djelas.
Djedjak jang terdiri dari butir² beras ini mengikuti sedjalur djalan kekiri dan d kedjauhan tampaklah sebuah rumah.
„Itulah rumah Queechie”, bisik Lynch.
Djalan itu jang achirnja sampai d rawa-rawa dimana penuh dengan pohon² bakau jang banjak sekali terdapat sehingga merupakan semak². Dengan menggunakan dahan bakau sebagai tongkat mereka menuruni rawa² itu.
Kian ketengah ternjata rawa itu kian dalam. Tinggi air sudah mentjapai paha mereka, sedangkan lumpur dikakinja makin dalam djuga.
„Aku betul tidak mengerti bagaimana kawanmu tuan Queechie itu bisa melalui tempat ini”, sahut Deane dengan agak kesal.
„Tapi aku kira bisa sadja”.
„Mengapa kira²? Adakah orang jang mau repot² membeli 20 kilogram beras kemudian menenggelamkan dirinja disini?”
„Aku tak pernah bilang begitu. Aku tjuma pikir, bahwa mendapatkan tempat jang bisa d lalui dirawa ini tidaklah semudah jang kusangka semula. Ajolah Deane, kita djangan rame² dulu”.
Dan waktu mereka mengindjakkan kakinja ditanah jang agak keras matahari sudah meninggi. Rumah Queechie tidak diauh lagi. Menurut penglihatan Deane rumah itu dibikin dari bekas² kaleng bensin, kaju² tua dan bekas² peti. Dibelakang rumah itu terdapat sepetak kebun dan beberapa kerandjang penuh dengan kulit² kajubakau jang sudah kering.
Waktu mereka mendekati rumah itu beberapa penghuninja sedang masak. Bau masakannja sudah mulai merembes hidung mereka. Dan ketika keduanja sudah ada dimuka rumah itu, Queechie tjepat² berdiri dan memandang mereka dengan agak tjuriga.
Tapi Lynch seperti tak menghiraukan pandangan itu.
„Ha, masakannja enak nih! Telur dan roti tentu. Apa kalian masih ada persediaan untuk kami? Biarlah kawanku ini jang bajar”, otjehnja.
41