Lompat ke isi

Halaman:Taman Siswa.pdf/33

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sekali, djuga dari pihak anak² orang jang lebih terkemuka), dalam hal mentjari guru² waktu itu pastilah telah datang. Guru² jang kita temui disini ialah orang² terpeladjar, dididik setjara barat, jang mendapat dari pengadjaran jang diterimanja sendiri, ketjuali barangkali keuntungan sosial, kepuasan untuk dapat berhadapan dengan pendjadjah² Belanda atas dasar ketjerdasan jang sama dan dengan memakai bahasa jang sama, tetapi djuga dalam kehendak jang timbul dimana-mana untuk meniru-niru orang² Eropah, kehendak jang menurut pendapat mereka lahir dari perasaan kurang (minderwaardigheidscomplex) sebagai akibat pertalian² kolonial, mereka mengalami surrogaat (barang tiruan) jang melukai kesedaran diri sendiri. Mereka setudju dengan perkataan² jang memberi peringatan dari pendukung² kebudajaan sendiri, jang melihat bahwa hidup kebudajaan nasional terantjam kutjar-katjir.

Di India Rabindranath Tagore memperdengarkan suara demikian, jang djuga melihat kemungkinan² positif dalam pertemuan dengan Barat, seperti dibentangkannja pada tahun 1916 dalam bukunja The Spirit of Japan: „Timur merasa bahwa ia dapat banjak beladjar dari Eropah, bukan sadja dalam hal alat² tehnik untuk memperbesar kekuasaan, tetapi djuga dalam hal pendidikan batin jang mengenai watak. Eropah telah mengadjarkan kepada kita kewadjiban² jang lebih tinggi, keselamatan umum diutamakan diatas kepentingan² keluarga; kesutjian hukum jang melindungi masjarakat terhadap perbuatan sewenang-wenang seseorang; apalagi kemerdekaan, kemerdekaan rasa hati, berpikir dan berbuat, kemerdekaan dalam tjita² seni dan sastera.”

Disini dapat kita tjatat dengan segera, bahwa Djepang adalah tjontoh jang baik dari suatu negeri jang mengoper pendidikan tehnik, tetapi djustru tidak „pendidikan batin” dan dengan itu mereka sampai dahulu kekemadjuan jang besar, tetapi selandjutnja kemadjuan itu membantu membawa dunia mereka pada tepi djurang untuk djatuh terdahulu kedalamnja. Memang akkulturasi bukanlah permainan anak2. Sebab itu memang berat sebelahnja pendidikan ketjerdasan jang masih melekat pada pengadjaran barat sebagai warisan, dari abad pertengahan jang bersifat agama (Gunning), dan jang baru mulai diprotes oleh pengetahuan ilmu djiwa jang sangat muda itu dalam fasenja jang kedua, merupakan bahaja jang besar dalam penjerahan barang² kebudajaan ini. Tidak berkatanja kejakinan² susila (ethos) jang hanja masih dipakai oleh wakil² kebudajaan barat jang paling baik sebagai bekal hidup (hidup ialah sebagai tugas atas pertanggungdjawaban ethis sendiri dan pertanggungdjawaban religi sendiri) dan karena itu tidak adanja pemikiran kemungkinan adaptasi ethos kebudajaan² timur, membuat pengadjaran ini mendjadi suatu unsur² kebudajaan jang pada bangsa² jang kurang keras hati dan aktif sebagai bangsa Djepang, akan mengakibatkan desintegrasi, jang dialami dengan berbahaja sebagai perpetjahan batin dan dengan diam² (latent) sebagai kekosongan batin. Seperti jang dikatakan Tagore (menurut kutipan Dewantoro): „Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang barat; suara kita gema dari suara Eropah; sebagai ganti intellekt kita tidak lain dari sebuah tas penuh dengan keterangan²; dalam djiwa kita ada kekosongan jang demikian besar, sehingga kita tidak sanggup menangkap jang indah dan berharga dalam diri kita.”

Dan apabila ethos sesuatu kebudajaan telah gontjang dari bawah, dengan

28