Himpunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia/Bab 10

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977)


413

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

No. 17/DPR-RI/IV/77-78

tentang

PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

Dalam Rapat Paripurna ke-26 pada tanggal 29 Juni 1978.

Menimbang :

  1. Bahwa berhubungan dengan tidak berlakunya lagi Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang termuat dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 7/DPR-RI/III/71-72 karena berakhirnya masa keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum tahun 1971, dan diresmikannya keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum tahun 1977, maka perlu ditetapkan Peraturan Tata tertib yang baru;
  2. Bahwa Peraturan Tata Tertib yang bari itu akan mengatur tata cara untuk menghayati kedudukan, susunan, wewenang, tugas, hak dan tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beserta alat-alat kelengkapannya berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
  3. Bahwa menurut ketentuan peraturan perundangan, Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diatur sendiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Mengingat:

  1. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang antara lain menegaskan tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
  2. Undang-undang Dasar 1945.

    pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
- pasal 11 yang menentukan bahwa Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

- pasal 21 ayat (1) yang menentukan bahwa Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang-undang,

- pasal 22 ayat (2) yang menentukan bahwa tiap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

- pasal 23 ayat (1) yang menentukan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan tiap tahun dengan Undang-undang,

- pasal 23 ayat (5) yang menentukan bahwa Hasil Pemeriksaan Tahunan Bahan Pemeriksa Keuangan harus diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat;

3. a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa);

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara;

c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

d. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VII/MPR/1978 tentang Pemilihan Umum;

e. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka Pengsuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.

f. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.

4. Undang-undang No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 4 tahun 1975, dan Undang-undang No. 16 tahun 1968 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 tahun 1975;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 4/DPR-RI/II/77-78 tentang Pembentukan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dengan segala perubahan dan tambahannya.

Memperhatikan:

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada tanggal 29 Juni 1978.

MEMUTUSKAN :

1. Mencabut :

a. Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 2/DPR-RI/II/77-78 tentang Pengesahan Peraturan Tata Tertib Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

b. Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 6/ DPR-RI/II/77-78 tentang Pasal-pasal Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang mengatur tentang Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

2. Menetapkan :

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.

Pertama:

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah sebagaimana yang termuat dalam lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Keputusan ini.

Kedua :

Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib pasal-pasal 10 ayat (1), 12 ayat (3), 14 ayat (1), 15 ayat (1), 20 ayat (2), 24 ayat (1), 28 ayat (3), 44 ayat (3) dan (4), 76 ayat (1) huruf e, 123, 124, 125, 143 ayat (1) dan 160 ayat (1), yang diambil dari pasal-pasal 11 ayat (1), 13 ayat (3), 15 ayat (1), 16 ayat (1), 21 ayat (2), 25 ayat (1), 28 ayat (3), 35 ayat (3) dan (4),-53 ayat (1) huruf e, 99, 100, 101, 116 ayat (1) dan 127 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Sementara, serta pasal-pasal 8 huruf f, dan 56 dan Bab XIV adalah ketentuan-ketentuan yang masih bersifat sementara dan akan diusahakan agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya disernpumakan schingga menjadi ketentuan yang bersifat tetap.

Ketiga:

Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib pasal-pasal 9 ayat (1), 111 ayat (2), 116, 117 dan 118 akan disesuaikan dengan hasil pcnyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam diktum Kedua.

Keeempat :

Pelaksanaan penyempumaan sebagaimana dimaksud dalam diktum Kedua dan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam diktum Ketiga ditugaskan kepada Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Kelima:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 1978.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 29 Juni 1978

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

ttd

DARYATMO

PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBUK INDONESIA

(Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RI/IV/77-78 tanggal 29 Juni 1978)

BAB I.

KETENTUAN UMUM

Pasal 1.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Peraturan Tata Tertib ini, yang selanjutnya disebut dengan singkatan DPR ialah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang keanggotaannya diresmikan pada tanggal 1 Oktober 1977.

(2) DPR melaksanakan tugasnya berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(3) Anggota DPR adalah wakil rakyat yang telah mengangkat sumpah/janji sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat.

BAB II.

KEDUDUKAN, SUSUNAN, WEWENANG

DAN TUGAS DPR

Kedudukan

Pasal 2.

DPR adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. III/MPR/1978 dan merupakan suatu wahana untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila.

Susunan

Pasal 3.

(1) DPR beranggotakan 460 (empat ratus enam puluh) orang terdiri atas anggota Golongan Politik dan Golongan Karya, yang mengelompokkan diri dalam Fraksi-fraksi,

(2) DPR terdiri atas Fraksi-fraksi, Pimpinan DPR, Badan Musyawarah, Komisi-komisi, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerjasama Antar Parlemen dan Panitia-panitia Khusus.

(3) DPR mempunyai sebuah Sekretariat sebagai unsur pelayanan.

Wewenang dan Tugas

Pasal 4.

(1) Wewenang dan tugas DPR adalah :

  1. bersama-sama dengan Presiden membentuk Undang-undang;
  2. bersama-sama dengan Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  3. melakukan pengawasan atas :

    (a) pelaksanaan Undang-undang,

    (b) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pengelolaan keuangan Negara, dan

    (c) kebijaksanaan Pemerintah.

    sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
  4. membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;
  5. membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan Negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
  6. melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada DPR.

(2) Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang dan tugasnya, DPR dapat mengadakan konsultasi dan kordinasi dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya,

BAB III.

KEANGGOTAAN DPR

Pasal 5.

Anggota DPR harus tetap memenuhi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 6.

Anggota DPR berhenti bersama-sama pada saat Anggota DPR hasil Pemilihan Umum berikutnya mengangkat sumpah/janji.

Pasal 7

(1) Anggota DPR berhenti antar waktu karena :

  1. meninggal dunia;
  2. atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPR;
  3. tidak memenuhi lagi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 5;
  4. dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai Anggota DPR;
  5. diganti oleh Organisasi/Golongan yang bersangkutan, setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan DPR;
  6. merangkap jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua dan Hakim-hakim Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan lain yang tidak mungkin dirangkap, yang diatur dalam peraturan perundangan.

(2) Anggota yang berhenti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tempatnya diisi oleh:

  1. calon dari Organisasi/Golongan yang bersangkutan;
  2. calon dari Pejabat, baik atas usul Instansi/Organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Pejabat itu.

(3) Pemberhentian dan pengangkatan antar waktu Anggota DPR,diresmikan dengan Keputusan Presiden.

BAB IV.

HAK DPR DAN HAK ANGGOTA DPR

Pasal 8.

Untuk melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 4, DPR mempunyai:

  1. hak meminta keterangan (interpelasi);
  2. hak mengadakan penyelidikan (angket);
  3. hak mengadakan perubahan(amandemen);
  4. hak mengajukan pernyataan pendapat;
  5. hak mengajukan/menganjurkan seseorang, jika ditentukan oleh suatu peraturan perundangan;
  6. hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 9.

(1) Selain hak-hak DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Anggota DPR mempunyai :

  1. hak mengajukan pertanyaan;
  2. hak protokoler dan hak keuangan/administratif.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di muka Pengadilan karena pernyataannya dalam rapat-rapat DPR, baik terbuka maupun tertutup yang diajukan secara lisan atau tertulis, kecuali jika mereka mengumumkan hal-hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 87, atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.


(3)

  1. Tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR harus sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR.
  2. Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian ialah : (a) pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;

    (b) meminta keterangan tentang tindak pidana;

    (c) penangkapan;

    (d) penahanan:

    (e) penggeledahan;

    (f) penyitaan.

  3. Dalam pelaksanaan tindakan kepolisian harus diperhatikan kedudukan protokoler Anggota DPR sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Meminta Keterangan (Interpelasi)

Pasal 10.

(1) Sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan usul kepada DPR untuk meminta keterangan kepada Presiden tentang sesuatu kebijaksanaan Pemerintah.

(2) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini disusun secara singkat, jelas dan ditanda tangani oleh para Pengusul, kemudian disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 11.

(1) Dalam Rap at Paripuma berikutnya Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota DPR tentang masuknya usul permintaan keterangan kepada Presiden. Usul tersebut kemudian dibagikan kepada para Anggota.

(2) Dalam Rapat Badan Musyawarah yang diadakan untuk menentukan waktu bilamana usul permintaan keterangan itu dibicarakan dalam Rapat Paripurna, kepada para Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usul tersebut,

(3) Dalam suatu Rap at Paripurna para Pengusul memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan usul permintaan keterangan itu. Keputusan apakah usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui atau ditolak untuk menjadi permintaan keterangan DPR, ditetapkan dalam Rapat Paripurna itu atau dalam Rapat Paripurna yang lain.

Pasal 12.

(1) Selama suatu usul permintaan keterangan belum diputuskan menjadi permintaan keterangan DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali,

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditanda-tangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR, yang kemudian membagikannya kepada para Anggota.

(3) Apabila jumlah penanda-tanganan suatu usul permintaan keterangan yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 (tiga puluh) orang Anggota maka harus diadakan penambahan penanda-tanganan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota dan yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan ketentuan mi tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 13.

(1) Apabila usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui sebagai permintaan keterangan DPR, maka Pimpinan DPR mengirimkannya kepada Presiden dan mengundang Presiden untuk memberikan keterangan.

(2) Mengenai keterangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diadakan pembicaraan dengan memberikan kesempatan kepada Pengusul maupun Anggota Iainnya untuk mengemukakan pendapatnya.

(3) Atas pendapat para Pengusul dan atau Anggota lainnva sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, Presiden memberikan jawabannya.

Pasal 14.

(1) Atas usul sekurang-kurangnya 3 0 ( tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, DPR dapat menyatakan pendapatnya terhadap jawaban Prcsidcn tersebut.

(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat diajukan usul pernyataan peridapat, yang diselesaikan menurut ketentuan yang dimaksud dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Jika sarnpai waktu penutupan :-Vlasa Sidang yang bersangkutan temyata tidak ada usul pernyataan pendapat yang yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam avat ( 1) pas al ini, maka pembicaraan mengenai permin taan kcterangan kepada Presidcn terse but dinyatakan selesai dalam Rapat Paripuma penutupan Masa Sidang yang bersangkutan mengadakan Penyelidikan (Angket)

Pasal 15.

(1) Sesuai dengan ketentuan Undang-undang, sejumlah Anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan mcngenai sesuatu hal.

(2) Usul sebagaimana dirnaksud dalam ayat (1) pasal ini, hams dinyatakan dalam suatu perumusa.n yang mernuat isi yang jelas tentang hal yang harus diselidiki dcngan disertai penjelasan dan rancangan jumlah biaya,

(3) Usul itu setelah ditanda-tangani olch para Pengusul disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 16.

Usul sebagairnana dimaksud dalam pasal 15 beserta penjelasanpenjelasan dan rancangan biaya, dibagikan kepada para Anggota dan dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 17.

Badan Musyawarah menetapkan waktu bagi Fraksi-fraksi untuk mempelajari usul tersebut, dan waktu pernbicaraannya dalam Rapat Paripurna.

Pasal 18

(1) Selama suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal belum disetujui oleh DPR, para Pengusul berhak untuk mengadakan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditanda-tangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota dan mengirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penanda-tanganan suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai sesuatu hal yang belum dibicarakan dalam Rapat Paripurna, ternyata menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) pasal 15, maka harus diadakan penambahan penanda-tanganan hingga jumlahnya mencukupi, Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penanda tanganan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul itu menjadi gugur.

Pasal 19

(1) Apabila DPR memutuskan menyetujui usul mengadakan penyelidikan, DPR membentuk suatu Panitia Khusus Penyelidikan yang beranggotakan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang.

(2) Keputusan DPR untuk mengadakan penyelidikan menentukan juga masa kerja dan biaya Panitia Khusus Penyelidikan.

(3) Atas permintaan Panitia Khusus Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, masa kerjanya dapat diperpanjang atau diperpendek oleh DPR.

Pasal 20.

(1) Panitia Khusus Penyelidikan harus memberikan laporan tertulis berkala sekurang-kurangnya sebulan sekali kepada Pimpinan DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota DPR dan dikirimkan kepada Presiden.

(2) Atas usul 10 (sepuluh) orang Anggota DPR laporan berkala itu dapat dibicarakan dalam rapat DPR kecuali kalau DPR menentukan lain.

Pasal 21.

(1) Setelah selesai dengan pekerjaannya, Panitia Khusus Penyelidikan memberikan laporan tertulis kepada DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota dan kemudian dibicarakan dalam Rapat Paripurna untuk mengambil keputusan akhir, kecuali kalau Rapat Paripurna itu menentukan lain.

(2) Keputusan akhir atas laporan Panitia Khusus Penyelidikan tersebut disampaikan kepada Presiden.

(3) Panitia Khusus Penyelidikan dibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Mengadakan Perubahan ( Amandemen)

Pasal 22.

(1) Para Anggota DPR dapat mengajukan usul perubahan atas usul suatu Rancangan Undang-undang.

(2) Pokok-pokok usul peruhahan dikarenakan dalam Pemandangan Umum pada pembicaraan tingkat II.

(3) Usul perubahan disampaikan oleh Anggota dalam pembicaraan tingkat III, untuk dibahas dan diambil keputusan.

Pasal 23.

Pembahasan perubahan dalam Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Jika terpaksa diambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka yang dilakukan pemungutan suara adalah terhadap rumusan baru hasil pendekatan dalam musyawarah.

Mengajukan Pernyataan Pendapat

Pasal 24.

(1) Sekurang-kurangnya 30 ( tiga puluh] orang Anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan sesuatu usul pernyataan pendapat dalam bentuk memorandum, resolusi atau mosi, baik yang berhubungan dengan soal yang sedang dibicarakan maupun yang mempunyai maksud tersendiri.

(2) Usul pernyataan pendapat terscbut serta penjelasannya disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR.

(3) Dalam Rapat Paripurna yang berikut Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya usul tersebut.

Pasal 25.

Usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dibagikan para Anggota dan dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 26.

(1) Pembahasan dan penyelesaian usul pernyataan pendapat dilakukan dalam 4 {empat) tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115.

(2) Badan Musyawarah menetapkan waktu untuk membicarakan usul pemyataan pendapat tersebut dalam Rapat Paripurna.

(3) Dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang merupakan pembicaraan tingkat I, para Pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan dengan lisan atas usul pernyataan pendapat tersebut.

(4) Dalam pembicaraan tingkat II, terhadap usul dan penjelasan para Pengusul, kepada Anggota lain diberi kesempatan untuk memberikan pemandangannya dan kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya. Para Pengusul dapat memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota serta pendapat Presiden tersebut.

(5) Jika Rapat Paripuma memandang perlu, maka dapat diberikan kesempatan satu kali lagi kepada Anggota untuk memberikan pemandangannya, kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya dan kepada Pengusul untuk memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota dan pendapat Presiden tersebut.

(6) Setelah pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan (5) pasal ini selesai, maka Rapat Paripurna menentukan tindak lanjut penyelesaiannya.

Pasal 27.

(1) Apabila Rapat Paripurna memandang perlu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai usul pernyataan pendapat tersebut dapat dilakukan dalam pembicaraan tingkat III.

(2) Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1} pasal ini dapat diadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dan atau Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) dengan pihak yang dipandang perlu, terrnasuk Pengusul.

Pasal 28.

(1) Selama suatu usul pernyataan pendapat belum disetujui oleh DPR, para Pengusul oerhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota, dan mcngirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul pernyataan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 ( tiga puluh ), maka harus diadakan penambahan penandatangan sehingga jumlahnya sekurang-kurangnya menjadi 30 (tiga puluh) orang, yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, Apabila sampai 2 (dua) kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul yang bersangkutan menjadi gugur.

Pasal 29.

Setelah pembicaraan tingkat III selesai, maka pembicaraan diakhiri dengan tingkat IV, dimana DPR mengambil keputusan untuk menyetujui atau menolak usul pernyataan pendapat tersebut.

Pasal 30.

(1) Apabila DPR memutuskan bahwa Presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan pemyataan pendapat untuk mengingatkan Presiden (memorandum).

(2) Tata cara pengajuan usul pernyataan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini serta penyelesaiannya, mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Pelaksanaan selanjutnya daripada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Mengajukan/Menganjurkan Seseorang, Jika

Ditentukan Oleh Suatu Peraturan Perundangan

Pasal 31.

(1) Apabila suatu peraturan perundangan menentukan agar DPR mengajukan/menganjurkan calon untuk mengisi suatu jabatan, maka Rapat Paripurna menugaskan Badan Musyawarah untuk membicarakan dan kemudian memberikan pertimbangannya.

(2) Galon yang diajukan/dianjurkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, sekurang-kurangnya berjumlah 2 (dua) kali dari jabatan yang akan diisi, kecuali apabila peraturan perundangan menentukan lain.

(3) Rapat Paripurna menetapkan calon dengan memperhatikan pertimbangan Badan Musyawarah,

Pasal 32.

Calon yang telah ditetapkan oleh DPR, disampaikan secara tertulis kepada Presiden.

Mengajukan Rancangan Undang-undang

Usul Inisiatif

Pasal 33.

Pelaksanaan hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan penyelesaian selanjutnya diatur sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII.

Mengajukan Pertanyaan

Pasal 34.

( 1) Setiap Anggota DPR secara perseorangan maupun bersama-sama dapat mengajukan pertanyaan kepada Presiden.

(2) Pertanyaan itu harus tertulis, disusun singkat serta jelas dan disampaikan kepada Pimpinan DPR.

(3) Apabila dipandang perlu, Penanya, Pimpinan Fraksinya dan atau Pimpinan DPR dapat memberi/meminta penjelasan tentang pertanyaan tersebut.

( 4) Pimpinan DPR setelah meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden dengan disertai permintaan agar supaya mendapat jawaban dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, membagikan pertanyaan tersebut kepada para Anggota.

(5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan itu tidak dapat diumumkan.

Pasal 35.

( 1) Apabila jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 disampaikan oleh Presiden dengan tertulis, maka tidak diadakan pembicaraan dengan lisan.

(2) Penanya dapat meminta supaya pertanyaan tersebut dijawab dengan lisan.

(3) Apabila Presiden menjawab dengan lisan, maka Penanya dalam rapat yang ditentukan untuk itu dapat mengemukakan lagi dengan singkat penjelasan tentang pertanyaannya supaya Presiden dapat memberikan keterangan yang lebih luas tentang soal yang terkandung di dalam pertanyaan itu.

Kedudukan Protokokoler Dan

Hak Keuangan Administratif

Pasal 36.

Kedudukan protokoler dan hak keuangan/administratif bagi Pimpinan dan Anggota DPR diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

BAB V.

FRAKSI

Kedudukan

Pasal 37.

Fraksi adalah pengelompokan Anggota DPR, yang terdiri atas kekuatan-kekuatan sosial dan politik, dan mencerninkan susunan golongan dalam masyarakat.

Susunan

Pasal 38.

(1) DPR yang terdiri dari unsur Golongan Politik dan Golongan Karya sesuai dengan Undang-undang No. 16 tahun 1969 juncto Undang-undang No. 5 tahun 1975, membentuk 4 (empat) Fraksi, ialah :

- Fraksi ABRI,

- Fraksi Karya Pembangunan,

- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, dan

- Fraksi Persatuan Pembangunan, disingkat Fraksi Persatuan.

(2) Setiap Anggota DPR harus menjadi Anggota salah satu Fraksi.

Tugas

Pasal 39.

(1) Fraksi bertugas menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan masing-masing Fraksi.

(2) Fraksi bertugas meningkatkan kemampuan, efektifitas dan efisiensi kerja para Anggota dalam melaksanakan tugasnya, yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.

(3) Guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi, DPR menyediakan sarana yang memadai, dan anggaran menurut perimbangan jumlah

Anggota masing-rnasing fraksi.

BAB VI

PIMPINAN DPR

Kedudukan

Pasal 40.

(1) Pimpinan DPR adalah alat kelengkapan DPR dan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-fraksi.

(2) Masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR.

Susunan

Pasal 41.

Pimpinan DPR terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua.

Tugas

Pasal 42

(1) Tugas Pimpinan DPR adalah :

a. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPR serta mengumumkannya kepada Rapat Paripurna;

b. menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Badan Urusan Rumah Tangga dan Sekretariat DPR;

c. memimpin rapat DPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib ini serta menyimpulkan persoalan yang dibicarakan dalam rapat;

d. melaksanakan keputusan rapat DPR sepanjang menjadi kewajibannya;

e. mengadakan konsultasi dengan Presiden setiap waktu diperlukan;

f. menghadiri rapat alat kelengkapan DPR yang dianggap perlu;

g. mengadakan Rapat Pimpinan DPR sedikit-dikitnya sekali sebulan, antara lain dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas Sekretariat DPR.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. Pimpinan DPR bertanggung jawab kepada DPR.

Pasal 43.

(1) Ketua dan Wakil-wakil Ketua bertugas penuh di DPR.

(2) Apabila Ketua berhalangan, maka kewajibannya dilaksanakan oleh Wakil-wakil Ketua.

(3) Dalam hal memimpin suatu rapat, apabila Ketua dan Wakil-wakil Ketua berhalangan, maka rapat itu dipimpin oleh Anggota DPR yang tertua usianya di antara yang hadir.

Cara Pemilihan

Pasal 44.

(1)

a.Selama Pimpinan DPR belum ditetapkan, musyawarah untuk sementara waktu dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya dan dibantu Anggota yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara Musyawarah.

b. Dalam hal Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini berhalangan, maka sebagai penggantinya adalah Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya di antara yang hadir.

(2) Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh para Anggota DPR.

(3) Calon Ketua/Wakil Ketua diusulkan oleh para Anggota dalam satu paket.

(4) Setiap usul paket harus didukung sedikit-dikitnya oleh 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR.

(5) Usul paket tersebut disampaikan kepada Pimpinan Sementara Musyawarah secara tertulis dengan disertai daftar tanda tangan para Pengusul.

(6) Kepada para Pengusul diberikan kesempatan untuk mengemukakan penjelasan atas usulnya melalui juru bicara masing-masing.

(7) Pemilihan Pimpinan DPR diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mencapai mufakat, sehingga merupakan keputusan secara bulat.

(8) Apabila setelah diadakan musyawarah tidak dapat dicapai mufakat, sedangkan jumlah penandatangan pada satu usul paket atau

pada paket-paket yang sama isinya telah melampaui jumlah suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menetapkan paket dengan pendukung suara terbanyak menjadi keputusan DPR.

(9) Apabila keputusan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) dan ayat (8) pasal ini tidak tercapai, maka pemilihan dilakukan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana diatur dalam Bab XV.

(10) Apabila Pimpinan DPR sudah terpilih, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menyerahkan pimpinan kepada Pimpinan DPR yang terpilih.

Pasal 45.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil-wakil Ketua diambil sumpah menurut agamanya masing-masing atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat Paripurna DPR.

(2) Bunyi sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 46.

Apabila terjadi Iowongan jabatan Ketua dan atau Wakil Ketua, maka DPR secepatnya mengadakan pemilihan untuk mengisi lowongan tersebut berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Badan Musyawarah dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 40.

BAB VII

· BADAN MUSYAWARAH

Kedudukan

Pasal 47.

Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

(1) Badan Musyawarah dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(2) Badan Musyawarah beranggotakan 66 (enam puluh enam) orang, dengan perincian :

- Fraksi ABRI : 11 (sebelah) orang;

- Fraksi Karya Pembangunan: 37 (tiga puluh tujuh) orang;

- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 4 (empat) orang, dan

- Fraksi Persatuan Pembangunan: 14 (empat belas) orang.

(3) Badan Musyawarah mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 33 ( tiga puluh tiga) orang, dengan perincian:

-Fraksi ABRI : (6) (enam) orang,

-Fraksi Karya Pembangunan : 18 (delapan belas) orang,

-Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 2 (dua) orang, dan

-Fraksi Persatuan Pembangunan : 7 [tujuh] orang.

(4) Anggota Pengganti Badan Musyawarah menggantikan kedudukan Anggota Badan Musyawarah dari Fraksinya yang berhalangan.

Tugas

Pasal 49.

Tugas Badan Musyawarah adalah :

a. menetapkan acara DPR untuk satu Tahun Sidang atau satu Masa Persidangan atau sebagian dari suatu Masa Sidang, dan menetapkan ancar-ancar waktu penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang, dengan tidak mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya;

b. memberikan pedoman serta pertimbangan kepada Pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR;

c. menetapkan pokok kebijaksanaan kerumahtanggaan DPR;

d. menetapkan pokok kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen;

e. melaksanakan hal-hal yang oleh DPR diserahkan kepada Badan Musyawarah.

Rapat dan Pengambilan Keputusan

Pasal 50.

(1) Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan acara DPR dapat mengundang Ketua alat kelengkapan DPR lainnya atau yang mewakilinya dan atau Anggota DPR yang dipandang perlu oleh Badan Musyawarah; mereka yang diundang itu mempunyai hak bicara.

(2) Apabila dalam Masa Reses ada masalah yang menyangkut, wewenang dan tugas DPR dianggap prinsipiil dan perlu segera diambil keputusan, maka Pimpinan Badan Musyawarah secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat.

(3) Pengambilan keputusan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XV, dan apabila dalam penghitungan suara terdapat lebih dari satu pendapat yang mempunyai pendukung yang sama jumlahnya, maka Pimpinan Badan Musyawarah memberikan keputusan akhir.

BAB VIII

KOMISI

Kedudukan

Pasal 51.

Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan.

Pasal 52.

(1) Jumlah Komisi serta ruang lingkup tugas masing-masing ditetapkan oleh DPR dengan surat keputusan tersendiri.

(2) Komisi dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 53.

(1) Setiap Anggota DPR, kecuali Anggota Pimpinan DPR, harus menjadi Anggota salah satu Komisi.

(2) Pada tiap permulaan Tahun Sidang, DPR menetapkan komposisi keanggotaan Komisi menurut perimbangan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi.

(3) Setiap Anggota DPR dapat menghadiri Rapat Komisi tertutup yang bukan Komisinya, dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada Ketua Rapat.

(4) Penggantian antar waktu Anggota Komisi dapat dilakukan oleh Fraksinya apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Pasal 54.

(1) Pimpinan Komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-fraksi.

(2) Pimpinan Komisi terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota Komisi setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan Komisi diatur sendiri berdasarkan tugas Komisi.

(4) Apabila dalam rapat Pimpinan Komisi ada Anggota Pimpinan yang berhalangan hadir, maka ia dapat digantikan oleh Anggota Fraksinya dalam Komisi yang bersangkutan.

(5) Pcnggantian antar waktu Anggota Pimpinan Komisi dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Tugas

Pasal 55.

(1) Di bidang perundang-undangan, tugas Komisi adalah: mengadakan pembahasan, persiapan serta penyempurnaan perumusan Rancangan Undang-undang yang termasuk ruang lingkup tugasnya, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Bab XIII.

(2) Di bidang anggaran, tugas Komisi adalah :

a. mcngadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;

b. mengadakan pembahasan dan pengajuan usul penyempurnaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;

c. mengadakan pembahasan atas laporan Keuangan Negara dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya;

d. memberikan bahan pemikiran kepada Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tentang hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada huruf a dun hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c ayat ini.

(3) Di bidang pengawasan, tugas Komisi adalah :

a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk ruang lingkup tugasnya;

b. melakukan pengawsan terhadap pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang termasuk ruang lingkup tugasnya;

c. menampung suara rakyat, termasuk surat-surat masuk, mengenai hal yang termasuk ruang lingkup tugasnya.

(4) Untuk melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) pasal ini, Komisi dapat: a. mengadakan Rapat Kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri;

b. mengadakan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya;

c. mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing), baik atas permintaan Komisi maupun atas permintaan pihak lain;

d. mengadakan Kunjungan Kerja ke tempat atau daerah yang dipandang perlu, yang hasilnya atas keputusan Badan Musyawarah dilaporkan kepada DPR dalam Rapat Paripurn untuk ditentukan tindak lanjutnya;

e. mengikuti dengan seksama serta mengadakan penyelidikan terhadap peristiwa yang menyangkut kepentingan rakyat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri yang termasuk ruang lingkup tugasnya; mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain;

f. mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain;

g. mengadakan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) apabila dipandang perlu dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya, yang tidak termasuk ruang lingkup tugas Komisi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 52 atas persetujuan Pimpinan DPR;

h. mengadakan Rapat Gabungan Komisi bilamana ada masalah yang menyangkut beberapa komisi;

i. membentuk Panitia Kerja;

j. melakukan sesuatu tugas atas keputusan DPR dan atau Badan Musyawarah;

k. mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal-hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPR.

(5) Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a, b dan c pasal ini tidak boleh dilakukan di luar gedung DPR, kecuali dengan persetujuan Pimpinan DPR.

(6) Kunjungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf d pasal ini tidak boleh dilakukan dalam Masa Sidang, kecuali dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(7) Komisi menentukan tindak lanjut dari basil pelaksanaan tugas Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) pasal ini, terutama hasil Rapat Kerja dengan Presiden.

Pasal 56.

Disamping tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, khusus Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disebut dengan singkatan APBN, bertugas pula :

a. menampung hasil pembicaraan pendahuluan dari Komisi lainnya dengan pihak Pemerintah untuk dijadikan bahan dalam mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. memberikan pendapat kepada DPR mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR, dalam Rapat Paripurna;

c. menampung dan membicarakan semua bahan mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Peridapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang diperoleh dari :

— Pemandangan Umum para Anggota DPR dan jawaban Pemerintah;

— saran dan pendapat Badan Musyawarah,

— saran dan pendapat masing-masing Komisi, serta

— saran dan pendapat masing-masing Fraksi;

d. mengikuti perkembangan dan mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan Keuangan Negara pada keseluruhannya;

e. membahas bersama dengan Pemerintah tentang perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan, setelah memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran yang sedang berjalan;

f. membahas dan mengajukan peridapat terhadap Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang disampaikan oleh Presiden kcpada DPR;

g. membahas Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran serta memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna;

h. memberikan pendapatnya mengenai Hasil Pemeriksaan Tahunan Badan Pemeriksa Keuangan kepada DPR untuk ditentukan tindak

lanjutnya.

BAB IX

BADAN URUSAN RUMAH TANGGA

Kedudukan

Pasal 57.

Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 58

(1) BURT beranggotakan 33 (tigapuluh tiga) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI 6 (enam) orang

Fraksi Karya Pembangunan

18 (delapan belas) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 2 (dua) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan 7 (tujuh) orang.

(2) BURT mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 17 (tujuh belas) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI 3 (tiga) orang,

Fraksi Karya Pembangunan 9 (sembilan) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 1 (satu) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan 4 {empat) orang.

(3) Anggota Pengganti BURT menggantikan kedudukan Anggota BURT dari Fraksinya yang berhalangan,

(4) Keanggotaan BURT ditetapkan pada setiap permulaan Tahun Sidang dan tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi.

(5) BURT dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 59

(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan BURT terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BURT pada setiap permulaan Tahun Sidang dlam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BURT diatur sendiri berdasarkan tugas BURT.

T u g a s

Pasal 60

(1) Tugas BURT adalah:

a. membantu Pimpinan DPR dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan kerumahtanggan DPR serta kesejahteraan Anggota DPR dan Pegawai Sekretariat DPR;

b. atas nama Pimpinan DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan ketatalaksanaan Sekretariat DPR serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kerumahtanggan DPR, baik atas penugasan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah maupun atas prakarsa sendiri;

c. membantu Pimpinan DPR sebagairnana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal 42 dan sesuai pula dengan pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah, dalam hal:

(a) menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR,

(b} meneliti dan menyempurnakan Rancangan Anggaran Belanja DPR yang penyusunannya disiapkan oleh Sekretariat DPR,

(c) mengawasi proses penyelesaian Rancangan Anggaran Belanja DPR selanjutnya,

(d) mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan Anggaran Belanja DPR;

d. melaksanakan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggan dan kesejahteraan yang ditugaskan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah, termasuk melakukan studi perbandingan yang dipandang perlu.

(2) Sekretariat DPR harus memberikan penjelasan dan data mengenai hal-hal yang diperlukan oleh BURT.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, BURT bertanggungjawab kepada Pimpinan DPR.

(4) BURT memberikan laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang kepada Pimpinan DPR untuk disampaikan

kepada Badan Musyawarah dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

BAB X

BADAN KERJASAMA ANTAR PARLEMEN

Kedudukan

Pasal 61

Badan Kerjasama Antar Parlemen, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 62

(1) BKSAP beranggotakan 35 (tigapuluh lima) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI

6 (enam) orang,

Fraksi Karya Pembangunan

18 (delapan belas) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

4 (empat) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan

7 (tujuh) orang.

(2) Keanggotaan BKSAP ditetapkan pada setiap permulaan Tahun Sidang.

(3) BKSAP dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 63

(1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan BKSAP terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BKSAP pada setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BKSAP diatur sendiri berdasarkan tugas BKSAP.

Tugas

Pasal 64

(1) Sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, BKSAP bertugas:

a. menggalang, membina dan mengolah hubungan persahabatan dan kerjasama antara DPR dengan Parlemen negara lain baik secara bilateral maupun secara multilateral;

b. mempersiapkan keberangkatan delegasi DPR ke luar negeri dan

mengolah serta mengembangkan hasil kunjungannya;

  1. mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi Parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
  2. memberikan saran dan usul kepada Pimpinan DPR tentang masalah kerjasama antar Parlemen;
  3. menghimpun data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Parlemen negara lain.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dan avat (2) pasal 65, BKSAP bertanggungjawab kepada DPR.

(3) BKSAP melaporkan hasil kunjungan delegasi DPR kepada Rapat Paripurna DPR.

(4) BKSAP memberikan laporan tertulis kepada Badan Musyawarah sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang serta membagikannya kepada para Anggota DPR.

Pasal 65

(1) Pimpinan DPR, sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, memberikan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen kepada Pimpinan BKSAP.

(2) BKSAP, selain melaksanakan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen, juga dapat melaksanakan hubungan dengan luar negeri atas nama DPR berdasarkan wewenang yang dilimpahkan kepadanya oleh Badan Musyawarah.

BAB XI

PANITIA

Kedudukan

Pasal 66

(1) DPR dan atau alat kelengkapan DPR, apabila memandang perlu dapat membentuk Panitia yang bersifat sementara.

(2) Panitia yang dibentuk oleh DPR disebut Panitia Khusus dan merupakan alat kelengkapan DPR, sedangkan Panitia yang dibentuk oleh alat kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja,

Susunan

Pasal 67

(1) Panitia beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota DPR yang mencerminkan Fraksi-Fraksi, dan apabila dipandang perlu dapat ditetapkan Anggota Pengganti.

(2) Pimpinan Panitia terdiri atas sekurang-kurangnya seorang Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia setelah mendengar pendapat Fraksi-Fraksi.

(3) Panitia Khusus dibantu oleh sebuah Sekretariat, sedangkan Panitia Kerja dapat pula dibantu oleh sebuah Sekretariat apabila dipandang perlu.

Tugas

Pasal 68

(1) Panitia Khusus bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh DPR.

(2) Panitia Khusus bertanggungjawab kepada DPR.

(3) DPR menetapkan tindak lanjut hasil kerja Panitia Khusus.

(4) Ketentuan yang berlaku bagi Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pasal 55, berlaku pula bagi Panitia Khusus.

(5) Panitia Khusus dibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Pasal 69

(l) Panitia Kerja bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(2) Tatacara kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(3) Panitia Kerja bertanggungjawab kepada alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(4) Tindak lanjut hasil kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(5) Panitia Kerja dibubarkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya setelah tugasnya dinyatakan selesai.

BAB XII

PERSIDANGAN DAN RAPAT-RAPAT DPR

Ketentuan Umum

Pasal 70

(1) Tahun Sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, maka pembukaan Tahun Sidang dapat dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

(2) Tahun Sidang dibagi dalam 4 (empat) Masa Persidangan.

(3) Tiap-tiap Masa Persidangan meliputi Masa Sidang dan Masa Reses.

(4) Masa Sidang adalah masa kegiatan DPR yang dilakukan terutama di dalam gedung DPR.

(5) Masa Reses adalah masa kegiatan DPR di luar Masa Sidang, yang dilakukan oleh para Anggota DPR secara perorangan atau berkelompok, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Pasal 71

(1) Masa Persidangan berikut acara dan jadwalnya ditetapkan oleh Badan Musyawarah, dengan memperhatikan agar pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya dan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dapat selesai tepat pada waktunya.

(2) Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan acara dan jadwal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka Pimpinan DPR dapat menetapkan acara dan jadwal tersebut dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi-Fraksi.

Pasal 72

(1) Pada hari permulaan Tahun Sidang acara pokok adalah Pidato Kenegaraan Presiden dalam Rapat Paripurna, Apabila Presiden berhalangan, maka Pidato Kenegaraan disampaikan oleh Wakil Presiden.

(2) Dalam Rapat Paripurna pertama dari suatu Masa Sidang, Pimpinan DPR menyampaikan pidato pembukaan yang terutama menguraikan kegiatan DPR yang akan dilakukan dalam Masa Sidang yang bersangkutan.

(3) Dalam Rapat Paripurna terakhir dari suatu Masa Sidang, Pimpinan DPR menyampaikan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR dalam Masa Reses sebelumnya, hasil kegiatan selama Masa Sidang yang bersangkutan dan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam Masa Reses berikutnya.

(4) Dalam Rapat Paripurna penutupan Masa Sidang terakhir dari suatu Tahun Sidang, Pimpinan DPR menutup Masa Sidang dan Tahun Sidang dengan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR selama Tahun Sidang yang bersangkutan.

Pasal 73

(1) Waktu-waktu rapat DPR ialah:

  1. pagi: hari Senin sampai dengan hari Kamis dari puku1 09. 00 sampai pukul 14. 00;
  2. malam : hari Senin sampai dengan hari Jum'at dari pukul 19.30 sampai pukul 23.30.

(2) Penyimpangan dari waktu-waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal mi, dapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.

Jenis rapat

Pasal 74

Jenis-jenis rapat DPR ialah:

Rapat Paripurna;

Rapat Paripurna Luar Biasa;

Rapat Fraksi;

Rapat Pimpinan DPR;

Rapat Badan Musyawarah;

Rapat Komisi dan Rapat Gabungan Komisi;

Rapat BURT dan Rapat BKSAP;

Rapat Panitia;

Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing} dan

Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing).

Pasal 75

Rapat Paripurna adalah rapat Anggota DPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR.

Pasal 76

(1) Rapat Paripurna Luar Biasa adalah Rapat Paripurna yang diadakan dalam Masa Reses, apabila:
  1. diminta oleh Presiden; atau
  2. dikehendaki oleh Pimpinan DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah; atau
  3. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR, dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Pimpinan DPR mengundang Anggota DPR untuk menghadiri Rapat Paripurna Luar Biasa tersebut.

Pasal 77

Rapat Fraksi adalah rapat Anggota Fraksi yang dipimpin oleh Pimpinan Fraksi.

Pasal 78

Rapat Pimpinan DPR adalah rapat Anggota Pimpinan DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR.

Pasal 79

(1) Rapat Badan Musyawarah adalah rapat Anggota Badan Musyawarah beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Musyawarah.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separoh jumlah Anggota Badan Musyawarah, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

Pasal 80

( 1) Rapat Komisi adalah rapat Anggota Komisi yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi.

(2) Rapat Gabungan Komisi adalah rapat bersama yang diadakan oleh lebih dari satu Komisi, dihadiri oleh Anggota Komisi-Komisi yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pimpinan yang dipilih oleh rapat gabungan itu atau yang ditentukan oleh dan dari Pimpinan Komisi-Komisi yang bersangkutan.

(3) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangni oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Komisi, atau Gabungan Komisi, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi,

(4) Rapat Pimpinan Komisi atau Rapat Pimpinan Gabungan Komisi adalah rapat Anggota Pimpinan Komisi atau Anggota Pimpinan Gabungan Komisi yang dipimpin oleh Ketua Komisi atau Ketua Gabungan Komisi.

Pasal 81

(1) a. Rapat BURT adalah rapat Anggota BURT beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan BURT.

b. Rapat BKSAP adalah rapat Anggota BKSAP yang dipimpin oleh Pimpinan BKSAP.

(2) a. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separuh jumlah Anggota BURT dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

b. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota BKSAP dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(3) Rapat Pimpinan BURT dan rapat Pimpinan BKSAP adalah rapat Anggota Pimpinan Badan yang bersangkutan yang dipimpin oleh Ketua Badan tersebut.

Pasal 82

(1) Rapat Panitia Khusus adalah rapat Anggota Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota Panitia Khusus dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(3) Dalam hal suatu Panitia Khusus mempunyai Anggota Pengganti, maka berlakulah ketentuan yang mengatur tentang Anggota Pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 79.

(4) Rapat Pimpinan Panitia Khusus adalah rapat Anggota Pimpinan Panitia Khusus, yang dipimpin oleh Ketua Panitia Khusus.

(5) Rapat Panitia Kerja adalah rapat Anggota Panitia Kerja yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Kerja.

Pasal 83

(1) Rapat Kerja adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan pihak Pemerintah, dalam hal ini Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya, atas undangan Pimpinan DPR dan dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Undangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disampaikan kepada Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya dengan mencantumkan persoalan yang akan dibicarakan serta diberikan waktu secukupnya untuk mempelajari persoalan itu.

Pasal 84

(1) Rapat Dengar Pendapat (Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan Pejabat yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan perorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

Sifat Rapat

Pasal 85

(1) Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat Panitia Khusus pada dasarnya bersifat terbuka, tetapi atas keputusan rapat yang bersangkutan atau atas keputusan Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat tertutup.

(2) Rapat Pimpinan DPR, Rapat BURT dan Rapat Panitia Kerja bersifat tertutup.

(3) Rapat Badan Musyawarah dan Rapat BKSAP pada dasarnya bersifat tertutup, tetapi atas keputusan Rapat Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat terbuka.

( 4) Sifat Rapat Fraksi di tentukan sendiri oleh Fraksi yang bersangkutan.

(5) Rapat terbuka ialah rapat yang selain dihadiri oleh para Anggota DPR, juga dapat dihadiri oleh bukan Anggota DPR, baik diundang maupun tidak.

(6) Rapat tertutup ialah rapat yang hanya boleh dihadiri oleh Anggota DPR dan mereka yang diundang.

Pasal 86

(1) Rapat DPR yang sedang berlangsung, dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup oleh Ketua Rapat, pihak Pemerintah dan atau salah satu Fraksi.

(2) Apabila dipandang perlu, rapat dapat ditunda untuk sementara guna memberi waktu kepada Pimpinan Rapat, Fraksi-Fraksi dan Pengusul membicarakan usul sebagaim.ana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Rapat yang bersangkutan memutuskan apakah usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disetujui atau ditolak.

(4) Dalam hal rapat menyetujui, maka Ketua Rapat menyatakan rapat yang bersangkutan sebagai rapat tertutup dan mempersilahkan para Peninjau untuk meninggalkan ruangan rapat.

Pasal 87

(1) Pembicaraan dalam rapat tertutup pada dasarnya bersifat rahasia dan tidak boleh diumumkan.

(2) Sifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) pasal ini, juga harus dipegang teguh oleh mereka yang mengetahui pembicaraan dalam rapat tertutup itu.

(3) Berhubung dengan sifatnya dan atau karena hal tertentu, maka atas usul Pimpinan Rapat, pihak Pemerintah dan atau salah satu Fraksi, rapat dapat memutuskan untuk mengumumkan seluruhnya atau sebagian dari pembicaraan dalam rapat tertutup itu.

Tatacara Rapat

Pasal 88

(1) Sebelum menghadiri rapat, setiap Anggota menandatangani daftar hadir.

(2) Untuk para Undangan disediakan daftar hadir tersendiri.

Pasal 89

( 1) Apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat, daftar hadir telah ditandatangani oleh Iebih dari separuh jumlah Anggota Rapat dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi, maka Ketua Rapat membuka rapat.

(2) Apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum dipenuhi, maka Ketua Rapat menunda pembukaan rapat tersebut paling lama satu jam.

(3) Jika pada akhir waktu penundaan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum juga dipenuhi, maka Ketua Rapat dapat membuka rapat, dengan ketentuan bahwa rapat tersebut tidak berwenang untuk mengambil keputusan.

Pasal 90

(1) Sesudah rapat dibuka, Ketua Rapat meminta Sekretaris untuk memberitahukan kepada rapat mengenai surat masuk dan surat ke luar.

(2) Rapat dapat membicaraan surat masuk dan surat keluar tersebut.

Pasal 91

(1) Setelah semua acara yang telah ditetapkan selesai dibicarakan, maka Ketua Rapat menutup rapat.

(2) Apabila acara yang telah ditetapkan untuk rapat tersebut belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 telah habis, maku Ketua Rapat menunda penyelesaian acara tersebut untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya, atau meneruskan penyelesaian acara tersebut atas persetujuan rapat.

(3) Sebelum menutup rapat, Ketua Rapat mengemukakan pokok-pokok keputusan dan atau kesimpulan yang telah dihasilkan oleh rapat.

Pasal 92

Apabila Ketua berhalangan, maka rapat dipimpin oleh salah seorang Wakil Ketua dan apabila Ketua dan Wakil-Wakil Ketua berhalangan, maka rapat dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya diantara yang hadir.

Tatacara Merubah Acara Rapat Yang Telah Ditetapkan

Pasal 93

(1) Usul perubahan mengenai acara yang telah ditetapkan, baik mengenai perubahan waktu dan atau mengenai masalah baru yang ingin dimasukkan dalam acara, dapat diajukan oleh Fraksi, dan alat kelengkapan DPR, atau oleh pihak Pemerintah kepada Pimpinan DPR untuk segera dibicarakan dalam rapat Badan Musyawarah.

(2) Usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diajukan secara tertulis dengan menyebutkan masalah dan waktu yang diusulkan, selambat-lambatnya dua hari sebelum acara rapat yang bersangkutan dilaksanakan.

(3) Pimpinan DPR dapat mengajukan usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini kepada Badan Musyawarah.

(4) Badan Musyawarah membicarakan dan mengambil keputusan terhadap usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (3) pasal ini.

(5) Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat, maka berlakulah ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 71.

Pasal 94

(1) Dalam keadaan memaksa, Presiden, Pimpinan DPR atau Fraksi dapat mengajukan usul perubahan acara Rapat Paripurna yang sedang berlangsung.

(2) Rapat yang bersangkutan segera mengambil keputusan terhadap usul perubahan acara itu.

Tatacara Permusyawaratan

Pasal 95

(1) Ketua Rapat menjaga agar rapat dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Peraturan Tata Tertib ini.

(2) Ketua Rapat hanya berbicara selaku Pimpinan Rapat untuk menjelaskan masalah yang menjadi pokok pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan pada pokok persoalan dan menyimpulkan pembicaraan para Anggota.

(3) Apabila Ketua Rapat hendak berbicara selaku Anggota, maka untuk sementara Pimpinan Rapat diserahkan kepada Anggota Pimpinan yang lain.

Pasal 96

(1) Sebelum berbicara, anggota yang akan berbicara mendaftarkan nama lebih dahulu. Pendaftaran itu dapat juga dilakukan oleh Fraksinya.

(2) Anggota yang belum mendaftarkan nama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak berhak ikut berbicara, kecuali bila menurut pendapat Ketua Rapat ada alasan yang dapat diterima.

Pasal 97

(1) Giliran berbicara diatur oleh Ketua Rapat menurut urutan pendaftaran nama.

(2) Anggota berbicara di tempat yang telah disediakan setelah di-

persilahkan oleh Ketua Rapat.

(3) Seorang Anggota yang berhalangan pada waktu mendapat giliran berbicara, dapat digantikan oleh Anggota lain dari Fraksinya dengan sepengetahuan Ketua Rapat.

(4) Pembicaraan dalam rapat tidak boleh diganggu selarna berbicara.

Pasal 98

(1) Ketua Rapat dapat menentukan lamanya para Anggota berbicara.

(2) Apabila seorang pernbicara melampaui batas waktu yang telah ditentukan, Ketua Rapat memperingatkannya untuk mengakhiri pembicaraan, dan harus ditaati.

Pasal 99

(1) Setiap waktu di dalam rapat dapat diberi kesempatan interupsi kepada Anggota untuk:

a. meminta penjelasan tentang duduk persoalan sebenarnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan.
b. menjelaskan soal-soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan atau tugasnya.
c. mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan, atau
d. mengajukan usul agar rapat ditunda untuk sementara,

(2) Ketua Rapat dapat membatasi lamanya pembicaraan mengadakan interupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Terhadap pembicaraan mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b pasal ini tidak diadakan pembahasan.

(4) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d pasal ini, untuk dapat menjadi pokok pembicaraan, harus mendapat persetujuan dari rapat.

Pasal 100

(1) Seorang pembicara tidak diperkenankan menyimpang dari pokok pembicaraan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 99.

(2) Apabila seorang pembicara menurut pendapat Ketua Rapat menyimpang dari pokok pembicaraan, maka Ketua Rapat memperingatkan dan meminta supaya pembicara kembali pada pokok pembicaraan.

Pasal 101

Apabila seorang pembicara dalam rapat menggunakan kata-kata yang tidak layak, atau melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban rapat, atau menganjurkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, maka Ketua Rapat memperingatkan agar yang bersangkutan menghentikan perbuatan itu dan atau memberi kesempatan kepadanya untuk menarik kembali kata-katanya.

Jika pembicara memenuhi permintaan Ketua Rapat, maka kata-katanya itu dianggap tidak pernah diucapkan dan tidak dimuat dalam Risalah atau Catatan Rapat.

Pasal 102

(1) Apabila seorang pembicara tidak memenuhi peringatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 101, Ketua Rapat melarang pembicara tersebut untuk meneruskan pembicaraannya.

(2) Jika peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini masih juga tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, maka Ketua Rapat meminta yang bersangkutan meninggalkan rapat.

(3) Apabila Anggota tersebut tidak mengindahkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang bersangkutan dikeluarkan dengan paksa dari ruangan rapat atas perintah Ketua Rapat. Yang dimaksud dengan ruangan rapat ialah ruangan yang dipergunakan untuk rapat termasuk ruangan untuk umum, undangan dan para tamu lainnya.

Pasal 103

(1) Apabila terjadi peristiwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 dan pasal 102, dan Ketua Rapat berpendapat bahwa rapat tidak mungkin dilanjutkan, maka Ketua Rapat dapat menutup atau menunda rapat tersebut.

(2) Lamanya penundaan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak boleh melebihi 24 (duapuluh empat) jam.

Risalah, Catatan Rapat dan Laporan Singkat

Pasal 104

(1) Untuk setiap Rapat Paripurna, dibuat Risalah Resmi yang ditandatangani oleh Ketua Rapat.

(2) Risalah ialah catatan Rapat Paripurna yang dibuat secara leng-

kap dan berisi seluruh jalannya pembicaraan yang dilakukan dalam rapat, serta dilengkapi dengan catatan tentang:

a. jenis dan sifat rapat,
b. hari dan tanggal rapat,
c. tempat rapat,
d. acara rapat,
e. waktu pembukaan dan penutupan rapat,
f. Ketua dan Sekretaris Rapat,
g. jumlah Anggota dan nama Anggota yang hadir dalam rapat, dan
h. undangan yang hadir.

Pasal 105

(1) Setelah rapat selesai, Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Risalah Sementara untuk segera dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap Risalah Sementara itu dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya Risalah Sementara tersebut dan menyampaikannya kepada Sekretariat DPR.

(3) Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini lewat, maka Sekretaris Rapat segera menyusun Risalah Resmi untuk dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(4) Apabila terjadi perbeaaan pendapat tentang isi Risalah, keputusan diserahkan kepada Ketua Rapat yang bersangkutan.

Pasal 106

(1) Untuk setiap Rapat Pimpinan DPR, Rapat Badan Musyawarah, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat BURT, Rapat BKSAP dan Rapat Panitia Khusus, dibuat Catatan Rapat yang ditandatangani oleh Ketua Rapat.

(2) Catatan Rapat ialah suatu catatan yang memuat pokok-pokok pembicaraan, kesimpulan dan keputusan yang dihasilkan dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, serta dilengkapi dengan catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan huruf h pasal 104.

(3) Untuk rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, juga dibuat Laporan Singkat yang hanya memuat kesimpulan dan keputusan rapat.

Pasal 107

(1) Setelah rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 106 selesai, Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Catatan Rapat Sementara untuk segera dibagikan kepada Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap Catatan Rapat Sementara itu dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya Catatan Rapat Sementara tersebut dan menyarnpaikannya kepada Sekretaris Rapat yang bersangkutan.

Pasal 108

(1) Pada Risalah, Catatan Rapat dan atau Laporan Singkat mengenai rapat yang bersifat tertutup, harus dicantumkan dengan jelas kata "RAHASIA", dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 87.

(2) Rapat yang bersifat tertutup dapat memutuskan bahwa sesuatu hal yang dibicarakan dan atau diputuskan dalam rapat itu tidak dimaksukkan dalam Risalah, Catatan Rapat dan atau Laporan Singkat.

Undangan dan Peninjau

Pasal 109.

(1) Undangan ialah mereka yang bukan Anggota DPR yang hadir dalam rapat DPR atas undangan Pimpinan DPR dan Anggota DPR bukan Anggota suatu alat kelengkapan DPR yang hadir dalam rapat alat kelengkapan tersebut atas undangan Pimpinan DPR atau Pimpinan alat kelengkapan yang bersangkutan.

(2) Peninjau ialah mereka yang hadir dalam rapat DPR tanpa undangan Pimpinan DPR.

(3) Untuk Undangan dan Peninjau disediakan tempat tersendiri.

(4) Undangan dan Peninjau wajib mentaati tata tertib rapat dan atau ketentuan lain yang diatur oleh DPR.

(5) Undangan dapat berbicara dalam rapat atas persetujuan Ketua Rapat, tetapi tidak mernpunyai hak suara, sedangkan Peninjau disamping tidak mempunyai hak suara, juga tidak dibenarkan menyatakan sesuatu, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain.

Pasal 110.

(1) Ketua Rapat menjaga agar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 109 tetap dipatuhi.

(2) Ketua Rapat dapat meminta agar Undangan dan atau Peninjau yang mengganggu ketertiban rapat meninggalkan ruangan rapat, dan apabila permintaan itu tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, Ketua Rapat mengeluarkannya dari ruangan rapat dengan paksa.

(3) Dalam hal terjadi apa yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, Ketua Rapat dapat menutup atau menunda rapat.

(4) Lamanya penundaan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini tidak boleh melebihi 24 (dua puluh empat) jam.

BAB XIII

PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Ketentuan Umum

Pasal 111.

(1) DPR bersama Presiden membentuk undang-undang.

(2) Rancangan Undang-undang dapat berasal dari Pemerintah atau berupa usul inisiatif dari DPR.

Pasal 112.

(1) Di dalam Rapat Paripurna berikutnya setelah Rancangan Undang-undang diterima oleh Pimpinan DPR, Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya Rancangan Undang-undang tersebut.

(2) Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

Pasal 113.

Bilamana ada dua Rancangan Undang-undang yang diajukan mengenai persoalan yang sama, maka yang dibicarakan adalah Rancangan Undang-undang yang diterima lebih dulu, sedangkan Rancangan Undang-undang yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pelengkap.

Pasal 114.

Rancangan Undang-undang yang sudah disetujui DPR, disampaikan o1eh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-undang.

Tingkat-tingkat Pembicaraan

Pasal 115.

(1) Pembahasan sesuatu Rancangan Undang-undang dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan, kecuali kalau Badan Musyawarah menentukan lain.

(2) Empat tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, adalah sebagai berikut:

tingkat I dalam Rapat Paripurna,
tingkat II dalam Rapat Paripurna,
tingkat III dalam Rapat Komisi, dan
tingkat IV dalam Rapat Paripurna.

(3) Sebelum dilakukan pembicaraan tingkat II, III dan IV ditiadakan Rapat Fraksi.

(4) Apabila dipandang perlu Badan Musyawarah dapat menetapkan bahwa pembicaraan tingkat III dilakukan dalam Rapat Gabungan Komisi atau dalam suatu Panitia Khusus.

Pasal 116.

Pembicaraan tingkat I ialah:

Keterangan atau penjelasan dalam Rapat Paripurna atas Rancangan Undang-undang oleh Pemerintah atau Pengusul.

Pasal 117.

Pembicaraan tingkat II ialah:

1. a. Pemandangan Umum dalam Rapat Paripurna oleh para Anggota DPR yang membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Undang-undang beserta keterangan/penjelasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116;

b. Tanggapan Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif beserta keterangan/penjelasan Pengusul sebagaimana dimaksud dalam pasal 116.

2. a. Jawaban Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Pemandangan Umum para Anggota sebagairnana dimaksud pada angka 1 huruf a;

b. Jawaban Pengusul terhadap Pemandangan Umum para Anggota sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dan terhadap tanggapan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b.

Pasal 118.

Pembicaraan tingkat III ialah:

Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus, yang dilakukan:
a. bersama-sama dengan Pemerintah, apabila membahas Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah,
b. bersama-sama dengan para Pengusul dan Pemerintah, apabila membahas Rancangan Undang-undang Usul Inisiati I, dan
c. secara intern apabila dipandang perlu, tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.

Pasal 119.

(1) Pembicaraan tingkat IV ialah:

Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna dengan didahului laporan hasil pembicaraan tingkat III, dan Pendapat Akhir dari Fraksi yang disampaikan oleh Anggotanya.

(2) Apabila dipandang perlu, Pendapat Akhir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat pula disertai dengan catatan tentang pendirian Fraksi (minderheidsnota).

(3) Terhadap pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, kepada Pemerintah diberikan kesempatan untuk menyampaikan sambutan.

Rancangan Undang-undang Dari Pemerintah

Pasal 120.

(1) Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah dismpaikan kepada Pimpinan DPR dengan Amanat Presiden.

(2) Amanat Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, menyebut juga Menteri yang mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut.

Pasal 121.

Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah dapat ditarik kembali, sebelum memasuki pembicaraan tingkat IV.

Pasal 122.

Rancangan Undang-undang untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara Iain yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR, dibahas dan diselesaikan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119.

Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif

Pasal 123.

(1) Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh para Anggota DPR berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 harus disertai memori penjelasan dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

(2) Tiap-tiap pengajuan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus diajukan kepada Pimpinan DPR dengan surat pengantar dan daftar tanda tangan para Pengusul serta nama Fraksinya.

(3) Dalam rapat Pleno berikutnya Pimpinan DPR memberitahukan kepada DPR tentang masuknya Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

(4) Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dimaksud setelah oleh Sekretariat DPR diberi nomor pokok diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR dan disampaikan kepada Pemerintah.

(5) Dalam rapat Badan Musyawarah kepada Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan daripada Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut. Kemudian kepada Anggota Badan Musyawarah diberi kesempatan untuk mengadakan tanya jawab dengan para Pengusul.

(6) Terhadap penyelesaian selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan pasal 115 sampai dengan 119 dengan memperhatikan ketentuanketentuan yang khusus berlaku dalam Usul Inisiatif tersebut.

Pasal 124.

(1) Selama suatu Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum disetujui menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR dan hams ditandatangani oleh para Pengusul, kemudian diperbanyak dan disampaikan kepada para Anggota DPR.

Pasal 125.

Apabila jumlah penandatangan Rancangan Undang-undang Usul inisiatif dan usul-usul lain yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 30 (tiga puluh) orang sebagaimana dimak-

sud dalam ayat (1) pas al 123, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

Apabila sampai dua kali Masa Persidangan

Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul yang bersangkutan menjadi gugur.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Pasal 126.

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibicarakan oleh DPR pada kesempatan pertama dalam Masa Sidang berikutnya setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang terscbut dikeluarkan.

(2) Terhadap pembahasan dan penyelesaian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119.

BAB XIV

PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA NEGARA

Pasal 127.

Dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c pasal 4, maka diadakan kegiatan sebagai berikut :

a. penyampaian Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta Nota Keuangannya oleh Presiden kepada DPR dan pembahasannya serta penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

b. penyampaian dan pembahasan serta penetapan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

c. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

d. penyampaian dan pembahasan Laporan Setengah Tahunan,

e. pembahasan bersama dengan Pemerintah tentang perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan, dan

f. penyampaian dan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran.

Pasal 128.

Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya disampaikan oleh Presiden kepada DPR dalam 7 (tujuh) hari pertama tiap permulaan Tahun Takwin.

Pasal 129.

Komisi APBN segera membahas Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 dan memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna.

Pasal 130.

(1) Penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya dilaksanakan sepeti penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119, dengan tambahan ketentuan sebagai berikut :

a. Rapat Kerja dengan Pemerintah dilakukan oleh Komisi-komisi,

b. Komisi APBN mengadakan rapat dengan Pimpinan Komisi-komisi untuk menampung saran dan pendapat dari Komisi-komisi, dan

c. Rapat Kerja penyelesaian terakhir Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilakukan oleh Komisi APBN dengan Pemerintah dengan memperhatikan saran dan pendapat dari Pemandangan Umum para Anggota, Komisikomisi, Badan Musyawarah dan Fraksi-fraksi,

(2) Hasil pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya disampaikan oleh Komisi APBN kepada DPR dalam Rapat Paripurna.

{3) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya harus selesai selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 1 April Tahun Anggaran yang bersangkutan.

Pasal 131.

(1) Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja segara disampaikan oleh Presiden kepada DPR sebelum Tahun Anggaran yang bersangkutan berakhir.

(2) Penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilaksanakan seperti penyelesaian Anggaran induknya dengan menempuh prosedur sesingkat-singkatnya dan selesai selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Pemerintah menyampaikan penjelasan mengenai Rancangan Undang-undang tersebut kepada DPR.

Pasal 132.

( 1) Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara oleh Komisi-komisi dalam Rapat Kerja dengan Pemerintah hendaknya dilakukan dalam Masa Sidang pertama pada tiap Tahun Sidang.

(2) Hasil Rapat Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disampaikan dalam rapat antara Pimpinan Komisi-komisi dengan Komisi APBN.

( 3) Rapat Kerja penyelesaian terakhir pembicaraan pendahuluan dilakukan oleh Komisi APBN dengan Pemerintah.

Pasal 133.

(1) Laporan Setengah Tahunan hendaknya diajukan oleh Pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah pertengahan pertama Tahun Anggaran yang bersangkutan berakhir.

(2) Komisi APBN mengadakan pembahasan terhadap Laporan Setengah Tahunan tersebut.

Pasal 134

Komisi APBN mengadakan Rapat Kerja dengan Pemerintah untuk membahas perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan dalam triwulan ketiga setiap Tahun Anggaran.

Pasal 135.

(1) Komisi APBN membahas Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran dan memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna.

(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menurut prosedur seperti yang berlaku bagi penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB XV.

TATA CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Ketentuan Umum

Pasal 136.

( 1) Pengambilan keputusan adalah proses penyelesaian terakhir suatu masalah yang dibicarakan dalam rapat DPR.

(2) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada azasnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat,

(3) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak mungkin lagi, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 137.

(1) Semua jenis rapat DPR dapat mengambil keputusan.

(2) Keputusan rapat DPR berupa menyetujui atau menolak.

Pasal 138.

(1) Setiap rapat DPR untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan mufakat memerlukan quorum sebagaimana dimaksud dalam pasal 140, dan untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak memerlukan quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal 143.

(2) Apabila quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak tercapai, maka rapat ditunda paling banyak dua kali dengan tenggang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.

(3) Apabila setelah dua kali penundaan, quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum juga tercapai, maka:

  1. jika terjadi dalam Rapat Paripurna, permasalahannya menjadi batal,
  2. jika terjadi dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi, Panitia Khusus, BURT dan BKSAP, cara pemecahannya diserahkan kepada Badan
Musyawarah, dan
  1. jika terjadi dalam Rapat Badan Musyawarah, cara pemecahannya diserahkan kepada Pimpinan Badan Musyawarah dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi-fraksi.

Pasal 139.

Setiap keputusan rapat DPR baik berdasarkan mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak mengikat semua pihak yang bersangkutan.

Keputusan Berdasarkan Mufakat

Pasal 140.

Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, bilamana diambil dalam rapat yang daftar hadirnya tel ah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota Rapat dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

Pasal 141

( 1) Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada para Anggota diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, yang kemudian dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan.

(2) Untuk dapat mencapai keputusan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Ketua Rapat atau Panitia yang ditunjuk untuk itu menyiapkan rancangan keputusan yang mencerminkan pendapat dalam rapat.

Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak

Pasal 142.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil, apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin dicapai, karena adanya pendirian dari sebagian Anggota Rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian pihak lain dalam rapat atau karena waktu yang sudah sangat mendesak.

Pasal 143.

(1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila :

  1. diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Anggota sidang (quorum);
  2. disetujui oleh lebih dari separuh jumlah Anggota yang hadir yang
memenuhi quorum;
  1. didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) Fraksi.

(2) Pemberian suara untuk menyatakan setuju, menolak atau tidak menyatakan pilihan (abstain) dilakukan oleh para Anggota Rapat yang hadir dengan cara lisan, mengangkat tangan, berdiri atau tertulis.

(3) Pemungutan suara dilakukan dengan mengadakan penghitungan secara langsung pada masing-masing Anggota, Fraksi demi Fraksi, kecuali dalam hal pemungutan suara secara rahasia.

Pasal 144.

(1) Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai keputusan berdasarkan suara terbanyak dengan satu kali pemungutan suara, maka Ketua Rapat mengusahakan agar dapat diambil keputusan terakhir mengenai masalah tersebut secara keseluruhan.

(2) Apabila dalam mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak ternyata jumlah suara setuju sama besar dengan jumlah suara menolak, maka pemungutan suara ulangan ditangguhkan sampai rapat berikutnya dengan tenggang waktu paling sedikit 24 {dua puluh empat) jam.

(3) Apabila dalam mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak baik jumlah suara setuju maupun jumlah suara menolak tidak mencapai ketentuan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c pasal 143, maka pemungutan suara ulangan ditangguhkan sampai rapat berikutnya dengan tenggang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.

(4) Apabila dalam rapat penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) pasal ini ternyata belum juga dapat dicapai keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka masalah yang bersangkutan dinyatakan gugur.

Pasal 145.

(1) Pemungutan suara tentang orang dan atau masalah yang dipandang penting oleh rapat, dapat dilakukan secara rahasia.

(2) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan cara:

  1. tertulis,
  2. tanpa menyebut nama dan Fraksi pemberi suara, dan
  3. tanpa ditanda tangani.

(3) Apabila pemungutan suara secara rahasia menghasilkan jumlah suara setuju yang sama besar dengan jumlah suara menolak, atau jumlah suara setuju maupun jumlah suara menolak tidak mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal 143, maka pemungutan suara diulangi sekali lagi dalam rapat yang sama, dan apabila pemungutan suara ulangan masih menghasilkan hal yang sama, maka orang dan atau masalah yang bersangkutan dinyatakan ditolak.

BAB XVI

SEKRETARIAT DPR

Kedudukan

Pasal 146.

Sekretariat DPR adalah bagian dari perangkat Pemerintah yang bertugas tetap pada DPR dan berkedudukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara.

Susunan

Pasal 147.

(1) Sekretariat DPR dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal, yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR.

(2) Sekretaris Jenderal DPR dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 148.

(1) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal DPR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas pertimbangan DPR.

(2) DPR dapat mengajukan usul kepada Presiden mengenai pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal DPR.

Pasal 149.

Struktur organisasi dan tata kerja Sekretariat DPR ditetapkan oleh Pimpinan DPR setelah mendengar pertimbangan BURT dengan mengindahkan peraturan perundangan yang berlaku.

Tugas

Pasal 150.

Tugas Sekretariat DPR adalah :

  1. melayani segala kebutuhan DPR, agar DPR dapat melaksanakan

wewenang dan tugasnya dengan sebaik-baiknya:

b. membantu Pimpinan DPR menyiapkan penyusunan Rancangan Anggaran Belanja DPR, dengan ketentuan :

(a) hasil penyusunan Rancangan Anggaran Belanja DPR tersebut, sebelum disampaikan kepada Pimpinan DPR, terlebih dahulu disampaikan kepada BURT untuk diadakan penelitian dan penyempurnaan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sub (b) pasal 60,

(b) dalam proses penyelesaian Rancangan Anggaran Belanja DPR selanjutnya Sekretariat DPR harus senantiasa berkonsultasi dengan BURT, sebagai pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sub [c] pasal 60.

(c) melaksanakan tugas lain yang dibebankan oleh Pimpinan DPR kepadanya,

(d) melaporkan secara tertulis pelaksanaan tugasnya selama Masa Persidangan yang lalu kepada Pimpinan DPR pada setiap permulaan Masa Persidangan, dengan memberikan tembusan kepada Anggota Badan Musyawarah dan Anggota BURT;

c. melaksanakan hal-hal lain yang ditentukan oleh peraturan perundangan.

Pasal 151.

Sekretaris Jenderal DPR, dengan persetujuan DPR, dapat menjadi anggota organisasi internasional yang menghimpun para Sekretaris Jenderal Parlemen, dan memberikan laporan tertulis serta pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatannya dalam organisasi tersebut kepada Pimpinan DPR, dengan memberikan tembusan kepada Badan Musyawarah.

BAB XVII.

SURAT MASUK DAN SURAT KELUAR

Ketentuan Umum

Pasal 152.

Tata cara pencatatan surat masuk dan surat keluar serta penanganan selanjutnya diatur oleh Sekretaris jenderal DPR.

Surat Masuk

Pasal 153.

(1) Semua surat yang dialamatkan kepada DPR diterima oleh Sekretariat DPR dan segera dicatat serta diberi nomor agenda.

(2) Semua surat masuk, kecuali yang menyangkut tugas intern Sekretariat DPR, segera dijawab oleh Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan DPR, yang memberitahukan kepada pengirim bahwa suratnya telah diterima, dan apabila dipandang perlu dengan diberi keterangan bahwa masalahnya sedang dalam proses pengolahan.

Pasal 154.

(1) Semua surat masuk beserta tembusan surat jawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 153, disampaikan oleh Sekretaris Jenderal kepada Pimpinan DPR.

(2) Pimpinan DPR menentukan apakah surat masuk tersebut akan ditanganinya sendiri, atau diteruskan kepada alat kelengkapan DPR lainnya dan atau Pimpinan Fraksi, sesuai dengan permasalahannya.

(3) Apabila Pimpinan DPR memandang perlu, surat masuk dapat diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

Pasal 155.

(1) Sekretariat alat kelengkapan DPR setelah menerima surat-surat dari Pimpinan DPR, membuat daftar penerimaan surat, yang memuat dengan singkat pokok-pokok isi surat, dan segera disampaikan kepada Pimpinan alat kelengkapan DPR yang bersangkutan.

(2) Pimpinan alat kelengkapan DPR dalam Rapat Pimpinan membicarakan isi surat-surat masuk itu serta cara penyelesaian selanjutnya.

(3) Apabila Pimpinan alat kelengkapan DPR memandang perlu, surat masuk dapat diperbanyak oleh Sekretariat yang bersangkutan dan dibagikan kepada para Anggota untuk dibicarakan dalam rapat alat kelengkapan yang bersangkutan, serta di tetapkan cara penyelesaian selanjutnya.

Surat Keluar

Pasal 156.

(1) Konsep surat jawaban tanggapan terhadap surat dan atau masuk yang dibuat oleh alat kelengkapan DPR, disampaikan kepada

Pimpinan DPR melalui Sekretaris Jenderal.

(2) Apabila isi surat jawaban yang dibuat oleh alat kelengkapan DPR disetujui oleh Pimpinan DPR, maka surat jawaban tersebut segera dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan,

(3) Apabila isi surat jawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak disetujui oleh pimpinan DPR, maka masalahnya dibicarakan dengan Pimpinan alat kelengkapan DPR yang bersangkutan,

(4) Apabila pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini tidak menghasilkan kesepakatan, maka masalahnya diajukan kepada Badan Musyawarah untuk ditentukan penyelesaian selanjutnya.

Pasal 157.

(1) Semua surat keluar ditandatangani oleh salah seorang Anggota Pimpinan DPR atau Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur lebih lanjut oleh Pimpinan DPR.

Pasal 158.

(1) Pengiriman suar keluar dilakukan oleh Sekretariat DPR.

(2) Sebelum dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan semua surat keluar dicatat dan diberi nomor agenda.

(3) Sekretariat DPR menyampaikan tembusan surat keluar kepada alat kelengkapan DPR yang bersangkutan dan kepada pihak yang dipandang perlu.

(4) Apabila Pimpinan DPR memandang perlu, surat keluar dapat diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

Arsip Surat

Pasal 159.

Tata cara penyusunan arsip surat masuk dan surat keluar diatur oleh Sekretaris Jenderal DPR.

BAB XVIII.

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 160.

(1) Usul perubahan dan tambahan mengenai Peraturan Tata Tertib ini hanya dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari 1 (satu) Fraksi.

(2) Usul perubahan dan atau tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disertai penjelasan, ditandangani oleh para Pengusul dan disampaikan kepada Pimpinan DPR serta Anggota DPR.

Pasal 161.

(1) Usul perubahan dan atau tarnbahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Badan Musyawarah untuk dibahas dan diambil kesimpulan.

(2) Oleh Pimpinan DPR usul perubahan dan atau tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160, dengan disertai kesimpulan Badan Musyawarah, diajukan kepada Rapat Paripurna untuk diambil keputusan.

Pasal 162.

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Tata Tertib diputuskan oleh DPR atas usul Badan Musyawarah.


——————————

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

No. 18/DPR-RI/IV/77-78

tentang

PEMBENTUKAN KOMISI-KOMISI DALAM

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

SERTA

PENENTUAN RUANG LINGKUP TUGAS

MASING-MASING KOMISI.

—————

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLlK INDONESIA

Dalam Rapat Paripuma ke-26 pada tanggal 29 Juni 1978,

Menimbang:

Bahwa untuk melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dipandang perlu untuk segera membentuk Komisi-komisi dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta menentukan ruang lingkup tugas masing-masing Komisi.

Mengingat:

  1. Undang-undang No. 15 tahun 1969 tentang Pernilihan Umum, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 4 tahun 1975, dan Undang-undang No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 tahun 1975;
  2. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 4/DPR-RI/11/77-78 tentang Pembentukan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan segala perubahan dan tambahannya;
  3. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 2/DPR-RI/Il/77- 78 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Memperhatikan:

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada tanggal 29 Juni 1978.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI-KOMISI DALAM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SERTA PENENTUAN RUANG LINGKUP TUGAS MASING-MASING KOMISI.

Pertama:

Di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dibentuk 11 (sebelas) Komisi dengan ruang lingkup tugas masing-masing sebagai berikut:

1. Komisi I :

Dewan Pertimbangan Agung,
Departemen Luar Negeri,
Departemen Pertahanan dan Keamanan,
Departernen Penerangan,
Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional,
Badan Koordinasi Intelijen Negara, dan Lembaga Sandi Negara;

2. Komisi II :

Departemen Dalam Negeri,
Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara,
Menteri/Sekretaris Negara,
Badan Administrasi Kepegawaian Negara,
Lembaga Administrasi Negara, dan Arsip Nasional;

3. Komisi III :

Mahkamah Agung,
Departemen Kehakiman, dan
Kejaksaan Agung;

4. Komisi IV :

Departemen Pertanian,
Menteri Muda Urusan Produksi Pangan,
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Muda Urusan Transmigrasi;

5. Komisi V :

Departemen Perhubungan,
Departemen Pekerjaan Umum,
Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat, Dewan Telekomunikasi, dan Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia;

6. Komisi VI :

Departemen Perindustrian,
Departemen Pertambangan dan Energi, dan
Badan Kordinasi Penanaman Modal;

7. Komisi VII :

Departemen Keuangan,
Departemen Perdagangan dan Koperasi,
Menteri Muda Urusan Koperasi,
Bank Indonesia, dan
Badan Urusan Logistik;

8. Komisi VIII:

Departemen Kesehatan,
Departemen Sosial, dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional;

9. Komisi IX :

Departemen Agama,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Menteri Muda Urusan Pemuda;

10. Komisi X :

Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup,
Menteri Negara Riset dan Teknologi,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Badan Tenaga Atom Nasional,
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, dan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; 11. Komisi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara): Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga-lembaga Tinggi Negara, Semua Departernen, dan Semua Lembaga Pemerintah Non Departemen, sepanjang bersangkutan dengan Anggaran Pcndapatan dan Belanja Negara.

Kedua:

Beberapa Komisi yang merupakan Gabungan Komisi, mempunvai ruang lingkup tugas sebagai berikut : 1. Komisi I, Komisi II, dan Komisi III : Menteri Kordinator Bidang Politik dan Keamanan;

2. Komisi IV, Kornisi V, Komisi VI, Kornisi VII, dan Komisi APBN : Menteri Kordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri;

3. Komisi VIII, Komisi IX, dan Komisi X : Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita.

Ketiga:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 1978.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 29 Juni 1978.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

ttd.

DARYATMO

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

NO. 14/DPR-RI/IV/78-79

TENTANG

PENYEMPURNAAN PERATURAN

TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

dalam Rapat Paripurna ke-38 pada

tanggal 28 Juni 1979

Menimbang:

  1. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia perlu memiliki suatu Peraturan Tata Tertib dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal yang bersifat tetap, yang akan mengatur tatacara untuk menghayati kedudukan, susunan, wewenang, tugas, hak dan tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beserta alat-alat kelengkapannya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Bahwa dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berlaku sekarang ini masih terdapat pasal-pasal yang bersifat sementara, sehingga perlu disempumakan agar menjadi ketentuan yang bersifat tetap;
  3. Bahwa dalam Peraturan Tata Tertib yang berlaku sekarang ini terdapat pula ketentuan-ketentuan yang perlu disesuaikan dengan hasil penyempurnaan terhadap pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada angka 2.

Mengingat:

  1. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 4/DPR-RI/11/77-78 tentang Pembentukan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dengan segala perubahan dan tambahannya;
  2. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RI/IV/77-78 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Memperhatikan:

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripuma pada tanggal 28 Juni 1979.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN DEWAN PERVAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYEMPURNAAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.

Pertama:

Menyempurnakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 8 huruf f, 10 ayat (1), 12 ayat (3), 14 ayat (1), 15 ayat (1), 20 ayat (2), 24 ayat (1), 28 ayat (3), 44 ayat (3) dan (4), 76 ayat (1) huruf c, 123, 124, 125, 143 ayat (1) dan 160 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang termuat dalam lampiran Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RT/IV/7778, sehingga menjadi ketentuan yang bersifat tetap, dan ketentuan-ketentuan tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8.

f. hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 10.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dapat mengajukan usul kepada DPR untuk meminta keterangan kepada Presiden tcntang suatu kebijaksanaan Pemerintah.

Pasal 12.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul perrninraan keterangan yang belum memasuki pembicaraan Rapat Paripuma sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 11 ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 14.

(1) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, DPR dapat menyatakan pendapatnya terhadap jawaban Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 13.

Pasal 15.

(1) Sejumlah Anggota DPR sesuai dengan ketentuan Undang-undang, yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal.

Pasal 20.

(2) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh Iima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat dibicarakan dalam Rapat DPR kecuali apabila DPR menentukan lain.

Pasal 24.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan usul pemyataan pendapat, baik yang berhubungan dengan soal yang sedang dibicarakan maupun mengenai soal lain.

Pasal 28.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul pernyataan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh Iima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 44.

(3) Calon Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR diusulkan oleh para Anggota dalam satu paket.

(4) Setiap usul paket sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal

ini harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR.

Pasal 76.

(1) c. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah.

Pasal 123.

(1) Usul Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh para Anggota DPR berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya disebut usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif harus disertai penjeiasan tertulis dan ditanda-tangani oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

(2) Tiap-tiap pengajuan usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan kepada Pimpinan DPR dengan surat pengantar dan daftar tandatangan para Pengusul serta nama Fraksinya.

(3) Dalam Rapat Paripuma berikutnya Pimpinan DPR memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya usul Rancangan Undangundang Usul Inisiatif.

(4) Usul Rancangan Undang-undang Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibagikan kepada para Anggota.

(5) Dalam Rapat Badan Musyawarah kepada Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan daripada usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

Kemudian kepada para Anggota Badan Musyawarah diberi kesempatan untuk mengadakan tanyajawab dengan Pengusul.

(6) Rapat Paripurna memutuskan apakah usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR atau tidak.

Keputusan tersebut diambil setelah kepada Pengusul diberi kesempatan memberi penjelasan dan kepada Fraksi-fraksi memberikan pendapatnya.

(7) Apabila usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini telah diputuskan menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, maka DPR menugaskan kepada Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus yang dibentuk untuk membahas dan menyelesaikan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

(8) Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) pasal ini, disampaikan oieh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut bersama-sama DPR.

(9) Terhadap pembahasan dan penyelesaian selanjutnya, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119 dengan memperhatikan ketentuan yang khusus berlaku untuk Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 124.

(1) Selama suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum dibicarakan dalam Badan Musyawarah, para Pengusul berhak mengajukan perubahan-perubahan.

(2) Selama suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum diputuskan menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, para Pengusul berhak menariknya kembali.

(3) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR, yang kemudian membagikannya kepada para Anggota.

Pasal 125.

Apabila sebelum pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) pasal 123, jumlah penandatangan suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi.

Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 143.

(1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah, apabila:

a. diambil dalam rapat yang daftar hadirnya telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Rapat (korum),
b. disetujui oleh lebih dari separoh korum,

c. didukung oleh tidak hanya satu Fraksi.

Pasal 160.

(1) Usul perubahan dan tambahan mengenai Peraturan Tata Tertib ini hanya dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima] orang Anggota DPR.

Kedua:

Menyesuaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 9 ayat (1), 111 ayat (2), 116, 117 dan 118 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang termuat dalam lampiran Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17/DPR-RI/IV/77-.78, dengan hasil penyempurnaan sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama, sehingga menjadi ketentuan yang bersifat tetap, dan ketentuan-ketentuan tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9.

(1) Selain hak-hak DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Anggota DPR mempunyai:

a. hak mengajukan pertanyaan;

b. hak protokoler dan hak keuangan/administratif.

Pasal 111

(2) Rancangan Undang-undang dapat berasal dari Pemerintah atau berupa Usul Inisiatif dari DPR.

Pasal 116.

Pembicaraan tingkat I ialah:

Keterangan atau penjelasan dalam Rapat Paripurna:

a. oleh Pemerintah terhadap Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah;

b. oleh Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus atas nama DPR terhadap Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 117.

Pembicaraan tingkat II ialah :

1. a. Pemandangan Umum dalam Rapat Paripurna oleh para Anggota DPR yang membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Undang-undang beserta Keterangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 huruf a;

b. Tanggapan Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif beserta penjelasan Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 huruf b.

2. a. Jawaban Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Pemandangan Umum para Anggota sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a;

b. Jawaban Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus atas nama DPR terhadap tanggapan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b.

Pasal 118.

Pembicaraan tingkat III ialah :

a. Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus,yang dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah;

b. Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus, yang dilakukan secara intern apabila dipandang perlu tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Ketiga:

Menyatakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 56 dan BAB XIV Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang termuat dalam lampiran Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 17 /DPR-RI./IV /77- 78, menjadi ketentuan yang bersifat tetap.

Keempat :

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah sebagaimana yang tennuat dalam lampiran yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Keputusan ini. Kelima:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta.

Pada tanggal : 28 Juni 1979.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

ttd.

DARYATMO

PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

(Lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

No.14/DPR-RI/IV/78-79 tanggal 28 Juni 1979).

BAB I.

KETENTUAN UMUM

Pasal 1.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Peraturan Tata Tertib ini, yang selanjutnya disebut dengan singkatan DPR ialah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang keanggotaannya diresmikan pada tanggal 1 Oktober 1977.

(2) DPR melaksanakan tugasnya berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 clan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(3) Anggota DPR adalah wakil rakyat yang telah mengangkat sumpah/janji sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat.

BAB II.

KEDUDUKAN, SUSUNAN, WEWENANG

DAN TUGAS DPR.

Kedudukan

Pasal 2.

DPR adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.III/MPR/1978 dan merupakan suatu wahana untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila.

Susunan

Pasal 3.

(1) DPR beranggotakan 460 (empat ratus enam puluh) orang, terdiri atas anggota Golongan Politik dan Golongan Karya, yang mengelompokkan diri dalam Fraksi-fraksi·

(2) DPR terdiri atas Fraksi-fraksi, Pimpinan DPR, Badan Musyawarah, Komisi-komisi, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerjasama Antar Parlemen dan Panitia-panitia Khusus.

(3) DPR mempunyai sebuah Sekretariat sebagai unsur pelayanan.

Wewenang dan Tugas

Pasal 4.

(1) Wewenang dan tugas DPR adalah :

a. bersama-sama dengan Presiden membentuk Undang-undang;

b. bersama-sama dengan Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. melakukan pengawasan atas :

(a) pelaksanaan Undang-undang,

(b) pelaksanaan Aggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pengelolaan keuangan Negara, dan

(c) kebijaksanaan Pemerintah. sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;.

d. membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;

e. membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan Negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

f. melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada DPR.

(2) Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang dan tugasnya, DPR dapat mengadakan konsultasi dan kordinasi dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya.

BAB III.

KEANGGOTAAN DPR

Pasal 5.

Anggota DPR harus tetap memenuhi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 6.

Anggota DPR berhenti bersama-sama pada saat Anggota DPR hasil Pemilihan Umum berikutnya mengangkat sumpah/janji.

Pasal 7.

(1) Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan DPR;
c. tidak memenuhi lagi persyaratan keanggotaan DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 5;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai Anggota DPR;
e. diganti oleh Organisasi/Golongan yang bersangkutan, setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan DPR;
f. merangkap jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua dan Hakim-hakim Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan lain yang tidak mungkin dirangkap, yang diatur dalam peraturan perundangan.

(2) Anggota yang berhenti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tempatnya diisi oleh:

a. calon dari Organisasi/Golongan yang bersangkutan;
b. calon dari Pejabat, baik atas usul Instansi/Organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Pejabat itu,

(3) Pemberhentian dan pengangkatan antar waktu Anggota DPR, diresmikan dengan Keputusan Presiden.

BAB IV.

HAK DPR DAN HAK ANGGOTA DPR

Pasal 8.

Untuk melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 4, DPR mempunyai:

a. hak meminta keterangan (interpelasi);
b. hak mengadakan penyelidikan (angket);
c. hak mengadakan perubahan (amandemen);
d. hak mengajukan pernyataan pendapat;
e. hak mengajukan/menganjurkan seseorang, jika ditentukan oleh suatu peraturan perundangan;

f. hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 9.

(1) Selain hak-hak DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Anggota DPR mempunyai:

  1. hak mengajukan pertanyaan:
  2. hak protokoler dan hak keuangan/administratif.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di muka Pengadilan karena pernyataannya dalam rapat-rapat DPR, baik terbuka maupun tertutup yang diajukan secara lisan atau tertulis, kecuali jika mereka mengumumkan hal-hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 87, atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.

(3)

  1. Tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR harus sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang tindakan kepolisian terhadap Anggota DPR.
  2. Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian ialah:

(a) pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;

(b) meminta keterangan tentang tindak pidana;

(c) penangkapan;

(d) penahanan;

(e) penggeledahan;

(f) penyitaan.

c. Dalam pelaksanaan tindakan kepolisian harus diperhatikan kedudukan protokoler Anggota DPR sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Meminta Keterangan (Interpelasi)

Pasal 10.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR dapat mengajukan usul kepada DPR untuk meminta keterangan kepada Presiden tentang suatu kebijaksanaan Pemerintah.

(2) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini disusun secara singkat, jelas dan ditandatangani oleh para Pengusul, kemudian disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 11.

(1) Dalam Rapat Paripurna berikutnya Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota DPR tentang masuknya usul permintaan keterangan kepada Presiden. Usul tersebut kemudian dibagikan kepada para Anggota.

(2) Dalam Rapat Badan Musyawarah yang diadakan untuk menentukan waktu bilamana usul permintaan keterangan itu dibicarakan dalam Rapat Paripurna, kepada para Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usul tersebut.

(3) Dalam suatu Rapat Paripurna para Pengusul memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan usul permintaan keterangan itu. Keputusan apakah usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui atau ditolak untuk menjadi permintaan keterangan DPR, ditetapkan dalam Rapat Paripuma itu atau dalam Rapat Paripuma yang lain.

Pasal 12.

(1) Selama suatu usul permintaan keterangan belum diputuskan menjadi permintaan keterangan DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan harus ditandatangani tentang perubahan atau penarikan kembali oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR, yang kemudian membagikannya kepada para Anggota.

(3) Anggota jurnlah penandatangan suatu usul permintaan keterangan yang belum memasuki pembicaraan Rapat Paripuma sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 11 ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 13.

(1) Apabila usul permintaan keterangan kepada Presiden tersebut disetujui sebagai permintaan keterangan DPR, maka Pimpinan DPR mengirimkannya kepada Presiden dan mengundang Presiden untuk memberikan keterangan.

(2) Mengenai keterangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diadakan pembicaraan dengan memberikan kesempatan kepada Pengusul maupun Anggota lainnya untuk mengemukakan pendapatnya.

(3) Atas pendapat para Pengusul dan atau Anggota lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, Presiden mernberikan jawabannya.

Pasal 14.

(1) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, DPR dapat menyatakan pendapatnya terhadap jawaban Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 13.

(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat diajukan usul pernyataan pendapat, yang diselesaikan menurut ketentuan yang dimaksud dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Jika sampai waktu penutupan Masa Sidang yang bersangkutan ternyata tidak ada usul pernyataan pendapat yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka pembicaraan mengenai permintaan keterangan kepada Presiden tersebut dinyatakan selesai dalam Rapat Paripurna penurupan Masa Sidang yang bersangkutan.

Mengadakan Penyelidikan (Angket)

Pasal 15.

(1) Sejumlah Anggota DPR sesuai dengan ketentuan Undang-undang, yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal.

(2) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, harus dinyatakan dalam suatu perumusan yang memuat isi yang jelas tentang hal harus diselidiki dengan disertai penjelasan dan rancangan jumlah biaya.

(3) Usul itu setelah ditandatangani oleh para Pengusul disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Pasal 16.

Usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 beserta penjelasan-penjelasan dan rancangan biaya, dibagikan kepada para Anggota dan dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 17.

Badan Musyawarah menetapkan waktu bagi Fraksi-fraksi untuk mempelajari usul tersebut, dan waktu pembicaraannya dalam Rapat Paripurna.

Pasal 18.

(1) Selama suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu hal belum disetujui oleh DPR, para Pengusul berhak untuk mengadakan perubahan atau menariknya kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota dan mengirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul untuk mengadakan penyelidikan mengenai sesuatu hal yang belum dibicarakan dalam Rapat Paripurna, ternyata menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 15, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya mencukupi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang diperlukan tidak dapat dipenuhi, maka usul itu menjadi gugur.

Pasal 19.

(1) Apabila DPR mernutuskan menyetujui usul mengadakan penyelidikan, DPR membentuk suatu Panitia Khusus Penyelidikan yang beranggotakan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang.

(2) Keputusan DPR untuk mengadakan penyelidikan menentukan juga masa kerja dan biaya Panitia Khusus Penyelidikan.

(3) Atas permintaan Panitia Khusus Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, masa kerjanya dapat diperpanjang atau diperpendek oleh DPR.

Pasal 20.

(1) Panitia Khusus Penyelidikan harus memberikan Iaporan tertulis berkala sekurang-kurangnya sebulan sekali kepada Pimpinan DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota DPR dan dikirimkan kepada Presiden.

(2) Atas usul sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, laporan berkala sebagairnana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat dibicarakan dalam Rapat DPR kecuali apabila DPR menentukan lain.

Pasal 21.

(1) Setelah selesai dengan pekerjaannya, Panitia Khusus Penyelidikan memberikan laporan tertulis kepada DPR. Laporan itu dibagikan kepada para Anggota dan kemudian dibicarakan dalam Rapat Paripurna untuk mengambil keputusan akhir, kecuali kalau Rapat Paripurna itu menentukan lain.

(2) Keputusan akhir atas laporan Panitia Khusus Penyelidikan tersebut disampaikan kepada Presiden.

(3) Panitia Khusus Penyelidikan dibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Mengadakan Perubahan (Amandemen)

Pasal 22.

(1) Para Anggota DPR dapat mengajukan usu! perubahan atas usul suatu Rancangan Undang-undang.

(2) Pokok-pokok usul perubahan dikemukakan dalam Pemandangan Umum pada pembicaraan tingkat II.

(3) Usul perubahan disampaikan oleh Anggota dalam pembicaraan tingkat III, untuk dibahas dan diambil keputusan.

Pasal 23.

Pembahasan perubahan dalam Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Jika terpaksa diambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka yang dilakukan pemungutan suara adalah terhadap rumusan baru hasil pendekatan dalam musyawarah.

Mengajukan Pernyataan Pendapat

Pasal 24.

(1) Sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi dapat mengajukan usul pernyataan pendapat, baik yang berhubungan dengan soal yang sedang dibicarakan maupun mengenai soal lain.

(2) Usul pemyataan pendapat tersebut serta penjelasannya disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR.

(3) Dalam Rapat Paripurna yang berikut Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya usul tersebut.

Pasal 25.

Usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dibagikan kepada para Anggota dan dikirirnkan kepada Presiden.

Pasal 26.

(1) Pembahasan dan penyelesaian usul pernyataan pendapat dilakukan dalam 4 (empat) tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115.

(2) Badan Musyawarah menetapkan waktu untuk membicarakan usul pemyataan pendapat tersebut dalam Rapat Paripurna.

(3) Dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang merupakan pembicaraan tingkat I, para Pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan dengan lisan atas usul pernyataan pendapat tersebut.

(4) Dalam pernbicaraan tingkat II, terhadap usul dan penjelasan para Pengusul, kepada Anggota lain diberi kesempatan untuk memberikan pemandangannya dan kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya. Para Pengusul dapat memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota serta pendapat Presiden tersebut.

(5) Jika Rapat Paripurna memandang perlu, maka dapat diberikan kesernpatan satu kali lagi kepada Anggota untuk memberikan pemandangannya, kepada Presiden untuk menyatakan pendapatnya dan kepada Pengusul untuk memberikan jawaban atas pemandangan para Anggota dan pendapat Presiden tersebut.

(6) Setelah pembicaraann sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan (5) pasal ini selesai, maka Rapat Paripurna menentukan tindak lanjut penyelesaiannya.

Pasal 27.

(1) Apabila Rapat Paripurna memandang perlu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai usul pernyataan pendapat tersebut dapat dilakukan dalam pembicaraan tingkat III.

(2) Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat diadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dan atau Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) dengan pihak yang dipandang perlu, termasuk Pengusul.

Pasal 28.

(1) Selama suatu usul pernyataan pendapat belum disetujui oleh

DPR, para Pengusul berhak mengajukan perubahan atau menariknya

kembali.

(2) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR yang kemudian membagikannya kepada para Anggota, dan mengirimkannya kepada Presiden.

(3) Apabila jumlah penandatangan suatu usul pernyataan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I ternyata menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh Iima) orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi. Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Pasal 29.

Setelah pembicaraan tingkat III selesai, maka pembicaraan diakhiri dengan tingkat IV, dimana DPR mengambil keputusan untuk menyetujui atau menolak usul pernyataan pendapat tersebut.

Pasa1 30.

(1) Apabila DPR memutuskan bahwa Presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan pernyataan pendapat untuk mengingatkan Presiden (memorandum).

(2) Tata cara pengajuan usul pemyataan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini serta penyelesaiannya, mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29.

(3) Pelaksanaan selanjutnya daripada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disesuaikan dengan peraturan perundangan yang beriaku.

Mengajukan/Menganjurkan Seseorang, Jika Ditentukan Oleh Suatu Peraturan Perundangan

Pasal 31.

(1) Apabila suatu peraturan perundangan menentukan agar DPR mengajukan/menganjurkan calon untuk mengisi suatu jabatan, maka Rapat Paripurna menugaskan Badan Musyawarah untuk membicarakan dan kernudian memberikan pertimbangannya.

(2) Calon yang diajukan/dianjurkan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (l) pasal ini, sekurang-kurangnya berjumlah 2 (dua) kali dari jabatan yang akan diisi, kecuali apabila peraturan perundangan menentukan lain.

(3) Rapat Paripuma menetapkan calon dengan memperhatikan pertimbangan Badan Musyawarah.

Pasal 32.

Calon yang telah ditetapkan oleh DPR, disampaikan secara tertulis kepada Presiden.

Mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

Pasal 33.

Pelaksanaan hak mengajukan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif dan penyelesaian selanjutnya diatur sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII.

Mengajukan pertanyaan

Pasal 34.

(1) Siap Anggota DPR secara perseorangan maupun bersama-sama dapat mengajukan pertanyaan kepada Presiden.

(2) Pertanyaan itu harus tertulis, disusun singkat serta jelas dan disampaikan kepada Pimpinan DPR.

(3) Apabila dipandang perlu, Penanya, Pimpinan Fraksinya dan atau Pimpinan DPR dapat memberi/merninta penjelasan tentang pertanyaan tersebut.

(4) Pimpinan DPR setelah meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden dengan disertai permintaan agar supaya mendapat jawaban dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, membagikan pertanyaan tersebut kepada para Anggota.

(5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan itu tidak dapat diumumkan.

Pasal 35.

(1) Apabila jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 disampaikan oleh Presiden dengan tertulis, maka tidak diadakan pembicaraan dengan lisan.

(2) Penanya dapat meminta supaya pertanyaan tersebut dijawab dengan lisan.

(3) Apabila Presiden menjawab dengan lisan, maka Penanya dalam rapat yang ditentukan untuk itu dapat mengemukakan lagi dengan singkat penjelasan tentang pertanyaannya supaya Presiden dapat memberikan keterangan yang lebih luas tentang soal yang terkandung di dalam pertanyaan itu.

Kedudukan protokoler dan hak keuangan/administratif.

Pasal 36.

Kedudukan protokoler dan hak keuangan/administratif bagi Pimpinan dan Anggota DPR diatur sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

BAB V.

FRAKSI

Kedudukan

Pasal 37.

Fraksi adalah pengelompokan Anggota DPR, yang terdiri atas kekuatan-kekuatan sosial dan politik, dan mencerminkan susunan golongan dalam masyarakat.

Susunan.

Pasal 38.

(1) DPR yang terdiri dari unsur Golongan Politik dan Golongan Karya sesuai dengan Undang-undang No. 16 tahun 1969 juncto Undang-undang No. 5 tahun 1975, membentuk 4 (empat) Fraksi, ialah:

Fraksi ABRI,
Fraksi Karya Pembangunan,
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, dan
Fraksi Persatuan Pembangunan, disingkat Fraksi Persatuan.

(2) Setiap Anggota DPR harus menjadi Anggota salah satu Fraksi.

Tugas.

Pasal 39.

(1) Fraksi bertugas menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan masing-masing Fraksi.

(2) Fraksi bertugas meningkatkan kemampuan, efektifitas dan efisiensi kerja para Anggota dalam melaksanakan tugasnya, yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.

(3) Guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi, DPR menyediakan sarana yang memadai, dan anggaran menurut perimbangan jumlah Anggota masing-masing Fraksi.

BAB VI.

PIMPINAN DPR

Kedudukan

Pasal 40.

(1) Pimpinan DPR adalah alat kelengkapan DPR dan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR.

Susunan.

Pasal 41.

Pimpinan DPR terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua.

Tugas.

Pasal 42.

(1) Tugas Pimpinan DPR adalah:

a. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR serta mengumumkannya kepada Rapat Paripuma;
b. menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Badan Urusan Rumah Tangga dan Sekretariat DPR;
c. memimpin rapat DPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib ini serta menyimpulkan persoalan yang dibicarakan dalam rapat;
d. melaksanakan keputusan rapat DPR sepanjang menjadi kewajibannya;
e. mengadakan konsultasi dengan Presiden setiap waktu diperlukan;
f. menghadiri rapat alat kelengkapan DPR yang dianggap perlu;
g. mengadakan Rapat Pimpinan DPR sedikit-dikitnya sekali sebulan, antara lain dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas Sekretariat DPR.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Pimpinan DPR bertanggungjawab kepada DPR.

Pasal 43.

(1) Ketua dan Wakil-Wakil Ketua bertugas penuh di DPR.

(2) Apabila Ketua berhalangan, maka kewajibannya dilaksanakan oleh Wakil-Wakil Ketua.

(3) Dalam hal memimpin suatu rapat, apabila Ketua dan Wakil-Wakil Ketua berhalangan, maka rapat itu dipimpin oleh Anggota DPR yang tertua usianya di antara yang hadir.

Cara pemilihan.

Pasal 44.

(1) a. Selama Pimpinan DPR belum ditetapkan, musyawarah untuk sementara waktu dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya dan dibantu Anggota yang termuda usianya, yang disebut Pimpinan Sementara Musyawarah.

b. Dalam hal Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini berhalangan, maka sebagai penggantinya adalah Anggota yang tertua dan atau yang termuda usianya diantara yang hadir.

(2) Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh para Anggota DPR.

(3) Calon Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPR diusulkan oleh para Anggota dalam satu paket.

(4) Setiap usul paket sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini harus diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR.

(5) Usul paket tersebut disampaikan kepada Pimpinan Sementara Musyawarah secara tertulis dengan disertai daftar tandatangan para Pengusul.

(6) Kepada para Pengusul diberikan kesempatan untuk mengemukakan penjelasan atas usulnya melalui jurubicara masing-masing.

(7) Pemilihan Pimpinan DPR diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mencapai mufakat, sehingga merupakan keputusan secara bulat.

(8) Apabila setelah diadakan musyawarah tidak dapat dicapai mufa-

kat, sedangkan jumlah penandatangan pada satu usul paket atau pada paket-paket yang sama isinya telah melampaui jumlah suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menetapkan paket dengan pendukung suara terbanyak menjadi keputusan DPR.

(9) Apabila keputusan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) dan ayat (8) pasal ini tidak tercapai, maka pemilihan dilakukan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana diatur dalam Bab XV.

(10) Apabila Pirnpinan DPR sudah terpilih, maka Pimpinan Sementara Musyawarah menyerahkan pimpinan kepada Pimpinan DPR yang terpilih.

Pasal 45.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua diambil sumpah menurut agamanya masing-masing atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat Paripuma DPR.

(2) Bunyi sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah seperti yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 46.

Apabila terjadi lowongan jabatan Ketua dan atau Wakil Ketua, maka DPR secepatnya mengadakan pemilihan untuk mengisi lowongan tersebut berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Badan Musyawarah dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 40.

BAB VII.

BADAN MUSYAWARAH

Kedudukan

Pasal 47.

Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan.

Pasal 48.

(1) Badan Musyawarah dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(2) Badan Musyawarah beranggotakan 66 (enam puluh enam) orang, dengan perincian:

Fraksi ABRI: 11 (sebelas) orang,

Fraksi Karya Pembangunan: 37 (tiga puiuh tujuh) orang,
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 4 (empat) orang, dan
Fraksi Persatuan Pembangunan: 14 (empat he las) orang.

(3) Badan Musyawarah mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 33 (tiga puluh tiga) orang, dengan perincian:

Fraksi ABRl: 6 (enam) orang,
Fraksi Karya Pembangunan: 18 (delapan belas) orang,
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia: 2 (dua) orang, dan
Fraksi Persatuan Pembangunan: 7 (tujuh) orang.

(4) Anggota Pengganti Badan Musyawarah menggantikan kedudukan Anggota Badan Musyawarah dari Fraksinya yang berhalangan.

Tugas

Pasal 49

Tugas Badan Musyawarah adalah:

a. menetapkan acara DPR untuk satu Tahun Sidang atau satu Masa Persidangan atau sebagian dari suatu Masa Sidang, dan menetapkan ancar-ancar waktu penyelesaian sesuatu masalah, termasuk jangka waktu penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang, dengan tidak mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya;
b. memberikan pedoman serta pertimbangan kepada Pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR;
c. menetapkan pokok kebijaksanaan kerumahtanggaan DPR;
d. menetapkan pokok kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen;
e. melaksanakan hal-hal yang oleh DPR diserahkan kepada Badan Musyawarah.

Rapat dan pengambilan keputusan

Pasal 50

(1) Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan acara DPR dapat mengundang Ketua alat kelengkapan DPR lainnya atau yang mewakilinya dan atau Anggota DPR yang dipandang perlu oleh Badan Musyawarah; mereka yang diundang itu mempunyai hak bicara.

(2) Apabia dalam Masa Reses ada masalah yang menyangkut wewenang dan tugas DPR dianggap prinsipiil dan perlu segera diambil

keputusan, maka Pimpinan DPR selaku Pimpinan Badan Musyawarah secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat.

(3) Pengambilan keputusan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab XV, dan apabila dalam penghitungan suara terdapat Iebih dari satu pendapat yang mempunyai pendukung yang sama jumlahnya, maka Pimpinan Badan Musyawarah memberikan keputusan akhir.

BAB VIII.

KOMISI

Kedudukan

Pasal 51

Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 52

(1) Jumlah Komisi serta ruang lingkup tugas masing-masing ditetapkan oleh DPR dengan surat keputusan tersendiri.

(2) Komisi dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 53

(1) Seriap Anggota DPR, kecuali Anggota Pimpinan DPR, harus menjadi Anggota salah satu Komisi.

(2) Pada tiap permulaan Tahun Sidang, DPR menetapkan komposisi keanggotaan Komisi menurut pertimbangan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi.

(3) Setiap Anggota DPR dapat menghadiri Rapat Komisi tertutup yang bukan Komisinya, dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada Ketua Rapat.

(4) Penggantian antarwaktu Anggota Komisi dapat dilakukan oleh Fraksinya apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Pasal 54

(1) Pimpinan Komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan Komisi terdiri atas seorang Ketua, dan 4 (empat)

orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota Komisi setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan

DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan Komisi diatur sendiri berdasarkan tugas Komisi.

(4) Apabila dalam rapat Pimpinan Komisi ada Anggota Pimpinan yang berhalangan hadir, maka ia dapat digantikan oleh Anggota Fraksinya dalam Komisi yang bersangkutan.

(5) Penggantian antarwaktu Anggota Pimpinan Komisi dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, apabila Anggota yang bersangkutan berhalangan tetap.

Tugas

Pasal 55

(1) Di bidang perundang-undangan, tugas Komisi adalah: mengadakan pembahasan, persiapan serta penyempurnaan perumusan Rancangan Undang-undang yang termasuk ruang lingkup tugasnya, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Bab XIII.

(2) Di bidang anggaran, tugas Komisi adalah:

a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
b. mengadakan pembahasan dan pengajuan usul penyempurnaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
c. mengadakan pembahasan atas laporan Keuangan Negara dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk ruang lingkup tugasnya;
d. memberikan bahan pemikiran kepada Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tentang hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c ayat ini.

(3) Di bidang pengawasan, tugas Komisi adalah:

a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk ruang lingkup tugasnya; b. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang termasuk ruang lingkup tugasnya;
c. menampung suara rakyat, termasuk surat-surat masuk, mengenai hal yang termasuk ruang lingkup tugasnya.

(4) Untuk melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) pasal ini, Komisi dapat:

a. mengadakan Rapat Kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri;
b. mengadakan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya;
c. mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing), baik atas permintaan Komisi maupun atas permintaan pihak lain;
d. mengadakan Kunjungan Kerja ke tempat atau daerah yang dipandang perlu, yang hasilnya atas keputusan Badan Musyawarah dilaporkan kepada DPR dalam Rapat Paripurna untuk ditentukan tindak lanjutnya;
e. mengikuti dengan seksama serta mengadakan penyelidikan terhadap peristiwa yang menyangkut kepentingan rakyat yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri yang termasuk ruang lingkup tugasnya;
f. mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain;
g. mengadakan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (Hearing) apabila dipandang perlu dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya, yang tidak termasuk ruang lingkup tugas Komisi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 52 atas persetujuan Pimpinan DPR;
h. mengadakan Rapat Gabungan Komisi bilamana ada masalah yang menyangkut beberapa Komisi;
i. membentuk Panitia Kerja;
j. melakukan sesuatu tugas atas keputusan DPR dan atau Badan Musyawarah;
k. mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal-hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPR.

(5) Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf, a, b dan c pasal ini tidak boleh dilakukan di luar gedung DPR, kecuali dengan persetujuan Pimpinan DPR.

(6) Kunjungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf d pasal ini tidak boleh dilakukan dalam Masa Sidang, kecuali dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(7) Komisi menentukan tindak lanjut dari hasil pelaksanaan tugas Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) pasal ini, terutama hasil Rapat Kerja dengan Presiden.

Pasal 36

Di samping tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, khusus Komisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disebut dengan singkatan Komisi APBN, bertugas pula:

a. menampung hasil pembicaraan pendahuluan dari Komisi lainnya dengan pihak Pemerintah untuk dijadikan bahan dalam mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b, memberikan pendapat kepada DPR mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang disampaikan oleh Presiden kepada DPK dalam Rapat Paripurna;
c. menampung dan membicarakan semua bahan mengenai Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya yang diperoleh dari:
— Pemandangan Umum para Anggota DPR dan jawaban Pemerintah,
— saran dan pendapat Bagian Musyawarah,
— saran dan pendapat masing-masing Komisi, serta
— saran dan pendapat masing-masing Fraksi;
d. mengikuti perkembangan dan mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan Keuangan Negara pada keseluruhannya;
e. membahas bersama dengan Pemerintah tentang perkiraan Tambahan dan perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan, setelah memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Anggaran Peridapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran yang sedang berjalan;
f. membahas dan mengajukan pendapat terhadap Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR;
g. membahas Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran serta memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna;
h. memberikan pendapatnya mengenai Hasil Pemeriksaan Tahunan Badan Pemeriksa Keuangan kepada DPR untuk ditentukan tindak lanjutnya.

BAB IX

BADAN URUSAN RUMAH TANGGA

Kedudukan

Pasal 57

Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 58.

(1) BURT beranggotakan 33 (tiga puluh tiga) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI
Fraksi Karya Pembangunan
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Fraksi Persatuan Pembangunan

6 (enam) orang,
18 (delapan belas) orang,
2 (dua) orang, dan
7 (tujuh) orang.

(2) BURT mempunyai Anggota Pengganti sebanyak 17 (tujuh belas) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI
Fraksi Karya Pembangunan
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Fraksi Persatuan Pembangunan

3 (tiga) orang,
9 (sembilan) orang,
1 (satu) orang, dan
4 (empat) orang.

(3) Anggota Pengganti BURT menggantikan kedudukan Anggota BURT dari Fraksinya yang berhalangan.

(4) Keanggotaan BURT ditetapkan pada setiap permulaan TahunSidang dan tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi.

(5) BURT dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 59

(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-Fraksi.

(2) Pimpinan BURT terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BURT pada setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BURT diatur sendiri berdasarkan tugas BURT.

Tugas

Pasal 60

(1) Tugas BURT adalah:

a. membantu Pimpinan DPR dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan kerumahtanggaan DPR serta kesejahteraan Anggota DPR dan Pegawai Sekretariat DPR;
b. atas nama Pimpinan DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan ketatalaksanaan Sekretariat DPR serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kerumahtanggaan DPR, baik atas penugasan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah maupun atas prakarsa sendiri;
c. membantu Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal 42 dan sesuai pula dengan pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah, dalam hal:

(a) menentukan kebijaksanaan Anggaran Belanja DPR,

(b) meneliti dan menyempurnakan Rancangan Anggaran Belanja DPR yang penyusunannya disiapkan oleh Sekretariat DPR,

(c) mengawasi proses penyelesaian Rancangan Anggaran Belanja DPR selanjutnya,

(d) mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan Anggaran Belanja DPR;
d. melaksanakan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan dan kesejahteraan yang ditugaskan oleh Pimpinan DPR dan atau Badan Musyawarah, termasuk melakukan studi perbandingan yang dipandang perlu.

(2) Sekretariat DPR harus memberikan penjelasan dan data mengenai hal-hal yang diperlukan oleh BURT.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) pasal ini, BURT bertanggungjawab kepada Pimpinan DPR.

(4) BURT memberikan laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang kepada Pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Badan Musyawarah dan dibagikan kepada para Anggota DPR

BAB X

BADAN KERJASAMA ANTAR PARLEMEN

Kedudukan

Pasal 61

Badan Kerjasama Antar Parlemen, yang selanjutnya disebut dengan singkatan BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

Susunan

Pasal 62

(1) BKSAP beranggotakan 35 (tigapuluh lima) orang dengan perincian:

Fraksi ABRI

6 (enam) orang,

Fraksi Karya Pembangunan

18 (elapan belas) orang,

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

4 ( empat) orang, dan

Fraksi Persatuan Pembangunan

7 (tujuh) orang.

(2) Keanggotaan BKSAP diteapkan pada setiap permulaan Tahun Sidang.

(3) BKSAP dibantu oleh sebuah Sekretariat.

Pasal 63

( 1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif serta mencerminkan Fraksi-fraksi.

(2) Pimpinan BKSAP terdiri atas seorang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua, yang dipilih dari dan oleh Anggota BKSAP pada setiap permulaan Tahun Sidang dalam rapat yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

(3) Pembagian tugas antara Anggota Pimpinan BKSAP diatur sendiri berdasarkan tugas BKSAP.

Tugas

Pasal 64

(1) Sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, BKSAP bertugas:

a. menggalang, membina dan mengolah hubungan persahabatan dan kerjasama antara DPR dengan Parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun secara multilateral;

b. mempersiapkan keberangkatan delegasi DPR keluar negeri dan mengolah serta mengembangkan hasil kunjungannya;

c. mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi Parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;

d. memberikan saran dan usul kepada Pimpinan DPR tentang masalah kerjasama antara Parlemen;

e. menghimpun data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Parlemen negara lain.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dan ayat (2) pasal 65, BKSAP bertanggungjawab kepada DPR.

(3) BKSAP melaporkan hasil kunjungan delegasi DPR kepada Rapat Paripurna DPR.

(4) BKSAP memberikan laporan tertulis kepada Badan Musyawarah sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang serta membagikannya kepada para Anggota DPR.

Pasal 65.

(1) Pimpinan DPR, sesuai dengan pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah, memberikan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen kepada Pimpinan BKSAP;

(2) BKSAP, selain melaksanakan garis kebijaksanaan kerjasama antar Parlemen, juga dapat melaksanakan hubungan dengan luar negeri atas nama DPR berdasarkan wewenang yang dilimpahkan kepadanya oleh Badan Musyawarah.

BAB XI

PANITIA

Kedudukan

Pasal 66

(1) DPR dan atau alat kelengkapan DPR, apabila memandang perlu dapat membentuk Panitia yang bersifat sementara.

(2) Panitia yang dibentuk oleh DPR disebut Panitia Khusus dan merupakan alat kelengkapan DPR, sedangkan Panitia yang dibentuk oleh alat kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja.

Susunan

Pasal 67

(1) Panitia beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (Iima) orang Anggota DPR yang mencerminkan Fraksi-Fraksi, dan apabila dipandang perlu dapat ditetapkan Anggota Pengganti.

(2) Pimpinan Panitia terdiri atas sekurang-kurangnya seorang Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Panitia setelah mendengar pendapat Fraksi-Fraksi,

(3) Panitia Khusus dibantu oleh sebuah Sekretariat, sedangkan Panitia Kerja dapat pula dibantu oleh sebuah Sekretariat apabila dipandang perlu.

Tugas

Pasal 68

(1) Panitia Khusus bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh DPR.

(2) Panitia Khusus bertanggungjawab kepada DPR.

(3) DPR menetapkan tindak lanjut hasil kerja Panitia Khusus.

(4) Ketentuan yang berlaku bagi Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pasal 55, berlaku pula bagi Panitia Khusus.

(5) Panitia Khusus bibubarkan oleh DPR setelah tugasnya dinyatakan selesai.

Pasal 69

(1) Panitia Kerja bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya,

(2) Tatacara kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(3) Panitia Kerja bertanggungjawab kepada alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

(4) Tindak lanjut hasil kerja Panitia Kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya,

(5) Panitia Kerja dibubarkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya setelah tugasnya dinyatakan selesai.

BAB XII

PERSIDANGAN DAN RAPAT DPR

Ketentuan umum

Pasal 70

(1) Tahun Sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, maka pembukaan Tahun Sidang dapat dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

{2) Tahun Sidang dibagi dalam 4 (empat] Masa Persidangan.

( 3) Tiap-tiap Masa persidangan meliputi Masa Sidang dan Masa Reses.

(4) Masa Sidang adalah masa kegiatan DPR yang dilakukan terutama di dalam gedung DPR.

(5) Masa Reses adalah masa kegiatan DPR di luar Masa Sidang, yang dilakukan oleh para Anggota DPR secara perorangan atau berkelompok, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Pasal 71

(1) Masa Persidangan berikut acara dan jadwalnya di tetapkan oleh Badan Musyawarah, dengan mernperhatikan agar pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya dan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dapat selesai tepat pada waktunya.

(2) Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan acara dan jadwal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka Pimpinan DPR dapat mcnetapkan acara dan jadwal tersebut dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi-Fraksi.

Pasal 72

(1) Pada hari permulaan Tahun Sidang acara pokok adalah Pidato Kenegaraan Presiden dalam Rapat Paripurna. Apabila Presiden berhalangan, maka Pidato Kenegaraan disampaikan oleh Wakil Presiden.

(2) Dalam Rapat Paripurna pertama dari suatu Masa Sidang, Pim-pinan DPR menyampaikan pidato pembukaan yang terutama menguraikan kegiatan DPR yang akan dilakukan dalam Masa Sidang yang bersangkutan.

(3) Dalam Rapat Paripurna terakhir dari suatu Masa Sidang, Pimpinan. DPR menyampaikan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR dalam Masa Reses sebelumnya, hasil kegiatan selama Masa Sidang yang bersangkutan dan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam Masa Reses berikutnya.

(4) Dalam Rapat Paripuma penutupan Masa Sidang terakhir dari suatu Tahun Sidang, Pimpinan DPR menutup Masa Sidang dan Tahun Sidang dengan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR selama Tahun Sidang yang bersangkutan.

Pasal 73.

(1) Waktu-waktu rapat DPR ialah: a. pagi : hari Senin sampai dengan hari Kamis dari pukul 09.00 sampai pukul 14.00; hari Jum'at dari pukul 08.30 sampai pukul 11.00; hari Sabtu dari pukul 09.00 sampai pukul 13.00; b. malam : hari Senin sampai dengan hari Jum'at dari pukul 19.30 sampai pukul 23.30.

(2) Penyimpangan dari waktu-waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.

Jenis rapat

Pasal 74

Jenis-jenis rapat DPR ialah: Rapat Paripurna; Rapat Paripurna Luar Biasa; Rapat Fraksi; Rapat Pimpinan DPR; Rapat Badan Musyawarah; Rapat Komisi dan Rapat Gabungan Komisi;
Rapat BURT dan Rapat BKSAP;
Rapat Panitia;
Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat (Hearing) dan
Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing).

Pasal 75.

Rapat Paripurna adalah rapat Anggota DPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR.

Pasal 76.

(1) Rapat Paripurna Luar Biasa adalah Rapat Paripurna yang diadakan dalam Masa Reses, apabila:

a. diminta oleh Presiden, atau
b. dikehendaki oleh Pimpinan DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah; atau
c. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Pimpinan DPR mengundang Anggota DPR untuk menghadiri Rapat Paripurna Luar Biasa tersebut.

Pasal 77.

Rapat Fraksi adalah rapat Anggota Fraksi yang dipimpin oleh Pimpinan Fraksi.

Pasal 78.

Rapat Pimpinan DPR adalah rapat Anggota Pimpinan DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR.

Pasal 79.

(1) Rapat Badan Musyawarah adalah rapat Anggota Badan Musyawarah beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Musyawarah.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separoh jumlah Anggota Badan Musyawarah, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

Pasal 80.

(1) Rapat Komisi adalah rapat Anggota Komisi yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi.

(2) Rapat Gabungan Komisi adalah rapat bersama yang diadakan oleh lebih dari satu Komisi, dihadiri oleh Anggota Komisi-Komisi yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pimpinan yang dipilih oleh rapat gabungan itu atau yang ditentukan oleh dan dari Pimpinan Komisi-Komisi yang bersangkutan.

(3) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Komisi, atau Gabungan Komisi, dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(4) Rapat Pimpinan Komisi atau Rapat Pimpinan Gabungan Komisi adalah rapat Anggota Pimpinan Komisi atau Anggota Pimpinan Gabungan Komisi yang dipimpin oleh Ketua Komisi atau Ketua Gabungan Komisi.

Pasal 81.

(1)

a. Rapat BURT adalah rapat Anggota BURT beserta Anggota Penggantinya yang dipimpin oleh Pimpinan BURT.
b. Rapat BKSAP adalah rapat Anggota BKSAP yang dipimpin oleh Pimpinan BKSAP.

(2)

a. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani baik oleh Anggota maupun oleh Anggota Pengganti yang jumlahnya lebih dari separoh jumlah Anggota BURT dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.
b. Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota BKSAP dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

(3) Rapat Pimpinan BURT dan rapat Pimpinan BKSAP adalah rapat Anggota Pimpinan Badan yang bersangkutan yang dipimpin oleh Ketua Badan tersebut.

Pasal 82.

(1) Rapat Panitia Khusus adalah rapat Anggota Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat berlangsung apabila daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Panitia Khusus dan dihadiri o1eh unsur semua Fraksi.

(3) Dalam hal suatu Panitia Khusus mempunyai Anggota Pengganti, maka berlakulah ketentuan yang mengatur tentang Anggota Pengganti sebagaimana dimaksud dalam pasal 79.

(4) Rapat Pimpinan Panitia Khusus adalah rapat Anggota Pimpinan Panitia Khusus, yang dipimpin oleh Ketua Panitia Khusus.

(5) Rapat Panitia Kerja adalah rapat Anggota Panitia Kerja yang dip imp in oleh Pimpinan Panitia Kerja.

Pasal 83.

(1) Rapat Kerja adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan pihak Pemerintah, dalam hal ini Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya, atas undangan Pimpinan DPR dan dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Undangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini, disampaikan kepada Presiden dan atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakilinya dengan mencantumkan persoalan yang akan dibicarakan serta diberikan waktu secukupnya untuk mempelajari persoalan itu.

Pasal 84.

(1) Rapat Dengar Pendapat (Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili Instansinya, baik atas undangan Pimpinan DPR maupun atas permintaan Pejabat yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

(2) Rapat Dengar Pendapat Umum (Public Hearing) adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus dengan perorangan, kelompok, organisasi, atau badan swasta, baik atas undangan

Pimpinan DPR maupun atas peemintaan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus.

Sifat rapat

Pasal 85.

(1) Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat Panitia Khusus peda dasarnya bersifat terbuka, tetapi atas keputusan rapat yang bersangkutan atau atas keputusan Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat tertutup.

(2) Rapat Pimpinan DPR, Rapat BURT dan Rapat Panitia Kerja bersifat tertutup.

(3) Rapat Badan Musyawarah dan Rapat BKSAP pada dasarnya bersifat tertutup, tetapi atas keputusan Rapat Badan Musyawarah rapat-rapat tersebut dapat dinyatakan bersifat terbuka.

(4) Sifat Rapat Fraksi ditentukan sendiri oleh Fraksi yang bersangkutan.

(5) Rapat terbuka ialah rapat yang selain dihadiri oleh para Anggota DPR, juga dapat dihadiri oleh bukan Anggota DPR, baik diundang maupun tidak.

(6) Rapat tertutup ialah rapat yang hanya boleh dihadiri oleh Anggota DPR dan mereka yang diundang.

Pasal 86.

(1) Rapat DPR yang sedang berlangsung, dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup oleh Ketua Rapat, pihak Pemerintah dan atau salah satu Fraksi.

(2) Apabila dipandang perlu, rapat dapat ditunda untuk sementara guna memberi waktu kepada Pimpinan Rapat, Fraksi-Fraksi dan Pengusul membicarakan usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Rapat yang bersangkutan memutuskan apakah usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disetujui atau ditolak.

(4) Dalam hal rapat menyetujui, maka Ketua Rapat menyatakan rapat yang bersangkutan sebagai rapat tertutup dan mempersilahkan para Peninjau untuk meninggalkan ruangan rapat.

Pasal 87.

(1) Pembicaraan dalam rapat tertutup rahasia dan tidak boleh diumumkan.

(2) Sifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam dalam rapat tertutup ayat (1) pasal ini, juga harus dipegang teguh oleh mereka yang mengctahui pembicaraan itu.

(3) Berhubung dengan sifatnya dan atau karena hal tertentu, maka atas usul Pimpinan Rapat, pihak Pemerintah dan atau salah satu Fraksi, rapat dapat memutuskan untuk mengumumkan seluruhnya atau sebagian dari pembicaraan dalam rapat tertutup itu.

Tatacara rapat

Pasal 88.

(1) Sebelum menghadiri rapat, setiap Anggota menandatangani daftar hadir.

(2) Untuk para Undangan disediakan daftar hadir tersendiri.

Pasal 89

(1) Apabila pada waktu yang telah di tentukan untuk membuka rapat, daftar hadir telah ditandatangani oleh lebih dari separoh jumlah Anggota Rapat dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi, maka Ketua Rapat membuka rapat.

(2) Apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum dipenuhi, maka Ketua Rapat menunda pembukaan rapat tersebut paling lama satu jam.

(3) Jika pada akhir waktu penundaan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum juga dipenuhi, maka Ketua Rapat dapat membuka rapat, dengan ketentuan bahwa rapat tersebut tidak berwenang untuk mengambil keputusan.

Pasal 90

(1) Sesudah rapat dibuka, Ketua Rapat meminta Sekretaris untuk memberitahukan kepada rapat mengenai surat masuk dan surat keluar.

(2) Rapat dapat membicarakan surat masuk dan surat keluar tersebut.

Pasal 91.

(1) Setelah semua acara yang telah ditetapkan selesai dibicarakan, maka Ketua Rapat menutup rapat.

(2) Apabila acara yang telah ditetapkan untuk rapat tersebut belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 3 telah habis maka Ketua Rapat menunda penyelesaian acara tersebut untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya, atau meneruskan penyelesaian acara tersebut atas persetujuan rapat.

(3) Sebelum menutup rapat, Ketua Rapat mengemukakan pokokpokok keputusan dan atau kesimpulan yang telah dihasilkan oleh rapat,

Pasal 92.

Apabila Ketua berhalangan, maka rapat dipimpin oleh salah seorang Wakil Ketua dan apabila Ketua dan Wakil-Wakil Ketua berhalangan, maka rapat dipimpin oleh Anggota yang tertua usianya di antara yang hadir.

Tatacara merubah acara rapat

yang telah ditetapkan

Pasal 93.

(1) Usul perubahan mengenai acara yang telah ditetapkan, baik mengenai perubahan waktu dan atau mengenai masalah baru yang ingin dimasukkan dalam acara, dapat diajukan oleh Fraksi, dan alat kelengkapan DPR, atau oleh pihak Pemerintah kepada Pimpinan DPR untuk segera dibicarakan dalam rapat Badan Musyawarah.

(2) Usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diajukan secara tertulis dengan menyebutkan masalah dan waktu yang diusulkan, selambat-lambatnya dua hari sebelum acara rapat yang bersangkutan dilaksanakan,

(3) Pimpinan DPR dapat mengajukan usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini kepada Badan Musyawarah.

(4) Badan Musyawarah membicarakan dan mengambil keputasan terhadap usul perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (3) pasal ini.

(5} Apabila Badan Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat, maka berlakulah ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 71.

Pasal 94.

(1) Dalam keadaan memaksa, Presiden, Pimpinan DPR atau Fraksi dapat mengajukan usul perubahan acara Rapat Paripurna yang sedang berlangsung.

(2) Rapat yang bersangkutan segera mengambil keputusan terhadap usul perubahan acara itu.

Tatacara permusyawaratan

Pasal 95.

(1) Ketua Rapat menjaga agar rapat dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Peraturan Tata Tertib ini.

(2) Ketua Rapat hanya berbicara selaku Pimpinan Rapat untuk menjelaskan masalah yang menjadi pokok pernbicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan pada pokok persoalan dan menyimpulkan pernbicaraan para Anggota.

(3) Apabila Ketua Rapat hendak berbicara selaku Anggota, maka untuk sernentara Pimpinan Rapat diserahkan kepada Anggota Pimpinan yang lain.

Pasal 96.

(1) Sebelum berbicara, Anggota yang akan berbicara mendaftarkan nama lebih dahulu. Pendaftaran itu dapat juga dilakukan oleh Fraksinya.

(2) Anggota yang belum mendaftarkan nama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak berhak ikut berbicara, kecuali bila menurut pendapat Ketua Rapat ada alasan yang dapat diterima.

Pasal 97.

(1) Giliran berbicara diatur oleh Ketua Rapat menurut urutan pendaftaran nama.

(2) Anggota berbicara di tempat yang telah disediakan setelah dipersilahkan oleh Ketua Rapat.

(3} Seorang Anggota yang berhalangan pada waktu mendapat giliran berbicara, dapat digantikan oleh Anggota lain dari Fraksinya dengan sepengetahuan Ketua Rapat,

(4) Pembicara dalam rapat tidak boleh diganggu selama berbicara.

Pasal 98.

(1) Ketua Rapat dapat menentukan lamanya para Anggota berbicara.

(2) Apabila seorang pembicara melampaui batas waktu yang ditentukan, Ketua Rapat memperingatkannya bicaraan, dan harus ditaati.

Pasal 99.

(1) Setiap waktu di dalam rapat dapat diberikan kesempatan interupsi kepada Anggota untuk:

a. meminta penjelasan tentang duduk persoalan sebenrnmya mengenai masalah yang sedang dibicarakan.

b. menjelaskan soal-soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan atau tugasnya.

c. mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan, atau

d. mengajukan usul agar rapat ditunda untuk sementara.

(2) Ketua Rapat dapat membatasi lamanya pembicara mengadakan interupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Terhadap pembicaraan mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b pasal ini tidak diadakan pembahasan.

(4) Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) huruf c dan d pasal ini, untuk dapat menjadi pokok pembicaraan, harus mendapat persetujuan dari rapat.

Pasal 100.

(1) Seorang pembicara tidak diperkenankan menyimpang dari pokok pembicaraan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 99.

(2) Apabila seorang pembicara menurut pendapat Ketua Rapat menyimpang dari pokok pembicaraan, maka Ketua Rapat memperingatkan dan meminta supaya pembicara kembali pada pokok pembicaraan.

Pasal 101.

Apabila seorang pembicara dalam rapat menggunakan kata-yang tidak layak, atau melakukan perbuatan yang mengganggu kesertiban rapat, atau menganjurkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, maka Ketua Rapat memperingatkan agar yang bersangkutan menghentikan perbuatan itu dan atau memberi kesempatan kepadanya untuk menarik kembali kata-katanya.

Jika pembicara memenuhi permintaan Ketua Rapat, maka katakatanya itu dianggap tidak pernah diucapkan dan tidak dimuat dalam Risalah atau Catatan Rapat.

Pasal 102.

(1) Apabila seorang pembicara tidak memenuhi peringatan.sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 Ketua Rapat melarang pembicara tersebut untuk meneruskan pembicaraannya.

(2) Jika peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini masih juga tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, maka Ketua Rapat meminta yang bersangkutan meninggalkan rapat.

(3) Apabila Anggota tersebut tidak mengindahkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, yang bersangkutan dikeluarkan dengan paksa dari ruangan rapat atas perintah Ketua Rapat. Yang dimaksud dengan ruangan rapat ialah ruangan yang dipergunakan untuk rapat termasuk ruangan untuk umum, undangan dan para tamu lainnya.

Pasal 103.

(1) Apabila terjadi peristiwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 dan pasal 102, dan Ketua Rapat berpendapat bahwa rapat tidak mungkin dilanjutkan, maka Ketua Rapat dapat menutup atau menunda rapat tersebut.

(2) Lamanya penundaan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak boleh melebihi 24 (duapuluh empat) jam.

Risalah, Catatan Rapat

dan Laporan Singkat

Pasal 104.

(1) Untuk setiap Rapat Paripurna, dibuat Risalah Resmi yang ditandatangani oleh Ketua Rapat.

(2) Risalah ialah catatan Rapat Paripurna yang dibuat secara lengkap dan berisi seluruh jalannya pembicaraan rapat, serta dilengkapi dengan catatan tentang

a. jenis dan sifat rapat,

b. hari dan tanggal rapat,

c. tempat rapat,

d. acara rapat,

e. waktu pembukaan dan penutupan rapat,

f. Ketua dan Sekretaris Rapat,

g. jumlah Anggota dan nama Anggota yang

h. undangan yang hadir.


Pasal 105.

(1) Setelah rapat selesai, Sekretaris Ra pat secepatnya menyusun Risalah Sementara untuk segera dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan,

(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap Risalah Sementara itu dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya Risalah Sementara tersebut dan menyampaikannya kepada Sekretariat DPR.

(3) Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini lewat, maka Sekretaris Rapat segera menyusun Risalah Resmi untuk dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(4) Apabila terjadi perbedaan pendapat tentang isi Risalah, keputusan diserahkan kepada Ketua Rapat yang bersangkutan.

Pasal 106.

(1) Untuk setiap Rapat Pimpinan DPR, Rapat Badan Musyawarah, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat BURT, Rapat BKSAP dan Rapat Panitia Khusus, dibuat Catatan Rapat yang ditandatangani oleh Ketua Rapat.

(2) Catatan Rapat ialah suatu catatan yang rnemuat pokok-pokok pembicaraan, kesimpulan dan keputusan yang dihasilkan dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, serta dilengkapi dengan catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan huruf h pasal 104.

(3) Untuk rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, juga dibuat Laporan Singkat yang hanya memuat kesimpulan dan keputsan rapat.

Pasal 107.

(1) Setelah rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 106 selesai, Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Catatan Rapat Sementara untuk segera dibagikan kepada Anggota dan pihak yang bersangkutan.

(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap Catatan Rapat Sementara itu dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya Catatan Rapat Sementara tersebut dan menyampaikannya kepada Sekretaris Rapatyang bersangkutan.

Pasal 108

Pada Risalah, Catatan Rapat dan atau Laporan Singkat mengenai rapat yang bersifat tertutup, harus dicantumkan dengan jelas kata "RAHASIA", dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal 87.

(2) Rapat yang bersifat tertutup dapat memutuskan bahwa sesuatu hal yang dibicarakan dan atau diputuskan dalam rapat itu tidak dimasukkan dalam Risalah, Catatan Rapat dan atau Laporan Singkat.

Undangan dan Peninjau

Pasal 109.

(1) Undangan ialah mereka yang bukan Anggota DPR yang hadir dalam rapat DPR atas undangan Pimpinan DPR, dan Anggota DPR bukan Anggota suatu alat kelengkapan DPR yang hadir dalam rapat alat kelengkapan tersebut atas undangan Pimpinan DPR atau Pimpinan alat kelengkapan yang bersangkutan.

(2) Peninjau ialah mereka yang hadir dalam rapat DPR tanpa undangan Pimpinan DPR.

(3) Untuk Undangan dan Peninjau disediakan tempat tersendiri.

(4) Undangan dan Peninjau wajib mentaati tata tertib rapat dan atau ketentuan lain yang diatur oleh DPR.

(5) Undangan dapat berbicara dalam rapat atas persetujuan Ketua Rapat, tetapi tidak mempunyai hak suara, sedangkan Peninjau di samping tidak mempunyai hak suara, juga tidak dibenarkan menyatakan sesuatu, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain.

Pasal 110.

(1) Ketua Rapat menjaga agar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 109 tetap dipatuhi.

(2) Ketua Rapat dapat meminta agar Undangan dan atau Peninjau yang mengganggu ketertiban rapat meninggalkan ruangan rapat, dan apabila permintaan itu tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, Ketua Rapat mengeluarkannya dari ruangan rapat dengan paksa.

(3) Dalam hal terjadi apa yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, Ketua Rapat dapat menutup atau menunda rapat.

(4) Lamanya penundaan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini tidak boleh melebihi 24 (duapuluh empat) jam.

BAB XIII

PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Ketentuan umum

Pasal 111

(1) DPR bersama Presiden membentuk Undang-undang.

(2) Rancangan Undang-undang dapat berasal dari Pemerintah atau berupa Usul Inisiatif dari DPR.

Pasal 112.

(1) Di dalam Rapat Paripurna berikutnya setelah Rancangan Undang-undang diterima oleh Pimpinan DPR, Ketua Rapat memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya Rancangan Undang-undang tersebut.

(2) Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini dibagikan kepada para Anggota dan pihak yang bersangkutan.

Pasal 113.

Bilamana ada dua Rancangan Undang-undang yang diajukan mengenai persoalan yang sama, maka yang dibicarakan adalah Rancangan Undang-undang yang diterima Iebih dulu, sedangkan Rancangan Undang-undang yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pelengkap.

Pasal 114.

Rancangan Undang-undang yang sudah disetujui DPR, disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk .disahkan menjadi Undang-undang.

Tingkat-tingkat pembicaraan

Pasal 115.

(1) Pembahasan sesuatu Rancangan Undang-undang dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan, kecuali kalau Badan Musyawarah menentukan lain.

(2) Empat tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, adalah sebagai berikut:

tingkat I dalam Rapat Paripurna

tingkat II dalam Rapat Paripurna, tingkat III dalam Rapat Komisi, dan

tingkat IV dalam Rapat Paripurna.

(3) Sebelum dilakukan pembicaraan tingkat II, III dan IV diadakan Rapat Fraksi.

(4) Apabila dipandang perlu Badan Musyawarah dapat menetapkan bahwa pembicaraan tingkat III dilakukan dalam Rapat Gabungan Komisi atau dalam suatu Panitia Khusus.

Pasal 116

Pembicaraan tingkat I ialah:

Keterangan atau penjelasan dalam Rapat Paripurna: a.oleh Pemerintah terhadap Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah; b.oleh Komisi Gabungan Komisi atau Panitia Khusus atas nama DPR terhadap Rancangan Undang-undang Usul lnisiatif.

Pasal 117.

Pembicaraan tingkat II ialah:

1.

a.Pemandangan Umum dalam Rapat Paripurna oleh para Anggota DPR yang membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Undang-undang beserta Keterangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 huruf a.

b.Tanggapan Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif beserta penjelasan Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 huruf b.

2.

a. Jawaban Pemerintah dalam Rapat Paripurna terhadap Pemandangan Umum para Anggota sebagaimana dirnaksud pada angka 1 huruf a;

b. Jawaban Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus atas nama DPR terhadap tanggapan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b.

Pasal 118.

Pembicara tingkat III ialah: a.Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus, yang dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah;

b.Pembahasan dalam Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus, yang dilakukan secara intern apabila dipandang perlu tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Pasal 119.

(1) Pembicaraan tingkat IV ialah:

Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna dengan didahului laporan basil pembicaraan tingkat III, dan Pendapat Akhir dari Fraksi yang disampaikan oleh Anggotanya.

(2) Apabila dipandang perlu, Pendapat Akhir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat pula disertai dengan catatan tentang pendirian Fraksi (minderheidsnota).

(3) Terhadap pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, kepada Pemerintah diberikan kesempatan untuk menyampaikan sambutan,

Rancangan Undang-undang dari Pemerintah

Pasal 120.

(1) Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah disampaikan kepada Pimpinan DPR dengan Amanat Presiden,

(2) Amanat Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, menyebut juga Menteri yang mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut.

Pasal 121.

Rancangan Undang-undang yang berasal dari Pemerintah dapat ditarik kembali, sebelum memasuki pembicaraan tingkat IV.

Pasal 122

Rancangan Undang-undang untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pemyataan perang pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR, dibahas dan diselesaikan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119.

Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif

Pasal 123.

(1) Usul Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh para Anggota DPR berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya disebut usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif harus disertai penjelasan tertulis dan ditandatangani oleh sekurangkurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota yang tidak hanya terdiri dari satu Fraksi

(2) Tiap-tiap pengajuan usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif sebagaimana · dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini diajukan kepada Pimpinan DPR dengan surat pengantar clan daftar tandatangan para Pengusul serta nama Fraksinya,

(3) Dalam Rapat Paripurna berikutnya Pimpinan DPR memberitahukan kepada para Anggota tentang masuknya usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif.

(4) Usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dibagikan kepada para Anggota.

(5) Dalam Rapat Badan Musyawarah kepada Pengusul diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dan pada usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut. Kemudian kepada para Anggota Badan Musyawarah diberi kesempatan untuk mengadakan tanya jawab dengan Pengusul.

(6) Rapat Paripurna memutuskan apakah usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut sccara prinsip dapat diterima menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR atau tidak. Keputusan tersebut diambil setelah kepada Pengusul diberi kesempatan memberi penjelasan dan kepada Fraksi-Fraksi memberikan pendapatnya.

(7) Apabila usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini telah diputuskan menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, maka DPR menugaskan kepada Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus yang dibentuk untuk membahas dan menyelesaikan Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif tersebut.

(8) Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) pasal ini, disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan

mewakili Pemerintah dalam melakukan pernbahasan Rancangan Undang-undang tersebut bersama-sama DPR.

(9) Terhadap pembahasan dan penyelesaian selanjutnya, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119 dengan memperhatikan ketentuan yang khusus berlaku untuk Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif,

Pasal 124

(1) Selama suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum dibicarakan dalam Badan Musyawarah, para Pengusul berhak mengajukan perubahan-perubahan,

(2) Selama suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif belum diputuskan menjadi Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR, para Pengusul berhak menariknya kembali,

(3) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini harus ditandatangani oleh semua Pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada Pimpinan DPR. yang kernudian membagikannya kepada para Anggota.

Pasal 125.

Apabila sebelum pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) pasal 123, jumlah penandatangan suatu usul Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif menjadi kurang dari 25 (dua puluh lima) orang, maka harus diadakan penambahan penandatangan hingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima] orang dan tidak hanya terdiri dari satu Fraksi, Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Pasal 126.

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibicarakan oleh DPR pada kesempatan: pertama dalam Masa Sidang berikutnya setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut dikeluarkan,

(2) Terhadap pembahasan dan penyelesaian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119.

BAB XIV

PENETAPAN AGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA NEGARA

Pasal 127.

Dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) huruf b dan c pasal 4, rnaka diadakan kegiatan sebagai berikut:

a. penyampaian Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta Nota Keuangannya oleh Presiden kepada DPR dan pembahasannya serta penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

b. penyampaian dan pembahasan serta penetapan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

c. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

d. penyampaian dan pembahasan Laporan Setengah Tahunan,

e. pembahasan bersama dengan Pemerintah tentang perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan, dan

f. penyampaian dan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran.

Pasal 128

Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta No ta Keuangannya disampaikan oleh Presiden kepada DPR dalam 7 (tujuh) hari pertama tiap permulaan Tahun Takwim,

Pasal 129.

Komisi APBN segera membahas Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 dan memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna,

Pasal 130.

(1) Penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya dilaksanakan seperti penyelesaian suatu Rancangan Undang-undang sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 115 sampai dengan pasal 119, dengan tambahan ketentuan sebagai berikut :

a. Rapat Kerja dengan Pemerintah dilakukan oleh Komisi-komisi,

b. Komisi APBN mengadakan rapat dengan Pimpinan Komisi-komisi untuk menampung saran dan pendapat dari Komisi-komisi, dan

c. Rapat Kerja penyelesaian terakhir Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilakukan oleh Komisi APBN dengan Pemerintah dengan memperhatikan saran dan pendapat dari Pemandangan Umum para Anggota, Komisikomisi, Badan Musyawarah dan Fraksi-fraksi.

(2) Hasil pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya disampaikan oleh Komisi APBN kepada DPR dalam Rapat Paripurna,

(3) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Nota Keuangannya harus selesai selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 1 April Tahun Anggaran yang bersangkutan.

Pasal 131.

(1) Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disampaikan oleh Presiden kepada DPR sebelum Tahun Anggaran yang bersangkutan berakhir.

(2) Penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilaksanakan seperti penyelesaian Anggaran induknya dengan menempuh prosedur sesingkat-singkatnya dan selesai selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Pemerintah menyampaikan penjelasan mengenai Rancangan Undang-undang tersebut kepada DPR.

Pasal 132.

(1) Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara oleh Komisi-komisi dalam Rapat Kerja dengan Pemerintah hendaknya dilakukan dalam Masa Sidang pertama pada tiap Tahun Sidang.

(2) Hasil Rapat Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disampaikan dalam rapat antara Pimpinan Komisi-komisi dengan Komisi APBN.

(3) Rapat Kerja penyelesaian terakhir pembicaraan pendahuluan dilakukan oleh Komisi APBN dengan Pemerintah.

Pasal 133.

(1) Laporan Setengah Tahunan hendaknya diajukan oleh Pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah pertengahan pertama Tahun Anggaran yang bersangkutan berakhir.

(2) Komisi APBN mengadakan pembahasan terhadap Laporan Setengah Tahunan tersebut.

Pasal 134.

Komisi APBN mengadakan Rapat Kerja dengan Pemerintah untuk membahas perkiraan Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang berjalan hendaknya dalam triwulan ketiga setiap Tahun Anggaran.

Pasal 135.

(1) Komisi APBN membahas Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran dan memberikan pendapatnya kepada DPR dalam Rapat Paripurna.

(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) pasal ini diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menurut prosedur seperti yang berlaku bagi penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB XV.

TATA CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Ketentuan Umum

Pasal 136.

(1) Pengambilan keputusan adalah proses penyelesaian terakhir suatu masalah yang dibicarakan dalam rapat DPR.

(2) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada azasnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

(3) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak mungkin lagi, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 137.

(1) Semuajenis rapat DPR dapat mengambil keputusan.

(2) Keputusan rapat DPR berupa menyetujui atau menolak.

Pasal 138.

(1) Setiap rapat DPR untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan mufakat memerlukan quorum sebagaimana dimaksud dalam pasal 140, dan untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak memerlukan quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal 143.

(2) Apabila quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak tercapai, maka rapat ditunda paling banyak dua kali dengan tenggang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.

(3) Apabila sete1ah dua kali penundaan, quorum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum juga tercapai, maka:

a. jika terjadi dalam Rapat Paripurna, pennasalahannya menjadi batal,

b. jika terjadi dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi, Panitia Khusus, BURT dan BKSAP, cara pernecahannya diserahkan kepada Badan Musyawarah, dan

c. jika terjadi dalam Rapat Badan Musyawarah, cara pemecahannya diserahkan kepada Pimpinan Badan Musyawarah dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi-fraksi.

Pasal 139.

Setiap keputusan rapat DPR baik berdasarkan mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak mengikat semua pihak yang bersangkutan.

Keputusan Berdasarkan Mufakat

Pasal 140.

Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, bilamana diambil dalam rapat yang daftar hadirnya telah ditandatangani oleh Iebih dari separuh jumlah Anggota Rapat dan dihadiri oleh unsur semua Fraksi.

Pasal 141.

(1) Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada para Anggota diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, yang kemudian dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan.

(2) Untuk dapat mencapai keputusan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Ketua Rapat atau Panitia yang ditunjuk untuk itu menyiapkan rancangan keputusan yang mencerminkan pendapat dalam rapat.

Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak

Pasal 142.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil, apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak mungkin dicapai, karena adanya pendirian dari sebagian Anggota Rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian pihak lain dalam rapat atau karena waktu yang sudah sangat mendesak.

Pasal 143.

(1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah, apabila:

a. diambil dalam rapat yang daftar hadirnya telah ditandatangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota Rapat (quorum),
b. disetujui oleh lebih dari separuh quorum,
c. didukung oleh tidak hanya satu Fraksi.

(2) Pemberian suara untuk menyatakan setuju, menolak atau tidak menyatakan pilihan (abstain) dilakukan oleh para Anggota Rapat yang hadir dengan cara lisan, mengangkat tangan, berdiri atau tertulis.

(3) Pemungutan suara dilakukan dengan mengadakan penghitungan secara langsung pada masing-masing Anggota, Fraksi demi Fraksi, kecuali dalam hal pemungutan suara secara rahasia.

Pasal 144.

(1) Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai keputusan berdasarkan suara terbanyak dengan satu kali pemungutan suara, maka Ketua Rapat mengusahakan agar dapat diambil keputusan terakhir mengenai masalah tersebut secara keseluruhan.

(2) Apabila dalam mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak temyata jumlah suara setuju sama besar dengan jumlah suara menolak, maka pemungutan suara ulangan ditangguhkan sampai rapat berikutnya dengan tenggang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.

(3) Apabila dalam mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak baik jumlah suara setuju maupun jumlah suara menolak tidak mencapai ketentuan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c pasal 143, maka pemungutan suara ulangan ditangguhkan sampai rapat berikutnya dengan tenggang waktu

paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.

(4) Apabila dalam rapat penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) pasal ini ternyata belum juga dapat dicapai keputusan berdasarkan suara terbanyak, maka masalah yang bersangkutan dinyatakan gugur.

Pasal 145.

(1) Pemungutan suara tentang orang dan atau masalah yang dipandang penting oleh rapat, dapat dilakukan secara rahasia.

(2) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan cara :

a. tertulis,

b. tanpa menyebut nama dan Fraksi pemberi suara, dan

c. tanpa ditandatangani.

(3) Apabila pemungutan suara secara rahasia menghasilkan jumlah suara setuju yang sama besar dengan jumlah suara menolak, atau jumlah suara setuju maupun jumlah suara menolak tidak mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal 143, maka pemungutan suara diulangi sekali lagi dalam rapat yang sama, dan apabila pemungutan suara ulangan masih menghasilkan hal yang sama, maka orang dan atau masalah yang bersangkutan dinyatakan ditolak.

BAB XVI

SEKRETARIAT DPR

Kedudukan

Pasal 146.

Sekretariat DPR adalah bagian dari perangkat Pemerintah yang bertugas tetap pada DPR dan berkedudukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara.

Susunan

Pasal 147.

(1) Sekretariat DPR dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal, yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Pimpinan DPR.

(2) Sekretariat Jenderal DPR dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 148.

(1) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal DPR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas pertimbangan DPR.

(2) DPR dapat mengajukan usul kepada Presiden mengenai pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal DPR.

Pasal 149.

Struktur organisasi dan tata kerja Sekretariat DPR ditetapkan oleh Pimpinan DPR setelah mendengar pertimbangan BURT dengan mengindahkan peraturan perundangan yang berlaku.

Tugas

Pasal 150.

Tugas Sekretariat DPR adalah :

  1. melayani segala kebutuhan DPR, agar DPR dapat melaksanakan wewenang dan tugasnya dengan sebaik-baiknya;
  2. membantu Pimpinan DPR menyiapkan penyusunan Rancangan Anggaran Belanja DPR, dengan ketentuan :

    (a) hasil penyusunan Rancangan Anggaran Belanja DPR tersebut, sebelum disampaikan kepada Pimpinan DPR, terlebih dahulu disampaikan kepada BURT untuk diadakan penelitian dan penyempurnaan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sub (b) pasal 60,

    (b) dalam proses penyelesaian Rancangan Anggaran Belanja DPR selanjutnya, Sekretariat DPR harus senantiasa berkonsultasi dengan BURT, sebagai pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sub (c) pasal 60.
  3. melaksanakan tugas lain yang dibebankan oleh Pimpinan DPR kepadanya;
  4. melaporkan secara tertulis pelaksanaan tugasnya selama Masa Persidangan yang lalu kepada Pimpinan DPR pada setiap permulaan Masa Persidangan, dengan memberikan tembusan kepada Anggota Badan Musyawarah dan Anggota BURT; melaksanakan hal-hal lain yang ditentukan oleh peraturan perundangan.

Pasal 151.

Sekretaris Jenderal DPR, dengan persetujuan DPR, dapat menjadi anggota organisasi internasional yang menghimpun para Sekretaris Jenderal Parlemen, dan memberikan laporan tertulis serta pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatannya dalam organisasi tersebut kepada Pimpinan DPR, dengan memberikan tembusan kepada Badan Musyawarah.


BAB XVII
SURAT MASUK DAN SURAT KELUAR

Ketentuan Umum

Pasal 152.

Tata cara pencatatan surat masuk dan surat keluar serta penanganan selanjutnya oleh Sekretaris Jenderal DPR.

Surat Masuk

Pasal 153.

(1) Semua surat yang dialamatkan kepada DPR diterima oleh Sekretariat DPR dan segera dicatat serta diberi nomor agenda.

(2) Semua surat masuk, kecuali yang menyangkut tugas intern Sekretariat DPR, segera dijawab oleh Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan DPR, yang memberitahukan kepada pengirim bahwa suratnya telah diterima, dan apabila dipandang perlu dengan diberi keterangan hahwa masalahnya sedang dalam proses pengolahan.

Pasal 154.

(1) Semua surat masuk beserta tembusan surat jawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 153, disampaikan oleh Sekretaris Jenderal kepada Pimpinan DPR.

(2) Pimpinan DPR menentukan apakah surat masuk tersebut akan ditanganinya sendiri, atau diteruskan kepada alat kelengkapan DPR lainnya dan atau Pimpinan Fraksi, sesuai dengan permasalahannya.

(3) Apabila Pimpinan DPR memandang perlu, surat masuk dapat diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

Pasal 155.

(1) Sekretariat alat kelengkapan DPR setelah menerima suratsurat dari Pimpinan DPR, membuat daftar penerimaan surat, yang memuat dengan singkat pokok-pokok isi surat, dan segera disampaikan kepada Pimpinan alat kelengkapan DPR yang bersangkutan.

(2) Pimpinan alat kelengkapan DPR dalam Rapat Pimpinan membicarakan isi surat-surat masuk itu serta cara penyelesaian selanjutnya.

(3) Apabila Pimpinan alat kelengkapan DPR memandang perlu, surat masuk dapat diperbanyak oleh Sekretariat yang bersangkutan dan dibagikan kepada para Anggota untuk dibicarakan dalam rapat alat kelengkapan yang bersangkutan, serta ditetapkan cara penyelesaian selanjutnya.

Surat Keluar

Pasal 156.

(1) Konsep surat jawaban dan atau tanggapan terhadap surat masuk yang dibuat oleh alat kelengkapan DPR, disampaikan kepada Pimpinan DPR melalui Sekretaris Jenderal.

(2) Apabila isi surat jawaban yang dibuat oleh alat kelengkapan DPR disetujui oleh Pimpinan DPR, maka surat jawaban tersebut segera dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan.

(3) Apabila isi surat jawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak disetujui oleh Pimpinan DPR, maka masalahnya dibicarakan dengan Pimpinan alat kelengkapan DPR yang bersangkutan.

(4) Apabila pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini tidak menghasilkan kesepakatan, maka masalahnya diajukan kepada Badan Musyawarah untuk ditentukan penyelesaian selanjutnya.

Pasal 157.

(1) Semua surat keluar ditandatangani oleh salah seorang Anggota Pimpinan DPR atau Sekretaris Jenderal atas nama Pimpinan DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur lebih lanjut oleh Pimpinan DPR.

Pasal 158.

(1) Pengiriman surat keluar dilakukan oleh Sekretariat DPR.

(2) Sebelum dikirimkan kepada alamat yang bersangkutan semua surat keluar dicatat dan diberi nomor agenda.

(3) Sekretariat DPR menyampaikan tembusan surat keluar kepada alat kelengkapan DPR yang bersangkutan dan kepada pihak yang dipandang perlu.

(4) Apabila Pimpinan DPR memandang perlu, surat keluar dapat diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR.

Arsip Surat

Pasal 159.

Tata cara penyusunan arsip surat masuk dan surat keluar diatur oleh Sekretaris Jenderal DPR.

BAB XVIII.
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 160.

(1) Usul perubahan dan tambahan mengenai Peraturan Tata Tertib ini hanya dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota DPR.

(2) Usul perubahan dan atau tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, disertai penjelasan, ditandatangani oleh para Pengusul dan disampaikan kepada Pimpinan DPR serta Anggota DPR.

Pasal 161.

(1) Usul perubahan dan atau tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Badan Musyawarah untuk dibahas dan diambil kesimpulan.

(2) Oleh Pimpinan DPR usul perubahan dan atau tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 160, dengan disertai kesimpulan Musyawarah, diajukan kepada Rapat Paripurna untuk diambil keputusan.

Pasal 162.

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Tata Tertib ini diputuskan oleh DPR atas usul Badan Musyawarah.


_______________






PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


(Hasil Pemilihan Umum Tahun 1982)

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

No. 18/DPR-RI/IV/77-78

tentang

PEMBENTUKAN KOMISI-KOMISI DALAM

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

SERTA

PENENTUAN RUANG UNGKUP TUGAS

MASING-MASING KOMISI



DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dalam Rapat Paripurna ke-26 pada tanggal 29 Juni 1978,

Menimbang:

Bahwa untuk melak.ukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dipadang perlu untuk segera membentuk Komisi-komisi dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta menentukan ruang lingkup tugas masing-masing Komisi;

Mengingat:

  1. Undang-undang No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 4 tahun 1975, dan Undang-undang No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 tahun 1975;
  2. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 4/DPR-RI/II/77-78 tentang Pembentukan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan segala perubahan dan tambahannya;
  3. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 2/DPR-RI/II/77-78 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Memperhatikan :

Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada tanggal 29 Juni 1978;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLlK INDONESIA TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI-KOMISI DALAM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBUK INDONESIA SERTA PENENTUAN RUANG LINGKUP TUGAS MASING-MASING KOMISI.

Pertama:

Di dalarn Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dibentuk 11 (sebelas) Komisi dengan ruang lingkup tugas masing-masing sebagai berikut :

1. Komisi I:

Dewan Pertimbangan Agung,

Departemen Luar Negeri,

Departemen Pertahanan dan Kearnanan,

Departemen Penerangan,

Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional,

Badan Kordinasi Intelijen Negara, dan Lembaga Sandi Negara;

2. Komisi II :

Departemen Dalam Negeri,

Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara,

Menteri/Sekretaris Negara,

Badan Administrasi Kepegawaian Negara,

Lembaga Administrasi Negara, dan Arsip Nasional;

3. Komisi III :

Mahkamah Agung,

Departernen Kehakiman, dan

Kejaksaan Agung; 4. Komisi IV:

Departemen Pertanian,

Menteri Muda Urusan Produksi Pangan,
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan

Menteri Muda Urusan Transmigrasi;

5. Komisi V:

Departemen Perhubungan,
Departemen Pekerjaan Umum,
Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat,
Dewan Telekomunikasi, dan

Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia;

6. Komisi VI:

Departemen Perindustrian,
Departemen Pertambangan dan Energi dan

Badan Kordinasi Penanaman Modal;

7. Komisi VII :

Departemen Keuangan,
Departemen Perclagangan dan Koperasi,
Menteri Muda Urusan Koperasi,
Bank IndOnesia, dan

Badan Unuan Logistik;

8. Komisi VIII :

Departemen Kesehatan,
Departemen Sosial, dan

Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional;

9. Komisi IX :

Departemen Agama,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan

Menteri Muda Urusan Pemuda;

10. Komisi X :

Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan

Hidup,
Menteri Negara Riset dan Teknologi,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,

Biro Pusat Statistik,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Badan Tenaga Atom Nasional,
Badan Kordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, dan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional;

11. Komisi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) :
Lembaga Tertinggi Negara,
Lembaga-lembaga Tinggi Negara,
Semua Departemen, dan
Semua Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Sepanjang bersangkutan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Kedua:

Beberapa Komisi yang merupakan Gabungan Komisi, mempunyai ruang lingkup tugas sebagai berikut :

  1. Komisi I, Komisi II, dan Komisi III : Menteri Kordinator Bidang Politik dan Keamanan;
  2. Komisi IV, Komisi V, Komisi VI, Komisi VII, dan Komisi APBN : Menteri Kordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri;
  3. Komisi VIII, Komisi IX, dan Komisi X : Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita.

Ketiga :

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 1978.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Juni 1978.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
KETUA,

ttd.

DARYATMO




PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

(Hasil Pemilihan Umum tahun 1982)

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: 10/DPR-Rl/IIl/82-83

tentang

PERATURAN TATA TERTIB

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Dalam Rapat Paripurna ke-13 pada tanggal 26 Pebruari 1983. Menimbang:

  1. bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia perlu memiliki suatu peraturan Tata Tertib, untuk memantapkan tata laksana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan mengatur kedudukan, susunan, wewenang, tugas, hak, dan tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beserta alat kelengkapannya, agar dapat dihayati dan diamalkan dalam rangka melaksanakan kehidupan kenegaraan yang demokratis konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
  2. bahwa peraturan Tata-Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berlaku sekarang ini bersifat sementara, sehingga dipandang perlu untuk menyusun Peraturan Tata Tertib yang bersifat tetap;
  3. bahwa menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diatur sendiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Mengingat:

  1. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1943-;
  2. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (2) dan (3), dan Pasal 23 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945;
    1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara;
    2. Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
    dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1975;
  3. Undang-Undang No. 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

Memperhatikan: Laporan Panitia Khusus Penyusun Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN:

1. Mencabut:

Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. l/DPR-RI/II/1982-1983 tentang Pengesahan Peraturan Tata Tertib Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.


2. Menetapkan:

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.


PERTAMA:

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ialah sebagai yang termuat dalam lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Keputusan ini.


KEDUA:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.