Lompat ke isi

Halaman:Taman Siswa.pdf/60

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

peringatan perkumpulan Budi Utomo: „Orang² Djawa, berlainan dengan penduduk pulau² lain di Hindia Timur, merupakan keseluruhan jang besar dan jang agak kompakt. Untuk Hindia Belanda pulau Djawa itulah sebenarnja negeri jang paling homogen.” Bahwa nasionalismus Djawa jang timbul dari sini merupakan suatu rintangan dalam perdjuangan politik untuk tanah air jang satu Indonesia, tidak dilihatnja waktu itu dengan djelas. Ia tahu pendapat² orang² Djokja tulen jang disokong oleh rakjat: „O, memang, dahulu ada pertalian antara Djawa dan tanah² seberang, tetapi bukan Djawa termasuk dalam Keradjaan jang besar itu, tetapi Keradjaan itu ialah Djawa dan semua tanah² seberang termasuk dalam Djawa. Nasionalismus Djawa....itulah pengembalian kedaulatan Djawa.” Dan walaupun ia mengakui, bahwa bangsa² dikepulauan Nusantara akan memegang teguh hak mengatur diri sendiri setjara kulturil dan walaupun ia melihat nilai nasionalismus kulturil untuk nasionalismus politik, ia menerangkan dengan tegas, bahwa dalam perdjuangan politik sendiri hanjalah „bersatu kita teguh” jang boleh berlaku.

Dalam waktu tjita² kearah kesatuan nasional ini tiap² nasionalismus daerah dianggap sebagai merusak, malahan dalam sematjam „overkompensasi” dianggap sebagai jang paling harus ditolak. Hal ini tidaklah membaikkan pembangunan jang diusulkan itu, jang menurut tjoraknja terdjadi dari berbagai-bagai unsur. Lebih² peranan besar, jang tentu dalam hal ini harus dimainkan oleh kebudajaan Djawa, menimbulkan dengan mudah ketidakpertjajaan wakil² kulturil dari suku² bangsa lain. Sebagai bukti untuk ini adalah karangan Alam pikiran jang tidak sadar (dalam Siasat, 7 Djan. '51), dimana Armijn Pane menjasat karangan Dewantoro tentang Konservatorium untuk musik Indonesia di Solo (Mimbar Indonesia, 2 Des. '50). Ia menjalahkan Dewantoro (jang dalam hal² lain dianggapnja tidak lebih „verpolitiekt” dari kebanjakan pemuka² batin Indonesia) telah memberikan dalam karangannja djalan pikiran jang demagogis, djadi jang katjau, bukan sadja bertalian dengan tindakan kulturil dari orang? Belanda dalam zaman silam, tetapi djuga bertalian dengan pengertian „musik Indonesia” jang untuk Dewantoro nampaknja identik (sama) dengan musik Djawa. Apabila ketua konservatorium dalam pidato pembukaannja mengatakan, bahwa konservatorium ini „tidak sadja akan memperhatikan dan memelihara kesenian² suara Djawa, tetapi....”, maka dengan „bukan sadja” ini dianggapnja telah ditundjukkan, bahwa hal itu sebenarnja adalah konservatorium Djawa. Bukan karena ia mempunjai keberatan terhadap hal itu, tetapi karena dianggapnja berbahaja menjebutkan sesuatu lain dari jang sebenarnja.

Tetapi dengan tidak mengingat kesulitan² ini, dari perumusan tjita² itu, jakni syntesis unsur² jang paling baik, timbul djuga keberatan jang berdasarkan pertimbangan, bahwa sesuatu kebudajaan hanjalah dapat tumbuh dalam kebebasan, dan hal itu berarti disini dalam ketidaksadaran jang bebas dari prasangka² demikian. Dalam arti sebenarnja, bukankah ini sedjenis kebudajaan tukang²an, sematjam pembikinan kebudajaan gado² seperti jang saja dengar dari seorang Indonesia? Maksudnja tidaklah lain bahwa Pemerintah memberi dorongan dan membantu usaha² jang menudju kearah tjita² ini, dan bahwa tjita² itu sendiri tidaklah lebih dari perumusan kemungkinan jang diharapkan, jang djuga dianggap perlu. Dengan perkataan lain: sesuatu jang dapat dipakai sebagai penuntun bagi politik aktif

53