanyak pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dibagikan kepada para Anggota.

(5) Sebelurn disampaikan kepada Presiden, pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat diumumkan.

Pasal 10.

(1) Apabila jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut pada pasal 9 oleh Presiden disampaikan dengan tertulis, maka tidak diadakan pembicaraan dcngan lisan.

(2) Penanya dapat meminta supaya pertanyaan dijawab dengan lisan. Apabila Presiden memenuhi perrnintaan itu, maka penanya dalam rapat yang ditentukan untuk itu dapat mengemukakan lagi dengan singkat penjelasan tentang pertanyaannya, supaya Presiden dapat memberikan keterangan yang lebih luas tentang soal yang terkandung di dalam pertanyaan itu, ·

368
Meminta keterangan (interpelasi).

Pasal 11.

(1) Sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan usul kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta keterangan kepada Presiden tentang sesuatu kebijaksanaan Pemerintah.

(2) Usul tersebut pada ayat (1) pasal ini harus disampaikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, disusun secara singkat, jelas dan ditanda-tangani oleh para pengusul.

(3) Oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat usul itu kemudian diberi nomor pokok.

Pasal 12.

(l) Dalam rapat pleno berikutnya Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang masuknya usul permintaan keterangan kepada Pemerintah, Usul tersebut kemudian diperbanyak dan disampaikan kepada para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Dalam rapat Badan Musyawarah kepada para pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari pada usul permintaan keterangan tersebut, jika perlu dengan mengadakan tanya-jawab, Kemudian Badan Musyawarah menentukan hari dan waktu bilamana usul tersebut dibicarakan dalam rapat pleno.

(3) Dalam suatu rapat pleno para pengusul memberikan penjelasan. Keputusan apakah usul permintaan keterangan kepada Pemerintah tersebut disetujui atau ditolak untuk menjadi permintaan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dalam rapat pleno itu atau pada rapat pleno yang lain.

Pasal 13.

(1) Selama suatu usul permintaan keterangan belum diputuskan menjadi permintaan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, para pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, dan harus ditanda-tangani oleh para pengusul, kemudian diperbanyak dan disampaikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Apabila jumlah penanda-tangan suatu usul permintaan keterangan yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 (tiga puluh) orang anggota maka harus diadakan penambah an penanda-tangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang anggota dan yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi. Apabila sampai dua kali masa persidangan ketentuan ini tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 14.

(1) Apabila usul permintaan keterangan kepada Presiden, itu disetujui sebagai permintaan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, maka permintaan keterangan terscbut dikirim kepada Presiden dan Presiden diundang untuk memberikan keterangannya.

(2) Mengenai keterangan Presiden tersebut dalam ayat (1) pasal ini diadakan pembicaraan dengan memberikan kesempatan kepada pengusul maupun anggota-anggota lainnya untuk mcmberikan pendapatnya.

(3) Atas pendapat para pengusul dan para anggota lainnya, Presiden memberikan jawaban.

Pasal 15.

(1) Atas usul sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, Dewan Perwakilan Rakyat dapat menyatakan pendapatnya terhadap jawaban Presiden tersebut.

(2) Untuk keperluan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal mi, dapat diajukan usul pernyataan pendapat yang diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 25 sampai dengan pasal 29 Peraturan Tata Tertib ini.

(3) Jika sesudah jawaban Presiden termaksud dalam pasal 14 ayat

(3) tidak diajukan sesuatu usul pernyataan pendapat, maka pembicaraan mengenai keterangan Presiden seperti tersebut pada pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) dinyatakan selesai oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Mengadakan penyelidikan (Angket).

Pasal 16.

(1) Sesuai dengan ketentuan Undang-undang, sejumlah anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan mengenai sesuatu hal.

(2) Usul termaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam suatu perumusan, yang memuat isi yang jelas tentang hal yang harus diselidiki dengan disertai suatu penjelasan dan rancangan jumlah biaya.

(3) Usul itu disampaikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat secara tertulis dan harus ditanda-tangani oleh para pengusul.

Pasal 17.

Usul seperti termaksud dalam pasal 16 beserta penjelasan-penjelasan dan rancangan biaya, setelah diberi nomor pokok dan nomor surat oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat, diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dikirim kepada Presiden.

Pasal 18.

Sebelum dirundingkan dalam rapat Pleno, Badan Musyawarah menetapkan hari dan waktu pemeriksaan persiapan usul itu oleh Fraksi-fraksi.

Pasal 19.

(1) Selama suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai sesuatu hal belum disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, para pengusul berhak untuk mengadakan perobahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perobahan atau penarikan kembali disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan harus ditanda-tangani oleh para pengusul, yang kemudian setelah diperbanyak disampaikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Apabila jumlah penanda-tangan suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai sesuatu hal yang belum memasuki pembicaraan tingkat I, ternyata menjadi kurang dari jumlah yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1), maka harus diadakan penambahan penanda-tangan hingga jumlah mencukupi.

Apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penanda-tangan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul yang bersangkutan menjadi gugur.

Pasal 20.

(1) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan menerima baik usul itu, maka Dewan Perwakil.an Rakyat membentuk Panitia Penyelidikan yang sekurang-kurangnya terdiri dari 10 (sepuluh) orang dan menentukan jumlah biayanya.

(2) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan mcnentukan juga masa-kerja Panitia Penyelidikan yang bersangkutan.

(3) Atas perrnintaan Panitia tersebut ayat (1) pas al ini, masa kerjanya dapat diperpanjang/diperpendek oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 21.

(1) Tiap-tiap bulan Panit ia Perryelidikan harus memberikan laporan tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Laporan itu setelah oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat diber:i nomor pokok dan nomor surat, diperbanyak serta dibagikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Atas usul 10 (sepuluh) orang anggota Dewan Pcrwakilan Rakyat laporan berkala itu dapat dibicarakan dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat kecuali kalau Dewan Perwakilan Rakyat menentukan lain.

Pasal 22.

(1) Setelah selesai dengan pekerjaannya, Panitia Penyelidikan (Angket} memberikan 1aporan tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Laporan itu setelah oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat diberi nomor pokok dan nornor surat, diperbanyak serta dibagikan kepada para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian dibicarakan dalam rapat Pleno, kecuali kalau Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan lain.

(2) Dewan Perwakilan Rakyat mengambil keputusan atas laporan Panitia Penyelidikan tersebut dan menyampaikannya kepada Presiden.

Mengadakan Perobahan (Amandemen).

Pasal 23.

(1) Hak amandemen adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan perobahan-perobahan pada suatu Rancangan Undang-undang.

(2) Pokok-pokok usul amandemen dapat dikemukakan dalam pembicaraan tingkat II (Pemandangan Umum].

(3) Usul-usul amandemen secara nyata dan terperinci disampaikan dengan tertulis oleh Fraksi-fraksi dalam pembicaraan tingkat III, untuk dimusyawarahkan dan diambil keputusannya.

(4) Usul-usul amandemen pada ayat (3) pasal ini harus disertai penjelasan tertulis secara singkat dan disampaikan beberapa waktu sebelum rapat-rapat Komisi/Gabungan

Komisi/Panitia Khusus dimulai.

Pasal 24.

Pembicaraan amandemen dalam Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.

Jika terpaksa diambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka yang dipungut suara adalah rumusan-rumusan baru hasil pendekatan dalam musyawarah.

Usul pernyataan pendapat

Pasal 25.

(1) Sekurang-kurangnya 30 (tigapuluh) orang anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan sesuatu usul pernyataan pendapat dalam bentuk memorandum, resolusi atau mosi, baik yang berhubungan dengan soal yang sedang dibicarakan maupun yang mempunyai maksud tersendiri.

(2) Usul pernyataan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disampaikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat disertai penjelasan tertulis,

(3) Dalam rapat yang berikut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Ketua rapat memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang masuknya usu! tersebut.

Pasal 26.

Setelah oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat diberi nomor pokok dan nomor surat, usul termaksud dalam pasal 25 diperbanyak serta dibagikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 27.

(1) Badan Musyawarah menetapkan hari dan waktu pembicaraan dalam rapat Pleno mengenai usul pernyataan pendapat itu.

(2) Dalam rapat Pleno yang telah ditetapkan di atas, para pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasannya dengan lisan atas usul pernyataan pendapat itu.

(3) Pembicaraan mengenai sesuatu usul pernyataan pendapat dilakukan dalam dua babak pembicaraan, dengan memberikan kesempatan kepada:

  1. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat lainnya untuk memberikan pemandangannya;
  2. Presiden untuk menyatakan penadpatnya.

Baik dalam rangka babak pembicaraan yang pertama maupun dalam babak yang terakhir, para pengusul memberikan jawaban atas pemandangan para anggota dan Presiden.

Pasal 28.

(1) Selama suatu usul pernyataan pendapat belum disetujui oleh Dewan Perwak ilan Rakyat, para pengusul berhak mengajukan perobahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang penarikan kembali atau perobahan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan ditanda-tangani olch para perigusul, kemudian diperbanyak serta disampaikan kepada para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.

(3) Apabila jumlah penanda-tanganan suatu usul pernyataan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I tcmyata menjadi kurang dari 30 (tiga puluh), maka harus diadakan penambahan penanda-tangan sehingga jumlahnya sekurang-kurangnya menjadi 30 (tiga puluh} orang, yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul yang bcrsangkutan menjadi gugur.

Pasal 29.

(1) Sebelum perundingan diadakan tentang rumusan usul, oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang anggota dapat diajukan usul amandemen.

(2) Usul amandemen tersebut pada ayat (1) pasal ini yang disertai penjelasan singkat, disampaikan secara tertulis kcpada Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Usul amandemen tersebut hanya dapat mengubah rumusan usul pernyataan pendapat kalau disetujui oleh pengusul pernyataan pendapat itu.

(4) Usul amandemen ini dimusyawarahkan diadakan sehelum rapat Pleno tingkat-IV.

Pasal 30·.

Pembicaraan ditutup dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat yang menerima baik atau menolak usul pernyataan pendapat tersebut.

Mengajukan/menganjurkan seseorang jika ditentukan

oleh suatu perundang-undangan.

Pasal 31.

(1) Apabila oleh sesuatu perundang-undangan ditentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat diwajibkan mengajukan/menganjurkan seseorang calon untuk mengisi sesuatu jabatan, maka pengajuan/penganjuran calon itu dibicarakan dalam Badan Musyawarah.

(2) Pengajuan/penganjuran seperti dimaksud ayat {1) pasal ini sekurang-kurangnya terdiri dari 2 ( dua) kali jumlah jabatan yang akan diisi.

(3) Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan calon-calon berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Badan Musyawarah.

Pasal 22.

Calon yang telah ditetapkan oleh rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan secara tertulis kepada Presiden.

BAB V.

FRAKSI-FRAKSI

Pasal 33.

(1) Yang dimaksud dengan Fraksi adalah pengelompokkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan pencerminan konstelasi pengelompokan politik dalam masyarakat yang terdiri dari unsur-unsur Golongan Politik dan unsur-unsur Golongan Karya.

(2) Fraksi-fraksi dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan effisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.

(3) Tiap-tiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat wajib menjadi anggota salah satu Fraksi.

(4) Atas dasar ayat (1) dan ayat (2) pasal ini di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dibentuk:

a. Fraksi ABRI.,

b. Fraksi Demokrasi Pembangunan;

c. Fraksi Karya Pembangunan;

d. Fraksi Persatuan Pembangunan.

sebagaimana disebut di dalam lampiran I Peraturan Tata-tertib ini.

(5) Segala sesuatu tentang pengaturan Fraksi menjadi urusan sepenuhnya dari Fraksi masing-masing.

(5) Dewan Perwakilan Rakyat menyediakan sarana bagi kelancaran pekerjaan Fraksi-fraksi.

BAB VI.

PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Ketentuan Umum

Pasal 34.

(1) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua.

(3) Masa jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat sama dengan masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 35.

(1) Selama Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat belum ditetapkan maka musyawarah-musyawarahnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dan dibantu anggota yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara musyawarah.

(2) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Calon Ketua/Wakil Ketua diusulkan oleh para Anggota dalam satu paket.

(4) Setiap usul paket harus didukung sedikit-dikitnya oleh 30 (tiga puluh) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(5) Usul paket tersebut disampaikan kepada Pimpinan musyawarah secara tertulis dengan disertai daftar tanda-tangan para pengusul.

(6) Kepada para pengusul diberikan kesempatan untuk mengemukakan penjelasan atas usulnya melalui juru bicara masing-masing.

(7) Pemilihan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mufakat sehingga merupakan keputusan secara bulat.

(8) Jika jumlah penanda-tangan terhadap satu usul paket atau terhadap paket-paket yang sama isinya telah melampaui jumlah suara terbanyak sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang Dasar 1945, maka sebagai upaya untuk rnencapai musyawarah mufakat, Pimpinan musyawarah menanyakan pendapat para anggota yang tidak menandatangani paket-paket atau paket-paket yang sama isinya itu baik secara perseorangan maupun melalui kelompok.

Berdasarkan pendapat-pendapat itu, Pimpinan musyawarah menetapkan jenis paket dengan pendukung suara terbanyak tadi menjadi keputusan Dewan Perwakilan Rakyat.

(9) Apabila keputusan secara tersebut pada ayat (6) dan ayat (7) pasal ini tidak tercapai, maka pemilihan dilakukan dengan cara keputusan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana diatur pada BAB XII Peraturan Tata-tertib ini.

(10) Apabila Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat sudah terpilih, maka Pimpinan Sementara menyerahkan Pimpinan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih.

Pasal 36.

Sebelum memangku jabatannya, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat mengangkat sumpah/janji menurut ketentuan tersebut pada pasal 6 dan pasal 7 Peraturan Tata-tertib ini.

Pasal 37.

Apabila terjadi lowongan-lowongan jabatan Ketua/Wakil Ketua, maka Dewan Perwakilan Rakyat secepatnya mengadakan pemilihan dan pengisian lowongan/kekosongan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh Badan Musyawarah dengan mengingat pasal 34 ayat {1 ).

Pasal 38.

(1) Ketua dan Wakil-wakil Ketua bertugas penuh di Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Apabila Ketua berhalangan maka kewajibannya dilakukan oleh Wakil-wakil Ketua dan apabila Ketua dan Wakil-wakil Ketua berhalangan maka rapat dipimpin oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tertua di antara yang hadir.

Tugas-tugas Pimpinan

Dewan Perwakilan Rakyat

Pasal 39.

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bertugas. 1. merencanakan dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil-wakil Ketua Dewan Perwakilan umumkannya kepada rapat Dewan Perwakilan Rakyat;

  1. Memimpin rapat Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Tata-Tertib;
  2. menyimpulkan persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Menjalankan keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
  4. mengadakan konsultasi dengan Presiden setiap waktu diperlukan;
  5. menghadiri rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap perlu;
  6. mencantumkan persoalan-persoalan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat dalam acara rapat Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat sedikit-dikitnya sekali dalam sebulan;
  7. bertanggung jawab ke dalam dan keluar.

Pasal 40.

(1) Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dalam mernimpin rapat-rapat hanya berbicara untuk menunjukkan duduk perkara yang sebenarnya atau mengembalikan permusyawaratan itu kepada pokok pembicaraan.

(2) Apabila Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat hendak berbicara tentang hal yang hendak dimusyawarahkan, maka ia sementara meninggalkan tempat duduknya dan kembali sesudah habis berbicara. Dalam hal demikian jabatan Ketua rapat untuk sementara diatur sesuai dengan pasal 38 ayat (2).

BAB IV.

BADAN MUSYAWARAH

Kedudukan dan tugas-tugas Badan Musyawarah

Pasal 41.

(1) Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat bersifat perrnanen dan bertugas:

a. menetapkan acara Dewan Perwakilan Rakyat untuk 1 (satu) tahun sidang atau 1 (satu) masa sidang atau sebagian dari suatu masa persidangan dan menetapkan ancar-ancar waktu penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang, dengan tidak mengurangi hak rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengubahnya;
b. memberikan arah serta pertimbangan kebijaksanaan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan garis-garis kebijaksanaan yang menyangkut tugas pokok Dewan Perwakilan Rakyat, maupun mengenai tugas-tugas lainnya yang menyangkut kelancaran tugas pokok tersebut;
c. menentukan kebijaksanaan kerumahtanggaan Dewan Perwakilan Rakyat dan membentuk Panitia Rumah Tangga sebagai pelaksanaannya.

(2) Susunan keanggotaan Badan Musyawarah terdiri atas wakil-wakil Fraksi di mana seorang anggota Badan Musyawarah mewakili 10 (sepuluh) orang anggota Dewan Prewakilan Rakyat dengan perincian:

  1. Fraksi Karya Pembangunan diwakili: 26 orang anggota;
  2. Fraksi Persatuan Pembangunan diwakili: 9 orang anggota;
  3. Fraksi ABRI diwakili: 7 orang anggota;
  4. Fraksi Demokrasi Pembangunan diwakili: 4 orang anggota.

(3) Badan Musyawarah dipimpin oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.

Rapat-rapat dan Pengambilan Keputusan Badan Musyawarah

Pasal 42.

(1) a. Rapat-rapat Badan Musyawarah untuk menentukan acara persidangan Dewan Perwakilan Rakyat dapat dihadiri oleh Ketua-ketua Komisi atau yang mewakilinya dan anggota Komisi atau Panitia Kerja antar Komisi yang dipandang perlu oleh Badan Musyawarah.

b. Ketua Komisi atau yang mewakilinya dan anggota yang diundang untuk hadir mempunyai hak untuk berbicara.

(2) Pengambilan keputusan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam BAB XII Peraturan Tata-tertib ini, dan dalam hal penghitungan suara terjadi dua atau lebih pendapat yang mempunyai pendukung yang sama, maka Pimpinan Badan Musyawarah memberikan keputusan terakhir.

Panitia Rumah Tangga

Pasal 43.

(1) Badan Musyawarah membentuk Panitia Rumah Tangga sebagai pelaksana kebijaksanaan kerumahtanggaan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Panitia Rumah Tangga beranggotakan 23 (dua puluh tiga) orang yang mewakili Fraksi-fraksi, dengan perincian:

  1. Fraksi Karya Pembangunan diwakili: 12 orang anggota;
  2. Fraksi Persatuan Pembangunan diwakili: 5 orang anggota;
  3. Fraksi ABRI diwakili: 4 orang anggota;
  4. Fraksi Demokrasi Pembangunan diwakili: 2 orang anggota;

(3) Keanggotaan Panitia Rumah Tangga tidak boleh dirangkap dengan keanggotaan Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Pimpinan Komisi-komisi lainnya.

(4) Pimpinan Panitia Rumah Tangga ditetapkan oleh Badan Musyawarah, terdiri dari seorang Ketua dan 3 (tiga) orang Wakil Ketua, yang mencerminkan Fraksi-fraksi.

(5) Tugas-tugas Panitia Rumah Tangga adalah:

a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat.
b. memberikan pertimbangan kepada Badan Musyawarah untuk disampaikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai:

  1. hasil pemeriksaan rancangan Anggaran Belanja Dewan Perwakilan Rakyat yang telah disiapkan oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. kebijaksanaan dan garis-garis umum organisasi tugas dan tatalaksana Sekretariat.
  3. pelancaran segala urusan kerumah-tanggaan Dewan Perwakilan Rakyat dan sarana untuk kelancaran tugas Anggota.
  4. pengangkatan, pemberhentian dan kesejahteraan pegawai Sekretariat.

(6) Dalam melakukan tugasnya Panitia Rumah Tangga bertanggung jawab kepada Badan Musyawarah. Laporan tertulis tentang pertanggungan jawab Panitia Rumah Tangga disampaikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat tiap masa persidangan.

BAB VIII.

KOMISI-KOMISI DAN PANITIA KHUSUS

Ketentuan Umum

Pasal 14.

(1) Komisi bersifat permanen dan bertugas dibidang perundang-undangan dan pengawasan.

(2) Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat kecuali Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat hams menjadi Anggota dari salah satu Komisi.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat pada tiap permulaan tahun sidang menentukan keanggotaan Komisi-komisi berdasarkan keseimbangan antara jumlah Komisi dan jumlah anggota Dewan Pewakilan Rakyat, kecuali Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang masa keanggotaannya sama dengan masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Komposisi dan Anggota Komisi ditentukan pada tiap-tiap permulaan tahun sidang· sesuai dengan perimbangan jumlah keanggotaan dalam Fraksi.

(5) Fraksi dapat menugaskan seorang anggota Komisi lain untuk pengganti sementara anggota Komisi yang berhalangan.

(6) Untuk dapat melancarkan tugas Komisi, maka Komisi dapat membentuk satu atau lebih Panitia Kerja yang keanggotaannya berasal dari Komisi yang bersangkutan. Panitia Kerja ini bersifat temporer, dan dapat mengambil keputusan atas nama Komisi.

(7) Terhadap masalah-masalah yang ada hubungannya dengan beberapa Komisi dapat diadakan rapat Gabungan Komisi. Rapat Gabungan Komisi tersebut dapat membentuk Panitia Kerja antar Komisi yang keanggotaannya proporsionil. Panitia Kerja ini mempunyai hak seperti Komisi.

(8) Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat menghadiri rapat-rapat Komisi yang bukan Komisinya dengan lebih dahulu memberitahukan kepada Pimpinan rapat.

(9) Komisi dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pimpinan

Pasal 45.

(1) Pimpinan Komisi terdiri dari atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang mencermninkan Fraksi-fraksi dan dipilih pada setiap permulaan tahun sidang kecuali Pimpinan Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Pimpinan Komisi dipilih dari dan oleh anggota Komisi, dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pimpinan Komisi merupakan satu kesatuan dan bersifat kolektif.

(4) Pembagian tugas di antara Pimpinan Komisi diatur sendiri berdasarkan tugas-tugas pokok Komisi.

Tugas-tugas pokok Komisi.

Pasal 46.

(1) Di bidang perundang-undangan:

  1. Mempersiapkan perumusan dan penyelesaian terhadap Rancangan Undang-undang sesuai dengan bunyi pasal 90 dan pasal 93 yang menjadi urusan Komisi masing-masing.
    1. Melakukan sesuatu tugas atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
    2. Mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat usul-usul Rancangan Undang-undang atas usul-usul dan laporan-laporan tentang soal-soal yang termasuk dalam urusan Komisi masing-masing;
    3. Mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal-hal yang dianggap perlu untuk dimasukkan dalam acara Dewan Perwakilan.
    4. Mengadakan peninjauan-peninjauan yang dianggap perlu oleh Komisi yang anggarannya dibebankan kepada anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, dengan ketentuan bahwa apabila ada perbedaan pendapat antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi maka keputusan Badan Musyawarah yang menentukan.
    5. Mengadakan hearing dan public-hearing, tentang hal-hal yang termasuk dalam urusan Komisi masing-masing antara lain dengan jalan memperhatikan surat-surat yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan menerima pihak-pihak yang berkepentingan.
  2. Memberikan bahan-bahan pemikiran kepada Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam kebijaksanaan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Di bidang pengawasan:

    1. Melakukan sesuatu tugas atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
    2. Membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapai oleh Presiden dalam menjalankan Undang-undang dan kebijaksanaan yang termasuk dalam urusan Komisi masing-masing, dalam hal ini Komisi dapat mengambil kesimpulan;
3. Mengadakan hearing dan public-hearing tentang hal-hal yang termasuk dalam urusan Komisi masing-masing, antara lain dengan jalan memperhatikan surat-surat yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan menerima pihak-pihak yang berkepentingan;

4. Mengadakan rapat kerja dengan Presiden untuk mendengarkan keterangannya atau mengadakan pertukaran pikiran tentang tindakan tindakan yang sudah atau akan dilakukan oleh Menteri-menteri yang bersangkutan, dalam hal ini Komisi dapat mengambil kesimpulan;

5. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertulis kepada Presiden dalam rangka rapat-kerja;

6. Mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal-hal yang dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam acara Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Mengadakan peninjauan-peninjauan yang dianggap perlu oleh Komisi yang anggarannya dibebankan kepada Anggaran Belanja Dewan Perwakilan Rakyat, dengan ketentuan bahwa apabila ada perbedaan pendapat antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Komisi, maka Keputusan Badan Musyawarah yang menentukan.

c. Mengawasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam urusan Komisi masing-masing.

Pasal 47.

Jumlah Komisi-komisi serta lapangan pekerjaan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan menjadi lampiran II dari Peraturan Tata tertib ini.

Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara

Pasal 48.

(1) Tugas-tugas Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah:

a. Dalam tahap persiapan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara memberikan bahan-bahan pemikiran kepada Pemerintah, untuk dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Pemerintah dalam menentukan kebijaksanaannya.

Dalam hubungan dengan penyusunannya, akhirnya pemerintah sendiri yang melakukannya:

b. Memberikan pendapat kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanjar Negara yang diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

c. Menampung dan membicarakan semua bahan-bahan mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yaitu bahan-bahan yang didapatkan dari:

1. Pemandangan umum para anggota Dewan Perwakilan Rakyat beserta jawaban Pemerintah;

2. pendapat-pendapat/saran-saran para anggota Badan Musyawarah;

3. Usul-usul dan keinginan dari masing-masing Komisi;

4. Usul-usul dan keinginan dari masing-masing Fraksi;

d. Meneliti perkembangan keuangan Negara dalam Keseluruhannya;

e. Mengawasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setelah disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan mengajukan pendapatnva atas Rancangan Tambahan dan Perobahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Presiden;

f. Meneliti pertanggungan-jawab Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan memberikan pendapatnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

g. Memberikan pendapatnya mengenai hasil perneriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Dalam rangka melaksanakan apa yang disebut ayat (1) pasal ini, Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat berhubungan semua Departemen dan Lembaga-lembaga Negara.

(3) Jumlah anggota Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja sebanyak 46 orang anggota terdiri dari:

Fraksi Karya Pembangunan: 26 orang anggota;

Fraksi Persatuan Pembangunan: 9 orang anggota;

Fraksi ABRI : 7 orang anggota dan Fraksi Demokrasi Pembangunan: 4 orang anggota;

(4) Pimpinan Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan oleh sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat, setelah Pimpinan terlebih dahulu memusyawarahkan dengan Pimpinan Fraksi.

Panitia Khusus

Pasal 49.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat, jika menganggap perlu dapat membentuk suatu Panitia Khusus di antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan tugas-tugas tertentu antara lain dalam hal sesuatu Rancangan Undang-undang atau Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat yang harus diselesaikan dalam waktu singkat dan atau penyelesaiannya menyangkut beberapa Komisi.

(2) Panitia Khusus terdiri dari sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota termasuk seorang Ketua, yang ditetapkan oleh Dewan Perwakian Rakyat atas usul Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, setelah mendengar keinginan dari Fraksi-fraksi.

(3) Tiap-tiap pembentukan Panitia Khusus harus disertai ketentuan tentang tugas kewajibannya dan tentang lamanya waktu menyelesaikan tugas kewajiban itu.

(4) Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi Komisi-komisi tentang rapat-rapat berlaku juga bagi Panitia Khusus.

(5) a. Hasil pekerjaan Panitia Khusus dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan cara mempergunakan hasil pekerjaan Panitia Khusus.

(6) Panitia Khusus dibubarkan setelah tugasnya dianggap selesai.

BAB IX.

PERSIDANGAN DAN RAPAT-RAPAT DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT

Ketentuan Umum.

Pasal 50.

(1) Tahun Sidang Dewan Perwakilan Rakyat dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, maka pembukaan Tahun Sidang dapat dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

(2) Pada hari permulaan Tahun Sidang acara pokok adalah Pidato Kenegaraan Presiden di hadapan rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat.

Persidangan/Rapat-rapat

Pasal 51.

(1) Tahun Sidang dibagi atas 4 (empat) masa-persidangan.

(2) Tiap-tiap masa persidangan meliputi masa-sidang dan masa-reses.

(3) Masa-masa persidangan ditetapkan oleh Badan Musyawarah dengan memperhatikan penyelesaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Tambahan/Perobahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tepat pada waktunya.

(4) Dalam hal Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat jika menganggap perlu, dalam masa reses dapat diadakan rapat-rapat/peninjauan.

Pasal 52.

(1) Ketua atau Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat membuka Sidang pada hari pertama suatu masa persidangan dengan pidato pembukaan Sidang dan menutup Sidang pada hari terakhir suatu masa sidang dengan pidato penutupan Sidang.

(2) Pidato pembukaan Sidang terutama menguraikan pekerjaan-pekerjaan yang dihadapi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedang pidato penutupan Sidang terutama mengemukakan hasil-hasil pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa-sidang yang bersangkutan.

Pasal 53.

(1) Rapat Pleno Luar Biasa dapat diadakan dalam masa reses, jika:

a. diminta oleh Presiden;

b. dikehendaki oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan persetujuan Badan Musyawarah.

c. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 30 (tigapuluh) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(2) Dalam hal-hal yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Pimpinan

Dewan Perwakilan Rakyat mengundang anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghadiri Rapat Luar Biasa termaksud.

Pasal 54.

Waktu-waktu rapat Dewan Perwakilan Rakyat ialah:

a. pagi : Hari Senin sampai dengan Kamis jam 09.00 sampai jam 14.00;

Hari jum'at mulai jam 08.30 sampai jam 11.00;

Hari Sabtu mulai jam 09.00 sampai jam 12,30;

b. malam : mulai jam 19.30 sampai jam 23.00.

Pasal 55.

(1) Sebelum menghadiri rapat, setiap anggota menanda-tangani daftar hadir.

(2) Apabila daftar hadir telah ditanda-tangani oleh lebih dari separoh jumlah anggota sidang, maka Pimpinan membuka rapat.

(3) Jika pada waktu yang telah ditetapkan untuk pembukaan rapat jumlah anggota yang diperlukan belum juga tercapai maka Pimpinan menunda rapat selama-lamanya 1 (satu) jam.

(4), Jika pada akhir waktu pengunduran belum juga tercapai jumlah yang ditentukan pada ayat (2) pasal ini, maka Pimpinan membuka rapat.

(5) Untuk dapat mengambil keputusan diperlukan quorum sebagaimana diatur dalam BAB XII tentang Tata-cara Pengambilan Keputusan.

Pasal 56.

(1) Sesudah rapat dibuka, Sekretaris memberitahukan surat-surat masuk dan surat-surat keluar sejak rapat yang terakhir.

(2) Surat-surat masuk dan keluar, dibicarakan dalam rapat apabila dianggap perlu oleh rapat.

Permusyawaratan

Pasal 57.

(1) Anggota berbicara setelah mendapat ijin dari Ketua rapat, di tempat yang telah disediakan.

(2) Ketua rapat hanya dapat berbicara untuk menunjukkan duduk perkara yang sebenarnya atau untuk mengembalikan kepada pokok pembicaraan,

(3) Apabila Ketua rapat hendak berbicara tentang hal yang dirundingkan, maka ia menyerahkan pimpinan rapat kepada Anggota Pimpinan yang lain dan untuk sementara meninggalkan tempat duduknya.

(4) Pembicara tidak boleh diganggu selama berbicara,

Pasal 58.

(1) Pimpinan rapat mengadakan ketentuan mengenai lamanya para anggota berbicara.

(2) Bilamana pembicara melampaui batas waktu yang telah ditetapkan, pimpinan rapat memperingatkan pembicara supaya mengakhiri pembicaraannya, dan pembicara harus mentaati peringatan itu.

Pasal 59.

(1) Sebelum berbicara, para pembicara mendafrarkan nama terlebih dahulu ; pendaftaran tersebut dapat juga dilakukan oleh Fraksinya.

(2) Anggota yang belum mendaftarkan namanya sebagai termaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak berhak ikut berbicara, kecuali bila menurut pendapat pimpinan rapat ada alasan-alasan yang dapat diterima.

Pasal 60.

(1) Giliran berbicara diberikan menurut urutan permintaan.

(2) Untuk kepentingan permusyawaratan, Pimpinan rapat dapat mengadakan penyimpangan dari urutan berbicara yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(2) Seseorang anggota yang berhalangan pada waktu mendapat giliran berbicara, dapat diganti oleh seorang anggota se-Fraksinya sebagai pembicara.

Pasal 61.

Setiap waktu dapat diberikan kesempatan interupsi kepada anggota untuk:

a. minta penjelasan tentang duduk perkara sebenarnya mengenai soal yang dibicarakan;

b. menjelaskan soal-soal yang menyangkut dirinya;

c. mengajukan usul prosedure mengenai soal yang sedang dibicarakan;

d. mengajukan usul untuk menunda sementara permusyawaratan.

Pasal 62.

Agar supaya dapat menjadi pokok permusyawaratan, maka suatu usul prosedure mengenai soal yang scdang dibicarakan dan usul menunda permusyawaratan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 61 huruf e dan d harus disokong oleh sekurang-kurangnya seorang anggota lain yang hadir, kecuali apabila usul itu diajukan oleh Pimpinan rapat.

Pasal 63.

(1) Seorang anggota yang diberi kesempatan mengadakan interupsi mengenai salah satu hal tersebut dalam pasal 61 tidak boleh melebihi waktu 10 (sepuluh) menit.

(2) Terhadap pembicaraan megenai hal-hal tersebut dalam pasal 61 huruf a dan b tidak diadakan perdebatan.

(3) Sebelum rapat melanjutkan permusyawaratan mengenai soalsoal yang menjadi acara rapat hari itu, jika dianggap perlu Pimpinan rapat dapat mengambil keputusan terhadap pembicaraan mengenai hal-hal tersebut dalam pasal 61 huruf c dan d.

Pasal 64.

(1) Penyimpangan dari pokok pernbicaraan, kecuali dalam hal-hal tersebut dalam pasal 61 tidak diperkenankan.

(2) Apabila seorang pembicara menyimpang dari pokok pembicara, maka Pimpinan rapat dapat memperingatkan dan meminta supaya kembali kepada pokok pembicaraan.

Pasal 65.

( 1) Apabila seorang pembicara dalam rapat mempergunakan katakata yang tidak layak, mengganggu ketertiban atau menganjurkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Pimpinan rapat dapat memberi nasehat dan memperingatkan supaya pembicara tertib kembali.

(2) Dalam hal demikian, Pimpinan rapat memberi kesempatan kepada pembicara yang bersangkutan untuk menarik kembali kata-kata yang menyebabkan ia diberi peringatan. Jika ia memenuhi permintaan Pimpinan rapat tersebut, maka kata-kata tidak dimuat dalam risalah, laporan atau catatan tentang perundingan itu dan dianggap sebagai tidak diucapkan.

Pasal 66.

( 1) Apabila seorang pembicara tidak memenuhi peringatan Pimpinan rapat sebagai tersebut dalam pasal-pasal 64 dan 65 ayat (1) atau mengulangi pelanggaran tersebut di atas, Pimpinan rapat dapat melarangnya meneruskan pembicaraan.

(2) Jika dianggap perlu, Pimpinan rapat dapat melarang pembicara yang dimaksud dalam pasal 65 ayat (1) untuk terus menghadiri rapat merundingkan soal yang bersangkutan.

(3) Jika anggota yang bersangkutan tidak dapat menerima keputusan Pimpinan rapat yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka kepada anggota itu diberi kesempatan berbicara selama-lamanya 10 (sepu luh) menit untuk memberikan penjelasan scperlunya dengan ketentuan,bahwa rapat tidak mengadakan perdebatan mcngenai penjelasan itu dan Pimpinan rapat langsung mengambil kcputusan tentang boleh atau tidaknya Anggota yang bersangkutan untuk terus menghadiri rapat.

Pasal 67.

(1) Apabila seorang anggota melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban rapat, Pimpinan rapat memperingatkan agar Anggota tersebut menghentikan perbuatan itu.

(2) Jika peringatan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak diindahkan, Pimpinan rapat dapat menyuruh Anggota ini untuk meninggalkan rapat.

{3) Apabila Anggota tersebut tidak mengindahkan perintah pada ayat (2) pasal ini, atas perintah Pimpinan rapat, ia dapat dikeluarkan dengan paksa dari ruangan rapat.

( 4) Yang dimaksud dengan ruangan rapat ialah ruangan yang dipergunakan untuk rapat termasuk ruangan untuk umum, undangan dan para tamu lainnya.

Pasal 68.

( 1) Apabila Pimpinan rapat menganggap perlu, maka ia boleh menunda rapat.

(2) Lamanya penundaan rapat tidak boleh melebihi waktu 24 (dua puluh empat) jam.

Sifat-sifat rapat.

Pasal 69.

( 1) Rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarya bersifat terbuka, kecuali rapat-rapat Badan Musyawarah.

(2) Dalam hal-hal tertentu dapat diadakan rapat tertutup.

Pasal 70.

(1) Rapat Pleno tertutup Dewan Perwakilan Rakyat dapat diadakan atas keputusan Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat atau Badan Musyawarah.

(2) Rapat-rapat Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus dapat diadakan tertutup atas keputusan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus yang bersangkutan.

(3) Rapat-rapat tertutup hanya dihadiri oleh para anggota dan mereka yang diundang.

Pasal 71.

(1) Pada waktu rapat terbuka, jika Pimpinan rapat memandang perlu atau salah satu Fraksi atau Pemerintah meminta untuk dijadikan rapat tertutup maka Pimpinan rapat mempersilahkan para undangan dan peninjau meninggalkan rapat.

(2) Kemudian rapat memutuskan apakah permusyawaratan selanjutnya dilakukan dalam rapat tertutup.

Pasal 72.

(1) Pembicaraan-pernbicaraan dalam rapat tertutup adalah untuk tidak diumumkan, kecuali jika rapat memutuskan untuk mengumumkan seluruhnya atau sebagiannya.

(2) Atas usul Pimpinan atau salah satu Fraksi atau Pemerintah, rapat dapat pula memutuskan bahwa pembicaraan-pembicaraan dalam rapat tertutup bersifat rahasia.

(3) Penghapusan sifat rahasia itu dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebahagian pembicaraan-pembicaraan.

(4) Rahasia itu harus dipegang oleh mereka yang berhubung dengan pekerjaannya kemudian mengetahui apa yang dibicarakan itu.

Risalah, Catatan dan Laporan

Pasal 73.

Untuk setiap rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat serta pembicaraan dalam rapat gabungan segenap Komisi dibuat risalah resmi, yakni laporan tulisan cepat yang selain dari pada memuat semua pengumuman dan pembicaraan yang dilakukan dalam rapat memuat juga:

a. tempat dan acara rapat ;

b. hari/tanggal rapat dan jam permulaan serta penutupan rapat;

c. Ketua dan Sekretaris rapat;

d. nama-nama Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir;

e. nama-nama Menteri/Wakil Pemerintah yang hadir;

f. nama-nama pembicara dan pendapat masing-masing;

g. keterangan tentang keputusan/kesimpulan.

Pasal 74.

(1) Sesudah rapat selesai, maka selekas-lekasnya kepada Pimpinan rapat dan para pembicara yang bersangkutan, disampaikan risalah sementara rangkap dua untuk dikoreksi.

(2) Dalam tempo 4 (empat} hari sejak disampaikannya risalah sementara untuk setiap mengadakan pembicara yang bersangkutan mendapat kesempatan perobahan dalam bagian risalah yang memuat pidatonya, dan mengembalikan kepada Bagian Risalah.

( 3) Sesudah tempo yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini lewat, maka risalah resmi dibuat, dan setelah ditanda-tangani oleh Ketua rapat selekas-Iekasnya disampaikan kepada para anggota dan Pernerintah.

( 4) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat mengambil keputusan, apabila timbul perselisihan tentang isi Risalah-risalah resmi.

Pasal 75.

(1) Pada permulaan pembicaraan tingkat III, Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus yang bersangkutan mcnunjuk seorang atau lebih di antara anggota-anggotanya sebagai Pelapor.

(2) Untuk setiap pembicaraan dalam Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus dibuat laporan singkat dan Catatan Scmentara oleh Sekretaris rapat.

(3) Laporan Singkat yang memuat kcsimpulan-kesimpulan/keputusan-keputusan rapat, dibuat segera setelah rapat selesai dan disampaikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Setelah Catatan Sementara dikoreksi oleh para pembicara, maka dibuat Catatan Tctap yang memuat :

a. tempat dan acara rapat;

b. hari/tanggal rapat dan jam permulaan serta penutupan rapat;

c. Ketua dan Sekretaris rapat :

d, nama-nama Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir ;

c. nama-nama Menteri/Wakil Pemerintah yang hadir ;

f. nama dan jabatan yang diundang dalam hearing/public-hearing;

g. nama-nama pernbicara dan pendapat masing-masing;

h. keterangan tentang keputusan-kesimpulan.

(5) Catatan Tetap yang dimaksud dalam ayat (4) pasal ini setelah ditanda-tangani oleh Ketua rapat dan Pelapor/Pelapor-pelapor diperbanyak dan disampaikan kepada para anggota Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus serta Menteri-menteri yang bcrsangkutan.

Pasal 76.

(1) Setelah pembicaraan tingkat III selesai, oleh Pelapor/para Pelapor bersama-sama Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus. dengan bantuan pegawai Sekretariat, segera dibuat. Laporan Komisi/ Gabungan Komisi/Panitia Khusus, yang memuat pokok-pokok dan kesimpulan pembicaraan-pembicaraan dalam Komisi/Gabungan Komisi Panitia Khusus.

(2) Di dalam laporan itu tidak dimuat nama-nama pembicara.

( 3) Laporan ini ditanda-tangani oleh Ketua rapat dan Pelapor/ Pelapor-pelapor yang bersangkutan.

Pasal 77.

( 1) Laporan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus disampaikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat Pleno.

(2) Setelah Laporan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus disampaikan kepada rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat, maka tugas Komisi dianggap selesai.

Pasal 78.

(1) Mengenai rapat-tertutup dibuat risalah atau atas instruksi Pimpinan rapat hanya dibuat catatan rapat tentang perundingan yang dilakukan.

(2) Pada risalah atau catatan rapat itu harus dicantumkan dengan jelas pernyataan mengenai sifat rapat:

a. "HANYA UNTUK YANG DIUNDANG", untuk rapat tertutup pada umumnya.

b. "RAHASIA", untuk rapat tertutup yang dimaksudkan dalam pasal 72 ayat (2).

(3) Rapat dapat mernutuskan, bahwa sesuatu hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup tidak dimasukkan dalam laporan.

Kehadiran Presiden dan Menteri-menteri

Pasal 79.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengundang Presiden atau para Menteri untuk menghadiri rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Apabila Presiden berhalangan hadir, maka ia diwakili oleh Menteri yang bersangkutan.

Pasal 80.

(1) Atas undangan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden atau Menteri yang dikuasakan olehnya rnenghadiri rapat Dewan Perwakilan Rakyat.

(2} Undangan tersebut dalam ayat (1) pasal ini disampaikan kepada Presiden atau Menteri yang dikuasakan olehnya dengan mengemukakan persoalan yang akan dimusyawarahkan serta dengan memberikan waktu secukupnya untuk mempelajari persoalan tersebut.

(3) Tanpa mendapat undangan, para Menteri dapat pula mengunjungi rapat-rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 81.

(1) Presiden dan para menteri mempunyai tempat duduk yang tertentu dalam ruangan rapat Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Pimpinan rapat mempersilahkan Presiden atau Menteri berbicara apabila setiap kali ia menghendakinya.

Cara mengubah Acara Rapat-rapat yang

sudah ditetapkan

Pasal 82.

Acara rapat yang sudah ditetapkan oleh Badan Musyawarah segera diperbanyak dan dibagikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum acara tersebut berlaku.

Pasal 83.

Usul-usul perubahan mengenai acara yang sudah ditetapkan oleh Badan Musyawarah, baik berupa perobahan-perobahan waktu dan atau pokok-pokok pembicaraan baru yang hendak dimasukkan ke dalam acara, disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera dibicarakan dalam rapat Badan Musyawarah, Dalam hal yang belakangan ini harus disebutkan pokok pembicaraan yang diusulkan dan waktu yang diminta untuk dimasukkan dalam acara.

Pasal 84.

( 1) Usul perobahan itu harus diajukan oleh salah satu Fraksi atau oleh Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus.

(2) Usul perobahan itu harus diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) hari sebelum acara rapat yang bersangkutan mulai berlaku.

Pasal 85.

( l) Pada hari mulai berlakunya acara rapat , Badan Musyawarah membicarakan usul-usul perobahan acara yang masuk dalam waktu yang telah ditetapkan sebagai yang dimaksud dalam pasal 84, ayat (2).

(2) Apabila temyata tidak ada usul-usul masuk dalam waktu yang ditentukan itu, maka acara rapat-rapat yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah berlaku terus.

Pasal 86.

Dalam keadaan yang memaksa, maka dalam rapat Pleno yang sedang berlangsung dapat diajukan usul perobahan acara oleh:

1. Presiden;

2. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat;

3. Badan Musyawarah;

4. Salah satu Fraksi.

Undangan dan Peninjau rapat.

Pasal 87.

(1) Undangan ialah seseorang yang bukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam rapat atas undangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Undangan dapat berbicara atas permintaan Pimpinan rapat.

(3) Undangan tidak mempunyai hak suara.

(4) Undangan wajib mentaati Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

(5) Undangan duduk di tempat yang telah disediakan.

Pasal 88.

(1) Peninjau rapat ialah seseorang bukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mengikuti rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Para Peninjau harus mentaati segala ketentuan mengenai ketertiban yang diatur oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Para Peninjau dilarang menyatakan setuju atau tidak setuju, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain.

(4) Para Peninjau duduk di tempat yang telah disediakan.

Pasal 89.

(1) Pimpinan rapat menjaga agar ketentuan dalam pasal 87 dan 88 diperhatikan dan memelihara suasana tertib.

(2) Apabila ketentuan-ketentuan ini dilanggar, maka Pimpinan rapat dapat meminta para Peninaju yang mengganggu ketertiban untuk meninggalkan ruangan rapat.

(3) Pimpinan rapat herhak mengeluarkan dari ruangan rapat dengan paksa Peninjau-peninjau yang tidak mengindahkan permintaan itu, kalau perlu dengan bantuan Alat Negara.

(4) Dalam hal terjadi apa yang dimaksud ayat (2) pasal ini, Pimpinan rapat dapat juga menutup rapat.

BAB X

PEMBENTUKAN UNDANG- UNDANG DAN

PENYELESAIAN USUL-USUL

Ketentuan Umum

Pasal 90.

(1) Semua Rancangan Undang-undang baik yang diajukan oleh Pemerintah maupun Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan usul-usul lain sesudah diterima oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat diberi nomor pokok, diperbanyak dan disampaikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Terhadap pembentukan Undang-undang dan penyelesaian usul-usul lain yang dimaksud ayat (1) pasal ini dilakukan pernbicaraan berturut-turut :

tingkat I - rapat Pleno terbuka;

tingkat II - rapat Pleno terbuka;

tingkat III - rapat Komisi ;

tingkat IV - rapat Pleno terbuka,

kecuali kalau Badan Musyawarah menentukan lain.

(3) Sebelum dilakukan pembicaraan tingkat II, III dan IV diadakan rapat-rapat Fraksi.

( 4) Apabila dianggap perlu oleh Badan Musyawarah maka pembicaraan tingkat III dimaksud dalam ayat (2) pasal ini dapat dilakukan dalam suatu Panitia Khusus seperti dimaksud dalam pasal 49 Peraturan Tata-tertib ini.

Pasal 91.

Pembicaraan tingkat I ialah:

Penjelasan dalam rapat Pleno terbuka atas Rancangan Undang-undang/Usul Inisiatif dan usul-usul lain oleh Pernerintah/para Pengusul seperti dimaksud pasal 90 ayat (1).

Pasal 92.

(1) Pembicaraan tingkat II ialah : Pemandangan umum dalam rapat Pleno terbuka oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) a. Terhadap pemandangan umum para anggota atas Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Pernerintah, Pemerintah diberi kesempatan untuk menanggapinya.

b. Terhadap pemandangan umum, para anggota atas Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan usul-usul lainnya, wakil para Pengusul diberi kesempatan untuk menanggapinya, dan sesudah itu Pemerintah memberikan tanggapannya pula.

Pasal 93.

(1) Pembicaraan tingkat III ialah:

Pembahasan dalam Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus.

(2) Pembahasan tersebut dalam ayat (1) pasal ini dilakukan :

a. Bersama-sama dengan Pemerintah, apabila Rancangan Undang-undang diajukan oleh Pemerintah;

b. Bersama-sama dengan para Pengusul dan Pemerintah, apabila membahas Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan usul-usul yang lain;

c. Di kalangan sendiri apabila dipandang perlu, tanpa mengurangi ketentuan tersebut dalam huruf a dan b ayat ini,

(3) jika pembahasan tersebut dalam ayat (1) dilakukan dalam rapat Gabungan Komisi, Badan Musyawarah. menentukan Pimpinan Komisi mana yang hams memimpin.

Pasal 94.

Pembicaraan tingkat IV ialah: Pengambilan keputusan dalam rapat Pleno terbuka dengan didahului pend.apat terakhir dari Fraksi-fraksi yang dapat pula memuat catatan-catatan tentang pendiriannya (minderheidsnota], dan jika Pemerintah memandang perlu dapat memberikan sambutan.

Rancangan Undang-undang.

Pasal 95.

(1) Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pasal 5 ayat (1) jo, pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 disampaikan dengan Amanat Presiden kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Amanat Presiden yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini menyebut juga Menteri/Menteri-menteri yang akan mewakili Pemerintah di dalam melakukan pembicaraan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 96.

Di dalam rapat Pleno berikutnya setelah Rancangan Und.ang-undang tersebut diterima oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Pimpinan rapat memberitahukan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat tentang masuknya Rancangan Undang-undang tersebut.

Pasal 97.

(1) Jika suatu Rancangan Undang-undang dan suatu Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif mengenai persoalan yang sama diterima oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan sama-sama belum diacarakan maka Badan Musyawarah menentukan Rantangan Undang-undang mana yang dijadikan pokok dan Rancangan Undang-undang yang mana dianggap sebagai bahan pelengkap setelah pembicaraan tingkat II

(2) Jika salah satu diantara dua Rancangan Undang-undang yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini telah memasuki pembicaraan tingkat I, maka Rancangan Undang-undang yang lain dianggap sebagai bahan pelengkap.

Pasal 98.

Rancangan Undang-undang yang disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dapat ditarik kembali oleh Pemerintah sebelum memasuki pembicaraan tingkat IV.

Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 99.

( 1) Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 harus disertai memori penjelasan dan ditandatangani oleh Sekurang-kurangnya 30 ( tiga puluh) orang anggota terdiri dari satu Fraksi.

(2) Tiap-tiap pengajuan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus diajukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan surat pengantar dan daftar tanda tangan para Pengusul serta nama Fraksinya.

(3) Dalam rapat Pleno berikutnya Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang masuknya Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

( 4) Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dimaksud setelah oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat diberi nomor pokok diperbanyak dan dibagikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan disampaikan kepada Pemerintah.

(5) Dalam rapat Badan Musyawarah kepada para pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan daripada Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut, Kemudian kepada anggota Badan Musyawarah diberi kesempatan untuk mengadakan tanya-jawab dengan para Pengusul.

{6) Terhadap penyelesaian selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan pasal 90 sampai dengan 94 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang Khusus berlaku dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut,

Pasal 100.

(1) Selama suatu Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum disetujui menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, para Pengusul berhak mengajukan perobahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perobahan atau penarikan kembali disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan harus ditanda-tangani oleh para Pengusul, kemudian diperbanyak dan disampaikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 101.

Apabila jumlah penanda-tangan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan usul-usul lain yai:ig belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 (tiga puluh) orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 99, maka harus diadakan penambahan penanda-tangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

Apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penanda-tangan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul yang bersangkutan menjadi gugur.

Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti.

Undang-undang.

Pasal 102.

Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 Undang-undang Dasar 1945 dibicarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada kesempatan pertama dalam masasidang setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dikeluarkan.

Pasal 103.

Terhadap penyelesaian Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 90 sampai dengan 98 Peraturan Tata-tertib ini.

BAB XI.

PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA NEGARA

Pasal 104.

Agar Dewan Perwakilan Rakyat dapat melaksanakan haknya penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana tercantum dalam pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, maka setiap tahun Presiden mengajukan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada minggu pertama dari permulaan tahun takwin.

Pasal 105

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menyerahkan Xota Keuangan Nata Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Komisi tersebut memberikan pendapatnya.

Pasal 106

(1) Penyelesaian atas Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, digunakan ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang dengan ketentuan:

a. Rapat-kerja dengan Pemerintah dilakukan o1eh Komisi-kornisi.

b. Rapat-kerja penvelesaian terakhir Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilakukan antara Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan Pernerintah.

c. Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara memperhatikan saran-saran/pendapat dari para Anggota, Badan Musyawarah, Komisi dan Fraksi-fraksi.

(2) Hasil pembahasan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disampaikan oleh Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pembahasan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus selesai selambat-lambatnya bulan sebelum tanggal 1 April.

Pasal 107

Rancangan Undang-undang Tambahan dan Perubahan atas suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diselesaikan seperti Anggaran Induknya dengan ketentuan bahwa terhadap Rancangan Undang-undang dimaksud ditempuh prosedure yang sesingkat-singkatnya dan selesai selambat-lambatnya satu bulan setelah Pemerintah menyampaikan penjelasan mengenai Rancangan Undang-undang tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 108

(1) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menyerahkan kepada Komisi anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tugas untuk meneliti pertanggungan-jawab Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan memeriksa laporan Badan Pemeriksa Keuangan tentang tanggung jawab keuangan Negara seperti yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (5) Undang-undang Dasar 1945.

(2) Penelitian pertanggungan-jawab Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pemeriksa laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menurut prosedure seperti yang berlaku bagi Rancangan Undang-undang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB XII

TATA CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Ketentuan Umum

Pasal 109

(1) Pengambilan keputusan pada asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan apabila hal ini tidak mungkin maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

(2) Mufakat dan/atau putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak sebagai hasil musyawarah haruslah bermutu tinggi yang dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 sebagai termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945.

(3) Musyawarah menuju ke arah persatuan dengan mcngutamakan ikut sertanya semua Fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat serta berpangkal tolak pada sikap harga-menghargai tiap pendirian para peserta.

(4) Setiap peserta musyawarah mempunyai hak dan kesempatan yang sama luas dan bebas untuk mengemukakan pendapat dan melahirkan kritik yang bersifat membangun tanpa tekanan dari fihak manapun.

Pasal 110

(1) Musyawarah untuk dapat mengambil keputusan memerlukan quorum sebagaimana yang diatur dalam pasal 113 dan pasal 116 Peraturan Tata-tertib ini.

(2) Apabila hal yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak tercapai maka musyawarah ditunda sampai paling banyak 2 (dua) kali dengan selang waktu paling sedikit 24 (duapuluh empat) jam.

(3) Apabila setelah 2 (dua) kali penundaan masih juga hal tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini belum tercapai maka:

a. jika terjadi dalam Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat permasalahannya menjadi batal.

b. jika terjadi dalam Rapat Komisi/Panitia dan sebagainya, pemecahannya diserahkan pada Badan Musyawarah.

Pasal 111

(1) Setelah dipandang cukup diberikan kesempatan kepada para anggota untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan setelah dipandang cukup untuk diterima sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masaiah yang scdang dimusyawarahkan, maka Pimpinan mengusahakan secara bijaksana agar musyawarah segera dapat mencapai kata mufakat,

{2) Untuk mcncapai apa yang dimaksud ayat (1) pasal ini, maka Pimpinan ataupun Panitia yang dibcri tugas untuk itu, wajib menyiapkan rancangan keputusan yang mencerminkan pendapat-pendapat yang hidup dalam musyawarah.

Keputusan berdasarkan mufakat

Pasal 112

(1) Hakekat daripada Musyawarah untuk mufakat dalam kernumiannya adalah suatu tata-cara khas yang bersumber pada inti faham Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan untuk merumuskan dan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak Rakyat dengan jalan mengemukakan hikmat kebijaksanaan yang tiada lain dari pada pikiran (ratio) yang sehat yang mengungkapkan dan mempertimbangkan persatuan dan kesatuan Bangsa, kepentingan Rakyat sebagaimana yang menjadi tujuan Pembentukan Pemerintah negara terrnaksud dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, pengaruh-pengaruh waktu, oleh semua wakil/utusan yang mencenninkan penjelmaan seluruh Rakyat, untuk mencapai keputusan berdasarkan kebulatan pendapat (mufakat) yang diitikadkan untuk dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab.

(2) Segala keputusan diusahakan dengan cara musyawarah untuk mufakat di antara semua fraksi,

(3) Apabila yang tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak dapat segera terlaksana, maka Pimpinan rapat mengusahakan/berdaya-upaya agar rapat dapat berhasil mencapai mufakat.

Pasal 113

Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah bilamana diambil dalam rapat yang dihadiri oleh semua perwakilan Fraksi-fraksi dan lebih dari setengah jumlah seluruh anggota rapat,

Pasal 114

(1) Apabila di dalam sesuatu permusyawatan di luar rapat Badan Musyawarah dan rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat sangat sukar tercapai mufakat, maka rapat dapat menyerahkan persoalan tersebut kepada Badan Musyawarah untuk mengambil kebijaksanaan menyelesaikan persoalan itu dengan baik.

(2) Apabila dalam Badan Musyawarah persoalan itu dapat dipecahkan secara mufakat, maka pemecahan tersebut diberitahukan kepada para anggota rapat yang bersangkutan,

(3) Dalam hal Badan Musyawarah tidak berhasil memperoleh pemecahan secara mufakat, maka Badan Musyawarah menetapkan apakah persoalan itu:

a. diserahkan kepada Pleno Dewan Perwakilan Rakyat;

b. ditangguhkan pembicaraannya;

c. diambil keputusan berdasarkan suara terbanyak oleh rapat yang bersangkutan.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 115

(1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil, apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin diusahakan karena adanya pendirian dari sebagian kecil peserta musyawarah yang tidak dapat didekatkan lagi atau karena faktor waktu yang mendesak.

(2) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dilakukan dalam rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat atas usul salah satu Fraksi.

(3) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak di luar rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan atas:

a. keputusan Badan Musyawarah/rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat atau

b. keputusan rapat yang bersangkutan.

(4) Sebelum rapat yang akan mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, kepada para anggota harus diberi kesempatan untuk lebih dahulu mempelajari naskahnya atau perumusan masalah bersangkutan.

(5) Penyampaian suara dilakukan oleh para anggota dengan secara lisan/mengangkat tangan/berdiri/tertulis, yang menyatakan sikap setuju, menolak atau abstain.

Pasal 116

(1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila:

a. diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota sidang (quorum).

b. disetujui oleh lebih dari separoh jumlah anggota yang hadir yang memenuhi quorum;

c. didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) Fraksi.

(2) Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai keputusan dengan mempergunakan sistem suara terbanyak termaksud secara sekali jalan (langsung), maka diusahakan sedemikian rupa sehingga putusan terakhir masih juga ditetapkan clengan pcrse tujuan suara terbanyak.

(3) Apabila dalam mengambil keputusan berdasarkan keputusan suara terbanyak suara-suara sama besar, maka dalam hal rapat itu lengkap anggotanya, usul yang bersangkutan dianggap ditolak, atau dalam hal lain maka pengambilan keputusan ditangguhkan sampai rapat berikutnya,

(4) Apabila dalam rapat yang berikut itu suara-suara sama besar lagi, maka usul itu dianggap ditolak.

(5) Pemungutan suara tentang orang dan atau masalah-masalah yang dipandang penting oleh rapat dilakukan dengan rahasia atau tertulis, dan apabila suara-suara sama besar, maka pemuagutan suara diulangi sekali lagi dan apabila hasilnya masih sama besar pula, maka orang dan atau usul dalam permasalahan yang bersangkutan dianggap ditolak.

(6) Keten tuan pada ayat (1) c tidak. berlaku bagi pemungutan suara yang dilakukan secara rahasia mengenai orang, sedang ketentuan-ketentuan tersebut dalam ayat (3), (4} dan (5) pasal ini tidak berlaku bagi Badan Musyawarah.

Pasal 117

Apabila suatu pemungutan suara tidak. dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi syarat tersebut dalam ayat (1) a pasal 116, maka persoalannya diajukan kepada Badan Musyawarah.

Pasal 118

Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dilakukan dengan mengadakan penghitungan suara secara langsung Fraksi demi Fraksi, kecuali dalam hal pengambilan kepu tusan secara rahasia.

Pelaksanaan Keputusan.

Pasal 119

Setiap keputusan baik sebagai hasil mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak harus diterima dan dilaksanakan dengan kesungguhan, keikhlasan hati, kejujuran dan bertanggung jawab.

BAB XIII

HUBUNGAN DENGAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Pasal 120

(1) Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Badan Pemeriksa Keuangan untuk hadir dalam tiap-tiap rapat Dewan Perwakilan Rakyat/Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang membahas masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Rapat yang dimaksud ayat (1) membahas masalah:

a. Penyusunan bahan-bahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

b. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang Nota Keuangan.

c, Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

d. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan dan Tambahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

e. Penelitian Pertanggungan jawab Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara.

BAB XIV.

SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal 121

(1) Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat bertugas memenuhi segala kebutuhan untuk kegiatan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Sekretariat membantu Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menyusun Rancangan Anggaran Belanja Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Sekretariat memberikan laporan tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pekerjaannya pada tiap permulaan masa persidangan, dengan tembusan kepada anggota-anggota Badan Musyawarah dan Panitia Rumah Tangga.

Pasal 122

(1) Garis-garis umum mengenai organisasi, tugas dan tata-kerja Sekretariat ditetapkan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan dari Badan Musyawarah.

(2) Tata-kerja mengenai pelaksanaan tugas Sekrerariat yang menyangkut kegiatan Pimpinan/Badan Musyawarah/Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Komisi/Panitia Khusus/Fraksi-fraksi ditetapkan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendengar badan-badan yang bersangkutan.

Pasal 123

(1) Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang bertanggungjawab kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

(2) Sekretaris jenderal dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 124

Sekrctaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

BAB XV.

SURAT-SURAT MASUK/KELUAR

Surat-surat masuk

Pasal 125

(1} Semua surat masuk setelah oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat diberi nomor agenda disampaikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Sekretaris Jenderal.

(2) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menetukan, apa yang harus diperbuat dengan surat-surat masuk atau meneruskannya kepada Badan Musyawarah/Komisi-komisi/Panitia Khusus yang bersangkutan, kecuali apabila Dewan Perwakilan Rakyat menentukan lain.

(3) Mengenai surat-surat yang diteruskan kepada Badan Musyawarah/Komisi-komisi/Panitia Khusus oleh Sekretariat yang bersangkutan dibuat daftar, yang memuat dengan singkat isi surat-surat itu.

(4) Salinan daftar surat-surat yang dimaksud dalam ayat (3} disampaikan kepada semua Anggota Badan Musyawarah, Komisi-komisi/Panitia Khusus yang bersangkutan untuk diketahui.

(5) Pimpinan Badan Musyawarah/Komisi-komisi/Panitia Khusus memeriksa surat-surat tersebut guna penyelesaian selanjutnya.

(6} Ketetapan tentang cara menyelesaikan surat-surat itu dibubuhkan dalam surat-surat asli yang berada pada Sekretariat Badan Musyawarah/Komisi-komisi/Panitia Khusus dan dapat dibaca oleh Anggota-anggota yang bersangkutan.

(7) Surat-surat yang menurut pertimbangan Pimpinan Badan Musyawarah/Komisi-komisi/Panitia Khusus yang bersangkutan memuat soal yang penting, oleh Ketua diajukan kepada Rapat untuk menetapkan cara penyelesaiannya.

(8) Anggota-anggota Badan Musyawarah/Komisi-komisi/Panitia Khusus setelah menerima salinan daftar surat-surat yang dimaksud dalam ayat (4) dan atau asli daftar tersebut yang dim.aksud dalam ayat (3), dapat juga mengusulkan supaya surat-surat yang menurut pertimbangan mereka memuat soal-soal penting, diajukan dalam rapat untuk dirundingkan dan ditetapkan cara penyelesaiannya.

Surat-surat ke luar.

Pasal 126

(1) Semua surat ke luar oleh Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat diberi nomor agenda.

(2) Surat-surat ke luar ditandatangani oleh Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau atas nama Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (2) pasal ini diatur oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Surat-surat ke luar yang oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dianggap penting untuk diketahui oleh para Anggota, diperbanyak dan dibagikan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

BAB XVI

KETENTUAN - PENUTUP

Pasal 127

(1) Usul perubahan dan tambahan mengenai Peraturan Tata-Tertib ini hanya dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 30 (tiga pu1uh) orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak hanya terdiri dari 1 (satu) Fraksi.

(2) Usul perubahan dan tambahan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditandatangani oleh para pengusul dan disertai penjelasan. Setelah diberi nomor pokok dan diperbanyak oleh Sekretariat, disampaikan kepada Badan Musyawarah dan para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 128

(1) Usul perubahan dan tambahan tersebut dalam pasal 127 dengan disertai pertimbangan Badan Musyawarah disampaikan kepada rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan usul itu dapat disetujui seluruhnya, disetujui dengan perubahan atau ditolak.

Pasal l29

Semua hal yang tidak diatur dalam Peraturan Tata-Tertib ini diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 130

Peraturan Tata-Tertib ini mulai berlaku pada hari ditetapkan. Di tetapkan di Jakarta

Pada tanggal 8Januari 1972.

PIMPINAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA


KETUA,

(DR. K.H. IDHAM CHALID)

WAKIL KETUA,

(DRS. SUMISKUM).

WAKIL KETUA,

(J. NARO S.H.)

WAKIL KETUA,

(S. DOMO PRANOTO).

WAKlL KETUA,

(Mh. ISNAENI).

LAMPIRAN I

tentang

FRAKSI-FRAKSI

(Pasal 33 Peraturan Tata-Tertib)


(Sesuai dengan pernyataan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 29 Oktober 1971).

Fraksi-fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari:

  1. FRAKSI A B R I
  2. FRAKSI DEMOKRASI PEMBANGUNAN
  3. FRAKSI KARYA PEMBANGUNAN
  4. FRAKSI PERSATUAN PEMBANGUNAN

Fraksi Demokrasi Pembangunan merupakan anggota-anggota dari:

  1. Partai Nasional Indonesia (PNI)
  2. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) dan
  3. Partai KATHOLIK.

Fraksi Persatuan Pembangunan merupakan pengelompokan anggota-anggota dari:

  1. Partai Nahdlatul Ulama (NU)
  2. Partai Muslimin Indonesia
  3. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan
  4. Partai Islam PERTI.


LAMPIRAN II

tentang


Jumlah Komisi-komisi serta lapangan pekerjaannya (pasal 47 Peraturan Tata-Tertib).

  1. KOMISI APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara);

Seluruh Departemen dan Lembaga-lembaga Negara yang menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 2. KOMISI I:

Departemen Pertahanan/Keamanan, Departemen Luar Negeri, Departeman Penerangan, Kepresidenan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dan Badan Koordinasi Intelejen Negara.

3. KOMISI II :

Departemen Dalam Negeri, Penyempurnaan Aparatur Negara, Sekretariat Negara, Lembaga Administrasi Negara, Kantor Urusan Pegawai dan Arsip Nasional.

4. KOMISI III :

Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.

5. KOMISI IV : Departemen Pertanian, Departemen Tenaga Kerja, dan Departemen Transmigrasi dan Koperasi,

6. KOMISI V:

Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Dewan Telekomunikasi, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia.

7. KOMISI VI :

Departernen Perindustrian, Departemen Pertambangan dan Badan Tenaga Atom Nasional.

8. KOMISI VII :

Departemen Keuangan, Departemen Perdangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bank Sentral, Biro Pusat Statistik dan Badan Urusan Logistik.

9. KOMISI VIII :

Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

10. KOMISI IX :

Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

LAMPIRAN VI

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

No. 9/DPR-RI/III/73-74.

tentang

PERUBAHAN LAMPIRAN II SURAT KEPUTUSAN DPR-RI NO. 7 DPR-RI/III/71-72 TENTANG JUMLAH KOMISI-KOMISI SERTA LAPANGAN PEKERJAANNYA (PASAL 47 PERATURAN TATA TERTIB)


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dalam rapat pleno terbuka ke-23 pada tanggal 7 Maret 1974.

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan pengalaman setelah terbentuknya Komisi X DPR-RI dan adanya perkembangan baru dalam Pemerintahan dengan terbentuknya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) perlu diadakan pengaturan agar supaya kerja sama dengan Pemerintah berjalan effisien.

b. bahwa oleh karena itu dipandang perlu merubah Lampiran II Surat Keputusan DPR-RI No.7/DPR-RI/III/71-72, yang telah di ubah dengan Surat Keputusan DPR-RI No. 1/DPR-RI/73-74.

Mengingat :

  1. Undang-undang No. 16 Tahun 1969;
  2. Keputusan rapat Badan Musyawarah DPR-RI tanggal 14 Februari dan 4 Maret 1974.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Perubahan Lampiran II Surat Keputusan DPR-RI, NO. 7/ DPR-RI/III/71-72 tentang Jumlah Komisi-komisi serta Lapangan Pekerjaannya (Pasal 47 Peraturan Tata Tertib).

PERTAMA : Menempatkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Biro Pusat Statistik, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional dan BAPPENAS menjadi counterpart Komisi X dan BPKM menjadi counterpart Komisi VI.

KEDUA : Lampiran II Surat Keputusan DPR-RI No. 7/DPR-RI/III/71-72 termaksud, yang telah diubah dengan Surat Keputusan DPR-RI No. 1/DPR-RI/I/73-74, setelah mengalami perubahan/tambahan sesuai dengan diktum "PERTAMA", selengkapnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

  1. KOMISI APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Seluruh Departemen dan Lembaga-Lembaga Negara yang menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ;
  2. KOMISI I : Departemen Pertahanan/Keamanan, Departemen Penerangan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dan Badan Koordinasi Intelejen Negara ;
  3. KOMISI II : Departemen Dalam Negeri, Penyempurnaan Aparatur Negara, Sekretariat Negara, Lembaga Administrasi Negara, Badan Administrasi Kepegawaian Negara dan Arsip Nasional ;
  4. KOMISI III : Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung;
  5. KOMISI IV : Departemen Pertanian, Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi ;
  6. KOMISI V : Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Dewan Telekomunikasi dan Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia ;
  7. KOMISI VI : Departemen Perindustrian, Departemen Pertambangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal ;
  8. KOMISI VII : Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Sentral dan Badan Urusan Logistik ;
  9. KOMISI VIII : Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ;
  10. KOMISI IX : Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ;
  11. KOMISI X : Urusan Riset, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Tenaga Atom Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Biro Pusat Statistik, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia. KETIGA : Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta

pada tanggal : 15 Maret 1974.

PIMPINAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

ttd,

K.H. DR. IDHAM CHALID.

LAMPIRAN V.

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

No. 1/DPR-RI/I/73-74

tentang

PERUBAHAN LAMPIRAN II SURAT KEPUTUSAN DPR-RI NO. 7/DPR-

RI/III/71-72 TENTANG JUMLAH KOMISI-KOMISI SERTA LAPANGAN PE-

KERJAANNYA. (PASAL 47 PERATURAN TATA TERTIB).



DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dalam rapat pleno terbuka ke-4 pada tanggal 30 Agustus 1973.

Menimbang :

Bahwa berhubung dengan terbentuknya Kabinet Pembangunan II pada tanggal 28 maret 1973 dan untuk mengadakan efficiency kerja dipandang perlu adanya perubahan mengenai jumlah Komisi-komisi serta lapangan pekerjaannya.

Mengingat :

  1. Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD;
  2. Keputusan DPR-RI No. 7/DPR-RI/III/71-72 tanggal 8 Januari 1972 tentang Peraturan Tata-Tertib DPR-RI pasal 47 pasal 129.


Memperhatikan :

  1. Rapat Pimpinan DPR-RI tanggal 28 Agustus 1973;
  2. Rapat Badan Musyawarah tanggal 28 Agustus 1973.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Perubahan Lampiran II Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 7/DPR-RI/III/71-72 tentang Jumlah Komisi-Komisi serta Lapangan Pekerjaannya (Pasal 47 Peraturan Tata Tertib).

PERTAMA :

Menambah Lampiran II Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 7/DPR-RI/III/71-72 tentang Jumlah Komisi-komisi serta lapangan pekerjaannya (pasal 47 Peraturan Tata tertib) dengan sebuah Komisi yang disebut Komisi X dengan lapangan pekerjaan Urusan Riset, Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Tenaga Atom Nasional.

KEDUA :

Lampiran II Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 7/DPR-RI/III/71-72 tersebut setelah mengalami perubahan/tambahan termaksud pada amar keputusan pertama, selengkapnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

  1. KOMISI A.P.B.N (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) : Seluruh Departemen dan Lembaga-lembaga Negara yang menyangkut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
  2. KOMISI I : DEPARTEMEN Pertahanan/Keamanan, Departemen Luar Negeri, Departemen Penerangan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dan Badan Koordinasi Intelejen Negara.
  3. KOMISI II : Departemen Dalam Negeri, Penyempurnaan Aparatur Negara, Sekretariat Negara, Lembaga Administrasi Negara, Badan Administrasi Kepegawaian Negara dan Arsip Nasional.
  4. KOMISI III : Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung
  5. KOMISI IV : Departemen Pertanian, Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi.
  6. KOMISI V : Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Dewan Telekomunikasi, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia.
  7. KOMISI VI : Departemen Perindustrian dan Departemen Pertambangan.
  8. KOMISI VII : Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bank Sentral, Bio Pusat Statistik dan Badan Urusan Logistik.
    1. KOMISI VIII : Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
    2. KOMISI IX : Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
    3. KOMISI X : Urusan Riset, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Tenaga Atom Nasional.

K E T I G A : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di : J a k a r t a.

Pada tanggal : 30 Agustus 1973.

PIMPINAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

ttd

(K.H. DR. IDHAM CHALID).

PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977)


413

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

No. 17/DPR-RI/IV/77-78

tentang

PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

Dalam Rapat Paripurna ke-26 pada tanggal 29 Juni 1978.

Menimbang :

  1. Bahwa berhubungan dengan tidak berlakunya lagi Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang termuat dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 7/DPR-RI/III/71-72 karena berakhirnya masa keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum tahun 1971, dan diresmikannya keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum tahun 1977, maka perlu ditetapkan Peraturan Tata tertib yang baru;
  2. Bahwa Peraturan Tata Tertib yang bari itu akan mengatur tata cara untuk menghayati kedudukan, susunan, wewenang, tugas, hak dan tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beserta alat-alat kelengkapannya berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
  3. Bahwa menurut ketentuan peraturan perundangan, Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diatur sendiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Mengingat:

  1. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang antara lain menegaskan tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
  2. Undang-undang Dasar 1945.

    pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
- pasal 11 yang menentukan bahwa Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

- pasal 21 ayat (1) yang menentukan bahwa Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang-undang,

- pasal 22 ayat (2) yang menentukan bahwa tiap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

- pasal 23 ayat (1) yang menentukan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan tiap tahun dengan Undang-undang,

- pasal 23 ayat (5) yang menentukan bahwa Hasil Pemeriksaan Tahunan Bahan Pemeriksa Keuangan harus diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

3. a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa);

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara;

c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

d. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VII/MPR/1978 tentang Pemilihan Umum;

e. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka Pengsuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.

f. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.

4. Undang-undang No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 4 tahun 1975, dan Undang-undang No. 16 tahun 1968 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 tahun 1975;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 4/DPR-RI/II/77-78 tentang Pembentukan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dengan segala perubahan dan tambahannya.

Memperhatikan:

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada tanggal 29 Juni 1978.

MEMUTUSKAN :

1. Mencabut :

a. Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 2/DPR-RI/II/77-78 tentang Pengesahan Peraturan Tata Tertib Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

b. Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 6/ DPR-RI/II/77-78 tentang Pasal-pasal Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang mengatur tentang Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

2. Menetapkan :

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.

Pertama:

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah sebagaimana yang termuat dalam lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Keputusan ini.

Kedua :

Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib pasal-pasal 10 ayat (1), 12 ayat (3), 14 ayat (1), 15 ayat (1), 20 ayat (2), 24 ayat (1), 28 ayat (3), 44 ayat (3) dan (4), 76 ayat (1) huruf e, 123, 124, 125, 143 ayat (1) dan 160 ayat (1), yang diambil dari pasal-pasal 11 ayat (1), 13 ayat (3), 15 ayat (1), 16 ayat (1), 21 ayat (2), 25 ayat (1), 28 ayat (3), 35 ayat (3) dan (4),-53 ayat (1) huruf e, 99, 100, 101, 116 ayat (1) dan 127 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Sementara, serta pasal-pasal 8 huruf f, dan 56 dan Bab XIV adalah ketentuan-ketentuan yang masih bersifat sementara dan akan diusahakan agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya disernpumakan schingga menjadi ketentuan yang bersifat tetap.

Ketiga:

Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib pasal-pasal 9 ayat (1), 111 ayat (2), 116, 117 dan 118 akan disesuaikan dengan hasil pcnyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam diktum Kedua.

Keeempat :

Pelaksanaan penyempumaan sebagaimana dimaksud dalam diktum Kedua dan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam diktum Ketiga ditugaskan kepada Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Kelima:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 1978.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 29 Juni 1978

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

ttd

DARYATMO

PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBUK INDONESIA

(Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RI/IV/77-78 tanggal 29 Juni 1978)

BAB I.

KETENTUAN UMUM

Pasal 1.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Peraturan Tata Tertib ini, yang selanjutnya disebut dengan singkatan DPR ialah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang keanggotaannya diresmikan pada tanggal 1 Oktober 1977.

(2) DPR melaksanakan tugasnya berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(3) Anggota DPR adalah wakil rakyat yang telah mengangkat sumpah/janji sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat.

BAB II.

KEDUDUKAN, SUSUNAN, WEWENANG

DAN TUGAS DPR

Kedudukan

Pasal 2.

DPR adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. III/MPR/1978 dan merupakan suatu wahana untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila.

Susunan

Pasal 3.

(1) DPR beranggotakan 460 (empat ratus enam puluh) orang terdiri atas anggota Golongan Politik dan Golongan Karya, yang mengelompokkan diri dalam Fraksi-fraksi,

(2) DPR terdiri atas Fraksi-fraksi, Pimpinan DPR, Badan Musyawarah, Komisi-komisi, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerjasama Antar Parlemen dan Panitia-panitia Khusus.

(3) DPR mempunyai sebuah Sekretariat sebagai unsur pelayanan.

Wewenang dan Tugas

Pasal 4.

(1) Wewenang dan tugas DPR adalah :

  1. bersama-sama dengan Presiden membentuk Undang-undang;
  2. bersama-sama dengan Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  3. melakukan pengawasan atas :

    (a) pelaksanaan Undang-undang,

    (b) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pengelolaan keuangan Negara, dan

    (c) kebijaksanaan Pemerintah.

    sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
  4. membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;
  5. membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan Negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
  6. melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada DPR.

(2) Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang dan tugasnya, DPR dapat mengadakan konsultasi dan kordinasi dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya,

BAB III.

KEANGGOTAAN DPR

Pasal 5.

Anggota DPR harus tetap memenuhi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 6.

Anggota DPR berhenti bersama-sama pada saat Anggota DPR hasil Pemilihan Umum berikutnya mengangkat sumpah/janji.

Pasal 7

(1) Anggota DPR berhenti antar waktu karena :

  1. meninggal dunia;
  2. atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPR;
  3. tidak memenuhi lagi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 5;
  4. dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai Anggota DPR;
  5. diganti oleh Organisasi/Golongan yang bersangkutan, setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan DPR;
  6. merangkap jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua dan Hakim-hakim Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan lain yang tidak mungkin dirangkap, yang diatur dalam peraturan perundangan.

(2) Anggota yang berhenti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tempatnya diisi oleh:

  1. calon dari Organisasi/Golongan yang bersangkutan;
  2. calon dari Pejabat, baik atas usul Instansi/Organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Pejabat itu.

(3) Pemberhentian dan pengangkatan antar waktu Anggota DPR,diresmikan dengan Keputusan Presiden.

BAB IV.

HAK DPR DAN HAK ANGGOTA DPR

Pasal 8.

Untuk melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 4, DPR mempunyai:

  1. hak meminta keterangan (interpelasi);
  2. hak mengadakan penyelidikan (angket);
  3. hak mengadakan perubahan(amandemen);
  4. hak mengajukan pernyataan pendapat;
  5. hak mengajukan/menganjurkan seseorang, jika ditentukan oleh suatu peraturan perundangan;
  6. hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 9.

(1) Selain hak-hak DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Anggota DPR mempunyai :

  1. hak mengajukan pertanyaan;
  2. hak protokoler dan hak keuangan/administratif.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di muka Pengadilan karena pernyataannya dalam rapat-rapat DPR, baik terbuka maupun tertutup yang diajukan secara lisan atau tertulis, kecuali jika mereka mengumumkan hal-hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 87, atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.


(3)

  1. Tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR harus sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR.
  2. Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian ialah : (a) pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;

    (b) meminta keterangan tentang tindak pidana;

    (c) penangkapan;

    (d) penahanan:

    (e) penggeledahan;

    (f) penyitaan.

  3. Dalam pelaksanaan tindakan kepolisian harus diperhatikan kedudukan protokoler Anggota DPR sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Meminta Keterangan (Interpelasi)

Pasal 10.

(1) Sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan usul kepada DPR untuk meminta keterangan kepada Presiden tentang sesuatu kebijaksanaan Pemerintah.

(2) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini disusun secara singkat, jelas dan ditanda tangani oleh para Pengusul, kemudian disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 11.

(1) Dalam Rap at Paripuma berikutnya Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota DPR tentang masuknya usul permintaan keterangan kepada Presiden. Usul tersebut kemudian dibagikan kepada para Anggota.

(2) Dalam Rapat Badan Musyawarah yang diadakan untuk menentukan waktu bilamana usul permintaan keterangan itu dibicarakan dalam Rapat Paripurna, kepada para Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usul tersebut,

(3) Dalam suatu Rap at Paripurna para Pengusul memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan usul permintaan keterangan itu. Keputusan apakah usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui atau ditolak untuk menjadi permintaan keterangan DPR, ditetapkan dalam Rapat Paripurna itu atau dalam Rapat Paripurna yang lain.

Pasal 12.

(1) Selama suatu usul permintaan keterangan belum diputuskan menjadi permintaan keterangan DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali,

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditanda-tangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR, yang kemudian membagikannya kepada para Anggota.

(3) Apabila jumlah penanda-tanganan suatu usul permintaan keterangan yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 (tiga puluh) orang Anggota maka harus diadakan penambahan penanda-tanganan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota dan yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan ketentuan mi tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 13.

(1) Apabila usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui sebagai permintaan keterangan DPR, maka Pimpinan DPR mengirimkannya kepada Presiden dan mengundang Presiden untuk memberikan keterangan.

(2) Mengenai keterangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diadakan pembicaraan dengan memberikan kesempatan kepada Pengusul maupun Anggota Iainnya untuk mengemukakan pendapatnya.

(3) Atas pendapat para Pengusul dan atau Anggota lainnva sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, Presiden memberikan jawabannya.

Pasal 14.

(1) Atas usul sekurang-kurangnya 3 0 ( tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, DPR dapat menyatakan pendapatnya terhadap jawaban Prcsidcn tersebut.

(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat diajukan usul pernyataan peridapat, yang diselesaikan menurut ketentuan yang dimaksud dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Jika sarnpai waktu penutupan :-Vlasa Sidang yang bersangkutan temyata tidak ada usul pernyataan pendapat yang yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam avat ( 1) pas al ini, maka pembicaraan mengenai permin taan kcterangan kepada Presidcn terse but dinyatakan selesai dalam Rapat Paripuma penutupan Masa Sidang yang bersangkutan mengadakan Penyelidikan (Angket)

Pasal 15.

(1) Sesuai dengan ketentuan Undang-undang, sejumlah Anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan mcngenai sesuatu hal.

(2) Usul sebagaimana dirnaksud dalam ayat (1) pasal ini, hams dinyatakan dalam suatu perumusa.n yang mernuat isi yang jelas tentang hal yang harus diselidiki dcngan disertai penjelasan dan rancangan jumlah biaya,

(3) Usul itu setelah ditanda-tangani olch para Pengusul disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 16.

Usul sebagairnana dimaksud dalam pasal 15 beserta penjelasanpenjelasan dan rancangan biaya, dibagikan kepada para Anggota dan dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 17.

Badan Musyawarah menetapkan waktu bagi Fraksi-fraksi untuk mempelajari usul tersebut, dan waktu pernbicaraannya dalam Rapat Paripurna.

Pasal 18

(1) Selama suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal belum disetujui oleh DPR, para Pengusul berhak untuk mengadakan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditanda-tangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota dan mengirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penanda-tanganan suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai sesuatu hal yang belum dibicarakan dalam Rapat Paripurna, ternyata menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) pasal 15, maka harus diadakan penambahan penanda-tanganan hingga jumlahnya mencukupi, Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penanda tanganan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul itu menjadi gugur.

Pasal 19

(1) Apabila DPR memutuskan menyetujui usul mengadakan penyelidikan, DPR membentuk suatu Panitia Khusus Penyelidikan yang beranggotakan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang.

(2) Keputusan DPR untuk mengadakan penyelidikan menentukan juga masa kerja dan biaya Panitia Khusus Penyelidikan.

(3) Atas permintaan Panitia Khusus Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, masa kerjanya dapat diperpanjang atau diperpendek oleh DPR.

Pasal 20.

(1) Panitia Khusus Penyelidikan harus memberikan laporan tertulis berkala sekurang-kurangnya sebulan sekali kepada Pimpinan DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota DPR dan dikirimkan kepada Presiden.

(2) Atas usul 10 (sepuluh) orang Anggota DPR laporan berkala itu dapat dibicarakan dalam rapat DPR kecuali kalau DPR menentukan lain.

Pasal 21.

(1) Setelah selesai dengan pekerjaannya, Panitia Khusus Penyelidikan memberikan laporan tertulis kepada DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota dan kemudian dibicarakan dalam Rapat Paripurna untuk mengambil keputusan akhir, kecuali kalau Rapat Paripurna itu menentukan lain.

(2) Keputusan akhir atas laporan Panitia Khusus Penyelidikan tersebut disampaikan kepada Presiden.

(3) Panitia Khusus Penyelidikan dibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Mengadakan Perubahan ( Amandemen)

Pasal 22.

(1) Para Anggota DPR dapat mengajukan usul perubahan atas usul suatu Rancangan Undang-undang.

(2) Pokok-pokok usul peruhahan dikarenakan dalam Pemandangan Umum pada pembicaraan tingkat II.

(3) Usul perubahan disampaikan oleh Anggota dalam pembicaraan tingkat III, untuk dibahas dan diambil keputusan.

Pasal 23.

Pembahasan perubahan dalam Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Jika terpaksa diambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka yang dilakukan pemungutan suara adalah terhadap rumusan baru hasil pendekatan dalam musyawarah.

Mengajukan Pernyataan Pendapat

Pasal 24.

(1) Sekurang-kurangnya 30 ( tiga puluh] orang Anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan sesuatu usul pernyataan pendapat dalam bentuk memorandum, resolusi atau mosi, baik yang berhubungan dengan soal yang sedang dibicarakan maupun yang mempunyai maksud tersendiri.

(2) Usul pernyataan pendapat terscbut serta penjelasannya disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR.

(3) Dalam Rapat Paripurna yang berikut Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya usul tersebut.

Pasal 25.

Usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dibagikan para Anggota dan dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 26.

(1) Pembahasan dan penyelesaian usul pernyataan pendapat dilakukan dalam 4 {empat) tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115.

(2) Badan Musyawarah menetapkan waktu untuk membicarakan usul pemyataan pendapat tersebut dalam Rapat Paripurna.

(3) Dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang merupakan pembicaraan tingkat I, para Pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan dengan lisan atas usul pernyataan pendapat tersebut.

(4) Dalam pembicaraan tingkat II, terhadap usul dan penjelasan para Pengusul, kepada Anggota lain diberi kesempatan untuk memberikan pemandangannya dan kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya. Para Pengusul dapat memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota serta pendapat Presiden tersebut.

(5) Jika Rapat Paripuma memandang perlu, maka dapat diberikan kesempatan satu kali lagi kepada Anggota untuk memberikan pemandangannya, kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya dan kepada Pengusul untuk memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota dan pendapat Presiden tersebut.

(6) Setelah pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan (5) pasal ini selesai, maka Rapat Paripurna menentukan tindak lanjut penyelesaiannya.

Pasal 27.

(1) Apabila Rapat Paripurna memandang perlu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai usul pernyataan pendapat tersebut dapat dilakukan dalam pembicaraan tingkat III.

(2) Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1} pasal ini dapat diadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dan atau Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) dengan pihak yang dipandang perlu, terrnasuk Pengusul.

Pasal 28.

(1) Selama suatu usul pernyataan pendapat belum disetujui oleh DPR, para Pengusul oerhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota, dan mcngirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul pernyataan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 ( tiga puluh ), maka harus diadakan penambahan penandatangan sehingga jumlahnya sekurang-kurangnya menjadi 30 (tiga puluh) orang, yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, Apabila sampai 2 (dua) kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul yang bersangkutan menjadi gugur.

Pasal 29.

Setelah pembicaraan tingkat III selesai, maka pembicaraan diakhiri dengan tingkat IV, dimana DPR mengambil keputusan untuk menyetujui atau menolak usul pernyataan pendapat tersebut.

Pasal 30.

(1) Apabila DPR memutuskan bahwa Presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan pemyataan pendapat untuk mengingatkan Presiden (memorandum).

(2) Tata cara pengajuan usul pernyataan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini serta penyelesaiannya, mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Pelaksanaan selanjutnya daripada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Mengajukan/Menganjurkan Seseorang, Jika

Ditentukan Oleh Suatu Peraturan Perundangan

Pasal 31.

(1) Apabila suatu peraturan perundangan menentukan agar DPR mengajukan/menganjurkan calon untuk mengisi suatu jabatan, maka Rapat Paripurna menugaskan Badan Musyawarah untuk membicarakan dan kemudian memberikan pertimbangannya.

(2) Galon yang diajukan/dianjurkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, sekurang-kurangnya berjumlah 2 (dua) kali dari jabatan yang akan diisi, kecuali apabila peraturan perundangan menentukan lain.

(3) Rapat Paripurna menetapkan calon dengan memperhatikan pertimbangan Badan Musyawarah,

Pasal 32.

Calon yang telah ditetapkan oleh DPR, disampaikan secara tertulis kepada Presiden.

Mengajukan Rancangan Undang-undang

Usul Inisiatif

Pasal 33.

Pelaksanaan hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan penyelesaian selanjutnya diatur sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII.

Mengajukan Pertanyaan

Pasal 34.

( 1) Setiap Anggota DPR secara perseorangan maupun bersama-sama dapat mengajukan pertanyaan kepada Presiden.

(2) Pertanyaan itu harus tertulis, disusun singkat serta jelas dan disampaikan kepada Pimpinan DPR.

(3) Apabila dipandang perlu, Penanya, Pimpinan Fraksinya dan atau Pimpinan DPR dapat memberi/meminta penjelasan tentang pertanyaan tersebut.

( 4) Pimpinan DPR setelah meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden dengan disertai permintaan agar supaya mendapat jawaban dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, membagikan pertanyaan tersebut kepada para Anggota.

(5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan itu tidak dapat diumumkan.

Pasal 35.

( 1) Apabila jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 disampaikan oleh Presiden dengan tertulis, maka tidak diadakan pembicaraan dengan lisan.

(2) Penanya dapat meminta supaya pertanyaan tersebut dijawab dengan lisan.

(3) Apabila Presiden menjawab dengan lisan, maka Penanya dalam rapat yang ditentukan untuk itu dapat mengemukakan lagi dengan singkat penjelasan tentang pertanyaannya supaya Presiden dapat memberikan keterangan yang lebih luas tentang soal yang terkandung di dalam pertanyaan itu.

Kedudukan Protokokoler Dan

Hak Keuangan Administratif

Pasal 36.

Kedudukan protokoler dan hak keuangan/administratif bagi Pimpinan dan Anggota DPR diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

BAB V.

FRAKSI

Kedudukan

Pasal 37.

Fraksi adalah pengelompokan Anggota DPR, yang terdiri atas kekuatan-kekuatan sosial dan politik, dan mencerninkan susunan golongan dalam masyarakat.

Susunan

Pasal 38.

(1) DPR yang terdiri dari unsur Golongan Politik dan Golongan Karya sesuai dengan Undang-undang No. 16 tahun 1969 juncto Undang-undang No. 5 tahun 1975, membentuk 4 (empat) Fraksi, ialah :

- Fraksi ABRI,

- Fraksi Karya Pembangunan,

- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, dan

- Fraksi Persatuan Pembangunan, disingkat Fraksi Persatuan.

(2) Setiap Anggota DPR harus menjadi Anggota salah satu Fraksi.

Tugas

Pasal 39.

(1) Fraksi bertugas menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan masing-masing Fraksi.

(2) Fraksi bertugas meningkatkan kemampuan, efektifitas dan efisiensi kerja para Anggota dalam melaksanakan tugasnya, yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.

(3) Guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi, DPR menyediakan sarana yang memadai, dan anggaran menurut perimbangan jumlah

Anggota masing-rnasing fraksi.

BAB VI

PIMPINAN DPR

Kedudukan

Pasal 40.

(1) Pimpinan DPR adalah alat kelengkapan DPR dan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-fraksi.

(2) Masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR.

Susunan

Pasal 41.

Pimpinan DPR terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua.

Tugas

Pasal 42

(1) Tugas Pimpinan DPR adalah :

a. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPR serta mengumumkannya kepada Rapat Paripurna;

b. menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Badan Urusan Rumah Tangga dan Sekretariat DPR;

c. memimpin rapat DPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib ini serta menyimpulkan persoalan yang dibicarakan dalam rapat;

d. melaksanakan keputusan rapat DPR sepanjang menjadi kewajibannya;

e. mengadakan konsultasi dengan Presiden setiap waktu diperlukan;

f. menghadiri rapat alat kelengkapan DPR yang dianggap perlu;

g. mengadakan Rapat Pimpinan DPR sedikit-dikitnya sekali sebulan, antara lain dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas Sekretariat DPR.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. Pimpinan DPR bertanggung jawab kepada DPR.

Pasal 43.

(1) Ketua dan Wakil-wakil Ketua bertugas penuh di DPR.

(2) Apabila Ketua berhalangan, maka kewajibannya dilaksanakan oleh Wakil-wakil Ketua.

(3) Dalam hal memimpin suatu rapat, apabila Ketua dan Wakil-wakil Ketua berhalangan, maka rapat itu dipimpin oleh Anggota DPR yang tertua usianya di antara yang hadir.

Cara Pemilihan

Pasal 44.

(1)

a.Selama Pimpinan DPR belum ditetapkan, musyawarah untuk sementara waktu dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya dan dibantu Anggota yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara Musyawarah.

b. Dalam hal Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini berhalangan, maka sebagai penggantinya adalah Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya di antara yang hadir.

(2) Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh para Anggota DPR.

(3) Calon Ketua/Wakil Ketua diusulkan oleh para Anggota dalam satu paket.

(4) Setiap usul paket harus didukung sedikit-dikitnya oleh 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR.

(5) Usul paket tersebut disampaikan kepada Pimpinan Sementara Musyawarah secara tertulis dengan disertai daftar tanda tangan para Pengusul.

(6) Kepada para Pengusul diberikan kesempatan untuk mengemukakan penjelasan atas usulnya melalui juru bicara masing-masing.

(7) Pemilihan Pimpinan DPR diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mencapai mufakat, sehingga merupakan keputusan secara bulat.

(8) Apabila setelah diadakan musyawarah tidak dapat dicapai mufakat, sedangkan jumlah penandatangan pada satu usul paket atau

pada paket-paket yang sama isinya telah melampaui jumlah suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menetapkan paket dengan pendukung suara terbanyak menjadi keputusan DPR.

(9) Apabila keputusan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) dan ayat (8) pasal ini tidak tercapai, maka pemilihan dilakukan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana diatur dalam Bab XV.

(10) Apabila Pimpinan DPR sudah terpilih, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menyerahkan pimpinan kepada Pimpinan DPR yang terpilih.

Pasal 45.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil-wakil Ketua diambil sumpah menurut agamanya masing-masing atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat Paripurna DPR.

(2) Bunyi sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 46.

Apabila terjadi Iowongan jabatan Ketua dan atau Wakil Ketua, maka DPR secepatnya mengadakan pemilihan untuk mengisi lowongan tersebut berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Badan Musyawarah dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 40.

BAB VII

· BADAN MUSYAWARAH

Kedudukan

Pasal 47.

Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

(1) Badan Musyawarah dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(2) Badan Musyawarah beranggotakan 66 (enam puluh enam) orang, dengan perincian :

- Fraksi ABRI : 11 (sebelah) orang;

- Fraksi Karya Pembangunan: 37 (tiga puluh tujuh) orang;

- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 4 (empat) orang, dan

- Fraksi Persatuan Pembangunan: 14 (empat belas) orang.

(3) Badan Musyawarah mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 33 ( tiga puluh tiga) orang, dengan perincian:

-Fraksi ABRI : (6) (enam) orang,

-Fraksi Karya Pembangunan : 18 (delapan belas) orang,

-Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 2 (dua) orang, dan

-Fraksi Persatuan Pembangunan : 7 [tujuh] orang.

(4) Anggota Pengganti Badan Musyawarah menggantikan kedudukan Anggota Badan Musyawarah dari Fraksinya yang berhalangan.

Tugas

Pasal 49.

Tugas Badan Musyawarah adalah :

a. menetapkan acara DPR untuk satu Tahun Sidang atau satu Masa Persidangan atau sebagian dari suatu Masa Sidang, dan menetapkan ancar-ancar waktu penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang, dengan tidak mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya;

b. memberikan pedoman serta pertimbangan kepada Pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR;

c. menetapkan pokok kebijaksanaan kerumahtanggaan DPR;

d. menetapkan pokok kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen;

e. melaksanakan hal-hal yang oleh DPR diserahkan kepada Badan Musyawarah.

Rapat dan Pengambilan Keputusan

Pasal 50.

(1) Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan acara DPR dapat mengundang Ketua alat kelengkapan DPR lainnya atau yang mewakilinya dan atau Anggota DPR yang dipandang perlu oleh Badan Musyawarah; mereka yang diundang itu mempunyai hak bicara.

(2) Apabila dalam Masa Reses ada masalah yang menyangkut, wewenang dan tugas DPR dianggap prinsipiil dan perlu segera diambil keputusan, maka Pimpinan Badan Musyawarah secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat.

(3) Pengambilan keputusan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XV, dan apabila dalam penghitungan suara terdapat lebih dari satu pendapat yang mempunyai pendukung yang sama jumlahnya, maka Pimpinan Badan Musyawarah memberikan keputusan akhir.

BAB VIII

KOMISI

Kedudukan

Pasal 51.

Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan.

Pasal 52.

(1) Jumlah Komisi serta ruang lingkup tugas masing-masing ditetapkan oleh DPR dengan surat keputusan tersendiri.

(2) Komisi dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 53.

(1) Setiap Anggota DPR, kecuali Anggota Pimpinan DPR, harus menjadi Anggota salah satu Komisi.

(2) Pada tiap permulaan Tahun Sidang, DPR menetapkan komposisi keanggotaan Komisi menurut perimbangan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi.

(3) Setiap Anggota DPR dapat menghadiri Rapat Komisi tertutup yang bukan Komisinya, dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada Ketua Rapat.

(4) Penggantian antar waktu Anggota Komisi dapat dilakukan oleh Fraksinya apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Pasal 54.

(1) Pimpinan Komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-fraksi.

(2) Pimpinan Komisi terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota Komisi setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan Komisi diatur sendiri berdasarkan tugas Komisi.

(4) Apabila dalam rapat Pimpinan Komisi ada Anggota Pimpinan yang berhalangan hadir, maka ia dapat digantikan oleh Anggota Fraksinya dalam Komisi yang bersangkutan.

(5) Pcnggantian antar waktu Anggota Pimpinan Komisi dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Tugas

Pasal 55.

(1) Di bidang perundang-undangan, tugas Komisi adalah: mengadakan pembahasan, persiapan serta penyempurnaan perumusan Rancangan Undang-undang yang termasuk ruang lingkup tugasnya, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Bab XIII.

(2) Di bidang anggaran, tugas Komisi adalah :

a. mcngadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;

b. mengadakan pembahasan dan pengajuan usul penyempurnaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;

c. mengadakan pembahasan atas laporan Keuangan Negara dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya;

d. memberikan bahan pemikiran kepada Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tentang hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada huruf a dun hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c ayat ini.

(3) Di bidang pengawasan, tugas Komisi adalah :

a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk ruang lingkup tugasnya;

b. melakukan pengawsan terhadap pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang termasuk ruang lingkup tugasnya;

c. menampung suara rakyat, termasuk surat-surat masuk, mengenai hal yang termasuk ruang lingkup tugasnya.

(4) Untuk melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) pasal ini, Komisi dapat: a. mengadakan Rapat Kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri;

b. mengadakan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya;

c. mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing), baik atas permintaan Komisi maupun atas permintaan pihak lain;

d. mengadakan Kunjungan Kerja ke tempat atau daerah yang dipandang perlu, yang hasilnya atas keputusan Badan Musyawarah dilaporkan kepada DPR dalam Rapat Paripurn untuk ditentukan tindak lanjutnya;

e. mengikuti dengan seksama serta mengadakan penyelidikan terhadap peristiwa yang menyangkut kepentingan rakyat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri yang termasuk ruang lingkup tugasnya; mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain;

f. mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain;

g. mengadakan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) apabila dipandang perlu dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya, yang tidak termasuk ruang lingkup tugas Komisi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 52 atas persetujuan Pimpinan DPR;

h. mengadakan Rapat Gabungan Komisi bilamana ada masalah yang menyangkut beberapa komisi;

i. membentuk Panitia Kerja;

j. melakukan sesuatu tugas atas keputusan DPR dan atau Badan Musyawarah;

k. mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal-hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPR.

(5) Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a, b dan c pasal ini tidak boleh dilakukan di luar gedung DPR, kecuali dengan persetujuan Pimpinan DPR.

(6) Kunjungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf d pasal ini tidak boleh dilakukan dalam Masa Sidang, kecuali dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(7) Komisi menentukan tindak lanjut dari basil pelaksanaan tugas Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) pasal ini, terutama hasil Rapat Kerja dengan Presiden.

Pasal 56.

Disamping tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, khusus Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disebut dengan singkatan APBN, bertugas pula :

a. menampung hasil pembicaraan pendahuluan dari Komisi lainnya dengan pihak Pemerintah untuk dijadikan bahan dalam mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. memberikan pendapat kepada DPR mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR, dalam Rapat Paripurna;

c. menampung dan membicarakan semua bahan mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Peridapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang diperoleh dari :

— Pemandangan Umum para Anggota DPR dan jawaban Pemerintah;

— saran dan pendapat Badan Musyawarah,

— saran dan pendapat masing-masing Komisi, serta

— saran dan pendapat masing-masing Fraksi;

d. mengikuti perkembangan dan mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan Keuangan Negara pada keseluruhannya;

e. membahas bersama dengan Pemerintah tentang perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan, setelah memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran yang sedang berjalan;

f. membahas dan mengajukan peridapat terhadap Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang disampaikan oleh Presiden kcpada DPR;

g. membahas Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran serta memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna;

h. memberikan pendapatnya mengenai Hasil Pemeriksaan Tahunan Badan Pemeriksa Keuangan kepada DPR untuk ditentukan tindak

lanjutnya.

BAB IX

BADAN URUSAN RUMAH TANGGA

Kedudukan

Pasal 57.

Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 58

(1) BURT beranggotakan 33 (tigapuluh tiga) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI 6 (enam) orang

Fraksi Karya Pembangunan

18 (delapan belas) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 2 (dua) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan 7 (tujuh) orang.

(2) BURT mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 17 (tujuh belas) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI 3 (tiga) orang,

Fraksi Karya Pembangunan 9 (sembilan) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 1 (satu) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan 4 {empat) orang.

(3) Anggota Pengganti BURT menggantikan kedudukan Anggota BURT dari Fraksinya yang berhalangan,

(4) Keanggotaan BURT ditetapkan pada setiap permulaan Tahun Sidang dan tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi.

(5) BURT dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 59

(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan BURT terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BURT pada setiap permulaan Tahun Sidang dlam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BURT diatur sendiri berdasarkan tugas BURT.

T u g a s

Pasal 60

(1) Tugas BURT adalah:

a. membantu Pimpinan DPR dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan kerumahtanggan DPR serta kesejahteraan Anggota DPR dan Pegawai Sekretariat DPR;

b. atas nama Pimpinan DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan ketatalaksanaan Sekretariat DPR serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kerumahtanggan DPR, baik atas penugasan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah maupun atas prakarsa sendiri;

c. membantu Pimpinan DPR sebagairnana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal 42 dan sesuai pula dengan pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah, dalam hal:

(a) menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR,

(b} meneliti dan menyempurnakan Rancangan Anggaran Belanja DPR yang penyusunannya disiapkan oleh Sekretariat DPR,

(c) mengawasi proses penyelesaian Rancangan Anggaran Belanja DPR selanjutnya,

(d) mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan Anggaran Belanja DPR;

d. melaksanakan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggan dan kesejahteraan yang ditugaskan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah, termasuk melakukan studi perbandingan yang dipandang perlu.

(2) Sekretariat DPR harus memberikan penjelasan dan data mengenai hal-hal yang diperlukan oleh BURT.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, BURT bertanggungjawab kepada Pimpinan DPR.

(4) BURT memberikan laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang kepada Pimpinan DPR untuk disampaikan

kepada Badan Musyawarah dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

BAB X

BADAN KERJASAMA ANTAR PARLEMEN

Kedudukan

Pasal 61

Badan Kerjasama Antar Parlemen, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 62

(1) BKSAP beranggotakan 35 (tigapuluh lima) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI

6 (enam) orang,

Fraksi Karya Pembangunan

18 (delapan belas) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

4 (empat) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan

7 (tujuh) orang.

(2) Keanggotaan BKSAP ditetapkan pada setiap permulaan Tahun Sidang.

(3) BKSAP dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 63

(1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan BKSAP terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BKSAP pada setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BKSAP diatur sendiri berdasarkan tugas BKSAP.

Tugas

Pasal 64

(1) Sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, BKSAP bertugas:

a. menggalang, membina dan mengolah hubungan persahabatan dan kerjasama antara DPR dengan Parlemen negara lain baik secara bilateral maupun secara multilateral;

b. mempersiapkan keberangkatan delegasi DPR ke luar negeri dan

mengolah serta mengembangkan hasil kunjungannya;

  1. mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi Parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
  2. memberikan saran dan usul kepada Pimpinan DPR tentang masalah kerjasama antar Parlemen;
  3. menghimpun data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Parlemen negara lain.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dan avat (2) pasal 65, BKSAP bertanggungjawab kepada DPR.

(3) BKSAP melaporkan hasil kunjungan delegasi DPR kepada Rapat Paripurna DPR.

(4) BKSAP memberikan laporan tertulis kepada Badan Musyawarah sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang serta membagikannya kepada para Anggota DPR.

Pasal 65

(1) Pimpinan DPR, sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, memberikan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen kepada Pimpinan BKSAP.

(2) BKSAP, selain melaksanakan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen, juga dapat melaksanakan hubungan dengan luar negeri atas nama DPR berdasarkan wewenang yang dilimpahkan kepadanya oleh Badan Musyawarah.

BAB XI

PANITIA

Kedudukan

Pasal 66

(1) DPR dan atau alat kelengkapan DPR, apabila memandang perlu dapat membentuk Panitia yang bersifat sementara.

(2) Panitia yang dibentuk oleh DPR disebut Panitia Khusus dan merupakan alat kelengkapan DPR, sedangkan Panitia yang dibentuk oleh alat kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja,

Susunan

Pasal 67

(1) Panitia beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota DPR yang mencerminkan Fraksi-Fraksi, dan apabila dipandang perlu dapat ditetapkan Anggota Pengganti.

(2) Pimpinan Panitia terdiri atas sekurang-kurangnya seorang Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia setelah mendengar pendapat Fraksi-Fraksi.

(3) Panitia Khusus dibantu oleh sebuah Sekretariat, sedangkan Panitia Kerja dapat pula dibantu oleh sebuah Sekretariat apabila dipandang perlu.

Tugas

Pasal 68

(1) Panitia Khusus bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh DPR.

(2) Panitia Khusus bertanggungjawab kepada DPR.

(3) DPR menetapkan tindak lanjut hasil kerja Panitia Khusus.

(4) Ketentuan yang berlaku bagi Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pasal 55, berlaku pula bagi Panitia Khusus.

(5) Panitia Khusus dibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Pasal 69

(l) Panitia Kerja bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(2) Tatacara kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(3) Panitia Kerja bertanggungjawab kepada alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(4) Tindak lanjut hasil kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(5) Panitia Kerja dibubarkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya setelah tugasnya dinyatakan selesai.

BAB XII

PERSIDANGAN DAN RAPAT-RAPAT DPR

Ketentuan Umum

Pasal 70

(1) Tahun Sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, maka pembukaan Tahun Sidang dapat dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

(2) Tahun Sidang dibagi dalam 4 (empat) Masa Persidangan.

(3) Tiap-tiap Masa Persidangan meliputi Masa Sidang dan Masa Reses.

(4) Masa Sidang adalah masa kegiatan DPR yang dilakukan terutama di dalam gedung DPR.

(5) Masa Reses adalah masa kegiatan DPR di luar Masa Sidang, yang dilakukan oleh para Anggota DPR secara perorangan atau berkelompok, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Pasal 71

(1) Masa Persidangan berikut acara dan jadwalnya ditetapkan oleh Badan Musyawarah, dengan memperhatikan agar pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya dan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dapat selesai tepat pada waktunya.

(2) Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan acara dan jadwal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka Pimpinan DPR dapat menetapkan acara dan jadwal tersebut dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi-Fraksi.

Pasal 72

(1) Pada hari permulaan Tahun Sidang acara pokok adalah Pidato Kenegaraan Presiden dalam Rapat Paripurna, Apabila Presiden berhalangan, maka Pidato Kenegaraan disampaikan oleh Wakil Presiden.

(2) Dalam Rapat Paripurna pertama dari suatu Masa Sidang, Pimpinan DPR menyampaikan pidato pembukaan yang terutama menguraikan kegiatan DPR yang akan dilakukan dalam Masa Sidang yang bersangkutan.

(3) Dalam Rapat Paripurna terakhir dari suatu Masa Sidang, Pimpinan DPR menyampaikan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR dalam Masa Reses sebelumnya, hasil kegiatan selama Masa Sidang yang bersangkutan dan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam Masa Reses berikutnya.

(4) Dalam Rapat Paripurna penutupan Masa Sidang terakhir dari suatu Tahun Sidang, Pimpinan DPR menutup Masa Sidang dan Tahun Sidang dengan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR selama Tahun Sidang yang bersangkutan.

Pasal 73

(1) Waktu-waktu rapat DPR ialah:

  1. pagi: hari Senin sampai dengan hari Kamis dari puku1 09. 00 sampai pukul 14. 00;
  2. malam : hari Senin sampai dengan hari Jum'at dari pukul 19.30 sampai pukul 23.30.

(2) Penyimpangan dari waktu-waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal mi, dapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.

Jenis rapat

Pasal 74

Jenis-jenis rapat DPR ialah:

Rapat Paripurna;

Rapat Paripurna Luar Biasa;

Rapat Fraksi;

Rapat Pimpinan DPR;

Rapat Badan Musyawarah;

Rapat Komisi dan Rapat Gabungan Komisi;

Rapat BURT dan Rapat BKSAP;

Rapat Panitia;

Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing} dan

Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing).

Pasal 75

Rapat Paripurna adalah rapat Anggota DPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR.

Pasal 76

(1) Rapat Paripurna Luar Biasa adalah Rapat Paripurna yang diadakan dalam Masa Reses, apabila:
  1. diminta oleh Presiden; atau
  2. dikehendaki oleh Pimpinan DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah; atau
  3. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR, dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Pimpinan DPR mengundang Anggota DPR untuk menghadiri Rapat Paripurna Luar Biasa tersebut.

Pasal 77

Rapat Fraksi adalah rapat Anggota Fraksi yang dipimpin oleh Pimpinan Fraksi.

Pasal 78

Rapat Pimpinan DPR adalah rapat Anggota Pimpinan DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR.

Pasal 79

(1) Rapat Badan Musyawarah adalah rapat Anggota Badan Musyawarah beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Musyawarah.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separoh jumlah Anggota Badan Musyawarah, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

Pasal 80

( 1) Rapat Komisi adalah rapat Anggota Komisi yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi.

(2) Rapat Gabungan Komisi adalah rapat bersama yang diadakan oleh lebih dari satu Komisi, dihadiri oleh Anggota Komisi-Komisi yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pimpinan yang dipilih oleh rapat gabungan itu atau yang ditentukan oleh dan dari Pimpinan Komisi-Komisi yang bersangkutan.

(3) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangni oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Komisi, atau Gabungan Komisi, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi,

(4) Rapat Pimpinan Komisi atau Rapat Pimpinan Gabungan Komisi adalah rapat Anggota Pimpinan Komisi atau Anggota Pimpinan Gabungan Komisi yang dipimpin oleh Ketua Komisi atau Ketua Gabungan Komisi.

Pasal 81

(1) a. Rapat BURT adalah rapat Anggota BURT beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan BURT.

b. Rapat BKSAP adalah rapat Anggota BKSAP yang dipimpin oleh Pimpinan BKSAP.

(2) a. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separuh jumlah Anggota BURT dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

b. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota BKSAP dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(3) Rapat Pimpinan BURT dan rapat Pimpinan BKSAP adalah rapat Anggota Pimpinan Badan yang bersangkutan yang dipimpin oleh Ketua Badan tersebut.

Pasal 82

(1) Rapat Panitia Khusus adalah rapat Anggota Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota Panitia Khusus dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(3) Dalam hal suatu Panitia Khusus mempunyai Anggota Pengganti, maka berlakulah ketentuan yang mengatur tentang Anggota Pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 79.

(4) Rapat Pimpinan Panitia Khusus adalah rapat Anggota Pimpinan Panitia Khusus, yang dipimpin oleh Ketua Panitia Khusus.

(5) Rapat Panitia Kerja adalah rapat Anggota Panitia Kerja yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Kerja.

Pasal 83

(1) Rapat Kerja adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan pihak Pemerintah, dalam hal ini Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya, atas undangan Pimpinan DPR dan dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Undangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disampaikan kepada Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya dengan mencantumkan persoalan yang akan dibicarakan serta diberikan waktu secukupnya untuk mempelajari persoalan itu.

Pasal 84

(1) Rapat Dengar Pendapat (Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan Pejabat yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan perorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

Sifat Rapat

Pasal 85

(1) Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat Panitia Khusus pada dasarnya bersifat terbuka, tetapi atas keputusan rapat yang bersangkutan atau atas keputusan Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat tertutup.

(2) Rapat Pimpinan DPR, Rapat BURT dan Rapat Panitia Kerja bersifat tertutup.

(3) Rapat Badan Musyawarah dan Rapat BKSAP pada dasarnya bersifat tertutup, tetapi atas keputusan Rapat Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat terbuka.

( 4) Sifat Rapat Fraksi di tentukan sendiri oleh Fraksi yang bersangkutan.

(5) Rapat terbuka ialah rapat yang selain dihadiri oleh para Anggota DPR, juga dapat dihadiri oleh bukan Anggota DPR, baik diundang maupun tidak.

(6) Rapat tertutup ialah rapat yang hanya boleh dihadiri oleh Anggota DPR dan mereka yang diundang.

Pasal 86

(1) Rapat DPR yang sedang berlangsung, dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup oleh Ketua Rapat, pihak Pemerintah dan atau salah satu Fraksi.

(2) Apabila dipandang perlu, rapat dapat ditunda untuk sementara guna memberi waktu kepada Pimpinan Rapat, Fraksi-Fraksi dan Pengusul membicarakan usul sebagaim.ana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Rapat yang bersangkutan memutuskan apakah usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disetujui atau ditolak.

(4) Dalam hal rapat menyetujui, maka Ketua Rapat menyatakan rapat yang bersangkutan sebagai rapat tertutup dan mempersilahkan para Peninjau untuk meninggalkan ruangan rapat.

Pasal 87

(1) Pembicaraan dalam rapat tertutup pada dasarnya bersifat rahasia dan tidak boleh diumumkan.

(2) Sifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) pasal ini, juga harus dipegang teguh oleh mereka yang mengetahui pembicaraan dalam rapat tertutup itu.

(3) Berhubung dengan sifatnya dan atau karena hal tertentu, maka atas usul Pimpinan Rapat, pihak Pemerintah dan atau salah satu Fraksi, rapat dapat memutuskan untuk mengumumkan seluruhnya atau sebagian dari pembicaraan dalam rapat tertutup itu.

Tatacara Rapat

Pasal 88

(1) Sebelum menghadiri rapat, setiap Anggota menandatangani daftar hadir.

(2) Untuk para Undangan disediakan daftar hadir tersendiri.

Pasal 89

( 1) Apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat, daftar hadir telah ditandatangani oleh Iebih dari separuh jumlah Anggota Rapat dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi, maka Ketua Rapat membuka rapat.

(2) Apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum dipenuhi, maka Ketua Rapat menunda pembukaan rapat tersebut paling lama satu jam.

(3) Jika pada akhir waktu penundaan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum juga dipenuhi, maka Ketua Rapat dapat membuka rapat, dengan ketentuan bahwa rapat tersebut tidak berwenang untuk mengambil keputusan.

Pasal 90

(1) Sesudah rapat dibuka, Ketua Rapat meminta Sekretaris untuk memberitahukan kepada rapat mengenai surat masuk dan surat ke luar.

(2) Rapat dapat membicaraan surat masuk dan surat keluar tersebut.

Pasal 91

(1) Setelah semua acara yang telah ditetapkan selesai dibicarakan, maka Ketua Rapat menutup rapat.

(2) Apabila acara yang telah ditetapkan untuk rapat tersebut belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 telah habis, maku Ketua Rapat menunda penyelesaian acara tersebut untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya, atau meneruskan penyelesaian acara tersebut atas persetujuan rapat.

(3) Sebelum menutup rapat, Ketua Rapat mengemukakan pokok-pokok keputusan dan atau kesimpulan yang telah dihasilkan oleh rapat.

Pasal 92

Apabila Ketua berhalangan, maka rapat dipimpin oleh salah seorang Wakil Ketua dan apabila Ketua dan Wakil-Wakil Ketua berhalangan, maka rapat dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya diantara yang hadir.

Tatacara Merubah Acara Rapat Yang Telah Ditetapkan

Pasal 93

(1) Usul perubahan mengenai acara yang telah ditetapkan, baik mengenai perubahan waktu dan atau mengenai masalah baru yang ingin dimasukkan dalam acara, dapat diajukan oleh Fraksi, dan alat kelengkapan DPR, atau oleh pihak Pemerintah kepada Pimpinan DPR untuk segera dibicarakan dalam rapat Badan Musyawarah.

(2) Usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diajukan secara tertulis dengan menyebutkan masalah dan waktu yang diusulkan, selambat-lambatnya dua hari sebelum acara rapat yang bersangkutan dilaksanakan.

(3) Pimpinan DPR dapat mengajukan usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini kepada Badan Musyawarah.

(4) Badan Musyawarah membicarakan dan mengambil keputusan terhadap usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (3) pasal ini.

(5) Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat, maka berlakulah ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 71.

Pasal 94

(1) Dalam keadaan memaksa, Presiden, Pimpinan DPR atau Fraksi dapat mengajukan usul perubahan acara Rapat Paripurna yang sedang berlangsung.

(2) Rapat yang bersangkutan segera mengambil keputusan terhadap usul perubahan acara itu.

Tatacara Permusyawaratan

Pasal 95

(1) Ketua Rapat menjaga agar rapat dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Peraturan Tata Tertib ini.

(2) Ketua Rapat hanya berbicara selaku Pimpinan Rapat untuk menjelaskan masalah yang menjadi pokok pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan pada pokok persoalan dan menyimpulkan pembicaraan para Anggota.

(3) Apabila Ketua Rapat hendak berbicara selaku Anggota, maka untuk sementara Pimpinan Rapat diserahkan kepada Anggota Pimpinan yang lain.

Pasal 96

(1) Sebelum berbicara, anggota yang akan berbicara mendaftarkan nama lebih dahulu. Pendaftaran itu dapat juga dilakukan oleh Fraksinya.

(2) Anggota yang belum mendaftarkan nama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak berhak ikut berbicara, kecuali bila menurut pendapat Ketua Rapat ada alasan yang dapat diterima.

Pasal 97

(1) Giliran berbicara diatur oleh Ketua Rapat menurut urutan pendaftaran nama.

(2) Anggota berbicara di tempat yang telah disediakan setelah di-

persilahkan oleh Ketua Rapat.

(3) Seorang Anggota yang berhalangan pada waktu mendapat giliran berbicara, dapat digantikan oleh Anggota lain dari Fraksinya dengan sepengetahuan Ketua Rapat.

(4) Pembicaraan dalam rapat tidak boleh diganggu selarna berbicara.

Pasal 98

(1) Ketua Rapat dapat menentukan lamanya para Anggota berbicara.

(2) Apabila seorang pernbicara melampaui batas waktu yang telah ditentukan, Ketua Rapat memperingatkannya untuk mengakhiri pembicaraan, dan harus ditaati.

Pasal 99

(1) Setiap waktu di dalam rapat dapat diberi kesempatan interupsi kepada Anggota untuk:

a. meminta penjelasan tentang duduk persoalan sebenarnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan.
b. menjelaskan soal-soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan atau tugasnya.
c. mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan, atau
d. mengajukan usul agar rapat ditunda untuk sementara,

(2) Ketua Rapat dapat membatasi lamanya pembicaraan mengadakan interupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Terhadap pembicaraan mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b pasal ini tidak diadakan pembahasan.

(4) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d pasal ini, untuk dapat menjadi pokok pembicaraan, harus mendapat persetujuan dari rapat.

Pasal 100

(1) Seorang pembicara tidak diperkenankan menyimpang dari pokok pembicaraan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 99.

(2) Apabila seorang pembicara menurut pendapat Ketua Rapat menyimpang dari pokok pembicaraan, maka Ketua Rapat memperingatkan dan meminta supaya pembicara kembali pada pokok pembicaraan.

Pasal 101

Apabila seorang pembicara dalam rapat menggunakan kata-kata yang tidak layak, atau melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban rapat, atau menganjurkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, maka Ketua Rapat memperingatkan agar yang bersangkutan menghentikan perbuatan itu dan atau memberi kesempatan kepadanya untuk menarik kembali kata-katanya.

Jika pembicara memenuhi permintaan Ketua Rapat, maka kata-katanya itu dianggap tidak pernah diucapkan dan tidak dimuat dalam Risalah atau Catatan Rapat.

Pasal 102

(1) Apabila seorang pembicara tidak memenuhi peringatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 101, Ketua Rapat melarang pembicara tersebut untuk meneruskan pembicaraannya.

(2) Jika peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini masih juga tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, maka Ketua Rapat meminta yang bersangkutan meninggalkan rapat.

(3) Apabila Anggota tersebut tidak mengindahkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang bersangkutan dikeluarkan dengan paksa dari ruangan rapat atas perintah Ketua Rapat. Yang dimaksud dengan ruangan rapat ialah ruangan yang dipergunakan untuk rapat termasuk ruangan untuk umum, undangan dan para tamu lainnya.

Pasal 103

(1) Apabila terjadi peristiwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 dan pasal 102, dan Ketua Rapat berpendapat bahwa rapat tidak mungkin dilanjutkan, maka Ketua Rapat dapat menutup atau menunda rapat tersebut.

(2) Lamanya penundaan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak boleh melebihi 24 (duapuluh empat) jam.

Risalah, Catatan Rapat dan Laporan Singkat

Pasal 104

(1) Untuk setiap Rapat Paripurna, dibuat Risalah Resmi yang ditandatangani oleh Ketua Rapat.

(2) Risalah ialah catatan Rapat Paripurna yang dibuat secara leng-

kap dan berisi seluruh jalannya pembicaraan yang dilakukan dalam rapat, serta dilengkapi dengan catatan tentang:

a. jenis dan sifat rapat,
b. hari dan tanggal rapat,
c. tempat rapat,
d. acara rapat,
e. waktu pembukaan dan penutupan rapat,
f. Ketua dan Sekretaris Rapat,
g. jumlah Anggota dan nama Anggota yang hadir dalam rapat, dan
h. undangan yang hadir.

Pasal 105

(1) Setelah rapat selesai, Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Risalah Sementara untuk segera dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap Risalah Sementara itu dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya Risalah Sementara tersebut dan menyampaikannya kepada Sekretariat DPR.

(3) Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini lewat, maka Sekretaris Rapat segera menyusun Risalah Resmi untuk dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(4) Apabila terjadi perbeaaan pendapat tentang isi Risalah, keputusan diserahkan kepada Ketua Rapat yang bersangkutan.

Pasal 106

(1) Untuk setiap Rapat Pimpinan DPR, Rapat Badan Musyawarah, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat BURT, Rapat BKSAP dan Rapat Panitia Khusus, dibuat Catatan Rapat yang ditandatangani oleh Ketua Rapat.

(2) Catatan Rapat ialah suatu catatan yang memuat pokok-pokok pembicaraan, kesimpulan dan keputusan yang dihasilkan dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, serta dilengkapi dengan catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan huruf h pasal 104.

(3) Untuk rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, juga dibuat Laporan Singkat yang hanya memuat kesimpulan dan keputusan rapat.

Pasal 107

(1) Setelah rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 106 selesai, Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Catatan Rapat Sementara untuk segera dibagikan kepada Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap Catatan Rapat Sementara itu dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya Catatan Rapat Sementara tersebut dan menyarnpaikannya kepada Sekretaris Rapat yang bersangkutan.

Pasal 108

(1) Pada Risalah, Catatan Rapat dan atau Laporan Singkat mengenai rapat yang bersifat tertutup, harus dicantumkan dengan jelas kata "RAHASIA", dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 87.

(2) Rapat yang bersifat tertutup dapat memutuskan bahwa sesuatu hal yang dibicarakan dan atau diputuskan dalam rapat itu tidak dimaksukkan dalam Risalah, Catatan Rapat dan atau Laporan Singkat.

Undangan dan Peninjau

Pasal 109.

(1) Undangan ialah mereka yang bukan Anggota DPR yang hadir dalam rapat DPR atas undangan Pimpinan DPR dan Anggota DPR bukan Anggota suatu alat kelengkapan DPR yang hadir dalam rapat alat kelengkapan tersebut atas undangan Pimpinan DPR atau Pimpinan alat kelengkapan yang bersangkutan.

(2) Peninjau ialah mereka yang hadir dalam rapat DPR tanpa undangan Pimpinan DPR.

(3) Untuk Undangan dan Peninjau disediakan tempat tersendiri.

(4) Undangan dan Peninjau wajib mentaati tata tertib rapat dan atau ketentuan lain yang diatur oleh DPR.

(5) Undangan dapat berbicara dalam rapat atas persetujuan Ketua Rapat, tetapi tidak mernpunyai hak suara, sedangkan Peninjau disamping tidak mempunyai hak suara, juga tidak dibenarkan menyatakan sesuatu, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain.

Pasal 110.

(1) Ketua Rapat menjaga agar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 109 tetap dipatuhi.

(2) Ketua Rapat dapat meminta agar Undangan dan atau Peninjau yang mengganggu ketertiban rapat meninggalkan ruangan rapat, dan apabila permintaan itu tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, Ketua Rapat mengeluarkannya dari ruangan rapat dengan paksa.

(3) Dalam hal terjadi apa yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, Ketua Rapat dapat menutup atau menunda rapat.

(4) Lamanya penundaan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini tidak boleh melebihi 24 (dua puluh empat) jam.

BAB XIII

PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Ketentuan Umum

Pasal 111.

(1) DPR bersama Presiden membentuk undang-undang.

(2) Rancangan Undang-undang dapat berasal dari Pemerintah atau berupa usul inisiatif dari DPR.

Pasal 112.

(1) Di dalam Rapat Paripurna berikutnya setelah Rancangan Undang-undang diterima oleh Pimpinan DPR, Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya Rancangan Undang-undang tersebut.

(2) Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

Pasal 113.

Bilamana ada dua Rancangan Undang-undang yang diajukan mengenai persoalan yang sama, maka yang dibicarakan adalah Rancangan Undang-undang yang diterima lebih dulu, sedangkan Rancangan Undang-undang yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pelengkap.

Pasal 114.

Rancangan Undang-undang yang sudah disetujui DPR, disampaikan o1eh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-undang.

Tingkat-tingkat Pembicaraan

Pasal 115.

(1) Pembahasan sesuatu Rancangan Undang-undang dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan, kecuali kalau Badan Musyawarah menentukan lain.

(2) Empat tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, adalah sebagai berikut:

tingkat I dalam Rapat Paripurna,
tingkat II dalam Rapat Paripurna,
tingkat III dalam Rapat Komisi, dan
tingkat IV dalam Rapat Paripurna.

(3) Sebelum dilakukan pembicaraan tingkat II, III dan IV ditiadakan Rapat Fraksi.

(4) Apabila dipandang perlu Badan Musyawarah dapat menetapkan bahwa pembicaraan tingkat III dilakukan dalam Rapat Gabungan Komisi atau dalam suatu Panitia Khusus.

Pasal 116.

Pembicaraan tingkat I ialah:

Keterangan atau penjelasan dalam Rapat Paripurna atas Rancangan Undang-undang oleh Pemerintah atau Pengusul.

Pasal 117.

Pembicaraan tingkat II ialah:

1. a. Pemandangan Umum dalam Rapat Paripurna oleh para Anggota DPR yang membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Undang-undang beserta keterangan/penjelasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116;

b. Tanggapan Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif beserta keterangan/penjelasan Pengusul sebagaimana dimaksud dalam pasal 116.

2. a. Jawaban Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Pemandangan Umum para Anggota sebagairnana dimaksud pada angka 1 huruf a;

b. Jawaban Pengusul terhadap Pemandangan Umum para Anggota sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dan terhadap tanggapan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b.

Pasal 118.

Pembicaraan tingkat III ialah:

Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus, yang dilakukan:
a. bersama-sama dengan Pemerintah, apabila membahas Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah,
b. bersama-sama dengan para Pengusul dan Pemerintah, apabila membahas Rancangan Undang-undang Usul Inisiati I, dan
c. secara intern apabila dipandang perlu, tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.

Pasal 119.

(1) Pembicaraan tingkat IV ialah:

Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna dengan didahului laporan hasil pembicaraan tingkat III, dan Pendapat Akhir dari Fraksi yang disampaikan oleh Anggotanya.

(2) Apabila dipandang perlu, Pendapat Akhir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat pula disertai dengan catatan tentang pendirian Fraksi (minderheidsnota).

(3) Terhadap pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, kepada Pemerintah diberikan kesempatan untuk menyampaikan sambutan.

Rancangan Undang-undang Dari Pemerintah

Pasal 120.

(1) Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah dismpaikan kepada Pimpinan DPR dengan Amanat Presiden.

(2) Amanat Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, menyebut juga Menteri yang mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut.

Pasal 121.

Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah dapat ditarik kembali, sebelum memasuki pembicaraan tingkat IV.

Pasal 122.

Rancangan Undang-undang untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara Iain yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR, dibahas dan diselesaikan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119.

Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif

Pasal 123.

(1) Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh para Anggota DPR berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 harus disertai memori penjelasan dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

(2) Tiap-tiap pengajuan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus diajukan kepada Pimpinan DPR dengan surat pengantar dan daftar tanda tangan para Pengusul serta nama Fraksinya.

(3) Dalam rapat Pleno berikutnya Pimpinan DPR memberitahukan kepada DPR tentang masuknya Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

(4) Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dimaksud setelah oleh Sekretariat DPR diberi nomor pokok diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR dan disampaikan kepada Pemerintah.

(5) Dalam rapat Badan Musyawarah kepada Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan daripada Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut. Kemudian kepada Anggota Badan Musyawarah diberi kesempatan untuk mengadakan tanya jawab dengan para Pengusul.

(6) Terhadap penyelesaian selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan pasal 115 sampai dengan 119 dengan memperhatikan ketentuanketentuan yang khusus berlaku dalam Usul Inisiatif tersebut.

Pasal 124.

(1) Selama suatu Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum disetujui menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR dan hams ditandatangani oleh para Pengusul, kemudian diperbanyak dan disampaikan kepada para Anggota DPR.

Pasal 125.

Apabila jumlah penandatangan Rancangan Undang-undang Usul inisiatif dan usul-usul lain yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 (tiga puluh) orang sebagaimana dimak-

sud dalam ayat (1) pas al 123, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

Apabila sampai dua kali Masa Persidangan

Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul yang bersangkutan menjadi gugur.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Pasal 126.

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibicarakan oleh DPR pada kesempatan pertama dalam Masa Sidang berikutnya setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang terscbut dikeluarkan.

(2) Terhadap pembahasan dan penyelesaian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119.

BAB XIV

PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA NEGARA

Pasal 127.

Dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c pasal 4, maka diadakan kegiatan sebagai berikut :

a. penyampaian Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta Nota Keuangannya oleh Presiden kepada DPR dan pembahasannya serta penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

b. penyampaian dan pembahasan serta penetapan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

c. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

d. penyampaian dan pembahasan Laporan Setengah Tahunan,

e. pembahasan bersama dengan Pemerintah tentang perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan, dan

f. penyampaian dan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran.

Pasal 128.

Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya disampaikan oleh Presiden kepada DPR dalam 7 (tujuh) hari pertama tiap permulaan Tahun Takwin.

Pasal 129.

Komisi APBN segera membahas Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 dan memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna.

Pasal 130.

(1) Penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya dilaksanakan sepeti penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119, dengan tambahan ketentuan sebagai berikut :

a. Rapat Kerja dengan Pemerintah dilakukan oleh Komisi-komisi,

b. Komisi APBN mengadakan rapat dengan Pimpinan Komisi-komisi untuk menampung saran dan pendapat dari Komisi-komisi, dan

c. Rapat Kerja penyelesaian terakhir Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilakukan oleh Komisi APBN dengan Pemerintah dengan memperhatikan saran dan pendapat dari Pemandangan Umum para Anggota, Komisikomisi, Badan Musyawarah dan Fraksi-fraksi,

(2) Hasil pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya disampaikan oleh Komisi APBN kepada DPR dalam Rapat Paripurna.

{3) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya harus selesai selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 1 April Tahun Anggaran yang bersangkutan.

Pasal 131.

(1) Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja segara disampaikan oleh Presiden kepada DPR sebelum Tahun Anggaran yang bersangkutan berakhir.

(2) Penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilaksanakan seperti penyelesaian Anggaran induknya dengan menempuh prosedur sesingkat-singkatnya dan selesai selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Pemerintah menyampaikan penjelasan mengenai Rancangan Undang-undang tersebut kepada DPR.

Pasal 132.

( 1) Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara oleh Komisi-komisi dalam Rapat Kerja dengan Pemerintah hendaknya dilakukan dalam Masa Sidang pertama pada tiap Tahun Sidang.

(2) Hasil Rapat Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disampaikan dalam rapat antara Pimpinan Komisi-komisi dengan Komisi APBN.

( 3) Rapat Kerja penyelesaian terakhir pembicaraan pendahuluan dilakukan oleh Komisi APBN dengan Pemerintah.

Pasal 133.

(1) Laporan Setengah Tahunan hendaknya diajukan oleh Pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah pertengahan pertama Tahun Anggaran yang bersangkutan berakhir.

(2) Komisi APBN mengadakan pembahasan terhadap Laporan Setengah Tahunan tersebut.

Pasal 134

Komisi APBN mengadakan Rapat Kerja dengan Pemerintah untuk membahas perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan dalam triwulan ketiga setiap Tahun Anggaran.

Pasal 135.

(1) Komisi APBN membahas Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran dan memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna.

(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menurut prosedur seperti yang berlaku bagi penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB XV.

TATA CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Ketentuan Umum

Pasal 136.

( 1) Pengambilan keputusan adalah proses penyelesaian terakhir suatu masalah yang dibicarakan dalam rapat DPR.

(2) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada azasnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat,

(3) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak mungkin lagi, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 137.

(1) Semua jenis rapat DPR dapat mengambil keputusan.

(2) Keputusan rapat DPR berupa menyetujui atau menolak.

Pasal 138.

(1) Setiap rapat DPR untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan mufakat memerlukan quorum sebagaimana dimaksud dalam pasal 140, dan untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak memerlukan quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal 143.

(2) Apabila quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak tercapai, maka rapat ditunda paling banyak dua kali dengan tenggang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.

(3) Apabila setelah dua kali penundaan, quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum juga tercapai, maka:

  1. jika terjadi dalam Rapat Paripurna, permasalahannya menjadi batal,
  2. jika terjadi dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi, Panitia Khusus, BURT dan BKSAP, cara pemecahannya diserahkan kepada Badan
Musyawarah, dan
  1. jika terjadi dalam Rapat Badan Musyawarah, cara pemecahannya diserahkan kepada Pimpinan Badan Musyawarah dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi-fraksi.

Pasal 139.

Setiap keputusan rapat DPR baik berdasarkan mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak mengikat semua pihak yang bersangkutan.

Keputusan Berdasarkan Mufakat

Pasal 140.

Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, bilamana diambil dalam rapat yang daftar hadirnya tel ah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota Rapat dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

Pasal 141

( 1) Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada para Anggota diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, yang kemudian dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan.

(2) Untuk dapat mencapai keputusan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Ketua Rapat atau Panitia yang ditunjuk untuk itu menyiapkan rancangan keputusan yang mencerminkan pendapat dalam rapat.

Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak

Pasal 142.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil, apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin dicapai, karena adanya pendirian dari sebagian Anggota Rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian pihak lain dalam rapat atau karena waktu yang sudah sangat mendesak.

Pasal 143.

(1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila :

  1. diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Anggota sidang (quorum);
  2. disetujui oleh lebih dari separuh jumlah Anggota yang hadir yang
memenuhi quorum;
  1. didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) Fraksi.

(2) Pemberian suara untuk menyatakan setuju, menolak atau tidak menyatakan pilihan (abstain) dilakukan oleh para Anggota Rapat yang hadir dengan cara lisan, mengangkat tangan, berdiri atau tertulis.

(3) Pemungutan suara dilakukan dengan mengadakan penghitungan secara langsung pada masing-masing Anggota, Fraksi demi Fraksi, kecuali dalam hal pemungutan suara secara rahasia.

Pasal 144.

(1) Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai keputusan berdasarkan suara terbanyak dengan satu kali pemungutan suara, maka Ketua Rapat mengusahakan agar dapat diambil keputusan terakhir mengenai masalah tersebut secara keseluruhan.

(2) Apabila dalam mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak ternyata jumlah suara setuju sama besar dengan jumlah suara menolak, maka pemungutan suara ulangan ditangguhkan sampai rapat berikutnya dengan tenggang waktu paling sedikit 24 {dua puluh empat) jam.

(3) Apabila dalam mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak baik jumlah suara setuju maupun jumlah suara menolak tidak mencapai ketentuan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c pasal 143, maka pemungutan suara ulangan ditangguhkan sampai rapat berikutnya dengan tenggang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.

(4) Apabila dalam rapat penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) pasal ini ternyata belum juga dapat dicapai keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka masalah yang bersangkutan dinyatakan gugur.

Pasal 145.

(1) Pemungutan suara tentang orang dan atau masalah yang dipandang penting oleh rapat, dapat dilakukan secara rahasia.

(2) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan cara:

  1. tertulis,
  2. tanpa menyebut nama dan Fraksi pemberi suara, dan
  3. tanpa ditanda tangani.

(3) Apabila pemungutan suara secara rahasia menghasilkan jumlah suara setuju yang sama besar dengan jumlah suara menolak, atau jumlah suara setuju maupun jumlah suara menolak tidak mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal 143, maka pemungutan suara diulangi sekali lagi dalam rapat yang sama, dan apabila pemungutan suara ulangan masih menghasilkan hal yang sama, maka orang dan atau masalah yang bersangkutan dinyatakan ditolak.

BAB XVI

SEKRETARIAT DPR

Kedudukan

Pasal 146.

Sekretariat DPR adalah bagian dari perangkat Pemerintah yang bertugas tetap pada DPR dan berkedudukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara.

Susunan

Pasal 147.

(1) Sekretariat DPR dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal, yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR.

(2) Sekretaris Jenderal DPR dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 148.

(1) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal DPR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas pertimbangan DPR.

(2) DPR dapat mengajukan usul kepada Presiden mengenai pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal DPR.

Pasal 149.

Struktur organisasi dan tata kerja Sekretariat DPR ditetapkan oleh Pimpinan DPR setelah mendengar pertimbangan BURT dengan mengindahkan peraturan perundangan yang berlaku.

Tugas

Pasal 150.

Tugas Sekretariat DPR adalah :

  1. melayani segala kebutuhan DPR, agar DPR dapat melaksanakan

wewenang dan tugasnya dengan sebaik-baiknya:

b. membantu Pimpinan DPR menyiapkan penyusunan Rancangan Anggaran Belanja DPR, dengan ketentuan :

(a) hasil penyusunan Rancangan Anggaran Belanja DPR tersebut, sebelum disampaikan kepada Pimpinan DPR, terlebih dahulu disampaikan kepada BURT untuk diadakan penelitian dan penyempurnaan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sub (b) pasal 60,

(b) dalam proses penyelesaian Rancangan Anggaran Belanja DPR selanjutnya Sekretariat DPR harus senantiasa berkonsultasi dengan BURT, sebagai pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sub [c] pasal 60.

(c) melaksanakan tugas lain yang dibebankan oleh Pimpinan DPR kepadanya,

(d) melaporkan secara tertulis pelaksanaan tugasnya selama Masa Persidangan yang lalu kepada Pimpinan DPR pada setiap permulaan Masa Persidangan, dengan memberikan tembusan kepada Anggota Badan Musyawarah dan Anggota BURT;

c. melaksanakan hal-hal lain yang ditentukan oleh peraturan perundangan.

Pasal 151.

Sekretaris Jenderal DPR, dengan persetujuan DPR, dapat menjadi anggota organisasi internasional yang menghimpun para Sekretaris Jenderal Parlemen, dan memberikan laporan tertulis serta pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatannya dalam organisasi tersebut kepada Pimpinan DPR, dengan memberikan tembusan kepada Badan Musyawarah.

BAB XVII.

SURAT MASUK DAN SURAT KELUAR

Ketentuan Umum

Pasal 152.

Tata cara pencatatan surat masuk dan surat keluar serta penanganan selanjutnya diatur oleh Sekretaris jenderal DPR.

Surat Masuk

Pasal 153.

(1) Semua surat yang dialamatkan kepada DPR diterima oleh Sekretariat DPR dan segera dicatat serta diberi nomor agenda.

(2) Semua surat masuk, kecuali yang menyangkut tugas intern Sekretariat DPR, segera dijawab oleh Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan DPR, yang memberitahukan kepada pengirim bahwa suratnya telah diterima, dan apabila dipandang perlu dengan diberi keterangan bahwa masalahnya sedang dalam proses pengolahan.

Pasal 154.

(1) Semua surat masuk beserta tembusan surat jawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 153, disampaikan oleh Sekretaris Jenderal kepada Pimpinan DPR.

(2) Pimpinan DPR menentukan apakah surat masuk tersebut akan ditanganinya sendiri, atau diteruskan kepada alat kelengkapan DPR lainnya dan atau Pimpinan Fraksi, sesuai dengan permasalahannya.

(3) Apabila Pimpinan DPR memandang perlu, surat masuk dapat diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

Pasal 155.

(1) Sekretariat alat kelengkapan DPR setelah menerima surat-surat dari Pimpinan DPR, membuat daftar penerimaan surat, yang memuat dengan singkat pokok-pokok isi surat, dan segera disampaikan kepada Pimpinan alat kelengkapan DPR yang bersangkutan.

(2) Pimpinan alat kelengkapan DPR dalam Rapat Pimpinan membicarakan isi surat-surat masuk itu serta cara penyelesaian selanjutnya.

(3) Apabila Pimpinan alat kelengkapan DPR memandang perlu, surat masuk dapat diperbanyak oleh Sekretariat yang bersangkutan dan dibagikan kepada para Anggota untuk dibicarakan dalam rapat alat kelengkapan yang bersangkutan, serta di tetapkan cara penyelesaian selanjutnya.

Surat Keluar

Pasal 156.

(1) Konsep surat jawaban tanggapan terhadap surat dan atau masuk yang dibuat oleh alat kelengkapan DPR, disampaikan kepada

Pimpinan DPR melalui Sekretaris Jenderal.

(2) Apabila isi surat jawaban yang dibuat oleh alat kelengkapan DPR disetujui oleh Pimpinan DPR, maka surat jawaban tersebut segera dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan,

(3) Apabila isi surat jawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak disetujui oleh pimpinan DPR, maka masalahnya dibicarakan dengan Pimpinan alat kelengkapan DPR yang bersangkutan,

(4) Apabila pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini tidak menghasilkan kesepakatan, maka masalahnya diajukan kepada Badan Musyawarah untuk ditentukan penyelesaian selanjutnya.

Pasal 157.

(1) Semua surat keluar ditandatangani oleh salah seorang Anggota Pimpinan DPR atau Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur lebih lanjut oleh Pimpinan DPR.

Pasal 158.

(1) Pengiriman suar keluar dilakukan oleh Sekretariat DPR.

(2) Sebelum dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan semua surat keluar dicatat dan diberi nomor agenda.

(3) Sekretariat DPR menyampaikan tembusan surat keluar kepada alat kelengkapan DPR yang bersangkutan dan kepada pihak yang dipandang perlu.

(4) Apabila Pimpinan DPR memandang perlu, surat keluar dapat diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

Arsip Surat

Pasal 159.

Tata cara penyusunan arsip surat masuk dan surat keluar diatur oleh Sekretaris Jenderal DPR.

BAB XVIII.

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 160.

(1) Usul perubahan dan tambahan mengenai Peraturan Tata Tertib ini hanya dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari 1 (satu) Fraksi.

(2) Usul perubahan dan atau tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disertai penjelasan, ditandangani oleh para Pengusul dan disampaikan kepada Pimpinan DPR serta Anggota DPR.

Pasal 161.

(1) Usul perubahan dan atau tarnbahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Badan Musyawarah untuk dibahas dan diambil kesimpulan.

(2) Oleh Pimpinan DPR usul perubahan dan atau tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160, dengan disertai kesimpulan Badan Musyawarah, diajukan kepada Rapat Paripurna untuk diambil keputusan.

Pasal 162.

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Tata Tertib diputuskan oleh DPR atas usul Badan Musyawarah.


——————————

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

No. 18/DPR-RI/IV/77-78

tentang

PEMBENTUKAN KOMISI-KOMISI DALAM

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

SERTA

PENENTUAN RUANG LINGKUP TUGAS

MASING-MASING KOMISI.

—————

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLlK INDONESIA

Dalam Rapat Paripuma ke-26 pada tanggal 29 Juni 1978,

Menimbang:

Bahwa untuk melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dipandang perlu untuk segera membentuk Komisi-komisi dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta menentukan ruang lingkup tugas masing-masing Komisi.

Mengingat:

  1. Undang-undang No. 15 tahun 1969 tentang Pernilihan Umum, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 4 tahun 1975, dan Undang-undang No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 tahun 1975;
  2. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 4/DPR-RI/11/77-78 tentang Pembentukan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan segala perubahan dan tambahannya;
  3. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 2/DPR-RI/Il/77- 78 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Memperhatikan:

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada tanggal 29 Juni 1978.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI-KOMISI DALAM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SERTA PENENTUAN RUANG LINGKUP TUGAS MASING-MASING KOMISI.

Pertama:

Di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dibentuk 11 (sebelas) Komisi dengan ruang lingkup tugas masing-masing sebagai berikut:

1. Komisi I :

Dewan Pertimbangan Agung,
Departemen Luar Negeri,
Departemen Pertahanan dan Keamanan,
Departernen Penerangan,
Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional,
Badan Koordinasi Intelijen Negara, dan Lembaga Sandi Negara;

2. Komisi II :

Departemen Dalam Negeri,
Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara,
Menteri/Sekretaris Negara,
Badan Administrasi Kepegawaian Negara,
Lembaga Administrasi Negara, dan Arsip Nasional;

3. Komisi III :

Mahkamah Agung,
Departemen Kehakiman, dan
Kejaksaan Agung;

4. Komisi IV :

Departemen Pertanian,
Menteri Muda Urusan Produksi Pangan,
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Muda Urusan Transmigrasi;

5. Komisi V :

Departemen Perhubungan,
Departemen Pekerjaan Umum,
Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat, Dewan Telekomunikasi, dan Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia;

6. Komisi VI :

Departemen Perindustrian,
Departemen Pertambangan dan Energi, dan
Badan Kordinasi Penanaman Modal;

7. Komisi VII :

Departemen Keuangan,
Departemen Perdagangan dan Koperasi,
Menteri Muda Urusan Koperasi,
Bank Indonesia, dan
Badan Urusan Logistik;

8. Komisi VIII:

Departemen Kesehatan,
Departemen Sosial, dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional;

9. Komisi IX :

Departemen Agama,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Menteri Muda Urusan Pemuda;

10. Komisi X :

Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup,
Menteri Negara Riset dan Teknologi,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Badan Tenaga Atom Nasional,
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, dan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; 11. Komisi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara): Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga-lembaga Tinggi Negara, Semua Departernen, dan Semua Lembaga Pemerintah Non Departemen, sepanjang bersangkutan dengan Anggaran Pcndapatan dan Belanja Negara.

Kedua:

Beberapa Komisi yang merupakan Gabungan Komisi, mempunvai ruang lingkup tugas sebagai berikut : 1. Komisi I, Komisi II, dan Komisi III : Menteri Kordinator Bidang Politik dan Keamanan;

2. Komisi IV, Kornisi V, Komisi VI, Kornisi VII, dan Komisi APBN : Menteri Kordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri;

3. Komisi VIII, Komisi IX, dan Komisi X : Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita.

Ketiga:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 1978.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 29 Juni 1978.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

ttd.

DARYATMO

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

NO. 14/DPR-RI/IV/78-79

TENTANG

PENYEMPURNAAN PERATURAN

TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

dalam Rapat Paripurna ke-38 pada

tanggal 28 Juni 1979

Menimbang:

  1. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia perlu memiliki suatu Peraturan Tata Tertib dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal yang bersifat tetap, yang akan mengatur tatacara untuk menghayati kedudukan, susunan, wewenang, tugas, hak dan tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beserta alat-alat kelengkapannya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Bahwa dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berlaku sekarang ini masih terdapat pasal-pasal yang bersifat sementara, sehingga perlu disempumakan agar menjadi ketentuan yang bersifat tetap;
  3. Bahwa dalam Peraturan Tata Tertib yang berlaku sekarang ini terdapat pula ketentuan-ketentuan yang perlu disesuaikan dengan hasil penyempurnaan terhadap pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada angka 2.

Mengingat:

  1. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 4/DPR-RI/11/77-78 tentang Pembentukan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dengan segala perubahan dan tambahannya;
  2. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RI/IV/77-78 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Memperhatikan:

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripuma pada tanggal 28 Juni 1979.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN DEWAN PERVAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYEMPURNAAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.

Pertama:

Menyempurnakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 8 huruf f, 10 ayat (1), 12 ayat (3), 14 ayat (1), 15 ayat (1), 20 ayat (2), 24 ayat (1), 28 ayat (3), 44 ayat (3) dan (4), 76 ayat (1) huruf c, 123, 124, 125, 143 ayat (1) dan 160 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang termuat dalam lampiran Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RT/IV/7778, sehingga menjadi ketentuan yang bersifat tetap, dan ketentuan-ketentuan tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8.

f. hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 10.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dapat mengajukan usul kepada DPR untuk meminta keterangan kepada Presiden tcntang suatu kebijaksanaan Pemerintah.

Pasal 12.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul perrninraan keterangan yang belum memasuki pembicaraan Rapat Paripuma sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 11 ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 14.

(1) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, DPR dapat menyatakan pendapatnya terhadap jawaban Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 13.

Pasal 15.

(1) Sejumlah Anggota DPR sesuai dengan ketentuan Undang-undang, yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal.

Pasal 20.

(2) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh Iima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat dibicarakan dalam Rapat DPR kecuali apabila DPR menentukan lain.

Pasal 24.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan usul pemyataan pendapat, baik yang berhubungan dengan soal yang sedang dibicarakan maupun mengenai soal lain.

Pasal 28.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul pernyataan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh Iima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 44.

(3) Calon Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR diusulkan oleh para Anggota dalam satu paket.

(4) Setiap usul paket sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal

ini harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR.

Pasal 76.

(1) c. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah.

Pasal 123.

(1) Usul Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh para Anggota DPR berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya disebut usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif harus disertai penjeiasan tertulis dan ditanda-tangani oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

(2) Tiap-tiap pengajuan usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan kepada Pimpinan DPR dengan surat pengantar dan daftar tandatangan para Pengusul serta nama Fraksinya.

(3) Dalam Rapat Paripuma berikutnya Pimpinan DPR memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya usul Rancangan Undangundang Usul Inisiatif.

(4) Usul Rancangan Undang-undang Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibagikan kepada para Anggota.

(5) Dalam Rapat Badan Musyawarah kepada Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan daripada usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

Kemudian kepada para Anggota Badan Musyawarah diberi kesempatan untuk mengadakan tanyajawab dengan Pengusul.

(6) Rapat Paripurna memutuskan apakah usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR atau tidak.

Keputusan tersebut diambil setelah kepada Pengusul diberi kesempatan memberi penjelasan dan kepada Fraksi-fraksi memberikan pendapatnya.

(7) Apabila usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini telah diputuskan menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, maka DPR menugaskan kepada Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus yang dibentuk untuk membahas dan menyelesaikan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

(8) Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) pasal ini, disampaikan oieh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut bersama-sama DPR.

(9) Terhadap pembahasan dan penyelesaian selanjutnya, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119 dengan memperhatikan ketentuan yang khusus berlaku untuk Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 124.

(1) Selama suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum dibicarakan dalam Badan Musyawarah, para Pengusul berhak mengajukan perubahan-perubahan.

(2) Selama suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum diputuskan menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, para Pengusul berhak menariknya kembali.

(3) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR, yang kemudian membagikannya kepada para Anggota.

Pasal 125.

Apabila sebelum pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) pasal 123, jumlah penandatangan suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 143.

(1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah, apabila:

a. diambil dalam rapat yang daftar hadirnya telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Rapat (korum),
b. disetujui oleh lebih dari separoh korum,

c. didukung oleh tidak hanya satu Fraksi.

Pasal 160.

(1) Usul perubahan dan tambahan mengenai Peraturan Tata Tertib ini hanya dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima] orang Anggota DPR.

Kedua:

Menyesuaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 9 ayat (1), 111 ayat (2), 116, 117 dan 118 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang termuat dalam lampiran Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RI/IV/77-.78, dengan hasil penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama, sehingga menjadi ketentuan yang bersifat tetap, dan ketentuan-ketentuan tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9.

(1) Selain hak-hak DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Anggota DPR mempunyai:

a. hak mengajukan pertanyaan;

b. hak protokoler dan hak keuangan/administratif.

Pasal 111

(2) Rancangan Undang-undang dapat berasal dari Pemerintah atau berupa Usul Inisiatif dari DPR.

Pasal 116.

Pembicaraan tingkat I ialah:

Keterangan atau penjelasan dalam Rapat Paripurna:

a. oleh Pemerintah terhadap Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah;

b. oleh Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus atas nama DPR terhadap Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 117.

Pembicaraan tingkat II ialah :

1. a. Pemandangan Umum dalam Rapat Paripurna oleh para Anggota DPR yang membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Undang-undang beserta Keterangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 huruf a;

b. Tanggapan Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif beserta penjelasan Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 huruf b.

2. a. Jawaban Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Pemandangan Umum para Anggota sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a;

b. Jawaban Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus atas nama DPR terhadap tanggapan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b.

Pasal 118.

Pembicaraan tingkat III ialah :

a. Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus,yang dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah;

b. Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus, yang dilakukan secara intern apabila dipandang perlu tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Ketiga:

Menyatakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 56 dan BAB XIV Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang termuat dalam lampiran Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17 /DPR-RI./IV /77- 78, menjadi ketentuan yang bersifat tetap.

Keempat :

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah sebagaimana yang tennuat dalam lampiran yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Keputusan ini. Kelima:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta.

Pada tanggal : 28 Juni 1979.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

ttd.

DARYATMO

PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

(Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

No.14/DPR-RI/IV/78-79 tanggal 28 Juni 1979).

BAB I.

KETENTUAN UMUM

Pasal 1.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Peraturan Tata Tertib ini, yang selanjutnya disebut dengan singkatan DPR ialah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang keanggotaannya diresmikan pada tanggal 1 Oktober 1977.

(2) DPR melaksanakan tugasnya berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 clan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(3) Anggota DPR adalah wakil rakyat yang telah mengangkat sumpah/janji sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat.

BAB II.

KEDUDUKAN, SUSUNAN, WEWENANG

DAN TUGAS DPR.

Kedudukan

Pasal 2.

DPR adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.III/MPR/1978 dan merupakan suatu wahana untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila.

Susunan

Pasal 3.

(1) DPR beranggotakan 460 (empat ratus enam puluh) orang, terdiri atas anggota Golongan Politik dan Golongan Karya, yang mengelompokkan diri dalam Fraksi-fraksi·

(2) DPR terdiri atas Fraksi-fraksi, Pimpinan DPR, Badan Musyawarah, Komisi-komisi, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerjasama Antar Parlemen dan Panitia-panitia Khusus.

(3) DPR mempunyai sebuah Sekretariat sebagai unsur pelayanan.

Wewenang dan Tugas

Pasal 4.

(1) Wewenang dan tugas DPR adalah :

a. bersama-sama dengan Presiden membentuk Undang-undang;

b. bersama-sama dengan Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. melakukan pengawasan atas :

(a) pelaksanaan Undang-undang,

(b) pelaksanaan Aggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pengelolaan keuangan Negara, dan

(c) kebijaksanaan Pemerintah. sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;.

d. membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;

e. membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan Negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

f. melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada DPR.

(2) Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang dan tugasnya, DPR dapat mengadakan konsultasi dan kordinasi dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya.

BAB III.

KEANGGOTAAN DPR

Pasal 5.

Anggota DPR harus tetap memenuhi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 6.

Anggota DPR berhenti bersama-sama pada saat Anggota DPR hasil Pemilihan Umum berikutnya mengangkat sumpah/janji.

Pasal 7.

(1) Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPR;
c. tidak memenuhi lagi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 5;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai Anggota DPR;
e. diganti oleh Organisasi/Golongan yang bersangkutan, setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan DPR;
f. merangkap jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua dan Hakim-hakim Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan lain yang tidak mungkin dirangkap, yang diatur dalam peraturan perundangan.

(2) Anggota yang berhenti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tempatnya diisi oleh:

a. calon dari Organisasi/Golongan yang bersangkutan;
b. calon dari Pejabat, baik atas usul Instansi/Organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Pejabat itu,

(3) Pemberhentian dan pengangkatan antar waktu Anggota DPR, diresmikan dengan Keputusan Presiden.

BAB IV.

HAK DPR DAN HAK ANGGOTA DPR

Pasal 8.

Untuk melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 4, DPR mempunyai:

a. hak meminta keterangan (interpelasi);
b. hak mengadakan penyelidikan (angket);
c. hak mengadakan perubahan (amandemen);
d. hak mengajukan pernyataan pendapat;
e. hak mengajukan/menganjurkan seseorang, jika ditentukan oleh suatu peraturan perundangan;

f. hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 9.

(1) Selain hak-hak DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Anggota DPR mempunyai:

  1. hak mengajukan pertanyaan:
  2. hak protokoler dan hak keuangan/administratif.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di muka Pengadilan karena pernyataannya dalam rapat-rapat DPR, baik terbuka maupun tertutup yang diajukan secara lisan atau tertulis, kecuali jika mereka mengumumkan hal-hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 87, atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.

(3)

  1. Tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR harus sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR.
  2. Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian ialah:

(a) pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;

(b) meminta keterangan tentang tindak pidana;

(c) penangkapan;

(d) penahanan;

(e) penggeledahan;

(f) penyitaan.

c. Dalam pelaksanaan tindakan kepolisian harus diperhatikan kedudukan protokoler Anggota DPR sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Meminta Keterangan (Interpelasi)

Pasal 10.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR dapat mengajukan usul kepada DPR untuk meminta keterangan kepada Presiden tentang suatu kebijaksanaan Pemerintah.

(2) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini disusun secara singkat, jelas dan ditandatangani oleh para Pengusul, kemudian disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 11.

(1) Dalam Rapat Paripurna berikutnya Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota DPR tentang masuknya usul permintaan keterangan kepada Presiden. Usul tersebut kemudian dibagikan kepada para Anggota.

(2) Dalam Rapat Badan Musyawarah yang diadakan untuk menentukan waktu bilamana usul permintaan keterangan itu dibicarakan dalam Rapat Paripurna, kepada para Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usul tersebut.

(3) Dalam suatu Rapat Paripurna para Pengusul memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan usul permintaan keterangan itu. Keputusan apakah usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui atau ditolak untuk menjadi permintaan keterangan DPR, ditetapkan dalam Rapat Paripuma itu atau dalam Rapat Paripuma yang lain.

Pasal 12.

(1) Selama suatu usul permintaan keterangan belum diputuskan menjadi permintaan keterangan DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan harus ditandatangani tentang perubahan atau penarikan kembali oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR, yang kemudian membagikannya kepada para Anggota.

(3) Anggota jurnlah penandatangan suatu usul permintaan keterangan yang belum memasuki pembicaraan Rapat Paripuma sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 11 ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 13.

(1) Apabila usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui sebagai permintaan keterangan DPR, maka Pimpinan DPR mengirimkannya kepada Presiden dan mengundang Presiden untuk memberikan keterangan.

(2) Mengenai keterangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diadakan pembicaraan dengan memberikan kesempatan kepada Pengusul maupun Anggota lainnya untuk mengemukakan pendapatnya.

(3) Atas pendapat para Pengusul dan atau Anggota lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, Presiden mernberikan jawabannya.

Pasal 14.

(1) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, DPR dapat menyatakan pendapatnya terhadap jawaban Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 13.

(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat diajukan usul pernyataan pendapat, yang diselesaikan menurut ketentuan yang dimaksud dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Jika sampai waktu penutupan Masa Sidang yang bersangkutan ternyata tidak ada usul pernyataan pendapat yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka pembicaraan mengenai permintaan keterangan kepada Presiden tersebut dinyatakan selesai dalam Rapat Paripurna penurupan Masa Sidang yang bersangkutan.

Mengadakan Penyelidikan (Angket)

Pasal 15.

(1) Sejumlah Anggota DPR sesuai dengan ketentuan Undang-undang, yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal.

(2) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, harus dinyatakan dalam suatu perumusan yang memuat isi yang jelas tentang hal harus diselidiki dengan disertai penjelasan dan rancangan jumlah biaya.

(3) Usul itu setelah ditandatangani oleh para Pengusul disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 16.

Usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 beserta penjelasan-penjelasan dan rancangan biaya, dibagikan kepada para Anggota dan dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 17.

Badan Musyawarah menetapkan waktu bagi Fraksi-fraksi untuk mempelajari usul tersebut, dan waktu pembicaraannya dalam Rapat Paripurna.

Pasal 18.

(1) Selama suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal belum disetujui oleh DPR, para Pengusul berhak untuk mengadakan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota dan mengirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai sesuatu hal yang belum dibicarakan dalam Rapat Paripurna, ternyata menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 15, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya mencukupi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul itu menjadi gugur.

Pasal 19.

(1) Apabila DPR mernutuskan menyetujui usul mengadakan penyelidikan, DPR membentuk suatu Panitia Khusus Penyelidikan yang beranggotakan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang.

(2) Keputusan DPR untuk mengadakan penyelidikan menentukan juga masa kerja dan biaya Panitia Khusus Penyelidikan.

(3) Atas permintaan Panitia Khusus Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, masa kerjanya dapat diperpanjang atau diperpendek oleh DPR.

Pasal 20.

(1) Panitia Khusus Penyelidikan harus memberikan Iaporan tertulis berkala sekurang-kurangnya sebulan sekali kepada Pimpinan DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota DPR dan dikirimkan kepada Presiden.

(2) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, laporan berkala sebagairnana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat dibicarakan dalam Rapat DPR kecuali apabila DPR menentukan lain.

Pasal 21.

(1) Setelah selesai dengan pekerjaannya, Panitia Khusus Penyelidikan memberikan laporan tertulis kepada DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota dan kemudian dibicarakan dalam Rapat Paripurna untuk mengambil keputusan akhir, kecuali kalau Rapat Paripurna itu menentukan lain.

(2) Keputusan akhir atas laporan Panitia Khusus Penyelidikan tersebut disampaikan kepada Presiden.

(3) Panitia Khusus Penyelidikan dibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Mengadakan Perubahan (Amandemen)

Pasal 22.

(1) Para Anggota DPR dapat mengajukan usu! perubahan atas usul suatu Rancangan Undang-undang.

(2) Pokok-pokok usul perubahan dikemukakan dalam Pemandangan Umum pada pembicaraan tingkat II.

(3) Usul perubahan disampaikan oleh Anggota dalam pembicaraan tingkat III, untuk dibahas dan diambil keputusan.

Pasal 23.

Pembahasan perubahan dalam Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Jika terpaksa diambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka yang dilakukan pemungutan suara adalah terhadap rumusan baru hasil pendekatan dalam musyawarah.

Mengajukan Pernyataan Pendapat

Pasal 24.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan usul pernyataan pendapat, baik yang berhubungan dengan soal yang sedang dibicarakan maupun mengenai soal lain.

(2) Usul pemyataan pendapat tersebut serta penjelasannya disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR.

(3) Dalam Rapat Paripurna yang berikut Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya usul tersebut.

Pasal 25.

Usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dibagikan kepada para Anggota dan dikirirnkan kepada Presiden.

Pasal 26.

(1) Pembahasan dan penyelesaian usul pernyataan pendapat dilakukan dalam 4 (empat) tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115.

(2) Badan Musyawarah menetapkan waktu untuk membicarakan usul pemyataan pendapat tersebut dalam Rapat Paripurna.

(3) Dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang merupakan pembicaraan tingkat I, para Pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan dengan lisan atas usul pernyataan pendapat tersebut.

(4) Dalam pernbicaraan tingkat II, terhadap usul dan penjelasan para Pengusul, kepada Anggota lain diberi kesempatan untuk memberikan pemandangannya dan kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya. Para Pengusul dapat memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota serta pendapat Presiden tersebut.

(5) Jika Rapat Paripurna memandang perlu, maka dapat diberikan kesernpatan satu kali lagi kepada Anggota untuk memberikan pemandangannya, kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya dan kepada Pengusul untuk memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota dan pendapat Presiden tersebut.

(6) Setelah pembicaraann sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan (5) pasal ini selesai, maka Rapat Paripurna menentukan tindak lanjut penyelesaiannya.

Pasal 27.

(1) Apabila Rapat Paripurna memandang perlu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai usul pernyataan pendapat tersebut dapat dilakukan dalam pembicaraan tingkat III.

(2) Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat diadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dan atau Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) dengan pihak yang dipandang perlu, termasuk Pengusul.

Pasal 28.

(1) Selama suatu usul pernyataan pendapat belum disetujui oleh

DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya

kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota, dan mengirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul pernyataan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh Iima) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 29.

Setelah pembicaraan tingkat III selesai, maka pembicaraan diakhiri dengan tingkat IV, dimana DPR mengambil keputusan untuk menyetujui atau menolak usul pernyataan pendapat tersebut.

Pasa1 30.

(1) Apabila DPR memutuskan bahwa Presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan pernyataan pendapat untuk mengingatkan Presiden (memorandum).

(2) Tata cara pengajuan usul pemyataan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini serta penyelesaiannya, mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Pelaksanaan selanjutnya daripada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disesuaikan dengan peraturan perundangan yang beriaku.

Mengajukan/Menganjurkan Seseorang, Jika Ditentukan Oleh Suatu Peraturan Perundangan

Pasal 31.

(1) Apabila suatu peraturan perundangan menentukan agar DPR mengajukan/menganjurkan calon untuk mengisi suatu jabatan, maka Rapat Paripurna menugaskan Badan Musyawarah untuk membicarakan dan kernudian memberikan pertimbangannya.

(2) Calon yang diajukan/dianjurkan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (l) pasal ini, sekurang-kurangnya berjumlah 2 (dua) kali dari jabatan yang akan diisi, kecuali apabila peraturan perundangan menentukan lain.

(3) Rapat Paripuma menetapkan calon dengan memperhatikan pertimbangan Badan Musyawarah.

Pasal 32.

Calon yang telah ditetapkan oleh DPR, disampaikan secara tertulis kepada Presiden.

Mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 33.

Pelaksanaan hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan penyelesaian selanjutnya diatur sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII.

Mengajukan pertanyaan

Pasal 34.

(1) Siap Anggota DPR secara perseorangan maupun bersama-sama dapat mengajukan pertanyaan kepada Presiden.

(2) Pertanyaan itu harus tertulis, disusun singkat serta jelas dan disampaikan kepada Pimpinan DPR.

(3) Apabila dipandang perlu, Penanya, Pimpinan Fraksinya dan atau Pimpinan DPR dapat memberi/merninta penjelasan tentang pertanyaan tersebut.

(4) Pimpinan DPR setelah meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden dengan disertai permintaan agar supaya mendapat jawaban dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, membagikan pertanyaan tersebut kepada para Anggota.

(5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan itu tidak dapat diumumkan.

Pasal 35.

(1) Apabila jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 disampaikan oleh Presiden dengan tertulis, maka tidak diadakan pembicaraan dengan lisan.

(2) Penanya dapat meminta supaya pertanyaan tersebut dijawab dengan lisan.

(3) Apabila Presiden menjawab dengan lisan, maka Penanya dalam rapat yang ditentukan untuk itu dapat mengemukakan lagi dengan singkat penjelasan tentang pertanyaannya supaya Presiden dapat memberikan keterangan yang lebih luas tentang soal yang terkandung di dalam pertanyaan itu.

Kedudukan protokoler dan hak keuangan/administratif.

Pasal 36.

Kedudukan protokoler dan hak keuangan/administratif bagi Pimpinan dan Anggota DPR diatur sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

BAB V.

FRAKSI

Kedudukan

Pasal 37.

Fraksi adalah pengelompokan Anggota DPR, yang terdiri atas kekuatan-kekuatan sosial dan politik, dan mencerminkan susunan golongan dalam masyarakat.

Susunan.

Pasal 38.

(1) DPR yang terdiri dari unsur Golongan Politik dan Golongan Karya sesuai dengan Undang-undang No. 16 tahun 1969 juncto Undang-undang No. 5 tahun 1975, membentuk 4 (empat) Fraksi, ialah:

Fraksi ABRI,
Fraksi Karya Pembangunan,
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, dan
Fraksi Persatuan Pembangunan, disingkat Fraksi Persatuan.

(2) Setiap Anggota DPR harus menjadi Anggota salah satu Fraksi.

Tugas.

Pasal 39.

(1) Fraksi bertugas menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan masing-masing Fraksi.

(2) Fraksi bertugas meningkatkan kemampuan, efektifitas dan efisiensi kerja para Anggota dalam melaksanakan tugasnya, yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.

(3) Guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi, DPR menyediakan sarana yang memadai, dan anggaran menurut perimbangan jumlah Anggota masing-masing Fraksi.

BAB VI.

PIMPINAN DPR

Kedudukan

Pasal 40.

(1) Pimpinan DPR adalah alat kelengkapan DPR dan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR.

Susunan.

Pasal 41.

Pimpinan DPR terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua.

Tugas.

Pasal 42.

(1) Tugas Pimpinan DPR adalah:

a. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR serta mengumumkannya kepada Rapat Paripuma;
b. menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Badan Urusan Rumah Tangga dan Sekretariat DPR;
c. memimpin rapat DPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib ini serta menyimpulkan persoalan yang dibicarakan dalam rapat;
d. melaksanakan keputusan rapat DPR sepanjang menjadi kewajibannya;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden setiap waktu diperlukan;
f. menghadiri rapat alat kelengkapan DPR yang dianggap perlu;
g. mengadakan Rapat Pimpinan DPR sedikit-dikitnya sekali sebulan, antara lain dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas Sekretariat DPR.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Pimpinan DPR bertanggungjawab kepada DPR.

Pasal 43.

(1) Ketua dan Wakil-Wakil Ketua bertugas penuh di DPR.

(2) Apabila Ketua berhalangan, maka kewajibannya dilaksanakan oleh Wakil-Wakil Ketua.

(3) Dalam hal memimpin suatu rapat, apabila Ketua dan Wakil-Wakil Ketua berhalangan, maka rapat itu dipimpin oleh Anggota DPR yang tertua usianya di antara yang hadir.

Cara pemilihan.

Pasal 44.

(1) a. Selama Pimpinan DPR belum ditetapkan, musyawarah untuk sementara waktu dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya dan dibantu Anggota yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara Musyawarah.

b. Dalam hal Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini berhalangan, maka sebagai penggantinya adalah Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya diantara yang hadir.

(2) Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh para Anggota DPR.

(3) Calon Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR diusulkan oleh para Anggota dalam satu paket.

(4) Setiap usul paket sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR.

(5) Usul paket tersebut disampaikan kepada Pimpinan Sementara Musyawarah secara tertulis dengan disertai daftar tandatangan para Pengusul.

(6) Kepada para Pengusul diberikan kesempatan untuk mengemukakan penjelasan atas usulnya melalui jurubicara masing-masing.

(7) Pemilihan Pimpinan DPR diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mencapai mufakat, sehingga merupakan keputusan secara bulat.

(8) Apabila setelah diadakan musyawarah tidak dapat dicapai mufa-

kat, sedangkan jumlah penandatangan pada satu usul paket atau pada paket-paket yang sama isinya telah melampaui jumlah suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menetapkan paket dengan pendukung suara terbanyak menjadi keputusan DPR.

(9) Apabila keputusan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) dan ayat (8) pasal ini tidak tercapai, maka pemilihan dilakukan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana diatur dalam Bab XV.

(10) Apabila Pirnpinan DPR sudah terpilih, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menyerahkan pimpinan kepada Pimpinan DPR yang terpilih.

Pasal 45.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua diambil sumpah menurut agamanya masing-masing atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat Paripuma DPR.

(2) Bunyi sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 46.

Apabila terjadi lowongan jabatan Ketua dan atau Wakil Ketua, maka DPR secepatnya mengadakan pemilihan untuk mengisi lowongan tersebut berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Badan Musyawarah dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 40.

BAB VII.

BADAN MUSYAWARAH

Kedudukan

Pasal 47.

Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan.

Pasal 48.

(1) Badan Musyawarah dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(2) Badan Musyawarah beranggotakan 66 (enam puluh enam) orang, dengan perincian:

Fraksi ABRI: 11 (sebelas) orang,

Fraksi Karya Pembangunan: 37 (tiga puiuh tujuh) orang,
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 4 (empat) orang, dan
Fraksi Persatuan Pembangunan: 14 (empat he las) orang.

(3) Badan Musyawarah mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 33 (tiga puluh tiga) orang, dengan perincian:

Fraksi ABRl: 6 (enam) orang,
Fraksi Karya Pembangunan: 18 (delapan belas) orang,
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 2 (dua) orang, dan
Fraksi Persatuan Pembangunan: 7 (tujuh) orang.

(4) Anggota Pengganti Badan Musyawarah menggantikan kedudukan Anggota Badan Musyawarah dari Fraksinya yang berhalangan.

Tugas

Pasal 49

Tugas Badan Musyawarah adalah:

a. menetapkan acara DPR untuk satu Tahun Sidang atau satu Masa Persidangan atau sebagian dari suatu Masa Sidang, dan menetapkan ancar-ancar waktu penyelesaian sesuatu masalah, termasuk jangka waktu penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang, dengan tidak mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya;
b. memberikan pedoman serta pertimbangan kepada Pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR;
c. menetapkan pokok kebijaksanaan kerumahtanggaan DPR;
d. menetapkan pokok kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen;
e. melaksanakan hal-hal yang oleh DPR diserahkan kepada Badan Musyawarah.

Rapat dan pengambilan keputusan

Pasal 50

(1) Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan acara DPR dapat mengundang Ketua alat kelengkapan DPR lainnya atau yang mewakilinya dan atau Anggota DPR yang dipandang perlu oleh Badan Musyawarah; mereka yang diundang itu mempunyai hak bicara.

(2) Apabia dalam Masa Reses ada masalah yang menyangkut wewenang dan tugas DPR dianggap prinsipiil dan perlu segera diambil

keputusan, maka Pimpinan DPR selaku Pimpinan Badan Musyawarah secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat.

(3) Pengambilan keputusan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XV, dan apabila dalam penghitungan suara terdapat Iebih dari satu pendapat yang mempunyai pendukung yang sama jumlahnya, maka Pimpinan Badan Musyawarah memberikan keputusan akhir.

BAB VIII.

KOMISI

Kedudukan

Pasal 51

Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 52

(1) Jumlah Komisi serta ruang lingkup tugas masing-masing ditetapkan oleh DPR dengan surat keputusan tersendiri.

(2) Komisi dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 53

(1) Seriap Anggota DPR, kecuali Anggota Pimpinan DPR, harus menjadi Anggota salah satu Komisi.

(2) Pada tiap permulaan Tahun Sidang, DPR menetapkan komposisi keanggotaan Komisi menurut pertimbangan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi.

(3) Setiap Anggota DPR dapat menghadiri Rapat Komisi tertutup yang bukan Komisinya, dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada Ketua Rapat.

(4) Penggantian antarwaktu Anggota Komisi dapat dilakukan oleh Fraksinya apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Pasal 54

(1) Pimpinan Komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan Komisi terdiri atas seorang Ketua, dan 4 (empat)

orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota Komisi setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan

DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan Komisi diatur sendiri berdasarkan tugas Komisi.

(4) Apabila dalam rapat Pimpinan Komisi ada Anggota Pimpinan yang berhalangan hadir, maka ia dapat digantikan oleh Anggota Fraksinya dalam Komisi yang bersangkutan.

(5) Penggantian antarwaktu Anggota Pimpinan Komisi dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Tugas

Pasal 55

(1) Di bidang perundang-undangan, tugas Komisi adalah: mengadakan pembahasan, persiapan serta penyempurnaan perumusan Rancangan Undang-undang yang termasuk ruang lingkup tugasnya, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Bab XIII.

(2) Di bidang anggaran, tugas Komisi adalah:

a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
b. mengadakan pembahasan dan pengajuan usul penyempurnaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
c. mengadakan pembahasan atas laporan Keuangan Negara dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya;
d. memberikan bahan pemikiran kepada Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tentang hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c ayat ini.

(3) Di bidang pengawasan, tugas Komisi adalah:

a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk ruang lingkup tugasnya; b. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang termasuk ruang lingkup tugasnya;
c. menampung suara rakyat, termasuk surat-surat masuk, mengenai hal yang termasuk ruang lingkup tugasnya.

(4) Untuk melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) pasal ini, Komisi dapat:

a. mengadakan Rapat Kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri;
b. mengadakan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya;
c. mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing), baik atas permintaan Komisi maupun atas permintaan pihak lain;
d. mengadakan Kunjungan Kerja ke tempat atau daerah yang dipandang perlu, yang hasilnya atas keputusan Badan Musyawarah dilaporkan kepada DPR dalam Rapat Paripurna untuk ditentukan tindak lanjutnya;
e. mengikuti dengan seksama serta mengadakan penyelidikan terhadap peristiwa yang menyangkut kepentingan rakyat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri yang termasuk ruang lingkup tugasnya;
f. mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain;
g. mengadakan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) apabila dipandang perlu dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya, yang tidak termasuk ruang lingkup tugas Komisi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 52 atas persetujuan Pimpinan DPR;
h. mengadakan Rapat Gabungan Komisi bilamana ada masalah yang menyangkut beberapa Komisi;
i. membentuk Panitia Kerja;
j. melakukan sesuatu tugas atas keputusan DPR dan atau Badan Musyawarah;
k. mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal-hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPR.

(5) Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf, a, b dan c pasal ini tidak boleh dilakukan di luar gedung DPR, kecuali dengan persetujuan Pimpinan DPR.

(6) Kunjungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf d pasal ini tidak boleh dilakukan dalam Masa Sidang, kecuali dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(7) Komisi menentukan tindak lanjut dari hasil pelaksanaan tugas Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) pasal ini, terutama hasil Rapat Kerja dengan Presiden.

Pasal 36

Di samping tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, khusus Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disebut dengan singkatan Komisi APBN, bertugas pula:

a. menampung hasil pembicaraan pendahuluan dari Komisi lainnya dengan pihak Pemerintah untuk dijadikan bahan dalam mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b, memberikan pendapat kepada DPR mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang disampaikan oleh Presiden kepada DPK dalam Rapat Paripurna;
c. menampung dan membicarakan semua bahan mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang diperoleh dari:
— Pemandangan Umum para Anggota DPR dan jawaban Pemerintah,
— saran dan pendapat Bagian Musyawarah,
— saran dan pendapat masing-masing Komisi, serta
— saran dan pendapat masing-masing Fraksi;
d. mengikuti perkembangan dan mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan Keuangan Negara pada keseluruhannya;
e. membahas bersama dengan Pemerintah tentang perkiraan Tambahan dan perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan, setelah memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Anggaran Peridapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran yang sedang berjalan;
f. membahas dan mengajukan pendapat terhadap Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR;
g. membahas Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran serta memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna;
h. memberikan pendapatnya mengenai Hasil Pemeriksaan Tahunan Badan Pemeriksa Keuangan kepada DPR untuk ditentukan tindak lanjutnya.

BAB IX

BADAN URUSAN RUMAH TANGGA

Kedudukan

Pasal 57

Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 58.

(1) BURT beranggotakan 33 (tiga puluh tiga) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI
Fraksi Karya Pembangunan
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Fraksi Persatuan Pembangunan

6 (enam) orang,
18 (delapan belas) orang,
2 (dua) orang, dan
7 (tujuh) orang.

(2) BURT mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 17 (tujuh belas) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI
Fraksi Karya Pembangunan
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Fraksi Persatuan Pembangunan

3 (tiga) orang,
9 (sembilan) orang,
1 (satu) orang, dan
4 (empat) orang.

(3) Anggota Pengganti BURT menggantikan kedudukan Anggota BURT dari Fraksinya yang berhalangan.

(4) Keanggotaan BURT ditetapkan pada setiap permulaan TahunSidang dan tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi.

(5) BURT dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 59

(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan BURT terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BURT pada setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BURT diatur sendiri berdasarkan tugas BURT.

Tugas

Pasal 60

(1) Tugas BURT adalah:

a. membantu Pimpinan DPR dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan kerumahtanggaan DPR serta kesejahteraan Anggota DPR dan Pegawai Sekretariat DPR;
b. atas nama Pimpinan DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan ketatalaksanaan Sekretariat DPR serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kerumahtanggaan DPR, baik atas penugasan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah maupun atas prakarsa sendiri;
c. membantu Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal 42 dan sesuai pula dengan pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah, dalam hal:

(a) menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR,

(b) meneliti dan menyempurnakan Rancangan Anggaran Belanja DPR yang penyusunannya disiapkan oleh Sekretariat DPR,

(c) mengawasi proses penyelesaian Rancangan Anggaran Belanja DPR selanjutnya,

(d) mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan Anggaran Belanja DPR;
d. melaksanakan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan dan kesejahteraan yang ditugaskan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah, termasuk melakukan studi perbandingan yang dipandang perlu.

(2) Sekretariat DPR harus memberikan penjelasan dan data mengenai hal-hal yang diperlukan oleh BURT.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) pasal ini, BURT bertanggungjawab kepada Pimpinan DPR.

(4) BURT memberikan laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang kepada Pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Badan Musyawarah dan dibagikan kepada para Anggota DPR

BAB X

BADAN KERJASAMA ANTAR PARLEMEN

Kedudukan

Pasal 61

Badan Kerjasama Antar Parlemen, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 62

(1) BKSAP beranggotakan 35 (tigapuluh lima) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI

6 (enam) orang,

Fraksi Karya Pembangunan

18 (elapan belas) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

4 ( empat) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan

7 (tujuh) orang.

(2) Keanggotaan BKSAP diteapkan pada setiap permulaan Tahun Sidang.

(3) BKSAP dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 63

( 1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-fraksi.

(2) Pimpinan BKSAP terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BKSAP pada setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BKSAP diatur sendiri berdasarkan tugas BKSAP.

Tugas

Pasal 64

(1) Sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, BKSAP bertugas:

a. menggalang, membina dan mengolah hubungan persahabatan dan kerjasama antara DPR dengan Parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun secara multilateral;

b. mempersiapkan keberangkatan delegasi DPR keluar negeri dan mengolah serta mengembangkan hasil kunjungannya;

c. mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi Parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;

d. memberikan saran dan usul kepada Pimpinan DPR tentang masalah kerjasama antara Parlemen;

e. menghimpun data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Parlemen negara lain.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dan ayat (2) pasal 65, BKSAP bertanggungjawab kepada DPR.

(3) BKSAP melaporkan hasil kunjungan delegasi DPR kepada Rapat Paripurna DPR.

(4) BKSAP memberikan laporan tertulis kepada Badan Musyawarah sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang serta membagikannya kepada para Anggota DPR.

Pasal 65.

(1) Pimpinan DPR, sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, memberikan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen kepada Pimpinan BKSAP;

(2) BKSAP, selain melaksanakan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen, juga dapat melaksanakan hubungan dengan luar negeri atas nama DPR berdasarkan wewenang yang dilimpahkan kepadanya oleh Badan Musyawarah.

BAB XI

PANITIA

Kedudukan

Pasal 66

(1) DPR dan atau alat kelengkapan DPR, apabila memandang perlu dapat membentuk Panitia yang bersifat sementara.

(2) Panitia yang dibentuk oleh DPR disebut Panitia Khusus dan merupakan alat kelengkapan DPR, sedangkan Panitia yang dibentuk oleh alat kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja.

Susunan

Pasal 67

(1) Panitia beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (Iima) orang Anggota DPR yang mencerminkan Fraksi-Fraksi, dan apabila dipandang perlu dapat ditetapkan Anggota Pengganti.

(2) Pimpinan Panitia terdiri atas sekurang-kurangnya seorang Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia setelah mendengar pendapat Fraksi-Fraksi,

(3) Panitia Khusus dibantu oleh sebuah Sekretariat, sedangkan Panitia Kerja dapat pula dibantu oleh sebuah Sekretariat apabila dipandang perlu.

Tugas

Pasal 68

(1) Panitia Khusus bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh DPR.

(2) Panitia Khusus bertanggungjawab kepada DPR.

(3) DPR menetapkan tindak lanjut hasil kerja Panitia Khusus.

(4) Ketentuan yang berlaku bagi Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pasal 55, berlaku pula bagi Panitia Khusus.

(5) Panitia Khusus bibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Pasal 69

(1) Panitia Kerja bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya,

(2) Tatacara kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(3) Panitia Kerja bertanggungjawab kepada alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(4) Tindak lanjut hasil kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya,

(5) Panitia Kerja dibubarkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya setelah tugasnya dinyatakan selesai.

BAB XII

PERSIDANGAN DAN RAPAT DPR

Ketentuan umum

Pasal 70

(1) Tahun Sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, maka pembukaan Tahun Sidang dapat dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

{2) Tahun Sidang dibagi dalam 4 (empat] Masa Persidangan.

( 3) Tiap-tiap Masa persidangan meliputi Masa Sidang dan Masa Reses.

(4) Masa Sidang adalah masa kegiatan DPR yang dilakukan terutama di dalam gedung DPR.

(5) Masa Reses adalah masa kegiatan DPR di luar Masa Sidang, yang dilakukan oleh para Anggota DPR secara perorangan atau berkelompok, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Pasal 71

(1) Masa Persidangan berikut acara dan jadwalnya di tetapkan oleh Badan Musyawarah, dengan mernperhatikan agar pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya dan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dapat selesai tepat pada waktunya.

(2) Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan acara dan jadwal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka Pimpinan DPR dapat mcnetapkan acara dan jadwal tersebut dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi-Fraksi.

Pasal 72

(1) Pada hari permulaan Tahun Sidang acara pokok adalah Pidato Kenegaraan Presiden dalam Rapat Paripurna. Apabila Presiden berhalangan, maka Pidato Kenegaraan disampaikan oleh Wakil Presiden.

(2) Dalam Rapat Paripurna pertama dari suatu Masa Sidang, Pim-pinan DPR menyampaikan pidato pembukaan yang terutama menguraikan kegiatan DPR yang akan dilakukan dalam Masa Sidang yang bersangkutan.

(3) Dalam Rapat Paripurna terakhir dari suatu Masa Sidang, Pimpinan. DPR menyampaikan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR dalam Masa Reses sebelumnya, hasil kegiatan selama Masa Sidang yang bersangkutan dan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam Masa Reses berikutnya.

(4) Dalam Rapat Paripuma penutupan Masa Sidang terakhir dari suatu Tahun Sidang, Pimpinan DPR menutup Masa Sidang dan Tahun Sidang dengan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR selama Tahun Sidang yang bersangkutan.

Pasal 73.

(1) Waktu-waktu rapat DPR ialah: a. pagi : hari Senin sampai dengan hari Kamis dari pukul 09.00 sampai pukul 14.00; hari Jum'at dari pukul 08.30 sampai pukul 11.00; hari Sabtu dari pukul 09.00 sampai pukul 13.00; b. malam : hari Senin sampai dengan hari Jum'at dari pukul 19.30 sampai pukul 23.30.

(2) Penyimpangan dari waktu-waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.

Jenis rapat

Pasal 74

Jenis-jenis rapat DPR ialah: Rapat Paripurna; Rapat Paripurna Luar Biasa; Rapat Fraksi; Rapat Pimpinan DPR; Rapat Badan Musyawarah; Rapat Komisi dan Rapat Gabungan Komisi;
Rapat BURT dan Rapat BKSAP;
Rapat Panitia;
Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dan
Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing).

Pasal 75.

Rapat Paripurna adalah rapat Anggota DPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR.

Pasal 76.

(1) Rapat Paripurna Luar Biasa adalah Rapat Paripurna yang diadakan dalam Masa Reses, apabila:

a. diminta oleh Presiden, atau
b. dikehendaki oleh Pimpinan DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah; atau
c. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Pimpinan DPR mengundang Anggota DPR untuk menghadiri Rapat Paripurna Luar Biasa tersebut.

Pasal 77.

Rapat Fraksi adalah rapat Anggota Fraksi yang dipimpin oleh Pimpinan Fraksi.

Pasal 78.

Rapat Pimpinan DPR adalah rapat Anggota Pimpinan DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR.

Pasal 79.

(1) Rapat Badan Musyawarah adalah rapat Anggota Badan Musyawarah beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Musyawarah.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separoh jumlah Anggota Badan Musyawarah, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

Pasal 80.

(1) Rapat Komisi adalah rapat Anggota Komisi yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi.

(2) Rapat Gabungan Komisi adalah rapat bersama yang diadakan oleh lebih dari satu Komisi, dihadiri oleh Anggota Komisi-Komisi yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pimpinan yang dipilih oleh rapat gabungan itu atau yang ditentukan oleh dan dari Pimpinan Komisi-Komisi yang bersangkutan.

(3) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Komisi, atau Gabungan Komisi, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(4) Rapat Pimpinan Komisi atau Rapat Pimpinan Gabungan Komisi adalah rapat Anggota Pimpinan Komisi atau Anggota Pimpinan Gabungan Komisi yang dipimpin oleh Ketua Komisi atau Ketua Gabungan Komisi.

Pasal 81.

(1)

a. Rapat BURT adalah rapat Anggota BURT beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan BURT.
b. Rapat BKSAP adalah rapat Anggota BKSAP yang dipimpin oleh Pimpinan BKSAP.

(2)

a. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separoh jumlah Anggota BURT dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.
b. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota BKSAP dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(3) Rapat Pimpinan BURT dan rapat Pimpinan BKSAP adalah rapat Anggota Pimpinan Badan yang bersangkutan yang dipimpin oleh Ketua Badan tersebut.

Pasal 82.

(1) Rapat Panitia Khusus adalah rapat Anggota Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Panitia Khusus dan dihadiri o1eh unsur semua Fraksi.

(3) Dalam hal suatu Panitia Khusus mempunyai Anggota Pengganti, maka berlakulah ketentuan yang mengatur tentang Anggota Pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 79.

(4) Rapat Pimpinan Panitia Khusus adalah rapat Anggota Pimpinan Panitia Khusus, yang dipimpin oleh Ketua Panitia Khusus.

(5) Rapat Panitia Kerja adalah rapat Anggota Panitia Kerja yang dip imp in oleh Pimpinan Panitia Kerja.

Pasal 83.

(1) Rapat Kerja adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan pihak Pemerintah, dalam hal ini Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya, atas undangan Pimpinan DPR dan dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Undangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini, disampaikan kepada Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya dengan mencantumkan persoalan yang akan dibicarakan serta diberikan waktu secukupnya untuk mempelajari persoalan itu.

Pasal 84.

(1) Rapat Dengar Pendapat (Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan Pejabat yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan perorangan, kelompok, organisasi, atau badan swasta, baik atas undangan

Pimpinan DPR maupun atas peemintaan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

Sifat rapat

Pasal 85.

(1) Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat Panitia Khusus peda dasarnya bersifat terbuka, tetapi atas keputusan rapat yang bersangkutan atau atas keputusan Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat tertutup.

(2) Rapat Pimpinan DPR, Rapat BURT dan Rapat Panitia Kerja bersifat tertutup.

(3) Rapat Badan Musyawarah dan Rapat BKSAP pada dasarnya bersifat tertutup, tetapi atas keputusan Rapat Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat terbuka.

(4) Sifat Rapat Fraksi ditentukan sendiri oleh Fraksi yang bersangkutan.

(5) Rapat terbuka ialah rapat yang selain dihadiri oleh para Anggota DPR, juga dapat dihadiri oleh bukan Anggota DPR, baik diundang maupun tidak.

(6) Rapat tertutup ialah rapat yang hanya boleh dihadiri oleh Anggota DPR dan mereka yang diundang.

Pasal 86.

(1) Rapat DPR yang sedang berlangsung, dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup oleh Ketua Rapat, pihak Pemerintah dan atau salah satu Fraksi.

(2) Apabila dipandang perlu, rapat dapat ditunda untuk sementara guna memberi waktu kepada Pimpinan Rapat, Fraksi-Fraksi dan Pengusul membicarakan usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Rapat yang bersangkutan memutuskan apakah usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disetujui atau ditolak.

(4) Dalam hal rapat menyetujui, maka Ketua Rapat menyatakan rapat yang bersangkutan sebagai rapat tertutup dan mempersilahkan para Peninjau untuk meninggalkan ruangan rapat.

Pasal 87.

(1) Pembicaraan dalam rapat tertutup rahasia dan tidak boleh diumumkan.