Halaman:Tiongkok Baru.pdf/41

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini belum diuji baca

Seorang gubernur disatu propinsi djuga mendjadi djen- deral. Mereka semua bersandar pada tuan² tanah jang ada didaerahnja. Keuntungan dsb. tidak sedikit mereka peroleh dari tuan tanah. Gubernur jang biasanja djuga djenderal itu sendiri tidak memperhatikan keadaan rakjat, melainkan di- mana perlu, satu gubernur dengan lain gubernur sering ber- kelahi, mengadu pasukannja masing².

Selain pasukan resmi dari si gubernur, ada lagi pasukan2 liar jang hanja melihat2 angin, dipihak mana jang lebih ber- untung berdiri. Kalau perlu mereka berdiri sendiri pula. Dalam keadaan begitu situan tanah tentu mesti mempunjai kekuatan pula. Disediakannja beberapa orang bersendjata, namanja untuk mendjaga keamanan dsb. akan tetapi dalam praktek, ialah untuk dapat bermahakuasa terhadap petani jang meng- garap tanahnja.

Dengan begitu sipetani adalah mendjadi bulan²an dan mangsa bagi beberapa pihak. Oleh situan tanah ia diperas, oleh pasukan liar ia dirampok, dan dimana perlu oleh sigu- bernur didjadikan umpan peluru.

Bagaimana perhubungan hukum antara sitani jang me- njewa tanah dan situan tanah jang menjewakan, tidak diatur sama sekali. Terserah 100% pada situan tanah. Oleh sebab itu penderitaan sitani tidak terhingga pahitnja. Tjerita2 jang menggambarkan penderitaan itu, kadang2 seperti mimpi, sebab tak masuk diakal, masih mungkin dan bisa kedjadian diabad 20 sekarang ini. Tapi rupanja di Tiongkok - Chiang Kai-shek, biasa sadja hal dan kedjadian jang seperti itu. Bukti2 pen- deritaan itu sekarang dikumpulkan, ditempat2 besar, seperti barang kuno, dan dapat dilihat oleh publik. Badju² jang ber- darah karena ditusuk atau dipukul oleh tuan tanah, jang kadang2 umur badju itu ada jang sampai 30 à 40 tahun, tak sanggup menukarnja. Pakaian, perhiasan dan sendjata² tuan tanah jang penuh dengan kemewahan. Buku2 hutang jang bertimbun2, hutang jang tak kundjung selesai turun temurun, sebab selain hutang, bunga mesti dibajar, sewa tanah tak pernah lunas, dari tahun ketahun malah bertambah besar. Lebih hebat dari lintah darat. Dan bila sitani tiba sa'atnja untuk diusir, umumnja karena sesuatu maksud situan tanah tidak tertjapai, dan biasanja dalam hal ini anak perempuan sitani jang mendjadi perkara, maka pengusiran itulah jang merupakan puntjak dari kesedihan dan penderitaan. Biasanja jang diusir itu bunuh diri. Diusir dianggap lebih berat dari pada ditusuk mati oleh situan tanah. Kedjadian seperti ini biasa sadja di Tiongkok dulu dengan sistem tuan tanahnja, dan sekalipun katanja sudah diperintah oleh pemerintah na- sional Chiang Kai Shek.

Kalau kita tahu bahwa lebih dari 80% dari rakjat Tiongkok, terdiri dari kaum tani, maka dapatlah dibajangkan bahwa Tiongkok dulu itu adalah gudang penderitaan dan pertum- pahan darah, betul² dihisap dan diperas oleh bangsa sendiri dan bangsa asing. 80% dari 480 djuta sadja sudah 384 djuta orang. Penderitaan 380 djuta orang, jang hidup seperti budak