an dengan sekolah itu, sedang dalam liburan sebelum tahun peladjaran baru, diadakan bukan sadja pertundjukan pekerdjaan² murid diruangan-ruangan kelas jang dikosongkan itu, tetapi djuga eksposisi lukisan² dari pelukis² Indonesia dan Tionghoa. Bukankah sebagai Taman Siswa jang baik orang menghendaki lebih dari tjorak sesuatu sekolah: sesuatu pusat kebudajaan untuk tua dan muda?
Adalah karena pertundjukan ini, saja mengundjungi sekolah itu untuk pertama kali. Persamaan² lukisan² jang dipertundjukkan dengan lukisan² barat dengan segera menarik perhatian saja. Tentang pelukis² Tionghoa itu, lukisan² mereka terutama mengingatkan saja kepada taraf seni lukis di Eropah jang dengan definitif berhenti, setelah petjah perangdunia pertama, dan pelukis² ini nampaknja meletakkan titik-beratnja pada penguasaan teknik, dengan masih ada disana-sini bekas² kalligrafi piktural Tiongkok. Sebaliknja pelukis² Indonesia adalah seakan-akan merupakan sambungan seni lukis Eropah modern jang telah terlepas dari masjarakatnja, jang sebenarnja djuga demikian memperlihatkan pendjelmaan bentuk jang diambil dari kebudajaan² primitif lain. Tjorak Indonesia sendiri barangkali tampak djuga dalam pemakaian pertentangan² warna, jang bagi saja agak tidak sewadjarnja, dengan ketjenderungan jang menjolok mata kepada warna kuning dan hidjau. Dari ketjakapan mereka jang kentara untuk dekorasi seperti jang kita lihat berkali-kali pada gambar² murid sekolah, tidaklah ada bekas²nja sama sekali. Ada sematjam kesan jang tidak menjenangkan pada lukisan² mereka sebagai akibat pengutamaan ke„spontan”an jang berlebih-lebihan dan portret² sendiri istimewa banjaknja, jang tentu sekali menundjukkan, bahwa mereka sedang sibuk dengan dirinja sendiri, jang berarti: pelukis² muda ini sedang mentjari dirinja sendiri. Pengutjapan kesepian dan pessimismus ada tampak pada air muka lukisan kepala² ini jang kebanjakan suram, kadang² hampir antjai. Djadi djuga „kebantunan”? Bukankah pessimismus puisi Indonesia telah djuga ditulis sebagai akibat masjarakat dalam pantjaroba kebudajaan?
Adalah menarik perhatian, bahwa djustru pelukis jang dalam lukisannja demikian impulsifnja, Affandi, bekerdja pada Taman Siswa sebagai guru gambar. Seorang guru jang djuga mahasiswa mengatakan itu kepada saja, ketika saja dengan dia bersama-sama sedang menunggu pulangnja Pak Said jang pergi menjampaikan pesan, untuk bertjakap-tjakap dengan dia. Ketika Pak Said datang, ternjata bahwa banjak benar pekerdjaannja, tetapi hal itu terlalu djelas diperlihatkannja, supaja djangan timbul persangkaan, bahwa adalah karena hendak menutupi sedikit keadaannja jang belum bersisir dan bertjukur itu, dan kepegalan ini membuat saja sebentar menjangka, bahwa saja telah berkenalan dengan seorang pelopor jang belum berapa lama ini saja lihat dibelakang kawat duri, ketika saja dari negeri Belanda baru sampai dengan kapal di Belawan, dimana mereka ditahan menunggu Konperensi Medja Bundar. Tetapipada suatu malam jang telah didjandjikan untuk bertjakap-tjakap saja beladjar mengenalnja lain sekali dikamar tidur-duduknja jang ketjil itu, jang disamping kamar mandi menundjukkan kedudukan pengurus besar (untuk Taman Siswa didaerah pendudukan), dimana kami dalam beberapa kursi rotan jang tjombeng dengan kepala berdekatan memulai perkenalan, Besar perbedaannja terasa untuk saja, ketika pada pertemuan jang lebih tenang ini, dalam kesunjian malam dipekarangan belakang jang segitiga dan penuh bangun²an itu, malahan
62