Halaman:Warisan Seorang Pangeran 01.pdf/52

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

Disaat serangannja sudah berlangsung, sulit buat Tjeng Loen menarik pulang, guna membatalkan, akan tetapi permainan goloknja, Liok-hap.too mahir, maka itu ia berkelit, seraja menurunkan bahunja, lantas ia menekuk lengannja sebatas sikut, untuk goloknja dipakai menjerang bahu kiri silawan. Inilah kelitan sambil menjerang, suatu perbuatan nekat.

Sianak muda djuga liehay. Dengan tjambuknja, ia hadjar golok musuh itu.

Tjeng Loen tertawa besar, ia geser kaki kirinja, goloknja bekerdja pula. Hebat sekali batjokan ini, sampai gelang golok digagangnja mendjadi berbunji berkontrangan, Sasarannja kali ini ada. lah leher atau dada. Berbareng dengan itu, dengan bebasnja tangannja jang kanan, tiga kali beruntun ia melepaskan pelurunja. Ia sangat mengharap jang kali ini ia akan berhasil merobohkan sianak muda.

Tapi anak muda itu berlaku sangat gesit dan sebat. Dengan memutar tubuh, ia berkelit dari golok dan peluru, tetapi tubuhnja berputar, bukan ia menjingkir djauh, ia djusteru datang mendekati lawan, dibelakangnja. Ia terus menjerang pula, dengan tjambuk kelengan kanan, dan dengan djari kiri, ia menotok djalan darah lengtay-hiat.

Tjian Tjeng Loen terantjam bahaja. Goloknja. tertahan tjambuk, golok itu tidak dapat dipakai membatjok lagi. Selagi begitu, musuh berada sangat dekat padanja, hingga sulit untuk berkelit. Sebagai djago tua, ia nampaknja mesti djatuh mereknja. Tapi tiba²:

„Engko Hoa, sudah! Kita tjuma saling towel sadja !”

Itulah satu suara halus dan sedap, jang datangnja dari dekat mereka.

Sianak muda djuga segera lompat mundur sambil menjahut : „Baiklah !” Maka batallah serangan jang berbahaja itu, dan sianak muda sudah lantas menjingkir lima-enam tindak.

Tjeng Loen mendjadi tertjengang. Waktu ia berpaling, ia mendapat kenjataan, jang berseru manis itu adalah Nona Yan atau Yan Tjoe Hoei si Walet Terbang. Muka Tjeng Loen mendjadi

bersemu merah, sebab ia djuga tampak, Boe Djin Tjoen berdiri diam seperti dia, wadjahnja merah djuga, pedangnja sudah tidak ada ditangannja. Ia mendjadi malu dan berduka. Tapi disaat seperti itu, ia mesti bitjara. Ia masih mesti antar To Siotjia dan In Soeya, lalu ia mesti berdaja lagi, untuk dapat merampas pulang piauwnja itu. Tapi ia didului oleh sinona begal ......

49